Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

5
www.bktrn.org 1 FENOMENA PEMBANGUNAN PERMUKIMAN SKALA BESAR DAN TRANSPORTASI JALAN RAYA DI JABOTABEK Ruchyat Deni Dj. 1 Fenomena pembangunan transportasi jalan raya dan permukiman skala besar ( urban land use development) seperti yang diungkapkan oleh C.S. Papacostas, et all. (1993) dan para ahli transportasi sebelumnya, menjelaskan bahwa ada interaksi yang kuat antara kedua unsur pemanfaatan ruang (land use) tersebut. Interaksi ini terlihat antara lain bila pembangunan transportasi jalan raya (khususnya jalan arteri dan kolektor) telah selesai akan selalu diikuti oleh tumbuh dan berkembangnya pemanfaatan ruang ( land use) di sekitarnya dan biasanya dipinggir kanan/kiri jalan. Hal sebaliknya, dampak pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang berkembang akan menuntut pelayanan jaringan transportasi yang memadai. Keadaan ini memberikan gambaran dalam konteks pembangunan kawasan perkotaan dan wilayah adanya sebuah fenomena, yaitu mana yang perlu dibangun/ditata terlebih dahulu. Apakah kita perlu menata (mengalokasikan) dan sekaligus membangun pemanfaatan ruang terlebih dahulu, lalu nanti diikuti secara langsung pembangunan transportasinya yang sesuai dengan kebutuhan sebagai akibat adanya pembangunan land use tersebut. Atau, apakah kita merencanakan dan membangun jaringan transportasi dahulu, lalu kita biarkan tumbuh dan berkembang land use (pemanfaatan ruang) di sekitarnya. Dalam kasus yang terakhir ini pemanfaat ruang ( developer) diarahkan untuk membangun sesuai pola struktur jaringan jalan yang telah dibuat tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Sama halnya menjawab sebuah pertanyaan: "mana yang lebih dahulu, telor atau ayam ?". Kalau perencanaan/pembangunan land use misalnya untuk kawasan perumahan/permukiman perkotaan skala besar kita sebut "telor", dan perencanaan lalu pembangunan prasarana transportasi jalan rayanya kita sebut "ayam", maka mana yang terlebih dahulu kita pertimbangkan untuk dilaksanakan? Sulit memang untuk menjawabnya secara instant, sehingga para ahli transportasi & pembangunan perkotaan sering menyebutnya "like egg and chicken". Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, setidaknya efisiensi (ekonomis), efektifitas (arah dan waktu pembangunan), aksesibilitas, affordability, dan aspek lingkungan hidup. KASUS PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PERMUKIMAN SKALA BESAR DI JABOTABEK Sekitar tahun 1984-1985, di sekitar kawasan Cileungsi, Cibinong, Kedunghalang, Semplak, Parung, Serpong dan Ciputat (Kawasan Puncak Keppres 114/1999) kondisi pemanfaatan ruang di sini masih didominasi oleh pertanian tanaman keras, kebun campuran, dan persawahan (lahan basah dan kering). Rencana Tata Ruang (RTR) telah disusun, baik dalam lingkup makro dan mempunyai legal aspek Keppres maupun yang berupa rencana detail (RDTR) yang telah di Perda- kan yang pada dasarnya mengarahkan besaran/kapasitas serta intensitas pemanfaatan ruang 1 Pengamat masalah permukiman dan transportasi, sekjen IAP, bekerja sebagai Pembantu Asisten Menteri Bidang Keterpaduan Pemanfaatan Ruang di Menperkim, pernah menjadi Kasubdit di Dit Binkot- Ditjen Bina Marga.

Transcript of Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

Page 1: Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

www.bktrn.org 1

FENOMENA PEMBANGUNAN PERMUKIMAN SKALA BESAR DAN TRANSPORTASI JALAN RAYA DI JABOTABEK

Ruchyat Deni Dj.1

Fenomena pembangunan transportasi jalan raya dan permukiman skala besar (urban land use development) seperti yang diungkapkan oleh C.S. Papacostas, et all. (1993) dan para ahli transportasi sebelumnya, menjelaskan bahwa ada interaksi yang kuat antara kedua unsur pemanfaatan ruang (land use) tersebut. Interaksi ini terlihat antara lain bila pembangunan transportasi jalan raya (khususnya jalan arteri dan kolektor) telah selesai akan selalu diikuti oleh tumbuh dan berkembangnya pemanfaatan ruang (land use) di sekitarnya dan biasanya dipinggir kanan/kiri jalan. Hal sebaliknya, dampak pembangunan perumahan dan permukiman skala besar yang berkembang akan menuntut pelayanan jaringan transportasi yang memadai.

Keadaan ini memberikan gambaran dalam konteks pembangunan kawasan perkotaan dan wilayah adanya sebuah fenomena, yaitu mana yang perlu dibangun/ditata terlebih dahulu. Apakah kita perlu menata (mengalokasikan) dan sekaligus membangun pemanfaatan ruang terlebih dahulu, lalu nanti diikuti secara langsung pembangunan transportasinya yang sesuai dengan kebutuhan sebagai akibat adanya pembangunan land use tersebut. Atau, apakah kita merencanakan dan membangun jaringan transportasi dahulu, lalu kita biarkan tumbuh dan berkembang land use (pemanfaatan ruang) di sekitarnya. Dalam kasus yang terakhir ini pemanfaat ruang (developer) diarahkan untuk membangun sesuai pola struktur jaringan jalan yang telah dibuat tersebut.

Untuk menjawab pertanyaan ini tidaklah mudah. Sama halnya menjawab sebuah pertanyaan: "mana yang lebih dahulu, telor atau ayam ?". Kalau perencanaan/pembangunan land use misalnya untuk kawasan perumahan/permukiman perkotaan skala besar kita sebut "telor", dan perencanaan lalu pembangunan prasarana transportasi jalan rayanya kita sebut "ayam", maka mana yang terlebih dahulu kita pertimbangkan untuk dilaksanakan? Sulit memang untuk menjawabnya secara instant, sehingga para ahli transportasi & pembangunan perkotaan sering menyebutnya "like egg and chicken". Banyak faktor yang harus dipertimbangkan, setidaknya efisiensi (ekonomis), efektifitas (arah dan waktu pembangunan), aksesibilitas, affordability, dan aspek lingkungan hidup.

KASUS PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PERUMAHAN/PERMUKIMAN SKALA BESAR DI JABOTABEK

Sekitar tahun 1984-1985, di sekitar kawasan Cileungsi, Cibinong, Kedunghalang, Semplak, Parung, Serpong dan Ciputat (Kawasan Puncak Keppres 114/1999) kondisi pemanfaatan ruang di sini masih didominasi oleh pertanian tanaman keras, kebun campuran, dan persawahan (lahan basah dan kering). Rencana Tata Ruang (RTR) telah disusun, baik dalam lingkup makro dan mempunyai legal aspek Keppres maupun yang berupa rencana detail (RDTR) yang telah di Perda-kan yang pada dasarnya mengarahkan besaran/kapasitas serta intensitas pemanfaatan ruang

1 Pengamat masalah permukiman dan transportasi, sekjen IAP, bekerja sebagai Pembantu Asisten Menteri Bidang Keterpaduan Pemanfaatan Ruang di Menperkim, pernah menjadi Kasubdit di Dit Binkot- Ditjen Bina Marga.

Page 2: Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

www.bktrn.org 2

masing-masing. Misalnya Parung sebagai kawasan perkotaan yang di dalamnya terdapat alokasi kawasan perumahan/permukiman skala besar mempunyai beban 100.000 jiwa, Ciputat 500.000 jiwa, Serpong 300.000 jiwa, Cibinong 300.000 jiwa, dsb. Kegiatan pembangunan permukiman skala besar masih terbatas dan ijin lokasi baik yang sudah dikonstruksi juga masih dan mungkin masih sekitar 10 - 20 % saja dari total luas kawasan kecamatan. Sama halnya di Bekasi, saat itu baru ada Perumnas & Kemang Pratama di Rawalumbu, Jaka Sampurna dan beberapa lokasi perumahan / real estate dengan skala luas yang masih kecil.

Namun demikian pekembangan pembangunan perumahan skala besar sepuluh tahun terakhir ini sangat pesat. Kota baru tumbuh dan berkembang di mana-mana dengan berbagai kelengkapan fasilitasnya seperti mall, pertokoan, kesehatan, bioskop/rekreasi, tempai ibadah, perkantoran/bank, olahraga, dsb. Telah terjadi distorsi dari tujuan RTR. Terlepas apakah kualitas proses penyusunan atau produk RTR yang tidak menjamin aspirasi, transparansi, keberpihakan pada masyarakat marginal, akuntabilitas publik, efisiensi, dsb. Namun kenyataannya memang ijin-ijin lokasi dan pembangunan permukiman skala besar tumbuh secara pesat dan “sprawl”. Bintaro Jaya pada 1985 baru sampai sektor 2; saat ini sudah mencapai sektor 9, dan kabarnya akan mencapai sektor 17 atau seluas 1700 Ha. Kota baru Bumi Serpong Damai (BSD) tumbuh dan akan mencapai 6000 Ha, hampir sama dengan luas Kotamadya Bandung sebelum perluasan. Jonggol bahkan direncanakan akan mencapai hampir 2 kali Kotamadya Bandung setelah perluasan yaitu 30.000 Ha. Lipo Cikarang dan Kota Legenda di Bekasi masing-masing akan mencapai luas 5000 Ha dan 2000 Ha. Perkembangan perubahan pemanfaatan ruang di Botabek oleh pengembang (developer) ini menunjukkan angka yang sangat signifikan seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Perubahan Pemanfaatan Ruang di BOTABEK

BOGOR TANGERANG BEKASI

Lokasi Kota Baru Luas (Ha) Lokasi Kota Baru Luas (Ha) Lokasi Kota Baru Luas (Ha)

Rancamaya Royal Sentul Kota Cileungsi Lido Lakes Resort Jonggol

550 2.000 2.000 1.700

30.000

Bumi Serpong Damai Tiga Raksa Citra Raya Bin taro Jaya Gading Serpong Pantai Indah Kapuk Lippo Karawaci Alam Sutra Perumahan Moderen

6.000 3.000 2.500 1.700 1.000 800

1.500 700 770

Lippo Cikarang Kota Legenda Cikarang Baru

5.000 2.000 5.400

Sumber : Majalah Properti No. 29 & 33

Pembangunan perumahan dalam skala kecil (2 - 50 Ha) juga marak tumbuh di kawasan Botabek. Secara sporadis dan kumulatif perubahan pemanfaatan ruang ini sangat berarti dalam men-generate pergerakan internal dan eksternal. Perkembangan perubahan pemanfaatan ruang yang pesat ini secara keseluruhan akan diikuti oleh perkembangan penduduk yang pesat (4,9 % pertahun) dan bangkitan lalulintas pegerakan regional (ke/dari Jakarta). Ambisi para

Page 3: Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

www.bktrn.org 3

pengembang untuk merealisasikan rencananya (mungkin juga Pemda) cukup besar, namun kemampuan membangun perumahan /permukiman sangat terbatas. Rata-rata kemampuan pengembang skala besar di Botabek pertahun hanya 1,5 % dari total luas ijin lokasi yang diberikan kepada pengembang untuk merealisasikan pembangunan unit-unit rumah tersebut. Sebagai perbandingan data pada 1998 menunjukkan keadaan yang digambarkan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Kedaan Kemampuan Pengembang

NAMA KAWASAN TAHUN AWAL

PEMBANGUNAN KEMAMPUAN MEMBANGUN

RUMAH (AWAL 1998) JANGKA WAKTU PEMBANGUNAN

1. Bintaro Jaya 1980 38 % 18 tahun 2. Kota Baru Tiga Raksa 1990 6,8 % 8 tahun 3. Bumi Serpong Damai 1989 7,3 % 9 tahun 4. Kota Modern 1991 10,8 % 7 tahun 5. Kota Baru Cikarang 1991 2,5 % 7 tahun 6. Lippo Cikarang 1992 2 % 6 tahun 7. Lippo Karawaci 1992 22 % 6 tahun Sumber : Diolah dari data BPN, 1998

Implikasi keadaan ini adalah kurang efisensinya fungsi pemanfaatan ruang. Perencanaan pembangunan jalan untuk melayani dukungan prasarana simpul/pusat permukiman skala besar tersebut menjadi sulit dengan asumsi besaran luasan kawasan seperti itu. Padahal planning sangat berkaitan dengan kerangka waktu yang harus ditetapkan. Ketika rencana sistem jaringan jalan Botabek dibuat untuk 10 tahun, antara lain dibuat rencana akses jalan tol ke Balaraja (1500 Ha, 1992) ternyata sampai saat ini barangkali hanya 200 Ha saja yang terbangun, itupun baru diisi oleh penghuni beberapa keluarga saja. Sama halnya ketika harus melayani Jonggol yang rencananya 30.000 Ha (1993), - luas kawasan sama dengan dua kali luas Kotamadya Bandung saat ini - rencana akses jalan raya yang dibuat dan dibangun sedikitnya memerlukan 4 jalur terbagi (2 jalur untuk satu arah) dengan kapasitas sedikitnya 2500 pcu per jam per jalur, namun kapan Jonggol ini bisa terwujud. Bisa dipahami kesulitan sektor pembangunan jalan perkotaan ini yang harus memposisikan melayani dan mengikuti rencana sistem pusat-pusat permukiman perkotaan di Botabek dengan intensitasnya yang ternyata juga sulit dijadikan pegangan. Mudah-mudahan upaya Badan Koordinasi Tata Ruang (BKTRN) yang sedang mengevaluasi RTRW Kawasan Jabotabek ini dapat mempertimbangkan kemampuan pengembang riil, sehingga ambisi mengalokasikan besaran kawasan skala besar tidak lagi berlebihan, dan akhirnya efisiensi penyediaan prasarana jalan pun bisa optimal.

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI JALAN RAYA

Sebenarnya antisipasi perkembangan permukiman di Botabek ini sudah dilakukan semenjak tahun 1979 dalam kaitan studi Jabotabek. Dalam rencana Jabotabek tersebut juga di antisipasi rencana sisitem jaringan transportasinya yang diperkirakan dapat menampung perkembangan penduduk pada pusat simpul yang ditetapkan. Namun, antisipasi ini ternyata tidak dapat menahan percepatan perubahan pemanfaatan ruang, dan di lain pihak kesulitan sudah mulai terasa dalam tahapan perencanaan.

Page 4: Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

www.bktrn.org 4

Upaya pembangunan jalan sudah mulai difokuskan semenjak pelita IV dan V pada program inner dan outer ring road untuk menunjang pengembangan Barat – Timur Jakarta. Konsep yang dibuat dalam Jakarta Mass Transportation System Study (JMSS), Aerterial Road System Development Study (ARSDS), dan Jakarta Metropolitan Development Plan (JMDP) walaupun fokusnya untuk Jakarta tetapi menekankan agar sistem jaringan jalan ini berperan sebagai pembentuk struktur yang harus diikuti atau menjadi arahan pemanfaatan ruang (juga di Botabek). Artinya pembangunan sektor perumahan permukiman (dan lainnya) harus berorientasi untuk membangun/mengalokasikan ruang/lahannya dekat pada kawasan yang dapat diakses oleh jaringan.

Hitungan Trip Generation dan Trip Distribution yang menghasilkan rekomendasi 7 major arterial road dan 16 minor arterial roads (diantaranya sudah dibangun seperti koridor Depok-Lenteng Agung-Pasar Minggu, koridor Ragunan Buncit, Lebak Bulus-Keb Lama-Pengumben-Joglo-Kedoya) belum mempertimbangkan ambisi pengembang, yang mendapatkan ijin lokasi yang luasannya fantastis itu pada Pelita V/VI. Sebagaimana bisa diduga belum lagi mencoba untuk mengakomodir perkembangan ijin lokasi, fungsi arteri sudah gagal karena terganggu pembangunan pemanfaat ruang di kanan-kiri koridor dan banyak diinterupsi jalan-jalan kolektor dan lokal yang mengalirkan arus kendaraan dari kawasan-kawasan permukiman. Ketidak berdayaan ini sepertinya belum dapat teratasi saat itu ketika rekomendasi pembangunan jalan tol yang laku terjual hanya segmen di dalam kota. Hal ini memang secara ekonomis lebih menguntungkan karena arus lalu-lintas dari sub-urban yang terakumulasi ke Jakarta ditampung oleh segmen jalan tol tersebut.

Upaya mengevaluasi sistem jaringan jalan yang mempertimbangkan land use development pada masa itu dilakukan dengan studi Jakarta Metropolitan Development Plan Review (JMDPR). Rencana pembangunan jaringan jalan tol terbagi dua tahap. Tahap I (1994-1999) adalah melanjutkan pengembangan akses Barat Timur dan menghubungkan beberapa pusat pengembangan skala besar dan Tahap II (2000-210) merencanakan outer-outer ring road dan akses menghubungkan ke pusat-pusat permukiman skala besar tidak hanya barat-timur juga ke utara dan selatan. Saat ini total sekitar 80 km (under construction) jalan tol mencoba mengaksesnya. Pada masa akhir Pelita V danVI ini mulai berperan fungsi sektor pembangunan jalan mengikuti arah kebutuhan perumahan permukiman skala besar yang sporadis ini. Tidak lagi sektor pembangunan jalan menjadi pembentuk struktur yang dapat mengarahkan pemanfaatan ruang skala besar dalam sistem permukiman perkotaan.

Dapat dipahami hal ini karena keterbatasan pembangunaan (biaya) yang tidak bisa mengejar kebutuhan sesuai target rencana sektornya, maka diharapkan mungkin akan lebih optimal bilamana dana pembangunan itu dimanfaatkan untuk mengatasi persoalan kebutuhan bangkitan lalu lintas dari kawasan permukiman skala besar itu. Sayangnya telah terjadi kesulitan memprediksi kepastian bangkitan lalu lintas dari pemanfaatan ruang ini. Ketika rencana dan program pembangunan jalan itu dibuat asumsi dan prediksinya berdasarkan ijin lokasi atau plan dari masing-masing kawasan skala besar yang ternyata melenceng dari kemampuannya yang sangat terbatas.

Di era reformasi ini banyak yang telah dirubah, khususnya peraturan pemberian ijin lokasi (Inmen Agraria/Kepala BPN No. 5/98), ketentuan pembangunan skala besar (PP Kasiba No. 80/99), UU no. 22/99 Otonomi Daerah, dan review RTRW Kawas Jabotabek yang intinya diharapkan dapat membantu mengatasi persoalan efisiensi pemberian ijin lokasi, menghindari urban sprawl, dan keterpaduan pembangunan permukiman skala besar dengan penyediaan sektor jaringan jalan.

Page 5: Fenomena Pembangunan Permukiman Skala Besar dan Transportasi.pdf

www.bktrn.org 5

KESIMPULAN DAN USUL TINDAK LANJUT

Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa perlu ada keterpaduan dalam pembangunan permukiman skala besar dengan sektor pembangunan jalan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta pengawasan. Dalam perencanaan dan pembangunan permukiman skala besar harus mempertimbangkan faktor lokasi, kemampuan pengembang dalam membangun kawasan, serta kerangka makro sistem jaringan, yang semua itu membawa implikasi kepada perhitungan perencanaan dan pembangunanan transportasi jalan raya. Sebaliknya perencanaan dan pembangunan sistem jaringan jalan harus tetap berorientasi melayani kebutuhan perkembangan permukiman skala besar. Egoisme sektor bukan masanya lagi, karena tidak sesuai dengan prinsip pembangunan yang paradigmanya sudah berubah, perlu diganti menjadi asas keterbukaan, kebersamaan, orientasi pemecahan masalah, efisiensi, efektifitas, desentralisasi dan partisipasi masyarakat yang sangat tinggi. Kalau ini tidak tercipta jaminannya hanya satu yaitu kegagalan.

Sebagai usul tindak lanjut ada 5 (lima) faktor yang dapat dipertimbangkan yaitu :

1. Keterpaduan dalam penyusunan rencana/masterplan sektor permukiman skala besar (termasuk lokasi dan intensitasnya) dengan sistem jaringan jalan. Di Jabotabek ini kondisinya mendesak.

2. Keterpaduan dan konsultasi dalam pelaksanaan. Beberapa alasan penyimpangan dari perencanaan perlu didiskusikan dalam kerangka keterbukaan, efisiensi/efektifitas dan mencari pemecahan.

3. Kerjasama dan partisipasi komponen pembangunan yang terlibat (stakeholder), termasuk masyarakat yang terkena objek pembangunan.

4. Manajemen sistem pembangunan yang efesien dan mudah dicerna serta dilaksanakan oleh semua komponen yang terlibat.

5. Dukungan pendanaan dan investasi yang memadai dan sesuai prioritas.

DAFTAR PUSTAKA

C.S. Papacostas, & PD Prevedouros, “Transportation Enginering and Planning”, Prentice Hall Internatoinal, 1993.

David Banister, ”Transport and Urban Development”, E & FN Spon, UK, 1995.

The World Bank – Bappenas, Seminar Proceedings, “Strategies For A Sustainable Greater Jabotabek”, July, 1996.