FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf...

32
Page 1 1. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini sektor industri di Indonesia tengah mengalami suatu gejala penurunan pertumbuhan sektor industri yang ditandai dengan kontribusi sektor ini yang tidak lagi signifikan terhadap PDRB, sehingga hal ini tentu saja merupakan kabar buruk bagi industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur sejak krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996 mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata- rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%). Pada triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen. Jika industri manufaktur kian meningkat kontribusinya terhadap PDB (Produk Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi. Konsekuensinya, tak ada industrialisasi manakala industri manufaktur tak memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Oleh karena itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami deindustrialisasi. Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966) menyebutkan bahwa sektor industri manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara (Dasgupta dan Singh, 2006). Oleh karena itu, pertumbuhan sektor industri manufaktur suatu negara dapat dijadikan suatu indikator perkembangan perekonomian negara tersebut. Teori Kaldor tersebut menyebabkan banyak negara melakukan industrialisasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya, banyak negara-negara maju yang mengalami fenomena deindustrialisasi pada

Transcript of FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf...

Page 1: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 1

1. PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini sektor industri di Indonesia tengah mengalami suatu gejala

penurunan pertumbuhan sektor industri yang ditandai dengan kontribusi sektor ini

yang tidak lagi signifikan terhadap PDRB, sehingga hal ini tentu saja merupakan

kabar buruk bagi industrialisasi di Indonesia. Pertumbuhan industri manufaktur sejak

krisis 1998 turun begitu drastis. Industri manufaktur nonmigas selama 1987-1996

mengalami pertumbuhan rata-rata 12% per tahunnya, lebih tinggi daripada

pertumbuhan PDB. Antara tahun 2000-2008, industri manufaktur hanya tumbuh rata-

rata 5,7% per tahun, sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB (5,2%). Pada

triwulan ketiga 2009 pertumbuhannya hanya 1,3 persen, tak sampai sepertiga

pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang mencapai 4,2 persen.

Jika industri manufaktur kian meningkat kontribusinya terhadap PDB (Produk

Domestik Bruto), maka suatu negara bisa dikatakan mengalami industrialisasi.

Konsekuensinya, tak ada industrialisasi manakala industri manufaktur tak memiliki

kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi

industri manufaktur terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan

sektor perekonomian yang lain, serta-merta industrialisasi memasuki fase titik balik.

Ini berarti, perekonomian sebuah negara memasuki fase deindustrialisasi. Oleh karena

itu, dapat diambil kesimpulan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami

deindustrialisasi.

Teori pertumbuhan wilayah yang dikemukakan oleh Kaldor (1966)

menyebutkan bahwa sektor industri manufaktur sebagai sektor sekunder merupakan

mesin pertumbuhan (engine of growth) dalam sistem perekonomian bagi suatu negara

(Dasgupta dan Singh, 2006). Oleh karena itu, pertumbuhan sektor industri

manufaktur suatu negara dapat dijadikan suatu indikator perkembangan

perekonomian negara tersebut.

Teori Kaldor tersebut menyebabkan banyak negara melakukan industrialisasi

untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi pada kenyataannya,

banyak negara-negara maju yang mengalami fenomena deindustrialisasi pada

Page 2: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 2

beberapa tahun terakhir. Indikator-indikator terjadinya deindustrialisasi antara lain

terjadinya penurunan proporsi pekerja di sektor industri terhadap total pekerja, dan

juga penurunan proporsi nilai tambah sektor industri terhadap Produk Domestik

Bruto (PDB).

Salah satu penyebab deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif

dari sektor manufaktur suatu negara. Jika keunggulan kompetitif produk industri

manufaktur suatu negara hilang, maka produk tersebut akan kalah di pasar

internasional. Akibatnya, sektor industri menurun dan mengakibatkan penurunan

investasi dalam bentuk Penanaman Modal Tetap Bruto ( PMTB ) dan juga

peningkatan pengangguran.

Kitson dan Michie (1997) menyebutkan bahwa deindustrialisasi selain

merupakan hasil dari kesuksesan pembangunan ekonomi juga bis merupakan sebuah

pertanda lemahnya perekonomian suatu wilayah. Deindustrialisasi yang memberi

dampak negatif tersebut ditandai dengan rendahnya neraca perdagangan,

produktivitas, pendapatan nasional dan standar hidup masyarakat.

Reisman (2002) mengatakan bahwa inflasi turut berkontribusi terhadap

terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi mahal dan profit

menjadi berkurang. Selain itu Singh(1977) juga mengatakan bahwa untuk

menganalisis adanya deindustrialisasi dalam perekonomian terbuka, tidak cukup

hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan

harus menganalisis juga interaksi dengan negara lain.

2. TEORI

Deindustrialisasi

Industri adalah sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif

yang mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi

(Dumairy,1996). Ketika satu negara telah mencapai tahapan dimana sektor industri

sebagai leading sector maka dapat dikatakan negara tersebut sudah mengalami

Page 3: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 3

industrialisasi (Yustika, 2000). Industrialisasi dalam pengertian lain adalah proses

modernisasi ekonomi yang mencakup seluruk sektor ekonomi yang mempunyai

kaitan satu sama lain dengan industri pengolahan.

Secara umum deindustrialisasi dapat diartikan sebagai penurunan peranan

sektor industri baik dalam kontribusi jumlah output maupun kontribusi jumlah

pekerja dalam sebuah perekonomian. Rowthorn dan Wells (1987), mengacu pada

IMF (1997), membedakan definisi deindustrialisasi menjadi dua macam yaitu

deindustrialisasi positif dan deindustrialisasi negatif. Deindustrialisasi positif

merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah perekonomian yang telah mengalami

kedewasaan. Sedangkan deindustrialisasi negatif merupakan efek sekaligus penyebab

dari performa buruk sebuah prekonomian.

Teori deindustrialisasi diawali dengan adanya teori Marx tentang penurunan

profit industri dimana inovasi teknologi menyebabkan produktivitas industri

meningkat akan tetapi secara bersamaan juga menyebabkan pengurangan jumlah

tenaga kerja karena tergantikan oleh mesin sehingga kapasitas penggunaan kapital

meningkat. Jika diasumsikan pekerja dapat memberikan nilai tambah baru, maka

semakin besar penggunaan kapital akan menghasilkan nilai tambah dan surplus yang

lebih kecil dibandingkan penambahan tenaga kerja. Rata-rata profit industri akan

menurun dalam jangka panjang.

Reisman (2002) mengatakan bahwa inflasi turut berkontribusi terhadap

terjadinya deindustrialisasi. Inflasi menyebabkan investasi menjadi mahal dan profit

menjadi berkurang. Selain itu Singh(1977) juga mengatakan bahwa untuk

menganalisis adanya deindustrialisasi dalam perekonomian terbuka, tidak cukup

hanya dengan menganalisis karakteristik perekonomian domestik saja melainkan

harus menganalisis juga interaksi dengan negara lain.

Pitelis dan Antonakis (2003) mengemukakan bahwa perkembangan sektor

manufaktur dapat dicirikan dengan produktivitasnya yang tinggi. Tingginya

produktivitas sektor industri akan menyebabkan penurunan biaya relatif untuk

memproduksi barang industri sehingga barang manufaktur bisa lebih murah. Hal

Page 4: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 4

inilah yang dapat menyebabkan proporsi nilai tambah sektor industri menurun dengan

asumsi demand terhadap barang industri dan jasa bersifat inelastis.

3. METODOLOGI

3.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang

diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data sekunder yang digunakan antara lain

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha, Produk Domestik

Regional Bruto menurut penggunaan, data Penambahan Modal Tetap Bruto (PMTB),

data ekspor-impor, data ketenagakerjaan dan data Indeks Harga Konsumen (IHK)

dari tahun 1990-2010.

Penelitian ini ingin menggambarkan fenimena deindustrialisasi di Provinsi

Jawa Timur dalam kurun 1990-2010. Sedangkan data yang digunakan adalah data

PDRB lapangan usaha , PDRB penggunaan, PMTB, ekspor-impor ketenagakerjaan,

serta IHK dari Provinsi Jawa Timur dalam kurun waktu 1990-2010 dimana data-data

tersebut telah disesuaikan menurut tahun dasar yang telah ditentukan. Untuk data-data

PDRB, PMTB, dan ekspor-impor digunakan tahun dasar 2000, sedangkan untuk data

IHK digunakan tahun 2007. Sedangkan pengolahan data yang digunakan sebagai alat

bantu analisis menggunakan software EViews 6.

3.2 Variabel Data dan Definisi Operasional

Variabel dan definisi operasinal yang diguanakan adalah :

a. Deindustrialisasi sebagai variabel yang dipengaruhi. Dalam penelitian ini,

deindustrilisasi didefinisikan sebagai penurunan proporsi nilai tambah riil sektor

industri manufaktur terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (Rasio 1) dan

penurunan proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja (Rasio 2)

Page 5: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 5

b. Investasi adalah bagian yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi

nasional termasuk sektor industri. Dalam penelitian ini proksi yang digunakan

adalah Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang sudah di ln-kan

(LNPMTB).

c. inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-

menerus (kontinu) dengan proksi Indeks Harga Konsumen yang sudah di ln-kan

(LNIHK).

d. Tingkat Keterbukaan (openness) Ediukur dari konomi di sini adalah penjumlahan

dari ekspor dan impor dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto negara

tersebut.

Gambar 1. Flowchart Pemilihan Metode Analisis Time Series

Page 6: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 6

3.3 Metode Analisis

3.3.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fenomena yang ada

berdasarkan data atau sampel yang diteliti yang disajikan bentuk tabel, grafik, dan

diagram. Dalam penelitian ini analisis deskriptif digunakan untuk memberikan

gambaran secara umum mengenai kondisi industrialisasi di Provinsi Jawa Timur

beserta variabel-variabel terkait.

3.2.2 Analisis Time Series

Data time series adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk

menggambarkan perkembangan suatu kegiatan (Supranto 2000). Perumusan masalah

dalam penelitian ini dijawab dengan pendekatan model ekonometrika untuk data time

series. Secara garis besar, langkah analisis dengan pendekatan model ekonometrika

untuk data time series yang dilakukan dalam penelitian ini mengikuti flowchart.

Peneliti pada awalnya mengasumsikan bahwa dalam penentuan model

nantinya bahwa seluruh variabel yang ada saling mempengaruhi, sehingga akan diuji

Granger Causality untuk masing-masing pasangan variabel ( Y1, Y2, X1, X2, serta X3

). Untuk itu, model VAR dan ECM/VECM ( Error Correction Model / Vector Error

Correction model ) digunakan jika minimal salah satu variabel dalam sebuah

persamaan yang bersifat tidak stasioner pada tingkat level. Penggunaan model

ECM/VECM dapat mengidentifikasi hubungan jangka pendek dan jangka panjang

dari variabel-variabel yang akan dianalisis. Tetapi, jika semua variabel dalam sebuah

persamaan telah stasioner maka penggunaan model RLB ataupun VAR pada level.

Juga yang paling penting untuk diingat adalah bahwa seluruh data yang digunakan

dalam pembentukan model adalah data yang telah stasioner.

Page 7: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 7

a. Uji Stasioneritas Data

Stasioneritas data pada data yang berbentuk time series adalah syarat penting

dalam penganalisisan. Persamaan regresi yang mempunyai variabel yang tidak

stasioner akan menghasilkan persamaan Spurious Regression, yang akan

memperlihatkan hubungan antar variabel yg signifikan secara statistik padahal pada

kenyataannya tidak mempunyai hubungan. Sifat lain dari data yang tidak stasioner

yaitu adanya gejala autokorelasi. Sedangkan suatu data time series dikatakan

stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau dengan

kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data.

Untuk menguji stasioneritas data digunakan beberapa tes statisitik. Tes-tes

statistik tersebut di antaranya adalah uji akar unit dengan DF/ADF ( Dickey Fuller /

Augmented Dickey Fuller ) dan uji akar unit dengan PP ( Philips Perron ) di mana

hipotesis nolnya adalah data mengandung unit root atau tidak stasioner. Sedangkan

untuk membantu memahami sifat stasioneritas data secara grafis dapat dilhat dari

Correlogramnya, dengan catatan bahwa telah diuji stasioneritas data dengan

menggunakan salah satu tes statisitik yang telah disebutkan sebelumnya.

b. Pengujian Kointegrasi

Pengujian kointegrasi dilakukan untuk mengetahui apakah antar variabel

dependen dengan variabel independen terdapat keterkaitan sehingga dapat digunakan

sebagai estimasi jangka panjang. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya konsep

model ekonomi adalah menunjukkan hubungan perilaku jangka panjang sesuai teori

ekonomi yang digunakan dalam mengestimasi model tersebut.

Cointegration of two variables telah dikembangkan oleh Engle dan Granger

(1987). Series Y dan X berkointegrasi pada derajat d,b dimana d≥b≥0, jika:

1. Kedua series berkointegrasi pada difference yang sama

2. Terdapat kombinasi linier dari variabel-variabel yang berkointegrasi

Page 8: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 8

Model ECM bertujuan untuk mengatasi permasalahan data Time Series yang

tidak stasioner dan mengalami Spurious Regression. Model ECM digunakan jika

semua variable baik independen maupun dependen tidak stasioner pada level akan

tetapi stasioner pada difference yang sama katakan first difference sehingga sehingga

dapat diidentifikasi hubungan jangka pendek dan jangka panjang variable-variabel

tersebut. Model ECM sendiri adalah model hubungan jangka pendek dari variabel-

variabel yang ada Bentuk model ECM yaitu :

岫 岻

c. Uji Lag Optimum

Nilai parameter disebut sebagai Speed of adjustment yang berarti seberapa

cepat kedua variable akan mengalami kointegrasi pada periode yang akan

datang.Nilai ini haruslah negative. Semakin besar nilai mutlak , maka semakin

cepat kedua variabel berkointegrasi.

Uji lag merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan untuk

menentukan lag optimum yang nantinya akan digunakan dalam pengujian berikutnya

seperti Uji Kausalitas, Uji Kointegrasi dan Uji VECM. Pada hakikatnya penentuan

lag optimum bertujuan untuk mengetahui seberapa lama variabel eksogen dapat

mempengaruhi variabel endogen baik untuk lamanya periode ke belakang maupun

periode ke depan.

Untuk menentukan lag optimum, penelitian ini akan menggunakan metode

FPE dan AIC yang dianggap dapat menekan terjadinya under estimate akibat dari

terbatasnya jumlah data observasi (Venus Khim-Sen Liew, 2004). 岫 岻 岫 岻 [ 岫 岻]

Keterangan:

Page 9: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 9

l = panjang lag = varians dari model

n = jumlah data observasi

d. Uji Kausalitas

Dalam analisis regresi penggunaan variabel bebas dan variabel tak bebas telah

ditentukan secara pasti. Hal ini tidak sepenuhnya berlaku dalam analisis data ekonomi

khususnya data deret waktu, karena ada kemungkinan variabel A dipengaruhi oleh

variabel B tetapi dapat juga berlaku sebaliknya. Salah satu uji yang menganalisis arah

hubungan antara variabel-variabel ekonomi adalah Uji Kausalitas Granger (1969),

sehingga setelah diketahui arah hubungan antarvariabel nantinya akan dapat diketahui

variabel manakah yang menjadi leading indicator (variabel apa yang terbentuk lebih

dahulu sebelum variabel lain yang terbentuk).

Uji Kausalitas Granger yang menganalisis arah hubungan antara variabel A

dan B dapat dimisalkan dengan persamaan unrestricted sebagai berikut: ∑ ∑ (9) ∑ ∑ (10)

Dari persamaan (9) dapat dijelaskan tahap-tahap dalam pengujian kausalitas adalah

sebagai berikut:

1. Regresikan variabel A terhadap semua nilai lag variabel A, tetapi jangan

memasukkan lag B dalam regresi agar dapat diperoleh restricted regression

sehingga dari regresi tersebut diketahui restricted residual sum of squares (RSSR).

2. Lanjutkan regresi dengan memasukkan nilai lag B, regresi tersebut disebut juga

dengan unrestricted regression yang akan menghasilkan unrestricted residual sum

of squares (RSSUR).

3. Hipotesis yang digunakan adalah , sehingga nilai lag B tidak berada

dalam regresi yang artinya variabel B tidak menyebabkan variabel A.

Page 10: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 10

4. Pengujian hipotesis di atas dilakukan dengan menghitung nilai F test yang

dirumuskan sebagai berikut: 岫 岻 岫 岻 岫 岻

Keterangan:

l = panjang lag;

n = jumlah observasi;

p = jumlah parameter yang diestimasi dalam unrestricted regression.

RSS R = jumlah kuadrat regresi dari persamaan restricted

RSSUR = jumlah kuadrat regresi dari persamaan unrestricted

5. Bandingkan nilai F test dengan nilai F tabel. Jika ternyata nilai F test lebih besar daripada

nilai F tabel , maka H0 ditolak yang artinya lag B harus berada dalam regresi atau

variabel B menyebabkan variabel A. Atau jika angka probabilitas dari sepasang

variabel lebih kecil dibandingkan dengan tingkat signifikansi 5 persen maka

hipotesis nol ditolak yang artinya terdapat hubungan antara dua variabel pada

waktu yang sama. Sedangkan jika angka probabilitas tersebut lebih besar daripada

5 persen, maka hipotesis nol diterima yang artinya tidak terdapat hubungan sebab

akibat antara dua variabel.

6. Demikian pula untuk persamaan (15), tahap 1 sampai dengan 5 dapat juga

dilakukan untuk mengetahui apakah variabel A menyebabkan variabel B.

e. Uji Kointegrasi Johansen

Variabel-variabel yang secara individu bersifat nonstasioner bukan berarti

variabel-variabel tersebut tidak dapat digunakan dalam analisis time series. Jika

variabel-variabel tersebut diturunkan (mengalami diferensial) beberapa kali hingga

Page 11: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 11

pada akhirnya telah stasioner pada orde yang sama, maka variabel-variabel tersebut

telah memenuhi syarat untuk dilakukan pengujian kointegrasi di mana tujuan

dilakukannya uji kointegrasi adalah untuk mengetahui kombinasi variabel yang

memiliki keseimbangan jangka panjang antarvariabel.

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk melakukan uji kointegrasi

adalah Uji Kointegrasi Johansen. Hal ini karena uji Kointegrasi Johansen dapat

mencari vektor kointegrasi di antara variabel-variabel yang dicalonkan yaitu dengan

menentukan berapa banyak kombinasi dari variabelvariabel tersebut dalam

membentuk hubungan kointegrasi.

Vector Error Correction Mechanism Test

Hasil pengujian kointegrasi menunjukkan adanya hubungan atau

keseimbangan jangka panjang pada variabel bebas terhadap variabel tak bebas. Akan

tetapi dalam jangka pendek terdapat kemungkinan bahwa variabel-variabel tersebut

mempunyai ketidakseimbangan.

Adanya perbedaan antara kenyataan yang terjadi dengan apa yang

diinginkan oleh para pelaku ekonomi menyebabkan diperlukannya sinkronisasi atau

penyesuaian. Enders (2004) menjelaskan bahwa variabel-variabel dalam VECM

merupakan variabel turunan pertama dalam model VAR, atau dengan kata lain

merupakan variabel-variabel yang terkointegrasi pada orde pertama I (1). Hubungan

suatu variabel di dalam sistem dipengaruhi oleh penyimpangan dari keseimbangan

jangka panjang yang dikenal dengan Error Correction Term (ECT). Penyimpangan

dari keseimbangan jangka panjang dikoreksi secara bertahap melalui sekumpulan

penyesuaian parsial jangka pendek.

Adapun prosedur pengujian VECM adalah sebagai berikut:

1. Misalkan terdapat sebuah persamaan estimasi kointegrasi : ̂ ̂ ̂ ̂

Page 12: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 12

Membentuk persamaan yang menunjukan nilai Yt-1 berbeda dengan nilai

keseimbangan, yaitu : ̂ ̂ ̂ ̂

ECT merupakan nilai kesalahan ketidakseimbangan (disequilibrium error). Jika

nilai sama dengan nol maka Yt-1 dan Xt-1 berada pada kondisi keseimbangan.

2. Membentuk persamaan VECM yang merupakan turunan pertama dari persamaan

VAR dengan memasukkan unsur trend: ∑

turunan pertama dari persamaan diatas, menjadi: ∑ dalam hal ini ditulis sebagai yang merupakan perbedaan untuk ke

vektor kointegrasi awal. Sedangkan matrik merupaan koefisien error correction

yang berarti kecepatan penyesuaian terhadap keseimbangan jangka panjang (speed of

adjusment). Persamaan VECM di atas merupakan bentuk standar VAR pada turunan

pertama dan diperpanjang dengan error correction term

3. Melakukan hipotesis pengujian adanya pengaruh jangka pendek:

H0 ditolak jika t-statistik pada masing-masing koefisien lebih besar

daripada nilai t-tabel yang berarti bahwa koefisien tidak sama dengan nol.

Dengan kata lain nilai koefisien menunjukkan penyimpangan antara kondisi

keseimbangan yang diinginkan dalam jangka panjang dengan keadaan yang

sebenarnya terjadi yaitu dalam jangka pendek untuk kemudian akan disesuaikan

dengan beberapa periode agar kembali ke kondisi keseimbangan setelah adanya

gangguan

Page 13: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 13

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Deskriptif

Rasio PDRB pada sektor industri di Provinsi Jawa Timur terhadap PDRB

Total di Provinsi Jawa Timur memiliki trend positif. Rasio PDRB sendiri

menggambarkan seberapa besar kontribusi PDRB sektor industri terhadap PDRB

total di Provinsi tersebut. Rasio tertinggi adalah pada tahun 2004 yaitu sebesar 0,330

yang berarti kontribusi PDRB sektor industri di Jawa Timur adalah sekitar 33% dari

Total PDRB Provinsi itu.

Rasio tenaga kerja sektor industri di Pulau Jawa terhadap tenaga kerja total di

Pulau Jawa sangat berfluktuasi di sepanjang periode 1990-2010. Rasio tertinggi

terjadi di tahun 1994 yaitu sebesar 0,179 dan rasio terrendah terjadi pada tahun 1998

dimana rasio tenaga kerja sektor industri terhadap tenaga kerja total hanya sebesar

0,1428. Namun pada tahun-tahun berikutnya rasio tenaga kerja sektor industri

kembali meningkat secara fluktuatif.

Rasio antara jumlah ekspor dan impor terhadap PDRB Total ( disebut sebagai

Tingkat Keterbukaan / Openess ) di Provinsi Jawa Timur mengalami fluktuasi selama

periode tahun 1990-2010. Tingkat keterbukaan terendah adalah pada tahun 1991 yaitu

sebesar 0,3468 sedangkan tingkat keterbukaan tertinggi adalah pada tahun 2000

sebesar 1,066.

Nilai ln ( IHK ) di Provinsi Jawa Timur selama periode tahun 1990-2010 terus

mengalami kenaikan signifikan, yaitu dari sebesar 2,735 pada tahun 1990 hingga

sebesar 4,787 pada tahun 2010. Perubahan nilai ln ( IHK ) dari tahun ke tahun ini

tidak lain adalah inflasi yang terjadi di Provinsi Jawa Timur selama periode 1990-

2010, dimana inflasi tertinggi dicapai pada tahun 1999 sebesar 19,1%.

Page 14: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 14

Perubahan nilai Penanaman Modal Tetap Bruto ( PMTB ) di Pulau Jawa

meningkat dari tahun 1990 sebesar 17,27 sampai pada tahun 2010 sebesar 17,91.

Sedangkan perubahan nilai ini menggambarkan pertumbuhan dari penanaman modal

tetap bruto. Dimana pertumbuhan PMTB terbesar terjadi pada tahun 1991 sebesar

13,47% dan terendah pada tahun 1998 yaitu negatif 43,24% yang mungkin berkaitan

dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun sebelumnya.

Berikut disajikan grafik dari variabel-variabel yang ada :

.22

.24

.26

.28

.30

.32

.34

90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10

Rasio PDRB Sektor Industri Terhadap PDRB Jawa TimurTahun 1990-2010

.11

.12

.13

.14

.15

.16

.17

90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10

Rasio Tenaga Kerja Sektor Industri Terhadap Tenaga KerjaProvinsi Jawa Timur Tahun 1990-2010

Page 15: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 15

0.85

0.90

0.95

1.00

1.05

1.10

1.15

1.20

90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10

Tingkat Keterbukan Provinsi Jawa TimurTahun 1990-2010

2.4

2.8

3.2

3.6

4.0

4.4

4.8

5.2

90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10

Ln IHK Provinsi Jawa TimurTahun 1990-2010

Page 16: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 16

4.2. Analisis Time Series

a. Uji Stasioneritas data untuk model 1

Uji stasioner diilakukan untuk mendapatkan nilai rata-rata yang stabil dan

random error sama dengan nol, sehingga model yang diperoleh memiliki

kemampuan yang tepat dalam melakukan prediksi. Estimasi data yang tidak stasioner

dapat menyebabkan super inkonsistensi dan timbulnya hasil regresi yang meragukan

atau disebut regresi lancung (sporious regression), sehingga metode inferensia yang

digunakan menjadi tidak bermakna.

Suatu data time series dikatakan stasioner jika telah memenuhi tiga kriteria

yaitu jika rata-rata dan variannya konstan sepanjang waktu serta kovarian antara dua

data runtut waktu hanya tergantung dari kelambanan (lag) antara dua periode waktu

tersebut. Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu metode

grafik, uji correlogram, dan uji akar-akar unit (Unit Root Test). Dalam penelitian ini,

uji stasioneritas yang digunakan adalah uji akar-akar unit (Unit Root Test).

Pengujian stasioner secara teori dan prakteknya menggunakan tiga asumsi

dasar yaitu tidak adanya konstanta dan trend, adanya konstanta, adanya konstanta dan

trend. Langkah awal untuk mengetahui adanya konstanta dan trend adalah dengan

17.2

17.3

17.4

17.5

17.6

17.7

17.8

17.9

18.0

90 92 94 96 98 00 02 04 06 08 10

Ln PMTB Provinsi Jawa TimurTahun 1990-2010

Page 17: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 17

menggunakan grafik. Selanjutnya, untuk memperkuat asumsi, dapat menggunakan

pengujian formal yaitu uji signifikansi konstanta dan trend pada data asli (level

series).

Dengan menggunakan Statistic Test Augmented Dicky Fuller Test ( ADF Test

) With Drift and Intercept pengujian dilakukan terhadap seluruh sampel yang

berjumlah 28 sampel, dan ringkasan hasil pengujian stasioneritas data disajikan

sebagai berikut ( Untuk melihat output hasil test terhadap masing-masing variabel

secara individual terdapat pada lampiran ) :

Tabel 1. Ringkasan uji stasioneritas terhadap data level

Variabel Nilai

Statistik uji t

Nilai

Kritik 5% P-Value Keterangan

Rasio 1 -0.430402 -3.587527 0.9808 Tidak stasioner

Ln IHK -1.790102 -3.587527 0.6814 Tidak stasioner

Ln PMTB -1.607245 -3.587527 0.7632 Tidak stasioner

Tk.Keterbukaan -2.582863 -3.587527 0.2900 Tidak stasioner

*Data yang tidak stasioner adalah data yang mengandung Unit Root / Akar Unit

Taraf signifikansi yang digunakan adalah α sebesar 1% = 0.010, dengan

kriteria untuk tolak H0 jika Prob*<α, untuk hal lainnya maka gagal tolak H0. Dimana

nilai statistic uji ADF ( t-statistic ) dibandingkan dengan Mc Kinnon Critical Value,

atau dengan jalan membandingkan nilai Prob* ( P-Value ) dengan taraf signifikansi

yang digunakan yaitu 1%, 5% atau 10%

Proses pengujian hipotesis untuk masing-masing vaiabel adalah sebagai berikut :

a. Rasio 1

H0 : Rasio 1 mempunyai akar unit

H1 : Rasio 1 tidak mempunyai akar unit

Page 18: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 18

Pada data Rasio 1, nilai Prob* = 0.9808 > 0.010, sehingga gagal tolak H0, dan dapat

disimpulkan bahwa Rasio 1 tidak stasioner pada Level, hal ini ditindaklanjuti dengan

mentransformasikan data..

b. Ln IHK

H0 : Ln IHK mempunyai akar unit

H1 : Ln IHK tidak mempunyai akar unit

Pada data Ln IHK, nilai Prob* = 0.6814 > 0.010, sehingga gagal tolak H0, dan dapat

disimpulkan bahwa Ln IHK tidak stasioner pada Level, hal ini ditindaklanjuti dengan

mentransformasikan data.

c. Ln PMTB

H0 : Ln PMTB mempunyai akar unit

H1 : Ln PMTB tidak mempunyai akar unit

Pada data Ln PMTB, nilai Prob* = 0.7632 > 0.010, sehingga gagal tolak H0, dan

dapat disimpulkan bahwa Ln PMTB tidak stasioner pada Level, hal ini ditindaklanjuti

dengan mentransformasikan data.

d. Tk. Keterbukaan

H0 : Tk.keterbukaan mempunyai akar unit

H1 : Tk.keterbukaan tidak mempunyai akar unit

Pada data Tk. keterbukaan, nilai Prob* = 0.2900 > 0.010, sehingga gagal tolak H0,

dan dapat disimpulkan bahwa Tk. keterbukaan tidak stasioner pada Level, hal ini

ditindaklanjuti dengan mentransformasikan data. Oleh karena Rasio 1, Ln IHK, Ln

PMTB, serta Tk. Keterbukaan tidak stasioner pada level, maka dilakukan

transformasi dengan men-difference-kan data ( hasil difference sampel terdapat pada

lampiran ).

Page 19: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 19

Setelah data sampel Rasio 1, Ln IHK, Ln PMTB, serta Tk. Keterbukaan, di-

difference-kan, ringkasan hasil pengujian ADF test nya adalah sebagai berikut (

dengan menggunakan taraf signifikansi sebesar 10% ) :

Tabel 2. Ringkasan uji stasioneritas terhadap data first difference

Variabel Nilai

Statistik uji t

Nilai

Kritik 5% P-Value Keterangan

d(Rasio 1) -6.020067 -3.595026 0.0002 Stasioner

d(Ln IHK) -4.270450 -3.595026 0.0121 Stasioner

d(Ln PMTB) -4.385641 -3.595026 0.0094 Stasioner

d(Tk.Keterbukaan) -6.415834 -3.595026 0.0001 Stasioner

Hipotesis untuk pengujian sampel data pada difference pertama ini sama

dengan hipotesis pada pengujian sampel data level diatas, sehingga semua variable

yang digunakan dalam penelitian, baik variable dependen maupun variable

independen telah stasioner dalam difference pertama. Kestasioneran dapat dilihat

dengan membandingkan nilai ADF test ( t-statistic ) yang lebih besar daripada Mc

Kinnon Critical Value maupun dari nilai Prob* ( P-Value ) baik pada taraf

signifikansi 1%, 5%, dan 10%. Dengan hasil pengujian unit root pada first difference

di atasyang telah stasioner, maka selanjutnya dapat dilakukan Granger Causality

Test.

4.1. Hasil Uji Lag Optimum

Dalam penelitian ini pengujian lag dilakukan dengan menggunakan model

VAR untuk memperoleh lag optimum. Penentuan lag optimum diperoleh dengan

mencari nilai statistik dari AIC dan FPE yang dapat menekan kemungkinan

terjadinya under estimate. Dengan memanfaatkan paket program Eviews 6.0 lag

optimum ditentukan dengan memasukkan panjang lag 0 sampai dengan lag 4 yang

disesuaikan dengan banyaknya observasi. Adapun hasil pengolahan dalam pengujian

lag yang menghasilkan lag optimum dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini.

Page 20: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 20

Tabel 3. Nilai Statistik Untuk Pemilihan Lag Optimum

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 147.7300 NA 1.03e-10 -11.64417 -11.25148 -11.53999

1 198.3534 75.93508 6.01e-12 -14.52945 -13.35140 -14.21691

2 223.6250 29.48346* 3.30e-12 -15.30208 -13.33866 -14.78118

3 240.3202 13.91274 4.92e-12 -15.36002 -12.61123 -14.63076

4 276.9036 18.29167 2.69e-12* -17.07530* -13.54114* -16.13768*

Berdasarkan pengujian lag yang didasarkan pada nilai statistik AIC dan FPE

yang disajikan dalam tabel di atas diperoleh lag optimum yaitu lag empat yang

ditunjukkan dengan nilai AIC dan FPE yang terkecil. Sehingga dalam analisis

selanjutnya menggunakan lag optimum tersebut.

b. Granger Causality Test

Asumsi awal yang digunakan oleh peneliti adalah variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian ini belum diketahui variabel apa saja yang merupakan

variabel dependen maupun independent maka peneliti menggunakan Granger

Causality Test untuk menjelaskan bentuk hubungan antara sepasang variabel, apakah

hubungan kausal atau hubungan 2 arah.

Tabel 4. Nilai statistik uji Granger Causality

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 08/ 07/ 12 Time: 21:17

Sample: 1 28

Page 21: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 21

Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

LN_IHK does not Granger Cause RASIO1 26 3.36579 0.0540

RASIO1 does not Granger Cause LN_IHK 3.80199 0.0390

LN_PMTB does not Granger Cause RASIO1 26 0.13668 0.8730

RASIO1 does not Granger Cause LN_PMTB 1.59200 0.2271

TK_KETERBUKAAN does not Granger Cause RASIO1 26 9.04425 0.0015

RASIO1 does not Granger Cause TK_KETERBUKAAN 1.70420 0.2061

LN_PMTB does not Granger Cause LN_IHK 26 4.50513 0.0235

LN_IHK does not Granger Cause LN_PMTB 0.48494 0.6225

TK_KETERBUKAAN does not Granger Cause LN_IHK 26 3.44423 0.0509

LN_IHK does not Granger Cause TK_KETERBUKAAN 1.31639 0.2893

TK_KETERBUKAAN does not Granger Cause LN_PMTB 26 1.58503 0.2285

LN_PMTB does not Granger Cause TK_KETERBUKAAN 1.54177 0.2373

Pengujian nomor 1 menjelaskan bahwa LN_IHK / inflasi dapat

mempengaruhi deindustrilisasi dengan probabilitas 0,0540 dan F sebaliknya

deindustrilisasi juga mempengaruhi inflasi yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas

0.0390. Di mana kedua nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari 10 persen sehingga

terjadi hubungan bilateral causality.

Pengujian pada nomor 2, LN_PMTB atau pertumbuhan Investasi tidak

mempengaruhi deindustrilisasi yang didefinisikan oleh RASIO1 karena nilai

probabilitas yang lebih besar daripada 10%. Artinya pada waktu yang sama

pertumbuhan investasi tidak mempengaruhi deindustrilisasi. Demikian juga

Page 22: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 22

sebaliknya, deindustrilisasi ternyata tidak mempengaruhi pertumbuhan investasi

yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas yang lebih besar daripada 10 persen.

Pada observasi nomor 3, TK_KETERBUKAAN ternyata mempengaruhi

deindustrilisasi pada waktu yang sama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas

yang lebih kecil besar dari 10%. Namun, deindustrilisasi tidak mempengaruhi tingkat

keterbukaan ekonomi pada waktu yang sama yang ditunjukkan dengan probabilita

yang lebih besar daripada 5%. Meskipun demikian masih terdapat kemungkinan

deindustrilisasi mempengaruhi Laba pada waktu yang berbeda.

Hasil pengujian kausalitas menyatakan bahwa inflasi secara statistik dapat

mempengaruhi deindustrilisasi dan sebaliknya deindustrilisasi mempengaruhi inflasi.

Akan tetapi belum diketahui arah hubungan yang terjadi antara deindustrilisasi dan

Inflasi, apakah terjadi hubungan searah atau berlawanan. Adanya hubungan timbal

balik ini mungkin dikarenakan perubahan harga yang terjadi karena inflasi mampu

mempengaruhi output sektor industri yang berdampak pada kontribus perubahan nilai

tambah sektor industri terhadap PDRB. Demikian pula sebaliknya, gejolak yang

terjadi di utput sektor industri mampu memengaruhi harga suatu produk dipasaran

yang akan mengakibatkan inflasi.

Adapun hubungan antar variabel investasi, tingkat keterbukaan ekonomi,

dan inflasi dari hasil uji terlihat bahwa inevstasi dan tingkat keterbukaan ekonomi

memengaruhi inflasi pada waktu yang bersamaan. Hal ini terlihat dari nilai

probabilitas keduanya yang lebih kecil dari 10%. Namun hal tersebut tidak berlaku

sebaliknya, yaitu secara statistik inflasi tidak memengaruhi investasi dan atau

keterbukaan ekonomi pada waktu yang bersamaan. Meskipun demikian masih

terdapat kemungkinan inflasi mempengaruhi investasi dan tingkat keterbukaan

ekonomi pada waktu yang berbeda. Sedangkan untuk keterbukaan ekonomi dan

investasi tidak terdapat hubungan diantara keduanya pada waktu yang bersamaan.

Page 23: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 23

b. Pengujian Kointegrasi dan Estimasi Model

Sesuai dengan teori mengenai deindustrialisasi, yang dapat dijelaskan antara

lain melalui penurunan proporsi PDRB sektor industri terhadap total PDRB, dan

penurunan proporsi tenaga kerja sektor industri terhadap total tenaga kerja sebagai

variabel dependen serta Ln IHK, Ln PMTB serta tingkat keterbukaan sebagai variabel

independen, maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 model dalam

menjelaskan fenomena deindustrialisasi di Provinsi Jawa Timur yaitu :

1. Model 1

Variabel dependen : Rasio 1 ( Rasio PDRB sektor industri terhadap PDRB total

JawaTimur )

Variabel independen : Ln IHK, Ln PMTB, dan tingkat keterbukaan.

1.a. Estimasi Persamaan Jangka Panjang

Berdasarkan hasil pengujian stasioneritas sebelumnya yang dilakukan

terhadap seluruh variabel pada persamaan pertama diketahui bahwa seluruh variabel

mempunyai stasioneritas pada level yang sama yaitu pada difference pertama. Hal ini

mengindikasikan bahwa syarat untuk penerapan pengujian Kointegrasi Johansen telah

terpenuhi.

Analisis hubungan antarvariabel dalam jangka panjang digunakan untuk

menunjukkan adanya kombinasi linier yang menyatakan hubungan jangka panjang

antarvariabel. Adanya hubungan antarvariabel dalam jangka panjang salah satunya

dapat ditunjukkan dengan nilai statistik trace yang diperoleh dari hasil pengujian

kointegrasi. Adapun dalam pengujian kointegrasi akan menggunakan asumsi linier

determenistic trend dengan melibatkan konstanta pada data observasi yang diolah

dalam Uji Kointegrasi Johansen.

Page 24: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 24

Tabel 5. Nilai Statistik Trace dan Probabilitas Pengujian Kointegrasi Johansen

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.797323 91.11391 47.85613 0.0000

At most 1 * 0.679174 52.80646 29.79707 0.0000

At most 2 * 0.491642 25.52191 15.49471 0.0011

At most 3 * 0.320803 9.284245 3.841466 0.0023

Tabel 6. Nilai Statistik Maximum Eigenvalue dan Probabilitas Pengujian Kointegrasi

Johansen

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.797323 91.11391 47.85613 0.0000

At most 1 * 0.679174 52.80646 29.79707 0.0000

At most 2 * 0.491642 25.52191 15.49471 0.0011

At most 3 * 0.320803 9.284245 3.841466 0.0023

Kedua table diatas menunjukkan hasil pengujian kointegrasi di mana pada

tingkat signifikansi 10% dimana nilai statistik trace dan maximum eigenvalue lebih

besar daripada nilai kritisnya sampai pada r 3 atau nilai Prob** yang lebih kecil

Page 25: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 25

daripada 0.10. Sehingga keputusannya tolak hipotesis nol yang menyatakan bahwa

terdapat 3 persamaan kointegrasi dan menerima hipotesis alternatif yang menyatakan

terdapat 4 persamaan kointegrasi antarvariabel atau dengan kata lain terdapat 4

kombinasi linier yang menyatakan adanya hubungan jangka panjang antarvariabel.

Tabel 7. Estimasi Persamaan kointegrasi

RASIO1 LN_PMTB LN_IHK TK_KETERBUKAAN

1.000000 0.697739 -0.428876 -0.350001

(0.20085) (0.08557) (0.51594)

[3.4739]* [-5.0119]* [-0.6784]

*) signifikan pada α = 10%

model kointegrasi yang terbentuk adalah sebagai berikut:

Model tersebut dapat diinterpretasikan bahwa terjadi hubungan jangka

panjang antara variabel independen dengan variabel dependen. Di mana hubungan

positif terhadap Rasio1 ditunjukkan oleh investasi. Sedangkan hubungan negatif

terhadap Rasio1 ditunjukkan oleh inflasi dan tingkat keterbukaan ekonomi.

Interpretasi besaran koefisien LN_PMTB atau pertumbuhan investasi sebesar

0,6997 artinya jika pertumbuhan investasi meningkat sebesar 1% maka rasio nilai

tambah sektor industri terhadap PDRB di Jawa Timur akan meningkat sebesar

69,77% dengan asumsi variabel yang lain tetap. Hal ini menunjukkan bahwa jika

terjadi peningkatan investasi maka rasio tersebut akan meningkat, yang kemudian

mengindikasikan semakin jauhnya wilayah tersebut dari fenomenan industrilisasi.

Jadi dapat disimpulkan, pertumbuhan investasi dan deindustrilisasi berbanding

terbalik dalam jangka panjang.

Page 26: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 26

Inflasi yang dijelaskan melalui pertumbuhan LN_IHK menunjukkan bahwa

kenaikan sebesar 1% maka juga akan menurunkan Rasio1 sebesar 42,88%. Hal ini

menunjukkan inflasi akan menurunkan rasio PDRB indusri terhadap total PDRB

Jawa Timur, yang kemudian akan semakin mendekatkan dengan fenomena

deindustrilisasi. Jadi, inflasi dan deindustrilisasi berbanding lurus dalam jangka

panjang. Hal ini sejalan dengan pengaruh tingkat keterbukaann ekonomi terhadap

deindustrilisasi yaitu mempunyai hubungan searah. Namun, tingkat keterbukaan

ekonomi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap deindustrilisasi dalam jangka

panjang.

1.b. Estimasi model VECM

Dalam penelitian ini, VECM dilakukan untuk melihat pengaruh pertumbuhan

investasi, inflasi, dan tingkat keterbukaan ekonomi terhadap deindustrilisasi di Jawa

Timur dalam jangka pendek. Variabel yang dimasukkan dalam mengestimasi model

dengan VECM ini adalah variabel yang stasioner pada difference Pertama Berikut ini

disajikan estimasi VECM dengan variabel Rasio1 sebagai variabel dependen.

Dalam jangka pendek, Rasio1 saat ini dipengaruhi oleh dirinya sendiri pada

satu tahun sebelumnya dengan koefisien 1,003. Hal ini berarti jika Rasio1 pda satu

tahun sebelumnya meingkat maka Rasio1 pada saat ini akan ikut meningkat.

Selanjutnya, meningkatnya perubahan investasi, tingkat keterbukaan ekonomi, dan

inflasi pada dua tahun sebelumnya mengakibatkan peningkatan Rasio1 yang artinya

semakin menjauh dari proses deindustrilisasi.

Tabel 8. Output pengujian VECM

Lag Order DRASIO1 DLNPMTB1 DOPENNESS1 DLNIHK1

1

1.003720

[ 1.66154]*

-0.009598

[-0.18357]

-0.157619

[-3.31049]*

0.004764

[ 0.08047]

Page 27: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 27

2

3

-0.601695

[-1.00787]

-0.047374

[-0.13807]

0.129197

[ 2.56094]*

-0.051406

[-0.89718]

0.127164

[ 1.99875]*

-0.040622

[-0.64224]

0.116201

[ 1.99704]*

-0.039577

[-0.53784]

ECT

Konstanta

-0.008794

[ 0.30023]

-0.010673

[-0.63844]

Nilai t-statistik pada koefisien tersebut lebih kecil daripada nilai t-

tabel yang berarti tidak berpengaruh secara siginifikan. Dengan kata lain

hubungan suatu variabel di dalam sistem tidak dipengaruhi oleh penyimpangan dari

keseimbangan jangka panjang. Oleh karena itu, kita tidak dapat memperkirakan

berapa time lag (waktu) yang dibutuhkan oleh perubahan pergerakan variabel

pertumbuhan investasi, tingkat keterbukaan ekonomi dan inflasi agar variabel rasio

PDRB industry terhadap PDRB total dapat kembali pada posisi keseimbangan setelah

terjadinya shock atau gangguan.

2. Model 2

Variabel dependen : Rasio 2 ( Rasio tenaga kerja pada sektor industri terhadap tenaga

kerja total Jawa Timur )

Variabel independen : Ln IHK, Ln PMTB, dan tingkat keterbukaan.

Untuk melihat pengaruh pertumbuhan PMTB, tingkat keterbukaan ekonomi,

dan inflasi terhadap deindustrilisasi yang dilihat melalui rasio jumlah pekerja di

sektor industri manufaktur terhadap total pekerja di Jawa Timur, peneliti

Page 28: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 28

menggunakan metode Regresi Linear Berganda (RLB). Hal ini disebabkan variabel-

variabelnya tidak stasioner pada orde yang sama

Hasil Output Eviews yaitu :

Tabel 9. Hasil Output Eviews untuk estimasi model 2

Included observations: 20 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.064482 0.054572 -1.181604 0.2546

DLN_IHK2 0.480449 0.426957 1.125288 0.2771

DLN_PMTB2 0.777407 0.368978 2.106918 0.0513

DTK_KETERBUKAAN2 0.220323 0.167240 1.317411 0.2063

R-squared 0.337070 Mean dependent var 0.009317

Adjusted R-squared 0.212771 S.D. dependent var 0.088847

S.E. of regression 0.078830 Akaike info criterion -2.066186

Sum squared resid 0.099427 Schwarz criterion -1.867039

Log likelihood 24.66186 Hannan-Quinn criter. -2.027310

F-statistic 2.711759 Durbin-Watson stat 2.042067

Prob(F-statistic) 0.079576

Sehingga model yang terbentuk yaitu :

Page 29: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 29

Dengan menggunakan uji F-statistik, akan dilihat pengaruh dari variabel

independen terhadap dependennya secara simultan. Berdasarkan hasil pengujian

diperoleh nilai probabiliti F-satistik sebesar 0.079 di mana nilai ini lebih kecil dari

10% persen sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal ada 1 variabel bebas yang

berpengaruh terhadap ln_Rasio2.

Selain uji simultan, model yang terbentuk ini juga diuji asumsi kenormalan,

homogenitas, nonautokorelasi, dan nonmultikolinearitas.. Oleh karena itu, model

yang terbentuk dapat digunakan. Hasil Uji terdapat pada lampiran.

Variabel signifikan berpengaruh terhadap rasio jumlah pekerja di sektor

industri manufaktur terhadap total pekerja di Jawa Timur adalah pertumbuhan

investasi. Perubahan pertumbuhan investasi berpengaruh secara positif terhadap

perubahan Rasio2, yaitu ketika terjadi penambahan investasi sebesar satu juta rupiah

maka Rasio2 akan meningkat sebesar 65,1 persen. Hal ini menunjukkan penambahan

investasi maka akan menjauhkan dari fenomenan deindustrilisasi. Dengan kata lain,

deindustrilisasi berbanding terbalik dengan pertumbuhan investasi.

Koefisien determinasi ( R2 ) yang digunakan untuk mengukur kebaikan-suai

(goodness of fit) dari model regresi. Hasil pengolahan (pada Lampiran 7)

menunjukkan bahwa variabel bebas yang digunakan dapat menjelaskan variasi atau

keragaman yang terjadi dalam variabel tak bebas yaitu sebesar 32,18 persen. Nilai

yang dihasilkan sangat kecil atau dibawah 50 persen. Hal ini mungkin disebabkan

karena jumlah unit observasi yang digunakan sangat sedikit dan mungkin masih

memerlukan variabel tambahan yang belum dimasukkan ke dalam model.

4. PENUTUP

a. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

Page 30: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 30

1. Rasio PDRB sektor industri terhadap PDRB di Jawa timur pada awal periode

penelitian yaitu 1983 terus meningkat hingga tahun 1997. Namun, setelah terjadi

krisis ekonomi di Indonesia pada tahun 1997-1998, rasio nilai tambah sektor

industri terhadap PDRB Jawa Timur mempunyai trend menurun.

2. Rasio pekerja sektor industri terhadap total pekerja di Provinsi Jawa Timur,

dimana pada periode 1990 sampai 1996 memiliki trend yang meningkat kemudian

menurun di periode 1997-1998. Hal ini mengindikasikan terjadinya

deindustrialisasi di Jawa Timur setelah krisis ekonomi.

3. Berdasarkan pengujian kointegrasi yang dilakukan pada seluruh variabel untuk

persamaan 1 yang mengidentifikasi deindustrilisasi melalui rasio nilai tambah

sektor industri terhadap PDRB, diketahui investasi dan inflasi dalam jangka

panjang mempunyai pengaruh terhadap deindustrilisasi, sedangkan tingkat

keterbukaan ekonomi tidak berpengarus secara signifikan. Pertumbuhan investasi

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap deindustrilisai sedangkan inflasi

mempunya pengaruh yang postif dalam jangka panjang.

4. Berdasarkan hasil regresi, variabel signifikan berpengaruh terhadap rasio jumlah

pekerja di sektor industri manufaktur terhadap total pekerja di Jawa Timur adalah

pertumbuhan investasi. Perubahan pertumbuhan investasi berpengaruh secara

positif terhadap perubahan Rasio2. Hal ini menunjukkan penambahan investasi

maka akan menjauhkan dari fenomenan deindustrilisasi. Dengan kata lain,

deindustrilisasi berbanding terbalik dengan pertumbuhan investasi.

.

DAFTAR PUSTAKA

Alderson, A. 1999. Explaining Deindustrialization: Globalization, Failure, or

Success? American Sociological Review. Vol. 64 (5): 701-721.

Badan Pusat Stastistik, 2009. Statistik Industri Besar dan Sedang 2009. BPS. Jakarta.

Page 31: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 31

Dewi, Diah Ananta. 2010. Deindustrilisasi Di Indonesia 1983-2008: Analisis Dengan

Pendekatan Kaldorian [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor

Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. USA: John

Wiley & Sons, Inc.

Rowthorn R, R. Ramaswamy. 1997. Deindustrialization: Causes and Implications.

IMF Working Paper. WP/97/42. International Monetary Fund. Washington

D.C.

Rowthorn R, Coutts K. 2004. De-industrialization and the balance of payments in

advanced economies. Cambridge Journal of Economics. Vol. 28: 767-790.

Ruky, IMS. 2008. Industrialisasi di Indonesia: Dalam Jebakan Mekanisme Pasar dan

Desentralisasi. Di dalam: Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetapdalam

Bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas Universitas Indonesia; Jakarta, 15

November 2008. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Saeger, S. 1997. Globalization and Deindustrialization: Myth and Reality in the

OECD. Weltwirtschaftliches Archiv. Vol. 133(4).

Santosa, Bambang Heru. 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Industri, Perdagangan

Internasional Terhadap Konsentrasi Industri dan Pertumbuhan Ekonomi di

Jawa Timur. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Vol. 21 : 203-202

Wikipedia. 2012.Deindustrilization. http://en.wikipedia.org/wiki/ Deindustrialization.

[01 Agustus 2012]

Page 32: FENOMENA_DEINDUSTRIALISASI_DI_PROVINSI_JAWA_TIMUR_TAHUN_1990-2010_BERDASARKAN_MODEL_VECTOR_ERROR_CORRECTION_MECHANISM_-libre.pdf

Page 32