Filosofi ilmu dalam 3 kajian

36
Ujian Semester Filsafat Ilmu PPs UNY PIPS 2012 Page 1 MATERI UJIAN SEMESTER DARI MATA KULIAH FILSAFAT ILMU PROGRAM PASCASARJANA UNY JURUSAN PIPS Disusun oleh : SIGIT KINDARTO NIM. 12705259010 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA PROGRAM PASCASARJANA PIPS KERJASAMA P2TK DENGAN UNY TAHUN 2012 FILOSOFI ILMU PENGETAHUAN DALAM 3 KAJIAN : 1. ALIENASI MANUSIA ATAS ILMU 2. URGENSI & IMPLEMENTASINYA PADA ARAS ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI

Transcript of Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Page 1: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 1

MATERI UJIAN SEMESTER DARI

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

PROGRAM PASCASARJANA UNY

JURUSAN PIPS

Disusun oleh :

SIGIT KINDARTO

NIM. 12705259010

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

PROGRAM PASCASARJANA PIPS

KERJASAMA P2TK DENGAN UNY

TAHUN 2012

FILOSOFI ILMU PENGETAHUAN DALAM 3 KAJIAN :

1. ALIENASI MANUSIA ATAS ILMU

2. URGENSI & IMPLEMENTASINYA PADA ARAS ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, AKSIOLOGI

Page 2: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 2

1. Ilmu Pengetahuan adalah hasil respon manusia terhadap realitas. Berikanlah analisis

saudara terhadap beragam cara manusia dalam merespon realitas tersebut sehingga

melahirkan perkembangan ilmu pengetahuan.

Jawaban

Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna lagi paripurna,

kesempurnaannya tampak pada kecakapan dalam menghadapi pelbagai bentuk

permasalahan hidup yang merupakan manifestasi dari kesucian fitrah insaniyah yang

dianugrahkan oleh Allah kepadanya, dan keparipurnaannya tampak pada kemampuannya

menganalisa setiap permasalahan guna mendapatkan jalan keluar yang akurat tanpa

menimbulkan problematika yang lebih parah dari sebelumnya, keparipurnaan ini

merupakan bentuk manifestasi hikmah ‘aqliyyah yang menjadi bagian utama

terbentuknya makhluk Tuhan yang teristimewa diantara seluruh makhluk yang tercipta di

bumi.

Kemampuan berpikir atau daya nalar manusialah yang menyebabkannya mampu

mengembangkan pengetahuan. Dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah,

mana yang baik dan mana yang buruk, yang indah dan yang jelek. Secara terus menerus

manusia diberikan berbagai pilihan. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpegang

pada pengetahuan. Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal

utama, yaitu: pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan

informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Kedua,

kemampuan berfikir menurut suatu kerangka berfikir tertentu.

Kedua faktor diatas sangat berkaitan erat. Terkadang sebagian manusia begitu sulit untuk

mengkomunikasikan informasi, pengetahuan dan segala yang ingin dikomunikasikannya.

Hal ini salah satunya dikarenakan tidak terstrukturnya kerangka fikir. Kerangka fikir

Page 3: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 3

akan terstruktur ketika obyek dari apa yang ingin dikomunikasikan jelas. Begitupun ilmu

pengetahuan.

Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio).

Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme (Mikhael

Dua : 2011). Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada

empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776),

John Locke (1632-1704), Berkley.

Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini

misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah

induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah

tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.

Ilmu pengetahuan, diperoleh dari pemecahan suatu masalah keilmuan atau

kehidupan / kebutuhan manusia. Tidak ada masalah, berarti tidak ada solusi. Tidak ada

solusi berarti tidak memperoleh metode yang tepat dalam memecahkan masalah. Ada

metode berarti ada sistematika ilmiah. Permasalahan merupakan obyek dari ilmu

pengetahuan. Permasalahan apa yang coba dipecahkan atau yang menjadi pokok

bahasan, itulah yang disebut obyek. Dalam arti lain, obyek dimaknai sebagai sesuatu

yang merupakan bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan. Oleh karena itu,

dapat dikatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan lahir sebagai jawaban atas

berbagai problema yang dihadapi oleh manusia untuk dicarikan solusi sebagai hakikat

dari lahirnya ilmu pengetahuan.

Seseorang yang ingin menemukan pengetahuan, maka sebagai langka awal dia

terlebih dahulu harus mempelajari teori-teori pengetahuan dalam perkembangan

pengetahuan. Karena itu, usaha yang harus dia lakukan pertama kali adalah menegaskan

tujuan pengetahuan, sebab pengetahauan tidak akan mengalami perkembangan dan

Page 4: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 4

perubahan apabila tujuan dari pengetahuan tersebut tidak diketahui dan dipahami.

Karena pada prinsipnya ilmu adalah usaha untuk menginterpretasikan gejala-gejala atau

fenomena – fenomena alami dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai

kejadian, artinya fenomena ini baik berupa pengamatan empiric maupun penalaran rasio

memerlukan teori sebagai landasan keterpahaman sesuatu yang disebut sebagai ilmu

pengetahuan.

Manusia dalam Menemukan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan yang berkembang dewasa ini melahirkan berbagai hasil

diantaranya dibidang teknologi yang bisa membantu manusia dalam menjalankan

kehidupannya. Pengetahuan dapat diperoleh kebenarannya dari dua pendekatan, yaitu

pendekatan ilmiah dan non-ilmiah.

1) Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah

Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui

penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf

keilmuan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh keyakinan bahwa

ada sebab bagi setiap akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapat dicari

penjelasannya secara ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum,

yaitu pelaksanaannya yang metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang logis dan

koheren. Artinya dituntut adanya sistem dalam metode maupun hasilnya. Jadi

susunannya logis. Ciri lainnya adalah universalitas. Setiap penelitian ilmiah harus

objektif, artinya terpimpin oleh objek dan tidak mengalami distorsi karena adanya

pelbagai prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dapat dijamin

objektivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian ilmiah juga

harus diverifikasi oleh semua peneliti yang relevan. Prosedur penelitian harus terbuka

Page 5: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 5

untuk diperiksa oleh ilmuwan yang lain. Oleh karena itu, penelitian ilmiah harus dapat

dikomunikasikan.

2). Pada pendekatan non ilmiah ada beberapa pendekatan yakni intuisi, akal sehat,

prasangka, penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.

a) Intuisi

Intuisi adalah penilaian terhadap suatu pengetahuan yang cukup cepat dan

berjalan dengan sendirinya. Biasanya didapat dengan cepat tanpa melalui proses

yang panjang tanpa disadari. Dalam pendekatan ini tidak terdapat hal yang

sistemik

b) Penemuan Secara Spekulatif

Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi, perbedaannya

dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang menghadapi suatu masalah

yang harus dipecahkan pada penemuan secara spekulatif, mungkin sejumlah

alternatif pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu alternatif pemecahan,

sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.

c) Otoritas atau Kewibawaan

Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang

yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran

meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu

tidak berarti tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam

merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang menyangsikannya.

Namun demikian ada kalanya pendapat itu ternyata tidak dapat dibuktikan

kebenarannya. Dengan demikian pendapat pemegang otoritas itu bukanlah

pendapat yang berasal dari penelitian, melainkan hanya berdasarkan pemikiran

yang diwarnai oleh subjektivitas.

Page 6: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 6

d) Akal sehat

adalah serangkaian konsep dan bagian konseptual yang memuaskan untuk

penggunaan praktis bagi kemanusiaan(Conant dalam Kerlinger (1973, h. 3).

Konsep merupakan kata yang dinyatakan abstrak dan dapat digeneralisasikan

kepada hal-hal yang khusus. Akal sehat ini dapat menunjukan hal yang benar,

walaupun disisi lainnya dapat pula menyesatkan. Manusia diberikan kelebihan

dari makhluk lainnya berupa akal yang bisa digunakan salah satunya untuk

memecahkan persoalan-persoalan kehidupan.

Dalam psikologi, dikenal konsep diri dari Freud (Jalaluddin Rakhmat,

1985) menyebut sebagai “id”, “ego”, dan “super-ego”. “Id” adalah bagian

kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam

agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik: libido (konstruktif) dan

thanatos (destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas

dunia luar. “Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati

nurani, Adib (2009:244). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi

angkara murka (hawa nafsu).

Jika kita mampu mengendalikan ketiga unsur yang ada dalam diri kita

diatas dengan menggunakan akal sehat yang dalam artian yaitu akal yang

dibarengi dengan melibatkan hati nurani. Kita bisa mengambil contoh penemuan

berbagai alat-alat rumah tangga elektronik yang dapat memudahkan para Ibu-ibu

dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Penemuan ini tidak saja berdampak

pada perubahan dalam pola kerja yang dilakukan oleh ibu rumah tangga, namun

juga berdampak pada berubahnya pola perilaku dalam masyarakat yang cendrung

suka yang praktis dan lebih bersifat materialistik. Segi hubungan masyarakat

Page 7: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 7

dalam interaksi sehari-hari juga menjadi berubah diantaranya lebih individualistik

dan kurang bersosialisasi dengan masyarkat sekitarnya.

e) Prasangka

Pengetahuan yang dicapai secara akal sehat biasanya diikuti dengan

kepentingan orang yang melakukannya kemudian membuat orang mengumumkan

hal yang khusus menjadi terlalu luas. Dan menyebabkan akal sehat ini berubah

menjadi sebuah prasangka.

f) Penemuan Coba- Coba (Trial and Error)

Pengetahuan yang ditemukan dengan pendekatan ini tidak terkontrol dan

tidak pasti. Diawali dengan usaha coba-coba atau dapat dikatakan trial and error.

Dilakukan dengan tidak kesengajaan yang menghasilkan sebuah pengetahuan dan

setiap cara pemecahan masalahnya tidak selalu sama. Sebagai contoh seorang

anak yang mencoba meraba-raba dinding kemudian tidak sengaja menekan saklar

lampu dan lampu itu menyala kemudian anak tersebut terperangah akan hal yang

ditemukannya. Dan anak tersebut pun mengulangi hal yang tadi ia lakukan hingga

ia mendapatkan jawaban yang pasti akan hal tersebut.

g) Berpikir Kritis dan Rasional

Telah banyak kebenaran yang dicapai oleh manusia sebagai hasil

upayanya menggunakan kemampuan berpikirnya. Dalam menghadapi masalah,

manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan

yang dimiliki sampai pada pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh

pada tingkat permulaan dalam memecahkan adalah dengan cara berpikir analitis

dan cara berpikir sintesis.

Page 8: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 8

Perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya menurut Koento Wibisono (1999),

filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan

bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekarbercabang secara subur.

Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan

masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.

Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju

dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu

pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti

spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van

Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-

menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya

dapat ditentukan. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam

ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya

“Knowledge is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan

terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan.

Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu

yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin

kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau

praktis.

Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu

merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan

pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan

objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan

pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu:

ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The

Page 9: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 9

Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum

tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu.

Respon manusia terhadap Problema Kehidupan

Interaksi antara ilmu pengetahuan denganproses kehidupan manusia maupun

makhluk lainnya telah melahirkan pemikiran dan penemuan - penemuan baru sebagai

respon atas berbagai problema yang menghinggapi kehidupan manusia. Kemampuan

berpikir manusia yang dibarengi dengan kecerdikan menemukan solusi atas berbagai

persoalan hidup dan kehidupan memicu kreativitas yang melahirkan ilmu / penemuan

pengetahuan baru, sehingga ilmu pengetahuan semakin berkembang.

Pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan

memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil

(eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan –dalam

kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana, eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of

knowledge (cadangan pengetahuan) yang dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan

adalah akumulasi dari common sense knowledge (pengetahuan akal-sehat). Common

sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama individu-individu lainnya

dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan sendirinya, dalam kehidupan

sehari-hari (Berger dan Luckmann, 1990: 34).

Kemampuan manusia untuk menggunakan akal dalam memahami lingkungannya

merupakan potensi dasar yang memungkinkan manusia berfikir, dengan berfikir manusia

menjadi mampu melakukan perubahan dalam dirinya, dan memang sebagian besar

perubahan dalam diri manusia merupakan akibat dari aktivitas Berfikir, oleh karena itu

sangat wajar apabila Berfikir merupakan konsep kunci dalam setiap diskursus mengenai

kedudukan manusia di muka bumi, ini berarti bahwa tanpa Berfikir, kemanusiaan

manusia pun tidak punya makna bahkan mungkin tak akan pernah ada.Berfikir juga

Page 10: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 10

memberi kemungkinan manusia untuk memperoleh pengetahuan, dalam tahapan

selanjutnya pengetahuan itu dapat menjadi fondasi penting bagi kegiatan berfikir yang

lebih mendalam. Ketika Adam diciptakan dan kemudian ALLAH mengajarkan nama-

nama, pada dasarnya mengindikasikan bahwa Adam (Manusia) merupakan Makhluk

yang bisa Berfikir dan berpengetahuan, dan dengan pengetahuan itu Adam dapat

melanjutkan kehidupannya di Dunia. Dalam konteks yang lebih luas, perintah Iqra

(bacalah) yang tertuang dalam Al Qur’an dapat dipahami dalam kaitan dengan dorongan

Tuhan pada Manusia untuk berpengetahuan disamping kata Yatafakkarun

(berfikirlah/gunakan akal) yang banyak tersebar dalam Al Qur’an. Semua ini

dimaksudkan agar manusia dapat berubah dari tidak tahu menjadi tahu, dengan tahu dia

berbuat, dengan berbuat dia beramal bagi kehidupan. semua ini pendasarannya adalah

penggunaan akal melalui kegiatan berfikir. Dengan berfikir manusia mampu mengolah

pengetahuan, dengan pengolahan tersebut, pemikiran manusia menjadi makin mendalam

dan makin bermakna, dengan pengetahuan manusia mengajarkan, dengan berpikir

manusia mengembangkan, dan dengan mengamalkan serta mengaplikasikannya manusia

mampu melakukan perubahan dan peningkatan ke arah kehidupan yang lebih baik,

semua itu telah membawa kemajuan yang besar dalam berbagai bidang kehidupan

manusia (sudut pandang positif/normatif).

Kemampuan untuk berubah dan perubahan yang terjadi pada manusia merupakan

makna pokok yang terkandung dalam kegiatan Berfikir dan berpengetahuan. Disebabkan

kemampuan Berfikirlah, maka manusia dapat berkembang lebih jauh dibanding makhluk

lainnya, sehingga dapat terbebas dari kemandegan fungsi kekhalifahan di muka bumi,

bahkan dengan Berfikir manusia mampu mengeksplorasi, memilih dan menetapkan

keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Semua itu, pada dasarnya

menggambarkan keagungan manusia berkaitan dengan karakteristik eksistensial manusia

Page 11: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 11

sebagai upaya memaknai kehidupannya dan sebagai bagian dari Alam ini.Berfikir dan

pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi ciri keutamaan manusia, tanpa

pengetahuan manusia akan sulit berfikir dan tanpa berfikir pengetahuan lebih lanjut tidak

mungkin dapat dicapai, oleh karena itu nampaknya berfikir dan pengetahuan mempunyai

hubungan yang sifatnya siklikal.Gerak sirkuler antara berfikir dan pengetahuan akan

terus membesar mengingat pengetahuan pada dasarnya bersifat akumulatif, semakin

banyak pengetahuan yang dimiliki seseorang semakin rumit aktivitas berfikir, demikian

juga semakin rumit aktivitas berfikir semakin kaya akumulasi pengetahuan. Semakin

akumulatif pengetahuan manusia semakin rumit, namun semakin memungkinkan untuk

melihat pola umum serta mensistematisirnya dalam suatu kerangka tertentu, sehingga

lahirlah pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) baru, disamping itu terdapat pula orang-

orang yang tidak hanya puas dengan mengetahui, mereka ini mencoba memikirkan

hakekat dan kebenaran yang diketahuinya secara radikal dan mendalam.

Berger dalam pendekatan terhadap pemahaman realitas ini memiliki dimensi –

dimensi subyektif dan obyektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan

realitas sosial yang obyektif melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia

mempengaruhinya melalui proses internalisasi (yang mencerminkan realitas subyektif).

Proses ini berjalan dalam kerangka dialektika Hegel, yaitu adanya tesa, antitesa, dan

sintesa antara diri (the self) dengan dunia sosio-cultural, Frans Parera menjelaskan

bahwa tugas pokok pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan

dunia sosiokultural melalui tahapan-tahapan tersendiri

Page 12: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 12

2. Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, dalam pendangan beberapa filosof, telah

menyebabkan manusia terjebak dalam “Perangkap” yang dibuatnya sendiri, atau berada

dalam “Keterasingan" atau yang disebut Sayyed Husein Nasr dengan “Nestapa Manusia

Modern”. Berikanlah uraian saudara terhadap pandangan tersebut.

Jawaban

Paradoksal Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dalam perkembangannya ternyata menimbulkan situasi

yangparadoksal. Di satu sisi Ilmu Pengetahuan menjadi simbol keunggulan dan

kecerdasan manusia, tetapi di sisi lain ilmu dapat menjadi sumber masalah yang yang

dapat mengguncangkan pandangan – pandangan tradisional tentang kodrat kita sebagai

manusia. Sebab – sebab terdalam dari kenyataan tersebut tidak dapat dipisahkan dari

motif - motif perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi

hanya menjadi simbol pergumulan manusia mencari kebenaran, tetapi juga menjadi

sebuah tugas untuk menyejahterakan manusia, disamping dalam kacamata modern ilmu

pengetahuan menempatkan manusia sebagai tuan dan pemilik atas alam.

Rene Descrates menyebutkan bahwa ilmu pengetahuan adalah sebagai faktor

subyek penyebab utama yang menumbuhkan kesadaran baru pada manusia tentang

gagasan baru / inovasi mengenai alam. Meski tidak dijelaskan secara eksplisit motif –

motif ekonomi dalam pengembangan ilmu pengetahuan, Descrates merintis jalan bahwa

ilmu pengetahuan dapat menjadi “proyek teknologi” bagi kepentingan bisnis. Ini berarti

ilmu pengetahuan menyandang motif ekonomi untuk mempercepat proses produksi,

konsumsi dan distribusi. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti pada

usaha untuk mengungkapkan kebenaran mengenai dunia, tetapi mengembangkan dirinya

untuk mengubah alam sehingga alam memiliki manfaat yang lebih besar bagi

kepentingan manusia.

Page 13: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 13

Kejahatan Intelektual

Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat tersebut ternyata tidak

serta merta membawa dampak positif dalam perkembangan moral yang religius dari

manusianya. Terbukti dengan semakin menurunnya nilai-nilai moral yang dianut oleh

setiap orang, bahkan membawa manusia ke jurang kenistaan diri yaitu maraknya sikap

hedonisme, materialistik maupun individualistik. Seperti yang diungkapkan secara garis

besar oleh Sayyed Hossein Nasr, yang mengambil contoh di dunia Barat, bahwa

kemajuan ilmu pengetahuan malah menyebabkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai

religius yang mengakui keberadaan Tuhan yang menciptakan kehidupan. Bahkan dengan

penemuan – penemuan baru ilmu pengetahuan manusia menampilkan wajah

destruktifnya, hasrat untuk menerapkan perkembangan ilmu pengetahuan pada setiap

kesempatan, sehingga terjadilah pemaksaan yang merajalela dan membabibuta.

Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya menjadi tidak manusiawi lagi, bahkan justru

memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya.Bertrand

Russell mencontohkan banyaknya ilmuwan yang terlibat dalam “kejahatanintelektual”

mendukung kekuasaan politik, seperti Archimedes yang membantu saudara sepupunya

menjadi seorang tirani di Sirakusa melawan Romawi, kemudian Albert Einstein yang

menyarankan pembuatan bom atom yang digunakan dalam Perang Dunia ke 2 untuk

menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima (Mikhael Dua, 2011: 17).

Ilmu pengetahuan dipakai juga sebagai alat rekayasa sosial untuk tujuan –

tujuan tertentu sehingga menjadi salah satu faktor tersembunyi berbagai bentuk

ketidakadilan yang mengakibatkan kemiskinan dan penderitaan masyarakat. Dalam

fungsinya sebagai alat rekayasa sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor

utama bagi penghisapan terbuka maupun terselubung atas nama kemanusiaan. Sifat

Page 14: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 14

destruktif ini menimbulkan ketakutan bukan karena terjadinya peperangan yang masih

ada harapan untuk jalan perdamaian melalui perundingan, tetapi penerapan ilmu

pengetahuan dan teknologi menjadi faktor paling menentukan dalam perusakan

lingkungan hidup dan karena itu hubungan kita dengan alam dan generasi penerus (yang

akan datang) menjadi taruhan yang sulit diatasi.Kondisi ini membuat manusia sebagai

pemikir dan penemu ilmu pengetahuan terperangkap dalam jaring – jaring semestinya

tidak diarahkan untuk penebarnya sendiri, yang hancur akibat penemuan dan penelitian-

penelitian yang telah dilakukannya. Inilah paradoksal ilmu pengetahuan.

Kebesaran peradaban Barat yang sampai saat ini menghegemoni dunia Timur

ternyata didirikan berlandaskan fondasi yang keropos.Secara kuantitatif pengetahuan

akan dunia yang dimiliki Barat memang mengagumkan dengan perkembangan yang

terus menerus berjalan, namun secara kualitatif pengetahuan tersebut sangatlah

dangkal.Secara kuantitatif manusia telah menciptakan keajaiban-keajaiban yang luar

biasa dengan nalar pikir dan pengetahuan yang mereka miliki dengan memunculkan

penemuan-penemuan dalam dan melalui ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan bagi

mereka dan umat manusia.

Sayyed Hossein Nasr menerangkan bahwa Dunia menurut pandangan orang-

orang modern (Barat) adalah dunia yang tidak memiliki dimensi transendental. Bahkan

di dalam dunia yang nyata ini segala sesuatu yang tidak dapat ditangkap di dalam jaring

sains modern secara kolektif diabaikan, dan secara ‘objektif’ dinyatakan tidak ada.”

Manusia Barat dengan segala atribut pengetahuan yang telah mereka capai,

mempersempit ruang gerak pikir dan kemanusiaan mereka dengan hanya menyisakan

dimensi duniawi dalam diri mereka sebagai pengetahuan yang mereka anut dan terapkan,

di sinilah letak kedangkalan kualitas pengetahuan yang telah mereka anggap melampaui

segalanya itu.

Page 15: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 15

Kedangkalan kualitas pemikiran Barat ini yang hanya bersifat keduniawian

menganggap bahwa apa yang tidak bisa di jelaskan secara ilmiah melalui penelitian

adalah hal yang tidak penting dan hanya perlu dikesampingkan. Anggapan dunia Barat

tentang apa yang telah mereka capai dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang

pesat,semata-mata merupakan hasil kerja keras mereka, tanpa adanya campur tangan

Tuhan yang menciptakan kehidupan ini. Sehingga kepintaran yang mereka miliki tidak di

imbangi dengan adanya keyakinan bahwa ada Zat yang lebih tinggi yang mengatur

kehidupan ini. Maka yang terjadi adalah cerdas dari segi intelegensinya namun tidak

cerdas spiritual dan emosionalnya.

Akhirnya eksplorasi dan eksperimentasi yang dilakukan manusia harus

memakan korban. Korban pertamanya tentu adalah bumi yang dengan kekayaan alam

yang dikandungnya dikeruk sedemikian rupa tanpa belas kasih, hampir di manapun

orang-orang Barat, terutama yang berperan dalam perang dunia baik I maupun II,

menjejakkan kaki. Dengan semangat Gold, Glory, Gospel, mereka merambah hampir

seluruh permukaan bumi. Sisa-sisa semangat ini sampai kini masih berakar kuat dalam

diri manusia-manusia modern. Terlihat dengan aktivitas negara-negara maju yang saling

berebut peran dalam kancah drama dunia dengan tujuan mendapatkan segala kekayaan

alam yang tersedia di muka bumi. Dan yang terparah dari apa yang mereka hasilkan

dengan industrialisasi yang dimulai sejak revolusi Industri adalah kerusakan dan

pencemaran alam yang tidak bertanggung jawab sebagai ekses negatif dari apa

anthroposentrisme yang telah mendarah daging dalam diri orang-orang Barat. Tidak ada

lagi kembalinya tanggung jawab yang diemban, karena Tuhan telah ditiadakan,

menjadikan manusia-manusia modern bertindak sesuka hati memperlakukan alam ini.

Dan kini sepertinya ada semacam kesadaran semu, bahwa alamlah tempat kembali

tanggung jawab itu ada. Katakutan pada bencana alam membuat manusia mengalami

Page 16: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 16

krisis spiritualitas lupa pada siapa mereka bergantung. Ketakutan yang mereka ciptakan

sendiri akhirnya sedikit menyadarkan mereka.

Perilaku yang diadopsi dari Barat akibat faktor kapitalisme tanpa menyadari

dampak yang bisa ditimbulkan dari pemikiran tersebut. Eksploitasi terhadap alam yang

dilakukan oleh manusia modern sekarang ini,kita bisa mengambil contoh di negara kita

sendiri, sekarang banyak sekali terjadi bencana-bencana alam yang tak lain terjadi karena

ulah manusia. Penebangan illegal logging (hutan secara liar, untuk membuka

perkebunan-perkebunan baru, atau mengambil kayunya), pertambangan hasil-hasil bumi

yang tidak lagi memperhatikan keseimbangan ekosistem lingkungan hidup. Kasus

pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, lumpur Lapindo, tambang timah di

Bangka Belitung, pertambangan di PT. Freeport, dan masih banyak kasus kerusakan

alam yang disebabkan ulah manusia yang hanya memandang segala sesuatunya dari segi

ekonomisnya.

Jika kita mampu mengendalikan diri dalam mengolah hasil-hasil alam,

kerusakan-kerusakan ekosistem bisa diminimalisir sehingga alam akan lebih bersahabat

dengan kita. Namun yang sekarang terjadi manusia modern lebih memandang segala

sesuatunya itu dari segi ekonomis yang menguntungkan tanpa menggunakan nilai-nilai

religius yang ada dalam keyakinannya masing-masing. Tanpa menghadirkan Tuhan

dalam kehidupannya seolah-olah manusia modern terjebak dalam perangkap yang

mereka buat sendiri. Jika kita memandang masalah ini dalam kacamata Islam sebagai

agama mayoritas yang kita anut, maka sudah saatnya kita merenungkan setiap kesalahan-

kesalahan yang terjadi dewasa ini.

Ketika Barat telah berhasil menciptakan sebuah peradaban fisik yang luar

biasa kemajuannya, dunia Islam mengalami titik balik kemajuan dengan segala bentuk

keterbelakangan yang dideritanya. Dan lebih khususnya lagi seorang dengan identitas

Page 17: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 17

Islam akan benar-benar dihadapkan dengan berbagai permasalahan terkait dengan

modernisme yang kiat menggerus identitas keislamannya. Saat ini perubahan destruktif

telah melanda dunia Timur termasuk Islam yang ada di dalamnya. Modernisme bergerak

terus dan semakin menipiskan hal-hal yang bersifat spiritual di dunia Timur, sedangkan

Barat tidaklah begitu menerima dampak buruk modernisme kecuali krisis identitas dan

ancaman bencana alam, dan untuk yang kedua ini tentu di manapun manusia berada tentu

juga terancam dengan keberadaan ancaman amukan alam yang mulai memanas.

Selain itu dunia Timur tidak pernah belajar dari kesalahan yang telah ada di

Barat, atau memang tidak mampu melihat itu sebagai kesalahan, karena sudah menjadi

ciri modernisme yang begitu menjanjikan keindahan. “Seharusnya Timur menjadikan

Barat sebagai sebuah studi kasus, tetapi tidak sebagai teladan yang harus ditiru secara

mentah-mentah.”. Saya setuju dengan pendapat dari Hossein Nasr, kita tidak seharusnya

menerima secara langsung saja, apa yang ditemukan di dunia Barat, karena jelas sangat

berbeda dengan kita dunia Timur yang memiliki banyak sekali nilai-nilai yang harus di

junjung, baik itu agama, adat istiadat, kesopanan dan lainnya. Berbagai penemuan di

dunia Barat selayaknya kita pilah mana yang bisa diterapkan dan mana yang tidak,

sehingga tidak terjadi yang seperti sekarang ini. Kebanyakan kita hanya menjadi

pemulung teori-teori Barat tanpa bisa menemukan teori-teori baru yang tentunya lebih

relevan dengan budaya Timur kita.

Suatu gambaran yang menunjukkan realitas kehidupan modern dimana

menghadapi dunia yang mengecewakan, karena sulit untuk menyesuaikan diri dengan

keadaan hidup sehari-hari. Manusia modern hidup dalam sebuah dunia sosial yang terdiri

dari nilai-nilai yang berat sebelah dan bertentangan yang tidak dapat memberikan suatu

kepastian akhir kehidupan. Manusia modern dihadapkan pada tanggung jawab dan

pilihan di antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.

Page 18: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 18

DehumanisasiIlmu Pengetahuan

Keberadaan teknologi sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan

yang diciptakan manusia, menurut Heidegger bahwa manusia berada dalam kungkungan

sistem teknologi yang telah diciptakannya, tanpa disadarinya. Teknologi modern

mengembangkan diri dan memiliki kecederungan untuk menempatkan dirinya sebagai

pusat kegiatan. Manusiapun tidak dapat melepaskan diri dari kondisi seperti itu dalam

pengertian bahwa manusia seakan – akan terlempar atau terjebak dalam sebuah cara

pandang instrumental teknologi (produk ilmu pengetahuan). Manusia tidak lagi menjadi

manusia yang bebas sesuai dengan predikatnya sebagai manusia rasional. Dalam

perspektif seperti ini dunia tidak pernah menjadi sesuatu yang dapat menjadi dirinya

sendiri dan dapat didekati dengan cara reciprocal care.

Heidegger merumuskan bahwa semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi

maka manusia akan semakin menguasai alam dan manusia tidak lagi akan mampu

menguasai akibat – akibat yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi

(Mikhael Dua, 2011: 63). Manusia semestinya merupakan subyek moral yang seharusnya

bertanggungjawab terhadap seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

namun manusia tidak mampu mengontrol proses revealing teknologi, dimana realitas

teknologi dapat menampakkan dirinya. Produk ilmu pengetahuan menyebabkan kita

terjebak dalam jejaring teknologis yang mengontrol tingkah laku dan tindakan –

tindakan manusia, yang oleh Herbert Marcuse dalam bukunya One Dimensional Man

disebut sebagai produk pengetahuan menjadi sebuah miliu yang menentukan bagaimana

peradaban sebuah masyarakat akan dibangun.

Manusia memang diberi pengetahuan oleh Tuhan, yang mengejawantah

kemudian dalam bentuk ilmu pengetahuan. Kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan

setiap orang tidaklah sama. Alasan ini dapat diterima karena manusia memiliki latar

Page 19: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 19

belakang pendidikan dan pengalaman yang berbeda-beda. Dengan latar belakang inilah

maka manusia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dalam proses yang

sangat sederhana yang dapat dilihat dalam perkembangan sejarah manusia secara alami,

maupun pada orang-orang yang lebih disebut dengan kaum intelek yang sengaja

membawa misi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. (T. Jacob, 1996: 5)

memaparkan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan, suatu kegiatan

manusia untuk mengetahui tentang diri sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk

mengenal manusia sendiri, perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya,

mendorong atau mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh

darinya, perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan,

menghindari dan mengendalikannya.

Bagian pengenalan merupakan dasar yang diperlukan oleh bagian tindakan,

sehingga terdiferensiasilah ilmu dasar dan ilmuterapan. Ilmu terapan lebih dapat dilihat

hasilnya dan dapat dirasakan oleh siapapun juga, entah itu bermanfaat atau tidak,

menguntungkan atau justru merugikan (berdampak negatif). Maka dalam permasalahan

ini muncul perbedaan pendapat mengenai kenetralan dan keobjektifan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Untuk itu diperlukan adanya hukum, adat, agama, dan etika untuk

mengendalikanilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan berkembang seiring

dengan usia manusia, artinya ilmu pengetahuan baru akan berhenti tatkala manusia sudah

tidak ada, karena hanya manusia yang diberi ilmu. Dalam perkembangannya, ilmu

pengetahuan berkembang mengikuti misi si pengembang, atau lebih dikenal kemudian

dengan sebutan para ilmuwan. Sebenarnya setiap manusia mampu menciptakan ilmu,

tetapi kenyataan praktis secara implisit manusia hanya mengakui hasil pengetahuan yang

diciptakan oleh para ilmuwan. Artinya, yang mendapat pengakuan adalah pengetahuan

ilmiah dan pengetahuan non ilmiah yang sudah dinobatkan sebagai ilmu pengetahuan

Page 20: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 20

yang sah. Maka ilmu pengetahuan kemudian dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu

kelompok ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial.

Ilmu sebagai hasil aktivitas manusia yang mengkaji berbagai hal, baik diri

manusia itu sendiri maupun realitas di luar dirinya, sepanjang sejarah perkembangannya

sampai saat ini senantiasa mengalami ketegangan dengan berbagai aspek lain dalam

kehidupan manusia (Tjahyadi S., 1996: 125). Dalam prakteknya orang senantiasa

memperbincangkan hubungan timbal-balik antara ilmu dan teknologi. Dalam dataran

nilai, polemik yang muncul justru lebih kompleks, karena hal itu berhubungan erat

dengan kedudukan dan peran ilmu dan teknologi dalam perubahan peradaban manusia,

baik yang berhubungan dengan pergeseran nilai maupun dampak dari perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap komponen-komponen pengetahuan manusia

yang lain. Kerapkali munculnya polemik antara terjadinya gejala marginalisasi

(penggeseran) nilai maupun aspek pengetahuan menjadi lain apabila dihadapkan dengan

kebenaran ilmiah. Bukan itu saja, ternyata bila diadakan pengujian terhadap kebenaran

ilmiah dengan parameter teknologi mutakhir, maka hasil yang dicapai dengan yang

diharapkan akan berbeda. Meluas dan meningkatnya peran “ilmu” dan “teknologi” tidak

dipungkiri telah membawa keterasingan (alienasi) manusia dari dirinya sendiri dan

masyarakat, atau yang oleh Herbert Marcuse dalam Sudarminta, (1983: 121-139) hal ini

mengantar manusia pada suatu kondisi yang berdimensi satu. Dimensi satu itu

dimaksudkan adalah dimensi teknologis, yang dapat dilihat dalam kehidupan sosio-

budayanya. Manusia dan kebudayaannya telah “dikuasai” oleh ilmu dan teknologi.

Apakah dengan ini maka ilmu telah menghilangkan kemanusiaan dan otonomi manusia?

Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, para ilmuwan mengambil objek

material sesuai dengan kebutuhan. Hasil terapan pengembangan ilmu pengetahuan lalu

disebut dengan teknologi. Bahkan dalam kesejarahan, abad modern ini dikatakan sarat

Page 21: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 21

dengan teknologi, karena para ilmuwan berlomba-lomba mengembangkan ilmu

pengetahuannya. Pengembangan ini dilakukan semata-mata memecahkan masalah

kehidupan dan memenuhi kebutuhan manusia. Dahulu manusia dengan kepercayaan

bahwa Tuhan telah menguasai dan mengatasi alam semesta. Manusia bisa menciptakan

apa saja dari objek alam. Manusia bisa sampai ke bulan dengan teknologi. Sekarang

dengan adanya teknologi, manusia yang dulunya menjadi subjek (pelaku) pengembangan

ilmu pengetahuan, dirinya telah menjadi objek bagi kegiatannya itu. Kebudayaan ini

menandakan bahwa telah terjadi pergeseran nilai dalam hidup manusia. Manusia telah

menjadi korban teknologi. Kebanyakan manusia telah terjerumus ke dalam lubang yang

telah dibuatnya sendiri. Apakah memang tuntutan jaman manusia harus mengalami

demikian, atau ini merupakan isyarat bahwa mulai nampak keserakahan manusia? .

Bukan berarti menakut-nakuti para awam, bahwa manusia merupakan korban

teknologi. Teknologi diciptakan dengan tendensi memenuhi kebutuhan manusia, tetapi

ketika para ilmuwan berusaha mewujudkannya, teknologi justru membawa dampak

keresahan dan bayangan kehancuran hidup manusia, bahkan teknologi tidak jarang mulai

menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan murni. Maka benar bila dikatakan bahwa

teknologi menciptakan dehumanisasi. Kalau demikian maka betapa kejamnya yang

dinamakan teknologi tersebut. Kalau terjadi sesuatu terhadap alam sebagai akibat yang

ditimbulkan teknologi, manusia masih bisa tenang. Namun ketika nilai-nilai vital dalam

hidupnya mulai terusik, maka manusia respek terhadap gejala tersebut. Manusia tidak

mau kehilangan kemanusiaannya. Tapi yang menciptakan teknologi tidak lain adalah

manusia sendiri, maka mana yang harus dituding sebagai biang penyimpangan ini.

3. Jelaskan urgensi dan implementasi pribumisasi (indigenousasi) Ilmu Sosial pada aras

Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi.

Jawaban

Page 22: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 22

a. Landasan Ontologi Pribumisasi Ilmu Sosial

Kajian pribumisasi ilmu sosial beraras ontologis maksudnya adalah kajian

mengenai sifat dasar dari kenyataan ilmu – ilmu sosial Indonesia, hal ini

dikarenakan bahwa dominasi pengaruh Ilmu – Ilmu Sosial Eropa atau Amerika

terhadap perkembangan Ilmu – Ilmu Sosial di Asia termasuk Indonesia dirasakan

dalam kurun waktu yang telah lama, bahkan sejak sebelum kemerdekaan. Kondisi

ini mengkaibatkan perkembangan ilmu – ilmu sosial di Indonesia khususnya dan

Asia pada umumnya berada pada keadaan yang tergantung pada dinamika Barat

(captive mind), hal ini tentu menimbulkan keprihatinan yang mendalam pada

praktisi ilmu bidang ilmu – ilmu sosial (Nasiwan, 2012).

Stagnasi ilmu – ilmu sosial ini menjadi pemicu bagi intelektual Asia –

Indonesia untuk mengembangkan kajiannya. Untuk Merealisasikan keinginan

tersebut pada tahun 1970-an Ismail Raji Al-Faruqi menyampaikan ide – ide tentang

Islamisasi Ilmu – Ilmu Sosial Kontemporer. Langkah ini mendapat dukungan dari

Naquib Al-Attas yang juga mendorong dilakukannya Islamisasi ilmu – ilmu secara

luas dengan memasukkan unsur-unsur Islam dalam ilmu – ilmu komtemporer.

Hal penting yang menjadi pandangan dua intelektual ini, Ismail Raji Al-

Faruqi dan Naquib Al-Attas adalah :

1) Pengamatannya mengenai fenomena kebiasaan ilmuwan Asia yang

menggunakan kaidah – kaidah Barat seperti metode, analisis, deskripsi,

eksplanasi, generalisasi, konseptuaslisasi dan intepretasi.

2) Ilmuwan Asia – Indonesia telah berusaha untuk keluar dari kungkungan

kebergantuan intelektual Barat, tetapi usaha yang dilakukannya belum

terstruktur, melembaga dan sistematis.

Page 23: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 23

3) Membangun suatu diskursus alternatif ilmu – ilmu sosial di luar arus besar

diskursus Ilmu – Ilmu Sosial Barat.

Menurut Syed Farid Alatas tingkat ketergantungan akademis di Asia

dipandang pararel dengan tingkat ketergantungan ekonomi. Tingkat ketergantungan

akademis itu diantaranya kebergantungan pada :

1) gagasan

2) media gagasan

3) teknologi pendidikan

4) bantuan riset dan pengajaran

5) investasi pendidikan

6) ketrampilan

Prof. Kuntojoyo menjadi pionir bagi intelektual Indonesia yang berani

melakukan gugatan akademis Barat. Hal yang telah dilakukannya adalah dengan

membuka pemikiran pentingnya Ilmu Sosial Profetik. Kemudian ditindaklanjuti

dengan hal yang bersifta praksis. Melalui prophetic education ini diyakini mampu

melahirkan perspektif teoritis yang sesuai dengan konteks keindonesiaan / ketimuran

sehingga dominasi intektual barat terhadap ilmu – ilmu sosial dapat dikurangi

bahkan sampai taraf zero influence.

Kemunculan pemikiran indigenousasi ilmu sosial mestinya menjadi inspirasi

bagi akademisi / ilmuwan ilmu sosial untuk dapat mewujudkan terjadinya

transformasi yang tak terbatas tidak hanya pada tataran pemikiran khususnya bagi

pada pendidik – guru, untuk dapat merealisasikan terjadinya transformasi

masyarakat Indonesia. Aktivitas sosial yang memiliki kesadaran bahwa ilmu adalah

merupakan instrumen sangat dahsyat bagi transformasi bukan revolusi sosial. Semua

Perubahan berawal dari ide – ide gemilang, kata – kata, diskusi – diskusi, forum –

forum ilmiah. Dari kondisi inilah keinginan yang memisahkan diri dari

ketergantungan dominasi Barat dalam ilmu – ilmu sosial dapat segera direalisasikan.

Page 24: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 24

1) Urgensi Pribumisasi Ilmu Sosial

Pribumisasi ilmu di Indonesia merupakan hal yang sangat penting

dilakukan karena berbagai alasan yang mendasarinya.Pertama,selama ini ilmu-

ilmu yang berkembang dan diterapkan di Indonesia merupakan hasil contekan

atau tiruan dari teori-teori Barat dan daerah luar Indonesia yang secara nyata

bisa saja teori tersebut tidak sesuai dengan realitas dan problematika yang

terjadi di Indonesia yang terkenal plural dan senantiasa memegang tradisi

sebelumnya.Ketidaksesuaian tersebut bila terpaksa diterapkan malah akan

menimbulkan suatu masalah baru yang kompleks dan sulit

dikendalikan.Sehingga peminjaman teori dari luar tidak memecahkan masalah

yang terjadi malah semakin menambah beban masalah yang harus

diselesaikan.Kedua,adanya penyalahgunaan fungsi utama teori-teori yang

berkembang dalam masyarakat sebagai upaya untuk hegemoni kekuasaan dan

upaya politis penguasa dalam hal pembangunan nasional bangsa, sedangkan

pembangunan nasional yang dijalankan pada hakikatnya sebagai upaya

kesejahteraan rakyat yang merupakan hak setiap warga negara. Maka

penyalahgunaan makna ilmu sebagai upaya hegemoni tersebut diterapkan akan

berakibat fatal bagi perjalanan eksistensi suatu bangsa dalam hal kesuksesan

pencapaian pembangunan nasional.

Ketiga,pribumisasi diperlukan sebagai langkah emansipasi dan

nasionalisasi ilmu pengetahuan yang bersifat keindonesiaan yang sesuai dengan

pribadi masyarakat Indonesia pada umumnya.Keempat,pribumisasi ilmu

diperlukan sebagai cerminan pemikiran posisi Indonesia sebagai Negara

Ketiga yang mampu mandiri dalam bidang akademis untuk menjawab tantangan

globalisasi yang berkembang di berbagai belahan dunia tanpa dibayang-bayangi

Page 25: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 25

pengaruh kolonialisasi bangsa lain yang diharapkan bisa membentuk ilmu

sosialnya sendiri berdasarkan temuan lokal,diorganisasikan menurut cara

penjelasan setempat atau interpretasi berdasarkan pemikiran pemikiran pribumi.

2) Implementasinya Pribumisasi Ilmu Sosial

Implementasi pribumisasi ilmu sosial dalam kasanah Indonesia mestinya

diformulasikan kepada Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai

indikator realitas keindonesiaan. Inti dari Bhinneka Tunggal Ika itu adalah

pengakuan terhadap keanekaragaman dan adanya kesatuan di antara keanekaan

tersebut. Keanekaan dan kesatuan tidak dapat dipisahkan, tidak ubahnya dengan

sekeping mata uang pada kedua belah sisinya. Keanekaragaman merupakan

kenyataan obyektif, sedangkan kesatuan merupakan formulasi subyektif yang

bertitik tolak dari keanekaragaman. Bhinneka Tunggal Ika merupakan yang

tidak terbantahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu,

Bhinneka Tunggal Ika dapat dijadikan ciri fundamental landasan implemantasi

bagi pribumisasi ilmu – ilmu sosial di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara dalam ajarannya : ing ngarso sung tuladha (di depan

memberi teladan), ing madya mangun karso (ditengah memberi semangat), dan

tut wuri handayani (dibelakang memberi dorongan) adalah bentuk nyata

pribumisasi dalam bidang pendidikan. Implementasi lain dari pribumisasi ilmu

sosial bahwa penelitian, pengembangan dan penemuan – penemuan teoma baru

haruslah didasarkan pada : Pertama, asas dan sumber ada (eksistensi)

kesemestaan adalah Tuhan Yang Maha Esa, artinya ontologi ketuhanan religius

yang bersifat supranatural dan transendental, yang dihayati subyek budi nurani

(keyakinan iman) yang suprarasional. Kedua, alam semesta (Makrokosmos

Page 26: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 26

sebagai ada tidak terbatas. Ketiga, adanya subyek pribadi manusia, individu,

nasional dan umat manusia. Keempat, eksistensi tata budaya sebagai

perwujudan unggul. Kelima, subyek manusia Indonesia sendiri.

Oleh karena itu, pemribumian ilmu sosial di Indonesia menempatkan

realitas manusia dan masyarakat dipahami sebagai kenyataan yang plural,

namun sekaligus ada kerinduan untuk memahaminya sebagai suatu kesatuan

yang organis. Manusia Indonesia dalam kajian keilmuan sebagai usaha

pengembangan teoma ilmu pengetahuan dipandang sebagai manusia

monopluralis yang terdiri dari kodrat, sifat kodrat, dan kedudukan kodrat.

Susunan sifat kodrat manusia terdiri atas unsur jiwa dan raga. Sifat kodrat

manusia terdiri atas unsur manusia, baik sebagai makhluk individu maupun

makhluk sosial, manusia sebagai pribadi sekaligus sebagai makhluk Tuhan.

Itulah sebabnya implementasi pribumisasi ilmu – ilmu sosial harus

bersumberkan pada martabat dan potensi manusia Indonesia sendiri dengan

mengedepankan pandangan, filosofi dan kultur budaya serta setting ketimuran

yakni Pancasila sebagai landasan idiilnya. Meski sayangnya belum banyak

konsep dan teori seperti ini yang khas dengan realitas pribumi. Untuk ilmuwan -

ilmuwan sosial perlu terus di dorong untuk aktif dan konsisten dalam upaya

pribumisasi ilmu-ilmu sosial, sehingga akan lahir konsep dan teori yang

bersumber dari realitas sosial masyarakat.

b. Landasan Epistemologi Pribumisasi Ilmu Sosial

Maksud dari landasan Epistemologi dalam kajian pribumisasi ilmu sosial di

Indonesia adalah pembahasan mengenai hakikat ilmu pengetahuan khususnya

Page 27: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 27

hakekat ilmu sosial. Hal ini bermakna bahwa dasar – dasar pemikiran filosofis

mengenai hakikat pengetahuan yang menjadi landasan pemikiran pribumisasi ilmu

sosial.

Problematik fundamental epistemologi, menurut Harold H. Titus dalam

Heri Santoso (2003 : 74) ada 3 (tiga) yaitu 1). Apakah sumber – sumber

pengetahuan itu ?, dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana

mengetahuinya ? 2). Apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Ini merupakan persoalan

tentang apa yang kelihatan (phenomena), dan 3). Apakah pengetahuan yang benar

itu (valid) ? Bagaimana cara membedakan yang benar dan salah ? Ini merupakan

persoalan pengujian kebenaran atau verifikasi.

The Liang Gie (Heri Santoso, 2003 : 74) berpendapat bahwa epistemologi

merupakan penyelidikan filsafati terhadap pengetahuan, khususnya tentang

kemungkinan, asal mula, validitas, batas, sifat dasar, dan aspek pengetahuan lain

yang berkaitan. Sumber kajian ilmu terdiri atas 4 (empat) hal yaitu otoritas, empiris

(pengalaman) rasio, intuisi dan wahyu.

Problematika mendasar dalam metode epistemologi pribumisasi ini adalah

metode apa yang yang digunakan oleh para pemikir ilmu sosial untuk mewujudkan

hakikat ilmu sosial dengan sifat pribumi yang memiliki validitas kebenaran. Secara

umum ada 2 (dua) metode ilmiah yaitu metode analitik sintesa dan metode

nondeduksi. Metode analitik sintesa merupakan gabungan metode analisis dan

sintesa. Metode nondeduksi merupakan penerapan secara bergantian antara metode

induksi dan deduksi. Perkembangan ilmu dalam pandangan epistemologi bahwa

ilmu itu lahir, tumbuh dan berkembang dalam sosio-historis, kultural dan geografis

tertentu dengan memperhatikan metode yang digunakannya. Oleh karena itu,

Page 28: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 28

pemikir indigenousasi ilmu sosial Indonesia harus bercirikan prinsip Bhinneka

Tunggal Ika.

1) Urgensi Pribumisasi Ilmu Sosial

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa landasan epistemologi adalah

keinginan untuk mengetahui hakikat kebenaran suatu ilmu pengetahuan, maka

dalam bahasan ini akan dikupas urgensinya dari pribumisasi ilmu – ilmu sosial.

Sumber pengetahuan pribumisasi ilmu sosial di Indonesia adalah

Pancasila dengan prinsip – prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yaitu pertama,

keyakinan tentang keberadaan Tuhan. Tuhan dianggap sebagai Mahasumber

pengetahuan, sementara manusia sebagai subyek tahu diberkati dengan

martabat luhur yang tinggi seperti panca indra, akal, rasa, karsa, cipta dan budi

nurani. Kedua, secara teoritis teknis sumber pengetahuan dibedakan secara

kualitatif bertingkat antara lain : (1) Sumber Primer, yang tertinggi dan terluas,

orisinal, lingkungan alamiah, semesta, sosio – budaya, sistem kenegaraan dan

dinamikanya. (2). Sumber Sekunder, bidang ilmu yang sudah ada / berkembang,

kepustakaan, dokumentasi dan (3) Sumber Tersier, cendekiawan, ilmuwan, ahli,

nara sumber dan guru. Namun yang paling esensial adalah penerimaan wahyu

sebagai sumber kebenaran.

Paradigma epistomologi dalam pribumisasi ilmu sosial adalah

rasionalisme yang berpijak pada landasan institusi spiritual, empirisme yang

berpijak metaempirisme atau dunia ghoib, berpegang pada etika agamawi yang

dapat dijabarkan dalambentuk ideologi dalam batas – batas konsensus sosial,

sikap obyektif partisipatif, berpindah dari aspek holistik menuju aspek parsial

disipliner, agama menjadi satu dengan sains, sains mulai dengan keyakinan

agamawi, sains menegakkan verifikasi kebenaran agamawi, asas konsistensi

Page 29: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 29

logika berpijak pada asas kemutlakan dan kemampuan sains terbatas karena

pengenalan diri dalam arti spiritual tidak dapat dijangkau melalui metodologi

sain tetapi dengan ritus agamawi (Heri Santoso, 2003 : 78)

Pandangan KH Said Agil Siraj, mengatakan bahwa pribumisasi ilmu

pengetahuan di Indonesia sudah saatnya dilakukan. Ilmu pengetahua yang

diperoleh dari dari luar digali secara epistemologi, kemudian dilakukan

pembaharuan bahkan penemuan baru. Langkah pribumisasi ilmu pengetahuan

ini mesti dilanjutkan untuk menemukan teori – teori baru baik di bidang sosial,

humaniora maupun eksak.Ini menunjukkan bahwa manusia dan bangsa

Indonesia belum memiliki komitmen dan intensitas yang kuat untuk menjadikan

Pancasila dan kebudayaan luhur Indonesia untuk dikembangkan dalam tataran

pendidikan di semua jenjangnya.

Komitmen ini penting sebagai salah satu usaha pribumisasi ilmu

pengetahuan. Salah satu penyebab komitmen ini belum tampak adalah adanya

ketidakpercayaan diri atau penyakit suka kalau segala sesuatunya dihubungkan

dengan yang bersifat asing (xenofilia). Kita patut tergerak / tergelitik dengan

ungkapan intelektual Korea, Koh Young Hun, yang mengatakan Korea saja

bisa, Apalagi Indonesia. Ini mestinya mendorong semua komponen bangsa

untuk berpartisipasi diri mewujudkan tegaknya ilmu pengetahuan yang berpijak

pada unsur dan kearifan lokal yang multikultur ini menjadi tuan di negerinya

sendiri.

Page 30: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 30

2) Implementasinya Pribumisasi Ilmu Sosial

Implementasinyabahwa hakikat pribumisasi ilmu sosial dalam kasanah

Indonesia menempatkan Pancasila danBinneka Tunggal Ika sebagai inti sumber

hakikat kebenarannya. Pengetahuan memiliki tingkatan – tingkatan yaitu

pertama pengetahuan sehari – hari, kedua pengetahuan yang lebih tinggi yang

disebut ras sejati, waskita, sumurup, pangesti, ngelmu, wiweka dan waspada,

dan ketiga pengetahua mistis seperti sunyata, prajna, lerem, makrifat, sirno,

llang. Ketiga pengetahuan tersebut saling berhubungan timbal balik.

Pengetahuan sehari – hari cenderung bersifat klasifikasi dan totalisasi

sehingga batas obyek yang diketahui diperluas. Pengetahuan yang mengatasi

pertemuan antara subyek dan obyek lebih merupakan pengalaman hakikat,

disertai makna dan partisipasi dalam nilai hakikat itu. Unsur kognitif tidak

ditolak tetapi dibatasi oleh isyarat yang merupakan batu loncatan dalam

pemahaman arti alam bagi jalan hidup. Pemahaman ini menghanguskan

kegelapan jiwa dan mnyatukan manusia dengan alam raya. Tujuan pengetahuan

bukan teoritis melainkan peningkatan keinsyafan kedudukan manusia dalam tata

alam. Tata alam itu berdimensi luas dan berarah. Dimensi arah dari tata alam

yang dihayati manusia memberi petunjuk untuk mengambil sikap dan karya

sendiri sesuai dengan hakikat. Pengetahuan itu bersifat per definitionem

inkomunikabel dan kesadaran diri tanpa obyek yang bila diungkapkan justru

tampak paradoks, seperti “tapaking kuntul nglayang, kodok ngemuli elenge,

gumeder swaraning sepi”.

Cara menghadapi kenyataan tanpa dualitas subyek dan obyek ini

merupakan aliran khusus dalam alam pikiran Indonesia. Oleh karenanya

paradigma ilmu sosial pribumi menempatkan ilmu sosial – yang merupakan

Page 31: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 31

bagian dari pengetahuan ilmiah – dalam jenjang tertentu yaitu di atas

pengetahuan sehari – hari, namun di bawah filsafat, mistik dan pengetahuan

religius. Ilmu sosial hanyalah salah satu diantara banyak jenis pengetahuan dan

pengetahuan dalam wacana pemikiran pribumi hanyalah salah satu unsur

kebudayaan. Dengan demikian ilmu sosial hendaknya dipahami dalam konteks

kebudyaan secara utuh.

Persoalan pribumisasi ini apakah tidak menyebabkan ilmu sosial menjadi

partikulatif naif, karena sebenarnya sifat dasar ilmu adalah bersifat universal.

Upaya pribumisasi akan menemukan keunikan dan kekhasan yang digarap oleh

ilmu sosial. Jawaban atas pertanyaan ini adalah (1)) Metode ilmu sosial itu

bersifat universal artinya ilmu sosial tidak tergantung pada apa, siapa, kapan,

dan dimana dikembangkan. (2) klaim universalisme ilmu sosial itu bersifat naif,

karena ilmu sosial tumbuh dan berkembang untuk menjawab problematika yang

sedang dihadapi masyarakat. Universalitas tidak harus mengorbankan unsur

keunikan suatu budaya. Ini berarti bahwa universalitas dan partikulatif bukanlah

suatu yang harus dipsiahkan. Partikularitas ada dalam kenyataan, sementara

universalitas ada dalam gagasan dan cita – cita. Kelahiran pemikiran

pribumisasi atau ilmu sosial pribumi tidak akan mengurangi universalitas ilmu,

tetapi justru universalitas itu ada karena ada partikularitas atau keunikan

tersendiri. Ilmu sosial pribumi merupakan aktualitas dari aspek – aspek

universalitas ilmu tanpa harus mengabaikan aspek – aspek keunikan suatu

masyarakat dengan kekhasan budayanya.

Page 32: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 32

c. Landasan Aksiologi Pribumisasi Ilmu Sosial

Aksiologis secara etimologis berasal dari kata axios yang berarti nilai, dan

logos yang berarti ilmu. Jadi aksiologis dapat diartikan sebagai ilmu atau teori yang

mempelajari hakikat nilai. Landasan aksiologis yang dimaksud adalah pandangan

tentang nilai yang mendasari asumsi – asumsi ilmu sosial yaitu nilai obyektif dan

subyektif, metode untuk memperoleh nilai dan wujud dari nilai itu sendiri.

1) Urgensinya

Nilai yang ingin dibangun dalam pribumisasi ilmu sosial di Indonesia

mesti diarahkan nilai yang merupakan hasil interaksi antara subyek dengan

obyek yang keduanya tidak dipisahkan. Meskipun kita harus menyadari bahwa

diluar terdapat dua arus besar metode dalam memperoleh nilai yaitu

subyektivitas yakni subyeklah yang menentukan kulaitas nilai dan obyektivitas

maksudnya nilai tergantung pada fakta yang obyektif dan tidak boleh

dimanipulasi oleh subyek (Heri Santoso, 2003 : 85).

Netralitas ilmu dalam kajian aksiologis menjadi persolan tersendiri

dalam upaya mewujudkan pribumisasi. Anggapan bahwa ilmu sosial itu bebas

nilai mengacu pada gejala yang ditunjukkan oleh ilmu alam dengan

mengedepankan hukum – hukum alam yang obyektif terhindar dari campur

tangan kepentingan manusia. Ilmu sosial hendaknya juga seperti itu, postulat –

postulanya mesti dapat diterapkan oleh siapa saja, di mana saja dan kapan saja

secara obyekif. Tetapi pandangan lain menegaskan bahwa ilmu pada dasarnya

khususnya ilmu sosial, tidak mungkin dilepaskan dari nilai. Ilmu tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat, yang mau tidak mau tentu terkait dengan nilai.

Ilmu dengan demikian tidak bebas nilai. Bahkan pandangan ini lebih tegas

menyatakan bahwa ilmu pada dasarnya dikembangkan atas kepentingan, ilmu

Page 33: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 33

sosial dimaksudkan dibangun demi kepentingan kritis antisipatoris bukan demi

kepentingan teknis.

Terkait dengan urgensi pribumisasi ilmu sosial pada landasan aksiologis

bahwa wujud nilai yang mesti menjadi acuan bagi pengembangan ilmu – ilmu

sosial adalah berdasarkan pada unsur – unsur nilai budaya luhur Indonesia

sendiri. Akan sangat naif apabila postulat yang dijadikan pegangan ilmiah

diambilkan dari wujud nilai asing yang tidak selaras dengan kondisi riil di

Indonesia.

2) Implementasinya

Prinsip Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan pengakuan terhadap

pluralitas, namun ada kerinduan menyatukan dalam pandangan komprehensif

dan proporsional. Kerangka berfikir Bhinneka Tunggal Ika inilah yang

dijadikan cara pandang untuk memecahkan berbagai problema aksioma yang

ada dalam kehidupan dan pengembangan ilmu sosial di Indonesia.

Contoh adalah pandangan paradigma ilmu sosial pribumi dalam

menjawab problema nilai obyektif dan subyektif. Paradigma ilmu sosial

pribumi memandang nilai obyektif dan subyektif diakui keberadaan dan

kebenarannya, namun secara hakiki keduanya merupakan satu kesatuan yang

tidak terpisahkan, merupakan pasangan bukan lawan atau berlaku hukum paritas

antar keduanya.

Nilai obyektif lebih tepat untuk memaknai fenomana faktual dan

empirik, sementara nilai subyektif lebih tepat untuk memaknai pengalaman

batin dan metaempirik. Kebhinnekaan terletak pada pengakuan andanya nilai

Page 34: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 34

obyektif dan subyektif. Keekaan terletak pada pemahaman bahwa keduanya

merupakan pasangan yang tidak terpisahkan, keduanya saling menegasikan.

Problema netralitas nilai dalam perspektif paradigma ilmu sosial pribumi

bahwa ilmu sosial tidak mungkin dilepaskan dari nilai. Argumentasinya adalah

ilmu sosial pertama tumbuh dan berkembang dalam satu kerangka budaya yang

lekat dengan pertimbangan nilai. Fenomena kemasyarakatan dalam kajian ilmu

sosial berbeda dengan fenomena fisik yang bersifat mekanik. Ilmuwan sosial

tidak dapat steril dari nilai dalam melakukan aktivitas ilmiahnya. Oleh

karenanya ilmu sosial harus membatasi muatan emosional dengan menekankan

muatan rasional dalam memutuskan suatu masalah. Tujuan ilmu sosial adalah

menjelaskan, meramalkan dan mengontrol fenomena sosial untuk tujuan

kemaslahatan umat manusia. Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk

diamalkan dan demi kesejahteraan manusia.

Saatnya kini ilmuwan Indonesia untuk menghilangkan rasa tidak percaya

diri dan xenofilia untuk menuju Indonesia Emas. Indonesia yang dalam teori

pembangunannya menuju pada pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak

ahistori, penyebabnya adalah mengembangkan pengetahuan yang berbasis sudut

pandang masyarakat sendiri akan dapat mengembangkan teori – teori

pembangunan yang mempunyai akar sejarah kuat dalam masyarakat. Selain itu

proses indigenousasi juga akan membebaskan masyarakat dari penunggalan

kebenaran, karena akan menjadikan proses pembangunan menjadi tidak

seragam dan akan sesuai dengan kondisi lingkungan, politik, ekonomi dan

masyarakat setempat.

Pengembangan perspektif masyarakat asli dalam pembangunan juga

akan membawa pembangunan yang dijalankan adalah pembangunan yang bebas

Page 35: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 35

kontrol dan kendali kepentingan masyarakat Barat, karena pembangunan

berbasis pada kepentingan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan

pemikiran – pemikiran dari intelektual organik yang mau dan berkomitmen

untuk hidup dan mengembangkan pengetahuan yang ada dalam masyarakat

berbasis kearifan lokal yang multikultural.

Dalam hal ini kemudian penulis (Heri Santoso dan Listiyono Santoso)

mengartikan pribumisasi dalam 3 makna Implisit gerakan

priibumisasi,yaitu:Pertama,Pribumisasi merupakan sikap ketidakpuasan

terhadap ilmu sosial Barat yang dikembangkan di suatu kawasan,karena

dianggap tidak mampu menjelaskan dan memecahkan problem masyarakat yang

timbul.Kedua,Pribumisasi merupakan metode alternatif terhadap ketidakpuasan

ilmuwan atas dominasi ilmu sosial barat kepada ilmu sosial pribumi.Ketiga,Dari

kedua uraian diatas dapat dipahami bahwa makna terdalam pribumisasi adalah

pencarian identitas ilmu-ilmu sosial Indonesia di tengah-tengah komunitas ilmu

sosial lain.

Page 36: Filosofi ilmu dalam 3 kajian

Ujian Semester – Filsafat Ilmu PPs UNY – PIPS 2012 Page 36

DAFTAR PUSTAKA

Mikhael Dua. (2011). Kebebasan Ilmu Pengetahua dan Teknologi. Yogyakarta : Penerbit

Kanisius

Muhammad Adib. (2011). Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Heri Santoso & Listyono Santoso (2003). Filsafat Ilmu Sosial. Yogyakarta : Gama Media

H.M. Rasjidi. (1984). Persoalan – Persoalan Filsafat. Jakarta : Bulan Bintang.

http://paparisa.unpatti.ac.iddiakses pada 20 Agustus 2012

Jujun Sumantri. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan.

Nasiwan. (2012). Menuju Indigenousasi Ilmu Sosial Indonesia. Yogyakarta : Fistrans

Institute.

Purwadi. (2007). Filsafat Jawa dan kearifan lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Surajiyo. (2007). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.

Win Usuluddin Bernadien. (2011). Membuka Gerbang Filsafat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Titus, H.Harold., Smith S.M., & Nolan, T.R. (1984). Living issues in philosophy .

(Terjemahan H.M Rasjidi). Jakarta: Bulan Bintang (Buku asli diterbitkan tahun 1979).