File Perencanaan Museum

4
Mengabdi pada Leluhur jangan sampai Kehilangan Jejak Senin, 18 Januari 2010 AROMA khas terasa menyengat hidung saat pintu ruang konservasi Museum Bali dibuka. “Ini bau minyak sereh,” ujar Putu Suratini, pelaksana konservasi koleksi Museum Bali. Seliter minyak sereh berwarna kuning berada di atas meja permanen berkeramik putih. Di sampingnya, ada lontar Bharata Yudha Murti bernomor registrasi 07.20. “Minyak sereh ini berfungsi melemaskan lontar agar kaku dan mencegah serangga hidup di bilah lontar,” kata Suratini. Pekerjaan Putu Suratini saban hari berkutat dengan berbagai jenis benda koleksi Museum Bali, satu-satunya museum negeri yang dibawahi Pemerintah Provinsi Bali. Bersama rekannya, Nyoman Sujana, tiap hari mereka berkeliling gudang penyimpanan benda koleksi dan ruang pamer Museum Bali, mengamati kondisi benda koleksi. “Pekerjaan kami ya begitu saja; mengecek ke koleksi, jika ada yang rusak, kami ambil dan kami rawat. Ibaratnya, kami dokter, benda koleksi pasien kami. Kami jadi dokter barang mati,” ujar Sujana berseloroh. Meski barang mati, mereka harus merawat “pasien” dengan sangat telaten, sabar, dan hati-hati. “Kalau tidak telaten, tidak sabar, dan tidak hati-hati, kami malah bisa merusak benda koleksi,” kata Suratini. Penyakit yang diderita “pasien” mereka beragam, tergantung jenisnya. Benda koleksi berbahan logam umumnya berkarat; lontar berjamur; kayu lapuk atau dimakan rayap. “Jika di bilah lontar ada bintik-bintik putih, berarti terserang jamur,” kata Suratini. Benda koleksi yang berpenyakit, dibawa ke ruang kerja mereka. Awalnya, semua benda koleksi kecuali yang berwarna seperti lukisan, dibersihkan menggunakan alkohol 96%. Fungsinya, menghilangkan debu dan kotoran lain yang tersangkut di benda koleksi tersebut. Setelah itu, ditangani sesuai jenis benda. Lontar diolesi minyak sereh agar tak kaku dan mencegah serangga hidup di bilah-bilah lontar. Mereka harus berhati- hati, karena efek samping minyak sereh adalah menyebabkan lontar terserang jamur. “Itu terjadi jika lontar tak benar-benar kering usai diolesi minyak sereh,” kata Suratini. Selain berjamur, penyakit lontar lainnya adalah tulisan yang tidak jelas. “Kalau tulisan di lontar tak jelas, perlu dirawat pakai kemiri,” ungkap Sujana. Caranya, kemiri dibakar, ditumbuk, lalu diolesi ke tiap bilah lontar. Ada teori untuk mengolesi lontar. “Arah olesannya harus searah. Kalau arahnya bolak-balik, lontar bisa patah,” ujar Sujana. Semuanya dilakukan dengan pelan-pelan dan hati-hati. “Di sinilah perlunya ketelatenan dan kesabaran. Kalau tidak, benda koleksi bisa rusak semua,” imbuh Sujana. Sapuan kemiri yang dibakar akan masuk pori-pori lontar dan memperjelas tulisan. “Kalau masih kurang, diolesi lagi. Begitu kering, dilap lagi,” kata Sujana. Guna mencegah efek samping pengolesan minyak sereh dan mencegah masuknya serangga ke lontar, setelah proses perawatan tersebut, lontar difumigasi menggunakan timol. Ada ruang fumigasi khusus untuk benda koleksi. Di ruangan berukuran 2,5 m x 2,5 m dan kedap udara, benda koleksi itu diuapkan dengan bahan kimia dan dibiarkan selama dua minggu. Uap bahan kimia itu membunuh kuman-kuman yang melekat di benda koleksi. “Yang paling dominan difumigasi adalah kayu dan kain,” kata Suratini. Usai difumigasi, benda koleksi dibersihkan, lalu disimpan kembali. Berbeda dengan lontar, penyakit benda koleksi berbahan logam adalah karat. Untuk menghilangkan karat yang melekat, digunakan citric acid monohydrate yang dilarutkan dalam satu liter aquades. Kalau mau proses pelepasan karat lebih cepat, tergantung konsentrasi bahan kimia yang dilarutkan. Suratini kadang menggunakan konsentrasi 5% atau 10%. Benda yang berkarat, seperti keris, direndam dalam laturan tersebut selama beberapa waktu. Gosok 15 menit sekali. Nanti dibilas di air yang mengalir. “Kami tak bisa menentukan berapa lama waktu yang diperlukan untuk menangani satu keris yang berkarat, tergantung kadar karatnya. Karena itu, kami harus pakai perkiraan sendiri. Kalau karatnya kronis, bisa hanya tiga benda sehari yang kami tangani. Ketepatan perkiraan menjadi mutlak karena kalau benda terlalu lama direndam, bisa rusak,” kata Sujana. Cara lain yang pernah dicoba tetapi jarang diterapkan adalah perawatan dengan cara tradisional. “Benda yang berkarat digosok menggunakan jeruk nipis. Karatnya bisa hilang,” ungkap Suratini. Selain itu, mengkudu juga bisa jadi bahan alternatif. Mengkudu ditumbuk, dilarutkan dalam air dan digunakan untuk merendam benda berkarat. Pemeliharaan benda koleksi berbahan kayu dan kain, mirip. Kedua jenis bahan itu lebih sering mendapat perawatan fumigasi karena gampang lapuk. “Kalau ada kayu yang berlubang, usai difumigasi menggunakan post toxin, kami lakukan restorasi dengan cara melapisinya dengan lilin. Lilin kami panaskan dan cor ke lubang sesuai bentuk ukiran semula,” papar Suratini. Kayu dan kain dilapisi vaselin agar tak cepat rusak. “Tindakan-tindakan yang kami lakukan itu semua sebagai bentuk pencegahan kuratif terhadap kerusakan benda koleksi. Selain itu, kami juga melakukan pencegahan yang bersifat preventif,” kata Suratini. Pencegahan penyakit Cyber TOKOH http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2011, 05:00

description

Literatur Perencanaan dan Perancangan Museum Bahari

Transcript of File Perencanaan Museum

Page 1: File Perencanaan Museum

Mengabdi pada Leluhur jangan sampai Kehilangan JejakSenin, 18 Januari 2010

AROMA khas terasa menyengat hidung saat pintu ruang konservasi Museum Bali dibuka. “Ini  bau minyaksereh,” ujar Putu Suratini, pelaksana konservasi koleksi Museum Bali. Seliter minyak sereh berwarna kuningberada di atas meja permanen berkeramik putih. Di sampingnya, ada lontar Bharata Yudha Murti bernomor registrasi07.20. “Minyak sereh ini berfungsi melemaskan lontar agar kaku dan mencegah serangga hidup di bilahlontar,” kata Suratini. Pekerjaan Putu Suratini saban hari berkutat dengan berbagai jenis benda koleksi Museum Bali, satu-satunya museumnegeri yang dibawahi Pemerintah Provinsi Bali. Bersama rekannya, Nyoman Sujana, tiap hari mereka berkeliling gudangpenyimpanan benda koleksi dan ruang pamer Museum Bali, mengamati kondisi benda koleksi. “Pekerjaan kamiya begitu saja; mengecek ke koleksi, jika ada yang rusak, kami ambil dan kami rawat. Ibaratnya, kami dokter, bendakoleksi pasien kami. Kami jadi dokter barang mati,” ujar Sujana berseloroh.

Meski barang mati, mereka harus merawat “pasien” dengan sangat telaten, sabar, dan hati-hati.“Kalau tidak telaten, tidak sabar, dan tidak hati-hati, kami malah bisa merusak benda koleksi,” kataSuratini.

Penyakit yang diderita “pasien” mereka beragam, tergantung jenisnya. Benda koleksi berbahan logamumumnya berkarat; lontar berjamur; kayu lapuk atau dimakan rayap. “Jika di bilah lontar ada bintik-bintik putih,berarti terserang jamur,” kata Suratini. Benda koleksi yang berpenyakit, dibawa ke ruang kerja mereka. Awalnya, semua benda koleksi kecuali yang berwarnaseperti lukisan, dibersihkan menggunakan alkohol 96%. Fungsinya, menghilangkan debu dan kotoran lain yangtersangkut di benda koleksi tersebut. Setelah itu, ditangani sesuai jenis benda.

Lontar diolesi minyak sereh agar tak kaku dan mencegah serangga hidup di bilah-bilah lontar. Mereka harus berhati-hati, karena efek samping minyak sereh adalah menyebabkan lontar terserang jamur. “Itu terjadi jika lontar takbenar-benar kering usai diolesi minyak sereh,” kata Suratini. Selain berjamur, penyakit lontar lainnya adalahtulisan yang tidak jelas.

“Kalau tulisan di lontar tak jelas, perlu dirawat pakai kemiri,” ungkap Sujana. Caranya, kemiri dibakar,ditumbuk, lalu diolesi ke tiap bilah lontar. Ada teori untuk mengolesi lontar. “Arah olesannya harus searah. Kalauarahnya bolak-balik, lontar bisa patah,” ujar Sujana. Semuanya dilakukan dengan pelan-pelan dan hati-hati.“Di sinilah perlunya ketelatenan dan kesabaran. Kalau tidak, benda koleksi bisa rusak semua,” imbuhSujana. Sapuan kemiri yang dibakar akan masuk pori-pori lontar dan memperjelas tulisan. “Kalau masih kurang,diolesi lagi. Begitu kering, dilap lagi,” kata Sujana.

Guna mencegah efek samping pengolesan minyak sereh dan mencegah masuknya serangga ke lontar, setelah prosesperawatan tersebut, lontar difumigasi menggunakan timol. Ada ruang fumigasi khusus untuk benda koleksi. Di ruanganberukuran 2,5 m x 2,5 m dan kedap udara, benda koleksi itu diuapkan dengan bahan kimia dan dibiarkan selama duaminggu. Uap bahan kimia itu membunuh kuman-kuman yang melekat di benda koleksi. “Yang paling dominandifumigasi adalah kayu dan kain,” kata Suratini. Usai difumigasi, benda koleksi dibersihkan, lalu disimpan kembali.

Berbeda dengan lontar, penyakit benda koleksi berbahan logam adalah karat. Untuk menghilangkan karat yangmelekat, digunakan citric acid monohydrate yang dilarutkan dalam satu liter aquades. Kalau mau proses pelepasan karatlebih cepat, tergantung konsentrasi bahan kimia yang dilarutkan. Suratini kadang menggunakan konsentrasi 5% atau10%.

Benda yang berkarat, seperti keris, direndam dalam laturan tersebut selama beberapa waktu. Gosok 15 menit sekali.Nanti dibilas di air yang mengalir. “Kami tak bisa menentukan berapa lama waktu yang diperlukan untukmenangani satu keris yang berkarat, tergantung kadar karatnya. Karena itu, kami harus pakai perkiraan sendiri. Kalaukaratnya kronis, bisa hanya tiga benda sehari yang kami tangani. Ketepatan perkiraan menjadi mutlak karena kalaubenda terlalu lama direndam, bisa rusak,” kata Sujana.

Cara lain yang pernah dicoba tetapi jarang diterapkan adalah perawatan dengan cara tradisional. “Benda yangberkarat digosok menggunakan jeruk nipis. Karatnya bisa hilang,” ungkap Suratini. Selain itu, mengkudu jugabisa jadi bahan alternatif. Mengkudu ditumbuk, dilarutkan dalam air dan digunakan untuk merendam benda berkarat.

Pemeliharaan benda koleksi berbahan kayu dan kain, mirip. Kedua jenis bahan itu lebih sering mendapat perawatanfumigasi karena gampang lapuk. “Kalau ada kayu yang berlubang, usai difumigasi menggunakan post toxin, kamilakukan restorasi dengan cara melapisinya dengan lilin. Lilin kami panaskan dan cor ke lubang sesuai bentuk ukiransemula,” papar Suratini. Kayu dan kain dilapisi vaselin agar tak cepat rusak.

“Tindakan-tindakan yang kami lakukan itu semua sebagai bentuk pencegahan kuratif terhadap kerusakan bendakoleksi. Selain itu, kami juga melakukan pencegahan yang bersifat preventif,” kata Suratini. Pencegahan penyakit

Cyber TOKOH

http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2011, 05:00

Page 2: File Perencanaan Museum

benda koleksi dilakukan dengan berbagai cara seperti membersihkan, mengatur suhu dan kelembaban ruangan.

I Wayan Suanda dalam tulisannya “Konservasi Lukisan Koleksi Museum” di majalah Musea menyebutkan,kelembaban udara relatif tinggi rata-rata di atas 70% secara terus-menerus dapat menyebabkan lukisan menjadiditumbuhi jamur tertentu seperti lichen, mould, dan mildew yang kemudian meninggalkan noda-noda hitam, cokelat,putih pada permukaan benda sehingga lukisan menjadi tampak kotor secara permanen. Ini juga menyebabkanperubahan mengembang dan kendur di bagian alas seperti kanvas, papan, kertas atau daun lontar. Kelembaban udararelatif rendah rata-rata 35% menyebabkan benda menjadi kering, kehilangan zat perekat, mengerut, retak, dan rapuh.

Aturan pemeliharaan koleksi yang aman: suhu berkisar 25 s.d. 26 derajat Celcius, kelembaban 40% s.d. 60%.“Karena itu, ruang benda koleksi harus dilengkapi air conditioner agar ada kompensasi kelembaban. Khususkoleksi lukisan, air conditioner harus menyala nonstop,” papar Suratini. Jika kelembaban tinggi, dipasangdehumidifier atau alat penyedot lembab. Rak penyimpanan dan pameran benda koleksi juga harus dipantau tiap hari. “Jika lampu rak lupa dimatikan padamalam hari, besoknya akan banyak kotoran karena serangga yang masuk malam hari. Itu harus segeradibersihkan,” imbuh Sujana. “Teman-teman di Museum Bali juga saling membantu. Kalau ada yang kotoratau rusak dan mereka mengetahuinya, kami diberi tahu. Jadi cepat diambil tindakan,” katanya. Pilih Supermarket Di Museum Bali ada 14.242 koleksi dari masa prasejarah sampai masa kini yang terbagi dalam klasifikasi biologi,prasejarah, sejarah, etnografi, naskah kuno, keramik, seni rupa, mata uang, dan teknologi modern. Seluruh koleksi itulahyang selalu mereka jaga agar tak rusak. “Meski disebut pekerjaan yang membosankan, tetapi bagi saya, inipekerjaan penting. Saya anggap ini mengabdi pada leluhur,” kata Sujana.

Menjaga agar kondisi seluruh koleksi tetap baik-baik saja, juga bukan pekerjaan mudah. “Kebanyakan orangmemilih bertamasya ke supermarket dibandingkan ke museum,” ujar Pande Wayan Suteja Neka saat sarasehanseusai Penganugerahan Pers K. Nadha 2010 di Museum Gunarsa Klungkung, Selasa (5/1).}

Pasar Swalayan dan Toserba Tiara Dewata bisa menjadi contoh. Tiap hari, pengunjung arena bermain di Tiara Dewatabisa mencapai 200 orang. Sabtu-Minggu, bisa dikunjungi 400-500 orang. Pada libur Galungan, Kuningan, Idulfitri, ataulibur sekolah pengunjung ke arena bermain bisa mencapai 1.000 orang dan berlangsung seminggu nonstop.Pengunjungnya pun dari seluruh kabupaten/kota di Bali, dari SD sampai SMA. “Seorang anak yang kami tanyaimengatakan, belum tur ke Denpasar kalau pulang tidak bawa tas kresek Tiara Dewata. Kami tak melakukan kerja samayang mengharuskan mereka datang ke sini,” ungkap Honky Gunawan, Manajer Operasional dan PenjualanArena Hiburan Tiara Dewata.

Kondisi serupa bisa pula ditemui di Time Zone Duta Plaza. Arena bermain berkonsep family entertainment ini dikunjungilebih kurang 50 orang pada hari kerja dan 200 orang pada hari libur, terutama Sabtu dan Minggu. “Itu belumtermasuk kunjungan keluarga, yang bisa menembus 50 keluarga per hari,” ujar Lila Mariza, Center Manager TimeZone Duta Plaza.

Kondisi itu tentu jauh berbeda dibandingkan pengunjung Museum Bali. Tahun 2009, jumlah pengunjung Museum Balitercatat 30.201 orang, terdiri atas wisatawan mancanegara 12.672 dan wisatawan domestik 17.529 orang. “Lebihdari 80% pengunjung domestik adalah anak-anak sekolah. Masyarakat umum, kecuali budayawan dan peneliti, amatjarang datang ke museum,” ujar Dra. I Gusti Ayu Mastini, Kepala Museum Bali.

Museum belum mampu menyedot perhatian wisatawan atau penduduk Bali secara maksimal. Data Dinas PariwisataBali, hingga November 2009, tercatat lebih dari 2 juta wisatawan mancanegara dan lebih dari 3 juta wisatawan domestikyang datang ke Bali. Belum pula dibandingkan jumlah penduduk Bali berusia 5 s.d. 24 tahun 2009 yang diperkirakan 3,5juta jiwa menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.

“Museum didirikan bukan sekadar untuk memajang barang antik demi kepentingan penghobi seni melainkansebagai salah satu media untuk menimba ilmu pengetahuan sesuai dengan koleksi yang digelar dalam museumitu,” ujar Suteja Neka. Tetapi, tetap saja, tak banyak orang yang menjadikan museum sebagai tempat belajar.

“Saya tidak tertarik datang ke museum kalau bukan karena diajak pihak sekolah,” ujar Hanifah JuniarAwanda, siswi kelas 8 SMPN 1 Denpasar. Alasan Juniar, museum itu tempat yang membosankan bagi remaja.“Karena yang dilihat cuma patung, gambar, tulisan, lukisan. Tak ada yang menarik,” katanya.“Museum juga terkesan tua. Yang ada dalam bayangan saya tentang museum adalah batu, cokelat, hitam. Itusaja. Museum jadi terlihat mati,” imbuh Dhea Febby Wardani, siswi kelas 8 SMPN 1 Denpasar.} “Mengapa museum tidak berwarna-warni? Jangan hanya warna cokelat dan hitam. Mengapa almarinya tidakberwarna biru misalnya? Kalau berwarna-warni, museum jadi terlihat keren,” kata Dhea. “Museum mengasyikkan jika saat datang pengunjung disambut dengan pemutaran film, ada paparan tentangmuseum atau sejarah terkait, ada acara yang tidak berbau kuno seperti pementasan musik, teater atau pemutaran

Cyber TOKOH

http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2011, 05:00

Page 3: File Perencanaan Museum

film,” tambah Juniar. Ia juga berharap ada pemandu di museum. “Minat baca orang Indonesia kan rendah,tanpa pemandu kami kian malas ke museum. Informasi di benda koleksi panjang pula. Mengapa tak dibuatkan papaninformasi menggunakan teknologi layar sentuh yang ada suaranya?” saran Juniar. Tiga Hal Penting Suteja Neka mengatakan, ada persepsi yang keliru tentang museum. “Kalau menyebut museum, bayanganorang serta-merta tertuju pada sesuatu yang kuno, usang, dan antik. Karena itu, museum sepenuhnya menjadi urusanpencinta seni, penghobi barang antik, dan peneliti di bidang barang kuno. Di luar itu, tak ada urusan denganmuseum,” katanya. Padahal, museum didirikan bukan semata-mata sebagai tempat menyimpan barang kunotetapi juga sebagai media berkelanjutan informasi, pendidikan, penelitian, dan ilmu pengetahuan, bukan hanya bagipeneliti melainkan bagi semua orang, mulai dari kanak-kanak, orang dewasa, maupun orang tua.

“Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam pengembangan museum, yaitu informasi, presenter,koleksi,” ujar Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. antropolog yang juga Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana.Pihak museum harus bisa membuat informasi yang akurat dan menarik bagi pengunjung. “Barang yangdipamerkan adalah benda mati. Informasi bisa ’menghidupkan’ benda tersebut,” kata Ardika.Dokumentasi dalam sebuah pameran juga menjadi penting sebagai sumber informasi. Pengalamannya saat berkunjungmuseum tekstil di Prancis, nila dan kapur dalam konteks tekstil selalu diposisikan sejajar. Itu menginspirasikan sayatentang Mang Hapo dan Mang Nila, pengrajin kapur dan nila versi Bali dan Mang Kudu di Tenganan Pegringsingan.

“Dari sana kita tahu, mengkudu menghasilkan warna merah dan itu warna natural, bukan kimia. Ketika dikaitkandengan tenun Tenganan, menunjukkan bahwa kain tenun itu memakai pewarna alami,” ulas Ardika.

Dengan pendokumentasian terkait proses penciptaan suatu benda dan dipajangkan berdampingan dengan bendakoleksi, museum bisa jadi media pemelajaran. Misalnya lagi, Museum Subak memamerkan alat membajak sawah.“Kalau hanya dipajangkan alatnya, mungkin tak menarik. Akan jadi bagus jika dipajangkan dokumentasi upacarabertani, proses bertani sampai menghasilkan beras. Pengunjung jadi tahu dan itu bisa melestarikan budaya kita,”katanya.

Presenter juga harus ada di museum dan mampu memberi penjelasan. Di Museum Kerta Gosa Klungkung, Ardikapernah menemui pemandu yang bisa menceritakan panel-panel lukisan Kamasan secara menarik dan detail. Museumjuga bisa mengadopsi teknologi. Misalnya, menggunakan papan informasi layar sentuh atau penggunaan headphonebeberapa bahasa. Di papan layar sentuh atau headphone itu pengunjung tinggal pencet, lalu terdengar penjelasanmengenai subjek yang ingin diketahui. “Museum jangan terkesan kuno. Dengan mengadopsi teknologi, tentumenarik,” ucapnya. “Kami juga tertarik menerapkan penggunaan teknologi tersebut. Seperti di museum nasional di Singapura,koleksi mereka sedikit tetapi informasinya banyak. Museum memang bukan object oriented tetapi information oriented.Semua pakai teknologi, tak ada pemandu. Kalau ada anggaran, kami ingin menjalankan sistem tersebut,” kataMastini.

Selain itu, museum juga harus memperhatikan koleksinya. Koleksi British Museum di London banyak dari berbagainegara. Contoh, giok dari Korea dan Cina, koleksi dari Timur Tengah. Di museum etnografi di Berlin Timur, ada koleksikuda lumping, berbagai jenis tameng dari Maluku dan daerah lain di Indonesia, serta tulisan Batak di bilah bambu.“Saya malah tahu soal itu saat di Berlin, padahal itu budaya Indonesia,” katanya. Rekayasa Budaya Masyarakat di negara maju lebih mengapresiasikan hal yang pernah dihasilkan generasi sebelumnya. Adakeingintahuan akan masa lalu dan tidak larut dalam kekinian. Itu sebabnya, museum memiliki daya tarik yang tinggiuntuk dikunjungi tak hanya oleh generasi tua, juga generasi muda. “Budaya berkunjung ke museum perludigalakkan. Kita harus merekayasa budaya. Jangan hanya buat program mengunjungi museum, tetapi harus dirancangsecara komprehensif,” ujar Ardika.

Selama ini, beberapa upaya telah dilakukan Museum Bali untuk menggenjot kunjungan masyarakat datang ke museum.Tiap tahun, pihak museum berkunjung ke sekolah-sekolah yang jauh dari museum untuk memberikan ceramah,mendatangi tokoh masyarakat, berpameran di kabupaten di Bali atau luar Bali. Museum Bali juga menggandeng pihakketiga untuk mengadakan pameran meski tempat terbatas dan kecil. Tiap sore ada kegiatan melukis anak-anak, dan tiapSabtu/Minggu ada pelatihan menari bagi remaja. “Beberapa sekolah seperti SMPN 1 Denpasar dan SMPN 3Denpasar adalah sekolah yang rutin mengajak muridnya ke museum,” kata Mastini sembari berharap, kianbanyak sekolah mengajak muridnya berkunjung ke museum.

“Sekolah memang harus membiasakan anak-anak ke museum. Di mana-mana orang mengatakan masa lalu ituakar kebudayaan mereka. Orang Zimbabwe termasuk orang yang bangga terhadap karya leluhurnya. Zimbabwe adalahnama patung karya leluhur mereka, yang dijadikan nama negara sebagai pengganti nama Rhodesia pemberianInggris,” ungkap Ardika.

Cyber TOKOH

http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2011, 05:00

Page 4: File Perencanaan Museum

Sesuatu yang menjadi fenomena pada masa lampau juga bisa “dihidupkan” kembali dalam bentukmuseum. Seperti sebuah museum di Swedia. Lokasinya berada di bawah tanah. Pada abad ke-17, lokasi itu menjaditempat penjualan narkoba. Lokasi itu, yang kini di atasnya adalah pertokoan, disulap menjadi museum. “Benda-benda yang dimiliki harus dikonservasi, karena museum bukan hanya memajang tetapi juga merawat benda koleksi. Itusemua jejak-jejak budaya. Jangan sampai kita kehilangan jejak. Harus ada gerakan terus-menerus agar generasimendatang juga tahu budaya bangsa kita,” tandasnya. - rat

Cyber TOKOH

http://www.cybertokoh.com Powered by: Joomla! Generated: 4 July, 2011, 05:00