file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf...

23
VII MENJALANKAN RUKUN ISLAM DENGAN AKHLAK MULIA Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara ka ffah (keseluruhan); dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan (jangan memasuki Islam tidak ka ffah). Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu. (Qs. 2/Al-Baqarah: 208) Di kampus perguruan tinggi, Islam ka ffah (dimaknai secara khas oleh para aktivis) sering dikumandangkan oleh kelompok mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok Islam sempalan (dengan ciri-ciri: eksklusif, ekstrim, dan kadang-kadang radikal). Cap ekstrim dan radikal karena kelompok ini sering mendengung-dengungkan perlunya Islamisasi di segala bidang, termasuk di bidang hukum dan pemerintahan (inilah makna Islam ka ffah perspektif mereka). Mereka ingin mengamalkan dan mendakwahkan Islam yang “asli” sebagaimana yang diamalkan masyarakat Muslim awal di zaman Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, tentunya menurut pemahaman mereka. Dalam tataran politis mereka memandang pemerintahan yang bukan Islam sebagai pemerintahan thaghut yang harus dilawan. (Azyumardi Azra, 2002; Mohammad Daud Ali, 2002; Tanwir Y. Mukawi, 2002). A. MENJALANKAN ISLAM SECARA KA FFAH Perintah memasuki Islam secara ka ffah (total, menyeluruh) diungkapkan dalam Qs. 2/Al-Baqarah ayat 208 sebagaimana dalam motto di atas. Perintah ini, yakni “Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya” ditujukan kepada orang-orang yang telah menyatakan dirinya beragama Islam. Artinya, orang yang sudah menyatakan beragama Islam haruslah masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya, tidak boleh memasuki Islam sebagian-sebagiannya. Al-Quran yang diterjemahkan Depertemen Agama RI tidak memberikan penjelasan terhadap ayat Islam ka ffah ini. Mungkin ayat ini dianggap sebagai ayat muh kama t, yakni ayat yang maknanya jelas sehingga tidak perlu ditafsirkan. Aktivis Islam biasanya mengartikan Islam ka ffah ini dengan Islam dalam berbagai aspek kehidupan: ekonomi, kesehatan,

Transcript of file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf...

Page 1: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

VIIMENJALANKAN RUKUN ISLAM

DENGAN AKHLAK MULIA

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan); dan janganlah kamu turut langkah-langkah syetan

(jangan memasuki Islam tidak kaffah). Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu. (Qs. 2/Al-Baqarah: 208)

Di kampus perguruan tinggi, Islam kaffah (dimaknai secara khas oleh para aktivis) sering dikumandangkan oleh kelompok mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok Islam sempalan (dengan ciri-ciri: eksklusif, ekstrim, dan kadang-kadang radikal). Cap ekstrim dan radikal karena kelompok ini sering mendengung-dengungkan perlunya Islamisasi di segala bidang, termasuk di bidang hukum dan pemerintahan (inilah makna Islam kaffah perspektif mereka). Mereka ingin mengamalkan dan mendakwahkan Islam yang “asli” sebagaimana yang diamalkan masyarakat Muslim awal di zaman Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin, tentunya menurut pemahaman mereka. Dalam tataran politis mereka memandang pemerintahan yang bukan Islam sebagai pemerintahan thaghut yang harus dilawan. (Azyumardi Azra, 2002; Mohammad Daud Ali, 2002; Tanwir Y. Mukawi, 2002).

A. MENJALANKAN ISLAM SECARA KAFFAHPerintah memasuki Islam secara kaffah (total, menyeluruh) diungkapkan dalam Qs. 2/Al-

Baqarah ayat 208 sebagaimana dalam motto di atas. Perintah ini, yakni “Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhannya” ditujukan kepada orang-orang yang telah menyatakan dirinya beragama Islam. Artinya, orang yang sudah menyatakan beragama Islam haruslah masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya, tidak boleh memasuki Islam sebagian-sebagiannya.

Al-Quran yang diterjemahkan Depertemen Agama RI tidak memberikan penjelasan terhadap ayat Islam kaffah ini. Mungkin ayat ini dianggap sebagai ayat muhkamat, yakni ayat yang maknanya jelas sehingga tidak perlu ditafsirkan. Aktivis Islam biasanya mengartikan Islam kaffah ini dengan Islam dalam berbagai aspek kehidupan: ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga mencakup aspek hukum dan sosial- politik, bahkan hingga kenegaraan; yakni ekonomi Syari`ah, Bank Mu`amalah, Asuransi Syari`ah, Sekolah Islam, Hukum Islam, Politik Islam, hingga Negara Islam.Bahkan ada juga sekelompok umat yang memandang berdirinya Negara Islam sebagai paling utama dalam menjalankan Islam kaffah.Islamisasi lain-lainnya tidak bermakna sama sekali tanpa berdirinya Negara Islam. Pandangan ini sepertinya tidak bercermin pada Al-Quran dan sejarah Islam, karena realitas historis bahwa hanya 3 dari 25 Nabi yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara (Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Muhammad). Selain Nabi Yusuf yang menjadi Bendaharawan Negara (mungkin semacam Menteri Keuangan sekarang), sebanyak 21 Nabi lainnya hanyalah rakyat biasa di bawah kepemimpinan para Raja yang tidak beriman.

Adapun Sufisme Syaththariah memberikan makna yang berbeda. Menjalan-kan Islam kaffah (total) adalah meng-Islamkan seluruh unsur manusia, yakni menjalankan syare`at dan hakekat. Menurut Tasawuf Syaththariah, manusia terdiri dari empat unsur, yakni: raga, hati (hati sanubari atau hati nurani), roh, dan rasa. Islamnya raga adalah dengan menjalankan syare`at, sedangkan Islamnya hati, roh, dan rasa adalah dengan menjalankan hakekat.

Page 2: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Perspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah (kulit), air (tulang), api (daging), dan udara (darah). Hatiterdiri dari dua jenis, yakni hati sanubari dan hati nurani. Kedua hati letaknya dalam dada manusia. Hati sanubari, letaknya dalam ati-ampela (dua jari di bawah rusuk kiri), adalah hati yang gelap gulita (tidak kenal Tuhan, berwatak bangsa hewan, dan sejalan dengan iblis). Adapun hati nurani, letaknya dalam hati-jantung (yang berbunyi deg-deg, di tengah-tengah dada), adalah hati yang memperoleh Cahaya Ilahi (kenal Tuhan, berwatak seperti malaikat muqorrobun yang rela sujud (taat) kepada Wakil-Nya Tuhan di bumi, yakni Rasûlullah atau Ulama Pewaris Nabi, dan selalu mengingat Tuhan). Roh, letaknya dalam hati-nurani (artinya, hati-nurani merupakan bungkus roh), adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Adapun rasa(sirr) letaknya pada kedalaman roh yang ketujuh (menurut ilmu ini, roh terdiri dari tujuh lapis, dan lapis ketujuh – tempatnya unsur rasa – merupakan roh yang paling halus). Unsur rasa inilah yang merupakan jati-diri manusia (fitrah manusia) yang Dicipta Tuhan dari Jati-DiriNya (Fitrah-Nya), sebagaimana firmanNya dalam Qs. 30/Ar-Rum ayat 30:

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah. (Tetaplah atas) Fitrah Allah yang telah menciptakan (jati-diri) manusia dari Fitrah itu (Jati-Diri Tuhan). Tidak ada peubahan pada Fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus.Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (fitrah jati-dirinya)

Pada unsur rasa ini pula adanya lubang cahaya(minhâj) yang tembus kepada Tuhan, yakni lubang cahaya yang menghubungkan jati-diri manusia dengan Jati-Diri Tuhan, sebagaimana firmanNya dalam Qs. 5/Al-Maidah ayat 48: likulli ja’alna minkum syir`atan wa minhaja=tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan syare`at dan lubang cahaya. Syare`at adalah aturan lahir yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya (seperti shalat, zakat, puasa, dan hajji) yang dikerjakan oleh unsur raga, Syare`at ini bisa berbeda-beda di setiap umat, walau prinsip-prinsip dasarnya tetap sama. Adapun minhaja (lubang cahaya) merupakan tempat bersemayannya Tuhan jika unsur rasa manusia telah dibuka melalui pemberkahan oleh Ahli Zikir. Unsur rasa inilah yang kembali kepada Tuhan melalui pintu lubang cahaya itu.

Tetapi untuk mencapai martabat rasa, yakni untuk dapat kembali kepada Tuhan dengan selamat dan bahagia, tidak ada jalan lain kecuali menjalankan Islam kaffah (total), yakni menjalankan syare`at dan hakekat. Atau secara lebih rinci: raga menjalankan syare`at, hati menjalankan tarekat, roh mencapai hakekat, dan rasa mencapai ma`rifat (ma`rifatbi Dzatillah) hingga mencapai fana Dzat(dalam arti kembali dan berjumpa dengan Tuhan hingga sampai dengan selamat dan rasa bahagia yang tak terhingga). Istilah umumnya adalah masuk surgaNya.

Unsur manusia yang merupakan barang pinjaman (bukan jati-dirinya) harus kembali ke asalnya masing-masing. Cara mengembalikannya dan mengokohkan jati-dirinya adalah dengan menjalankan syare`at dan hakekat itu. Makanya, ragaharus bosok (kembali ke asalnya masing-masing: kulit kembali menjadi tanah, tulang kembali menjadi air, daging kembali menjadi api, dan darah kembali menjadi udara), yakni dengan menjalankan syare`at (segala peribadatan yang dijalankan oleh raga, terutama Rukun Islam dan akhlaqul karimah); hati sanubari harus ditundukkan agar dapat dijadikan tunggangannya hati nurani, roh, dan rasa, sehingga hatiharusadam (=tidak ada, karena hati merupakan bungkus roh), yakni dengan menjalankan tarekat(hanya mengingat-ingat DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allah); rohharussirna (roh adalah Daya dan Kekuatan Tuhan. Karena barang

Page 3: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

pinjaman milik Tuhan, makanya roh sirna kembali kepada Tuhan), yakni dengan ngambahhakekat (merasa-rasakan bahwa Yang Punya Daya dan Punya Kekuatan hanyalahDiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib yang namaNya Allah); dan yang kekal-abadi(yang tertinggal) hanyalah jati-dirinya, rasa-nya (sirr-nya), yakni mencapai ma`rifat (ma`rifat bi Dzatillah), yakni ‘merasa-rasakan’ bahwa Yang Benar-benar Ada/Wujud hanyalah DiriNya Ilahi (bukan sekedar mengetahui Asma, Sifat, dan Af`al Tuhan, yang bisa dijangkau dengan akal-pikiran). Pandangan Sufisme Syaththariah ini didasarkan pada firmanNya dalam Qs. 55/Ar-Rahman ayat 26-27: kullu man alaiha fanin, wa yabqo wajhu robbika dzul jalali wal ikrom =Semua yang ada di bumi itu (termasuk jiwa-raga manusia) akan binasa; dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Jati-diri manusia karena berasal dari Jati-Diri Tuhan (fithrotallahil latî fathoron nâsa alaihâ), maka akan tetap Kekal-abadi, tidak akan binasa. Hanya saja kekalnya jati-diri manusia ada dua macam: pertama, jatidiri yang kembali dan berjumpa dengan Tuhan dalam keadaan senang dan bahagia selama-lamanya di sisi Raja Diraja Yang Berkuasa (yakni bagi manusia yang matinya selamat); dan kedua, jatidiri yang kembali ke tempat sesat yang Tuhan sediakan dalam keadaan susah dan sengsara selama-lamanya, yakni dimasukkan ke nerakaNya (bagi manusia yang matinya su`ul khotimah, mati sesat).

Menurut Sufisme Syaththariah manusia jenis pertama ini (yang mati selamat) sangat sedikit, sedangkan jenis kedua sangat banyak, sesuai firman Allah dalam Al-Quran: fa qolilan ma yu`minun =maka sedikit sekali mereka yang berîman (Qs. 2/Al-Baqarah: 88; 69/Al-Haqqah: 41), Inna akromakum `indallahi atqokum =Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (Qs. 40/Al-Hujurat: 13), padahal untuk mencapai ketakwaan terlebih dahulu harus berîman; dan ... illa ‘ibadaka minhumul mukhlashin =kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka, yang tidak akan tersentuh oleh iblis (Qs. 15/Al-Hijr: 40). Jika orang yang berîman saja sedikit terlebih-lebih lagi mereka yang bertakwa, dan terlebih-lebih lagi mereka yang ikhlas tentu lebih sedikit lagi; demikian juga asy-Syakur (manusia yang bersyukur) hanya sedikit, sebagaimana firmanNya qolilan ma tasykurun=hanya sedikit manusia yang bersyukur (Qs. 7/Al-A`raf: 10; 23/Al-Mu`minun: 78; 32/As-Sajdah: 9; 67/al-Mulk: 23).

Kembali ke ayat Islam kaffah. Setelah Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk memasuki Islam secara kaffah, kemudian Allah SWT mengingatkan secara khusus: “janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan”. Sebabnya, syetan berkehendak agar manusia memasuki Islam ‘tidak’ secara kaffah(tidak secara total), yang dalam perspektif Sufisme Syaththariah cukup menjalankan syare`at saja atau hakekat saja. Kemudian ditegaskan bahwa “syetan itu musuh yang nyata bagi manusia”. Artinya, syetan itu (baik dari bangsa jin ataupun bangsa manusia) benar-benar sebagai musuh yang nyata membelokkan manusia dari kehendak Tuhan. Jadi perspektif Al-Quran syetan itu nyata dan kongkrit, yakni segala pengajak yang tidak sejalan dengan Kehendak Allah dan RasulNya (yang tampak baik dan terlebih-lebih yang tampak buruk, dari bangsa jin atau bangsa manusia). Al-Quran menegaskan bahwa: (1) Iblis selalu menciptakan pandangan yang baik bagi manusia (Qs. 15/Al-Hijr: 39-40), padahal

pandangannya tidak sejalan dengan Tuhan;(2) Iblis telah bersumpah akan menyesatkan seluruh manusia, yakni dengan cara mengepung

manusia dari depan dan belakangnya serta dari kiri dan kanannya (Qs. 7/Al-A`raf ayat 16-17); (3) Syetan selalu aktif membisikkan pandangannya ke dalam dada manusia (Qs. 114/An-Nas: 5-6),

yakni membisikkan pandangan yang sesat.

Page 4: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Untuk menghindari syetan, kita harus benar-benar hanya mentaati Allah dan mentaati RasulNya serta Ulil Amri (yakni wakil atau pelanjut Rasul) secara yakin seyakin-yakinnya, jangan sampai “merasa” mentaati Allah dan RasulNya atas dasar kira-kira atau dugaan-dugaan (padahal tidak sejalan dengan Kehendak Allah dan RasulNya), sebagaimana diperintahkan oleh banyak ayat Al-Quran (antara lain Qs. 4/An-Nisa ayat 59 yang telah dijelaskan dalam Rukun Iman).

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. (Qs. 3/Ali Imran: 32)

Jika kita berpaling dari Allah dan RasulNya, berarti kita termasuk orang-orang kafir. Apa makna berpaling dari Allah dan RasulNya itu? Yang harus selalu diingat, bahwa Rasul itu adalah WakilNya Allah di muka bumi. Hanya Rasul-lah yang tahu tentang Kehendak Allah. Jika tidak bersandar kepada RasulNya Allah berarti kita berpaling dari Allah dan RasulNya, sama saja dengan menjerumuskan diri menjadi orang kafir. Na`udzu billahi min dzalik.

B. MENJALANKAN RUKUN ISLAM DENGAN AKHLAK MULIARukun Islam yang 5sudah tidak asing lagi bagi semua orang Islam. Tapi maknanya perlu dikaji

kembali dengan harapan sesuai dengan Kehendak Allah dan RasulNya. Jangan sampai kita merasa sudah memahaminya padahal tidak sejalan dengan Kehendak Allah dan RasulNya. Akibat pemahaman yang keliru tentu saja kita pun otomatis menjalankan Rukun Islam yang salah; atau menjalankan Rukun Islam tanpa akhlaqul karimah.

Atas dasar Islam kaffahdi atas (yakni menyatukan syare`at dengan hakekat: jasad menjalankan syare`at, batin menjalankan hakekat), maka dalam Tasawuf Syaththariah, Rukun Iman, Rukun Islam dan Ihsan menyatu di dalam sibghotallah (celupan Allah); menyatu di dalam rasa jiwa yang nyelup di dalam samuderanya ‘arifun billah (ma`rifat bi Dzatillah); menyatu di dalam hatinurani, roh dan rasa yang berada di dalam samuderanya ‘arifun billah. Rukun Islam harus dijalankan secara benar, yang dapat mewujudkan akhlaqul karimah.

1.Mengucapkan 2 kalimat syahadat dengan akhlak muliaUngkapan: asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah (=Saya

‘bersaksi’ bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan saya ‘bersaksi’ bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah) adalah makna dan arti dalam ungkapan kata.Syarat masuk Islam adalah mengucapkan 2 kalimat syahadat. Jika seseorang sudah mengucapkan 2 kalimat syahadat ini maka otomatis orang tersebut diterima sebagai orang Islam.

Di kalangan masyarakat awam ucapan 2 kalimat syahadat ini sering kali tidak bermakna sama sekali. Atau istilah akhlaknya, tidak berakhlaqul karimah. Seorang gadis muslimah yang disenangi oleh lelaki non-muslim biasanya diupayakan oleh keluarga si gadis itu agar lelaki tersebut masuk Islam, yakni mau mengucapkan 2 kalimat syahadat. Lelaki non-muslim yang mengerti budaya muslim sering kali dengan mudah mau menerima permintaan keluarga gadis. Mereka menghapalkan 2 kalimat syahadat, menghapalkan juga surat Al-Fatihah dan surat-surat pendek (biasanya surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Nas). Kemudian pernikahan pun berlangsung. Padahal sang lelaki itu sama sekali tidak memahami makna syahadatain. Setelah menyatakan dirinya beragama Islam dan menikahi gadis muslim itu, sang lelaki mu`allaf itu sama sekali tidak menjalankan shalat 5 waktu, tidak menjalankan puasa Ramadhan, dan tidak menjalankan peribadatan-peribadatan Islam lainnya.

Page 5: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Tapi keluarga sang gadis sudah puas dengan pernyataan keislaman sang lelaki yang menikahi gadisnya itu.

Demikian juga di kalangan kaum musliminyang beragama Islam secara turun temurun beragama Islam pun sebagaimana lelaki mu`allaf itu. Mereka jelas sekali sudah terbiasa mengucapkan 2 kalimat syahadat dan ritual-ritual Islam. Tapi mereka belum tentu memahami makna dari ungkapan 2 kalimat syahadat yang biasa diucapkannya itu.

Oleh karena itu dalam Sufisme Syaththariah syahadatain bukan sekedar mengucapkan 2 kalimat syahadat (karena kalau sekedar mengucapkan saja siapa pun bisa, bahkan dengan diberikan pelatihan terus menerus burung beo juga akan bisa mengucapkan 2 kalimat syahadat). Mengucapkan syahadat haruslah sesuai dengan isi 2 kalimat syahadat yang diucapkannya itu. Isinya tiada lain adalah persaksian, yakni ”menyaksikan” Tuhan Yang Nama-Nya Allah, juga ”menyaksikan” Muhammad Rasulullah.

Bersaksi (kata ”saksi” ditambah awalan ”ber”) adalah seperti kata-kata saya bersepatu, saya berkopyah, saya berpakaian, saya bergelora, saya bersepeda, merupakan sesuatu perbuatan yang lekat dengan pelaku. Demikian halnya dengan ucapan ”saya bersaksi” bahwa sesungguhnya La ilaha illallah. Kesaksian yang melekat di hati karena terbukanya mata hati dengan ilmu tentang mengenal DiriNya Ilahi. Bahwa apa saja selain DiriNya Zat Yang Wajib WujudNya, La ilaha, semuanya nafi,tidak ada. Diberadakan (sementara saja) di dunia maksud Allah memang sengaja diuji. Maunya Allah, agar dapat lulus hingga dapat hidup mulia disisiNya. Sebab KemuliaanNya itu maunya Allah, tidak akan dimonopoli. Diratakan kepada hambaNya yang kebetulan adalah manusia. Tetapi karena Tuhan bukan makhluk, cara memuliakannya tidak seperti DiriNya yang tanpa ujian dan tanpa cobaan.

Karena itu betapa sebenarnya Allah Swt sangat kuat sekali kemauanNya menonjolkan keberadaan DiriNya sebagai Zat Yang Segala-galanya dalam semua ayat-ayat pada firmanNya supaya hambaNya dapat tertarik untuk mengenali keberadaan DiriNya. Dan karena Dia ternyata Al-Ghaib, tidak akan pernah menampakkan DiriNya di bumi milikNya, saking belas kasihNya Dia lalu membentuk utusan supaya keberadaan DiriNya Yang Al-Ghaib itu selalu dapat ditetapkan (di-itsbat-kan = makna kalimah itsbat: illallah) dalam hatinya si hamba dalam segala tingkah laku dan perbuatan lahir batinnya. Itulah sebabnya ada syahadat kedua: Saya bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah. Maksudnya, kalau kita ingin mengetahui Tuhan Yang AsmaNya Allah, jika kita ingin dapat ma`rifat bi Dzatillah, maka kita harus bertanya kepada Muhammad Rasulullah. Oleh karena itulah Al-Quran mengemukakan berbagai fungsi-fungsi Rasul. Ketika Rasul itu memberikan peringatan, Tuhan menyebutkan sebagai Mundzir atau An-Nadzir (=Pemberi Peringatan); danketika Rasul itu memberikan kabar gembira kepada murid-murid setianya, Tuhan menyebutnya sebagai Al-Basyir=Pembawa Kabar Gembira (basyiron dan nadziron). Ketika Rasul itu menunjukkan hidayah Tuhan, Tuhan menyebutkan sebagai Wali Mursyid (waliyan mursyidan), atau Ilmu Tasawuf menyebutnya GuruMursyid; dan lain-lain. Dan ketika Rasul itu menunjukkan Zat Tuhan Yang Al-Ghaib kepada orang-orang yang memintanya, Tuhan menyebutnya sebagai Ahli Zikir. Di kalangan muslim pada umumnya Ahli Zikir sering diartikan orang yang ahli dalam ilmu pengetahuan. Tapi dalam Ilmu Tasawuf, Ahli Zikir adalah Nabi dan Ulama Pewaris Nabi yang diberi wewenang mentalqin zikir kepada orang-orang yang ingin bisa berzikir. Sementara dalam sufisme Syaththariah, Ahli Zikir adalah orang yang ahli mengingat Zat Tuhan karena dirinya mengenal Zat Tuhan ddan istiqomah selalu mengingat-ingat Tuhan. Ayatnya sebagai berikut:

Page 6: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu (DiriNya Yang) Al-Ghaib,akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendakiNya di antara rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada (DiriNya Yang Al-Ghaib, asmaNya) Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman (kepada DiriNya Yang Al-Ghaib dan Rasul-rasulNya) dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar. (Qs. 3/Ali Imran ayat 179)

(Hanya) Dialah yang mengetahui (DiriNya Yang) Al-Ghaib itu, maka Dia sama sekali tidak memperlihatkan (dalam mata hati) tentang keberadaan DiriNya Yang Al-Ghaib itu kepada seorang pun; kecuali bagi yang Dia ridhai (yang hanya dapat diperoleh ilmu tentang Al-GhaibNya itu) dari seorang Rasul. Maka sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (Qs. 72/Al-Jin ayat 26-27)

Jadi, hanya Rasul-lah yang mengetahui DiriNya Ilahi Zat Tuhan Yang Al-Ghaib. Maksudnya, jika kita ingin mengetahui Zat Tuhan maka kita harus bertanya kepada RasulNya sebagai Ahli Zikir. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Terakhir. Tapi misi kenabiannya tidak berhenti hingga wafatnya beliau melainkan hingga Hari Kiamat. Badan beliau memang telah wafat dan telah dikubur lebih dari 1.400 tahun yang lalu. Tapi Nur Muhammad-nya (Cahaya Terpujinya Zat Tuhan) tidak turut mati. Atas Kehendak Allah beliau lalu mengangkat Wakil-wakilnya sebagai pelanjut-pelanjut misi Kenabian beliau. Mereka itulah Ulil Amri minkum. Beliau SAW menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin. Atau dalam hadits lainnya Ulama Pewaris Nabi. Di antara misi utama pelanjut-pelanjut beliau adalah mengenalkan DiriNya Ilahi Zat Tuhan Yang Al-Ghaib agar orang-orang beriman dapat mengucapkan 2 kalimat syahadat.

Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepadaahli zikir jika kamu tidak mengetahui (Zat Tuhan dan Ilmu Zikir).(Qs. 16/An-Nahl ayat 43)

Pertanyaan sufisme Syaththariah, bagaimana mungkin seseorang dapat menyatakan bersaksi terhadap Kanjeng Nabi Muhammad Saw sedang hidup kita tidak sezaman dengan beliau. Bagaimanakahbisa menyaksikan orang yang sudah meninggal dunia lebih dari 1.400 tahun yang lalu? Apa maunya terus menerus bersaksi palsu?

Dalam Tasawuf Syaththariah, hakekat Nabi Muhammad Saw adalah Nur Muhammad (=Cahaya TerpujiNya Zat Tuhan. Ingat arti kata Muhammad adalah terpuji).Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Nabi Muhammad Saw sudah wafat lebih dari 1.400 tahun yang lalu, tapi Nur Muhammad-nya (Cahaya TerpujiNya Zat Tuhan) tidak ikut mati. Bila Nur Muhammad dianggap mati juga, maka sama saja dengan menganggap bahwa Tuhan juga mati. Na’udzubillahi min dzalik! Nabi Muhammad Saw itu yang wafat hanyalah jasadnya saja. Sebagai catatan, Nabi Terakhir itu bernama Muhammad bin Abdullah. Dalam Qs.

Page 7: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Qs. 33/Al-Ahzab: 40)

Dalam Sejarah Nabi disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai putera-puteri, antara lain Qasim dan Fathimah. Nabi kita sering disebut Abal Qasim (=Ayahnya Qasim). Ayat ini menegaskan bahwa hakekat Nabi Muhammad bukanlah orang yang mempunyai anak itu (Muhammad bin Abdullah), melainkan Rasulullah. Makanya kalimat syahadat kedua itu asyhadu anna Muhammadar Rasulullah bukan asyhadu anna Muhammad bin Abdullah atau asyhadu anna Muhammad Abal Qasim. Perlunya kita bisa ‘menyaksikan’ Muhammad Rasulullah itu agar kita dapat mengenal DiriNya Tuhan Yang Al-Ghaib Yang AsmaNya Allah (agar dapat ‘menyaksikan’ Tuhan, bukan sekedar mengetahui NamaNya, yakni Allah). Kehendak Tuhan juga salah satu fungsi Rasulullah adalah Ahladz Dzikri, di mana kita diperintah untuk bertanya kepada Ahladz Dzikritentang Tuhan (Fas`alu ahladz dzikri inkuntum la ta`lamun =Maka bertanyalah kepada Ahladz Dzikri jika kamu tidak mengetahui Tuhan). Kemudian kehendak Tuhan juga Nabi Muhammad itu, karena umurnya terbatas 63 tahun, beliau mempunyai wakil-wakil, yakni para Ulama Pewaris Nabi. Mereka itulah sebagai Ahladz Dzikri yang kita bisa bertanya kepadanya. Supaya dapat bersaksi atas keberadaanNya itulah maka Nabi Muhammad Saw telah menetapkan pengganti-pengganti beliau yang atas izin dan kehendak Allah SWT ditugasi supaya melanjutkan tugas dan fungsi kerasulannya. Dan perlu diketahui bahwa wakil (pelanjut-pelanjut Nabi Muhammad Saw) dengan muwakkil itu (Nabi Muhammad Saw) adalah sama. Al-Quran menyebutnya Ulil Amri, juga sebutan-sebutan lainnya (al-wasilata, wasithah, ahladz dzikri, waliyan mursyida, imamun mubin, an-nadzir, dll). Hadits-hadits menyebutnya ulama pewaris Nabi atau khulafaur rasyidin al-mahdiyin. Ilmu Tasawuf menyebutnya Guru Wasithah atau Guru Mursyid. Tapi Allah dalam Al-Quran menyebutnya Rasul juga, yakni Rasul yang selalu berada di tengah-tengah umat. Mereka itulah yang dalam Qs. 6/Al-An`am ayat 89 disebut mewarisi Al-Kitab, Al-Hikmah, dan An-Nubuwah:

Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab, Al-Hikmah dan An-Nubuwah. Jika orang-orang itu (orang-orang di sekitar Rasul/Ulil Amri) mengingkarinya (mengingkari Al-Kitab, Al-Hikmah dan An-Nubuwah yang dibawakan oleh Rasul/Ulil Amri), maka sesungguhnya Kami akan menyerahkannya (menempatkan Rasul/Ulil Amri itu) kepada kaum yang sekali-kali tidak akan mengingkarinya. Maksudnya, keberadaan Rasul dipindah-pindahkan atau dihijrahkan karena kaum tempat Rasul berada selalu memusuhi dan mengusir Rasul.

Perintah bertanya kepada Ahli Zikir dalam Qs. 16/An-Nahl ayat 43 di atas mengisyaratkan keharusan kita ‘mencari’ Ahli Zikir. Dalam sebuah hadits kita diwajibkan untuk mencari ‘Al-Ilmu’: Tholabul `ilmi faridhotun `ala kulli muslimin wal muslimatin (mencari Al-Ilmu itu wajib bagi kaum muslimin yang laki-laki dan yang perempuan). Maksudnya, hukum mencari Al-Ilmu itu fardhu `ain. Perspektif sufisme Syaththariah ‘Al-Ilmu’ di sini adalah Ilmu untuk mengenali Zat Tuhan Yang Al-

Page 8: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Ghaib, yang harus ditanyakan kepada Ahli Zikir. Kemudian ada hadits lainnya, yang maknanya sebagai berikut: “Barang siapa mencari Al-Ilmu kemudian kematian merenggutnya padahal Al-Ilmu itu belum diperolehnya, maka Allah telah menyediakan baginya surga.”

Bagaimanakah cara mencari Ahli Zikir itu? Perspektif sufisme Syaththariah cara mencarinya sebagai berikut:(1) Benar-benar diniati untuk mencari al-haqqu min robbika (kebenaran itu berasal dari Tuhanmu),

bukan dari akal pikiranmu atau dari mazhabmu. Al-Quran sebagai Kalamullah, jika ditelaah dengan hati terbuka seraya memohon hidayahNya, akan memberikan petunjuk tentang keberadaan Ahladz Dzikri;

(2) Deple-deple(sungguh-sungguh dengan merendahkan diri) memohon untuk memperoleh hidayahNya, karena seseorang yang bisa berjalan di atas jalan lurusNya Tuhan itu hanyalah karena memperoleh hidayahNya;

(3) Tidak fanatik dengan mazhab, tokoh, dan pikiran sendiri (tapi kembali ke niat semula: untuk mencari al-haqqu min robbika);

(4) Selalu ingat sumpah iblis yang akan menyesatkan seluruh manusia. Oleh karena itu kita harus selalu memohon welas asih dan pertolongan Allah dengan syafaat RasulNa agar dihindarkan dari fitnahnya bangsa jin, bangsa manusia, dan bangsa syetan seluruhnya. Perlu diingat pula bahwa iblis divonis sesat oleh Allah karena tidak mau sujud (taat) kepada Wakil Tuhan di bumi. Kemudian iblis bersumpah akan menyesatkan manusia dengan menciptakan pandangan yang baik (terhadap pandangan yang sesat). Perlu diingat, dosa terbesar iblis adalah tidak mau sujud kepada khalifah Allah. Oleh karena itu sasaran utama penyesatan iblis adalah agar manusia tidak mau beriman kepada Wakil Tuhan di bumi. Allah pun mengingatkan bahwa tiap-tiap Nabi dimusuhi oleh syetan dari kalangan manusia dan syetan dari kalangan jin;

(5) Tundukkan nafsu dan watak “aku” (sombong dan merasa diri lebih baik, aba wastakbaro dan ana khoirun minhu), karena iblis dan bala tentaranya selalu yuwaswisu fi shudurin nas dengan menciptakan pandangan yang “baik” (merasa benar yang benar, merasa taat beragama, dan perasaan-perasaan baik lainnya) pada setiap pandangan dan perbuatan manusia yang tidak sejalan dengan Tuhan, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. 15/Al-Hijr ayat 39:

Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik(pandangan dan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, (juga dalam Qs. 6/Al-An`am: 112 & Qs. 27/An-Naml: 24)

Jadi, jika kita dibimbing langsung oleh Ulil Amri atau Ulama Pewaris Nabi (yang hidup di tengah-tengah kita, yang sezaman dengan kita), maka manfaatnya sama saja dengan jika kita dibimbing langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw (karena wakil dengan muwakkil itu sama).

2. Mendirikan shalat dengan akhlaqul karimahApabila rukun Islam yang pertama telah terpenuhi (sudah dapat “menyaksikan” Zat Tuhan

Yang Al-Ghaib yang AsmaNya Allah), maka kewajiban shalatnya juga akan benar-benar menjadi tempat hamba mencahaya. Mencahaya dengan zikir dalam dadanya. Mencahaya, karena hatinurani, roh dan rasanya dengan yakinnya mengingat-ingat dan menghayati Ada dan WujudNya Zat Al-Ghaib yang sangat dekat sekali dalam rasa hati. Dengan demikian maksud sabda Nabi SAW bahwa shalat

Page 9: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

adalah mi’rajul-mukminin (=mi`raj-nya orang-orang beriman), dapat terhayati. Demikian juga firman Allah bahwa tujuan shalat adalah tanha ‘anil fahsya`i wal munkar (=mencegah perbuatan keji dan munkar) akan diwujudkan Tuhan. Demikian halnya dengan shalat sebagai tiangnya agama (ash-shalatu `imanuddin) akan benar-benar dapat meniadakan/ menafikan hijab terbesar dan terhebat yang bila sekiranya tidak dengan Daya dan Kekuatan Ilahi sama sekali tidak mungkin tercapai.

Hijab terbesar dan terhebat itu adalah wujudnya jiwaraga. Wujud jiwaraga yang menjadi markas besarnya hawa nafsu dan syahwat, markasnya watak “aku” (ngaku-ngaku: kaya, pintar, dll, padahal dikayakan atau dipintarkan oleh Tuhan). Wujud jiwaraga yang adalah hakekatnya dunia. Wujud jiwaraga yang mestinya sebagai kendaraannya hatinurani, roh dan rasa, namun ternyata justru sebaliknya. Malah dia yang nunggangi, memperalat, memerintah dan menjajah rasa hati.

Padahal wujud jiwaraga ini adalah barang pinjaman. Pinjaman yang terkumpul dari tanah (kulit), air (tulang), angin (darah), dan api (daging). Maka harus dikembalikan (ke asalnya masing-masing) supaya selamanya tidak menjadi hijab terbesar dan terhebat, bahkan terdahsyat. Alat mengembalikan satu-satunya hanyalah dengan shalat dengan rasa hati yang dapat merasakan nikmatnya dan indahnya zikir (aqimish shalata lidz dzikri), yakni mengingat-ingat dan menghayati DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib (yang dibisikkan oleh Guru Wasithah saat pemberkahan/talqin zikir).

Sabda Nabi Saw ash-shalatu `imaduddin (=shalat itu tiangnya agama). Jika tiangnya roboh (shalatnya tidak sesuai dengan Kehendak Allah dan RasulNya) maka amal-amal lain akan sia-sia. Dalam hadits lainnya disebutkan, bahwa amal-amal lain akan diperiksa setelah pemeriksaan terhadap shalat beres. Jika shalatnya benar, amal-amal lain diperhitungkan. Tapi jika shalatnya salah (tidak sesuai dengan tujuan shalat, yakni lidz-dzikri =ingat AKU =ingat Zat Tuhan ), maka amal-amal lain tidak diperhitungkan. Artinya, shalat itu ibarat angka-1 di depan sedangkan amal-amal lain ibarat angka-0di belakang. Angka-0 di belakang akan berharga jika di depannya ada angka-1; tapi tidak berharga sama sekali jika di depannya angka-0 juga. (Angka 100 berharga, tapi angka 0.000.000.000.000 walaupun angka nol di belakang angka-0-nya sepanjang jalan kereta api, tidak berharga sama sekali).

Shalat yang tidak sesuai dengan tujuan shalat diancam dengan neraka. Tidaklah heran jika orang-orang yang diancam dengan neraka itu adalah mereka yang tidak mengerjakan shalat. Tapi dalam Qs. 107/Al-Ma`un ayat 4-5, orang-orang yang diancan dengan neraka itu justru al-mushollin. Mereka (al-mushollin) bukanlah orang yang tidak mengerti syarat dan rukun shalat, atau yang mengerjakan shalat secara asal-asalan dan di sembarang waktu; karena kalimat al-mushollin menggunakan alif-lam “al” (berarti ma`rifat), artinya orang yang terbiasa mengerjakan shalat dengan memenuhi syarat dan rukunnya. Secara sosiologis, al-musholliin dapat diartikan shalatnya kaum santri, karena kaum santrilah yang terbiasa mengerjakan shalat serta yang mengerti syarat-rukunnya. Tapi mereka shalatnya sahun (=lalai, tidak lidz-dzikri, tidak ingat Zat Tuhan) sehingga dijebloskan Tuhan ke neraka. Na’udzubillahi min dzalik!

Di sinilah letak pentingnya shalat yang benar, yakni harus memenuhi kehendak dan perintah Tuhan wa aqimish sholata lidz dzikri (=dirikanlah shalat untuk mengingat AKU). Jadi, shalat yang benar sesuai kehendak Tuhan harus selalu “mengingat” AKU (=DiriNya Ilahi Zat Tuhan Yang Al-Ghaib, AsmaNya Allah).

Dengan shalat lidz-dzikrii (mengingat AKU), maka kondisi khusyu` dapat tercapai (Qs. 23/Al-Mu`minun: 1-2; Qs. 2/Al-/Baqarah: 45). Dengan demikian maka shalatnya benar-benar menjadi

Page 10: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

tiangnya agama (ash-shalatu `imaduddin); yakni benar-benar dapat meniadakan hijab terbesar dan terhebat, yang sekiranya tidak dengan Daya dan Kekuatan Ilahi (illa ANA) sama sekali tidak mungkin tercapai. Dengan shalat yang lidz-dzikri (mengingat AKU, mengingat Zat Tuhan) inilah maka perbuatan keji (ma`siat) dan munkar dapat tercegah (Qs. 29/Al-Ankabut: 45).

3. Membayar zakat dengan akhlaqul karimahJika syahadatnya benar (yakni dapat ‘menyaksikan’ Tuhan dan ‘menyaksikan’ Muhammad

Rasulullah) dan shalatnya benar (sesuai dengan Kehendak Allah dan RasulNya, yakni khusyu`, ada zikirnya, dan berdampak atas tercegahnya perbuatan keji dan munkar) maka rukun Islam ketiga akan mudah dijalankan. Harta kekayaan yang biasa diaku miliknya (diaku hasil usahanya, diaku hasil prestasi bisnisnya), pada orang yang telah ‘menyaksikan’ Zat Tuhan Yang AsmaNya Allah dan ‘menyaksikan’ Muhammad Rasulullah serta mendirikan shalat dengan benar, maka harta kekayaannya itu dianggapnya sebagai barang titipan Tuhan untuk dibelanjakan sesuai dengan Kehendak Tuhan dan RasulNya. Maka zakat yang menjadi rukun Islam ketiga juga akan benar-benar menjadikan proses pensucian diri supaya hatinurani, roh dan rasanya selalu terjaga dan terpelihara dalam bersentuhan dengan DiriNya Ilahi Zat Yang Maha Suci. Orang yang telah secara benar menjalankan rukun Islam ke-1 dan ke-2, maka ia akan mengeluarkan harta itu untuk membayarkan hak-hak Allah, hak-hak Rasulullah, hak-hak kerabat Rasul, serta hak-hak manusia. Sama sekali tidak akan menggunakan harta untuk bersenang-senang, bermewah-mewahan, jor-joran, terlebih menumpuk harta hingga untuk 7 turunan.

4. Puasa Ramadhan dengan akhlaqul karimahKewajiban melaksanakan berpuasa di bulan Ramadhan merupakan gambaran nyata terhadap

proses supaya hidupnya menjadi mulia disisiNya, yaitu muttaqin (la`allakum tattaqun =agar kamu bertakwa); yakni menjadi hamba yang ber-sungguh-sungguh dalam ibadahnya dengan benar dan ikhlas. Ikhlas adalah bersih. Bersih dari syirik lahir dan syirik batin. Hal ini terjadi karena semua amal ibadahnya tidak ada yang ”diaku”. Sebab akunya telah sirna (tenggelam) ke dalam Yang Maha Aku. Ibadahnya ka annaka tarohu =seolah-olah dapat melihatNya; yakni ibadah yang hatinurani, roh dan rasanya dijaga untuk dapat dibarengi dengan mengingat-ingat dan menghayati Diri Ilahi Zat Yang Al-Ghaib dan dekat sekali dalam rasa hati.

Bulan Ramadhan disebut pula dengan bulan suci. Bulan pensucian diri agar hakekat diri yang asal mula tempatnya dari DiriNya Zat Yang Maha Suci kembali lagi kepadaNya; kembali pada fitrah yang memang asalnya dari Yang Maha Fitrah (fithrotallahil lati fathoron nasa `alaiha). Siang hari menahan dahaga, menahan lapar, menahan nafsu syahwat, menahan diri untuk tidak berbuat maksiat dan segala macam hal yang merusak puasa (sebagai taubatnya jasad); di malam hari memperbanyak shalat (terutama qiyamur ramadhon/shalat tarawih dan qiyamul-lail/shalat malam/shalat tahajud), membaca Al-Quran, rajin bersedekah, rela mengeluarkan harta titipan Allah bagi yang berhak menerima, berzakat, zakat fitrah, ada juga malam lailatul-qodar, malam Allah memuliakan hambaNya menjadi kekasihNya, sehingga hamba yang dicintai olehNya ini akan menjadikan rasa hatinya dapat merasakan betapa indahnya dan betapa nikmatnya merasakan DiriNya Zat Yang Al-Ghaib ini, meskipun ia tetap sebagaimana layaknya manusia biasa.

5. Hajji dengan akhlaqul karimahKemudian berhajji bagi yang dimampukan olehNya adalah panggilan Allah untuk

membuktikan ‘arifun billah. Sebab al-hajju ‘arofatu. Prakteknya harus wukuf di padang

Page 11: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

‘arafah.Makna wukuf adalah berhenti. Yang harus dihentikan adalah semua hal yang menjadikan ter-hijab-nya (terbentenginya) mata hati hingga tidak akan dapat menyaksikan DiriNya Ilahi Zat Yang Al-Ghaib. Karena itulah maka semua rukunnya haji merupakan simbol-simbol guna mencapai keadaan di atas. Simbol-simbol itu misalnya seperti disunatkan oleh Nabi mencium Hajar aswad.

Pencium dengan alat hidung adalah satu-satunya panca indera manusia yang tidak bisa ditipu dan paling jujur. Instrumennya rasa yang satu ini (hidung), Zat Yang Al-Hayyu Al-Qayyum, Maha Agung yang harus dapat diingat-ingat bersama-sama dengan setiap masuknya nafas ke dalam dada. Sebab bila nafas yang keluar masuk ini tidak diisi dengan zikir, layaknya seperti keluar masuknya nafas hewan; kosong dari butiran iman. Dan apabila begitu halnya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa:

Akan datang atas manusia suatu zaman di mana pada zaman itu seseorang dinyatakan: alangkah pandainya, alangkah bijaksananya, alangkah kuatnya, padahal dalam hatinya tidak ada sedikitpun butiran imannya.

Karena itulah hidung sebagai tempat keluar masuknya nafas yang dengan ada isinya, disimbulkan sebagai Gunung Tursina.

Lalu mengapa Nabi Muhammad Saw mensunatkan mencium hajar aswad?Hajar aswad adalah simbul mudghoh, segumpal daging dalam jasad manusia. Dalam hadits

disebutkan: Apabila segumpal daging itu sholuha (bagus), maka menjadi baiklah seluruh jasad manusia. Dan apabila segumpal daging ini fasad (jelek), maka menjadi jeleklah seluruh jasad manusia.

Segumpal daging ini setelah terkena hawa dunia, benar-benar persis sebagaimana wujudnya yang nyata-nyata hajar aswad. Batu yang keras dan hitam. Dalam jasad, benar-benar menjadi qolbun jasmaniyun zulmaniyyun; menjadi hati yang watak dan keinginannya bagaimana agar jasadnya bersenang-senang dan berwibada dalam hidup di dunia. Maka lalu zalim, termakan betapa kuatnya pengaruh hawa dunia. Hawa dunia yang 99% lebih sepertinya memang dikuasai syetan. Sebab yang disebut syetan itu adalah semua pengaruh dan ajakan yang datang dari luarnya diri yang pengaruh dan ajakan itu sama sekali tidak sekehendak dengan Tuhan. Jadi, ya banyak sekali. Bisa dari ibu, dari ayah, dari isteri, dari anak, dari saudara, dari teman sekerja, dari pekerjaan, dari bacaan, dari apa yang didengar dan dilihat mata kepala, dari harta, wanita, dan banyak lagi yang tidak sejalan dengan Kehendak Tuhan. Jadi kalau ada ungkapan leluhur bahwa dunia ini penuh dengan syetan doyan sambal, ya tidak ada salahnya (=syetan manusia).Sedang bila ajakan yang mempengaruhi manusia menjadikan hidupnya tidak sejalan dengan kehendak Allah, datang dari dalam dirinya sendiri, ini namanya nafsu. Karena itu maka antara syetan dan nafsu ada kerja sama yang kental.

Lalu mengapa Nabi Muhammad Saw mencium hajar aswad?Sebab dibalik batu yang keras itu (dibalik hijab yang hebat dan bahkan dahsyat) dan hitam

pekat, gelap dan zalim ketika terkena hawa dunia, dibalik itu ada kandungan makna asli dan murni, sebelum terkena hawa dunia. Sebelum dibungkus oleh jenggelegnya jiwaraga.Asli dan murninya itu adalah inti manusia, yaitu fitrahnya diri, yang ketika hendak diproses Allah menjalani ujian dan cobaan dunia lewat kandungannya sang ibu, ketika dimintai kesaksian oleh Allah: Alastu birabbikum (Bukankah AKU ini Tuhanmu?) jawabnya sama, yaitu: Qooluu balaa syahidnaa (Ya – Engkau Tuhan kami. Kami menjadi saksi).

Fitrah diri yang kini menjadi inti manusia, diletakkan dalam rasa, dibungkus oleh arwah, diletakkan dalam hatinurani, dibungkus wujudnya jasad, ketika dimintai kesaksian oleh Tuhannya: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Jawabnya adalah: “Benar, wahai Tuhanku, kami semua menjadi saksi”! (Qs. 7/Al-A`rof: 172). Maksudnya secara yakin menyaksikan atas keberadaan Diri Tuhan yang di alam dunia ini Dia sama sekali takkan pernah menampakkan Diri, karena Dia Al-Ghaib, Satu-satuNya Zat Yang Wajib WujudNya tetapi gaib dan di dunia ini Dia mengenalkan DiriNya dengan Asma Allah dan juga Asma-Asma lain yang terangkum dalam Asmaul-husna. Itulah keadaan asli dan murninya fitrah manusia.

Oleh karena itu dengan tegasnya, agar manusia ketika dalam ujian dunia ini dapat lulus guna tujuan pulang kembali kepadaNya, Nabi Muhammad Saw bersabda: Uthlubul `ilma minal mahdi ilal-lahdi =Carilah Al-Ilmu sejak dari ayunan hingga ke liang lahad.Ilmu sejak dari ayunan berarti masih dalam keadaan bayi yang baru lahir,yakni ilmu untuk mengenali fitrahnya diri yang asal tempatnya

Page 12: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

dari DiriNya Zat Yang Maha Fitrah. Itulah sebabnya mengapa ada ungkapan man ‘arofanafsahu faqod ‘arofa Rabbahu =Barang siapa yang mengenal dirinya maka pasti akan mengenal Tuhannya. Dan ilmu untuk masuk ke liang lahad adalah ilmu yang menunjukkan pintunya mati supaya dapat selamat bertemu dengan DiriNya Tuhan lagi. Sabda Nabi di atas bermakna perintah, yaitu: Carilah! Maksudnya yang dicari ini adalah yang berhak dan sah menunjuki (yakni pelanjutnya Nabi Saw – Ulil Amri atau Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyin, Ulama Pewaris Nabi, Ahli Zikir, atau Guru Mursyid). Sebab ilmu seperti itu memang tidak ada pada tulisan dan juga tidak ada pada bacaan. Bacaan dan juga tulisan yang ada memang bermanfaat juga untuk menggiring (ke arah orang yang berhak dan sah menunjuki).

Pelaksanaan thawaf dengan mengelilingi Ka’bah 7 kali, juga ada makna di dalamnya. Pada pojok pertama ka`bah yang ada Hajar Aswad (batu hitam). Hajar Aswad adalah simbol asal mula tempat fitrahnya manusia. Fitrah diri manusia yang terhadap Keberadaan Diri Tuhannya menyaksikan Ada dan Wujud Diri Tuhannya, dan juga telah sedia memikul amanahNya meskipun kesediaannya memikul amanahNya ini ternyata tidak dipuji bahkan malah mendapat vonis: Innahu kana zhaluman jahula (=Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan bodoh), karena memang sangat bodohnya hingga karena itu sama sekali tidak tahu bahwa akan diproses menjadi bentuk baru (berjiwa-raga) lewat kandungan ibu, terus diuji dengan hidup dan kehidupan dunia.

Pojok ka’bah yang kedua adalah simbol alam kandungannya ibu. Di alam ini, ketika calon manusia telah berumur 120 hari berupa segumpal daging, lalu dimasukkan ke dalamnya ruhNya dan ditetapkan rizkinya, umurnya, matinya, amalnya, serta nasib baik dan buruknya. (Perhatikan kembali hadits takdir dalam Rukun Iman).

Pojok ka`bah ketiga adalah simbol alam dunia. Bagi yang dikehendaki mengikut jejak para malaikatul-muqorrobin yang rela sujud kepada wakilNya Allah = jihadunnafsi-nya hingga patuh dan tunduk bagai mayit yang pasrah seutuhnya kepada yang berhak mensucikannya, di tempat ujian dunia ini tidak berhenti, terus jalan melewati pojok keempatnya Ka'bah sebagai simbol alam kubur. Dan karena matinya selamat, maka bangkitlah suka citanya merasakan betapa indah dan bahagianya kembali bertemu dengan Diri Ialhi.

Thowaf dengan mengelilingi ka'bah tujuh kali ini adalah lambang perjalanan menuju Tuhan sebagaimana firman Allah dalam Qs. Al Mukminun ayat 17: Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan, dan Kami tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami. Dalam Ilmu Tasawuf nafsu itu ada 7 tingkatan. Maksudnya, berjalan menuju Tuhan itu harus menundukkan 7-tangga nafsu hingga mencapai nafsu kamilah (nafsu yang sempurna). Dalam Sufisme Syaththariah ada zikir-7, yang disesuaikan dengan nafsu yang 7 macam itu. Jadi, thowaf yang 7 putaran sebagaimana zikir-7 merupakan tangga untuk menaiki 7-tangga nafsu hingga mencapai nafsu kamilah.

Kain ihram tanpa jahitan adalah simbol sama-sama. Simbol kemerdekaan, kedamaian. Simbol tiadanya perbedaan. Simbol rasa jiwa yang hurriyah tammah. Rasa jiwa yang merdeka sejati dan sempurna karena hanya merasakan DiriNya Tuhan dalam rasa hatinya. Simbol hidupnya manusia yang tidak dijajah oleh nafsunya sendiri. Simbol dari pada hamba yang segala tingkah laku dan perbuatan lahir dan batinnya semata-mata karena katut siliring Qudratullah (mengikuti Kehendak Allah) karena olehNya dijadikan hamba yang mencahayakan DiriNya.

Tahalul dengan simbol motong rambut. Rambut adalah lambang mahkota. Maka harus dipotong. Adalah simbol untuk meniadakan watak akunya nafsu yang mahkotanya adalah aba wastakbara (takabur, sombong), ana khoerun minhu (aku lebih baik dibanding Rasul dan Ulil Amri sekalipun), dan layatgho, an-ro`a hustaghna (keterlaluan, tidak mau mentaati Rasul/Ulil Amri, karena merasa dirinya – ilmunya dan sebagainya – serba cukup, sehingga tidak butuh dengan bimbingan Rasul/Ulil Amri). Mengambil tujuh buah kerikil di malam hari untuk alat melempar jumrah merupakan simbol hamba yang bangun habis tengah malam, beristighfar, mohon ampunan kepadaNya. Dan bila dikabulkan olehNya, diberitahu oleh Tuhannya bahwa penyebab orang tergelincir dari jalan lurus yang licin ini karena kesandung kerikil, yang biasanya dianggap sepele.

Kerikil-kerikil ini adalah lambang wataknya nafsu yang maunya ”ngaku” terhadap semua amal baiknya hingga menjadikannya lupa pada belas kasih Tuhan yang membuat dirinya mempunyai hati dimaukan"beramal baik. Karena itu harus dibuang, yakni dilempar ke sumur tempat melempar jumrah. Ini simbol melempar syetan supaya syetan (yaitu ajakan dari luar dirinya yang menyebabkan hidup dan kehidupan tidak sejalan dengan kehendak Tuhan) tidak mempan lagi.

Page 13: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

Lalu mengapa melemparkannya mesti ke dalam sumur dan harus dapat masuk semua? Sumur adalah simbolnya sumber ilmu. Ilmu untuk dapat masuk ke dalam samuderanya 'arifun billah. Dilempar ke sini supaya tenggelam, yakni: sirna, fana, nafi. Hal ini dimaksudkan agar wataknya nafsu yang maunya selalu ”ngaku”, (”ngaku” bisanya, ”ngaku” pintarnya, ”ngaku” kayanya, dan lain-lainnya), sirna tenggelam ke dalam DiriNya Sang Maha Aku.

C. RENUNGANRadio NU (2013) mengisahkan seseorang yang tidak berangkat haji ke Makkah tapi

memperoleh predikat hajji mabrur. ‘Abdullah bin Mubarrok berniat pergi haji. Dia pun menabung. Menjelang musim haji tiba dia pergi ke pasar membawa uang 500 dinar untuk membeli unta, untuk kendaraan berangkat haji. Tapi uang tersebut tidak mencukupi. Dia pun pulang lagi ke rumahnya. Di tengah perjalanan pulang, ‘Abdullah melihat seorang wanita sedang membersihkan bulu ayam di tempat sampah. Dia tertarik dan mendekati wanita itu. Ketika tahu bahwa ada seseorang yang mendekatinya, wanita itu malah membelakangi ‘Abdullah. Dia semakin tertarik dan ingin tahu, kemudian terperanjat. Ternyata wanita itu sedang membersihkan bangkai ayam. Hatinya menjadi miris. Setelah mengucap salam, terjadilah tanya-jawab antara Abdulah dengan wanita itu.

“Wahai ibu, untuk apa ibu membersihkan bangkai ayam ini?” “Untuk di makan.” Jawab wanita itu tanpa menoleh. “Bukankah ibu tahu, Allah mengharamkan kita memakan bangkai ayam.” “Bangkai ayam ini memang haram bagi tuan, tetapi tidak untukku dan anak-anakku,” jawab si wanita sambil terus membersihkan bangkai ayam itu. “Memang apa sebabnya?” Tanya ‘Abdullah semakin penasaran. “Jangan campuri urusanku, pergilah menjauh dariku,” jawab wanita itu dengan nada tidak senang. “Demi Allah, aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum aku tahu masalahmu!. Katakanlah wahai ibu,” lanjut ‘Abdullah dengan penuh harap. “Baiklah, kata wanita itu, karena engkau telah meminta dengan nama Allah, aku beritahu masalahku. Ketahuilah tuan, aku dan anak-anakku sudah tiga hari tidak makan. Suamiku gugur di medan perang, dan dia tidak meninggalkan warisan yang bisa dipergunakan untuk menyambung hidup anak-anaknya yang yatim sekarang. Aku tidak mau meminta-minta. Karena itu akAku mencari makanan kesana kemari, tapi tidak kudapatkan kecuali bangkai ayam ini!”

Hati ‘Abdullah tergetar hebat. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Pandangannya menjadi kabur dan seluruh persendianya menjadi terasa lemas. Dia benar-

Page 14: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah

benar merasa sangat berdosa jika membiarkan wanita dan anak-anaknya memakan bangkai ayam. Lalu, sambil menunduk, dia berkata dalam hatinya, “Wahai ibnu Mubarrok, haji apakah yang lebih mabrur dibandingkan dengan menolong ibu ini dan anak-anaknya?” Dan tanpa berpikir panjang lagi ‘Abdullah menyerahkan semua uangnya yang direncanakannya untuk biaya perjalanan haji tahun depan. “Wahai ibu, mulai detik ini, bangkai ayam itu haram bagimu dan anak-anakmu! Ambilah uang ini, dan segeralah beri makan anak-anakmu!” Wanita itu gembira sekali. Sambil menerima uang pemberian ‘Abdullah si wanita itu berkata, “Semoga Allah merahmatimu!” Lalu wanita itu pun pergi meninggalkan `Abdullah. Ibnu Mubarrok dengan ikhlas pulang ke rumahnya. Harapan untuk pergi haji ke Makkah pun terhapus sudah.

Ketika musim haji sudah selesai dan jamaah haji sudah kembali ke kampung halamannya masing-masing, ‘Abdullah bin Mubarrok bersama keluarganya menyambut rombongan haji di batas kota. Sungguh berita mengagetkan, para jamaah yang baru pulang haji bercerita bahwa mereka bertemu dengan ‘Abdullah bin Mubarrok di tempat ini dan itu. Malam harinya, ‘Abdullah mimpi bertemu Rasulullah SAW. Konon, dalam mimpinya, Rasulullah bersabda, “Wahai ibnu Mubarrok, engkau telah merelakan bekal hajimu untuk menolong sanak keturunanku sehingga mereka terbebas dari kesulitan hidup; maka Allah mengutus malaikatNya yang diserupakan dengan dirimu pergi haji untukmu setiap tahun; dan engkau akan menerima pahalanya sampai hari kiamat.” (Diposkan oleh Ahmad Syaefuddin dari Radio NU, 8 November 2013). Kisah yang mirip dengan ibnu Mubarrok ini cukup banyak.

D. KESIMPULANRukun Islam yang lima bukan sekedar dihapal dan diamalkan tanpa makna. Rukun

Islam pertama, mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan sekedar mengucapkan (karena kalau sekedar mengucapkan siapa pun asalkan lidahnya normal pasti bisa mengucapkannya). Mengucapkan dua kalimat syahadat harus disertai penyaksian, yakni “menyaksikan” Tuhan yang mengenalkan DiriNya dengan nama “Allah”. Tentu kita tidak mungkin dapat “menyaksikan” Allah, karena Tuhan itu Al-Ghaib (Maha Ghaib). Satu-satunya cara untuk dapat “menyaksikan” Tuhan adalah dengan jalan “bertanya” kepada Ahli Zikir (Fas`alu ahladz dzikri inkuntum la ta`lamun =maka bertanyalah kepada Ahli Zikir jika kamu tidak tahu – dalam arti tidak dapat menyaksikan – Tuhan. Karena itu ada syahadat kedua, yakni “menyaksikan” Muhammad Rasulullah. Ketika Nabi Muhammad masih berada di tengah-tengah umat, orang-orang Islam harus bertanya kepada Nabi Muhammad jika mereka ingin dapat “menyaksikan” Tuhan. Rukun Islam kedua, “mendirikan” shalat (bukan sekedar “mengerjakan” shalat). Selain memenuhi syarat dan rukun, mendirikan shalat haruslah disertai hati yang selalu mengingat-ingat Tuhan (aqimish shalata lidz-dzikri) =dirikanlah shalat untuk mengingat AKU). Bagaimana bisa mengingat AKU (Tuhan) jika kita tidak dapat “menyaksikan” Tuhan. Oleh karena itu syarat utama untuk dapat mendirikan shalat haruslah sudah dapat “menyaksikan” Tuhan. Demikianlah seterusnya.

Page 15: file.upi.edufile.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195801281986121... · Web viewPerspektif Tasawuf Syaththariah, raga adalah barang pinjaman dari empat unsur alam, yakni dari: tanah