Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

6
FILOSOFI GARIS IMAJINER YOGYAKARTA 1. Laut Selatan Lautan memiliki makna kosmologis sebagai tempat yang sangat luas dan merupakan gelombang dan dinamika masyarakat. Masyarakat adalah tempat manusia secara individual untuk ngangsu kawruh. Oleh karena itu laut dan dalamnya ilmu pengetahuan sering disebut denga idiom lautan ilmu. Dalam kaitannya dengan Keraton, seorang raja sebagai panutan dan Kalifatullah tentunya harus memiliki hubungan dan pemahaman yang sangat mendalam terhadap segara sebagai cerminan dinamika masyarakat dansegara sebagai lautan ilmu. Karena manusia yang telah disinari oleh ilmu dan Nur Illahi diharapkan mampu bejalan lurus mulai dari awal kehidupan (Panggung Krapyak) sampai kepada kehidupan yang langgeng dan kokoh (Gunung Merapi). Seorang raja dianggap menusia pilihan yang telah memiliki keserdasan untuk dapat menyerap lautan ilmu dan mencontohkan kepada seluruh masyarakat. 2. Panggung Krapyak – Keraton Secara simbolik Panggung Krapyak ini merupakan bagian awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis Sangkan Paraning Dumadi. Secara filosofis simbolis, menggambarkan alat kelamin wanita. Pertemuan antara Wiji (benih) yang digambarkan antara Pnggung Krapyak yang digambarkan sebagai yoni dengan Tugu Pal Putih sebelah utara keraton sebagai lingga yang melambangkan proses kelahiran manusia. Krapyak menurut kepercayaan Jawa khususnya keraton adalah tempat roh – roh. Roh suci yang atas perkenan Allah dihembuskan ke dalam calon bayi yang berada dalam kandungan sang ibu. Sebelah barat laut Panggung Krapyak terletak Kampung Mijen yang berasal dari kata Wiji sebagai bukti atas makna simbolik Panggung Krapyak. Di sepanjang jalan poros Panggung Krapyak ke utara pada zaman dahulu banyak ditumbuhi pohon Asem dan Tanjung. Pohon itu mempunyai makna dan pengertian nengsemake serta disanjung sanjung oleh lingkungannya. Anak yang berada dalam kandungan diharapkan mempunyai sifat – sifat tersebut. Dari selatan kemudian memasuki Benteng Keraton dan kawasan Alun – Alun Selatan. Di kiri kanan jalan utara gapura alun – alun terdapat dua pohon beringain yang disebut wok, dan ditengah terdapat dua beringin kurung yang diseput supit urang. Hal ini merupakan kiasan anggota badan manusia yang dirahasiakan. Di sekitar alun – alun

description

Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta dari Laut Selatan-Gunung Merapi

Transcript of Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

Page 1: Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

FILOSOFI GARIS IMAJINER YOGYAKARTA

1. Laut Selatan

Lautan memiliki makna kosmologis sebagai tempat yang sangat luas dan merupakan gelombang dan dinamika masyarakat. Masyarakat adalah tempat manusia secara individual untuk ngangsu kawruh. Oleh karena itu laut dan dalamnya ilmu pengetahuan sering disebut denga idiom lautan ilmu.

Dalam kaitannya dengan Keraton, seorang raja sebagai panutan dan Kalifatullah tentunya harus memiliki hubungan dan pemahaman yang sangat mendalam terhadap segara sebagai cerminan dinamika masyarakat dansegara sebagai lautan ilmu. Karena manusia yang telah disinari oleh ilmu dan Nur Illahi diharapkan mampu bejalan lurus mulai dari awal kehidupan (Panggung Krapyak) sampai kepada kehidupan yang langgeng dan kokoh (Gunung Merapi). Seorang raja dianggap menusia pilihan yang telah memiliki keserdasan untuk dapat menyerap lautan ilmu dan mencontohkan kepada seluruh masyarakat.

2. Panggung Krapyak – Keraton

Secara simbolik Panggung Krapyak ini merupakan bagian awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis Sangkan Paraning Dumadi. Secara filosofis simbolis, menggambarkan alat kelamin wanita. Pertemuan antara Wiji (benih) yang digambarkan antara Pnggung Krapyak yang digambarkan sebagai yoni dengan Tugu Pal Putih sebelah utara keraton sebagai lingga yang melambangkan proses kelahiran manusia.

Krapyak menurut kepercayaan Jawa khususnya keraton adalah tempat roh – roh. Roh suci yang atas perkenan Allah dihembuskan ke dalam calon bayi yang berada dalam kandungan sang ibu. Sebelah barat laut Panggung Krapyak terletak Kampung Mijen yang berasal dari kata Wiji sebagai bukti atas makna simbolik Panggung Krapyak. Di sepanjang jalan poros Panggung Krapyak ke utara pada zaman dahulu banyak ditumbuhi pohon Asem dan Tanjung. Pohon itu mempunyai makna dan pengertian nengsemake serta disanjung – sanjung oleh lingkungannya. Anak yang berada dalam kandungan diharapkan mempunyai sifat – sifat tersebut.

Dari selatan kemudian memasuki Benteng Keraton dan kawasan Alun – Alun Selatan. Di kiri kanan jalan utara gapura alun – alun terdapat dua pohon beringain yang disebut wok, dan ditengah terdapat dua beringin kurung yang diseput supit urang. Hal ini merupakan kiasan anggota badan manusia yang dirahasiakan. Di sekitar alun – alun terdapat lima buah jalan, 2 sebelah timur dan 2 sebelah barat serta 1 sebelah selatan yang menuju Plengkung Nirbaya. Kelima jalan menunjukkan atau melambangkan lima panca indera manusia. Sedangkan di alun – alun sendiri penuh dengan pasir halus yang menggambarkan bahwa panca indera yang kita miliki belum sempurna dan teratur seperti lepasnya pasir – pasir tersebut. Demikian pula di penggiran alun – alun ditanami pohon Pakel dan Kweni, melambangkan bahwa setiap manusia nantinya kalau sudah akil baliq harus wani (berani).

Siti Hinggil sisi selatan terdapat tanah yang ditinggikan, hal ini mengandung makna dan arti kenaikan sukma atau kondisi bayi dalam kandungan ibu yang sudah menunggu saatnya untuk lahir. Di sekeliling bangunan Siti Hinggil ini terdapat jalan yang menuju ke halaman Kemagangan. Jalan di kiri kanan Siti Hinggil ini disebut Pamengkang. Pamengkang berasal dari kata mekangkang, posisi

Page 2: Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

kaki yang berjauhan satu sama lain. Posisi ini menunjukkan keadaan seorang ibu yang akan melahirkan. Pamengkang menurut Puspodiningrat artinya adalah mengungkap atau mengeluarkan (melahirkan). Bagian kiri dan kanan tratag Siti Hinggil terdapat tanaman gayam yang bunganya berwarna. Hal ini mempunyai makna ayom – ayem (tentram) dan berkembang (ngrembaka).

Dari Jalan Pamengkang ini ke arah utara terus menuju regol dan halaman Kemandhungan. Kemandhungan berasal dari kata kandungan, kandungan seorang ibu yang siap melahirkan dan akan melahirkan. Bayi yang lahir pada saat ini dan seterusnya dilambangkan akan melalui regol Gadhungmlati, yang warnanya hijau putih, melambangkan bayi yang masih suci dan tentram. Dari regol ini seterusnya akan memasuki halaman Kemagangan, dari kata magangyang berarti berguru sebagai manusia yang akan hidup di dunia dengan segala dinamika dan persoalan hidupnya. Kemagangan merupakan gambaran sang bayi yang telah lahir dengan selamat dan magang menjadi calon manusia.

Karena kebutuhan seorang bayi yang sedang magang sebagai calon manusia ini melulu makan dan dipelihara, kepadanya telah tersedia makan yang cukup. Hal ini dilangbangkan dengan adanya dapur keratin Gebulen yang ada di sebelah barat Kemagangan dan Sekullangen, dapur yang ada di sebelah timur Kemagangan. Di sekeliling halaman Kemagangan ini juga ditanami pohon Kepel, Cengkir Gading dan Pelem.

Jalan besar di kanan kiri Kemagangan menggambarkan juga pengaruh negatif dan positif atas perkembangan sang anak. Hendaknya sang anak dididik mengarahkan cita – citanya lurus ke utara ke keraton, tempat Sri Sultan bersemayam. Di sini ia dapat mencapai yang dicita – citakan asal mau bekerja dengan baik, patuh pada aturan, setia dan selalu ingat kepada Tuhan. Semua ini digambarkan oleh apa yang dapat kita lihat di keraton sampai sekarang.

Menuju ke utara yaitu memasuki kawasan halaman Kedhaton berbagai gugusan bangunan dan pepohonan yang ada melambangkan proses kehidupan manusia yang mencapai kemapanan. Secara lahir dan batin sudah siap untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupannya. Di pelataran Kedhaton ditanam pohon sawo kecik, hal ini melambangkan bahwa proses kehidupan tersebut harus dijalani secara baik. Tahapan tersebut merupakan sebuah persiapan manusia untuk dapat menjalankan amanah sebagai seorang pemimpin. Keberadaan beberapa bangunan yaitu Bangsal Prabayeksa, Bangsal Kencono dan Gedhong Jene melambangkan hal itu.

Di dalam Bangsal Prayeksa tersimpan Api Abadi atau Kyai Wiji. Api yang tidak pernah padam, yang melambangkan benih yang tidak akan punah berkat Tuhan Yang Maha Esa. Semua ini melambangkan perjalanan manusia yang seharusnya dituntun oleh cahaya yang agung, yang terang benderanguntuk sampai pada satu tempat tertentu yang abadi dan langgeng. Bangsal Kencono mempunyai warna kuning keemasan, hal itu melambangkan sifat bahwa segala sesuatunya harus bersandar kepada apa yang berasal dari Keagungan Tuhan. Gedhong Jene yang bercat kuning melambangkan tempat roh yang sudah hening, bening dan murni, yaitu surga yang abadi.

3. Keraton – Tugu

Bagaimana menjadi seorang pemimpin dan konsekuensi apa yang akan diemban, tergambar jelas di dalam struktur, tata ruang, prosesi yang dlakukan, serta berbagai simbol yang ada di kawasan Siti Hinggil ke utara sampai Tugu – Merapi. Prosesi untk ke Siti Hinggil kemudian menuju ke

Page 3: Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

utara, terlebih dulu akan melawati Regol Brajanala. Di hadapan regol ini terdapat tembok yang menjadi tabir penutup. Pengertian ini menurut K. P. H. Brotodiningrat (1978 – 15) dapat pula berarti braja : senjata dan wala : hati, renteng : susah, sangsi atau khawatir, baturana : batu pemisah. Sehingga keseluruhannya memuat pengertian tidak usah khawatir atau sangsi kalau menjadi alat Tuhan guna menjalankan hukum Negara yang adil.

Bangsal Siti Hinggil sendiri merupakan bangunan yang tertinggi di Keraton. Siti Hinggil atau tanah yang ditinggikan mengandung arti dan makna Kenaikan Sukma. Kedudukan Sultan yang sedang berada di Siti Hinggil dan duduk (sinewoko) di bangsal Manguntur Tangkil diibaratkan sebagai Kalifatullah yaitu wakil Tuhan di muka bumi. Bangsal Siti Hinggil merupakan bangsal \yang mengandung nilai spiritual. Pada saat Sultan duduk di atas singgasana maka pandangan beliau harus lurus menuju ke utara bersatu dengan titik di ujung Tugu Pal Putih yang melambangkan Manunggaling Kawula – Gusti.

Setelah meninggalkan Siti Hinggil, sebelum memasuki pagelaran akan dijumpai Tarub Hagung tepat di depan Tratag Siti Hinggil. Bangunan ini berdiri di atas 4 tiang tinggi berupa pilar besi dan mempunyai bentuk bujur sangkar. Bangunan ini mempunyai arti bahwa siapa yang sedang samadi akan merasa selalu dalam keagungan.

Sebelum memasuki Pagelaran akan dijumpai Pacikeran, bangsal kecil semacam gardu tempat penjagaan abdi dalem Singonegoro dan Mertolutut. Kedua gardu ini menggambarkan peringatan kepada manusia untuk tidak berbuat jahat dan menyimpang dari peraturan Negara. Kedua abdi dalem tersebut merupakan algojo yang sewaktu – waktu dapat menghukum atas perintah raja.

Alun – Alun utara yang terletak di depan Pagelaran merupakan gambaran suasana yang sangar nglangut, sangat sepi, suasana hati saat samadi. Alun – Alun juga merupakan gambaran godaan dan gambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madhep kepada Allah.

Sultan yang sedang sinewoko di bangsal Manguntur Tangkil memusatkan perhatian dan pandangannya menuju dan lurus kearah puncak Tugu, dengan melalui Jalan Pengurakan (sekarang Trikora), Marga Mulya, Malioboro dan Margatama. Hal ini menggambarkan proses perjalanan kehidupan manusia., bahwa untuk mengawali suatu tindakan diperlukan langkah pengendalian nafsu jahat dilanjutkan langkah – langkah kehidupan yang mengutamakan jalan kemuliaan, jalan terang dan keutamaan.

Di jalan paling utara, yaitu Tugu adalah simbol tempat Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan segala isi alam semesta. Oleh karena itu segala pusat perhatian dan orientasi manusia dalam laku sembah dan makna sentral pemusatan pikiran dan kehendak seorang raja yang sedang berada di Manguntur Tangkil. Mengajak kawula untuk selalu ingat kepada-Nya. Sultan sebagai pemimpin wajib mengingatkan para kawula untuk selalu manembah lan eling kepada Tuhan sebagai Sangkan Paraning Dumadi.

Segala ucapan dan tindakan yang diyakini hanyalah datang dari Tuhan dan tidak ada sesuatu yang terjadi atas diri manusia tanpa melibatkan kehendak-Nya. Oleh karena itu, bentuk Tugu dahulu berupa golong gilig, yang mempunyai makna satu kesatuan tekad, cipta, rasa dan karsa.

Page 4: Filosofi Garis Imajiner Yogyakarta

4. Gunung Merapi

Gunung Merapi menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa, diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai "swarga pangrantunan", dalam alur perjalanan hidup yang digambarkan dengan sumbu imajiner dan garis spiritual kelanggengan yang menghubungkan Laut Kidul - Panggung Krapyak - Keraton Yogyakarta - Tugu Pal Putih - Gunung Merapi. Simbol ini mempunyai makna tentang proses kehidupan manusia mulai dari lahir sampai menghadap kepada sang Maha Pencipta.

Penduduk yang bermukim di tepi sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kadang mendengar suara-suara aneh di malam hari, misalnya gemerincing suara kereta kencana yang lewat. Konon merupakan pertanda bahwa Karaton Merapi sedang mengirimkan rombongan dalam rangka hajat untuk mengawinkan kerabatnya dengan salah satu penghuni Karaton Laut Kidul. Hal itu ditafsirkan sebagai pertanda mistis bahwa sebentar lagi akan terjadi banjir lahar yang akan melalui sungai itu, sehingga bagi mereka yang tahu akan segera membuat langkah-langkah pengamanan dan penyelamatan.

Tujuan dari penyelenggaraan berbagai prosesi selamatan tersebut konon adalah untuk berdoa memohon keselamatan dan kelimpahan rejeki kepada Tuhan YME serta memberi sedekah kepada makhluk halus penghuni Merapi agar tidak mengganggu penduduk, damai dan terbebas dari marabahaya, sehingga tercipta satu harmoni antara manusia dan lingkungan alam. Apabila perilaku manusia negatif maka maka alampun akan negatif pula.

Konsep keseimbangan yang menjadi kearifan penduduk sekitar Gunung Merapi merupakan implementasi dari nilai-nilai yang mereka percaya bahwa para penghuni akan murka ketika menyimpang dari kaidah-kaidah alam yang benar dan seimbang. Letak harmoninya tidak saja terletak pada sesaji yang disediakan namun pada perilaku yang selalu diusahakan untuk tidak nyebal (menyimpang) dari kaidah-kaidah keseimbangan alam, yang selalu selaras serasi dan seimbang untuk menjaga keutuhan ekosistem.