jurnal permukiman

86
Volume 4 No. 2 Septeember 2009 ISSN : 1907 – 4352 Akreditasi No. 222/AU1/P2MBI/08/2009 JURNAL PERMUKIMAN Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan Oleh : Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Saleh Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman Di Perdesaan Oleh : Aris Prihandono Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus Kota Bandung) Oleh : Heni Suhaeni Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Pariwisata yang Aksesibel Oleh : Inge Komardjaja Komparasi Nilai Partial –OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan U- Value = 1,6 Oleh : Wied Wiwoho Winaktoe Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman Oleh : Yulinda Rosa Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi Sampah Oleh : Tibin R. Prayudi Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 Hal. 72-154 Bandung September 2009 ISSN : 1907- 4352

Transcript of jurnal permukiman

Volume 4 No. 2 Septeember 2009 ISSN : 1907 – 4352Akreditasi No. 222/AU1/P2MBI/08/2009

JURNALPERMUKIMAN

Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan PerumahanBerkelanjutanOleh : Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Saleh

Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman DiPerdesaanOleh : Aris Prihandono

Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan (StudiKasus Kota Bandung)Oleh : Heni Suhaeni

Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Pariwisata yang AksesibelOleh : Inge Komardjaja

Komparasi Nilai Partial –OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan U-Value = 1,6Oleh : Wied Wiwoho Winaktoe

Analisa Data Variabel Sosial Bidang PermukimanOleh : Yulinda Rosa

Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadapKebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi SampahOleh : Tibin R. Prayudi

JurnalPermukiman

Vol. 4 No. 2 Hal.72-154

BandungSeptember

2009

ISSN : 1907-4352

JURNAL PERMUKIMANVolume 4 No. 2 September 2009

PELINDUNGPEMIMPIN REDAKSI

DEWAN PENELAAH NASKAHKetuaAnggota

MITRA BESTARI

REDAKSI PELAKSANA

ISSN : 1907 – 4352

Kepala Pusat Litbang PermukimanKepala Bidang Standar dan Diseminasi

Prof. R. Dr. Suprapto, MSc. FPE. (Bidang Fisika dan KeselamatanBangunan, Pusat Litbang Permukiman)

1. Lasino, ST. APU. (Bahan Bangunan, Pusat LitbangPermukiman)

2. Andriati Amir Husin, MSi. (Bahan Bangunan, Pusat LitbangPermukiman

3. Ir. Nurhasanah S., MM. (Teknologi dan ManajemenLingkungan, Pusat Litbang Permukiman)

4. Dr. Anita Firmanti, MT. (Bahan Bangunan, Pusat LitbangPermukiman

5. Ir. Arief Sabaruddin, CES. (Perumahan dan Permukiman,Pusat Litbang Permukiman

6. Dra. Inge Komardjaja, Ph. D. (Permukiman dan Aksesibilitas,Pusat Litbang Permukiman)

7. Ir. Lya Meilany S., MT. (Teknologi dan ManajemenLingkungan, Pusat Litbang Permukiman

8. Ir. Silvia F. Herina, MT. (Rekayasa Teknik Sipil, Pusat LitbangPermukiman)

9. Dra. Sri Astuti, MSA. (Bangunan dan Lingkungan, PusatLitbang Permukiman

10. Ir. Maryoko Hadi, MT. (Struktur dan Konstruksi, Pusat LitbangPermukiman

1. Prof. R. Dr. Ir. Bambang Subiyanto, M. Agr. (BahanBangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)

2. Ir. Iswandi Imran, MASc. Ph. D. (Rekayasa Struktur, InstitutTeknologi Bandung)

3. Dr. Ir. Tri Padmi (Teknik Lingkungan, Institut TeknologiBandung)

4. Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc. Ph. D. (Perumahan danPermukiman, Institut Teknologi Bandung)

Drs. Duddy D. Kusumo, MBA., Dra. Roosdharmawati, Adang Triana

Jurnal PermukimanTelah diterbitkan sejak tahun 1985 dengan nama Jurnal Penelitian Permukiman.

Tahun 2006 berubah nama menjadi Jurnal Permukiman dengan jumlah terbitan 3 (kali) dalam setahunyaitu pada bulan Mei, September, dan November

JURNAL PERMUKIMAN ISSN : 1907 – 4352Volume 4 No. 2 September 2009

Daftar Isi

Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan ………..Oleh : Tito Murbaintoro, M. Syamsul Ma’arif, Surjono H. Sutjahjo, Iskandar Saleh

Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka Pembangunan Permukiman Di Perdesaan …..Oleh : Aris Prihandono

Pembangunan Rumah Susun Dalam Mendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan (Studi Kasus KotaBandung) …………………………………………………………………………………………………………………………Oleh : Heni Suhaeni

Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Pariwisata yang Aksesibel …………………..Oleh : Inge Komardjaja

Komparasi Nilai Partial –OTTV pada East-Wall Berbasis U-Value = 2,6 dengan U-Value = 1,6 …Oleh : Wied Wiwoho Winaktoe

Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman …………………………………………………………………Oleh : Yulinda Rosa

Keefektifan Pengolahan Antara Abu Terbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan OksigenKimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air Lindi Sampah ……………………………………………………….Oleh : Tibin R. Prayudi

Hal.

72 - 87

88 - 101

102 - 109

110 - 120

121 - 127

128 - 140

141 - 148

JURNAL PERMUKIMAN ISSN : 1907 – 4352Volume 4 No.2 September 2009

Pengantar Redaksi

Sebagai pembuka kami menyajikan tulisan mengenai pembangunan model pengembangan hunian vertikalmenuju pembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahanbagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tulisan ini disampaikan oleh Tito Murbaintoro, M. Syamsul Maarif,Surjono H. Sutjahjo, dan Iskandar Saleh dengan judul “Model Pengembangan Hunian Vertikal MenujuPembangunan Perumahan Berkelanjutan”.

Upaya pembangunan perumahan dan permukiman yang melibatkan kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembagaformal harus disertai langkah seleksi karena terkait dengan internalisasi muatan baru. Beberapa kriteria dapatdijadikan referensi dalam pemilihan lembaga yaitu : tingkat kemapanan, kondisi unsur-unsur kelembagaan, danefektivitas organisasi. Tulisan ini berjudul “Peningkatan Peran Lembaga Lokal Dalam Rangka PembangunanPermukiman Di Perdesaan” yang ditulis oleh Aris Prihandono.

Heni Suhaeni memaparkan hasil penelitiannya dalam tulisan yang berjudul “Pembangunan Rumah Susun DalamMendukung Aktivitas Ekonomi Perkotaan dengan konsep dasarnya adalah penataan ruang yang menghasilkankualitas lingkungan perkotaan yang sehat dengan penggunaan lahan yang efisien.

“Infrastruktur Pecinan yang Mudah Diakses Mendukung Prinsip Pariwisata yang Aksesibel” menjadi bahan tulisanInge Komardjaja dimana pecinan mempunyai potensi besar menjadi kawasan pariwisata, serta berpegang pulapada prinsip pariwisata yang aksesibel maka wisatawan lokal dan mancanegara yang menyandang cacat akantertarik mengunjungi pecinan.

Wied Wiwoho Winaktoe menyajikan hasil penelitian mengenai “Komparasi Nilai Partial_OTTV pada East-WallBerbasis U-Value = 2,6 dengan U-value = 1,6. OTTV sebagai prosedur standar konservasi energi yangdikukuhkan sebagai prosedur vital dalam praktik rancang bangun.

Guna mendapatkan pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan diperlukan analisa sosialdengan menggunakan dua metode analisa : deskriptif dan induktif. Yulinda Rosa membahas masalah tersebutdalam tulisannya yang berjudul “Metode Analisa Data Variabel Sosial Bidang Permukiman”.

Tulisan penutup dalam edisi ini, Tibin R. Prayudi membahas tentang “Keefektifan Pengolahan Antara AbuTerbang dengan Karbon Aktif terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK), Warna dan Logam Berat Air LindiSampah”. Penggunaan abu terbang dan karbon aktif dalam dosis tertentu dapat menurunkan kandungan KOK,warna dan logam berat air buangan rumah tangga.

Alamat RedaksiPusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Badan Litbang Dep. Pekerjaan Umum

Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan, Kab. Bandung 40393 PO Box 812 Bandung 40008, IndonesiaTelp. 022-7798393 (4 saluran), Fax. 022-7798392, Email : [email protected]

AkreditasiJurnal Permukiman ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah : TERAKREDITASI C

Nomor : No. 222/AU1/P2MBI/08/2009Berdasarkan Kutipan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Nomor : 816/D/2009 Tanggal 28 Agustus 2009(Masa berlaku hingga Agusrus 2010)

Abstrak

UDC69.058.4Mur Murbaintoro, TitoM Model pengembangan hunian vertikal menuju

pembangunan perumahan berkelanjutan/Tito Mur-baintoro et.al. --Jurnal Permukiman. --Vol. 4 No. 2September 2009.--Hal. 72-87. -- Bandung : Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009.76 hlm : ilus; 25 cmAbstrak : hlm. 72ISSN : 1907-4352I. SETTLEMENT II. BUILDING 1. Maarif, M. Syamsul2. H. Sutjahjo, Sujono 3. Saleh, Iskandar 4. Judul

Pengembangan hunian vertikal merupakan salah satualternatif strategi memenuhi kebutuhan perumahan bagimasyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah(MBR), mengurangi backlog, dan mengoptimalkanpemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Berkaitan haltersebut dilakukan kajian model pengembangan hunianvertikal di Kota Depok. Penelitian bertujuan untukmembangun model pengembangan hunian vertikal menujupembangunan perumahan berkelanjutan dan implikasinyaterhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR.

Kata kunci : Hunian vertikal, RTH, MBR, backlog,berkelanjutan

UDC69.058.4Pri Prihandono, Arisp Peningkatan peran lembaga lokal dalam rangka

pembangunan permukiman di perdesaan/Aris Pri-handono.--Jurnal Permukiman.--Vol. 4 No. 2 Sep-tember 2009.--Hal. 88-101.--Bandung : Pusat Pe-litian dan Pengembangan Permukiman, 2009.76 hlm : ilus; 25 cmAbstrak : hlm. 88ISSN : 1907-4352I. SETTLEMENT II. ECONOMIC 1. Judul

Pelibatan kelembagaan lokal dalam pembangunanpermukiman sangat relevan, namun perlu seleksi. Lembagaharus memenuhi kriteria : tingkat kemapanan, kondisiunsur kelembagaan, efektivitas organisasi. Internalisasiperan baru dilakukan melalui pemberdayaan namun harusmemperhatikan tipe kelembagaan dan kinerjanya. Bentukpemberdayaan dapat berupa asistensi, fasilitasi, ataupromosi. Sedangkan materi pemberdayaan meliputi materiumum, inti dan penunjang.

Kata kunci : Tipe lembaga, seleksi, pemberdayaan

UDC69.032.2Suh Suhaeni, Henip Pembangunan rumah susun dalam mendukung

aktivitas ekonomi perkotaan studi kasus kota Bandung/Heni Suhaeni.-- Jurnal Permukiman. --Vol. 4No. 2 September 2009.--Hal. 102-109.--Bandung :Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman,2009.76 hlm : ilus; 25 cmAbstrak : hlm. 102ISSN : 1907-4352I. MULTISTOREY BUILDINGS 1. Judul

Pembangunan rumah susun dalam mendukung aktivitasekonomi perkotaan dapat dijalankan dengan carapembangunannya harus mampu mewadahi kebutuhanruang bagi semua kelompok penduduk perkotaan yangselama ini tinggal, bekerja, membentuk dan membangunaktivitas ekonomi di kota tersebut.

Kata kunci : Penataan ruang, aktivitas ekonomi, perkotaan

UDC338.48Kom Komardjaja, Ingei Infrastruktur pecinan yang mudah diakses men-

dukung prinsip pariwisata yang aksesibel/Inge Komardjaja.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September2009.-- Hal. 110-120.--Bandung : Pusat Penelitiandan Pengembangan Permukiman, 2009.76 hlm : ilus; 25 cmAbstrak : hlm. 110ISSN : 1907-4352I. TOURIST II. DISABLED PEOPLE 1. Judul

Pecinan perlu ditata berdasarkan perencanaan yangmatang dan pelaksanaan yang cermat. Dengan berprinsippada pariwisata yang aksesibel, wisatawan lokal danmancanegara yang menyandang cacat tertarik untukmengunjungi pecinan. PBB mengatakan para penyandangcacat mempunyai hak yang sama dengan mereka yangtidak cacat untuk berwisata. Penelitian ini menggunakanmetode kualitatif untuk dapat mengidentifikasi problempenyandang cacat. Pecinan yang ramah cacat mendukungprinsip accessible tourism.

Kata kunci : Penyandang cacat, keterbatasan mobilitas,pecinan, pariwisata, aksesibilitas

UDC69.721Win Winaktoe, Wied Wiwohok Komparasi nilai partial ottv pada east wall berba-

sis u-value=2,6 dengan u-value=1,6/Wied WiwohoWinaktoe.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 Sep-tember 2009.-- Hal. 121-127.-- Bandung : Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009.76 hlm : ilus; 25 cm

UDC613.87Ros Rosa, Yulindam Metode analisa data variabel sosial bidang permu

kiman/Yulinda Rosa.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4No. 2 September 2009.-- Hal. 128 -140.-- Bandung :Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman,2009.76 hlm : ilus; 25 cm

Abstrak : hlm. 121ISSN : 1907-4352I. BUILDINGS II. ARCHITECTURE 1. Judul

Dinding-timur pada iklim tropika-lembab dipersyaratkanuntuk memiliki nilai u-value=2,0 yang sebenarnya sulittercapai karena struktur dinding yang popular (plester-bata-plester) cenderung memiliki u-value=2,6. Prosedurriset menghasilkan temuan : model dinding u-value=2,6(partial OTTV=21,28 W/m²), u-value=1,6 (partialOTTV=12,95 W/m²). Konklusi u-value < 2 menghasilkanpartial OTTV lebih kecil ketimbang u-value > 2.

Kata kunci : Termal, transmitansi, u-value, dinding, OTTV

Abstrak : hlm. 128ISSN : 1907-4352I. SOCIAL II. DESCRIPTIVE ANALYSIS 1. Judul

Data variabel sosial bidang permukiman merupakan datakualitatif. Analisa deskriptif dilakukan dengan terlebihdahulu membuat distribusi frekuensi. Beberapa metodeyang biasa digunakan dalam pembuatan frekuensi variabelsosial, diantaranya adalah dengan menggunakan nilai skorkumulatif dari seluruh item yang digunakan untukmengukur variabel tersebut dan metode srtrugle’s.

Kata kunci : Variabel sosial, data kualitatif, kuesioner,analisa deskriptif, skor, kumulatif

UDC54.188Pra Prayudi, Tibin Rk Keefektifan pengolahan antara abu terbang de-

ngan karbon aktif terhadap kebutuhan oksigen kimia(KOK) warna dan logam berat air lindi sampah/TibinR. Prayudi.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 Sep-tember 2009.-- Hal. 141- 148.-- Bandung : Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Permukiman, 2009.76 hlm : ilus; 25 cmAbstrak : hlm. 141ISSN : 1907-4352I. CHEMISTRY II. OXYGEN 1. Judul

Penelitian eksperimental dilakukan di laboratorium, denganpengadukan abu terbang dan karbon aktif dengan air lindisampah pada kecepatan 100 rpm selama satu jam, padadosis 15, 25, 35, 50, 100 dan 150 mg/liter. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa dengan pemakaian abu terbang akanlebih efektif dalam menurunkan KOK, warna, Zn, dan CUair lindi, sedangkan karbon aktif lebih efektif dalammenurubkan Fe air lindi.

Kata kunci : Abu terbang, karbon aktif, air lindi, kebutuhanoksigen kimia (KOK)

Abstract

UDC69.058.4Mur Murbaintoro, TitoM Model of the development of vertical residential

for the sustainable of housing development /Tito Mur-baintoro et.al. --Jurnal Permukiman. --Vol. 4 No. 2September 2009.--Page. 72-87.-- Bandung : ResearchInstitute for Human Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 72ISSN : 1907-4352I. SETTLEMENT II. BUILDING 1. Maarif, M. Syamsul2. H. Sutjahjo, Sujono 3. Saleh, Iskandar 4. Title

Vertical residential development is one of the alternativestrategies to meet the need of housing for people,especially low income people, decrease the backlog andoptimizing the need of open green space. Relating to thatreason, the study on model of the development of verticalresidential was carried out in Depok city. The research waspurposed to create a model of the development of verticalresidential for the sustainable of housing development andits impact to the housing development policy for the lowincome people.

Keywords : Vertical residential, open green space, lowincome people, backlog, model, sustainable

UDC69.058.4Pri Prihandono, Arisp Improving the role of local institution in term of

settlement development in rural area/Aris Prihandono--Jurnal Permukiman.--Vol. 4 No. 2 September 2009.--Page. 88-101.--Bandung : Research Institute forHuman Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 88ISSN : 1907-4352I. SETTLEMENT II. ECONOMIC 1. Title

Involvement the local institution in developing settlementsis relevant very much to current sitation. However, itrequires stick selection. The criteria of selection include :level of establishment, condition of organizationcomponents, effectiveness of organization. Internalizationof the new roles can be carried out through empowermentof the local level institution. Nevertheless, it must taketypes of the institution and its performance intoconsideration. Nature of the empowerment can beassistance, facilitation, and promotion. While substances ofempowerment consist of general, major, and minor one.

Keywords : Institution types, selection, empowerment

UDC69.032.2Suh Suhaeni, Henip Development of multistorey to support urban eco

nomy activity case study of Bandung/Heni Suhaeni. --Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.--Page 102-109.--Bandung : Research Institute forHuman Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 102ISSN : 1907-4352I. MULTISTOREY BUILDINGS 1. Title

Multistorey development can support the activities of urbaneconomy if development of multi-storey is able toaccommodate all different groups of people with multilevels of socio-economy and live, work, shape and developeconomy activities in such urban area.

Keywords : Spatial planning, economy activity, urban

UDC338.48Kom Komardjaja, Ingei The easily accessed infrastructure of Chinatown

espouses the principle of accessible tourism/Inge Ko-mardjaja.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 Sep-tember 2009.-- Page 110-120.-- Bandung : ResearchInstitute for Human Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 110ISSN : 1907-4352I. TOURIST II. DISABLED PEOPLE 1. Title

Revitalizing Chinatown has to be done from a well-prepared planning and accurate implementation. Carryingout the principle of accessible tourism may attract local andforeign disabled tourists. The UN declares that disabledpeople have the same right as the non-disabled people tovisit tourist sites. This study has employed the qualitativemethod to identify the real problems of disabled people.Chinatown that is disabled-friendly espouses the principleof accessible tourism.

Keywords : Disabled people, limited mobility, Chinatown,tourism, accessibility

UDC69.721Win Winaktoe, Wied Wiwohok Comparasion between the east-wall’s partial-

OTTV at u-value of 2.6 and u-value of 1.6/Wied Wi-woho Winaktoe.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2September 2009.-- Page 121-127.-- Bandung :Research Institute for Human Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 121

UDC613.87Ros Rosa, Yulindam Method analysis variable data of the structured

social settlement/Yulinda Rosa.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September 2009.-- Page 128 -140.--Bandung : Research Institute for Human Settlements,2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 128

ISSN : 1907-4352I. BUILDINGS II. ARCHITECTURE 1. Title

East wall at hot-humid climate is required to have u-valueof 2.0 which is actually difficult to achieve considering thepopular wall’s structure (plaster-brick-plaster) tends tohave u-value of 2.6. The finding of this research : wall withu-value of 2.6 produces partial OTTV of 21.28 W/m² andu-value of 1.6 produces partial OTTV of 12.95 W/ m². Theconclusion is that the lower the u-value is then the smallerpartial OTTV would be.

Keywords : Thermal, transmittance, u-value, wall, OTTV

ISSN : 1907-4352I. SOCIAL II. DESCRIPTIVE ANALYSIS 1. Title

Variable data of the structured social settlement isqualitative data. Descriptive analysis is done by firstmaking a frequency distribution. Some methods use increating the frequency distribution of social variables suchas using the value of the cumulative score of all items usedthe measure these variables, and the struggle’s method.

Keywords : Social variable, qualitative data, questionnaire,descriptive analysis, cumulative score

UDC54.188Pra Prayudi, Tibin Rk Leachate treatment effectively between fly ash

and activated carbon on chemical oxygen demand,colour and heavy metal from leachate/Tibin R. Prayu-di.-- Jurnal Permukiman.-- Vol. 4 No. 2 September2009.-- Page 141- 148.-- Bandung : Research Institu-te for Human Settlements, 2009.76 pages : ilus; 25 cmAbstract : page 141ISSN : 1907-4352I. CHEMISTRY II. OXYGEN 1. Title

The batch experiments were run in different glass flask of500 ml capacity using the string speed on 100 rpm. Aknown volume of sample was treated with different dosesof fly ash or activated carbon 15, 25, 35, 50, 100, and 150mg/litre. The result could be concluded that fly ash is moreeffective adsorbent for decreasing COD, colour, Zn and Cuconcentration in leachate but activated carbon is moreeffective for decreasing Fe concentration in leachate.

Keywords : Fly ash, activated carbon, leachate, chemicaloxygen demand (COD)

Indeks Subyek(Subject Index)

AAbu terbang = 141, 142, 143, 144, 147, 148Accessibility = 110Activated carbon = 141Air lindi = 141, 142, 144, 145, 147, 148Aksesibilitas = 110, 111, 113Aktivitas ekonomi = 102, 104, 105, 107, 108, 109Analisa deskriptif = 128, 130, 131, 137

BBacklog = 72, 76, 77, 82Berkelanjutan = 72

CChemical oxygen demand (COD) = 141, 142Chinatown = 110, 114Cumulative score = 128

DData kualitatif = 128Descriptive analysis = 128Dinding = 121, 122, 123Disabled people = 110

EEconomy activity = 102Empowerment = 88

FFly ash = 141, 143, 144

HHunian vertikal = 72, 74, 76, 77, 78, 80, 81, 82, 83, 85

IInstitution types = 88

KKarbon aktif = 141, 142, 143, 147, 148Keterbatasan mobilitas = 110Kebutuhan oksigen kimia (KOK) = 141, 144, 147, 148Kuesioner = 128, 129, 130

LLeachate = 141Limited mobility = 110Low income people = 73

MMBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) = 72Model = 72

OOTTV = 121, 122, 123, 124, 125, 126Open green space = 73

PPariwisata = 110, 111, 114, 118Pecinan = 110, 111, 112, 113, 115, 116Pemberdayaan = 88, 91, 92, 94, 96Penataan ruang = 102, 103Penyandang cacat = 110, 111, 112, 113, 115, 116, 117,118, 119Perkotaan = 102, 103, 104, 108, 109

QQualitative data = 128Questionnaire = 128

RRTH (Ruang Terbuka Hijau) = 72, 73, 74, 75, 76, 77, 82,84, 85, 86

SSeleksi = 88Selection = 88Skor kumulatif = 128, 133, 137Social variable =128Spatial planning = 102,Sustainable = 73, 82, 85

TTermal = 121, 122Thermal = 121,Tipe lembaga = 88Tourism = 110Transmitansi = 121, 122Transmittance = 121

UUrban = 102U-value = 121, 124, 125, 126

VVariabel sosial = 128, 129, 130Vertical residential = 73

WWall = 121

PEDOMAN UNTUK PENULIS

UMUM Redaksi menerima naskah karya ilmiah IPTEK bidang Permukiman, baik dari dalam maupun di

luar lingkungan Pusat Litbang Permukiman Naskah belum pernah diterbitkan di media cetak lainnya Penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap isi tulisan Naskah disampaikan ke redaksi dalam bentuk naskah tercetak hitam putih sebanyak 3 rangkap Penelaah berhak memperbaiki naskah tanpa mengubah isi dan pengertiannya dan akan

berkonsultasi dahulu dengan penulis apabila dipandang perlu untuk mengubah isi naskah Jika naskah disetujui untuk diterbitkan, penulis harus segera menyempurnakan dan

menyampaikannya kembali ke redaksi beserta file-nya dengan program MS-Word palinglambat satu minggu setelah tanggal persetujuan

Naskah yang dimuat menjadi milik Pusat Litbang Permukiman Naskah yang tidak dapat dimuat akan diberitahukan kepada penulis dan naskah tidak akan

dikembalikan, kecuali ada permintaan lain dari penulis

NASKAHBahasa : Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia dilengkapi dengan abstrak dan kata kunci dalam BahasaIndonesia dan Bahasa Inggris.

Format : Jumlah halaman naskah maksimum 10 halaman tercetak dalam kertas putih ukuran B5 padasatu permukaan dengan satu spasi. Naskah yang ditulis terbagi atas 2 kolom yang terpisah oleh jaraktengah 1 cm. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 2 cm. Jenis huruf yang digunakanTahoma.

Judul (14 pt, Capital, bold) dan Sub Judul (12 pt, bold) : Judul dibuat tidak lebih dari dua baris danharus mencerminkan isi tulisan. Nama, instansi dan alamat (instansi dan e-mail) penulis dicantumkan dibawah judul.

Abstrak (9 pt, Italic) : Abstrak dibuat tidak lebih dari 200 kata yang memuat metodologi yang digunakan,temuan-temuan pokok hasil penelitian, serta mengungkapkan konklusi dan rekomendasi pokok. Abstrakdilengkapi dengan kata kunci.

Isi Naskah (9 pt) : Susunan isi naskah meliputi : Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metoda Penelitian,Hasil, Analisis dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Daftar Pustaka.

Tabel : Judul tabel dan keterangan ditulis dengan jelas dan singkat. Tabel harus diberi nomor. Nomordan judul tabel diletakkan pada posisi center. Tabel harus diberi nomor. Antara judul tabel dan kalimatsebelumnya dan juga antara tabel dan judul tabel diberi jarak satu spasi

Gambar dan Foto : Gambar dan foto harus diberi nomor, judul atau keterangan dengan jelas. Ukurangambar dan foto disesuaikan dengan besar kolom. Nomor, judul atau keterangan gambar dan fotodiletakkan pada posisi center. Gambar dan foto harus mempunyai ketajaman yang baik, ukurannyadapat diperbesar dan diletakkan ditengah kertas, memotong kolom. Antara gambar/foto dan judul atauketerangan gambar/foto diberi jarak satu spasi.

Daftar Pustaka : Daftar pustaka ditulis sesuai dengan urutan menurut abjad nama pengarang denganmencantumkan tahun penerbitan, judul terbitan, penerbit, dan kota terbit.

Pustaka berupa judul buku :Sukandarrumidi, 2006, Batubara dan Pemanfaatannya, Gajah Mada University Press,Yogyakarta

Pustaka berupa majalah/jurnal ilmiah/prosiding :Saayman, H.M. and J.A. Oatley, 1976, Wood Adhesive from Wattle Bark Extract, For Prod, J.26: 27-33

72 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

MODEL PENGEMBANGAN HUNIAN VERTIKAL MENUJUPEMBANGUNAN PERUMAHAN BERKELANJUTAN

Tito Murbaintoro1, M. Syamsul Ma’arif2, Surjono H. Sutjahjo2, Iskandar Saleh1

E-mail : [email protected]) Kementrian Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jl. Raden Patah I/1 Kebayoran Baru-Jakarta Selatan

2) Guru Besar Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor, Jl. Darmaga, Bogor 16680Tanggal masuk naskah: 21 Januari 2009, Tanggal disetujui: 09 Agustus 2009

AbstrakPengembangan hunian vertikal di Kota Depok merupakan salah satu alternatif strategi memenuhikebutuhan perumahan bagi masyarakat terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR),mengurangi backlog, dan mengoptimalkan pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penelitian inibertujuan untuk membangun model pengembangan hunian vertikal menuju pembangunan perumahanberkelanjutan dan implikasinya terhadap kebijakan pembangunan perumahan bagi MBR. Metode analisisdata yang digunakan meliputi analisis deskriptif, analisis statistika, analisis finansial, analisis input-output(I-O), dan analisis sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Kota Depokmemiliki potensi minat yang besar terhadap hunian vertikal namun tingkat keterjangkauan terutamaMBR masih sangat rendah. Untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat dalam memiliki hunian,maka peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam pemberian bantuan dan insentif kepemilikanhunian. Pembangunan perumahan juga memberikan dampak ganda (multiplier effect) terhadappembangunan di Kota Depok dan daerah sekitarnya. Dampak tersebut antara lain tingginyapembangunan perumahan, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan tingginya tingkat penyerapantenaga kerja akibat pembangunan perumahan. Peningkatan kebutuhan jumlah hunian, serta backlogperumahan di Kota Depok menunjukkan kecenderungan pertumbuhan mengikuti kurva eksponensialpada tahun simulasi 2001 sampai tahun 2025. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat diKota Depok khususnya MBR dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan mempertahankanketersediaan lahan RTH pada tingkat tertentu, skenario yang dapat dilakukan adalah memanfaatkanRTH sampai pada luasan 5000 ha, dengan mendorong pertumbuhan hunian vertikal melalui subsidibunga sebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp 10.000.000 – Rp 13.000.000.

Kata kunci : Hunian vertikal, RTH, MBR, backlog, model, dan berkelanjutan

AbstractVertical residential development in Depok city is one of the alternative strategies to meet the need ofhousing for people, especially low income people, decrease the backlog and optimizing the need of opengreen space. The research was purposed to create a model of the development of vertical residential forthe sustainable of housing development and its impact to the housing development policy for the lowincome people. The methods used to analyze the data were descriptive analysis, statistical analysis,financial analysis, input-output (I-O) analysis and dynamic system analysis. The result of the researchshowed that people in Depok city had great interest in having vertical residential, however theaffordability of low income people, were still low. To increase the people’s purchasing power,participation of the government is greatly necessary especially in form of incentive and housing subsidy.Housing development also resulted in multiplier effects for the development of Depok city and itssurrounding area, such as the high supply of housing, increasing of people income, and the higherabsorption level of manpower related the housing development. The increasing number of shelters

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 73

need as well as housing backlog in Depok city tended to grow similarly with the exponential curve in thesimulation years of 2001-2025. To meet the need of housing in Depok city, especially for the low incomepeople, with consideration to their ability and maintaining the open green space at certain level, thescenario that could be done is utilization of the open green space up to 5000 ha, with support to thevertical residential growth through subsidizing the interest of 8% as well as down payment in the rangeof Rp 10,000,000 to Rp 13,000,000.

Keywords : Vertical residential, open green space, low income people, backlog, model, sustainable

PENDAHULUANPemenuhan kebutuhan rumah bagi setiapkeluarga (shelter for all) dan pengembanganperumahan yang berkelanjutan (sustainablehousing development) sudah menjadi agendaglobal yang harus diwujudkan oleh setiapnegara. Persoalan lain yang sangat mendasaradalah pemenuhan kebutuhan rumah yangterjangkau oleh masyarakat berpenghasilanrendah (MBR). Hal ini juga menjadi perhatianberbagai pemangku kepentingan di duniasebagaimana dicanangkan pada The 12th

Session of the Commission on SustainableDevelopment (CSD 12) tanggal 14-30 April 2004di New York, yakni ”to achieve significantimprovements in the living conditions of thepoorest population groups, in particular sluminhabitants, by the year 2020” (Butters, 2003).

Perwujudan pembangunan perumahan danpermukiman berkelanjutan, tidak dapatdilepaskan dari pembangunan perkotaan secarakeseluruhan, apalagi bila dikaitkan denganketersediaan lahan yang merupakansumberdaya alam yang tidak terbarukan. Salahsatu indikator pembangunan berkelanjutan yangdimotori oleh United Nations Centre for HumanSettlements (UNCHS) adalah memberikanrekomendasi tentang bagaimana menetapkanindikator lingkungan untuk pembangunanperumahan, permukiman dan perkotaan.Indikator lingkungan perkotaan yang terkaitdengan sustainibilitas lingkungan perkotaanadalah terpenuhinya luas ruang terbuka(km2)/% (Junaidi, 2000). Ketersediaan ruangterbuka hijau (RTH) merupakan salah satuindikator utama penelitian dalam melakukananalisis pembangunan perumahan berkelanjutan.Indikator lain adalah tingkat keterjangkauan

masyarakat untuk menyewa atau membelihunian serta pendapat masyarakat tentanghunian yang diminati. Hal ini terkait dengan tigapilar konsep pembangunan berkelanjutan yaknipembangunan yang telah mempertimbangkansecara seimbang tiga dimensi berkelanjutanyaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial(Munasinghe, 1993).

Sejalan dengan upaya pembangunanperumahan, permukiman dan perkotaanberkelanjutan Kementerian Negara LingkunganHidup (Meneg LH) bekerjasama dengan UNDP(United Nations Development Programme) telahmenerbitkan Agenda 21 Sektoral (nasional),yaitu agenda permukiman untuk pengembangankualitas hidup secara berkelanjutan yang salahsatunya mengamanatkan perlu upayamelindungi masyarakat dari praktek-praktekspekulasi dan monopoli penguasaan tanah(Meneg LH, 2000). Ini menunjukkan komitmenpemerintah dan seluruh masyarakat Indonesiauntuk mewujudkan pembangunan perumahan,permukiman dan perkotaan berkelanjutan.

Beberapa pemikiran tersebut diatas sudahbarang tentu memberikan konsekuensi logispada pengendalian pembangunan perumahandan permukiman di perkotaan agar dapatmemenuhi persyaratan kota yang termasukkategori kota berwawasan lingkungan(sustainable city) antara lain : tetap terjagaketersediaan ruang terbuka hijau yang cukup dikawasan perkotaan (sustainable land useplanning and management serta sustainablehousing and urban development), terpenuhinyakebutuhan hunian yang layak dan terjangkaubagi seluruh masyarakat (affordable low costhousing) dan terwujudnya kehidupan sosialkemasyarakatan yang harmonis dan efisien

74 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

(compact city) melalui pengembangan hunianvertikal. Pengembangan hunian vertikal di kotabesar dan metro sudah menjadi kebutuhan yangsangat mendesak, problem ketersediaan lahanmerupakan faktor pendorong bagi berbagaipemangku kepentingan untuk segeramemikirkan pola pengembangan perumahandan permukiman yang selama ini masihdidominasi oleh pengembangan hunian tapak(landed). Sudah banyak terjadi perubahanfungsi lahan pertanian produktif menjadikawasan perumahan yang pada gilirannya akanmengakibatkan degradasi lingkungan.

Untuk menjawab persoalan tersebut penelitiantentang pengembangan hunian vertikal menujupembangunan perumahan berkelanjutan telahdilakukan di Kota Depok, Jawa Barat, Indonesiasejak 2004 yang lalu. Pemilihan Kota Depoksebagai lokus penelitian didasarkan padabeberapa pertimbangan antara lain : merupakansalah satu dari 15 kota besar di Indonesia yangpertumbuhannya sangat pesat antara tahun1990-2000 (Silas, 2001), sebagai salah satu kotapenyangga ibukota yang sangat strategis,tingkat penduduk komuter termasuk kategoritinggi, kondisi RTH dan kerusakan lahanpertanian masih belum terlalu parah, yaituterdapat 49 % RTH (Wihana, 2008), merupakanwilayah yang menjadi incaran pengembanganperumahan karena berada di selatan Jakarta,

dan termasuk salah satu wilayah penangananBogor-Puncak-Cianjur (Bopuncur).

Kerangka penelitian ini dirancang dalamkerangka teori pembangunan berkelanjutan,yang menyatakan bahwa konsep pembangunanyang seimbang adalah pembangunan yang telahmempertimbangkan tiga dimensi berkelanjutanyaitu ekologi/lingkungan, ekonomi dan sosial.Tujuan utama penelitian ini adalahmengembangkan model hunian vertikal menujupembangunan perumahan berkelanjutan danimplikasinya terhadap kebijakan pembangunanperumahan bagi MBR. Dalam menyusun modeltersebut, ada beberapa tujuan antara yangmendukung terwujudnya tujuan utamapenelitian ini yaitu : menganalisis tingkatmanfaat pengembangan hunian vertikal padasuatu wilayah kota dikaitkan denganketersediaan RTH, menganalisis tingkat minatmasyarakat untuk tinggal di hunian vertikal,menganalisis tingkat kelayakan finansialpengembangan hunian vertikal pada suatuwilayah kota, khususnya yang terjangkau olehMBR, menganalisis dampak pembangunanperumahan terhadap perekonomian daerah KotaDepok, mendisain model pengembangan hunianvertikal secara berkelanjutan. Secaradiagramatis kerangka pemikiran tersebut dapatdilihat pada gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 75

Hasil penelitian telah memberikan gambarannyata tentang bagaimana pembangunanperumahan di kota besar dan metro harusditangani secara komprehensif. Hal lain yangjuga perlu mendapat perhatian adalahsumbangan pemikiran tentang arah kebijakanpembangunan perumahan yang harus ditetapkan oleh regulator di tingkat kota sertaimplikasinya kepada pembangunan perumahanbagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR)dan pembangunan perkotaan secarakeseluruhan.

Pengembangan Hunian Vertikal padaSuatu Wilayah Kota Dikaitkan denganKetersediaan RTHPengembangan hunian vertikal pada suatuwilayah kota dikaitkan dengan ketersediaan RTHsangat terkait erat dengan indikatorpembangunan perumahan, permukiman danperkotaan. Oleh karena itu untuk menilai suatukota diperlukan indikator-indikator yang dapatdigunakan untuk mengukur tingkat kelayakansuatu kota, antara lain mengukur kinerja;mengkaji tren; memberi informasi; menetapkantarget; membandingkan kondisi atau tempat;peringatan dini; dan menyusun pilihan strategisdalam pembangunan kota (Banerjeen, 1996dalam Junaidi, 2000). Kajian indikatorpembangunan perkotaan di beberapa negaramenunjukkan bahwa salah satu indikator yangterkait dengan aspek lingkungan adalahketersediaan RTH yang memadai bagi pendudukkota. Indikator lingkungan perkotaan yangterkait dengan sustainibilitas lingkunganperkotaan adalah terpenuhinya luas ruangterbuka dalam km2 (Junaidi, 2000). Menurutpenelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini, fungsihutan kota sebagai bagian dari RTH dapatmenyerap hasil negatif dari kota antara lain :suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnyahabitat burung (Zoer’aini, 2005). Belum adastandar baku yang mengatur tentang kebutuhanRTH di suatu kota, tetapi data empiris dibeberapa kota dunia menunjukkan bahwakebutuhan RTH di suatu kota antara 6-10m2/kapita (Ditjen Penataan Ruang, 2005).,Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang

Penataan Ruang telah mengamanatkan untukmenyediakan RTH publik minimal 20 % dari luaskota dan RTH privat minimal 10 % dari luaskota.

Secara umum kondisi RTH kota-kota diIndonesia menunjukkan tingkat ketersediaanyang belum optimal. Kurang optimalnyapemenuhan kebutuhan ruang terbuka hijau(RTH) dapat dilihat dari luas RTH di beberapakota di Indonesia yang mengalami penurunansecara signifikan dalam 30 tahun terakhir, dari35 % pada awal tahun 1970-an menjadi kurangdari 10 % terhadap luas kota secarakeseluruhan (Kirmanto, 2005). Apabila ditinjaudari kondisi kuantitas RTH di beberapa negara,rasio RTH kota-kota metro di Indonesia sangatjauh lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota di Jepang (5 m2 / penduduk), Inggris (7-11.5 m2 / penduduk) dan Malaysia (2 m2 /penduduk). Fakta lain yang terkait denganketersediaan RTH adalah cukup tingginya lahanpertanian yang beralih fungsi menjadi kawasanperumahan dan permukiman serta industri. Dataempiris juga menunjukkan bahwa alih fungsilahan pertanian terbesar adalah wilayah JawaBarat yang merupakan salah satu lumbung padinasional (Hatmoko, 2004). Kondisi tersebut diatas merupakan konsekuensi dari lebih tingginyanilai ekonomi lahan (land rent) untuk industri,perumahan dan permukiman dibandingkanuntuk penggunaan lainnya (Barlowe, 1986).Disamping itu, pengembangan properti selamaini menggunakan konsep highest and best use(Grasskamp dalam Jarchow, 1991) yaitupemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaanyang paling menguntungkan secara ekonomidan memiliki tingkat pengembalian usaha(return) yang lebih tinggi dibandingkan denganfungsi lain. Teori lain menyatakan bahwa dalamkonteks land economics, land value sangatdipengaruhi oleh hubungan komplementerantara land rent dengan transportation cost(Alonso, 1964). Kondisi tersebut dapat dilihatjuga dari tren kenaikan harga tanah di PerumPerumnas Depok pada tahun 1990 an, dalamwaktu dua tahun mencapai 75 % (Gandi, 1994dalam Winarso, 2001). Berdasarkan penelitian

76 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

yang dilakukan selama 40 tahun terakhirpendapatan bersih tanah per m2 untuk realestate, 200 kali lipat dibandingkan untukpertanian (Agroindonesia, 2004). Disampingindikator sustainabilitas lingkungan perkotaanyang bersifat komprehensif, UNCHS juga telahmengembangkan indikator untuk lingkunganperumahan pada tahun 1993 (Junaidi, 2000).Indikator lingkungan perumahan antara lain :luas lantai per orang dan portofolio kreditperumahan. Dalam konteks luas lantai per orangdan ketersediaan RTH di suatu kota, makapengembangan hunian vertikal akan dapatmenjaga sustainabilitas lingkungan perkotaan.

Kecenderungan berkurangnya RTH dan alihfungsi lahan pertanian produktif juga terjadi diKota Depok, tetapi menurut data yang diperolehdari pemerintah Kota Depok ketersediaan RTHdi Kota Depok sampai saat ini masih cukup baikyakni sekitar 49% dari seluruh wilayah KotaDepok. Kalau tidak dikendalikan secara dini,maka Kota Depok akan mengalami degradasilingkungan seperti halnya kota metro lain diIndonesia. Tren ketersediaan RTH Kota Depokselama kurun waktu lima tahun (2000-2005)menunjukkan penurunan yang cukup signifikanterutama untuk lahan pertanian sebagaimanadilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Penurunan Lahan Pertanian Kota Depok Tahun 2000-2005

Lahan Pertanian(Ha)

Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sawah Teknis 926,58 931,00 931,00 907,00 907,00 785,00

Sawah Non Teknis 401,68 401,00 401,00 380,00 380,00 187,50

Perkebunan 1.527,35 1.501,05 1.420,30 1.357,65 1.285,12 1.272,80

Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah

Penurunan ketersedian RTH untuk lahanpertanian yang terdiri dari sawah teknis, sawahnon teknis dan perkebunan terus terjadi,walaupun pada awalnya cenderung mengalamipeningkatan seperti sawah teknis pada tahun2000 seluas 926,58 Ha meningkat menjadi931,00 Ha pada tahun 2001 dan bertahansampai tahun 2003, tetapi pada tahun 2004 luassawah teknis tersebut mengalami penurunan.Untuk sawah non teknis dan perkebunan sejaktahun 2000 cenderung mengalami penurunan.Tren penurunan luas RTH ini menunjukkanbahwa semakin lama luas RTH di Kota Depokakan semakin menurun yang disebabkan olehkebutuhan lahan untuk pengembanganperumahan dan kebutuhan lainnya seiringdengan tren pertambahan ijin lokasi dan ijinmendirikan bangunan di Kota Depok. BeruntungKota Depok masih memiliki kebijakanpenambahan taman kota yang setiap tahunnyameningkat sebagaimana dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.Ketersediaan RTH untuk Taman Kota

Tahun 2000-2005Tahun Taman Kota (Ha)

2000 12,05

2001 12,36

2002 18,35

2003 22,16

2004 26,57

2005 61,75Sumber : Pemerintah Kota Depok, 2006 diolah

Dilain pihak kebutuhan akan rumah di KotaDepok menunjukkan angka yang cukup besar.Pemenuhan kebutuhan rumah di suatu kotadapat dilihat dari backlog dan pertumbuhankebutuhan rumah akibat bertambahnya keluargabaru di suatu kota. Disamping itu, perludianalisis juga jumlah rumah tangga yangtermasuk kategori komuter. Kota Depok

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 77

termasuk kota yang tingkat pertumbuhanpenduduknya relatif tinggi, yaitu 3,7% pertahun. Hal ini menyebabkan pertumbuhankebutuhan rumah di Kota Depok cukup tinggi.Data BPS tahun 2003 menunjukkan bahwa dari234.733 rumah tangga, dengan tingkatpertumbuhan penduduk 3,7 % per tahun makaangka kebutuhan rumah per tahun kurang lebih10.375 unit rumah, disamping itu backlog rumahmenunjukkan angka cukup tinggi. Pertumbuhanjumlah penduduk yang mengakibatkanbertambahnya keluarga baru setiap tahunnyasebagaimana dilihat pada tabel 3.

Tabel 3.Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk

Kota Depok

No. Sub PusatPengembangan

JumlahPenduduk

(Jiwa)

PertumbuhanPenduduk

(%/Tahun)

1. Cimanggis 435.477 3,36

2. Sawangan 214.601 5,29

3. Limo 190.359 4,88

4. Pancoran Mas 278.943 3,04

5. Beji 201.363 6,45

6. Sukmajaya 345.500 2,70Sumber: RTRW Kota Depok, 2000-2010

Dengan tetap berupaya memenuhi kebutuhanrumah untuk seluruh keluarga disatu pihak danmenjaga kualitas lingkungan terutamaketersediaan ruang terbuka hijau sebagai salahsatu indikator lingkungan perkotaan yangberkelanjutan di lain pihak, maka modelpengembangan hunian vertikal perlu segeraditerapkan untuk kota-kota yang masih memilikiruang terbuka hijau yang cukup dan tingkatpertumbuhan kebutuhan rumah yang cukupsignifikan setiap tahunnya.

Dengan pembangunan perumahan secaravertikal maka akan membantu mengurangi lajupengurangan lahan RTH. Pembangunan hunianvertikal dengan satuan luas lahan yang relatiflebih kecil dibandingkan dengan hunian tapakmemberi peluang untuk menyediakan rumahlebih banyak sehingga backlog dapat ditekan.Secara simulatif dengan memasukkan hunianvertikal dalam pembangunan perumahan di KotaDepok dapat menurunkan backlog hinggamencapai 8.207 unit rumah pada tahun 2025.Pada kondisi tersebut ketersediaan RTH dapatditekan yaitu sebesar 4.174 ha (20.83%). Hasilsimulasi model pengembangan hunian vertikal diKota Depok sebagaimana dilihat pada tabel 4.

Tabel 4.Tabel Simulasi Pembangunan Hunian Vertikal dalam Perencanaan Pembangunan Perumahan

di Kota Depok

Tahun

Backlog RTH

Tanpa rumahvertikal(Unit)

Denganrumahvertikal(Unit)

Tanpa rumahvertikal

(Ha)

Persenterhadap luas

kota(%)

Denganrumahvertikal

(Ha)

Persenterhadap luas

kota(%)

2001 100.753 100.753 9.833 49.07 9.833 49.07

2005 111.759 104.806 9.215 45.99 9.278 46.30

2010 120.766 101.162 8.272 41.28 8.445 42.14

2015 124.686 87.238 7.103 35.45 7.426 37.06

2020 118.645 57.498 5.671 28.30 6.191 30.90

2025 102.410 8.207 4.061 20.27 4.174 20.83

78 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Tingkat Minat Masyarakat untukTinggal di Hunian VertikalMinat menghuni rumah bagi setiap individu dankeluarga tidak hanya dilihat bahwa merekatinggal secara fisik di rumah, tetapi merupakanproses pembentukan jatidiri manusia secarautuh dan merupakan tempat persemaiankeluarga dan budaya masyarakat. Oleh karenaitu menghuni rumah sangat terkait denganproses pembentukan ruang (Crowe, 1997),sehingga menghuni rumah merupakan fungsidari tempat/ lokasi, waktu dan temporal (secarafungsional dapat dirumuskan sebagai berikut :pembentukan ruang = f (place, locality, time,temporal)). Jadi sangat tergantung dari persepsidan makna yang dirasakan oleh manusia(Crowe, 1997 dalam Mas Santosa, 2001). Prosespembentukan ruang juga akan menemukankonflik antara tradisi dan modernitas sehinggapada gilirannya akan memudarkan identitas kotayang sangat terkait dengan aspek lokalitas(Correa, 2000 dalam Mas Santosa, 2001). Jadiidentitas kota sangat dipengaruhi oleh bentukkota (urbanform), kultur dan kepadatan kota.Pada beberapa pendapat terdahulu fenomenasosio kultural dan fisikal merupakan kekuatanyang membentuk arsitektur tradisional (Oliver,1987) dan pada kenyataannya arsitekturtradisional merupakan proses yang mampumenunjukkan interaksi antara manusia danlingkungannya, dan bentuk interaksi tersebutsecara gradual berubah karena terkait dengankonteksnya (Rapoport, 1994).

Bertolak dari beberapa pemikiran tersebut,aspek sosial sebagai salah satu pilarpembangunan berkelanjutan menjadi salah satuunsur yang penting didalam menelitipengembangan hunian vertikal di kawasanperkotaan. Penelitian ini mengungkap seberapabesar minat masyarakat Kota Depok tinggal dihunian vertikal. Memperhatikan beberapa halpenting sebagaimana diuraikan diatas, penelitiantentang minat masyarakat Kota Depok untuktinggal di hunian vertikal dititik beratkan padatiga aspek yaitu persepsi, motivasi, dan lokasi.Hasil penelitian tentang persepsi masyarakatatas hunian vertikal menunjukkan bahwa

mayoritas responden masyarakat Kota Depokmasih berpendapat bahwa rumah susun danapartemen merupakan bangunan yang sangatberbeda/ berbeda (>70%), rumah susun akanmenimbulkan kekumuhan baru (70,5%). Dilainpihak persepsi masyarakat bahwa tinggal dirumah susun dapat memberikan kepuasan(42%) dan sudah merasa memiliki/ menghunirumah (40%), memberikan peluang untuk dapatditingkatkan persepsi masyarakat ataskeberadaan rumah susun. Hasil penelitiantentang motivasi masyarakat untuk tinggal dihunian vertikal menunjukkan bahwa mayoritasresponden masyarakat Kota Depok memilikimotivasi yang sangat besar untuk tinggal dihunian vertikal bila dibandingkan dengan tinggaldi rumah tapak dengan kondisi rumah tapakyang kumuh (>70%), atau jauh dari tempatkerja/ sekolah, atau harga sewa rumah susunyang lebih murah daripada tinggal di rumahtapak sewa (>60%). Hasil penelitian tentanglokasi hunian vertikal yang diminati masyarakatmenunjukkan bahwa mayoritas respondenmasyarakat Kota Depok memiliki keinginanuntuk tinggal di rumah susun yang berada dekatdengan tempat kerja / sekolah (>70%), ataurumah susun ditengah kota (>60%), ataumemiliki akses kereta api/ jalan tol (>50%), dandikawasan yang tenang (76,3%) dibandingkandengan tinggal di hunian tapak yang memilikikarakteristik sebaliknya.

Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwapotensi masyarakat Kota Depok tinggal dihunian vertikal sangat besar apabilapengembangan hunian vertikal dilakukan secaraterencana dengan memperhatikan faktor-faktoryang mempengaruhi tingkat persepsi, motivasimasyarakat dan pemilihan lokasi hunian vertikal.Aspek lain yang masih harus menjadipertimbangan adalah kemiripan prosespembentukan ruang hunian vertikal bagi MBRdan proses pembentukan ruang kampung yangmemiliki ciri hampir sama yaitu didaerah yangberkepadatan tinggi, di lingkungan urban/perkotaan, mayoritas tumbuh secara informalkhususnya untuk masyarakat berpenghasilanrendah. Kampung merupakan wujud yang

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 79

menunjukkan suatu proses terbentuknya ruangdi daerah berkepadatan tinggi yang tumbuhsecara informal di lingkungan urban tropis,sehingga lokasi penetapan tatanan lingkunganpembentukan ruang mengikuti kepercayaan /kebiasaan yang sifatnya turun temurun (MasSantosa, 2001). Pada hunian tradisional, ruangutama yang berfungsi sebagai ruang keluargasangat mendominasi aktifitas anggota keluarga(Mas Santosa, 2001). Oleh karena itu konsepkampung susun menjadi sesuatu ide yang harusdikembangkan terutama untuk memfasilitasihunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilanrendah.

Tingkat Kelayakan dan KeterjangkauanPengembangan Hunian VertikalBagi Masyarakat BerpenghasilanRendahKebutuhan akan hunian harus disesuaikandengan kemampuan untuk memiliki ataumenyewa hunian yang ditunjukkan oleh tingkat

keterjangkauan masyarakat untuk memilikirumah melalui kredit/ pembiayaan pemilikanrumah (KPR) atau membayar sewa. Aspek inisangat penting, tinjauan aspek ekonomi sebagaisalah satu pilar pembangunan berkelanjutanmejadi sangat penting untuk dikaji secaramendalam dan komprehensif. Oleh karena ituindeks keterjangkauan yang selama ini telahdikembangkan oleh beberapa lembaga dibeberapa negara menjadi salah satu hal yangpenting untuk dipertimbangkan. Indeksketerjangkauan (median multiple) yangmerupakan perbandingan antara median hargarumah (median house price) dan medianpendapatan keluarga setahun (medianhousehold income multiple) telah mengalamikenaikan secara tajam di beberapa negara(Wendell Cox and Hugh Pavletich, 2007).Idealnya median harga rumah 3 (tiga) kali ataukurang dari median pendapatan keluarga selamasetahun. Secara umum indeks keterjangkauandapat di bagi kedalam empat kategori, yakni :

Indeks keterjangkauan (IK) =Median harga rumah

Median penghasilan masyarakat pertahunDimana :

IK < 3,0 = Hunian terjangkau oleh masyarakatIK 3,1 - 4,0 = Hunian agak terjangkau oleh masyarakatIK 4,1 - 5,0 = Hunian tidak terjangkau oleh masyarakatIK > 5,1 = Hunian sangat tidak terjangkau oleh masyarakat(Sumber : Brash, 2008 dan Sirmans, 1989)

Kondisi tersebut menjadi menarik apabiladikaitkan dengan perkiraan perhitungan indeksketerjangkauan di negara kita. Untukmenghitung indeks keterjangkaun secaranasional membutuhkan analisis data secaranasional. Median penghasilan masyarakat secaranasional yang pernah diolah pada tahun 2002adalah sebesar Rp 950.000 (HOMI, 2002) danpada saat tersebut harga rumah yang berhakdisubsidi adalah Rp. 42 juta,-. Apabiladiasumsikan median harga rumah sebesar hargarumah yang dapat disubsidi, maka perkiraanangka indeks keterjangkauan masyarakatberpenghasilan rendah secara nasional adalah3,6 yang menunjukkan bahwa pemilikan rumah

untuk masyarakat berpenghasilan rendah harusmendapat intervensi dari pemerintah dalambentuk subsidi perumahan atau subsidi silangdengan kompensasi harga kawasan komersialatau hunian komersial. Dengan data medianincome tahun 2004 (dengan asumsi kenaikanpendapatan sebesar 10%) sebesar Rp.1.045.000 dan harga rumah bersubsidi saat itusebesar Rp. 49 juta,- maka perkiraan angkaindeks keterjangkauan meningkat menjadi 3,9.Bila dikaitkan kondisi saat ini dengan hargarumah bersubsidi sebesar Rp. 55 juta,-, angkaindeks keterjangkauan diperkirakan meningkatmenjadi > 4. Hal ini menunjukkanperkembangan indeks keterjangkauan di

80 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Indonesia juga mengalami peningkatan secaranasional sebagaimana terjadi di beberapanegara yang berarti kemampuan masyarakatuntuk akses KPR semakin menurun.

Selain melalui kredit/pembiayaan pemilikanrumah, pemenuhan kebutuhan hunian bagimasyarakat berpenghasilan rendah juga dapatdilakukan melalui program hunian sewa. Untukmengembangkan hunian vertikal sewa bagimasyarakat berpenghasilan rendah/rumah susunsederhana sewa (rusunawa) perlumempertimbangkan tingkat kelayakan investasirusunawa yang terjangkau oleh masyarakatberpenghasilan rendah. Ukuran tingkatkelayakan investasi secara finansial dapat dilihatdari beberapa indikator antara lain net presentvalue (NPV) yang merupakan nilai nettoinvestasi saat ini, internal rate of return (IRR)yang merupakan tingkat pengembalian yangdiinginkan dan payback period (PBP) yangmerupakan periode pengembalian investasi.Hasil simulasi investasi menunjukkan bahwapembangunan rumah susun sewa sederhana(rusunawa) untuk MBR yang diasumsikanmampu membayar sewa < Rp. 300.000,-/bulanmenghasilkan nilai IRR, NPV dan PBP yang tidakmenarik bagi investor, yakni IRR 9%, 6% dan -4% (untuk usia ekonomis 30, 20 dan 10 tahun),dengan payback period 13 tahun. Investasirusunawa baru menunjukkan angka yang cukupmenarik apabila tarif sewa menjadi > Rp.2.500.000,-/bulan yang menghasilkan nilai IRR,NPV dan PBP yang menarik bagi investor, yakniIRR 32%, 32% dan 29% (untuk usia ekonomis30, 20 dan 10 tahun), dengan payback period 4

tahun. Kondisi ini tidak mungkin diterapkankepada MBR, oleh karena itu investasi rusunawamasih harus membutuhkan intervensipemerintah. Kondisi ini tidak jauh berbedadengan yang terjadi di Kota Depok, bahwa trenharga rumah dan pendapatan masyarakat KotaDepok masih menunjukkan bahwa masyarakatberpenghasilan rendah Kota Depok masihmembutuhkan intervensi dari pemerintah daerahmelalui kebijakan subsidi atau insentif di tingkatkota.

Dampak Pembangunan Perumahanterhadap Perekonomian Daerah KotaDepokLingkungan perkotaan secara geografis, sosial-budaya, dan sosial ekonomi merupakankawasan yang sangat kompleks. Pertumbuhanpenduduk yang cukup tinggi di Kota Depokmenuntut penyediaan perumahan yang layakhuni yang tinggi pula. Dalam pembangunanperumahan ini, diharapkan memberikan dampakganda (Multiplier Effect) terhadap perekonomiandaerah terutama dari segi output, income, danemployment. Dampak pembangunanperumahan terhadap struktur ekonomi di KotaDepok dianalisis dari 36 sektor yang didasarkanpada transaksi domestik atas dasar hargaprodusen (juta rupiah) pada tahun 2006 yangditurunkan dari Tabel IO Nasional. Hasilpenelitian menunjukkan sebagai berikut :

Nilai pengganda output, income danemployment tipe I dan II sebagaimana dilihatpada tabel 5.

Tabel 5.Dampak Pembangunan Perumahan terhadap Struktur Pembangunan Ekonomi Total Output, Income,

Employment, dan Value Added di Kota Depok

KodeSektor Nama Sektor

Dampak Pengganda (Multiplier Effect)Output Income Employment

Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II Tipe I Tipe II

18 Perumahan DibangunPengembangan 1.302 1.368 1.367 1.438 1.543 1.641

19 Perumahan PermanenSwadaya 1.297 1.363 1.361 1.431 1.542 1.640

20 Perumahan Tidak Permanen 1.299 1.365 1.364 1.434 1.543 1.64131 Real Estate 1.220 1.276 1.295 1.362 1.473 1.639

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 81

Dampak output untuk empat sektor terbesarperumahan yaitu perumahan yang dibangunoleh pengembang, perumahan permanenswadaya, perumahan tidak permanen, dan realestate memiliki nilai output yang relatif samabaik pada pengganda tipe I maupun tipe IIdengan nilai output rata-rata lebih besar darisatu. Sektor perumahan yang dibangun olehpengembang memiliki nilai output yang lebihbesar kemudian diikuti oleh bentuk perumahanlainnya. Hal ini berarti bahwa dampakpembangunan perumahan terhadap output telahmemberikan keuntungan bagi pertumbuhanekonomi wilayah termasuk penciptaan lapangankerja bagi Kota Depok.

Tenaga kerja dalam analisis I-O pada prinsipnyasama dengan definisi yang digunakan dalamsensus penduduk sejak tahun 1990, yaitupenduduk yang berumur 10 tahun ke atas yangbekerja dengan maksud memperoleh ataumembantu memperoleh penghasilan, sekurang-kurangnya satu jam secara tidak terputus dalamseminggu yang lalu (BPS, 2005). Tenaga kerjamerupakan salah satu faktor produksi yangmemiliki peran yang sangat penting. Tenagakerja memiliki hubungan linier dengan outputyang dihasilkan dalam suatu proses produksi,sehingga naik turunnya output disuatu sektorakan berpengaruh terhadap naik turunnyajumlah tenaga kerja di sektor tersebut.

Tabel 5 menunjukkan nilai pengganda tenagakerja rata-rata lebih besar dari nilai satu baikdampak pengganda tipe I maupun tipe IIdengan nilai masing-masing 1,543 (tipe I) dan1,641 (tipe II) untuk perumahan yang dibangunpengembang, 1,542 (tipe I) dan 1,640 (tipe II)untuk perumahan permanen swadaya, dan1,543 (tipe I) dan 1,641 (tipe II) untukperumahan tidak permanen, serta 1,473 (tipe I)dan 1,639 (tipe II) untuk real estate. Hal iniberarti bahwa kebutuhan tenaga kerja di sektorperumahan sangat besar, baik tenaga kerjayang berasal dari dalam wilayah Kota Depokmaupun yang berasal dari luar wilayah KotaDepok.

Model Pengembangan Hunian Vertikalsecara BerkelanjutanSistem merupakan agregasi obyek yang salingberinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu(Ma’arif dan Tanjung, 2003). Pengertian lainsistem adalah suatu entitas yang terkait dengansuatu tujuan tertentu yang terdiri atas sub-subsistem yang saling terkait (Ma’arif dan Tanjung,2003). Pendekatan sistem sangat bermanfaatuntuk suatu pengambilan keputusan. Dalampendekatan sistem umumnya ditandai oleh duahal, yaitu : (1) mencari semua faktor pentingyang ada dalam mendapatkan solusi yang baikuntuk menyelesaikan masalah; (2) dibuat suatumodel kuantitatif untuk membantu keputusansecara rasional (Eriyatno, 2003). Model dapatdiartikan sebagai suatu perwakilan atau abtraksidari sebuah obyek atau situasi aktual, yangmemperlihatkan hubungan-hubungan langsungmaupun tidak langsung serta kaitan timbal balik(sebab akibat). Sebagai suatu abstraksi darisuatu realitas, maka wujud model dapat lebihkompleks atau kurang kompleks daripadarealitas itu sendiri. Lengkap tidaknya suatumodel bergantung pada apakah model tersebutdapat mewakili berbagai aspek dari realitas itusendiri. Dalam hal ini semakin dapat mewakilirealitas, maka suatu model dapat dikatakansemakin lengkap. Dasar utama pengembanganmodel adalah untuk menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat dalammembangun model. Untuk menirukan perilakusuatu gejala atau proses dibuat simulasi model.Simulasi ini bertujuan untuk memahami gejalaatau proses tersebut, membuat analisis danmeramalkan perilaku gejala atau proses tersebutdi masa depan.

Salah satu situasi aktual yang dapatdiabstraksikan melalui suatu pemodelan adalahpengembangan hunian vertikal di lingkunganperkotaan yang secara geografis, sosial-budaya,dan sosial ekonomi merupakan kawasan yangsangat kompleks untuk diramalkan gejala-gejalaatau proses yang akan terjadi dimasa yang akandatang khususnya di Kota Depok. Dalam modelpengembangan hunian vertikal tersebut,beberapa peubah-peubah yang saling

82 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

berhubungan antara satu dengan lain baiklangsung maupun tidak langsung meliputipertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan,kebutuhan rumah yaitu rumah tapak dan rumahvertikal (rusun dan apartemen), ketersediaanrumah, backlog, MBR, masyarakatberpenghasilan menengah (MBM), masyarakatberpenghasilan atas (MBA), subsidi rusun, danharga rumah, serta minat untuk memiliki rumah.Model pengembangan hunian vertikal di KotaDepok dibangun dalam tiga (3) sub model yaitusub model pertumbuhan penduduk dan RTH,dan sub model kebutuhan perumahan, dan submodel kebutuhan lahan hunian di Kota Depok.

Hasil simulasi model menunjukkan bahwapenduduk Kota Depok akan meningkat terusdari 1.204.687 jiwa menjadi 2.487.515 jiwapada tahun 2025 dengan asumsi rata-ratatingkat kelahiran penduduk sebesar 4 %pertahun dan tingkat kematian rata-rata 1 %pertahun. Tingkat pertumbuhan penduduk KotaDepok yang semakin meningkat setiap tahunakan berimplikasi terhadap kebutuhanpenggunaan lahan dan kebutuhan rumah.

Ketersediaan lahan di Kota Depok yang semakinterbatas akan menyebabkan ketersediaan lahantersebut menjadi faktor pembatas terhadaptingkat pertumbuhan penduduk Kota Depok.Dalam model dibatasi daya dukung lahansebesar 5000 jiwa/ha dan apabila melebihi darikapasitas tersebut maka perlu dilakukantindakan untuk mengatasi laju pertumbuhanpenduduk yang semakin meningkat. Sementaraitu dilihat dari tingkat kebutuhan rumahmenunjukkan ketidakseimbangan antara totalrumah yang tersedia dengan jumlah penduduk.Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2001berjumlah 1.204.687 jiwa (BPS Kota Depok,2007) sedangkan total rumah yang tersediabelum mencapai jumlah KK yang membutuhkanunit rumah. Hal tersebut menyebabkanterjadinya backlog unit rumah dan ini akanterjadi peningkatan secara terus-menerussampai pada tahun 2025. Pertumbuhankebutuhan rumah yang sangat signifikan adalahrumah sederhana sehat (RSH) yang diikutidengan rumah menengah (RTM), selanjutnya

rumah mewah (RTA). Pada kondisi eksisting,Kota Depok belum secara spesifikmengembangkan hunian vertikal. Oleh karenaitu pada simulasi kondisi eksisting jumlah rusundan apartemen tidak ada.

Pada tahun 2001 belum terlihat pembangunanrumah tersebut di atas dan baru terlihat padatahun 2002 yang terus mengalami peningkatansampai pada tahun simulasi 2025, masing-masing RSH sebesar 134.369 unit, RTM sebesar123.883 unit, dan RTA sebesar 24.776 unit.Semakin meningkatnya kebutuhan rumahtersebut akan berdampak terhadap perluasankawasan terbangun dan semakin menurunnyaRuang Terbuka Hijau (RTH). Untukmengantisipasi semakin menurunnya RTH makapengembangan perumahan diarahkan padapengembangan hunian vertikal. Dalampengembangan hunian vertikal ini dipengaruhioleh minat masyarakat untuk tinggal di hunianvertikal. Sedangkan minat ini sangat dipengaruhioleh motivasi, persepsi, dan lokasi hunian.

Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagimasyarakat di Kota Depok khususnyamasyarakat berpenghasilan rendah (MBR)dengan mempertimbangkan kemampuanmasyarakat untuk memiliki rumah danmempertahankan ketersediaan lahan RTH, makaskenario terbaik yang dapat dilakukan adalahmemanfaatkan RTH sampai pada luasan 4000-5000 ha, dengan mendorong pertumbuhanhunian vertikal melalui subsidi bunga minimalsebesar 8% dan subsidi uang muka sebesar Rp10.000.000 – Rp 13.000.000.

IMPLIKASI KEBIJAKANSeluruh proses analisis dan simulasikomprehensif pengembangan hunian vertikalmenuju pembangunan perumahan yangberkelanjutan membawa implikasi dankonsekuensi logis kepada penentuan arahkebijakan pembangunan perumahan secaramenyeluruh di Kota Depok. Secara filosofiskerangka implikasi kebijakan tersebut dapatdikaitkan dengan pemikiran tentang spatialarrangement and sustainable development

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 83

(Haryadi, 1997). Kebijakan dan strategimerupakan intervensi dari pemerintah (pusat,propinsi, kabupaten/ kota) dalam sistemaktivitas di masyarakat agar dapat berjalanseimbang. Sebagaimana dipahami bersamabahwa sistem aktifitas dimasyarakat sangatdipengaruhi oleh gaya hidup yang bersumberpada kultur masyarakat. Dan semuanya itu tidakterlepas dari daya dukung lahan (land capacity).

Ada beberapa pendekatan tentang analisisimplikasi kebijakan ini terutama yang berkaitandengan pengembangan hunian vertikal, antaralain : generic policies dan compact cities. Salahsatu pendekatan analisis kebijakan yangdigunakan pada penelitian ini adalah konsepkebijakan generik. Menurut Weimer dan Vining(1999), kebijakan generik (generic policies)adalah berbagai macam tindakan pemerintahyang dilakukan untuk memecahkan masalahyang dihadapi dan biasanya berupa suatustrategi umum. Karena masalah kebijakan

biasanya bersifat kompleks dan kontekstual,maka kebijakan generik seharusnya berfikirsecara menyeluruh dan mendorong terwujudnyasuatu perspektif yang luas dan pada gilirannyaakan membantu mencari solusi yang berujungpada suatu keadaan yang spesifik untukmenghasilkan alternatif kebijakan yang dapatdilaksanakan secara berkelanjutan. Ada lima halpenting yang termasuk dalam kebijakan generik,yakni : i) peraturan perundangan; ii)pembebasan, fasilitasi dan simulasi pasar; iii)pajak dan subsidi; iv) penyediaan barangmelalui mekanisme nonpasar; v) asuransi danjaring pengaman.

Dengan menggunakan pendekatan kebijakangenerik sebagaimana diuraikan diatas, makapenerapan kebijakan generik dalampengembangan hunian vertikal menujupembangunan perumahan berkelanjutan dapatdilihat pada tabel 6 dibawah ini:

Tabel 6.Kebijakan Generik Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan

Perumahan BerkelanjutanKelompokKebijakanGenerik

Karakteristik Kebijakan Jenis Kebijakan Penerapan Kebijakan

PeraturanPerundangan

Kebijakan Konstitusi(constitutive policies)berisi pengaturan umumbagi masyarakat luas,semua mendapatkeuntungan bersama, yangmelanggar akanmenanggung resiko

Konstitusi danRegulasi Umum

Peraturan Daerah dan atau PeraturanWalikota tentang : Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pengaturan arah kebijakan

pembangunan kota Pembangunan hunian vertikal Ijin lokasi Ijin Mendirikan Bangunan Ijin Penghunian Bangunan Fee dampak pembangunan

Pembebasan,Fasilitasi danSimulasi Pasar(Freeing,FacilitatingMarkets)

Kebijakan Distribusi(distributive policies),berisi keputusan yangbersifat tidak memaksa(noncoercive decisions),dalam kondisi dan situasiyang stabil

Deregulasi Legalisasi Privatisasi Alokasi Existing Goods Penciptaan Barang

Baru yang dapatdipasarkan

Simulasi Pasar

Peraturan Daerah dan atau PeraturanWalikota tentang : Pengaturan kemitraan pemerintah,

swasta dan masyarakat dalampembangunan perumahan

Pengaturan pemanfaatan komponendan tenaga kerja lokal

Pengaturan regionalisasi dan klasifikasijenis pekerjaan di bidang perumahan

Pengaturan pendataan dan pencatatanhak property

84 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Lanjutan Tabel 6KelompokKebijakanGenerik

Karakteristik Kebijakan Jenis Kebijakan Penerapan Kebijakan

Subsidi dan Pajak Kebijakan Regulasi(iregulatory policies),berisi keputusan yangbersifat memaksa(coercive decisions),dalam kondisi yang kurangstabil

Regulasi khusus Peraturan Daerah dan atau PeraturanWalikota tentang : Subsidi bunga/ uang muka Subsidi infrastruktur Insentif retribusi dan pajak daerah

PenyediaanBarang melaluiMekanismeNonpasar

Kebijakan Redistribusi(redistributive policies),berisi keputusan yangbersifat memaksa(coercive decisions),dalam kondisi yang tidakstabil

Redistribusi Peraturan Daerah dan atau PeraturanWalikota tentang : Subsidi silang pembangunan

perumahan Pengaturan pemanfaatan lahan untuk

perumahan

Asuransi danJaring Pengaman

Kebijakan Redistribusi(redistributive policies),berisi keputusan yangbersifat memaksa(coercive decisions),dalam kondisi yang tidakstabil

Redistribusi Peraturan Daerah dan atau PeraturanWalikota tentang : Subsidi premi asuransi KPR Pembangunan rumah susun sederhana

sewa (rusunawa) bersubsidi Pembangunan rumah sosial (panti

jompo, panti sosial dll)

KESIMPULAN DAN SARANHasil penelitian telah memberikan gambarannyata tentang bagaimana pembangunanperumahan di kota besar dan metro harusditangani secara sistemik dan holistik dalamrangka mewujudkan pembangunan perumahanyang berkelanjutan. Dari penelitian ini dapatdisimpulkan beberapa hal sebagai berikut :1. Pembangunan perumahan yang didominasi

oleh hunian tapak di suatu wilayahperkotaan, sangat berpengaruh padaketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) danpada gilirannya akan mengabaikan konseppembangunan berkelanjutan. Adakecenderungan penurunan jumlah RTH yangsangat signifikan terutama untuk lahanpertanian. Secara simulatif, pembangunanhunian vertikal menjadi solusi alternatifuntuk dapat mempertahankan ketersediaanRTH disatu pihak dan pemenuhankebutuhan rumah bagi masyarakat dilainpihak.

2. Minat masyarakat untuk tinggal di hunianvertikal merupakan proses pembentukanjatidiri manusia secara utuh dan sangatterkait dengan proses pembentukan ruangyang terkadang akan menimbulkan konflikantara tradisi dan modernisasi. Secarateoritis dan hasil penelitian di lapanganmenunjukkan bahwa minat menghunirumah dalam konteks pembentukan ruangsangat tergantung dari persepsi danmotivasi masyarakat serta lokasi hunian.Masih ada peluang cukup tinggi minatmasyarakat untuk tinggal di hunian vertikal,tetapi dibutuhkan perencanaan yangmatang dan terpadu. Konsep kampungsusun menjadi penting, karena diharapkanmenjadi model kombinasi pengembanganhunian vertikal secara fisik dan prosespembentukan jatidiri melalui pembentukanruang secara sosial.

3. Pemenuhan kebutuhan hunian bagimasyarakat, sangat dipengaruhi oleh tingkatketerjangkauan masyarakat untuk menyewa

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 85

atau mimiliki rumah. Secara simulatif,kemampuan masyarakat untuk memenuhikebutuhan rumahnya membutuhkanintervensi pemerintah melalui bantuan/subsidi perumahan atau subsidi silangpengembangan kawasan perumahan danpermukiman.

4. Pembangunan perumahan memberikandampak pengganda (multiplier effect)terhadap perekonomian kota. Dampaktersebut dilihat dari tingginya angkapermintaan dan penawaran terhadapperumahan, meningkatnya pendapatanmasyarakat dan terciptanya lapangan kerjabagi masyarakat kota.

5. Pertumbuhan populasi penduduk kotamenunjukkan kecenderungan mengikutikurva eksponensial yang konsekuensinyaakan meningkatkan kebutuhan akan rumahbagi masyarakat, dilain pihak denganmeningkatnya kawasan terbangun melaluipembangunan perumahan akan mengurangiRTH. Secara simulatif melalui modelpengembangan hunian vertikal, makapembangunan dapat dikendalikan sesuaidengan skenario kebijakan yang ditetapkanoleh pemerintah kota setempat dan padagilirannya akan menjaga keseimbanganantara pemenuhan kebutuhan rumah bagisetiap keluarga (shelter for all) yangtejangkau (affordable) di satu sisi danpengembangan perumahan yang berkelanjutan(sustainable housing development) di sisilain. Dalam konteks pembangunanperumahan di perkotaan, pengembanganhunian vertikal diharapkan dapatmewujudkan kehidupan sosialkemasyarakatan yang harmonis dan efisien(konsep compact city).

Memperhatikan hasil penelitian dan kebutuhanpemenuhan kebutuhan rumah di lokus penelitianyakni di Kota Depok, beberapa saran dapatdisampaikan sebagai pertimbangan dalammerumuskan kebijakan pembangunanperumahan di perkotaan. Saran ini akan dapatmemberikan inspirasi juga bagi kota-kota yangmemiliki karakteristik hampir sama untuk

melakukan kajian dan perumusan kebijakanpembangunan perumahan di wilayahnya.1. Arah kebijakan pembangunan perkotaan

perlu dipikirkan secara komprehensif, baikyang bersifat konstitusi dan regulasimaupun substantif antara lain dengan mulaimengembangkan konsep pembangunankota yang kompak (compact city)

2. Penerapan ketentuan yang tegas atasperaturan perundang-undangan (lawenforcement) untuk menjamin kepastianhukum bagi para pemangku kepentingan dibidang perumahan, baik yang berkaitandengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kotamaupun ketentuan teknis lainnya yangberimplikasi pada perijinan.

3. Pengaturan kemitraan pemerintah, swastadan masyarakat harus dikembangkan secaraberkelanjutan agar minat investor danmasyarakat akan hunian vertikal meningkatsecara berkelanjutan. Hal ini dibutuhkankarena investasi di bidang perumahansangat membutuhkan peran berbagai pihakterutama investasi dari sektor swastatermasuk pengembangan konsep subsidisilang.

4. Pengembangan hunian vertikal di suatu kotamasih membutuhkan peran dari pemerintah(pusat, propinsi dan kota) secara sinergisuntuk dapat membantu masyarakat yangberpenghasilan menengah bawah danberpenghasilan rendah dalam bentukbantuan /subsidi perumahan

5. Minat masyarakat untuk tinggal di hunianvertikal masih perlu ditingkatkan seiringdengan upaya pemenuhan kebutuhanrumah secara vertikal melalui prosespemberdayaaan dan peningkatan kapasitaspengelola hunian vertikal agar lebihprofesional sehingga meningkatkan persepsimasyarakat terhadap hunian vertikal.

6. Perlu penelitian lebih lanjut tentang :a. ukuran indeks keterjangkauan dengan

pendekatan fraksi pendapatan danharga rumah, serta faktor pengeluaranrumah tangga atas biaya transport

b. rumusan kebijakan operasional setiaptingkatan jajaran birokrasi di

86 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

pemerintah kota selaku regulator dankebijakan pengembangan kerjasamadengan mitra kerja pemerintah kota

c. posisi kontribusi sektor/bidangperumahan terhadap perekonomiansuatu kota

d. pengembangan sumber pembiayaanperumahan di suatu kota denganmemperhatikan potensi lokal

e. rencana rinci kawasan perumahan yangmemperhatikan optimalisasi ketersediaanRTH sesuai dengan standar yangdisepakati dan daya dukung lingkungandimasing masing bagian wilayah kota

DAFTAR PUSTAKAArikunto, S. 2003. Manajemen Penelitian. Rineka

Cipta. Jakarta.Badan Pusat Statistik. 2005. Kerangka Teori dan

Analisis Tabel Input – Output. Badan PusatStatistik. Jakarta.

Butters, C. 2003. Sustainable HumanSettlements – Challenges for CSD, workingpaper in the 12th Session of theCommission on Sustainable Development(CSD 12). NABU. New York.

Ditjen Penataan Ruang. 2005. Kajian KonsepsiRuang Terbuka Hijau. Jakarta

Djunaedi, A. 2000. Indikator IndikatorLingkungan Perkotaan : Belajar dariPengalaman Negara-negara Lain. PusatPenelitian Lingkungan Hidup, UniversitasGajah Mada. Yogyakarta.

Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem, Meningkatkan Mutudan Efektivitas Manajemen. Jilid Satu. EdisiKetiga. IPB Press. Bogor.

Eryatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan,Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPBPress. Bogor. 79 hal.

Hatmoko, W. 2004. Indonesia Bisa Kelaparan :Alih Fungsi Lahan Pertanian di JabarTertinggi. Pikiran Rakyat. 30 September.Jakarta.

HOMI Project. 2002. Laporan Studi PasarPerumahan di Indonesia, DirektoratJenderal Perumahan dan Permukiman.Jakarta.

Kantor Meneg Lingkungan Hidup. 2000. Agenda21 Sektoral - Permukiman, untukPengembangan Kualitas Hidup secaraBerkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral.Jakarta.

Kirmanto, D. 2002. Pembangunan Perumahandan Permukiman yang BerwawasanLingkungan Strategis dalam PencegahanBanjir di Perkotaan, disampaikan dalamSeminar Peduli Banjir “FOREST” Jakarta 25Maret 2002.

Kirmanto, D. 2005. Peran Ruang Publik DalamPengembangan Sektor Properti dan Kota.Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta

Ma’arif, M.S. 2003. Bahan Kuliah AnalisisKebijakan dan Kelembagaan Lingkungan,Program Studi PSL – IPB.

Ma’arif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif untuk Manajemen. Hal.164-168. Gramedia Widiasarana Indonesia.Jakarta.

Pemerintah Kota Depok. 2004. IdentifikasiPemanfaatan Ruang Kota Depok. BadanPerencanaan Pembangunan Daerah. Depok.

Peraturan Daerah Kota Depok. 2001. RencanaTata Ruang Wilayah Kota Depok 2000-2010. Depok.

Peraturan Menteri Kehutanan, No. P-03/Menhut-V/2004 tentang Pedoman PembuatanTanaman Penghijauan Kota, GerakanNasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 2005tentang Kerjasama Pemerintah denganBadan Usaha dalam PenyediaanInfrastruktur.

Peraturan Pemerintah Nomor 80. 1999. KawasanSiap Bangun dan Lingkungan Siap Bangunyang Berdiri Sendiri. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok. 2000-2010.

Santosa, M. 2001. Lingkungan TropisBerkepadatan Tinggi : Lokalitas, Tradisi,dan Modernitas. Pusat Penelitian LigkunganHidup, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Silas, J. 2001. Toll Road and the Development ofNew Settlements, the Case of Surabaya

Model Pengembangan Hunian …(Tito Murbaintoro) 87

Compared to Jakarta. J Humanities andSocial Sciences of Southeast Asia andOceania. KITLV.

Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentangPenataan Ruang

Undang-Undang R.I. Nomor 23 Tahun 1997tentang Lingkungan Hidup

Undang-Undang R.I. Nomor 25 Tahun 2000tentang Propenas

Undang-Undang R.I. Nomor 26 Tahun 2007tentang Penataan Ruang

Undang-Undang R.I. Nomor 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah

United Nation for Environment Programme,2000. Agenda 21-Promoting Sustainable

Human Settlement Development. Chapter7.

Winarso, H. 2001. Access to Main Roads or LowCost Land Residential Land Developers’Behaviour in Indonesia. J Humanities andSocial Sciences of Southeast Asia andOceania. KITLV.

Winarso, H. dan B. Kombaitan. 2001. The LargeScale Residential Land DevelopmentProcess in Indonesia, The Case ofJabotabek. Paper prepared for WorldPlanning Schools Congress. Shanghai.

www. Agroindonesia.com. Tanggal 21/12/2004Zoer’aini, D.I. 2005. Tantangan Lingkungan dan

Lansekap Hutan Kota. Bumi Akasara.Jakarta.

88 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

PENINGKATAN PERAN LEMBAGA LOKAL DALAM RANGKAPEMBANGUNAN PERMUKIMAN DI PERDESAAN

Oleh : Aris PrihandonoBalai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Makassar

Jl. Urip Sumohardjo No. 32 (Komplek PDAM), Panaikang – MakassarE-mail : [email protected]

Tanggal masuk naskah: 20 Oktober 2008, Tanggal disetujui: 02 Juni 2009

AbstrakPelibatan kelembagaan lokal tingkat desa dalam pembangunan perumahan dan permukiman sangatrelevan dengan situasi saat ini karena kapasitas dan kapabilitas lembaga-lembaga formal yang adasangat terbatas. Sekalipun demikian upaya tersebut harus disertai langkah seleksi yang hati-hati karenaterkait dengan internalisasi muatan baru. Hasil kajian adalah bahwa sejumlah kriteria dapat dijadikanreferensi dalam pemilihan lembaga, yakni: tingkat kemapanan, kondisi unsur-unsur kelembagaan, sertaefektivitas organisasi. Selanjutnya dilakukan penyusunan substansi dan metode pemberdayaan setelahtipe-tipe kelembagaan dan faktor yang berpengaruh terhadap kinerja lembaga diketahui. Bentukpemberdayaan dapat berupa asistensi, fasilitasi, atau promosi. Sedangkan materi pemberdayaanmeliputi tiga hal, yaitu materi umum, yakni materi yang diperlukan dalam proses peningkatan wawasanpengelola lembaga tanpa membedakan tipologi lembaga; materi inti adalah materi yang dikembangkansesuai dengan kebutuhan peningkatan kapasitas dan sinergi lintas program; materi penunjang adalahmateri dasar yang secara normatif harus sudah dikuasai oleh calon peserta.

Kata Kunci : Tipe lembaga, seleksi, pemberdayaan

AbstractThe involvement of the local institutions for housing development in rural areas is relevant to thecurrent situation because of limitation of authorized housing institution’s capacity and capability inserving ordinary people. However, the involvement must be followed by strict selection due to it concernwith accommodation of new areas. The selection can refer to a number of criteria such as the level ofestablishment, condition of organization components, and effectiveness of the organization. Then,empowerment material must be formulated after the identification of the traditional types and factorsthat influence the performance of the organization. The empowerment can be materialized in the threeaspects, namely assistance, facilities, and promotion. The substance of empowerment includes thegeneral, main course, and supportive materials. The first one is the substance needed in promotingparticipants view without distinguishing the traditional institution type. The second one is the substancerequired to improve the capacity of the organization and synergy of programs. The last one is the basicmaterial that normatively must be mastered by participants.

Keywords : Institution types, selection, empowerment

PENDAHULUANPembangunan ekonomi yang memprioritaskanpertumbuhan sektor jasa dan industrimanufaktur secara cepat ternyata membawadampak yang tidak diinginkan antara lainpercepatan urbanisasi (punctuatedurbanization). Percepatan urbanisasi ini secara

tidak terasa banyak menyerap sumber dayayang dimiliki perdesaan oleh kawasanperkotaan, baik sumber daya alam maupunsumber daya manusia (Sunarno, 2003).

Proses urbanisasi yang tidak terkontrol berakibatpada terdesaknya lahan pertanian khususnyapada kawasan perdesaan yang berbatasan

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 89

langsung dengan kawasan perkotaan. Tingginyaangka urbanisasi menurut Survei PendudukAntar Sensus (SUPAS) 1998 telah mencapai40 %, padahal pada tahun 1995 baru mencapai37,5 %. Konversi kawasan pertanian menjadikawasan perkotaan merupakan konsekuensiyang tidak dapat dihindarkan lagi, dimanatingkat konversi ini di kawasan Pantai UtaraJawa (Pantura) mencapai 20% per tahun.

Akibat yang cukup memprihatinkan dari kondisidi atas adalah Indonesia harus mengimporproduk-produk pertanian untuk memenuhikebutuhan dalam negerinya. Tercatat Indonesiaharus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685ton pada tahun 2000 dengan nilai nominalsebesar US$ 275 juta. Pada tahun itu jugaIndonesia ternyata juga harus mengimporsayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta.

Menurut Sunarno (2003) kondisi tersebut harussegera diubah, paradigma pembangunan yangmemprioritaskan perkotaan sebagai satu-satunya mesin pembangunan yang handal harusdirevisi. Pembangunan perdesaan harus mulaididorong guna mendukung pertumbuhanekonomi yang seimbang, sekaligusmengeliminasi dampak ”urban bias” yang telahterjadi selama ini.

Jumlah desa yang secara administratif mencapai61.690 buah pada REPELITA VI saat ini sudahwaktunya untuk diberikan perhatian yangproporsional. Secara konseptual sebenarnyasudah cukup banyak teori yang dikembangkanuntuk tujuan pembangunan perdesaan, antaralain: Program Pengembangan Wilayah Terpadu(PPWT); Program Pengembangan KawasanSentra Produksi/ Kawasan Andalan (PPKSP/KA);Program Pengembangan Kawasan Tertinggal(PPKT); Program Pengelolaan KawasanPengembangan Ekonomi Terpadu (PPKAPET);Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat diDaerah (PPEMD), serta Poverty Alleviationthrough Rural Urban Linkage (PARUL); DesaPusat Pertumbuhan (DPP); serta PembangunanAgropolitan.

Secara keseluruhan program-program di ataslebih berorientasi pada peningkatanpertumbuhan ekonomi regional, khususnya padakawasan perdesaan. Dari aspek ke PU-an,Departemen Pekerjaan Umum telah mendukungprogram tersebut melalui penyediaan prasaranadasar, antara lain pembangunan prasaranajalan, irigasi, serta air bersih. Namun dari aspekperumahan secara spesifik nampaknya belumdiprogramkan.

Pada pihak lain, jika suatu kawasan meningkatpertumbuhan ekonominya, maka secara alamiahpermintaan akan rumah juga meningkat.Permintaan tersebut tentu bervariasi dariwilayah satu ke wilayah yang lain, baik jumlahpermintaan, dimensi, bahan baku, disain,maupun harga rumahnya. Hingga saat inimasyarakat memenuhi sendiri keperluantersebut dan tidak ditemukan terjadinya konflikyang berarti karena lahan, dan kebutuhan laincukup tersedia. Dengan semakin berkembangnyajumlah penduduk dan semakin terbatasnyasumber-sumber yang diperlukan maka suatusaat pasti akan terjadi konflik. Namun sampaisejauh ini kemampuan lembaga perumahanformal dalam mengendalikan perumahan diperdesaan sangat minim. Jika demikian, makapertanyaan penelitian yang muncul adalah :lembaga apa yang dapat mengatur perumahandan permukiman di kawasan perdesaan selainlembaga formal tersebut ?

PERUMUSAN MASALAHPenerapan berbagai program pembangunan dikawasan perdesaan diharapkan dapatmeningkatkan kesejahteraan masyarakatnyasecara keseluruhan. Kesejahteraan ini padagilirannya akan berimbas pada peningkatankebutuhan rumah pada kawasan yangbersangkutan. Dari aspek kelembagaan,lembaga perumahan daerah khususnyapemerintah daerah mempunyai kemampuanyang tidak memadai untuk menyediakanperumahan maupun mengendalikannya. Bahkanmenurut hasil penelitian Pusat LitbangPermukiman (2004) masih ada lembagaperumahan yang tidak mempunyai

90 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

bagian/bidang yang menangani penyediaanperumahan, khususnya untuk masyarakatberpenghasilan rendah.

Secara umum pelaksanaan program-programpembangunan ekonomi di perdesaan selalumemanfaatkan pengaruh yang kuat dari tokoh-tokoh masyarakat atau lembaga lokal yangsudah diakui keberadaannya oleh masyarakatsetempat. Jika dikaitkan dengan issu kebutuhanrumah sebagaimana di bahas pada alinea diatas, maka masalah yang dihadapai adalahbahwa lembaga-lembaga lokal yang ada masihberkiprah pada domain ekonomi dan sosial, danbukan berkiprah pada penyelenggaraanperumahan di wilayah perdesaan. Sehinggamuncul pertanyaan penelitian sebagai berikut : Seberapa besar keberadaan lembaga

perumahan mampu mengantisipasipermintaan ? Seberapa besar potensi dan resiko

pemanfaatan lembaga ?

TUJUAN PENELITIAN Mengetahui karakteristik lembaga-lembaga

lokal dan nilai-nilai budaya yang mendukungpengendalian pembangunan perumahan dikawasan perdesaan

Mendapatkan rumusan konsep pemberdayaanlembaga lokal di perdesaan dalampengendalian pembangunan perumahan danpermukiman di wilayahnya.

TINJAUAN PUSTAKADalam pandangan ahli komunikasi, Rogers danShoemaker (1981), proses pemberdayaanmasyarakat dikenal sebagai ”difusi inovasi” yangmenurutnya terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu: Pengenalan, dimana seseorang mengetahui

adanya inovasi dan memperoleh beberapapengertian tentang bagaimana inovasi ituberfungsi; Persuasi dimana seseorang membentuk sikap

berkenan atau tidak berkenan terhadapinovasi; Keputusan, dimana seseorang terlibat dalam

kegiatan yang membawanya pada pemilihanuntuk menerima atau menolak inovasi; Konfirmasi, dimana seseorang mencari

penguat bagi keputusan inovasi yang telahdibuatnya. Pada tahap ini mungkin terjadiseseorang merubah keputusannya jika iamemperoleh informasi yang bertentangan.Secara diagramatis tahap-tahap tersebutdapat digambarkan sebagai berikut.

Variabel Penerima:1. Sifat-sifat pribadi2. Sifat sosial3. Kebutuhan inovasi4. dan lain-lain

Sistem Sosial:1. Norma/nilai budaya2. Toleransi3. Kesatuan komunikasi

Ciri-ciri Inovasi dlmpengamatanpenerima1. Keuntungan2. Kompatibilitas3. Kompleksitas4. Trialabilitas5. Observabilitas

Adopsi

Terus mengadopsi

Diskontinuansi

Sumber Komunikasi

PengenalanI

PersuasiII

KonfirmasiIV

KeputusanIII

Mengadopsi terlambat

Menolak

Tetap menolak

Diagram 1. Proses Keputusan Inovasi (Rogers dan Shoemaker: 1981)

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 91

Pemberdayaan yang ideal sebenarnya akanterjadi seperti proses difusi tersebut. Namunpada masyarakat yang miskin khususnya aksesterhadap inovasi maupun sumber-sumber untukmengadopsi inovasi sangat terbatas. Olehkarena itu difusi inovasi harus diiringi olehlangkah lain yakni “pemberdayaan” individu daritahap yang paling esensial, seperti penyadaranakan kebutuhan hidupnya, menghimpun diriagar mempunyai kekuatan moral dan hukum,menggali sumberdaya modal internal daneksternal yang ada, dan sebagainya. Prosespendampingan dalam pemberdayaan ini menjadi“icon” yang sangat penting, karenapembelajaran untuk mengadopsi inovasi secarakolektif maupun individu akan lebih mudahditerima dengan cara pendampingan ini.

Dalam konteks diskusi ini, maka yang dianggapsebagai penerima inovasi (adopter) adalahlembaga lokal yang dapat berupa lembagaformal di tingkat desa/kelurahan atau lembagaadat yang sudah mendapatkan legitimasimasyarakat, sehingga pengaruhnya terhadapkehidupan bersama dalam masyarakat yangbersangkutan tidak diragukan lagi. Secara lebihspesifik, lembaga termaksud terlibat di dalamkegiatan program-program pembangunanperdesaan, baik yang bersifat ekonomis, sosial,maupun keagamaan. Dengan demikian makaakan lebih mudah jika lembaga yang menjadisasaran penelitian ini adalah lembaga yangterlibat dalam program yang dikategorikanberhasil.

Identifikasistruktur

masalah perkimperdesaan

Identifikasimodal sumber

daya

Identifikasikarakteristik

fisik perdesaan

Identifikasilembaga

pembangunandi perdesaan

dan nilaibudaya yang

dianut

Lingkupsubstansi dan

prioritaspembangunan

Indikasi polapengembanganlembaga dengan

lingkup perumahanpermukiman

Polapengembangan

programpembiayaan /

mobilisasi modal/efisiensi

Indikasiprogram fisikperumahan

Reorientasikegiatanlembaga

Polapengembangankelembagaan

Konseppengembangan

pembiayaan

Gambar 2. Model Alur Penyusunan Konsep Pemberdayaan Lembaga Perumahan di Perdesaan

92 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Tahap-tahap adopsi inovasi sebagaimana telahdiuraikan di atas akan lebih efektif jika diiringidengan tindakan pemberdayaan lembaga,karenanya perlu dirumuskan pedomanpemberdayaan yang mengacu pada akarpermasalahan serta kondisi sosial-ekonomi yangmelingkupi lembaga atau individu yangmenerima inovasi. Perumusan konseppemberdayaan berangkat dari titik yang samayakni keberadaan lembaga-lembaga yang akanmenerima inovasi bersama dengan kondisiekonomi dan sistem sosial yang menopangberdirinya lembaga-lembaga penerima inovasi.

Dalam konteks ini inovasi dari luar yangdianggap perlu didifusikan adalah kebijakan,peraturan-peraturan, NSPM yang berlaku saatini di bidang perumahan dan permukiman,termasuk teknologi RISHA yang dihasilkan PusatLitbang Permukiman baru-baru ini. Tentu sajasebelum diputuskan menjadi inovasi utamadalam difusi, maka substansi inovasi tersebutperlu dikaji ciri-ciri inovasinya, yaitu: apakahmenguntungkan bagi adopter, sepadan dengansistem yang ada, tidak terlalu rumit, bisa diuji-cobakan, serta dapat diamati prosesnya.

METODE PENELITIANSecara umum penelitian ini akan menerapkanmetode ”Non probability sampling”, yaitupenelitian yang tidak didasarkan pada teorikemungkinan (probability sampling). Alasanpenerapan metode ini adalah bahwa populasipenelitian yaitu jumlah desa/kecamatan yangtelah menerapkan konsep pembangunanperdesaan sebagaimana diuraikan dalampendahuluan relatif kecil dibandingkan denganjumlah desa di Indonesia secara keseluruhan,serta cukup terbatas informasi yang tersediatentang kondisi sampel. Dua metode samplingdigunakan untuk menentukan lokasi studi, yaitu”expert sampling” dan ”snowball sampling”.Ekspert sampling dilakukan dalam rangkamenelusuri dan menelaah konsep-konseppembangunan pedesaan serta lokasi aplikasikonsep tersebut. Sedangkan snowball samplingdilakukan dalam rangka menentukan lokasi lain

serta sumber-sumber data lain yang dianggaprelevan untuk dikaji.

Berkaitan dengan sampel lokasi di atas, untuktujuan penelitian ini diambil sampel lokasi yangmewakili daerah yang pernah menerapkankonsep-konsep pembangunan perdesaan yakni:pengembangan ekonomi melalui peran pondokpesantren; pengembangan ekonomi berbasiskekerabatan; pengembangan ekonomi berbasisunit koperasi pemerintah dan adat;pengembangan perumahan berdasarkanproyek/program pemerintah; pengembanganekonomi berbasis koperasi masyarakat,pengembangan ekonomi kemitraan masyarakat-perusahaan swasta nasional. Daerah tersebuttersebar di berbagai propinsi di Indonesia,antara lain:

Jawa Barat : 2 desa Jawa Timur : 1 desa Nusa Tenggara Timur : 1 desa Riau : 1 desa Sumatera Utara : 2 desa

Metode pengumpulan data dalam pendekatankualitatif menurut Maxwell 1996 (dalamSoehartono, DR. Irawan. 2002) banyakmenggunakan apa yang disebut metode”trianggulasi”, yakni pengumpulan data yangberasal dari berbagai sumber dan menggunakanberbagai metode, seperti wawancara, observasidan dokumentasi. Hal ini dimaksudkan untuksaling mengeliminasi kelemahan-kelemahanyang terdapat dalam setiap metodepengumpulan data.

Merinci lebih lanjut metode pengambilan datadi atas, maka pengumpulan data pada studi iniakan menerapkan beberapa metode yang lazimdigunakan pada riset sosial, yakni (Arikunto,1998: 92-93).a. Analisis dokumen (dokumentasi), atau disebut

juga ”content analysis” yakni analisis yangmenekankan pada pemahaman isi dokumen,peraturan-peraturan, hukum, dan keputusan.Pada umumnya teknik ini dibantu denganpedomen dokumentasi dan ”check list”.

b. Wawancara bebas terpimpin, yakni wawancaradengan pejabat, ahli, dan pemuka

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 93

masyarakat/adat yang berkompeten dengantopik studi, menggunakan panduan daftarpertanyaan terbuka. Peneliti dapatmengembangkan topik-topik pertanyaan sesuaidengan kondisi lapangan.

c. Observasi sistematis, yaitu pengamatansuatu kejadian/obyek dengan menggunakanpedomen sebagai instrumen pengamatan.Pedomen observasi berisi sebuah daftarobyek atau kejadian yang akan diamati.Lebih jauh daftar tersebut dapat berupa”check list” suatu obyek dimana pengamattinggal memberi tanda pada obyek yangmuncul, atau dapat pula peneliti menuliskejadian secara cermat pada kolom/ spaceyang sudah disediakan.

d. Panel (focuss group discussion), yaitudiskusi terpandu yang melibatkan individuyang mempunyai otoritas atas informasiyang diperlukan dalam studi ini. Dalambahasa lain cara ini disebut juga”sarasehan”, yang pada prinsipnyamelakukan diskusi dengan gaya yang tidakterlalu formal (misalnya bentuk forumduduk bersama melingkar/ lesehan) namunmempunyai arah dan sasaran yang jelas(Maxwell, 1996). Secara teknis metodeanalisa dapat dikelompokkan menjadi tiga,yaitu memo, kategorisasi, dankontektualisasi. Memo merupakan catatan-catatan kecil diluar masalah data, namundapat membantu proses berpikir secaraanalitis, seperti catatan tentang metode,teori, konsep, yang sekiranya terkaitdengan data.

Kategorisasi dalam kajian ini sebenarnya adalahpemberian kode (coding), namun berbedatujuannya dengan penelitian kuantitatif, yaitumemisahkan atau memecah (fracture) data danmengaturnya data ke dalam kategori-kategoritertentu yang memudahkan perbandingan didalam atau antar kategori, dan bertujuan untukmengembangkan konsep teoritis. Bentuk laindari kategorisasi adalah pemilahan data(sorting) berdasarkan tema atau isue-isuetertentu. Hal yang penting dalam kategorisasi iniadalah bahwa data harus dijaga ”original

context”nya, dengan mengkaitkan memo dankategori lainnya.

Kontektualisasi merupakan upaya memahamiatau mencari makna data pada konteksnya,menggunakan berbagai metode identifikasihubungan antar elemen teks (data) yangberbeda. Beberapa contoh metode identifikasitersebut antara lain: beberapa tipe studi kasus;analisa diskursus (wacana); analisa narasi;analisa mikro etnografi. Kondisi umum darikeseluruhan analisa di atas antara lain bahwametode-metode tersebut tidak hanyamemfokuskan pada relasi kesamaan data yangdapat mengelompokkan data ke dalam kategori-kategori tertentu, tetapi juga hubungan antarpernyataan (statement) dalam kontekskeseluruhan. Tampilan data hasil pengumpulandata dapat berupa matrik, tabel, dan jaringankerja (network).

HASIL SURVEI DAN PEMBAHASANBerdasarkan kajian lapangan, baik menyangkutberbagai program yang sudah dan sedangdikembangkan di beberapa wilayah perdesaan,serta pengamatan implementasi program-program tersebut di lokasi-lokasi kajian,terdapat beberapa hal pokok yang terkaitdengan substansi penelitian ini, antara lainmenyangkut fenomena umum perumahan danpermukiman di wilayah perdesaan, bagaimanaprogram-program dijalankan, dan bagaimanakelembagaan lokal yang berperan dalamimplementasi tersebut (Lihat lampiran).

Atas dasar pokok-pokok pembahasan tersebut,maka hasil kajian lapangan studi ini dapatdikelompokkan menjadi beberapa tipe sebagaiberikut : Kelompok Kelembagaan Berbasis Ekonomi

Mewakili kelompok ini adalah KelompokSwadaya Masyarakat (KSM) Koperasi TaniMargaluyu yang berada di Dusun Sukahurip,Desa Batulawang Kecamatan PatarumanKota Administratif Banjar Kabupaten Ciamis.Awal berdirinya Koperasi tersebut adalahadanya kebutuhan dan permasalahan yang

94 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

sama, yang secara kebetulan terjadi padasatu area geografis yang sama.

Kelompok yang sudah “established“demikian (didirikan sejak tahun 1972)mempunyai pengaruh dan kredibilitas yangsangat tinggi ditengah kerabat-kerabatnya,oleh karena itu menyisipkan pesan-pesankebijakan perumahan permukiman dengancara yang mudah dipahami oleh kelompokini akan sangat efektif mencapai sasaran.

Karena sistem organisasi dan sistem suksesiyang sudah mapan, maka mempelajarisistem yang ada dan segenap prestasi yangtelah diraih merupakan pencarian entry pointyang perlu diperhatikan secara hati-hati.

Walaupun data lapangan maupun hasillokakarya antar-pelaku menunjukkan bahwafenomena yang ada belum mengarahsepenuhnya pada penyelenggaraanperumahan dan permukiman, namun melaluifasilitas-fasilitas yang ada sepertidibentuknya banyak koperasi, bantuanfasilitas pada masyarakat, maka sebenarnyakebijakan koperasi yang telah dibentuk dankebijakan kesejahteraan koperasi dapatdiarahkan menuju kepentingan pembangunanperumahan permukiman.

Kelompok Kelembagaan Berbasis SosialKelompok ini saat sekarang menjadi tipeyang paling dominan karena angin otonomidan sustainable development yangberkembang di negara-negara sedangberkembang di seluruh belahan dunia.Mewakili kelompok ini adalah pembangunanrumah swadaya di Desa Karangsong,Indramayu; pelaksanaan KIP progresif diSurabaya; dan masih banyak lagi kegiatanlain terutama program yang berkaitandengan Gerakan Nasional PembangunanSatu Juta Rumah (GNSP).

Karakteristik dari Kelompok ini adalahadanya kelompok pendamping yangmemberdayakan atau bahkan membentuksatu KSM di tengah-tengah masyarakat,hingga mempunyai kemampuan yang

memadai penjalankan program-programyang sifatnya swadaya dan “lestari”. Entrypoint inovasi dapat melalui prosespendampingan itu sendiri jika sedangberlangsung kegiatan pemberdayaan, ataumelalui KSM yang sudah mapan jikamemang KSM sudah ada.

Melalui uji coba pemberdayaan kelembagaanyang diwakili oleh lokasi Pondok PesantrenAl-Itifaq, Kecamatan Rancabali menunjukkanbahwa hubungan sosial yang berkembang dimasyarakat telah mampu mendudukkanposisi pondok pesantren ini menjadi ‘motor’bagi lingkungan masyarakat yang ada disekitarnya. Lebih lanjut, meskipun masihdalam proses pengembangan, lembaga iniakan juga berperan dalam mengembangkanprogram-program penyelenggaraan perumahandan permukiman.

Kelompok Kelembagaan Berbasis BirokrasiDalam studi lapangan tipe organisasi sepertiini ditemukan di daerah Sumatera Utara,yakni pilot project PemberdayaanMasyarakat bidang perumahan danpermukiman melalui program Desa Binaan,dengan lokasi terpilih Desa Hinai Kanan,Kecamatan Hinai, Kabupaten Langkat,Propinsi Sumatra Utara dan pilot projectDesa Pagar Batu sebagai Desa Binaan olehpemda setempat dengan menjalankanprogram pembangunan berbagai sektorsecara terpadu melalui pendekatanpemberdayaan masyarakat.

Kedua pilot project tersebut dapat dikatakanmerupakan pendekatan konvensional yangtelah dilakukan di berbagai tempat,khususnya di Jawa pada dasa warsa 80-an.Karakterisitik programnya adalahmenggunakanan jalur birokrasi yang adauntuk pelaksanaan program seperti dinasterkait, aparat kecamatan dan kelurahan,yang dananya sudah dialokasikan dari pusat.

Entry point inovasi kebijakan maupunperaturan-peraturan dapat melewatibirokrasi. Titik kritisnya adalah apakahbirokrasi yang ada mampu membina

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 95

masyarakat secara kontinyu sampai tingkatakar rumput. Kopulasi lembaga tradisionaldengan birokrasi pemerintah dapat terjadipada kasus ini. Fenomena tersebut diwakilioleh menyatunya lembaga adat dan lembagapemerintahan seperti yang terjadi di NusaTenggara Timur. Melalui kredibilitas kepalaadat yang sekaligus menjadi camat, makaprogram pembangunan ekonomi dapatberjalan, termasuk penggerakan koperasidesa.

Kelompok Kelembagaan Berbasis Nilai LokalDalam kasus lain, Desa Selaawi di KabupatenGarut mampu survive membangundaerahnya dengan modal pengembangannilai lokal ‘gotong-royong’ secara spontanyang sampai saat ini masih terpeliharadengan baik.

Pada pengembangan dan penguatankelembagaan lokal yang ada sebaiknyamemang tetap mengakomodasi nilai-nilailokal yang masih berkembang ini, sehinggalangkah penting dalam menyusunkelembagaan lokal ini adalah bagaimnamensinergikan kepentingan untukmempertahankan nilai-nilai lokal yang adadengan kepentingan kelembagaan formalyang ada (pemerintah daerah). Keberadaanlembaga lokal dengan segala nilai yangmendasari kinerjanya tetap harusdipertahankan dan aktualisasikan denganpermasalahan yang ada saat ini. Jikamasalah permukiman dapat dikedepankansebagai salah satu masalah utama, makaintersepsi muatan baru lembaga tradisionalberupa perbaikan aspek permukiman dapatdijalankan, sebagaimana terjadi pada kasusdi Garut.

Kelompok Kelembagaan Berbasis KesehatanKelompok Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu(Posyandu) yang berkembang secara baik diLumajang merupakan fenomena yangmewakili kelompok ini. Karakteristik darikelompok ini adalah bahwa KSM sudahsangat mapan dan mempunyai kredibilitasyang tinggi di tengah masyarakat. Namun

demikian, dari aspek pendanaan sangattergantung pada pemerintah.

Hingga saat ini, aspek perumahan yangditangani KSM ini adalah aspek sanitasi danair bersih, dan penyuluhan aspek kesehatanlingkungan. Dengan model pendekatanGerbang Mas, maka peranan KSM ini dapatditingkatkan lebih jauh untuk tujuanpembangunan perumahan.

Salah satu program yang dikembangkanmelalui fungsi dan peran lembaga kesehatanadalah kasus di Posyandu Kelurahan Ledeng,dimana keberadaan lembaga ini mampuuntuk mendorong masyarakat sekitarnyauntuk menyelenggarakan lingkunganpermukiman dengan baik. Dengan demikian,pengembangan kelembagaan yang sekiranyadapat mengakomodasi kepentinganperumahan dan permukiman dapat bermuladari keberadaan lembaga kesehatan ini,yang selanjutnya perlu disinergikan dengankepentingan kelembagaan pemerintahdaerah setempat.

Atas dasar pembahasan di atas, makadisimpulkan bahwa diperlukan pemberdayaankelembagaan untuk menambahkan muatan-muatan bari di bidang perumahan danpermukiman. Substansi pemberdayaantermaksud disusun dalam bentuk konsep modulsebagai berikut :

TujuanMenyiapkan tenaga penanggung jawab,pelaksana, fasilitator dan pendampingpeningkatan kapasitas kelembagaanperumahan dan permukiman di tingkat desa,sesuai dengan kebutuhan daerah.

Diharapkan setelah mengikuti kegiatan inipeserta mampu menyusun rencana tindak ditingkat kabupaten/kota karena telahmengetahui tahapan kegiatan, kemampuandan pola pembagian tanggung jawab diantarapelaku ditingkat kota/kabupaten untukmenyelenggarakan kegiatan peningkatankapasitas kelembagaan ditingkatdesa/kelurahan apabila diperlukan.

96 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Kelompok SasaranPeserta kegiatan ini adalah tenaga teknis darilingkungan pemerintah daerah, profesional,pendamping masyarakat, akademisi danpraktisi bidang perumahan dan permukimandi tingkat kota/kabupaten, yang karena tugasatau profesinya bertanggung jawab terhadapkinerja layanan bidang perumahan danpermukiman.

Kerangka Umum PelatihanKegiatan pelatihan untuk pelatih akanmembahas tiga kelompok materi yaitu materiumum, materi inti dan materi penunjang.

Materi UmumMateri umum adalah materi yang diperlukandalam proses peningkatan kapasitaskelembagaan perumahan dan permukimantanpa membedakan tIpologi pemberdayaanyang akan dipakai. Termasuk dalam katagorimateri umum adalah pemahaman tentangkemasyarakatan, kelembagaan, perumahandan Permukiman serta penyiapan program.Dengan bekal ini diharapkan pelatih akanmengetahui tata cara dan proses untuk :1. Mengenali, membangun jejaring dan

kelompok masyarakat2. Identifikasi kondisi kelembagaan

perumahan dan permukiman di tingkatDesa secara mandiri

3. Pembangunan perumahan dan permukimandi tingkat desa

4. Sinergi perencanaan dan kerjasamalintas program

Materi IntiMateri inti adalah materi yang dikembangkansesuai dengan kebutuhan peningkatan sinergilintas program sesuai dengan tipologipemberdayaan kelembagaan perumahan danpermukiman ditingkat desa. Oleh karenanyaada empat jenis materi inti yang diberikanyaitu1. Materi peningkatan kelembagaan

berbasis pembinaan / pemberdayaanekonomi

2. Materi peningkatan kelembagaanberbasis pembinaan / pemberdayaansosial

3. Materi peningkatan kelembagaanberbasis pembinaan / pemberdayaan nilailokal / kekerabatan

4. Materi peningkatan kelembagaanberbasis pembinaan / pemberdayaankesehatan

Materi PenunjangMateri penunjang adalah materi dasar yangsecara normatif harus sudah dikuasai olehcalon peserta dari dinas/ instansi teknistingkat kabupaten/kota, akan tetapi dirancangmenjadi bagian pelatihan sebagai materipelengkap yang disampaikan untukpenyegaran.1. Perencanaan kegiatan pembangunan fisik2. Perencanaan keuangan masyarakat3. Perencanaan peningkatan kapasitas sosial4. Monitoring, evaluasi dan pengendalian

kegiatan

Tahapan, Metode Pelatihan, dan Alat BantuTahapanGlobal Metoda Alat Bantu

Persiapan KuesionerKesepakatan & penugasan

Form kuesionerForm kesepakatan dan penugasan dari kepala daerah

Umum Diskusi dan curahpendapat

Profil daerah, kasus kegiatan pembangunan perumahandan permukiman, hasil olahan kuesionerKerangka diskusi kelompok dalam bentuk power point

Inti Diskusi interaktif +kunjungan lapangan Makalah, referensi, profil lapangan, games.

PenunjangDiskusi kelompok,presentasi danpembahasan

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 97

PesertaUntuk menjamin efektivitas pelaksanaan makakegiatan pelatihan dibatasi pada kelas kecildengan jumlah peserta tidak lebih dari 25orang dengan proporsi asal peserta yangseimbang serta mewakili empat tipologikelembagaan yang ada.

Peserta adalah :1. Berasal dari daerah yang diwakilinya2. Bertugas secara langsung menangani

bidang perumahan dan permukiman baikpada lingkup perencanaan, pemrograman,pelaksanaan pembangunan, danpengawasan.

Rancangan KegiatanKegiatan ini dirancang sebagai bagian dariproses penyiapan tenaga / institusipendamping bagi penggabungan kegiatanpengelolaan perumahan dan permukimanditingkat desa kepada kegiatan yang ada danlembaga ditingkat desa yang dianggapmempunyai potensi yang cukup. Dengandemikian kegiatan akan berisi pengenalanpermasalahan permukiman dan peningkatankapasitas serta efektivitas kelembagaan.Secara rinci kegiatan yang akan dilakukanmeliputi :

Tahapan Modul Substansi1. Umum Kesepakatan kegiatan

dan pengenalan pesertaSesi ini dirancang sebagai pembuka dan dasar untukterbangunnya jejaring pendamping dan sekaligusmemberikan bekal kemampuan kepada peserta untukmelaksanakan: Proses untuk membangun jejaring dan kelompok

masyarakat Identifikasi kondisi kelembagaan perumahan dan

permukiman di tingkat desa secara mandiri

Dasar pembangunanperumahan danpermukiman

Sesi ini dimaksudkan untuk memberikan dasar teknis sistemperumahan dan permukiman pada tingkat desa; mencakupaspek lahan dan tata ruang, sosial dan kelembagaan,ekonomi dan pembiayaan, serta teknis teknologis danpengembangan bahan bangunan lokal. Diharapkan pesertadapat menambah wawasan/ dan pemahaman tentang: Pembangunan perumahan dan permukiman di tingkat

desa Sinergi perencanaan dan kerjasama lintas program

2. Inti Karakteristik tipologidesa + kunjungan kesalah satu desa

Sesi ini merupakan inti dari pelatihan, yang menjelaskantemuan penelitian dan analisa lapangan, sebagai dasar kerjapendamping di lapangan kelak.

Pemahaman strukturdan proses pendukungberdasarkan masingmasing tipologi

Sesi ini merupakan pendalaman dari sesi sebelumnya yangberisi tentang karakteristik perumahan dan permukimanperdesaan serta keterkaitannya dengan sektor/ kondisi yangakan di padukan.

98 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Lanjutan

Tahapan Modul Substansi

Analisa kesesuaian danidentifikasi peluangsinergi

Sebagai penutup dari bagian inti, sesi ini disampaikandengan harapan peserta mampu mendampingi pemangkukepentingan tingkat desa untuk menyelenggarakanpembangunan perumahan dan permukiman melalui prosessinergi dengan modal yang dimilikinya.

3. Aplikasi Penyusunan strategi Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, prosesdan tahapan sehingga peserta mampu mendampingipemangku kepentingan lokal menyusun strategipembangunan perumahan dan permukimannya

Penyusunan rencanatindak

Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, prosesdan tahapan sehingga peserta mampu mendampingipemangku kepentingan lokal menyusun rencana tindakpeningkatan kualitas perumahan dan permukimannyasebagai program terpadu dengan sektor/ kegiatan/ modalyang menjadi unggulannya.

Penyepakatankerjasama

Sesi ini merupakan penunjang aplikasi berupa teknis, prosesdan tahapan sehingga peserta mampu mendampingipemangku kepentingan lokal menyusun prosespenyepakatan diantara pemangku kepentingan lokal sesuaidengan kondisi dan kemampuannya.

KESIMPULANBerbagai tipe kelembagaan sebenarnya telaheksis diperdesaan, antara lain kelompokkelembagaan berbasis ekonomi, berbasis sosial,berbasis birokrasi, berbasis nilai lokal, sertaberbasis kesehatan. Beberapa lembaga telahdari awal berkecimpung dalam masalahperumahan, namun pada umumnya mempunyaibidang kegiatan sosial, ekonomi, dan kesehatan.

Usaha mengkaitkan penanganan masalahperumahan terhadap lembaga yang mempunyaibidang kegiatan non perumahan memang belumpernah dilakukan di lokasi studi, namun upayake arah tersebut sebenarnya akan sangatbermanfaat mengingat hingga saat inipelayanan masalah perumahan oleh lembagaformal masih terbatas di kawasan perkotaan.Berdasarkan hasil penelaahan studi,penambahan muatan pelayanan masalahperumahan terhadap lembaga-lembagaperdesaan yang sudah mapan sangatdimungkinkan. Namun perlu pemberdayaan

terhadap manajemen dan kemampuanpersonilnya.

Penyiapan modul pemberdayaan harus mengacukepada tipologi kelembagaan di atas dankebutuhan yang diperlukan, karena orientasikegiatan dan nilai-nilai yang menjadi landasankerja tiap tipe lembaga berbeda. Substansimodul meliputi substansi umum, inti, danaplikasi. Substansi umum membahaskesepakatan-kesepakatan, introduksi dan dasar-dasar pembangunan perumahan. Substansi intiberisikan karakteristik/ tipologi desa dankunjungan ke salah satu desa, pemahamanstruktur dan proses pendukung berdasarkanmasing masing tipe, analisa kesesuaian danidentifikasi peluang sinergi. Substansi aplikasiterdiri atas penyusunan strategi, penyusunanrencana tindak, penyepakatan kerjasama.

Konsep pemberdayaan di atas masih harusdijabarkan lagi dalam bentuk modul denganmetode penyusunan yang tepat disertaipengkayaan materi sesuai dengan keperluan.

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 99

Akhirnya, agar substansi modul relevan danaktual dengan permasalahan yang dihadapi,maka modul perlu di ujicobakan denganmelibatkan pelaku-pelaku yang berkompeten.

Jadi lembaga-lembaga lokal yang ada diperdesaan sebenarnya bisa menjadi agenpembangunan perumahan diperdesaan jikadilakukan seleksi dengan ketat kemapanannya,serta dilakukan pemberdayaan dengan mengacupada modul-modul pemberdayaan yang telahdisusun, mengadaptasikan modul dan metodepemberdayaan dengan tipe lembaga yang ada,serta melibatkan pihak-pihak yang berkompetensecara kontinyu dan serius.

Konsistensi dan keseriusan pemberdayaanlembaga inilah yang menjadi tulang punggungpenepisan resiko kegagalan peningkatan peranlembaga perdesaan dalam mengurusipembangunan perumahan.

DAFTAR PUSTAKAArikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian.

Jakarta: PT Rineka Cipta.Monografi Desa Putrajawa, Kecamatan Selaawi,

Kabupaten Garut.Pusat Litbang Permukiman. 2005. Pembangunan

Model Permukiman Perdesaan Melalui PeranKelembagaan dan Potensi Budaya Setempat(Laporan Penelitian). Bandung.

Pusat Litbang Permukiman. 2004. Pengkajian SistemPembiayaan dan Pengelolaan Perumahan(Laporan Penelitian). Bandung.

Riyadi, Dedi M. Masykur. Et.al. 2000. ProsidingDiseminasi dan Diskusi: Program-programPengembangan Wilayah dan EkonomiMasyarakat di Daerah. Jakarta: Bappenas

Soehartono, DR. Irawan. 2002. Metode PenelitianSosial. Bandung: Penerbit PT RemajaRosdakarya

Kumpulan Artikel Pembangunan Ekonomi Lokal

100 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

LAMPIRANTabel 1.

Identifikasi Kondisi Perumahan Permukiman DesaLingkungan/ Fisik Ekonomi/ Usaha Sosial/ Kemasyarakatan

Indi

vidu

/KK

/rum

ah

kualitas rumah substandar ( 40% semi-permanen)

sebagian desa memiliki potensibahan bangunan lokal yang bisaditerapkan

nilai rumah sebagai aset diperdesaan lebih kecil dibanding diperkotaan

status legal rumah informal (adat,girik, tanpa IMB)

basis agro informal,margin kecil, potensiusaha kecil untukmeningkatkanpendapatan rumahtangga

peluang transfer modaldari tenaga kerjaproduktif yang bermigrasike kota

water borne disease tinggikarena rendahnya water andsanitation service

kesadaran terhadap kesehatandan kebersihan terbatas

transisi pola kehidupan urban-rural

keterbatasan persepsi,keterampilan dan akses kepadapenciptaan lapangan kerjaalternatif

Kel

ompo

k/Li

ngk

un

gan

jaringan prasarana saranaterbatas

sarana/ sumber air tidak terkelola sarana infrastruktur banyak yang

kurang sesuai dengan pola/struktur perdesaan

kegiatan hunian belummemperhatikan persyaratanlingkungan (limbah, ternak,pupuk)

batas kavling individual lebihfleksibel dan masih bisadimanfaatkan untuk sarana/prasarana lingkungan/ bersama

panjangnya rantaibirokrasi modal sampaike tingkat desa,mengecilkan/melambatkanpenyediaan modal yangdibutuhkan

diperlukan penguatanlembaga lokal untukmemobilisasi dana-danapembangunan desa

kesadaran yang mengelolawater and sanitation bersamaterbatas

paternalistik dan nilai lokalpotensial

kebersamaan dengan gotongroyong tinggi

Tabel 2.Pengembangan Program Perumahan Permukiman Perdesaan Di Lokasi Studi

No LokasiStudi Program Lingkup Kelembagaan

Lokal Stakeholder Hasil

1 JawaBarat

RumahSwadaya,PKL,Pesantren(LingkunganBermartabat)

Perbaikan/pengembanganperumahanpermukiman

Pengembanganmasyarakat

KSM/ BKM/Pesantren/Paguyuban/Koperasi

SupplierBahan

PimproPusat

Dinas2terkait

Perbaikan/pengembanganperumahan

Penguatanlembaga lokal

Sistemperguliran

2 JawaTimur

Gerbang Mas Advokasi Pengembangan

masyarakat

Organisasimasyarakat(yang ada)

Dinas2terkait

Membangunkemitraan

Fasilitasiprogramposyandu

Pengembanganprogram PKL

Peningkatan Peran Lembaga …(Aris Prihandono) 101

Lanjutan Tabel 2

No LokasiStudi Program Lingkup Kelembagaan

Lokal Stakeholder Hasil

3 SumateraUtara

Desa Binaan Perbaikan/pengembanganperumahanpermukiman

Pengembanganmasyarakat

KSM/ BKM/TPM/ LPD

Dinas2terkait

Perbaikan/pengembanganperumahan

Penguatanlembaga lokal

4 Riau PKPS-BBM (iP)RumahSwadayaPKL, PPD,UED-SP

Perbaikan/pengembanganperumahanpermukiman

Pengembanganmasyarakat

Pengembanganekonomi desa

KSM/ BKM/LKMD/ UDP/KKPA/ PNM

TimKoordinasi(Pusat,Propinsi,Kabupaten/Kota)

Satker(Propinsi,Kabupaten/Kota)

Dinas2Terkait

Perbaikan/pengembanganperumahan

Penguatanlembaga lokal& Kemitraan

Penguatanekonomi desa

5 NTT IDT, PIP, PPK,Pengembang-an wilayahperdesaan

Perbaikan/pengembanganperumahanpermukiman

Perbaikaninfrastruktur

Pengembanganmasyarakat

Pengembanganekonomi desa

LembagaPerkreditanDesa, KUD,

Camat/Lurah/Dinas2terkait

Perbaikan/pengembanganperumahan

Penguatanlembaga lokal& kemitraan

Penguatanekonomi desa

Perbaikaninfrastruktur

102 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

PEMBANGUNAN RUMAH SUSUNDALAM MENDUKUNG AKTIVITAS EKONOMI PERKOTAAN

(Studi Kasus Kota Bandung)

Oleh : Heni SuhaeniPusat Litbang Permukiman, Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan Kab. Bandung 40393

E-mail : [email protected] masuk naskah: 01 Desember 2008, Tanggal disetujui: 04 September 2009

AbstrakKonsep dasar pembangunan rumah susun perkotaan adalah penataan ruang yang menghasilkan kualitaslingkungan perkotaan yang sehat dengan penggunaan lahan yang efisien. Masalahnya adalahpembangunan rumah susun tidak pernah memperhitungkan kelompok-kelompok sasaran secara jelas.Padahal aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan di kota-kota besar Indonesia pada umumnya didukungdan digerakkan oleh berbagai kelompok dan strata sosial ekonomi masyarakat yang beragam. Kajianini mengidentifikasi struktur aktivitas ekonomi penduduk mayoritas dan kecenderungannya dalammembentuk & membangun pola-pola aktivitas ekonomi perkotaan, serta pembangunan rumah susunyang seperti apa yang dapat mendukung aktivitas ekonomi perkotaan tersebut. Kajian inimenggunakan data statitistik, dan metoda yang digunakan adalah metoda penelitian induktif. Hasil darikajian ini menunjukkan bahwa ternyata aktivitas yang dominan penduduk Kota Bandung bergerak disektor perdagangan dan industri pengolahan, terutama industri pengolahan skala rumah tangga sektornon formal. Oleh sebab itu pembangunan rumah susun sebaiknya diarahkan secara terintegrasi untukmendukung dan mengakomodasi kebutuhan ruang sebagai unit hunian dan sebagai ruang ekonomiproduktif perkotaan di Kota Bandung.

Kata kunci : Penataan ruang, aktivitas ekonomi, perkotaan

AbstractThe basic concept of multistorey development in urban area is the proper spatial order that result in thequality of healthy environment and the land used efficiency in urban area. Unfortunately, the multistoreydevelopment has never considered the target groups clearly. Meanwhile urban areas in Indonesia mostlyare supported and propelled by different groups of people with multi levels of socio-economic statusand activities. This paper identifies the structure of urban economy activities, the pattern of themajority of inhabitants that shape and develop economy activities of urban area, and the developmentof multistorey that can support economy activities of the urban life’s. This reseach uses statistic dataand inductive method. The result of the research indicates that the major economy activities of thepeople in Bandung are engaged in trading sector and industrial manufatories, especially smallindustries or home industries. Therefore, the multistorey development should be led to support andaccommodate the spatial need for dweling units and economic pruductive in Bandung city.

Keywords : Spatial planning, economy activity, urban

PENDAHULUANLatar BelakangPembangunan rumah susun di Indonesia dapatditelusuri melalui Undang-undang nomor 16

tahun 1985 tentang Rumah Susun, PeraturanPemerintah nomor 4 tahun 1988 tentang RumahSusun, Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5tahun 1990 tentang Peremajaan PermukimanKumuh yang Berada di atas Tanah Negara, dan

Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni) 103

Keputusan Presiden (Kepres) nomor 22 tahun2006 mengenai Tim Koordinasi PercepatanPembangunan Rumah Susun.

Kepres nomor 22 tahun 2006 intinya adalahmembentuk tim koordinasi pembangunandengan prioritas pembangunan adalah :- kawasan perkotaan dengan jumlah

penduduk diatas 1,5 juta jiwa,- memiliki lahan di lokasi strategis untuk

membangun rumah susun- peruntukan lahannya untuk permukiman

dan memiliki nilai ekonomi tinggi- disetujui oleh walikota atau bupati sebagai

lokasi rusun, dan Pemda juga mempunyaikomitmen membangun dengan memberikananeka insentif,

- terlayani oleh infrastruktur dansuprastruktur perkotaan.

Seluruh Undang-undang, Peraturan Pemerintah,Inpres ataupun Kepres terkait denganpembangunan rumah susun intinya merupakanketentuan – ketentuan pokok dan peraturanpelaksanaan yang bertujuan untukmempercepat dalam memenuhi kebutuhanperumahan melalui pembangunan rumahsusun. Penggunaan lahan pun bisa lebih efisien,terutama dalam penyediaan prasarana dansarana pendukungnya. Kelompok sasaranpenghuni rumah susun lebih ditujukkan kepadakelompok-kelompok masyarakat berpenghasilanrendah atau menengah ke bawah. Akan tetapi,sejauh ini ketentuan-ketentuan pokok danperaturan pelaksanaan yang telah diterbitkantidak menjelaskan secara rinci batasankelompok-kelompok sasaran untuk pembangunanrumah susun tersebut. Padahal aktivitasekonomi perkotaan di kota-kota Indonesiaumumnya didukung dan digerakkan olehberbagai kelompok dan strata sosial ekonomimasyarakat yang beragam sebagai sebuah cirikhas kehidupan perkotaan di Indonesia.

Identifikasi MasalahDalam perspektif pembangunan ekonomiperkotaan di Indonesia, kehadiran rumah susundapat dijadikan sebagai faktor pendukungbergeraknya aktivitas ekonomi perkotaan,

karena pemilihan dan penempatan lokasi rumah-rumah susun yang tepat diantara berbagaipusat–pusat kegiatan ekonomi perkotaan dapatmeningkatkan nilai-nilai efisiensi terhadap nilailahan, jaringan transportasi dan infrastrukturperkotaan, juga terhadap biaya pembangunanekonomi dan sosial.

Selain itu, sifat rumah susun yang mampumewadahi dan mengakomodasi kebutuhanruang untuk tempat tinggal masyarakatperkotaan secara lebih terkendali, terencanakan,padat dan terkonsentrasi pada lokasi-lokasiyang tepat.

Kondisi seperti tersebut di atas denganpenataan ruang yang tepat dapat menciptakankualitas lingkungan perkotaan lebih sehat.Oleh sebab itu kajian ini lebih difokuskanpada:1. identifikasi struktur aktivitas-aktivitas

ekonomi perkotaan yang dominan yangdilakukan oleh mayoritas pendudukperkotaan Kota Bandung dan kecenderunganpenduduknya dalam membentuk danmembangun pola-pola aktivitas ekonomidan ruang perkotaan,

2. pembangunan rumah susun seperti apayang dapat mendukung aktivitas ekonomiperkotaan Kota Bandung.

MetodologiKajian ini menggunakan metoda induktif,yaitu metoda yang digunakan bertitik tolakdari data yang sifatnya spesifik untuk ditariksuatu kesimpulan yang sifatnya umum denganmenggunakan data statitik Kota Bandungtahun 2005. Kota Bandung dipilih sebagaistudi kasus, karena Bandung merupakansalah satu kota yang diusulkan dapatmembangun rumah susun di wilayahnyaberkaitan dengan jumlah penduduk yang terusmeningkat.

TujuanMenyusun konsep pembangunan rumah susunyang dapat mendukung aktivitas ekonomipenduduk mayoritas perkotaan.

104 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

TINJAUAN PUSTAKAAktivitas Penduduk PerkotaanPacione (2001) menyebutkan bahwa aktivitasekonomi perkotaan di negara yang sedangberkembang umumnya berlangsung dalam duakatagori, yaitu :Pertama, sektor formal yang merupakanaktivitas ekonomi perkotaan yang memerlukanmodal tinggi untuk dapat berproduksi, dimanasetiap kegiatan produksi, distribusi, dankonsumsi atas barang-barang dan jasadilaksanakan dalam skala yang besar yangmerupakan aktivitas sektor formal. Contohnyaaktivitas perbankan, perdagangan ekspor-impor,industri modern perkotaan dan transportasi.

Aktivitas ekonomi seperti ini sering disebutdengan aktivitas sektor formal (Macharia, 2007).Aktivitas-aktivitas ekonomi seperti ini terwujudkarena menguasai dan memanfaatkankemajuan teknologi oleh para pelaku industridan mampu menyelenggarakan akses terhadapperkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,sementara sebagian lainnya tidak dapatmemanfaatkan kemajuan teknologi tersebutkarena berbagai keterbatasan.

Menurut Macharia (2007) aktivitas pada sektorformal ini sudah sejak lama dikenal olehpemerintah dan terus berlangsung menjadipilihan, karena dianggap lebih menguntungkandan nyata.

Kedua, sektor informal, yaitu aktivitas ekonomiyang tidak memerlukan modal yang tinggi, tidakmenggunakan pelayanan jasa yang modern.Secara umum berada pada level retail dalamskala perdagangan kecil serta merupakanaktivitas-aktivitas sektor informal. Aktivitassektor informal ini mempunyai karakteristikantara lain aktivitasnya dalam skala kecildilakukan di rumah, menggunakan anggotakeluarga, kerabat atau tetangga sekitarnyasebagai tenaga kerja. Objek yang dipasarkanjumlahnya terbatas, bekerja sendiri dan atasinisiatif naluri sendiri.

Aktivitas sektor informal pada umumnya tumbuhsubur di negara yang sedang berkembang.

Aktivitas sektor informal ini menurut Macharia(2007) masih harus terus diperjuangkan agarmemperoleh pengakuan dan perhatian daripemerintah atas keberadaannya.

Dalam banyak hal, aktivitas ekonomi sektorinformal dapat memberikan kontribusi terhadapPDRB kota, dapat menyediakan kesempatankerja yang lebih luas, serta dapat memberikanincome bagi keluarga (Macharia, 2007). Sektorinformal ini pun dapat menjadi inspirasi dalammenjalani kehidupan kawasan perkotaan dengankemampuan yang terbatas. Bahkan menurutRukmana (2004), perencana perkotaanseharusnya dapat mengakomodasi aktivitassektor informal ini sebagai bagian dari ekonomiperkotaan, karena sebesar 64% dari totalketenagakerjaan di Indonesia bergerak dalamsektor informal perkotaan.

Pembangunan Rumah Susun IndonesiaDi Indonesia, kehadiran rumah susun sudahsejak lama ada, tetapi hanya terbatas di kota-kota besar dengan jumlah satuan rumah susunyang terbatas, sehingga belum dikenal secaramerata oleh seluruh masyarakat. Sementara itu,masyarakat selama ini sudah sejak lama terbiasamembangun unit hunian secara individual danmandiri. Hampir 70% penduduk membangunsendiri rumah yang ditempatinya dengan polahunian 80% merupakan rumah tunggal tidakbertingkat (Statistik Perumahan danPermukiman, 2004).

Tahun 1990, ketika pembangunan rumah susununtuk kelompok masyarakat berpenghasilanrendah dikenalkan melalui program urbanrenewal, hasilnya menunjukkan bahwapembangunan rumah susun menghadapi banyakkendala.

Kendala-kendala tersebut mulai dari prosessosialisasi, land re-adjustment, pematanganlahan, biaya konstruksi sampai pengelolaan danpemeliharaan bangunan rumah susun paskakonstruksi serta cara penghuniannyamenghadapi kesulitan dan hambatan (PusatLitbang Permukiman, 1999). Statuskepemilikan unit hunian pun yang merupakan

Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni) 105

komponen paling penting untuk dapatmemberikan kepastian hukum masihmerupakan hal yang sulit teratasi, karena waktuitu belum memiliki ketentuan-ketentuan dasarhukum, sehingga seringkali hal tersebut tidakdapat dirumuskan dan diantisipasi sejak awalperencanaan, sehingga menjadi masalahdikemudian hari.

Pada sisi calon penghuni, secara finansial unithunian rumah susun memerlukan biaya lebihtinggi jika dibandingkan dengan rumah yangselama ini biasa dibangun oleh penduduk secaraindividual karena perbedaan standar yangdipakai. Selain itu, biaya konstruksi, operasionaldan pemeliharaan rumah susun pada dasarnyalebih tinggi daripada rumah biasa. Padahal rata-rata upah pekerja wilayah perkotaan yangpenghasilannya mencapai Rp 2 juta atau lebihhanya 4,3% (Pusdata, 2008)

Hambatan lainnya dalam pembangunan rumahsusun adalah masalah kebiasaan, budaya, ataugaya hidup masyarakat untuk beradaptasidengan ruang vertikal yang ruang geraknyaserba terbatas.

Akan tetapi sejak kebijakan percepatanpembangunan perumahan seribu tower yangdituangkan dalam Kepres nomor 22 tahun 2006mengenai Tim Koordinasi PercepatanPembangunan Rumah Susun dan disertaidengan lahirnya model konsolidasi lahanperkotaan horizontal menjadi vertikalberserifikat, maka pembangunan rumah susunperkotaan dapat diharapkan bukan hanyamampu menciptakan penataan ruang yangmenghasilkan kualitas lingkungan yang amandan sehat, tetapi juga mampu mendukungaktivitas-aktivitas ekonomi perkotaan secaraoptimal dan terutama menguntungkan bagisemua pihak.

Housing Adjustment FactorsHartshorn (1992) dan Pacione (2001)menyebutkan 3 (tiga) faktor yang dapatmempengaruhi seseorang mampu beradaptasidengan unit huniannya, yaitu faktor pertamayang didasarkan pada karakteristik unit hunian

yang mampu memenuhi kebutuhan akan fungsiruang bagi yang bersangkutan. Contohnya,sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dananak (anak-anak) memilih unit hunian 2 (dua)kamar tidur agar dapat mewadahi danmenjalankan aktivitas sesuai dengan fungsi danperannya masing-masing. Faktor kedua adalahstatus kepemilikan, terutama dari status unithunian sewa atau hak milik, karena secarapsikologis dan legalitas dapat memberikan rasaaman dan kepastian hukum untukmenempatinya. Faktor ketiga, lokasi unithunian yang memiliki nilai aksesibilitas tinggiterhadap pusat kegiatan, seperti aksesterhadap tempat kerja, sekolah, pasar ataupusat kegiatan lainnya yang membantumempermudah beradaptasi dengan tempathunian.

Hartshorn (1992) dan Pacione (2001)menjelaskan bahwa perubahan siklus kehidupandan alasan pekerjaan juga dapatmempengaruhi seseorang untuk pindah danmemilih tempat tinggal baru. Contohnya kaummuda yang masih lajang pada umumnyamerupakan kelompok yang memiliki mobilisasitinggi yang bersedia untuk memilih unit hunianrumah sewa dengan single bed room, ataupasangan suami istri yang belum memiliki anak.Akan tetapi berbeda dengan pasangan suamiistri yang mempunyai anak (anak-anak),dimana apabila anak-anaknya masih berusiabalita akan berbeda dengan orang tua yangmempunyai anak-anak berusia remaja, karenaanak-anak yang beranjak remaja membutuhkanruang yang lebih luas dibandingkan dengananak-anak balita. Kondisi tersebut sangatberpengaruh terhadap keputusan orang tuadalam memilih unit hunian yang akanditempatinya.

Di Jakarta pembangunan rumah susun sudahmenjadi kebutuhan, karena ketersediaan lahanperkotaan yang semakin sulit dan mahal.Pembangunan rumah susun atau apartemensudah dilakukan sejalan dengan perkembanganKota Jakarta sebagai mega city. Aktivitasekonomi pada sektor jasa sudah menjadi faktordominan bagi Jakarta. Segala bentuk sistem

106 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

pelayanan jasa dituntut untuk berjalan lebihcepat dan efisien.

Pembangunan rumah susun atau apartemendapat menjadikan beberapa kawasan di KotaJakarta sebagai compact city, dimana strukturdan pola ruang kota pada beberapa kawasandapat mengalir lebih optimal, sistemik danmembantu penduduk bergerak lebih cepat.

Compact city adalah kawasan inti yang padatyang mampu mewadahi lebih banyak penduduk,sehingga penduduk lebih berdaya dalammenjalankan aktivitas aktivitasnya karena sistemjaringan yang tercipta adalah sistem jaringanyang aksesibel (Jenks, et. al. 2002). Akantetapi, belum semua kawasan perkotaan diwilayah DKI Jakarta dapat berkembang sepertiyang diharapkan. Hal tersebut bergantung padaprofil kotanya masing-masing, karena faktor-faktor seperti keragaman budaya, strata sosialmasyarakat yang sangat lebar dan strukturaktivitas ekonomi yang variatif sangatberpengaruh dalam membentuk struktur danpola ruang kota.

Data dan PembahasanBandung sebagai ibu kota propinsi Jawa Baratberiklim sejuk, dan berlokasi pada ketinggian791 – 1050 m di atas permukaan laut, berjaraksekitar 180 Km dari Kota Jakarta (Badan PusatStatistik, 2005). Kemudahan akses menujuKota Bandung, serta daya tarik yang dimilikiKota Bandung telah mampu mendorongmeningkatkan kunjungan wisata domestikataupun manca negara ke Kota Bandungsebagai kota tujuan wisata fashion dan kuliner.Hal tersebut dapat dilihat dari data kunjunganwisata yang meningkat tajam setelah dibukanyajalan tol Cipularang (Badan Pusat Statistik,2005).

Disisi lain, sejalan dengan perkembangan kota,aktivitas ekonomi yang dominan danberkembang di Kota Bandung adalah sektorperdagangan 33,85%, sektor industripengolahan 25,34%, dan pelayanan jasa19,75% (lihat Tabel 1).

Tabel 1.Lapangan Usaha

Penduduk Kota Bandung 2005Lapangan Usaha

Penduduk Orang %

Pertanian 22.645 2.5

Industri Pengolahan 229.038 25.34

Listrik, Gas dan air 2.588 0.28

Konstruksi 50.466 5.58

Perdagangan 306.031 33.85

Transportasi & Komunikasi 58.230 6.44

Keuangan 49.819 5.51

Pelayanan Jasa 185.042 19.75Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005

Kondisi-kondisi tersebut saling mendukung danmemperkuat berkembangnya aktivitas ekonomiperkotaan Kota Bandung pada sektor-sektortersebut di atas.

Sektor industri pengolahan sendiri menunjukkanbahwa 98% dari sektor industri pengolahanmerupakan kegiatan industri kecil non formalatau sebesar 24,16% dari lapangan usahapenduduk Kota Bandung (lihat Tabel 2).Kegiatan industri kecil non formal inimerupakan kegiatan industri rumah tangga(home industry) yang memberikan penghasilanbagi keluarga, kerabat atau tetangga terhadap24,16% penduduk yang berusaha di KotaBandung.

Tabel 2.Sektor Industri Pengolahan

Kota BandungSektor Industri

Pengolahan Unit %

Industri besar 15 0.17

Industri menengah 15 0.17

Industri kecil formal 138 1.56

Industri kecil non formal 8832 98.09Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005

PDRB terbesar Kota Bandung pun dihasilkan darisektor perdagangan yang cenderung terusmeningkat, serta sektor industri pengolahandan sektor pelayanan jasa (lihat Grafik 1).

Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni) 107

05

10152025303540

Pert

ania

n

Indu

stri p

engo

laha

n

List

rik

& a

ir m

inum

Ban

guna

n &

kon

stru

ksi

Perd

agan

gan

Tra

nspo

rtas

i & k

omun

ikas

i

Keu

anga

n &

jas

a pe

rusa

haan

Jasa

-jas

a2003 2004 2005

Grafik 1 PDRB Kota Bandung PerSektor Perode 2003-2005

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2005

Jenis-jenis industri yang menyerap ribuantenaga kerja kota Bandung dari data statistikdapat terlihat penyebarannya yang menyebar dibeberapa kecamatan yang berada di wilayahBandung timur, seperti Cicadas, Ujung Berung,Arcamanik, dan Kiaracondong. Sedangkanindustri pengolahan makanan tersebar di 18kecamatan lainnya dalam skala besar dan kecil,serta pusat kegiatan perdagangan yang tersebardi 16 kecamatan di Kota Bandung.

HASIL ANALISISBerdasarkan pada data yang telah diolah dandianalisis secara statistik, maka hasil kajianmenunjukkan hasil-hasil sebagai berikut :

1. Aktivitas ekonomi Kota Bandung yangdominan dan mendasar adalah sektor industripengolahan sebesar 25,34%. Sektor industripengolahan ini ternyata menghasilkanaktivitas ekonomi yang spesifik kota atau

negara yang sedang berkembang. Hal iniditandai dengan 98% dari industripengolahan merupakan aktivitas industri kecilnon formal atau jenis industri pengolahanskala rumah tangga yang menyerap ratusanribu tenaga kerja keluarga, kerabat dantetangga sekitarnya dengan kebutuhan danbiaya modal yang murah (atau sebesar24,16% penduduk Kota Bandung).Sedangkan 2% dari sektor industripengolahan adalah aktivitas-aktivitas industripengolahan skala besar dan menengah.Walaupun angka prosentasenya hanya 2%saja, tetapi ternyata menyerap ratusan ributenaga kerja setingkat buruh juga.

Sektor perdagangan sebesar 33,85%merupakan turunan dari sektor industripengolahan dan telah melahirkan aktivitasekonomi lainnya yang bersifat formalmaupun non formal.

Sektor pelayanan jasa sekitar 20% yangberkembang di Kota Bandung merupakanaktivitas-aktivitas penunjang sektorperdagangan dan industri pengolahan. Dinegara-negara maju, sektor pelayanan jasaumumnya merupakan aktivitas utamaekonomi perkotaan, karena bentuk pelayananjasa yang berlangsung lebih banyakmemanfaatkan penguasaan teknologi dankeahlian, sedangkan di negara sedangberkembang aktivitas pelayanan jasa lebihbanyak memanfaatkan tenaga kerja (fisik)dan keterampilan manusia untuk menunjangberlangsungnya aktivitas ekonomi yangsedang berjalan, sehingga kebutuhan ruangekonomi produktifnya pun berbeda.

Implikasi dari aktivitas-aktivitas sektortersebut di atas terhadap struktur dan polaruang perkotaan Kota Bandung adalah :- munculnya kebutuhan ruang sebagai

ruang produksi sektor non formal yangjuga dapat merangkap sebagai ruanghunian keluarga dalam jumlah yang besar.

- munculnya kebutuhan ruang sebagaikawasan perdagangan non formal yang

108 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

jumlahnya bisa lebih besar daripadaperdagangan formal.

- dimungkinkannya terjadi pergerakanmanusia dari tempat tinggal (kawasanperumahan) ke tempat kerja kawasanindustri dan perdagangan dalam jumlahbesar. Hal ini dimungkinkan, karena adanyapenyebaran aktivitas ekonomi padabeberapa sektor di beberapa kecamatan,akan tetapi pembangunan kawasanperumahan malah menyebar terlepas secarahorizontal ke pinggiran kota.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwasecara teoritis compact city adalah kawasan intiyang padat dan mampu mewadahi lebih banyakpenduduk, agar penduduk lebih berdaya dalammenjalankan aktivitas-aktivitasnya, karenadidukung oleh sistem jaringan yang aksesibel.Struktur dan pola ruang kota yang dibangundalam compact city adalah sistem jaringandimana setiap titik mampu akses terhadap titik-titik lainnya, dan pada setiap titik yangdibangun adalah merupakan kawasan ataubangunan-bangunan vertikal yang mempunyainilai efisiensi dan fungsi ruang tinggi terhadappenggunaaan lahan dan aktivitas ekonomiperkotaan.

Aktivitas sektor formal dan non formal padasektor perdagangan, industri pengolahan danpelayanan jasa memiliki jumlah yang besar danmemiliki signifikansi yang positif dalammenyerap atau menyediakan kesempatan kerjaserta dapat dinyatakan sebagai penggerakekonomi Kota Bandung.

Keterkaitan aktivitas ekonomi perkotaandengan pembangunan perumahan susunadalah dalam hal penataan ruang untuk skalabangunan dan kawasan sepantasnya dirancanguntuk dapat mengakomodasi kebutuhan unithunian dan unit ekonomi produktif padasimpul-simpul yang melahirkan sistempergerakan yang lebih efisien dalam skalakawasan.

Hal tersebut sangat penting untuk dijadikanpertimbangan, karena selama ini pembangunan

perumahan susun yang terbangun lebihterfokus hanya untuk merumahkan orang padasatu titik lokasi yang tersedia tanpamempertimbangkan kaitannya dengan aktivitasekonomi sehari-hari yang dijalankannya,sehingga kurang mendukung aktivitas ekonomibagi penduduk yang selama ini bergerak dantinggal di kawasan perkotaan.

2. Pembangunan rumah susun sebagai faktorpendukung aktivitas ekonomi perkotaan sangatsignifikan apabila pembangunannyamemperhatikan penduduk mayoritas sepertitersebut diatas, karena dominasi penduduk KotaBandung kebanyakan bekerja pada sektor-sektor tersebut di atas, dan selayaknya tempattinggal dan tempat ekonomi produktif bagipenduduk mayoritas diakomodasi oleh kotadengan mempertimbangkan sistem pergerakanekonomi perkotaan. Hal tersebut dimaksudkanuntuk mencegah terjadinya pergerakan yangtidak efisien, tidak optimal dalam jumlah yangbesar setiap harinya, serta untuk mengurangibiaya ekonomi tinggi.

Rumah susun yang dibangun sepantasnyadirancang dengan mempertimbangkan faktor-faktor adjustment yaitu disesuaikan dengankebutuhan ruang penduduk, sehingga rumahsusun yang dibangun tidak terbatas hanyarumah susun dengan hanya satu kamar saja.Hal ini penting dipertimbangkan, karena visidasar pembangunan rumah susun seharusnyaditujukan untuk seluruh penduduk kota yangjumlahnya terus meningkat.

Selain itu, efisiensi penggunaan lahan danpenciptaan tata ruang yang aman dan sehat dapatterwujudkan bila didukung oleh seluruh pendudukkota. Penduduk pun akan dapat merasakan artidari city for all, karena perlakuan kesetaraanataupun hak-hak sebagai warga negara untukdapat tetap tinggal di kawasan perkotaan.

Lebih dari itu, pembangunan rumah susun untukwilayah Kota Bandung perlu memperhitungkankarakteristik aktivitas-aktivitas ekonomi pendudukperkotaan khas kota yang sedang berkembang,agar proses pembangunan rumah susun tidakmenghilangkan, ataupun meminggirkan secara

Pembangunan Rumah Susun …(Heni Suhaeni) 109

sistematis penduduk yang selama ini ikutberperan serta dalam aktivitas pembangunanekonomi perkotaan.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanDari hasil kajian diperoleh kesimpulan dan faktabahwa :

1. Struktur aktivitas ekonomi pendudukperkotaan Kota Bandung lebih didominasioleh sektor-sektor perdagangan, industripengolahan, terutama industri pengolahanskala rumah tangga atau sektor informalserta sektor pelayanan jasa.

Aktivitas-aktivitas ekonomi tersebutmelahirkan ribuan tenaga kerja formal daninformal yang perlu diwadahi ataudiakomodasi kebutuhan ruangnya dalam skalabangunan dan kawasan, agar kelangsunganaktivitas ekonomi masyarakat dan kotaberjalan optimal.

2. Pembangunan rumah susun sebagai faktorpendukung aktivitas ekonomi perkotaansangat signifikan apabila pembangunanrumah susun tersebut disesuaikan dengankarakteristik kebutuhan ruang untuk unithunian ataupun ruang sebagai ruangproduktif masyarakat perkotaan dalamskala bangunan ataupun kawasan.

SaranKonsep dasar pembangunan rumah susunperkotaan adalah penataan ruang kota yangmenghasilkan kualitas lingkungan perkotaan yangsehat dengan penggunaan lahan yang efisien.Oleh sebab itu, pembangunan rumah susunadalah satu-satunya pilihan, dan dalampembangunannya sangat perlumempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

Rumah susun yang dibangun dapatmemberikan beberapa pilihan ruang kepadasemua keluarga / masyarakat perkotaan

calon penghuni, contohnya satu, dua, atautiga kamar tidur. Hal ini dimaksudkan agarunit hunian rumah susun mampu mewadahikebutuhan seluruh masyarakat kota (city forall).

Perlu kajian lebih lanjut pada skalakecamatan pada lokasi yang strategis danpadat penduduk dikaitkan dengan tingkatkeswadayaan, keterjangkauan, ataukepemilikan modal ekonomi dan sosialmasyarakat, agar dapat diprediksi dandiperhitungkan bahwa penduduk awal masihtetap dapat dipertahankan dan tidakterpinggirkan.

DAFTAR PUSTAKA________, (2005), Bandung Dalam Angka 2005,

Badan Pusat Statistik Bandung.________,(2004), Statistik Perumahan dan

Permukiman 2004, Badan Pusat Statistik,Jakarta.

_________, (2008), Buku Induk StatistikPekerjaan Umum (BIS PU), SekretariatJenderal Pusat Pengolahan Data (Pusdata).

Jenks, M., Burton,. E., dan Williams, K. (2002),The Compact City, A Sustainable UrbanForm, Spon Press, London.

Keputusan Presiden (Kepres) nomor 22 tahun2006 mengenai Tim Koordinasi PercepatanPembangunan Rumah Susun.

Macharia, K. (2007). Tension Created by theFormal and Informal Use of Urban Space.The Case Of Nairobi, Kenya, Journal ofThird World Studies. http://findarticle s.com

Pacione, M. (2001), Urban Geography a GlobalPerspective, Routledge, London

Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 1988tentang Rumah Susun,

Pusat Litbang Permukiman (1999), LaporanAkhir: Kemitraan Dalam PeremajaanKawasan Kumuh Perkotaan, Pusat Penelitiandan Pengembangan Permukiman, Bandung.

110 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

INFRASTRUKTUR PECINAN YANG MUDAH DIAKSESMENDUKUNG PRINSIP PARIWISATA YANG AKSESIBEL

Oleh: Inge KomardjajaPusat Litbang Permukiman, Jl. Panyaungan, Cileunyi Wetan – Kab. Bandung 40393

E-mail: [email protected] masuk naskah: 09 Februari 2009, Tanggal disetujui: 29 Mei 2009

AbstrakPecinan mempunyai potensi besar untuk dikembangkan menjadi kawasan pariwisata yang menarik.Secara ekonomi, kawasan wisata yang direncana dan dikelola dengan baik memberikan keuntunganyang berarti bagi pemerintah setempat. Demikian pula halnya dengan pecinan yang perlu ditataberdasarkan perencanaan matang dan pelaksanaan yang cermat. Dengan berpegang pada prinsippariwisata yang aksesibel, wisatawan lokal dan mancanegara yang menyandang cacat akan tertarikuntuk mengunjungi pecinan. PBB mengatakan para penyandang cacat mempunyai hak yang samadengan mereka yang tidak cacat untuk berwisata. Penyandang cacat mempunyai keterbatasan mobilitasfisik, sehingga membutuhkan infrastruktur fisik yang mudah dan aman diakses. Dalam kenyataan,penyandang cacat tidak diberikan kesempatan yang setara untuk mengunjungi pecinan serta menikmatifasilitas dan suasana yang ditawarkan. Mereka mengalami kesulitan untuk bergerak secara mandiri,karena infrastruktur fisik kawasan pecinan tidak bebas hambatan. Penelitian ini menggunakan metodekualitatif untuk dapat mengidentifikasi problem penyandang cacat. Hasil analisis data menunjukkanmereka masih mengalami marjinalisasi karena tidak dapat menggunakan atau kesulitan mengaksesinfrastruktur disitu. Desain universal menciptakan infrastruktur yang aksesibel yang memberikankemudahan bagi semua golongan masyarakat, tanpa kecuali, seperti orang jompo, orang yang barusembuh dari penyakit berat, anak kecil yang belajar jalan atau pendorong gerobak. Pecinan yangramah-cacat (disabled-friendly) mendukung prinsip accessible tourism.

Kata Kunci : Penyandang cacat, keterbatasan mobilitas, pecinan, pariwisata, aksesibilitas

AbstractChinatown has the potential to become an attractive tourist site. From the point of economy, touristsites that are well-planned and well-managed provide significant benefits for the local government.Revitalizing Chinatown has to be done from a well-prepared planning and accurate implementation.Carrying out the principle of accessible tourism may attract local and foreign tourists who are disabled.The UN emphasizes that disabled people have the same right as the non-disabled people to visit touristsites. Disabled people have limited physical mobility and thus, are in need of accessible and safephysical infrastructures. In reality, disabled people are marginalized against the non-disabled, becausethe former does not get the opportunity to come to Chinatown and be able to enjoy the facilities andambience of the site. They experience difficulties to move around independently, because theinfrastructures are not barrier-free. This study has employed the qualitative method to identify the realproblems of disabled people. The result of the data analysis points out that they are still marginalizedagainst the non-disabled in the use of Chinatown’s infrastructures. The universal design createsaccessible infrastructures which will also facilitate other groups of the society, such as elderly people,persons recovering from a serious illness, toddlers who learn to walk, or cart pushers. Chinatown that isdisabled-friendly upholds the principle of accessible tourism.

Keywords : Disabled people, limited mobility, Chinatown, tourism, accessibility

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 111

PENDAHULUANLatar BelakangKarena Indonesia adalah anggota PBB, tulisanini diawali dengan pernyataan yang dikeluarkanoleh United Nations Convention on the Rights ofPersons with Disabilities (CRPD) tentangpariwisata. CRPD mengungkapkan secarakhusus pentingnya isu aksesibilitas fisik danprogram aksesibilitas dalam hal pariwisata untukorang yang menyandang cacat (travel, disability,law, United Nations 2008). Artikel 30 darikonvensi ini menyebutkan partisipasi dalamkehidupan budaya, rekreasi, waktu senggangdan olahraga dan menyatakan, antara lain,bahwa negara yang menjadi anggota PBB perlumendukung hak penyandang cacat untukberpartisipasi dalam kehidupan budaya atasdasar kesetaraan dengan orang yang non-cacat.Untuk itu perlu disediakan fasilitas supayapenyandang cacat dapat:- mengakses dan menikmati hal-hal yang

bersifat budaya- mengakses program televisi, film, teater

dan aktivitas budaya lainnya- mengakses tempat penyelenggaraan

kesenian dan pelayanan terkait budaya,seperti teater, museum, bioskop,perpustakaan dan pariwisata, sertamengakses monumen dan tempatpeninggalan sejarah.

CRPD juga mengatakan penyandang cacatmempunyai hak setara dengan orang yang tidakcacat untuk mengakses tempat olahraga,rekreasi dan wisata.

Pada tahun 2000-an beberapa pemerhatipenyandang cacat dan pariwisata merumuskanprinsip pariwisata yang aksesibel (accessibletourism). Pariwisata yang aksesibel merupakanupaya untuk meyakinkan bahwa tempatpariwisata, produk dan pelayanan pariwisatadapat diakses oleh semua orang denganmemerhatikan keterbatasan fisik, tingkatkecacatan dan usia (Wikipedia. AccessibleTourism).

Salah satu destinasi pariwisata yang banyakmendapat kunjungan adalah pecinan yang ada

di kota-kota besar. Di Australia, Kota Broome,memiliki pecinan yang dikenal karena mutiara,galeri dan warung kopi. Pecinan ini dikunjungibanyak wisatawan yang ditemukan di restoran,warung kopi dan toko. Contoh lain adalah NewYork, dimana pecinannya menarik banyak orangketika diadakan festival Bulan Musim Gugur.Pecinan ini merupakan komunitas Cina terbesardi belahan Barat dan terletak di kawasan palingtua di Manhattan. Pecinan ini didirikan padatahun 1870an oleh imigran Cina danmenawarkan pengalaman historis dan kulturalyang sangat unik (diambil dari Lower ManhattanDevelopment Corporation).

Menurut Greed (1999) perencanaan sosial kotaperlu memerhatikan kebutuhan kelompokminoritas dalam masyarakat, sehingga tulisan inimefokuskan pada penyandang cacat. Alasannya,karena sekarang semakin banyak penyandangcacat “berani” keluar rumah. Keberadaanmereka di ruang publik cukup signifikan untukdimasukkan kedalam perencanaan kota. Darisemua kelompok minoritas, penyandangcacatlah yang paling memerlukan perubahanlingkungan fisik menjadi bebas hambatan(Davies 1999: 77). Para penyandang cacat inimempunyai mobilitas fisik terbatas, sehinggamembutuhkan infrastruktur yang mudahdiakses. Sehubungan dengan lingkunganbinaan, yang diperlukan adalah solusi yanginklusif yang mengintegrasikan mereka kedalammasyarakat (ibid.).

Kelompok minoritas etnis yang berperan dalamperencanaan sosial kota adalah wargaketurunan Cina. Mereka berkelompok diberbagai kawasan kota, sehingga terbentuklahkawasan khusus yang disebut pecinan. DiIndonesia, sebelum Perang Dunia II, merekabermukim dan bekerja di kawasan ini. Umumnyaorang Cina suka berdagang dan usaha yangsering ditekuni adalah membuka toko. (IstijantoOei, 2008: vii). Karena di banyak negarapecinan dikembangkan menjadi kawasanpariwisata, pecinan di Indonesia jugamempunyai potensi pariwisata. Di Jakarta salahsatu pecinan adalah Glodok yang dijadikankawasan pariwisata. Direktorat Jenderal

112 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum,mendukung rencana untuk menata kembalipecinan Glodok. Untuk maksud ini, penyediaaninfrastruktur yang baik akan menambah dayatarik pecinan untuk dikunjungi. Wisatawan cacatpun bisa menikmati hal-hal yang ditawarkanoleh pecinan. Dalam tulisan ini, pecinan menjadicontoh kasus kawasan pariwisata yang kerapdidatangi wisatawan. Pecinan yang aksesibeldimaksudkan supaya orang dengan mobilitasterbatas, seperti penyandang cacat, dapatmengunjungi kawasan ini dengan mudah danaman.

Suatu studi di Inggris menunjukkan bahwa isupenyandang cacat dapat dikaitkan denganperencanaan untuk pariwisata dan aktivitasbudaya (Davies 1999: 82). Atas dasar ini, tulisanini mengulas pecinan sebagai kawasan wisatadimana penyediaan infrastruktur perlumemerhatikan mobilitas terbatas daripenyandang cacat.

PermasalahanBagi orang yang tinggal diluar pecinan, kawasanini bisa menjadi magnet karena mungkin adabangunan bersejarah, kelenteng, toko obat Cinaserta tersedianya sumberdaya sosial-budayaseperti festival dan kuliner (Davidson & Maitland1999: 209). Karena penyandang cacatmempunyai hak mendatangi pecinan,lingkungan fisik harus mudah diakses. Padakenyataan, infrastruktur yang ada tidakaksesibel karena, misalnya, trotoarnya tinggidan sempit. Atau ada satu anak tangga didepanpintu masuk toko, ram yang dibangun curam,atau tidak tersedia toilet duduk di tempatmakan.

MaksudMendapatkan strategi untuk menata kembalikawasan pecinan, sehingga bisa menjadi tempatpariwisata yang aksesibel bagi penyandangcacat.

TujuanMengembangkan gagasan agar infrastrukturpecinan, sebagai kawasan pariwisata, di kota-kota besar di Indonesia mudah diakses serta

disediakan fasilitas yang sesuai dengankebutuhan penyandang cacat. Infrastrukturyang aksesibel juga mudah digunakan oleh kuliuntuk menurunkan barang dagangan darikendaraan, penjual makanan dengan gerobak,orang yang mendorong troli, orang yangmemanggul pikulan, anak kecil dan orang yangsudah jompo.

METODE PENELITIANPertanyaan penelitian (research question) dalamtulisan ini adalah:- Mengapa pecinan merupakan kawasan yang

penting dalam perkembangan kota?- Bagaimana penyandang cacat dapat dengan

mudah mengakses pecinan yang jugamerupakan kawasan pariwisata?

Untuk mengulas pertanyaan-pertanyaan inidipakai metode kualitatif. Alasannya, penelitianini belum dilakukan, sehingga pada tahap inimasalah yang sebenarnya belum teridentifikasidengan tepat. Penelitian sosial ini berupayamenjawab pertanyaan “mengapa” dan“bagaimana” agar dapat mendeskripsikan danmengerti kelompok penyandang cacat dankebutuhannya.

Penelitian KualitatifMenurut Strauss & Corbin (1990: 17– 20)penelitian kualitatif dipakai untuk semua jenispenelitian yang hasilnya tidak diperoleh melaluiprosedur statistik atau cara kuantitatif lainnya.Penelitian kualitatif bisa merujuk kepada riwayathidup, pengalaman dan perilaku orang. Jugabisa membahas secara mendalam tentangfungsi organisasi, pergerakan sosial atauhubungan interaktif. Pengumpulan data bisadilaksanakan melalui wawancara dan observasi.Walaupun data kualitatif bisa diolah secarastatistik, tetapi pembahasan dalam tulisan inimerupakan prosedur analisis yang non-matematik. Selain observasi dan interview, studiini juga mempelajari dokumen dan buku yangrelevan dengan pecinan dan mobilitaspenyandang cacat.

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 113

Ada banyak alasan yang valid untuk melakukanpenelitian kualitatif. Salah satu alasan untukmeneliti fenomena sosial secara kualitatif adalahdengan mempelajari sifat dari problempenelitian. Penelitian tentang pengalamanseseorang, misalnya pengalaman merawatorang jompo, sebaiknya dilakukan secarakualitatif agar emosi dan pikirannya dapatdiekspresikan dengan bebas. Untuk masalahpecinan dan penyandang cacat, penelitian inimengungkapkan pengalaman penyandang cacatyang mempunyai mobilitas terbatas ketikamengunjungi dan ketika berada di kawasanpecinan yang penuh hambatan fisik. Sejauhmana kebutuhannya akan kepariwisataanpecinan yang bebas hambatan ? Metode inidipakai untuk menggali dan mengerti hal-halyang ada dibelakang suatu fenomena. Kelebihanmetode kualitatif adalah potensinya untukmenggali hal-hal kecil dari suatu fenomena yangsulit ditelusuri melalui metode kuantitatif.

Tiga komponen dasar dalam penelitian kualitatifadalah :- data, yang dapat diperoleh dari berbagai

sumber. Wawancara dan observasi adalahsumber yang paling sering dipakai

- prosedur analitis atau interpretatif. Dalamprosedur ini data diberi makna melaluipeng-kode-an dan sampel yang diperlukanbersifat non-statistik

- laporan tertulis dan penyampaian hasilsecara lisan.

Metode Kualitatif untuk PenelitianPecinan dan Penyandang CacatMetode kualitatif tidak bersifat meng-generalisasi, tapi bertujuan menggali informasimelalui “obrolan informal” antara pewawancaradan responden. Untuk itu perlu dipersiapkandaftar pertanyaan sebagai pegangan wawancarasupaya “obrolan” tadi tidak menyimpang daripertanyaan penelitian. Karena metode kualitatiftidak memakai sistem sampling seperti yangberlaku dalam metode kuantitatif, maka jumlahorang yang diwawancara untuk in-depthinterview tergantung dari kejenuhan informasiyang diperoleh (saturated information).

Diperkirakan jumlah orang yang diwawancarakurang dari sepuluh.

Data yang terkumpul akan dianalisis dengancara peng-kode-an (coding), yaitu mencarimakna dari hasil wawancara. Kode-kode ini bisamemberikan masukan tentang pengalaman danharapan kelompok penyandang cacat tentangaksesibilitas pecinan sebagai kawasanpariwisata.

Metode di LapanganStudi tentang pecinan dan penyandang cacatmerupakan penelitian yang pertama kalidilakukan. Tahap awal dari studi ini difokuskanpada identifikasi permasalahan untuk memberipengarahan pada penelitian ini. Hal ini dilakukandengan :- mengunjungi instansi pemerintah di Jakarta

dan Bandung untuk memperoleh informasiapakah ada rencana untuk menjadikanpecinan sebagai kawasan pariwisata. Jugaditanyakan apakah peraturan pemerintahmengenai penataan ruang sudahdirumuskan, serta wilayah mana saja diJakarta dan Bandung yang lazim disebutsebagai pecinan. Apakah “Pedoman TeknisFasilitas dan Aksesibilitas pada BangunanGedung dan Lingkungan” (PeraturanMenteri Pekerjaan Umum 2006) diikutidalam menyusun perencanaan danditerapkan dalam pelaksanaan di lapangan ?

- mengobservasi beberapa wilayah di Jakartadan Bandung, dimana mayoritaspenghuninya adalah warga keturunan Cina.Sebagai pegangan menentukan kawasanpecinan, dipakai karakteristik berupa toko-toko dan tempat makan Cina. Juga menilaikondisi aksesibilitas ke dan didalam pecinanserta mengamati keberadaan penyandangcacat di kawasan ini.

- mendatangi orang pribadi yang mempunyaiperhatian khusus pada isu pecinan danorang dengan mobilitas fisik terbatas.Disamping itu, menghubungi orang pribadiyang menghuni kawasan pecinan.

114 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

KAJIAN PUSTAKAKepariwisataanCiri-ciri sebuah kota ditandai oleh kondisiekonomi dan sosial yang berbeda-beda, karenapenduduknya terdiri dari berbagai golonganekonomi, kelompok etnis dan gender. Dimana-mana orang Cina mendominasi suatu kawasanuntuk dijadikan tempat tinggal dan tempatmelakukan kegiatan ekonomi. Kawasan inidikenal sebagai pecinan atau Chinatown.

Sejarah pecinan bisa dikaitkan dengankolonialisme perdagangan (mercantilecolonialism). Pada zaman dahulu bangsa Eropapergi ke negara-negara di Asia Tenggaramencari komoditas yang mempunyai nilaidagang tinggi. Umumnya, komoditas yangdipilih merupakan produk alam di negara asal,seperti rempah-rempah, sutera dan gula.Komoditas ini sering didapatkan bukan melaluiperdagangan, tetapi dengan merampas. Karenakomoditas ini dikuasai oleh masyarakat Cina,maka bangsa Eropa harus mendekati mereka.(Drakakis-Smith 2000: 35). Pariwisata jugamerupakan komoditas ekonomi yangmenguntungkan karena nilai eksotis, kebutuhanorang akan rekreasi serta kepentingan politiknegara yang menjadi tujuan pariwisata.Eksotisme membawa orang kedalam aktivitaspenjelajahan, petualangan dan penemuan baru.Tidaklah mengherankan kalau eksotismekawasan pariwisata ditampilkan dalam bentukasli (Spillane 1994: 13-15).

Jelaslah, pecinan terbentuk karena wargaketurunan Cina meraih kesuksesan dalamperdagangan mereka. Hampir di tiap negara disemua benua terdapat kelompok masyarakatCina yang menghuni dan bekerja di suatukawasan tertentu. Ciri khas pecinan ditandaidengan banyaknya penduduk yang membukatoko. Mereka menggantungkan hidup dari usahatoko dan berhasil dengan sukses dalamperdagangan (Istijanto Oei, 2008).

Perencanaan PariwisataSebuah kota bisa berkembang menjadi tempatpariwisata melalui berbagai cara. Kebanyakan

perencana memang dengan sengajamengembangkan kota menjadi tempatpariwisata karena terdorong untuk menciptakanlapangan kerja yang baru dan meningkatkankesejahteraan kota. Para usahawan danpengembang kadang dapat melihat adanyapotensi pariwisata di bagian kota tertentu demimeraih keuntungan bagi mereka sendiri. Hotel,tempat seminar, toko, restoran, pusat rekreasidan tempat hiburan pun dibangun. Padakenyataannya, fasilitas-fasilitas ini lebih banyakdipakai oleh penduduk setempat daripadawisatawan. Akhir-akhir ini muncul isu-isu globaltentang lingkungan hidup (environmentalism)dan isu berkelanjutan (sustainability). Pariwisataberkelanjutan (sustainable tourism)memperlihatkan sejajar dengan pembangunanberkelanjutan (Davidson dan Maitland 1999:208 & 210). Prinsip-prinsip pembangunanberkelanjutan masih diperdebatkan tentangpengertian dan apa yang perlu dilakukan(Goodall dan Stabler 1997 dalam Davidson danMaitland 1999: 211). Supaya pecinanberkelanjutan, hal-hal berikut ini perludiperhatikan:- potensi pariwisata untuk pembaharuan- kondisi populasi pecinan dan keterlibatan

mereka dalam perencanaan danmanajemen

- pengembangan kemitraan untuk perencanaandan manajemen pariwisata pecinan.

Perencanaan pariwisata melibatkan banyakaktor dan pelaksanaannya memerlukan beragamperaturan. Perencanaan ini memerlukankarakteristik sebagai berikut:- visi supaya pelaksanaannya tidak

menyimpang;- kemitraan: pemerintah-pemerintah, pemerintah-

swasta dan swasta-swasta;- cakupan strategi yang luas dan yang

bersifat lintas departemen;- strategi yang action-oriented, non-statutory

dan jangka waktu yang pendek;- penekanan diberikan pada kemitraan dan

project-based organizations.(Davidson dan Maitland 1999: 220).

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 115

Hierarki Kebutuhan Menurut Maslow(terkait dengan kebutuhan penyandang cacat)Maslow (1943 dalam Ross 1998: 28)mengemukakan lima tingkat dalam hierarkikebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis, rasaaman, cinta, penghargaan dan perwujudanjatidiri (self-actualization). Terkait denganpenyandang cacat, mereka pun mempunyaikebutuhan untuk menyatakan diri melaluikepuasan diri dan perwujudan jatidiri; dalam halini melalui kegiatan pariwisata. Mengapapenyandang cacat ingin melakukan perjalananwisata ? Menurut Dann (1977 dalam Ross 1998:31-32) ada dua faktor yang membuat merekamelakukan perjalanan, ialah faktor pendorongdan faktor penarik. Faktor pendorong membuatpenyandang cacat ingin bepergian, sedangkanfaktor penarik adalah faktor yang memengaruhikemana penyandang cacat akan pergi. Dannberpendapat ada dua alasan pokok yangmembuat orang ingin bepergian, yaitu anomidan peningkatan ego (ego enhancement).Karena orang hidup dalam masyarakat anomi,ada kebutuhan untuk melakukan interaksi sosialyang tidak ditemui di tempat tinggalnya. Itusebabnya ada kebutuhan untuk pergi jauh darilingkungan rumah. Peningkatan ego berasal darikebutuhan untuk diakui. Kalau di rumah,seseorang telah mempunyai posisi tertentu, ditempat pariwisata ia dapat menjadi orang lain.Ia dapat “melarikan diri” ke alam fantasi padasaat ia berlibur serta memuaskan diri denganberbagai jenis perilaku yang mungkin sulitdilakukan di rumah.

Suatu negara yang mengembangkan industripariwisata akan berhadapan dengan beragamwisatawan. Sumberdaya ekonomi dan kondisialam harus sesuai dengan keinginan dankebutuhan bermacam orang yang akanberdarmawisata. Karena tiap negara mempunyaisituasi yang unik, maka kondisi tertentu di suatunegara tidak serupa dengan kondisi negara lain(Spillane 1994: 33-34). Biasanya wisatawantertarik untuk datang ke suatu lokasi karena ciri-ciri berikut ini: keindahan alam, iklim yangnyaman, kebudayaan, sejarah, suku bangsatertentu serta aksesibilitas, yaitu kemudahan

untuk mengakses lokasi tadi (Spillane 1994: 64).Bagi penyandang cacat pencapaian yang mudahke lokasi wisata dan fasilitas yang aksesibeldidalam lokasi wisata menjadi alasan palingpokok untuk mau mengunjungi suatu lokasi.

Pecinan dan Masalah PenyandangCacatDi banyak negara, termasuk Indonesia, pecinanmempunyai daya tarik untuk dikunjungi karenabermacam alasan, tergantung dari kebutuhanpengunjung, antara lain: kuliner Cina, rempahdan obat Cina, tempat peribadatan kelentengdan festival sehubungan dengan suatuperingatan atau perayaan. Pertanyaannyaadalah “Apakah infrastruktur kawasan pecinanmemberi kemudahan mobilitas sehingga dapatdikunjungi oleh penyandang cacat ? Apakahkawasannya bebas hambatan (barrier-free)sehingga pemakai kursi roda dapat berkelilingsendiri tanpa bantuan orang (independent)?”

Disabled World (2008) menyebutkan kotaVancouver di Kanada sebagai salah satu kotayang paling aksesibel di dunia bagi wisatawanyang mempunyai keterbatasan mobilitas.Vancouver juga menjadi salah satu kota di duniayang paling culturally-diverse, karena terjadipembauran antara berbagai bangsa dankebudayaan. Kota ini memiliki Chinatown nomordua terbesar di Amerika Utara. Bagi orang yangmemakai kursi roda, yang berjalan dengantongkat putih (untuk orang tuna netra), yangberjalan dituntun anjing atau yang memakaihearing aids, maka pecinan di Vancouver adalahtempat yang nyaman dan aman. Tempat-tempatwisata dan transportasi umum mudah diakses.Bus kota berlantai rendah dan dilengkapi ramyang secara mekanis bisa diturunkan supayapemakai kursi roda bisa masuk tanpa kesulitan.Pada tahun 2008 bus terakhir yang tidak dapatdiakses oleh pemakai troli tidak difungsikan lagi.Jumlah parkir khusus ditambah dan izin parkiryang dimiliki wisatawan asing berlaku juga diVancouver. Infrastruktur yang tidakmendiskriminasi pemakai, memberikankebebasan penuh kepada wisatawan cacatuntuk jalan-jalan sendiri dan menikmati

116 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Vancouver. Karena kota ini sangat ramah-cacat,pecinannya mendukung prinsip pariwisata yangaksesibel.

HASIL DAN PEMBAHASANPecinan di Jakarta dan BandungSurvei telah dilaksanakan di Jakarta danBandung. Berdasarkan kajian pustaka dankompilasi data, isu pecinan tidak hanyamenyangkut soal pelestarian kebudayaan Cina,tapi juga merupakan bagian dari perencanaandan pengembangan kota. Sejauh mana peranpecinan di sebuah kota, tergantung dari sejarahterbentuknya kawasan ini dan kontribusi yangdiberikan kepada perekonomian danpengembangan kota itu. Karena yangdiutamakan adalah perekonomian kota, sejakawal pecinan memang tidak direncanakanmenjadi kawasan yang mudah diakses olehpenyandang cacat.

Di Jakarta, Glodok-Pancoran menjadi bagian dariKota Tua DKI Jakarta yang telah ditata kembalimenjadi kawasan yang banyak dikunjungiorang. Bagi orang yang tidak menyandang cacatbadan, pencapaian ke Jalan Pancoran mudah.Dengan berdirinya puluhan toko obat tradisionalCina, jalan ini menjadi wisata pengobatan atauwisata belanja obat Cina. Banyak toko obatdimiliki secara turun temurun, bahkan ada yangmemiliki toko obat lebih dari empat generasi.Ditambah lagi dengan sejumlah tempat makankhas Cina, Glodok-Pancoran dapat menyebutkandiri sebagai kawasan wisata. Faktor yangmendukung pembentukan pecinan adalahbahwa kota yang letaknya dekat laut berpotensibesar mempunyai pecinan yang terusberkembang. Demikian pula dengan DKI Jakartayang mengembangkan pecinan menjadikawasan wisata belanja obat Cina dan kuliner.Saat ini pecinan ini tidak dapat atau sulit diaksesoleh orang yang mempunyai keterbatasandalam mobilitas.

Di Bandung, kurang ada faktor-faktorpendukung yang mengembangkan pecinanmenjadi industri pariwisata. Walaupun terdapatbeberapa kawasan yang mayoritas penghuni

adalah masyarakat keturunan Cina yangmenjalankan bisnis dengan sukses, namun tidaksampai menarik wisatawan untuk sengajamengunjungi pecinan. Berbeda dengan pecinanGlodok-Pancoran yang pada tahun 1980andidatangi sejumlah artis Hong Kong yangmenjadi pelanggan pelbagai restoran. Daya tarikseperti ini belum kelihatan di pecinan Bandung.Orang mendatangi pecinan karena suatukeperluan, bukan karena ingin menikmati hal-halyang ditawarkan oleh pecinan. Potensi Bandungkearah pariwisata ada, sekurangnya kuliner,mengingat bahwa makanan dan kudapan khasCina selalu diminati orang. Di kawasan denganmayoritas Cina juga terdapat beberapa tokoobat tradisional Cina, walaupun tidak sebanyakseperti di Glodok-Pancoran. Pemerintah kotaperlu membuat perencanaan untukmerevitalisasi pecinan menjadi aksesibel.Penelitian yang in-depth perlu dilakukan agardapat memberikan masukan dan umpan balikkepada pengambil keputusan dan pembangununtuk menginklusikan lingkungan yang bebashambatan kedalam perencanaan.

Penyandang Cacat dan Desain BebasHambatanBagian ini menerangkan mengapa penyandangcacat memerlukan desain bebas hambatan. Darisemua jenis kecacatan, penyandang cacattunadaksa (cacat pada kaki dan/ atau lengan)yang paling serius mengalami hambatanmobilitas. Kelompok tunadaksa dibagi dua sub-kelompok, yaitu: (lihat UNESCAP 1995: 10-11)(i) penyandang cacat ambulan. Mereka bisa

jalan tanpa atau dengan alat bantu, sepertitongkat, penyangga badan, brace atauwalking frame. Kadang mereka memerlukanbantuan orang untuk mobilitas.

(ii) pemakai kursi roda. Mereka tidak bisa jalandan kadang memerlukan bantuan orang.Untuk mobilitas, mereka tergantung padakursi roda. Karena itu, merekamembutuhkan lingkungan binaan yangdilengkapi ram; lif; pegangan tangan; ruangtoilet yang lebih luas; petunjuk yang jelas;jalan setapak, pintu dan selasar yang lebar.Fitur-fitur ini membuat pemakai kursi roda

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 117

mudah memasuki bangunan dan lingkunganeksternal.

Dalam hal sirkulasi, pergerakan kursi rodadipandang paling kritis. Penyandang cacatambulan, orang tunagrahita, orang tunanetradan orang tunarungu tidak memerlukan ruangseluas seperti yang dibutuhkan orang untukmemanuver kursi roda (UNESCAP 1995: 11).

Gedung, jalan, trotoar, transpor publik dansistem komunikasi merupakan komponen darilingkungan binaan. Barrier yang terdapat dalamkomponen ini menghambat mobilitaspenyandang cacat (UNESCAP 1999: 3). Prosesperencanaan, pembangunan dan perancanganjarang dianalisis sebagai dasar pengembanganstrategi yang baru. Biasanya proses dilakukansemata-mata sebagai masalah teknis. Bilaperencanaan dan perancangan fisik sertapenyediaan infrastruktur dan transpor umumdipahami sebagai kegiatan politis, besarkemungkinan untuk mencapai inti permasalahan.Sesungguhnya, hasil perencanaan lingkunganyang positif merupakan konsekuensi daribeberapa faktor yang menciptakan masyarakatyang mempunyai perhatian pada kebutuhanorang (a caring society). Masyarakat yangdemikian mengakui adanya: hak asasi manusia,proses administratif yang kompleks yangmelibatkan banyak orang dan organisasi, dankesadaran untuk memelihara fasilitas setiaphari. Dalam hal ini sikap terhadap penyandangcacat dan orang jompo serta integrasi sosialmerupakan faktor-faktor penting (UNESCAP1995: 1).

Lingkungan binaan merupakan suatu kontinuitasdari ruang. Desain bebas hambatan berartimemberikan kepada pemakai kemungkinanuntuk menggunakan ruang dalam proseskontinuitas, yaitu mampu berjalan atau bergeraktanpa hambatan. Akan tetapi, hak untukmenggunakan ruang, atau disebut jugaaksesibilitas, dihambat bukan saja oleh barrierfisik, tapi juga oleh aturan budaya, sosial danekonomi yang kompleks (ibid.). Misalnya,tangga yang tidak dilengkapi pegangan tangan

pada kedua sisi membuat orang tunadaksa tidakbisa masuk sebuah gedung.

Sikap Masyarakat Harus BerubahKarena penyandang cacat dan orang jompomembentuk sektor populasi yang cukup besar,pembangun jangan membuat perencanaan yangmemisahkan antara orang yang menyandangcacat dan orang yang tidak menyandang cacat.Pendekatan seperti “merencanakan lingkunganuntuk penyandang cacat” harus ditinggalkan,karena pendekatan seperti ini akanmenghasilkan ram yang tidak direncanakansejak awal tapi kemudian “terpaksa” dibangundekat sebuah tangga. Bisa jadi menghasilkanram yang tidak landai. Penyandang cacatmenghendaki solusi desain yang inklusif yangmengintegrasilan kebutuhan fisik mereka ketikapembangun sedang dalam tahap perancangan.Perlakuan seperti ini menghasilkan lingkunganbinaan yang lebih baik, tidak saja bagi parapenyandang cacat tapi untuk semua kelompokmasyarakat tanpa kecuali (Davies 1999:74-75).

Penyandang cacat tidak bisa lagi dinilai sebagaimodel dengan masalah penyakit atau model“mengasihani mereka”. Kira-kira satu dekadeyang lalu, berkembang prinsip “model sosial darikecacatan” (social model of disability). Denganmodel sosial ini, sikap masyarakat harusberubah dari yang tadinya memandangpenyandang cacat sebagai orang sakit dan patutdikasihani menjadi orang yang mempunyai hakasasi manusia. Dengan pergeseran nilai sepertiini, maka faktor yang membuat mereka tidakbisa mengakses lingkungan binaan bukandisebabkan kecacatannya melainkan barrier fisikyang telah dibangun. Seorang penyandang cacatdapat mengatakan “Saya tidak bisa kuliah diperguruan tinggi ini, karena ada tangga yangmencegah saya masuk gedung ini”. Jadi, paraprofesional mempunyai peran besar dalammembangun lingkungan binaan yang aksesibel.Semua orang harus dapat mengakses bangunantanpa kesulitan dan tanpa bantuan, sepertiorang “normal” mengakses bangunan. “Sebuahram harus dengan sendirinya disediakan danbukan sesuatu yang harus dimohon supaya

118 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

dibangun” (Imrie 1996 dalam Davies 1999: 76,terjemahan bebas) (Davies 1999:75-76).

Pecinan yang AksesibelDavies (1999:82) menyatakan dengan jelasbahwa “kecacatan” dapat dikaitkan denganpariwisata dan aktivitas seni. Para pembangunKota Swindon, Inggris, berhasil menatakembali sebuah museum kereta api sehinggasangat mudah diakses oleh siapa pun, didalamgedung maupun di lingkungan luarnya. Hal inipun bisa dilaksanakan di pecinan yang menjadikawasan pariwisata. Dalam proses penataankembali dan pembangunan, diselenggarakanbanyak pertemuan antara kelompokpenyandang cacat dan para pembangunsetempat. Kelompok penyandang cacatbertahan pada prinsip aksesibilitas danmenolak proposal yang tidak mendukung aksesdan integrasi mereka di masyarakat. Sejakawal perencanaan, mereka berperan sebagaipenasehat bagi pembangun. Hasilnya, tidaksaja museum mudah diakses, tapi jugagedung-gedung lain yang akan dibangunmenginklusikan syarat-syarat aksesibilitas.Tempat parkir penyandang cacat ditempatkandekat pintu masuk yang ada ram; pintu masukdibuat ekstra lebar dan bisa dibuka otomatisbila pemakai kursi roda menekan suatu tombol.Sebagai hasil kerjasama antara pemakai danpara profesional, opini dan usulan pemakaidipertimbangkan untuk kemudian dilaksanakan.Kerjasama seperti ini sangat penting, karenaada desain tertentu yang hanya disadaripemakai sebagai hambatan, tapi tidakterpikirkan tingkat kesulitannya olehpembangun (Davies 1999: 82-84). Prosesseperti ini patut diikuti dan disesuaikan untukmengubah lingkungan fisik pecinan menjadiaksesibel.

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanSurvei yang telah dilakukan di Jakarta danBandung menunjukkan adanya perbedaan yangsignifikan terhadap keberadaan pecinansebagai kawasan pariwisata. Memang, pecinan

di kota pantai lebih cepat berkembang danmudah diidentifikasi, karena lokasinyamerupakan tempat yang mula-mula ditempatioleh masyarakat Cina yang datang dari negaraasalnya. Dengan jiwa berdagang yang melekatpada warga Cina, lokasi awal yang ditempatitentunya akan mengalami perkembangan. Lamakelamaan terbentuklah suatu pecinan yangsecara fisik mudah dikenal. Tidak demikiandengan Kota Bandung yang terletak dipegunungan. Apa pun latar belakangterbentuknya pecinan, infrastruktur kawasan inidinilai tidak dapat diakses oleh penyandangcacat.

Definisi tentang “pecinan” tidak dirumuskandengan suatu kepastian. Namun, dari penelitianini diambil kesimpulan bahwa suatu kawasandisebut pecinan apabila kawasan itu mempunyaikarakteristik sebagai berikut:- kawasan didominasi oleh warga keturunan

Cina- adanya aktivitas bisnis- adanya perayaan dan upacara tradisional

Cina.

Secara umum, pecinan adalah kawasanperdagangan dan tempat makan yangmempunyai daya tarik bagi penduduk lokal danpara wisatawan untuk memenuhi berbagaikeperluan, dari kebutuhan sehari-hari hinggasekedar melihat-lihat dan makan-makan. Karenaatraktif, pecinan perlu menghapuskandiskriminasi fisik terhadap semua pengunjung,lebih-lebih karena pecinan adalah kawasanpariwisata. Tidak hanya orang non-cacat yangdiperkenankan datang, tetapi juga mereka yangmengalami hambatan mobilitas berhak datang.Secara tidak langsung, lingkungan yang penuhbarrier menolak kedatangan penyandang cacat.Menjadi cacat fisik atau cacat mental bukanpilihan seseorang. Orang yang sehat dan lincah,tiba-tiba bisa jatuh dari tangga dan mengalamikelumpuhan pada kedua kakinya. Akibatnya, iaharus memakai kursi roda seumur hidup. Itusebabnya, penyediaan infrastruktur yang amandan mudah dipakai harus secara otomatis di-implementasikan ketika membangun lingkunganbinaan.

Infrastruktur Pecinan …(Inge K.) 119

SaranUntuk mengembangkan pecinan menjadikawasan pariwisata, ada empat hal yang perludilakukan, yaitu menyusun masterplan,mengadakan sosialisasi, menyediakaninfrastruktur dan mengembangkan pecinan(Kompas, 2008).- Masterplan diperlukan supaya arah

revitalisasi dan aksesibilitas pecinan jelas.- Sosialisasi diberikan kepada masyarakat

supaya memahami dan menyadaripentingnya penataan kembali pecinan.Penting pula membangkitkan kesadaranpublik bahwa penyandang cacat harusdiperlakukan setara dengan warga lain.Kalau tidak ada sosialisasi, masyarakat tidakbisa mendukung dan membantukesuksesan revitalisasi dan aksesibilitas.Misalnya, penghuni sebuah rumahmengambil inisiatif menjaga rumahnya,yang merupakan bangunan tua, denganmemperbaiki rumahnya setiap tahun. Ataskesadaran sendiri, ia menyediakan biayaperbaikan rumah.

- Infrastruktur perlu difasilitasi olehpemerintah dengan membangun jalan,jaringan listrik, telepon, saluran air bersih.Karena penyandang cacat mempunyaikebutuhan khusus, perlu disediakan fasilitasram, pegangan tangan pada kedua sisitangga dan toilet umum yang luas agar bisadigunakan oleh pemakai kursi roda danorang yang berjalan dengan tongkatpenyangga (kruk). Bila pembangunmengabaikan Peraturan Menteri PekerjaanUmum 2006 tentang “Pedoman TeknisFasilitas dan Aksesibilitas pada BangunanGedung dan Lingkungan”, maka perlu adasanksi berat. Untuk mengembangkanpecinan menjadi menarik, perlu adaaktivitas masa kini, seperti membuka jasapenginapan, tempat makan, kafe danpertokoan.

- Pengembangan berbagai faktor pecinansecara serentak, termasuk sosial danbudaya, merupakan kunci untukmenghidupkan pecinan sebagai tempatwisata.

- Pemangku kepentingan (stakeholders)diajak berdialog merumuskan konsep.

Penerapan desain universal sangat tepat di-implementasikan di pecinan. Desain ini bukanmerupakan desain untuk penyandang cacatsaja, melainkan semua orang, tanpa kecuali.Orang harus dapat menggunakannya tanpa iamerasa dirinya “aneh” dimasyarakat umum.Peniadaan barrier menguntungkan bermacamkelompok sosial supaya mereka mempunyaikebebasan bergerak di lingkungan fisik denganaman. Ram yang landai didepan pintu masukhotel tidak saja digunakan wisatawan yangmemakai kursi roda, tapi juga tamu yangmembawa koper. Pecinan yang mudah diaksestentunya mendukung prinsip pariwisata yangaksesibel.

DAFTAR PUSTAKAAccessible Tourism. Wikipedia, the Free

Encyclopedia. Internet dibuka 24 Maret2009

Davidson, R. dan R. Maitland. 1999. “Planningfor Tourism in Town and Cities”. DalamGreed, C. H. (Ed) Social Town Planning,London and New York: Routledge, hal. 208-220

Davies, L. 1999. “Planning for Disability: Barrier-Free Living”. Di Greed, C. H. (Ed) SocialTown Planning, London and New York:Routledge, hal. 74-89

Disabled World. 2008, December 12. A Disabilityand Seniors Information Community.Internet dibuka 29 Januari 2009

Drakakis-Smith, D. 2000. Third World Cities –second edition, London and New York:Routledge

Greed, C. H. (Ed). 1999. Social Town Planning,London and New York: Routledge

Istijanto Oei. 2008. Rahasia Sukses TokoTionghoa, Jakarta: Penerbit PT GramediaPustaka Utama

Kompas. 2008, 16 September. Sejarah Kota –Menanti Senyum Ratu dari Timur …, hal. 14

Puslitbang Permukiman, Departemen PekerjaanUmum, Kab. Bandung. Laporan Akhir

120 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Kegiatan Inovasi 2008 Pecinan di Bandungsebagai Potensi untuk Industri Pariwisata

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor30/PRT/M/2006, 1 Desember 2006 tentangPedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitaspada Bangunan Gedung dan Lingkungan,Jakarta: Direktorat Penataan Bangunan danLingkunan, Direktorat Jenderal Cipta Karya

Ross, G. F.; penerjemah Marianto Samosir.1998. Psikologi Pariwisata, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

Travel, disability, law, United Nations. 2008, 21Maret. Sumbernya : http://blogs.bootsnall.com/Scott+Rains/tourism-in-the-united-nations-convention-on-the-rights-of-persons-with-disabilities-crpd.html. Internetdibuka 26 Mei 2009

UNESCAP (United Nations Economic and SocialCommission for Asia and the Pacific). 1999.Promotion of Non-Handicapping PhysicalEnvironments for Disabled Persons: pilotprojects in three cities, New York: UnitedNations

Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.) 121

KOMPARASI NILAI PARTIAL-OTTV PADA EAST-WALLBERBASIS U-VALUE= 2,6 DENGAN U-VALUE= 1,6

Oleh: Wied Wiwoho WinaktoeDepartemen Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia

Kampus Universitas Indonesia Depok 16424, E-mail: [email protected] masuk naskah: 09 Februari 2009, Tanggal disetujui: 07 April 2009

AbstrakSecara teoritik, dinding-Timur (obyek simulasi) iklim tropika-lembab dipersyaratkan untuk memiliki nilaiu-value = 2,0 yang sebenarnya sulit tercapai karena struktur dinding yang popular (plester-bata-plester)cenderung memiliki u-value = 2,6. Peningkatan kuantitas u-value tersebut terkait dengan penurunankuantitas resistance value (R) melalui hubungan 1/R = u-value; hal ini berarti bahwa nilai-resistensidinding akan (selalu) sulit menahan laju transfer-panas (OTTV-partial). Riset ini ditujukan untukmendefinisikan dampak u-value > 2,0 (yakni 2,6) atau u-value < 2,0 (yakni 1,6) terhadap OTTV-partial,kasus dinding-Timur bangunan gedung. Prosedur riset mencakup sejumlah tahapan, yakni: (a) modeldinding-Timur yang bernilai u-value >2 (yakni 2,6) dan WWR = 0,40 diformulasi lalu divisualisasikanmenggunakan Ecotect v5.50; (b) model dinding-Timur yang bernilai u-value < 2 (yakni 1,6) dan WWR= 0,40 diformulasi lalu divisualisasikan menggunakan Ecotect v5.50, (c) dinding-Timur dengan u-value=2,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTV menghasilkan nilai 21,28 W/m2, (d)dinding-Timur dengan u-value=1,6 menjadi input dalam OTTV ver 1; kalkulasi partial OTTVmenghasilkan nilai 12,95 W/m2. Konklusi: U-value < 2 menghasilkan partial OTTV lebih kecil ketimbangu-value > 2; oleh karena itu struktur ber-u-value < 2 menerima transfer-panas parsial jauh lebih kecilkarena memiliki resistensi panas yang jauh lebih besar

Kata-kunci : Termal, transmitansi, u-value, dinding, OTTV

AbstractTheoretically, East-wall (object of simulation) in hot-humid climate was required to had u-value of 2,0which was difficult to obtain since the structure of popular wall (plaster-brick-plaster) would reach u-value of 2,6. The increasing quantity of u-value denoted the decreasing quantity of resistance value (R)since 1/R = u-value meanwhile the consequence of the increasing u-value towards heat-transmittancevalue is interesting to find because u-value contributes to overall thermal transmittance value (OTTV). Itwas therefore this research was directed to find the impact of either u-value > 2,0 (i.e. 2,6) or u-value< 2,0 (i.e. 1,6) towards the OTTV at East-wall.Procedures involved certain steps: (a) modelling East-wall with u-value of 2,6; (b) modelling East-wallwith u-value of 1,6; (c) put u-value of 2,6 into partial OTTV calculation using software of OTTV v1; (d)put u-value of 1,6 into partial OTTV calculation using software of OTTV v1.Results are (1) u-value of 2,6 produces partial OTTV of 21,28 W/m2 and (2) u-value of 1,6 producedpartial OTTV of 12,95 W/m2. These come up with the conclusions that (1) u-value < 2,0 tends toproduce smaller partial OTTV compared to u-value > 2,0 and (2) the smaller u-value being created thenthe smaller heat-transmittance will be at the partial OTTV of East-wall.

Keywords : Thermal, transmittance, u-value, wall, OTTV

122 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

INTRODUKSIIklim Tropika-LembabIndonesia terdeskripsi sebagai region beriklimtropika lembab yang bercirikan radiasi tinggi(>900 W/m2) (Olgyay 1963:175) namunvelositas angin yang tak stabil di pusat kota ( 0m/det atau >30 m/det) (Satwiko, et al, 2000).

Tropika lembab merupakan iklim yang tersulituntuk ditangani dari sudut desain termal; variasidiurnal sering mencapai 5-7 deg C, bahkankurang dari nilai tersebut. Hal terbaik yangdapat dicapai oleh desainer ialah memastikanbahwa kondisi indoor tak lebih buruk daripadakondisi outdoor yang menerima peneduhan(Szokolay 1980:334). Pada tropika lembab 68%beban termal berada di atas ambang thermalcomfort; overheated period terjadi pada 9.00-15.00 saat global irradiance mencapai 800wh/m2 (Santosa, 2000).

Partial OTTVOTTV merupakan prosedur standar mengenaikonservasi energi yang menetapkan bahwapanas yang memasuki suatu selubung bangunanharus bernilai ≤ 45 W/m2. Perihal konservasienergi maka tema ini merupakan standar yangmesti dipenuhi dalam praktik jasa-konstruksidan desain bangunan gedung (Anonim 1998);ketentuan yang sama sebenarnya telahditunjukkan oleh sejumlah referensi dalam duniapraktik profesi Arsitek Amerika, misal referensitentang analisis ekonomi energi(Anonim 1982a),HVAC, teknik evaluasi energi bangunan, energidan rekayasa tapak(Anonim 1982d), atauanalisis energi (Watson, 1993).

Ketetapan mengenai OTTV telah wajibditerapkan sejak 1993 (Anonim 1993);selanjutnya standar ini disempurnakan padatahun 2000 (Anonim 2000) yang kianmengukuhkan peran vital prosedur ini dalampraktik rancang-bangun. Ekuasi OTTV yangpaling mutakhir memuat sejumlah variabel yangnilai-nilainya dapat diperoleh melalui tetapantertentu (default) maupun kalkulasi sesuaikondisi tertentu (customize).

Partial OTTV (OTTVi) merupakan kalkulasi OTTVpada façade tertentu yang menjadi inputlanjutan dalam total OTTV (kalkulasi OTTV padaseluruh selubung). Rumus partial OTTV yakni:

OTTVi = [(Uw x (1-WWR)] x TDek + (SC xWWR x SF) + (Uf x WWR x T)

Nomenklatur = absorbtansi radiasi matahari

Uw = transmitansi termal dinding taktembus cahaya (Watt/m2.K).Nilai Uw didapatkan dari rumusUw=1/Rtotal (resistivitas). Nilai Rtotal

didapatkan dari jumlah R, R=t/k.Dimana t adalah tebal bahan dan kadalah konduktivitas. Nilai t dan kberdasarkan jenis lapisan luardinding yang dipakai.

WWR = perbandingan luas jendela denganluas seluruh dinding luar padaorientasi yang ditentukan.

WWR=luas jendela/luas dinding taktembus cahaya.

TDEk = beda temperatur ekuivalen (K).

SC = koefisien peneduh dari sistemfenetrasi.

Mempunyai nilai tetap SC=0,5.

SF = faktor radiasi matahari (W/m2)

Uf = transmitansi termal fenestrasi(W/m2.K).

Nilainya didapatkan dengan metodeperhitungan yang sama dengan Uw.

T = beda temperatur perencanaanantara bagian luar dan bagiandalam.

T = 5 deg C.

U-value merupakan salah satu input yang palingmembutuhkan rutinitas dalam kalkulasi OTTVi;memahami kecenderungan implikatif dari u-value terhadap OTTVi pada fase pra-kalkulasimaupun pada fase penentuan strategi

Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.) 123

pengendalian nilai OTTV akan sangat membantudesainer agar sejak awal merancang komponendinding yang mampu mereduksi nilaiperpindahan panas.

Software OTTV ver1Prosedur kalkulasi partial OTTV maupun totalOTTV sangat menguras energi dan waktu;pada sisi lain, pengabaian terhadapnya takkanmembawa manfaat apapun karena OTTVmerupakan sarana konservasi energi padabangunan gedung, bahkan di sejumlah negaraASEAN, OTTV menjadi persyaratan wajib untukmemperoleh Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

Berdasar hal tersebut software OTTV ver 1(Winaktoe, 2008) diformulasi gunameningkatkan kapabilitas desainer perihalpemetaan nilai perpindahan-panas danmenemukan lokus serta variabel yangberpotensi sebagai solusi problem OTTV.

TEORIKeseluruhan bangunan sebaiknya berbobotringan guna mempermudah pendinginan saatmalam, yakni pada waktu suhu-tinggi sangatsulit ditoleransi ketimbang pada waktu sianghari. Dinding Timur dan Barat sebaiknya (a)tak memuat jendela guna mempersulitpenetrasi radiasi dari altitude-rendah matahari,(b) memiliki permukaan reflektif, (c) insulasiresistif (Szokolay 1980:334).

Pada iklim yang memiliki rentang suhu-tinggi,dinding eksternal sebaiknya menyertakankalkulasi time lag guna memoderasi suhuinternal (Evans 1980:101). Demi respon yangcepat serta kapasitas penyimpanan-panas yangrendah maka ketebalan dinding homogensebaiknya < 100mm (lebih diprioritaskan bilabernilai < 75mm meski terdapat kesulitanpenerapannya). (Evans 1980:101)

Pada tropika-lembab, konstruksi dinding yangringan pula tipis akan sangat ideal biladipergunakan pada ruang tidur karenapendinginan secara cepat dibutuhkan saatmalam (Givoni, 1998:397). Pada ruang yangdimanfaatkan siang hari maka kemampuan

penyimpanan-panas yang tinggi akan menjadifaktor yang menguntungkan karena ia akanmeredukasi peningkatan suhu udara internal.Pada ruang yang dimanfaatkan saat siang, sore,dan malam (misal: ruang keluarga, dapur, serbaguna) maka dinding internal yang ringansangatlah diprioritaskan sebagai pilihan. (Evans1980:102)

Tabel 1 .Properti Termal Dindingdi Iklim Tropika Lembab

Element, Climate andCondition

‘U’Value q/l Time

lag

West wall 2.0 3.0 0-5

East, south and northwalls 2.0 4.0 0-5

Walls shaded from directsolar radiation 2.8 - 0-14

(Sumber: EVANS 1980: 98)

ARAH DAN TUJUAN RISETTabel 1 menunjukkan bahwa East wall (obyeksimulasi; Lihat sub bab Obyek Riset)dipersyaratkan untuk memiliki u-value = 2,0;nilai tersebut sulit dipenuhi secara konvensionalkarena struktur-dinding yang populer (plester-bata-plester) cenderung memiliki u-value= 2,6(Gbr 2). Informasi dari peningkatan nilai u-valuehanya mendeskripsikan bahwa nilai resistensipanas (R) kian mengecil (1/R = u-value)sedangkan konsekuensi dari peningkatan u-value terhadap perpindahan panas belumlahdiketahui. Oleh karena itu riset ini diarahkanuntuk mengetahui konsekuensi u-value > 2(yakni 2,6) dan u-value < 2 (yakni 1,6) terhadapperpindahan panas pada dinding tersebut, yaknipartial OTTV.

METODE RISETObyek RisetModel simulasi merupakan East-wall yangberada pada sembarang ruang (dummy) dalamkonteks latitude 7 LS; posisi matahari pada jam10.00 W.I.B., Maret. (Gbr 1)

124 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Alat SimulasiDeskripsi mengenai struktur material East-walldivisualisasikan menggunakan software Ecotectv.5.50; sedangkan untuk menghitung U-valueEast-wall serta partial OTTV makadipergunakanlah software OTTV ver 1 (2008).

Prosedur(a). Model East-wall yang bernilai U-value >2

(yakni 2,6) diformulasi lalu divisualisasikanmenggunakan Ecotect v5.50. (Gbr 2);nilai WWR = 0,40

(b). Model East-wall yang bernilai U-value < 2 (yakni 1,6) diformulasi laludivisualisasikan menggunakan Ecotectv5.50. (Gbr 4); nilai WWR = 0,40

(c). East-Wall dengan u-value=2,6 menjadiinput dalam OTTV ver 1; kalkulasi partialOTTV menghasilkan nilai 21,28 W/m2. (Gbr3)

(d). East-Wall dengan u-value=1,6 menjadiinput dalam OTTV ver 1; kalkulasi partialOTTV menghasilkan nilai 12,95 W/m2. (Gbr6)

Gbr 1. Konteks Klimatik East-Wall(Sumber: Ecotect v.5.50)

Gbr 2. Struktur East-Wall, U-Value= 2,6(Sumber: Penulis menggunakan

Ecotect v.5.50, 2008)

Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.) 125

Gbr 3. Kalkulasi U-Value= 2,6 untukPartial OTTV

(Sumber: Penulis menggunakanOTTV v.1, 2008)

Gbr 4. Struktur East-Wall, U-Value= 1,6(Sumber: Penulis menggunakan

Ecotect v.5.50, 2008)

Gbr 6. Kalkulasi U-Value= 1,6 untukPartial OTTV

(Sumber: Penulis menggunakanOTTV v.1, 2008)

HASIL DAN DISKUSISimulasi menggunakan OTTV ver 1menunjukkan bahwa u-value 2,6 Watt/m2Kmenghasilkan partial OTTV pada facade Eastsebesar 21,28 W/m2; pada sisi lain u-value 1,6Watt/m2K menghasilkan partial OTTV padafacade East sebesar 12,95 W/m2 .

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada u-value< 2 (standar u-value untuk East-wall; lihat Tabel1), yakni 1,6 maka transfer-panas parsial lebihkecil daripada transfer-panas parsial pada u-value > 2, yakni u-value = 2,6. Oleh karena itupenggunakan struktur pada gambar 4 yangmenyertakan insulasi fibre pra-cetak (Gbr 4)dapat dikatakan menerima panas lebih kecilketimbang struktur konvensional tanpa insulasi(Gbr 2).

126 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Hasil-hasil ini selaras dengan hubungankasualistik yang diperlihatkan oleh ekuasi OTTVi,yakni bahwa u-value berbanding lurus denganpartial OTTV. Berdasar algoritma yangdibangun dalam kalkulasi u-value dapat dinalarbahwa semakin besar nilai u-value makasemakin kecil nilai resistensi panas suatukomponen (R); pada kasus nilai u-value 1,6 (R= 0,60) – 2,6 (R = 0,39) maka dapat dinyatakanbahwa struktur pada gambar 4 yangmenyertakan insulasi fibre pra-cetak (Gbr 4)lebih mampu menahan panas ketimbangstruktur konvensional tanpa insulasi (Gbr 2).

KONKLUSIU-value < 2 menghasilkan partial OTTV lebihkecil ketimbang u-value > 2; oleh karena itustruktur ber-u-value < 2 menerima transfer-panas parsial jauh lebih kecil karena memilikiresistensi panas yang jauh lebih besar.

Gbr 7. U-Value= 2,6OTTV Partial = 21,28 W/m2

(Sumber: Penulis menggunakanOTTV v.1, 2008)

Gbr 8. U-Value= 1,6OTTV Partial = 12,95 W/m2

(Sumber: Penulis menggunakanOTTV v.1, 2008)

PERSANTUNANPenulis mengucapkan terimakasih kepada (1)Euis Marlina yang telah membantumengembangkan proposal OTTV, (2) RadityaJati, S. Si., M. Si. yang menularkan ide tentangDecision Support System, (3) Abdul Aziz,S. T. yang berbagi informasi tentang geneticalgorithm, dan (4) Agus Haryadi, S.T. yang telahberkenan berbagi informasi tentang softwareteknologi bangunan.

DAFTAR PUSTAKAAnonim. 1992. Pedoman Tata Cara Perancangan

Konservasi Energi pada Bangunan Gedung.Bandung: Departemen Pekerjaan Umum,Badan Penelitian dan PengembanganPermukiman.

Anonim. 1993. SK SNI T-14-1993-03 tentangTata Cara Perencanaan Teknis KonservasiEnergi pada Bangunan Gedung. Bandung:Yayasan LPMB, Departemen PekerjaanUmum.

Anonim. 1998. Keputusan Menteri PekerjaanUmum Republik Indonesia, Nomor:441/KPTS/1998 tentang Persyaratan TeknisBangunan Gedung. Jakarta: Penerbit PU.

Anonim. 2000. SNI 03-6389-2000 tentangKonservasi Energi pada Bangunan Gedung.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Baruch Givoni. 1998. Climate Considerations InBuilding and Urban Design. New York: VanNostrand Reinhold.

Donald Watson. 1993. The Energy DesignHandbook. Washington: The AmericanInstitute of Architects Press.

Martin Evans. 1980. Housing, Climate, andComfort. London: The Architectural PressLimited.

Mas Santosa, 18 November 2000. ArsitekturSurya, Sebuah Fenomena Spesifik untukDaerah Tropis Lembab. Surabaya: U.K.Petra.

Prasasto Satwiko, Soesilo Budi Leksono, O.Th.Kristantoro. 2000/2001. Proposal CollaborativeResearch Grant Program: PengembanganSistem Ventilasi Atap Tenaga Angin dan Surya(SIVATAS). Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Komparasi Nilai Partial … (Wied Wiwoho W.) 127

S.V. Szokolay. 1980. Environmental ScienceHandbook for Architects and Builders.England: The Construction Press Ltd.

Victor Olgyay. 1963. Design with Climate. USA:Princeton University Press.

Wied Wiwoho Winaktoe. 2008. Laporan AkhirPenelitian Regular: Model KomputasionalOverall Thermal Transmittance Value(OTTV). Surakarta: Lembaga Penelitian danPengabdian Masyarakat, UMS.

128 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

METODE ANALISA DATA VARIABEL SOSIAL BIDANG PERMUKIMAN

Oleh: Yulinda RosaPusat Litbang Permukiman, Jl. Panyawungan Cileunyi Wetan - Kab. Bandung 40393

E-mail: [email protected] masuk naskah: 03 Maret 2009, Tanggal disetujui : 19 Juni 2009

AbstrakPembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan adalah suatu konsep pembangunandengan mempertimbangkan tiga pilar yaitu: ekonomi, sosial dan lingkungan. Analisa sosial merupakanhal yang penting dilakukan untuk mendapatkan pembangunan perumahan dan permukiman yangberkelanjutan. Terdapat dua metode analisa data secara statistik yaitu deskriptif dan induktif. Metodeanalisa deskriptif merupakan tahap awal untuk melakukan analisa induktif. Hasil analisa deskriptifmemberikan gambaran untuk sejumlah objek yang diteliti, tidak dapat digeneralisasi untuk kelompokyang lebih besar. Data variabel sosial bidang permukiman merupakan data kualitatif. Untuk datavariabel sosial bidang permukiman yang diukur melalui kuesioner tertutup terstruktur, analisa deskriptifdilakukan dengan terlebih dahulu membuat distribusi frekwensi. Beberapa metode yang biasa digunakandalam pembuatan distribusi frekwensi variabel sosial, diantaranya adalah dengan menggunakan nilaiskor kumulatif dari seluruh item yang digunakan untuk mengukur variabel tersebut, dan metodestrugle’s. Ukuran letak dan ukuran penyebaran yang digunakan dalam analisa deskriptif data kualitatifvariabel sosial bidang permukiman adalah rata-rata, modus, persentase, proporsi sebagai ukuran letak,sedangkan ukuran penyebaran diukur melalui nilai range (selisih nilai terbesar dan terkecil). Ukuranrata-rata dalam analisa data kualitatif variabel sosial bidang permukiman diwakili melalui ukuran modus.Metode analisa deskriptif yang digunakan dalam pembahasan ini adalah melalui pembuatan distribusifrekwensi dengan menggunakan nilai skor kumulatif seluruh item yang digunakan untuk mengukurvariabel tersebut.

Kata kunci : Variabel sosial, data kualitatif, kuesioner, analisa deskriptif, skor kumulatif

◌AbstractHousing and residential sustainable development is a concept of development by considering the threepillars, economic, social and environmental. Social analysis is important to make sustainabledevelopment of housing and settlement. There are two methods of statistical analysis of data that isdescriptive and inductive. Descriptive method of analysis is to conduct the initial phase of inductiveanalysis. Descriptive analysis results provide a number of objects examined, that can not begeneralized for larger groups. Variable data of the structured social settlement is qualitative data. Datafor the residential areas of social variables measured through the closed questionnaire, descriptiveanalysis is done by first making a frequency distribution. Some methods use in creating the frequencydistribution of social variables such as using the value of the cumulative score of all items used tomeasure these variables, and the strugle’s method. Location and dispertion measurement used indescriptive analysis of qualitative data field of variable data social settlement is the average, mode,proportion, percentage, as the location measurement, while the dispersion measurement is value range(difference between largest and smallest values). Average measurement in qualitative data analysis ofthe social variable of the settlement is represented by mode. Descriptive method of analysis used in thisdiscussion is through the making of the frequency distribution, using the value of the cumulative scoreof all items used to measure these variables.

Keywords : Social variable, qualitative data, questionnaire, descriptive analysis, cumulative score

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 129

PENDAHULUANPembangunan perumahan dan permukimanberkelanjutan adalah pembangunanperumahan dan permukiman yang dilakukandengan mempertimbangkan tiga pilar yaitu:ekonomi, lingkungan hidup dan sosial(Deklarasi Johanesburg) secara holistik. Dalampembangunan perumahan dan permukimanyang berkelanjutan, lingkungan hidup adalahsumber daya yang dimanfaatkan untukkepentingan manusia. Dalam pemanfaatan inisumber daya akan mengalami perubahan.Namun perubahan sumber daya harus disertaidengan usaha agar fungsi ekologinya dapatberlanjut (Soemarwoto, 2006).

Faktor sosial merupakan satu dari tiga pilaryang perlu dipertimbangkan secara holistik,untuk mencapai suatu pelaksanaanpembangunan perumahan dan permukimandalam rangka memenuhi kebutuhan akantempat tinggal bagi manusia (masyarakat) saatini, dengan tetap menjaga kualitas lingkungan.Pembangunan tersebut tetap dapatdimanfaatkan oleh generasi yang akan datanguntuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Penelitian bidang sosial merupakan suatu halpenting yang perlu dilakukan untukmemberikan solusi terhadap permasalahansosial yang terkait dengan pembangunanperumahan dan permukiman. Pengukuran,pengolahan dan analisa data merupakantahapan yang umumnya dilakukan dalampenelitian sosial.

Tingkat akurasi dan objektivitas hasilpengukuran variabel sosial, sangat dipengaruhioleh ketepatan dalam memilih alat (instrumen)yang digunakan dan cara menggunakaninstrumen tersebut ketika melakukanpengukuran. Alat ukur variabel sosial padaumumnya belum distandarkan, oleh karena ituketika akan melakukan pengukuran terlebihdahulu dibuat alat ukurnya.

Langkah selanjutnya dilakukan pengolahandata. Saat ini berbagai program komputer yangdapat digunakan untuk membantu pengolahandata, sehingga dapat dilakukan dengan cepat

diantaranya adalah Exel, SPSS, Systat, danMicrostat.

Dalam tulisan ini akan dibahas Metode AnalisaData Variabel Sosial Bidang Permukiman, yangmerupakan langkah lanjutan (setelahpengukuran dan pengolahan data) yang perludilakukan, untuk mendapatkan kesimpulan darihasil penelitian.

Permukiman di bangun untuk memenuhikebutuhan manusia akan tempat tinggal.Adanya kelompok manusia (masyarakat), makatidak akan terlepas dengan adanyapermasalahan sosial. Keamanan lingkunganmerupakan salah satu persyaratan yang harusdi penuhi dan menjadi tuntutan sekelompokmanusia yang tinggal di lingkunganpermukiman. Persyaratan keamanan berkaitandengan aman dari segala bencana yangmungkin terjadi, seperti aman terhadapbencana kebakaran, aman terhadap bencanabanjir, aman terhadap bencana longsor danbencana lainnya.

Dalam mencapai keamanan lingkunganterhadap bahaya bencana kebakaran dilingkungan permukiman, khususnya untukpermukiman padat, adanya keterlibatanmasyarakat merupakan salah satu langkahpenting yang perlu dipertimbangkan. Ditambahlagi dengan adanya keterbatasan sarana danprasarana lingkungan yang ada di permukimanpadat, dan terbatasnya kemampuanpemerintah (SDM dan peralatan terbatas)untuk menangani bencana tersebut, makaketerlibatan masyarakat menjadi lebih pentinglagi.

MaksudMelakukan analisa data variabel sosial bidangpermukiman (studi kasus persepsi masyarakatterhadap keterlibatan mereka dalam penang-gulangan kebakaran di lingkunganpermukiman) yang diukur melalui alat ukurkuesioner. Kuesioner tersebut terdiri dari item-item pertanyaan dengan pilihan jawaban darisetiap item pertanyaan telah ditentukan(instrumen kuesioner tertutup terstruktur).

130 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

TujuanMendapatkan informasi dari data yang telahdikumpulkan, sesuai dengan tujuan yang telahdirumuskan dalam penelitian.

TINJAUAN PUSTAKAFase Analisa Data secara StatistikMetode analisa data yang digunakan dalampenelitian sosial, tergantung dari informasiyang dikehendaki dari penelitian tersebut.Menurut Sudjana (1982), terdapat dua fasemetoda analisa data secara statistik yaituanalisa deskriptif dan induktif. Penentuanmetode analisa data yang akan digunakantergantung dari tujuan penelitian, metodetersebut yaitu:1) Analisa data deskriptif adalah suatu teknik

analisa yang berfungsi untukmendeskripsikan atau memberikangambaran terhadap obyek yang diteliti(berupa data dari sampel atau populasi)apa adanya, tanpa memberikan ataumembuat kesimpulan yang berlaku untukumum. Analisa pada tahap ini seringdigunakan sebagai tahap awal dalammelakukan analisa data secara induktif.

2) Analisa data induktif adalah suatu metodeyang digunakan dalam rangka melakukanpenarikan kesimpulan dari jumlah objekpenelitian terbatas (sampel) ke dalamsuatu objek penelitian yang lebih besar(populasi). Analisa data induktifmerupakan tahap lanjutan dari analisadata deskriptif. Penarikan kesimpulansecara umum ini dapat dilakukan bila datayang diteliti (data sampel) memenuhipersyaratan dalam pengambilan objekpenelitian yang representatif (data sampelharus dapat menggambarkan datapopulasi) dari seluruh objek penelitianyang ada (populasi).

Variabel SosialObjek telaahan penelitian sosial adalah gejala-gejala sosial (social phenomena) ataukenyataan-kenyataan sosial (social fact)seperti: kemiskinan, kegotong-royongan,

konflik, motivasi, kepatuhan, kesetiaan,kedisiplinan, persepsi dan lain sebagainya(Faisal, 2005). Permasalahan sosial merupakansalah satu faktor yang perlu dipertimbangkandalam pengadaan perumahan dan permukimanbagi masyarakat. Pengukuran permasalahansosial dilakukan melalui variabel-variabel yangyang membentuknya. Variabel adalahkarakteristik unit amatan yang menjadiperhatian yang nilainya dimungkinkanbervariasi antara satu unit amatan dengan unitamatan yang lain (Sitinjak & Sugiarto, 2006).Karakteristik unit amatan yang dijadikanpengamatan dalam penelitian permasalahansosial adalah karakteristik yang terkait denganpermasalahan sosial yang telah dirumuskandalam tujuan penelitian.

Sedangkan permasalahan sosial menurutKorotayev (2006), dapat dikategorikanmenjadi 4 (empat) jenis faktor, yaitu: 1) faktorekonomi seperti kemiskinan, pengangguran,dan lain-lain; 2) faktor budaya sepertiperceraian, kenakalan remaja, dan lain-lain; 3)faktor biologis seperti penyakit menular,keracunan makanan, dan lain-lain; 4) faktorpsikologis seperti penyakit saraf, stres,persepsi, partisipasi, dan lain-lain.Permasalahan sosial dapat diukur melaluivariabel-variabel yang membentuk faktorpermasalahan sosial. Variabel yang mem-bentuk faktor permasalahan sosial diturunkanmelalui teori atau pendapat para ahli (Rosa,2008).

METODOLOGIMetode analisa data yang akan digunakandalam penelitian ini adalah Metode analisa datakualitatif. Dalam tulisan ini akan dibahasmetode analisa data statistik pada fasedeskriptif untuk data kualitatif denganmenggunakan frekuensi kumulatif, diukurmelalui alat ukur (instrumen) kuesioner, yangumumnya digunakan dalam penelitian sosial.Alat ukur (instrumen) faktor sosial yangumumnya digunakan adalah: angket(kuesioner), pedoman wawancara, panduanobservasi, form pencatatan dokumen, dan

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 131

soal-soal dalam tes (Faisal, 2005). Pengukurandilakukan terhadap objek penelitian setelahalat ukur (instrumen) yang tepat dibuat.

Penelitian dilakukan terhadap sampel dipilihsecara studi kasus, berdasarkan masukanpara ahli (Dinas Pemadam Kebakaran dankelurahan). Beberapa hal yang dijadikansebagai bahan pertimbangan adalah sampelterletak di lokasi padat, dan pernah diberikanprogram pemerintah terkait dengan partisipasimasyarakat dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman melaluipembentukan organisasi SATLAKAR (SatuanRelawan Kebakaran). Terdapat dua programyang pernah diberikan oleh pemerintah, yaitudalam bentuk peningkatan pengetahuan yangdilakukan melalui penyuluhan dan bantuanperalatan (pompa jinjing ringan, alatpemadam api ringan (APAR). Sejumlah sampelyang diambil dari lokasi pemilihan dilakukansecara acak.

Untuk mempermudah dalam pembahasan, dibawah ini akan diuraikan analisa terhadapsalah satu faktor permasalahan sosial dilingkungan permukiman yaitu persepsimasyarakat terhadap keterlibatan merekadalam penanggulangan kebakaran dilingkungan permukiman. Permasalahan inimuncul karena tingginya kejadian kebakarandi lingkungan permukiman padat penduduk,khususnya di DKI Jakarta. Kejadian kebakarandi permukiman padat DKI Jakarta rata-ratadua sampai tiga kali sehari (Dinas PemadamKebakaran, 2006) dan terbatasnyakemampuan pemerintah khususnya DinasPemadam Kebakaran dalam menanggulangikejadian kebakaran sehingga dibutuhkanperan serta masyarakat. Perilaku masyarakatbersedia untuk terlibat dalam kegiatanpenanggulangan kebakaran di lingkungannyasangat tergantung pada pembentukanpersepsi positif di masyarakat terhadapkegiatan tersebut. Persepsi yang baik danbenar diperlukan, sebab persepsi merupakandasar pembentukan sikap yang akan berlanjutpada perilaku. Thorndike (1968) dikutip olehHarihanto (2004).

METODE ANALISA PERSEPSIMASYARAKAT TERHADAPKETERLIBATANMEREKA DALAM PENANGGULANGANKEBAKARAN DI LINGKUNGANPERMUKIMANPenyediaan lahan merupakan unsur utama yangdibutuhkan dalam pengadaan perumahan danpermukiman. Dengan adanya pembangunanterjadi perubahan fungsi lahan menjadi lahanperumahan. Dalam pemanfaatan lahan untukperumahan dan permukiman harusdipertimbangkan tiga pilar yaitu: ekonomi,lingkungan hidup dan sosial. Lahan besertaunsur-unsur yang ada di dalam dan di ataslahan merupakan sumber daya yang dapatdimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhanmanusia. Sumber daya alam termasuk lahan,jumlahnya terbatas. Keterbatasan ini semakinterasa bila pembangunan dilakukan diperkotaan, sehingga menimbulkan banyakpermasalahan. Berbagai program pemerintahdiciptakan untuk mencapai pembangunanperumahan dan permukiman berkelanjutan.Salah satunya melalui program pemeliharaankeamanan lingkungan dengan penyertaanmasyarakat, yaitu penyertaan masyarakat dalampenanggulangan kebakaran di lingkunganpermukiman.

Program partisipasi masyarakat dalam penang-gulangan kebakaran di lingkungan permukiman,diawali dengan pelaksanaan sosialisasi untukmenyamakan persepsi antara pemerintah danmasyarakat. Pelaksanaan sosialisasi diadakanuntuk membentuk persepsi positif di masyarakatterkait dengan program ini. Untuk mengetahuigambaran persepsi masyarakat terhadapketerlibatan masyarakat dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman, dilakukanpenyebaran kuesioner terhadap 40 (sampelawal) responden yang tinggal di RW-02,Kelurahan Kampung Rawa yang berjumlah2.407 orang. Kelurahan Kampung Rawamerupakan salah satu dari tujuh kelurahan yangdigolongkan rawan bencana yang berada diwilayah Jakarta Pusat. Kelurahan KampungRawa dipilih sebagai lokasi penelitian atas saran

132 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

dari Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta.Karena kelurahan ini sudah diberikan seluruhprogram pemerintah terkait dengan pembinaanmasyarakat, untuk terlibat dalampenanggulangan kebakaran di lingkungannyamelalui pembentukan organisasi SATLAKAR(Satuan Relawan Kebakaran), serta bantuandalam bentuk peralatan sederhana untukpemadaman kebakaran tahap awal berupapompa jinjing ringan, alat pemadam api ringan(APAR). Tujuan dari pembinaan masyarakattersebut adalah untuk membentuk persepsiyang baik dan benar (persepsi positif), terkaitdengan pelibatan masyarakat dalampenanggulangan kebakaran di lingkungannya.Untuk mengetahui hasil dari sosialisasi yangtelah dilakukan, perlu dievaluasi, salah satunyadengan mengetahui persepsi masyarakatterhadap pelibatannya dalam penanggulangankebakaran di lingkungan tempat tinggalnya.Sedangkan pemilihan RW 02, karena RW initerletak di lokasi padat penduduk. Penentuan40 orang (KK) responden dilakukan berdasarkanpertimbangan keterbatasan dana, tenaga danwaktu, serta sampel awal tersebut cukup untukmemberikan informasi awal kondisi KelurahanKampung Rawa (masukan dari Dinas PemadamKebakaran dan Lurah Kampung Rawa).Terhadap data yang terkumpul, dilakukananalisa secara deskriptif, sedangkan analisaselanjutnya yaitu analisa induktif berada di luarpembahasan tulisan ini.

ANALISA DESKRIPTIF PERSEPSIMASYARAKAT TERHADAP KETERLIBATANMEREKA DALAM PENANGGULANGANKEBAKARAN DI LINGKUNGANPERMUKIMANBeberapa metode analisa data deskriptif yangumumnya digunakan adalah : ukuran letakdilihat melalui besaran modus, median, mean,desil, persentil. Sedangkan untuk ukuran variasikelompok dilihat melalui besaran simpanganbaku, varians, dan rentang. Hasil analisa datadeskriptif memberikan informasi untukmemberikan gambaran dari sejumlah sampelyang diambil, tanpa melakukan generalisir untuk

kelompok yang lebih besar. Berdasarkan datadari 40 responden yang diambil sebagai sampelawal, didapatkan hasil analisa deskriptif akandiuraikan di bawah ini.Untuk mengukur persepsi masyarakat terhadapketerlibatan masyarakat dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman terlebihdahulu perlu dibuat alat ukur. Alat ukur yangakan digunakan adalah kuesioner dengan item-item pertanyaan dan alternatif jawaban yangtelah ditentukan. Pembuatan item-itempertanyaan dilakukan berdasarkan tahapansebagai berikut:1) Penentuan kawasan indikator ukur persepsi

masyarakat terhadap keterlibatannya dalampenanggulangan kebakaran di lingkunganpermukiman. Penentuan kawasan indikatorini dilakukan berdasarkan teori. Persepsimasyarakat terhadap lingkungan terbentukmelalui proses kognisi, afeksi dan konasi(Haryadi & B. Setiawan, 1995);

2) Penyusunan item-item pertanyaan dalamkuesioner diturunkan dari indikator-indikator kognisi, afeksi dan konasi dalamketerlibatan masyarakat terhadappenanggulangan kebakaran di lingkunganpermukiman dan keterlibatan masyarakatdalam penanggulangan kebakaran dilingkungan permukiman.

3) Tingginya kejadian kebakaran di lingkunganpermukiman (DKI Jakarta 746 kali padatahun 2004), dan lebih dari 90% terjadi dilingkungan permukiman yang padat. Ciri-ciriumum untuk lokasi permukiman padatadalah terbatasnya sarana dan prasarana(jalan, air dan saluran drainase)permukiman. Kondisi lingkungan seperti inimenyebabkan sulitnya bantuan pemadamkebakaran (mobil pemadam) tiba di lokasikebakaran. Disamping itu terbatasnyasarana dan prasarana serta personalpemadam kebakaran membuat bantuanbarisan pemadam kebakaran datangterlambat ke lokasi bencana, sehinggakejadian bencana kebakaran besar tidakdapat dihindari. Melihat kondisi ini, makaperlu dicari solusi untuk menurunkanfrekwensi kejadian kebakaran, salah

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 133

satunya melalui pelibatan masyarakatdalam penanggulangan kebakaran dilingkungannya. Masyarakat di sekitar lokasibencana kebakaran lebih dekat dan dapatlebih cepat melakukan pemadamankebakaran di lingku-ngannya. Oleh karenaitu melalui Dinas Pemadam Kebakarandengan dibantu oleh pejabat/personilkelurahan dan kecamatan, sertaDepartemen Pekerjaan Umum dibuatprogram pelibatan masyarakat dalampenanggulangan kebakaran dilingkungantempat tinggalnya, melalui pembentukanorganisasi SATLAKAR (Satuan RelawanKebakaran). Salah satu dari program iniadalah membentuk persepsi positif dimasyarakat kaitan dengan organisasiSATLAKAR. Hal tersebut dilakukan denganmeningkatkan kesadaran masyarakat akanpentingnya menjaga lingkungannyaterhadap bahaya bencana kebakaran, danmemberikan pengetahuan pada masyarakatkaitan dengan pemadaman awal ketikaterjadi kebakaran. Untuk mencegahterjadinya kebakaran besar, yang dilakukanmelalui kegiatan sosialisasi.

4) Berdasarkan informasi tersebut, disusun 26item pertanyaan untuk mengukur persepsimasyarakat terhadap penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman,dengan lima alternatif jawaban yang telahditentukan untuk setiap item (kuesionerterstruktur dan tertutup).

Penentuan besar nilai ukuran-ukuran variabel,untuk mempermudah dalam mendapatkan nilaiyang tepat, terlebih dahulu datadikelompokkan dalam tabel distribusi frekuensi.Beberapa cara yang biasa digunakan untukmembuat tabel distribusi frekwensi,diantaranya adalah metode strugle’s, danaturan nilai skoring kumulatif.

Dalam tulisan ini akan dibahas penentuandistribusi frekwensi dengan menggunakan nilaiskoring kumulatif. Pengukuran persepsimasyarakat terhadap keterlibatan masyarakatdalam penanggulangan kebakaran dilingkungan permukiman, dilakukan melalui 26

item pertanyaan yang telah disebarluaskanpada 40 orang responden. Dengan alternatifjawaban untuk masing-masing item adalah :1) Benar sekali, ketika responden menyatakan

sangat mendukung terhadap pernyataanyang diberikan.

2) Benar, ketika responden menyatakanmendukung terhadap pernyataan yangdiberikan.

3) Ragu-ragu, ketika responden menyatakanmenerima saja pernyataan yang diberikan.

4) Salah, ketika responden menyatakanmenolak pernyataan yang diberikan

5) Salah sekali, ketika responden menyatakansangat menolak terhadap pernyataan yangdiberikan.

Dengan nilai skor untuk masing-masingalternatif jawaban untuk kalimat positif(pernyataan benar) adalah sebagai berikut :

No. Alternatif Jawaban Skoring

1 Salah sekali 12 Salah 23 Ragu-ragu 34 Benar 45 Benar sekali 5

Dan untuk kalimat negatif (pernyataan salah)adalah sebagai berikut :

No. Alternatif Jawaban Skoring

1 Salah sekali 52 Salah 43 Ragu-ragu 34 Benar 25 Benar sekali 1

Dengan menggunakan garis bilangan dapatdigambarkan sebagai berikut :

Nilai skor dalam skala pengukuran ordinalUntuk kalimat pernyataan positif

1 2 3 4 5

Salah Salah Ragu- Benar BenarSekali ragu Sekali

134 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Untuk kalimat pernyataan negatif1 2 3 4 5

Benar Benar Ragu- Salah SalahSekali ragu Sekali

Skor kumulatif nilai dari ke-26-item tersebutadalah :

No. Skoring/Item

Skoring KumulatifUntuk 26 Item

1 1 262 2 523 3 784 4 1045 5 130

26 52 78 104 13039* 65* 93* 117*

Kalimat positif :Salah Salah Ragu- Benar BenarSekali ragu Sekali

Kalimat negatif :Benar Benar Ragu- Salah SalahSekali ragu Sekali

Keterengan :* Nilai tengah kumulatif antara dua skor,

sebagai contoh 39 merupakan nilai skorkumulatif tengah-tengah antara skor 26 dan52.

Garis bilangan ini dapat digunakan untukmenganalisa setiap responden. Hasil analisa

hanya berlaku untuk responden tersebut, tidakdapat ditarik untuk kelompok yang lebih besar(deskriptif). Interpretasi hasil analisa deskriptifberdasarkan total skor adalah sebagai berikut :

Tabel 1.Interpretasi Analisa Deskriptif Persepsi

Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakatdalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan

Total Skor (Kelas Interval)Kelas

IntervalTotal Skor

Interpretasi AnalisaDeskriptif terhadap Persepsi

Masyarakat26 – 38 Sangat Salah39 – 64 Salah65 – 92 Cukup93 – 116 Baik117 – 130 Sangat Baik

Nilai skor minimal 26, di dapatkan bila seorangresponden mendapatkan nilai skor 1 untuksetiap item pernyataan. Nilai maksimal 130,didapatkan bila responden mendapatkan nilaiskor 5 untuk setiap item pernyataan. Namundalam kenyataannya nilai minimal (persepsirendah sekali/persepsi salah sekali) danmaksimal (persepsi tinggi sekali/persepsi benarsekali) ini jarang sekali terjadi. Umumnya nilaitotal skor responden, yang menyatakan nilaiskor kumulatif setiap responden untuk ke-26item pernyataan, berada diantara nilai minimaldan maksimal. Total nilai skor setiap respondenmenggambarkan persepsi responden tersebutterhadap partisipasi masyarakat dalampenanggulangan kebakaran di lingkunganpermukiman.

Tabel 2.Hasil Kodifikasi Data Lapangan Uji Coba Kuesioner Pengukuran Persepsi Masyarakat

terhadap Penanggulangan Kebakaran di Permukiman dari 40 orang Responden di Jakarta

NoRes

Variabel Presepsi

Nomor Item

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total

1 2 2 3 4 5 2 2 2 2 2 3 2 1 2 3 4 5 1 3 5 5 3 2 1 1 2 69

2 3 3 3 2 3 2 4 3 2 3 4 3 3 3 3 4 3 3 2 2 3 3 3 3 3 2 75

3 3 3 3 3 3 3 4 3 2 3 2 2 2 4 3 4 3 4 2 2 1 5 4 2 4 2 76

4 1 3 3 1 3 2 3 1 1 2 2 2 4 3 3 2 4 4 1 1 3 3 3 2 3 4 64

5 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 1 4 3 3 3 1 4 4 1 3 3 4 4 4 3 4 88

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 135

Lanjutan Tabel 2

NoRes

Variabel Presepsi

Nomor Item

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Total

6 2 3 3 3 2 4 2 2 2 2 1 3 4 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 2 3 2 65

7 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 4 3 2 3 4 1 3 3 1 1 3 3 3 3 2 3 71

8 3 4 2 1 3 2 3 2 2 2 1 2 4 3 4 1 3 2 1 2 3 4 3 3 2 3 65

9 2 3 3 1 3 1 1 2 1 2 1 3 3 3 4 1 4 3 1 4 2 3 3 1 3 3 61

10 4 4 4 4 4 5 5 5 5 4 1 4 4 4 4 1 4 4 1 3 4 4 4 4 3 3 96

11 1 4 4 3 3 4 3 4 3 4 1 4 4 4 4 2 4 4 1 2 4 4 3 4 4 2 84

12 1 4 3 3 2 4 4 4 2 3 4 4 3 1 1 3 1 4 1 2 3 3 4 2 3 2 71

13 2 3 3 1 4 1 1 4 1 1 2 4 4 1 2 1 3 4 1 1 3 3 1 3 2 2 58

14 2 3 3 2 2 1 3 2 1 3 1 4 4 3 3 1 3 3 1 1 1 3 3 1 3 2 59

15 1 3 3 2 3 1 3 4 1 2 2 3 3 1 3 1 3 3 2 1 1 3 3 2 3 3 60

16 4 3 4 2 2 2 4 3 1 4 3 2 1 4 2 2 3 2 2 1 3 3 2 3 2 2 66

17 4 3 3 4 3 4 5 3 4 3 4 3 3 4 3 4 3 3 4 2 4 3 3 1 3 2 85

18 3 3 3 3 3 3 4 3 3 2 2 3 2 3 3 2 3 2 3 2 3 3 3 3 3 2 72

19 1 3 3 2 4 1 3 4 1 3 2 3 3 2 1 1 3 4 1 2 1 3 3 1 3 2 60

20 2 3 3 3 3 2 3 3 2 2 2 2 5 4 3 1 2 4 1 1 1 3 3 2 3 3 66

21 2 3 4 1 3 2 1 4 2 3 1 3 2 1 1 2 3 3 1 4 3 3 3 1 2 4 62

22 4 4 4 4 4 4 5 4 1 5 1 4 4 4 4 1 4 4 1 3 4 4 4 4 3 4 92

23 3 4 4 4 4 4 4 3 1 4 1 3 3 4 3 1 3 3 1 3 3 4 3 3 2 3 78

24 5 3 3 3 3 3 3 3 1 4 1 2 2 1 3 1 1 3 1 2 1 4 3 1 2 4 63

25 1 3 1 1 3 3 1 4 1 4 1 1 3 4 3 1 3 4 2 3 1 3 3 1 2 3 60

26 4 3 3 1 2 4 1 3 1 5 4 1 4 4 3 1 4 3 1 4 1 4 4 1 2 1 69

27 1 4 3 3 3 5 4 4 4 4 1 3 3 3 4 1 3 3 1 1 2 1 3 1 3 1 69

28 3 3 3 4 3 3 5 3 2 2 4 3 5 2 4 1 3 3 2 1 3 3 3 3 2 3 76

29 4 4 3 3 3 3 4 3 1 3 2 3 4 4 4 2 3 3 2 2 3 3 3 3 3 2 77

30 2 3 3 1 3 3 3 4 1 3 2 3 3 3 3 1 3 2 3 1 2 3 3 1 4 3 66

31 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 3 4 3 3 1 1 3 3 3 3 3 2 77

32 1 3 3 1 3 3 3 1 3 3 2 3 3 4 1 2 4 3 1 2 3 3 3 1 3 2 64

33 4 3 4 3 4 5 4 4 1 4 1 3 4 4 4 1 3 3 1 3 4 4 3 3 3 3 83

34 2 3 3 3 3 4 4 3 3 4 1 2 3 3 3 2 3 2 2 1 3 3 3 3 2 3 71

35 1 3 2 1 3 3 1 2 1 5 1 1 4 3 4 3 1 2 1 4 2 1 1 3 1 4 58

36 4 3 3 4 3 4 3 4 4 5 1 4 4 4 4 1 3 4 2 3 4 4 3 4 3 3 88

37 2 3 5 3 3 4 1 3 2 4 1 2 4 3 3 3 2 2 2 1 2 3 3 2 3 2 68

38 4 4 3 3 4 3 4 4 1 3 2 3 4 4 4 1 3 3 2 1 4 3 3 4 3 2 79

39 3 4 4 4 3 1 4 4 4 4 2 4 4 4 4 1 4 4 1 1 4 4 4 4 4 3 87

40 4 3 4 3 3 3 4 4 3 3 2 3 1 3 4 3 3 1 4 1 4 4 3 3 4 2 79

Sumber: Data Lapangan Tahun 2006

136 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Tabel 3.Interpretasi Analisa Deskriptif Persepsi Masyarakat

terhadap Partisipasi Masyarakat dalamPenanggulangan Kebakaran Berdasarkan Total Skor

untuk 40 Orang Responden

No.Res

TotalSkor Kesimpulan No.

ResTotalSkor Kesimpulan

1 69 Cukup 21 62 Salah

2 75 Cukup 22 92 Cukup

3 76 Cukup 23 78 Cukup

4 64 Salah 24 63 Salah

5 88 Cukup 25 60 Salah

6 65 Cukup 26 69 Cukup

7 71 Cukup 27 69 Cukup

8 65 Cukup 28 76 Cukup

9 61 Salah 29 77 Cukup

10 96 Baik 30 66 Cukup

11 84 Cukup 31 77 Cukup

12 71 Cukup 32 64 Salah

13 58 Salah 33 83 Cukup

14 59 Salah 34 71 Cukup

15 60 Salah 35 58 Salah

16 66 Cukup 36 88 Cukup

17 85 Cukup 37 68 Cukup

18 72 Cukup 38 79 Cukup

19 60 Salah 39 87 Cukup

20 66 Salah 40 79 Cukup

Untuk melihat ukuran letak dapat dicari denganterlebih dahulu membuat distribusi frekwensi,dengan menggunakan distribusi frekwensiberdasarkan kelas interval yang telah ditentukanpada tabel 1.

Tabel 4.Distribusi Frekwensi Persepsi Masyarakat terhadap

Penanggulangan Kebakaran di LingkunganPermukiman untuk 40 Responden

KelasInterval Total

Skorf Persen

(%)

AnalisisDeskriptifPersepsi

26 - 38 0 0 Sangat Salah

39 - 64 11 27,5 Salah

65 – 92 28 70 Cukup Baik

93 – 116 1 2,5 Baik

117 - 130 0 0 Sangat Baik

Analisa deskriptif berdasarkan 40 responden,hanya dapat menggambarkan untuk 40

responden, tidak dapat digeneralisir untukkelompok yang lebih besar. Dari hasil analisadeskriptif berdasarkan tabel diatas adalah :

70% responden mempunyai persepsi cukup baikberkaitan dengan persepsi terhadap partisipasimasyarakat dalam penanggulangan kebakarandi lingkungan permukiman; Sedangkan 27,5%responden mempunyai persepsi yang masihsalah. Kepada 27,5% responden tersebut masihperlu diberikan informasi untuk memperbaikipersepsi saat ini; dan 2,5% mempunyai persepsiyang baik terhadap penanggulangan kebakarandi lingkungan permukiman. Jadi untuk 40responden di atas dapat digambarkan bahwasebagian besar sudah mempunyai persepsicukup baik terhadap penanggulangan kebakarandi lingkungan permukiman.

Data yang dikumpulkan merupakan databerbentuk kategori dengan skala pengukuranordinal. Ukuran letak yang yang biasa digunakanuntuk data kualitatif adalah nilai modus. Nilaimodus merupakan nilai dengan frekwensi datatertinggi. Nilai modus dalam data kualitatifsekaligus memberikan informasi nilai rata-rata.Jadi rata-rata persepsi masyarakat dalampenanggulangan kebakaran di lingkunganpermukiman adalah cukup baik, ditentukanberdasarkan nilai frekwensi modus (frekwensiterbanyak). Penentuan nilai rata-rata dan modusdengan menggunakan rumus distribusi frewensitidak memberikan informasi yang cukup berartiuntuk data yang berbentuk data kualitatif, jadihal ini tidak perlu dilakukan. Sedangkan untukmendapatkan gambaran penyebaran data cukupdidapatkan melalui nilai range, yaitu selisihantara nilai terbesar dan terkecil. Informasipenyebaran data yang diberikan melalui ukuranvarians atau simpangan baku tidak memberikaninformasi yang cukup berarti.

Tiga tahapan proses yang membentuk persepsimasyarakat dalam penanggulangan kebakarandi lingkungan permukiman yaitu: kognisi, afeksidan konasi. Analisa deskriptif untuk ketiga faktortersebut akan diuraikan di bawah ini.

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 137

Analisa Deskriptif Faktor Kognisi,Afeksi dan Konasi terhadap PersepsiMasyarakat dalam PenanggulanganKebakaran di Lingkungan PermukimanItem-item proses kognisi, meliputi item-itemyang digunakan untuk mengukur pemahaman/pengetahuan masyarakat; Proses afeksi,meliputi item-item yang digunakan untukmengukur keinginan/ nilai-nilai yang ada dalamdiri masyarakat; Sedangkan item-item proseskonasi, meliputi item-item yang digunakan untukmengukur tindakan yang diambil olehmasyarakat. Terdapat 12 item pernyataan yangdigunakan untuk mengukur proses kognisi, yaituitem 1, 2, 5, 8, 9, 10, 12, 13, 18, 21, 22, 24; 8item pertanyaan untuk mengukur proses afeksi;dan 6 pertanyaan untuk mengukur proseskonasi (Rosa, 2008).

Skor kumulatif untuk ketiga proses: kognisi(diukur oleh 12 item); afeksi (diukur oleh 8item); konasi (diukur oleh 6 item) adalahsebagai berikut :

NO Skoring/Item

Skoring KumulatifKognisi Afeksi Konasi

1 1 12 8 62 2 24 16 123 3 36 24 184 4 48 32 245 5 60 40 30

Garis bilangan untuk proses kognisi

12 24 36 48 6018* 30* 42* 54*

Kalimat positif :Salah Salah Ragu- Benar BenarSekali ragu Sekali

Kalimat negatif :Benar Benar Ragu- Salah SalahSekali Sekali

Garis bilangan untuk proses afeksi8 16 24 32 40

12* 20* 28* 36*

Kalimat positif :Salah Salah Ragu- Benar BenarSekali ragu Sekali

Kalimat negatif :Benar Benar Ragu- Salah SalahSekali ragu Sekali

Garis bilangan untuk proses konasi6 12 18 24 30

9* 15* 21* 27*

Kalimat positif :Salah Salah Ragu- Benar BenarSekali ragu Sekali

Kalimat negatif :Benar Benar Ragu- Salah SalahSekali ragu Sekali

Keterangan :* Nilai tengah kumulatif antara dua skor.

Interpretasi hasil analisa deskriptif berdasarkantotal skor adalah sebagai berikut:

Tabel 5.Interpretasi Analisa Deskriptif Proses Kognisi, Afeksi,

Konasi Persepsi Masyarakat terhadap PartisipasiMasyarakat dalam Penanggulangan Kebakaran

Berdasarkan Total Skor (Kelas Interval)Kelas Interval Total Skor untuk

Ketiga Proses InterpretasiPersepsiKognisi Afeksi Konasi

12 – 17 8 - 11 6 - 8 Sangat Salah18 – 29 12 - 19 9 - 14 Salah30 – 41 20 - 27 15 - 20 Cukup42 – 53 28 - 35 21 – 26 Baik54 – 60 36 - 40 27 - 30 Sangat Baik

Nilai skor kumulatif untuk setiap kelas intervaldari ketiga proses pembentukan persepsi yaitukognisi, afeksi dan konasi berbeda-beda. Nilaiskor kelas total (kumulatif) ditentukan olehjumlah item pernyataan yang digunakan untukmengukur proses tersebut, oleh karena itu skorkelas interval untuk setiap proses berbeda.Interpretasi nilai skor untuk masing-masingproses berbeda-beda, harus berdasarkan skorkelas interval. Lebih lengkap, kriteria nilai skorkelas interval untuk masing-masing prosesdapat dilihat pada tabel 5 di atas, besertainterpretasi untuk masing-masing kelas.

138 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Interpretasi setiap proses persepsi untuk setiapresponden dapat dilihat pada tabel 6 di bawahini.

Tabel 6.Interpretasi Analisa Deskriptif Untuk Ke-tiga Proses

Persepsi Masyarakat terhadap Partisipasi Masyarakatdalam Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan

Total Skor 40 Orang Responden

No.Res

Proses PersepsiKognisi Afeksi Konasi

Skor Interpretasi Skor Inter

pretasi Skor Interpretasi

1 28 Salah 20 Cukup 21 Baik2 35 Cukup 24 Cukup 16 Cukup3 33 Cukup 26 Cukup 17 Cukup4 29 Salah 19 Salah 16 Cukup5 46 Baik 21 Cukup 21 Baik6 30 Cukup 21 Cukup 14 Salah7 34 Cukup 20 Cukup 17 Cukup8 34 Cukup 15 Salah 16 Cukup9 28 Salah 16 Salah 17 Cukup10 50 Baik 23 Cukup 23 Baik11 43 Baik 23 Cukup 18 Cukup12 35 Cukup 23 Cukup 13 Salah13 36 Cukup 12 Sangat Salah 10 Salah14 29 Salah 16 Sangat Salah 14 Salah14 29 Salah 16 Sangat Salah 14 Salah15 29 Salah 16 Sangat Salah 15 Cukup16 31 Cukup 21 Cukup 14 Salah17 37 Cukup 29 Baik 19 Cukup18 33 Cukup 22 Cukup 17 Cukup19 31 Cukup 16 Sangat Salah 13 Salah20 32 Cukup 19 Salah 15 Cukup21 32 Cukup 16 Sangat Salah 14 Salah22 46 Baik 22 Cukup 24 Baik23 38 Cukup 20 Cukup 20 Cukup24 32 Cukup 15 Sangat Salah 16 Cukup25 29 Salah 17 Sangat Salah 14 Salah26 32 Cukup 23 Cukup 14 Salah27 33 Cukup 20 Cukup 16 Cukup28 36 Cukup 20 Cukup 20 Cukup29 37 Cukup 22 Cukup 18 Cukup30 30 Cukup 22 Cukup 14 Salah31 38 Cukup 24 Cukup 15 Cukup32 30 Cukup 21 Cukup 13 Salah33 41 Cukup 22 Cukup 20 Cukup34 34 Cukup 20 Cukup 17 Cukup35 28 Salah 15 Sangat Salah 15 Cukup36 47 Baik 21 Cukup 20 Cukup37 32 Cukup 24 Cukup 12 Salah38 41 Cukup 21 Cukup 17 Cukup39 46 Baik 21 Cukup 20 Cukup40 36 Cukup 26 Cukup 17 Cukup

Gambaran secara keseluruhan untuk ketigaproses persepsi dari ke-40 responden, dapatdilihat melalui ukuran letak. Ukuran letak untuk

ketiga proses tersebut, dapat dicari denganterlebih dahulu membuat tabel distribusi dengankelas interval seperti pada tabel 5.

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan dari 40responden yang diambil, untuk proses kognisidapat digambarkan bahwa 10% respondenmasih mempunyai pemahaman yang tidaksesuai dengan pemahaman yang telahdirumuskan dalam sasaran programpelaksanaan sosialisasi; sedangkan 75%masyarakat memiliki pemahaman yang cukup;dan sisanya 15% responden sudah mempunyaipersepsi yang baik (mempunyai pemahamansesuai dengan sasaran yang diharapkan).

Untuk proses afeksi, yaitu nilai-nilai yangsemestinya dimiliki oleh masyarakat, dari ke 40responden dapat digambarkan bahwa 30%responden masih mempunyai pemahaman yangtidak sesuai dengan sasaran; sisanya 67,5%responden mempunyai nilai-nilai yang cukupmemenuhi harapan sesuai sasaran program,dan 2,5% sudah mempunyai nilai-nilai sesuaisasaran.

Tabel 6.Distribusi Frekwensi Proses Kognisi, Afeksi dan

Konasi dalam Persepsi Masyarakat terhadapPenanggulangan Kebakaran di Lingkungan

Permukiman

Proses

Persepsi

KelasInterval f % Analisis

DeskriptifProses Kognisi

12 – 17 0 0 Sangat Salah18 – 29 7 10 Salah30 - 41 24 75 Cukup42 – 53 6 15 Baik54 - 60 0 0 Sangat Baik

Proses Afeksi8 – 11 0 0 Sangat Salah12 – 19 12 30 Salah20 – 27 27 67,5 Cukup28 – 35 1 2,5 Baik36 - 40 0 0 Sangat Baik

Proses Konasi6 – 8 0 0 Sangat Salah9 – 14 12 30 Salah15 – 20 24 60 Cukup21 – 26 4 10 Baik27 - 30 0 0 Sangat Baik

Harihanto (2004 mengutip Thorndike 1968)responden yang mempunyai pemahaman yangcukup memenuhi untuk terlibat dalam program

Metode Analisa Data… (Yulinda Rosa) 139

partisipasi masyarakat dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman, kondisitersebut diharapkan dapat membentuk nilai-nilaiyang sesuai sasaran program. Dengan memilikinilai-nilai tersebut, diharapkan dapat mendorongresponden agar mempunyai keinginan untukterlibat dalam kegiatan partisipasi.

Persentase responden yang mempunyaikeinginan untuk berpartisipasi berjumlah 70%.Apakah nilai tersebut dihasilkan melalui prosessesuai dengan teori, atau bukan ? Artinya,apakah dari 90% responden yang telahmempunyai pemahaman cukup sesuai dengansasaran program, ternyata 70% dapat diserapoleh responden untuk selanjutnya dapatmembentuk nilai-nilai sesuai sasaran yangdiharapkan, dengan nilai-nilai yang sudahdimiliki dapat mendorong responden tersebutuntuk berkeinginan turut berpartisipasi yaitusejumlah 70%.

Untuk mendapatkan jawaban tersebut tidakdapat dilakukan melalui analisa deskriptif.Penelitian harus dilanjutkan, denganmenggunakan metode analisa induktif, yaitumelalui pengujian rumusan hipotesis. Dalamtulisan ini tidak dilakukan pembahasan untukanalisa induktif, jadi materi tersebut di luar daripembahasan tulisan ini.

KESIMPULAN DAN SARAN1) Berdasarkan hasil analisa deskriptif dari 40

responden, dapat disimpulkan bahwa27,5% responden masih mempunyaipersepsi yang tidak sesuai dengan yangtelah dirumuskan dalam sosialisasi terhadappartisipasi masyarakat dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman;sedangkan sisanya 72,5% responden sudahmempunyai pemahaman yang cukup sesuai(baik) dan sesuai dengan pemahaman yangtelah dirumuskan program.

2) Persepsi responden terhadap partisipasimasyarakat dalam penanggulangankebakaran dibentuk melalui tiga tahapan(proses) yaitu: proses kognisi, afeksi dankonasi.

3) Gambaran ketiga proses dalam persepsi,berdasarkan data lapangan dari 40responden adalah 90% responden sudahmempunyai pemahaman (proses kognisi)yang cukup dan telah sesuai dengan yangdirumuskan dalam sosialisasi; 70%responden cukup dan telah mempunyainilai-nilai (afeksi) sesuai dengan sasaran;dan 70% responden cukup dan telahmempunyai keinginan untuk turutberpartisipasi dalam penanggulangankebakaran di lingkungan permukiman.

4) Interpretasi yang dihasilkan dari analisadeskriptif tidak dapat digeneralisir untukkelompok yang lebih besar, karena rumusyang digunakan dalam tahap ini bukanmerupakan rumus taksiran untuk populasi,jadi hanya berlaku untuk sejumlahresponden yang diambil.

5) Untuk mengetahui gambaran yang dapatdigeneralisir untuk kelompok yang lebihbesar, perlu dilanjutkan dalam fase analisadata (secara statistik) tahap selanjutnyayaitu fase induktif.

DAFTAR PUSTAKAHarihanto. 2004. “Persepsi Masyarakat terhadap

Air Sungai” Lingkungan & Pembangunan 24(3): 171 – 186.

Dinas Pemadam Kebakaran. 2002. KegiatanKampanye Pemberdayaan Masyarakatdalam Penanggulangan Kebakaran. Jakarta.

Faisal, S. 2005. Format-format Penelitian Sosial.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Korotayev dkk. 2006. Introduction to SocialMacrodynamics. Moscow: URSS.

Rosa. 2008. “Validitas Instrumen Ukur VariabelSosial Bidang Permukiman” JurnalPermukiman 3(4):263 – 279.

Sitinjak Tumpal JR dan Sugiarto. 2006. Lisrel.Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soemarwoto. 2006. Pembangunan Berkelanjutan.Bandung: Universitas Padjadjaran.

Sudjana. 1982. Metode Statistika. Bandung:Tarsito.

Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Administrasi.Bandung: Alfabet.

140 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

KEEFEKTIFAN PENGOLAHAN ANTARA ABU TERBANG DENGANKARBON AKTIF TERHADAP KEBUTUHAN OKSIGEN KIMIA (KOK),

WARNA DAN LOGAM BERAT AIR LINDI SAMPAH

Oleh : Tibin R PrayudiPusat Libang Permukiman Jl.Panyaungan Cileunyi Wetan-Kab.Bandung 40393

E-mail : [email protected] masuk naskah: 20 Januari 2009, Tanggal disetujui: 21 Agustus 2009

AbstrakPenelitian pengolahan air lindi sampah dengan menggunakan abu terbang dan karbon aktif pada dosistertentu dilatarbelakangi oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mott dan Weber (1992),Viraraghavan dan Alfaro (1994), Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .(2005), yang menghasilkanbahwa abu terbang dapat menurunkan kandungan KOK, warna dan logam berat air buangan rumahtangga. Penelitian eksperimental di laboratorium dilakukan dengan pengadukan abu terbang dan karbonaktif dengan air lindi sampah pada kecepatan 100 rpm selama satu jam, pada dosis 15, 25, 35, 50, 100dan 150 mg/liter. Hasil pengadukan didiamkan selama 30 menit lalu diperiksa Kebutuhan Oksigen Kimia(KOK), Warna dan Logam Beratnya. Efektifitas abu terbang dan karbon aktif ditentukan padaperbandingan persentase perubahan parameter air baku dengan air hasil pengadukan air lindi sampahdengan abu terbang dan karbon aktif. Dari analisis data atau pembahasan ternyata dengan pemakaianabu terbang dapat menurunkan kandungan KOK sampai 100 %, dapat menurunkan kandungan warnasampai 99,72 %, menambah kandungan Fe sebesar 27,39%, menurunkan kandungan Zn sampai91,57 %, dan menurunkan kandungan Cu sebesar 94,02 %, sedangkan dengan pemakaian karbon aktifpenurunan KOK hanya 4,62 %, memperbesar kandungan warna, sebesar 14,47 %, menurunkankandungan Fe sampai 27,65 %, menurunkan kandungan Zn hanya 40,76 %, menurunkan kandunganCu hanya 21,31%. Jadi pemakaian abu terbang akan lebih efektif dalam menurunkan KOK, warna,Zn,dan Cu air lindi, sedangkan karbon aktif lebih efektif dalam menurunkan Fe air lindi.

Kata Kunci : Abu terbang, karbon aktif, air lindi, kebutuhan oksigen kimia (KOK)

AbstractSeveral investigations (Mott and Weber, 1992; Viraraghavan and Alfaro, 1994, Vijender Sahu , R. P.Dahiya, K. Gadgil .2005) explored the use of fly ash and activated carbon as an adsorbent for thetreatment of wastewater to remove a variety of organic compounds, colour, and heavy metal. However,a review of the literature showed that very little investigation has been conducted to find out thesuitability of fly ash or activated carbon for the removal of COD, colour and heavy metal from theleachate. The batch experiments were run in different glass flask of 500 ml capacity using the stirringspeed on 100 rpm. A known volume of sample was treated with different doses of fly ash or activatedcarbon 15, 25, 35, 50, 100 and 150 mg/litre. By using fly ash as an adsorbent, the COD removal wasup to 100 %, Colour removal was 99,72 %, , Zn removal was 91,57 %, Cu removal was 94,02 %, andincreased the Fe content to 27,39 %. Compared to utilization the activated carbon as adsorbent, theresults obtained were : COD removal was 4,62 %, Fe removal was 27,65 %, Zn removal was 40,76%, Cu removal was 21,31%, but colour was increase to 14,47 %. It could be concluded that fly ash ismore effective adsorbent for decreasing COD, Colour, Zn and Cu concentration in leachate but activatedcarbon is more effective for decreasing Fe concentration in leachate.

Keywords: Fly ash, activated carbon, leachate, chemical oxygen demand (COD)

Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.) 141

PENDAHULUANLatar BelakangKandungan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK)atau Chemical Oxygen Demand (COD) danwarna pada air lindi sampah ditimbulkan olehadanya zat organik, sehingga pengukuranparameter KOK dan warna pada air lindisampah merupakan salah satu indikator yangdiuji dalam mengukur karakteristik air lindisampah. Bila kandungan KOK, warna, logamberat ini mencemari sumber air yangdikonsumsi oleh masyarakat maka akan menimbulkan penurunan kondisi kesehatanmasyarakat.

Penelitian sebelumnya mengenai penggunaanabu terbang untuk mengolah air buanganrumah tangga telah dilakukan oleh Mott danWeber (1992), Viraraghavan dan Alfaro (1994),Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil .(2005),yang menghasilkan bahwa abu terbang dapatmenurunkan kandungan KOK, warna danlogam berat air buangan rumah tangga.K.Vasanth Kumar dan kawan-kawan (2004),serta Vijender Sahu , R. P. Dahiya, K. Gadgil.(2005), telah melakukan penelitian, yangmenghasilkan bahwa karbon aktif dapatmenurunkan KOK air buangan rumah tanggadengan metoda pengujian secara adsorpsi.

Dengan latar belakang penelitian yang sudahdilaksanakan tersebut, maka dilakukanpenelitian untuk melihat efektifitas abu terbangdan karbon aktif dalam mengolah air lindisampah. Penerapan abu terbang dan karbonaktif untuk mengolah air lindi sampah melaluiproses adsorpsi dilakukan dengan caramenbubuhkan abu terbang atau karbon aktifke dalam air lindi sampah lalu diaduk padawaktu dan kecepatan tertentu merupakansuatu inovasi teknologi yang diperkirakandapat mengurangi zat organik yang diukursebagai KOK, warna, dan logam berat air lindisampah.

Karbon aktif dipakai sebagai pembandinguntuk abu terbang, karena karbon aktif sudahumum dipakai sebagai bahan pengolahan airbuangan.

Rumusan MasalahMembandingkan efektifitas antara abu terbangdan karbon aktif yang digunakan sebagai bahanpengolahan air lindi sampah dalam mengurangikandungan KOK , warna, dan logam beratyang terkandung pada air lindi sampah.

Tujuan dan Sasaran PenelitianTujuan penelitian adalah mendapatkan informasitentang :- perubahan kandungan zat organik- perubahan warna- perubahan logam berat,pada air lindi sampah setelah dicampur denganabu terbang dan karbon aktif

Sasaran PenelitianMemanfaatkan abu terbang sebagai bahanpengolahan zat organik, warna, dan logamberat pada air lindi sampah.

KAJIAN PUSTAKAKarakteristik Air Lindi SampahAir lindi banyak mengandung beban polutandibandingkan dengan air kotor rumah tanggaatau buangan cair dari industri. Karakteristik airlindi dipengaruhi oleh beberapa faktor sepertitipe dan ketinggian sampah ditimbun, umursampah, kecepatan pengaliran air, desain danoperasi pengolahan di Tempat PembuanganAkhir sampah, dan keterkaitan air lindi denganlingkungannya. Kandungan organik air lindisecara umum diukur melalui parameterKebutuhan Oksigen Biologi (KOB), atauKebutuhan Oksigen Kimia (KOK). Komposisi airlindi dengan umur penimbunan sampah satu,lima dan 16 tahun tercantum pada tabel 1.

Tabel 1.Komposisi Air Lindi Sampah

ParameterUmur Landfill

1Tahun

5Tahun

16Tahun

BOD

COD

pH

7,500-28,000

10,000-40,000

4,000

8,000

6,3

80

400

-

142 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Lanjutan Tabel 1

ParameterUmur Landfill

1Tahun

5Tahun

16Tahun

TDS

TSS

Alkalinity(CaCO3)

Total P

NH4-N

Nitrate

Calcium

Chloride

Sodium

Potassium

Sulfate

Mangan

Magnesium

Besi

Seng

Tembaga

Cadmium

Timah

5,2-6,4

10,000-14,000

100-700

800-4,000

25-35

5-482

0.2-0.8

900-1,700

600-800

450-500

295-310

400-650

75-125

160-250

210-325

6,794

-

5,810

12

-

0.5

308

1,330

810

610

2

0.06

450

6.3

0.4

<0.5

<0.05

0.5

-

1,200

-

2,250

8

-

1.6

109

70

34

39

2

0.06

90

0.6

0.1

<0.5

<0.05

1.0

-

Sumber : Syed R Qasim, Walter Chiang, SanitaryLandfill Leachate, hal 140Catatan : satuan dalam mg/l, kecuali pH

Bahan AdsorpsiKarbon aktif adalah material yang berbentukbutiran (granular) atau bubuk yang berasaldari material yang mengandung karbonmisalnya batu-bara, kulit kelapa. Denganpengolahan tertentu (tekanan tinggi),dapatdiperoleh karbon aktif yang memiiliki permukaandalam yang luas (proses aktivasi). Berdasarkaninformasi di situs O-Fish:Filter Kimia dinyatakanbahwa secara umum karbon/arang aktifbiasanya dibuat dari arang tempurung kelapadengan pemanasan pada suhu 600-2000°Cpada tekanan tinggi. Pada kondisi ini akanterbentuk rekahan-rekahan (rongga) sangathalus dengan jumlah yang sangat banyak,

sehingga luas permukaan arang tersebutmenjadi besar, sehingga sangat efektif dalammenangkap partikel-partikel yang sangat halusberukuran 0.01-0.0000001 mm. Karbon aktifbersifat sangat aktif dan akan menyerap apasaja yang kontak dengan karbon tersebut, baikdi air maupun di udara.

Pemakaian karbon aktif untuk bahan adsorpsimasih mempunyai kelemahan, harganya mahaldan tidak tahan lama karena sekitar 10-15 %akan hancur pada saat regenerasi. (K VasanthKumar, 2004).

Adsorben khusus seperti abu terbang, batubara muda, serpihan kayu atau saw dust jugatelah dimanfaatkan dalam pengujian padakandungan bahan-bahan yang sukar dihilang-kan. (Pandey,et al, 1985).

Beberapa penelitian dalam penggunaan abuterbang sebagai adsorben dalam mengolah airbuangan rumah tangga untuk menghilangkanmateri organik, warna dan logam berat telahdilakukan oleh oleh Mott dan Weber, (1992);Viraraghavan dan Alfaro, (1994).

Hasil Pengunaan Bahan Adsorpsi AbuTerbangDari penelitian yang sudah dilakukan dalammengolahan air buangan rumah tangga denganmenggunakan abu terbang, yang telahdilakukan oleh Banerjee (1995), dinyatakanbahwa kandungan karbon dalam abu terbangberperan penting selama proses adsorpsikandungan organik air buangan rumah tangga.Kapasitas adsorpsi akan meningkat sesuaidengan peningkatan kandungan karbon dalamabu terbang.

Volume Abu terbangMenurut data Direktorat Pengusahaan Mineraldan Batubara, Departemen Energi dan SumberDaya Mineral pada tahun 2004, di LaporanStudi Pengelolaan Limbah Fly Ash (AbuTerbang) dan Bottom Ash Sisa PembakaranBatubara, bahwa kebutuhan batubara dalamnegeri adalah sebesar 36,1 juta metrik ton danapabila dari total kebutuhan tersebutmenghasilkan limbah abu terbang (fly ash)

Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.) 143

sebesar 1% - 5%, maka akan ada sekitar360.000 – 1.800.000 metrik ton abu terbangyang harus dikelola dan masih berpotensi untukdimanfaatkan. Angka itu belum ditambahdengan limbah abu dasar (bottom ash) yangjuga dihasilkan pada saat pembakaran batubarayaitu berkisar antara 5% - 10% sehingga totalvolume abu terbang (fly ash) dan bottom ashmenjadi sekitar 720.000-3.600.000 metrikton.(Sukandarrumidi,2006).

Sebagian besar dari abu terbang tersebut hanyadimanfaatkan sebagai tanah penimbun,sehingga menimbulkan masalah lingkunganantara lain pelepasan unsur-unsur beracun kedalam air tanah, penurunan aktivitas mikrobadan peningkatan pH tanah.

Sifat-sifat Fisik, Kimia dan MineralAbu TerbangSifat-sifat fisika, kimia dan mineralogi abuterbang tergantung pada komposisi batubaraawal, kondisi pembakaran, kinerja dan efisiensialat pengontrol emisi, penanganan danpenyimpanan serta iklim. Abu terbang terdiridari partikel-partikel dengan ukuran antara 0,01– 100 um, berat jenis bervariasi antara 2,1-2,6g/cm3 dan luas permukaan antara 0,17 – 1,00m2/kg. Warna abu terbang abu-abu hinggahitam tergantung pada jumlah karbon yangtidak terbakar dalam abunya. Semakin cerahwarnanya semakin rendah kandungankarbonnya. Sebagian besar partikel penyusunabu terbang berbentuk bola, sebagian beronggadan lainnya terisi oleh partikel amorf dan kristal-kristal yang lebih kecil. Komposisi kimia unsurutama abu terbang secara umum dapatdikelompokkan menjadi tiga, yaitu :- Oksida logam seperti SiO2, Al2O3, TiO2

- Oksida logam basa seperti Fe2O3,CaO, MgO,K2O, Na2O

- Oksida unsur lainnya seperti P2O5, SO3.- Sisa karbon dan lain-lain.

(Sukandarrumidi,2006).

Secara kimia, unsur utama penyusun abuterbang Si, Al, Fe, serta CA, K, Na dan Ti dalamprosentase yang cukup berarti, selain komponenutama tersebut, abu terbang (fly ash) juga

mengandung unsur lain dalam jumlah sedikit,yaitu As, Be, Se.(Studi Pengelolaan Limbah FlyAsh (Abu Terbang) dan Bottom Ash SisaPembakaran Batubara, Direktorat PengusahaanMineral dan Batubara, Departemen Energi danSumber Daya Mineral,2004)

METODOLOGI PENELITIANMetode PenelitianPenelitian eksperimental di laboratorium dilaku-kan melalui pengamatan terhadap beberapagelas kimia volume 500 ml yang diisi airlindi dan ditambah abu terbang atau karbonaktif dengan dosis 15, 25, 35, 50, 100 dan 150mg/liter. Campuran tersebut akan diadukdengan kecepatan 100 rpm dan lamapengadukan 60 menit. Setelah diaduk,campuran didiamkan sekitar 30 menit,kemudian dilakukan pengukuran kandunganKOK dengan metode refluks terbuka yangdilanjutkan dengan titrasi dengan ferroalumunium sulfat, warna diukur denganspektrometer, dan logam berat dengan AtomicAbsorption Spectrometer (AAS) pada setiapdosis pemakaian abu terbang atau karbonaktif.

Pada penelitian ini, tidak diperiksa karakteristikabu terbang dan karbon aktif.

Data yang Dikumpulkan ParameterKarakteristik Air Lindi SampahParameter karakteristik air lindi sampah yangdiperiksa adalah KOK, warna, logam berat Fe,Zn dan Cu.

Metode AnalisisSecara deskriptif, yaitu suatu data yang akandisajikan dalam bentuk tabel berdasarkan hasilpengadukan air lindi sampah ditambah abuterbang atau karbon aktif, sedangkanperhitungan efisiensi proses penurunankandungan KOK, warna, Fe, Zn, dan Cu, adalahnilai yang menunjukkan perbandingan antarabesarnya nilai parameter yang masuk ke suatuproses dengan nilai yang keluar dari prosestersebut. Besarnya efisiensi dinyatakan dalambentuk prosentase (%), dengan rumusan :

144 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

Co – CiEf =-------------- X 100 %,

Codimana :Ef = efisiensi proses penurunan parameter (%)Co= konsentrasi parameter saat masuk ke

prosesCi = konsentrasi parameter saat keluar dari

proses

DATA HASIL PEMERIKSAANPemeriksaan Kualitas Air HasilPengadukanData hasil pemeriksaan karakteristik air lindi,tercantum seperti pada tabel 2, dan 4. Tabel 3dan 5 menyajikan persentase perubahanparameter karakteristik air lindi sampah yangdiperiksa.

Tabel 2.Hasil Pemeriksaan dan Pengamatan Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Abu Terbang

terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu

Sumber/hasil pengadukan100 rpm, t = 1 jam

Parameter

KOK(mg/l)

Warna(PtCo)

Fe(mg/l)

Zn(mg/l)

Cu(mg/l)

Baku Air Lindi 446,2 4630 3,183 0,368 0,502

Dosis Abu terbang = 15 mg/l + Air Lindi 278,16 370 3,092 0,315 0,386

Dosis Abu terbang = 25 mg/l + Air Lindi 273,6 321 3,237 0,232 0,322

Dosis Abu terbang = 35 mg/l + Air Lindi 220,16 280 3,214 0,175 0,282

Dosis Abu terbang = 50 mg/l + Air Lindi 147,44 183 3,703 0.146 0,173

Dosis Abu terbang = 100 mg/l + Air Lindi 115,52 79 3,97 0,077 0,064

Dosis Abu terbang = 150 mg/l + Air Lindi tt 13 4,055 0,031 0,03

Sumber : Hasil pemeriksaan kualitas air kotor di Lab. Balai LP, 2008Catatan : tt = tidak terdeteksi

Tabel 3.Persentase Perubahan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu pada

Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Abu Terbang

Hasil pengadukan100 rpm, t = 1 jam

Parameter (%)

KOK Warna Fe Zn Cu

Dosis Abu terbang = 15 mg/l 37,56 92 2,86 1,44 23,11

Dosis Abu terbang = 25 mg/l 38,68 93,31 -1,69 36,95 35,86

Dosis Abu terbang = 35 mg/l 50,66 93,95 -0,97 52,44 43,82

Dosis Abu terbang = 50 mg/l 66,96 96,05 -16,33 60,32 65,54

Dosis Abu terbang= 100 mg/l 74,11 98,89 -24,72 79,26 87,25

Dosis Abu terbang= 150 mg/l 100 99,72 -27,39 91,57 94,02

Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 2, 2008Catatan : (-) terjadi penambahan kandungan parameter

Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.) 145

Tabel 4.Hasil Pemeriksaan dan Pengamatan Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Karbon Aktif

terhadap Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu

Sumber/hasil pengadukan100 rpm, t = 1 jam

Parameter

KOK(mg/l)

Warna(PtCo)

Fe(mg/l)

Zn(mg/l)

Cu(mg/l)

Baku Air Lindi 446,2 4630 3,183 0,368 0,502

Dosis Karbon Aktif = 15 mg/l + Air Lindi 324,1 5200 2,976 0.342 0,473

Dosis Karbon Aktif = 25 mg/l + Air Lindi 368,7 5480 2,99 0,341 0,484

Dosis Karbon Aktif = 35 mg/l + Air Lindi 357,5 4800 2,983 0,345 0,491

Dosis karbon Aktif = 50 mg/l + Air Lindi 434,9 5010 2,99 0,266 0,483

Dosis Karbon Aktif = 100 mg/l + Air Lindi 423,8 5330 2,491 0,256 0,423

Dosis Karbon Aktif = 150 mg/l + Air Lindi 425,6 5300 2,303 0,218 0,395Sumber : Hasil pemeriksaan kualitas air kotor di Lab. Balai LP, 2008

Tabel 5.Persentase Perubahan Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) , Warna, Fe, Zn, dan Cu pada

Pengadukan Air Lindi Sampah dengan Karbon Aktif

Hasil pengadukan100 rpm, t = 1 jam

Parameter (%)KOK Warna Fe Zn Cu

Dosis Karbon Aktif = 15 mg/l 27,36 -12,31 6,5 7,06 5,78

Dosis Karbon Aktif = 25 mg/l 17,37 -18,36 6,06 7,34 1,59

Dosis Karbon Aktif = 35 mg/l 19,88 -3,67 6,28 0,01 2,19

Dosis Karbon Aktif = 50 mg/l 2,53 -8,21 6,06 27,71 3,78

Dosis Karbon Aktif = 100 mg/l 5,02 -15,12 21,74 30,43 15,73

Dosis Karbon Aktif = 150 mg/l 4,616 -14,47 27,65 40,76 21,31Sumber : Hasil perhitungan dari tabel 4, 2008

Catatan : (-) terjadi penambahan kandungan parameter

Tabel 6.Persentase Perubahan Kandungan KOK, Warna, Fe, Zn, dan Cu Air Lindi Sampah

Dosis(mg/l)

KebutuhanOksigen Kimia

(KOK) (%)

Warna(%)

Fe(%)

Zn(%)

Cu(%)

AbuTerbang

KarbonAktif

AbuTerbang

KarbonAktif

AbuTerbang

KarbonAktif

AbuTerbang

KarbonAktif

AbuTerbang

KarbonAktif

15 37,56 27,36 92,00 (12,31) 2,86 6,50 1,44 7,06 23,11 5,78

25 38,68 17,37 93,31 (18,36) (1,69) 6,06 36,95 7,34 35,86 1,59

35 50,66 19,88 93,95 (3,67) (0,97) 6,28 52,44 0,01 43,82 2,19

50 66,96 2,53 96,05 (8,21) (16,33) 6,06 60,32 27,71 65,54 3,78

100 74,40 5,02 98,89 (15,12) (24,72) 21,74 79,26 30,43 87,25 15,73

150 100,00 4,62 99,72 (14,47) (27,39) 27,65 91,57 40,76 94,02 21,31Sumber : Tabel 3 dan Tabel 5, 2008

146 Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009

ANALISIS DAN PEMBAHASANAnalisis dan pembahasan didasarkan padatabel 6.a) Persentase Perubahan Kandungan

Kebutuhan Oksigen Kimia (KOK) AirLindi SampahPada pemakaian abu terbang dengan dosis15 mg/liter, kandungan KOK turun 37,56 %sedangkan pemakaian karbon aktif dengandosis 15 mg/liter kandungan KOK turun27,36 %. Dengan pemakaian abu terbang,kandungan KOK terus menurun hampir 100% pada dosis 150 mg/liter sebaliknyadengan pemakaian karbon aktif 150mg/liter, penurunan kandungan KOK makinkecil hanya 4,62 %. Jadi makin besar dosisabu terbang yang digunakan makin besarpula persentase penurunan kandungan KOKair lindi sampah, sebaliknya, makin besardosis karbon aktif yang digunakan, makinkecil pula persentase penurunan kandunganKOK air lindi sampah. Keadaan ini perludikaji lebih mendalam, faktor apa yangterdapat dalam karbon aktif yang dapatmemperkecil penurunan kandungan KOKbila terus ditambah dosis.

b) Persentase Perubahan Warna Air LindiSampahPemakaian abu terbang dengan dosis 15mg/liter sampai 150 mg/liter, warna turundari 92 % sampai 99,72 %. Sedangkanpemakaian karbon aktif dengan dosis 15mg/liter sampai 150 mg/liter, warna air lindisampah menjadi bertambah persentasenya,yaitu sebesar 12,31 % sampai 14,47 %.Jadi dengan pemakaian abu terbang, makinbesar dosis yang digunakan makin besarpula persentase penurunan warna air lindisampah dan terbalik dengan karbon aktif,semakin besar dosis yang digunakan makinmemperbesar persentase penambahanwarna.

c) Persentase Perubahan Fe di Air LindiSampahPemakaian abu terbang dengan dosis 15mg/liter dapat menurunkan kandungan Fesekitar 2,86 %, tetapi dengan

bertambahnya dosis sampai 150 mg/liter,kandungan Fe menjadi bertambah denganpersentase kenaikannya sebesar 27,39 %.

Penambahan kandungan Fe air lindi sampahmungkin akibat kandungan Fe di abuterbang.

Kandungan Fe pada abu terbang sekitar13,12 sampai 45,38 % sebagai Fe2O3.Sedangkan pemakaian karbon aktif padadosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter, Feair lindi sampah, persentase penurunannyasemakin besar yaitu dari 6,50 % menjadi27,65 %. Jadi dengan pemakaian abuterbang, makin besar dosis abu terbangyang digunakan akan memperbesarkandungan Fe air lindi sampah, terbalikdengan karbon aktif, makin besar dosiskarbon aktif yang digunakan maka akanmemperkecil kandungan Fe.

d) Persentase Perubahan Zn di AirLindi SampahPemakaian abu terbang dengan dosis 15mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Znturun 1,44 % sampai 91,57 %, sedangkanpemakaian karbon aktif dengan dosis 15mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Znturun 7,06 % sampai 40,76 %. Dari datatersebut menunjukkan, bahwa pemakaianabu terbang lebih besar menurunkankandungan Zn air lindi sampahdibandingkan dengan pemakaian karbonaktif.

e) Persentase Perubahan Cu di AirLindi SampahPemakaian abu terbang dengan dosis 15mg/liter sampai 150 mg/liter, kandungan Cuturun 23,11 % sampai 94,02 %, dengandosis 15 mg/liter sampai 150 mg/liter,kandungan Cu turun 5,78 % sampai 21,31%. Dari data tersebut menunjukkan, bahwadengan pemakaian abu terbang, kandunganCu air lindi sampah akan lebih besarpenurunannya dibandingkan denganpemakaian karbon aktif.

Keefektifan Pengolahan … (Tibin R. P.) 147

KESIMPULANa. Dalam menurunkan KOK air lindi sampah,

pemakaian abu terbang lebih efektifdibandingkan dengan pemakaian karbonaktif, misalnya pada pemakaian dosis 50mg/lt, kemampuan abu terbang dapatmenurunkan KOK adalah 26,46 kali lebihefisien dibandingkan dengan pemakaiankarbon aktif.

b. Dalam menurunkan warna air lindisampah, pemakaian abu terbang lebihefektif dibandingkan dengan karbon aktif,misalnya pada pemakaian dosis 50 mg/lt,kemampuan abu terbang dapatmenurunkan warna adalah 12,7 kali lebihefisien dibandingkan dengan pemakaiankarbon aktif.

c. Dalam menurunkan Zn air lindi sampah,pemakaian abu terbang lebih efektifdibandingkan dengan karbon aktif, misalnyapada pemakaian dosis 50 mg/lt,kemampuan abu terbang dapatmenurunkan Zn adalah 2,2 kali lebih efisiendibandingkan dengan pemakaian karbonakfif.

d. Dalam menurunkan Cu air lindi sampah,pemakaian abu terbang lebih efektifdibandingkan dengan pemakaian karbonaktif, misalnya pada pemakaian dosis 50mg/lt, kemampuan abu terbang dapatmenurunkan Cu adalah 17,3 kali lebihefisien dibandingkan dengan pemakaiankarbon aktif.

e. Dalam menurunkan Fe air lindi sampah,pemakaian karbon aktif lebih efektifdibandingkan dnegan pemakaian abuterbang, misalnya pada pemakaian sosis 50mg/lt, kemampuan karbon aktif dapatmenurunkan Fe adalah 3,7 kali lebih efisiendibandingkan dengan pemakaian abuterbang.

DAFTAR PUSTAKABanerjee K., Cheremisinoff P. N. and Cheng S.L.

1995. Sorption of Organic Contaminants byFly Ash in a Single Solute System.Environmental Science Technology. 29.

K. Vasantth Kumar, K. Subanandam, V. Ramamuthiand S. Sivanesan. 2004. Solid LiquidAdsorpation for Wastewaster TreatmentPrinciple Design and Operation. Departemen ofChemical Engineering, Anna University.Chennai, India.

Mott H.V. and Weber W.J. 1992. Sorption ofLow Molecular Weight OrganicContaminants by Fly Ash: Consideration ofEnhancement of Cut of BarrierPerformance. Environmental ScienceTechnology. 26.

R. Qasim, Syed. Walter Chiang. 1994. SanitaryLandfill Leachate, Generation, Control andTreatment. Technomic Publishing Company,Inc. Switzerland.

Sukandarrumidi. 2006. Batubara danPemanfaatannya. Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta.

Viraragharan T. and Dronamraju M.M. 1992.Utilization of Coal Ash. Water PollutionControl. Journal Environmental Studies. 40.

Vijender Sahu, R.P. Dahiya, K. Gadgil. 2005. FlyAsh Based Low Cost Method for CODRemoval from Domestic Waste Water.Centre for Energy Studies, Indian Instituteof Technology, New Delhi.

--------, 2004. Studi Pengelolaan Limbah Fly Ash(Abu Terbang) dan Bottom Ash SisaPembakaran Batubara. DirektoratPengusahaan Mineral dan Batubara.Departemen Energi dan Sumber DayaMineral.

--------, 2009. O-FISH: Filter Kimia, http://O-Fish.Com/Filter/filter_kimia.php.