FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM...
Transcript of FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM...
0
FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI
PENDIDIKAN ISLAM:
TELAAH DAN KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN
R.A KARTINI
oleh
Nur Fajriyah
NIM. M113014
Tesis diajukan sebagai pelengkap persyaratan
Untuk gelar Magister Pendidikan
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
1
FEMALE AGENCY DAN UPAYA REKONSTRUKSI
PENDIDIKAN ISLAM:
TELAAH DAN KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN
R.A KARTINI
oleh
NUR FAJRIYAH
NIM. M113014
Tesis diajukan kepada Program Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri Salatiga
sebagai pelengkap persyaratan untuk
gelar Magister Pendidikan Islam
Salatiga, Maret 2017
ttd
Dr. H. Sa’adi, M.Ag
PEMBIMBING
2
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis ini
merupakan hasil karya sendiri dan sepanjang pengetahuan dan keyakinan
saya tidak mencantumkan tanpa pengakuan bahan-bahan yang telah
dipublikasikan sebelumnya atau ditulis oleh orang lain, atau sebagian
bahan yang pernah di ajukan untuk gelar atau ijasah pada Institut Agama
Islam Negeri Salatiga atau perguruan tinggi lainnya.
Salatiga, Maret 2017
Yang membuat pernyataan
Nur Fajriyah
3
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PROGRAM STUDI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS
Nama : Nur Fajriyah
NIM : M113014
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Tanggal Ujian : Jum‟at, 24 Maret 2017
Judul Tesis : Female Agency dan Upaya Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Telaah dan Kontekstualisasi
Pemikiran R.A Kartini
Panitia Munaqosah Tesis
1. Ketua Penguji : Dr. H. Zakiyuddin, M. Ag. ___________________
2. Sekretaris : Dr. Winarno, S.Si., M. Pd.___________________
3. Penguji I : Prof. Dr. H. Muh. Zuhri, MA._________________
4. Penguji II : Dr. H. Sa‟adi, M. Ag.______________________
4
ABSTRAK
“Female Agency dan Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam: Telaah
dan Kontekstualisasi Pemikiran R.A Kartini“
Penelitian ini berupaya melihat R.A. Kartini dari sisi female agency,
dengan menitikberatkan keterlibatan sosial R.A. Kartini dalam
mengembangkan pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang lebih
menitikberatkan kepada pendidikan perempuan, serta relevansinya dalam
pendidikan Islam Indonesia masa kini. Penelitian ini menggunakan metode
“analisis isi kualitatif“ dan “hermeneutika“ untuk membedah dan
mengkontekstualisasikan pemikiran R.A. Kartini. Sebagai analisisnya,
penulis menggunakan konsep agency dan pendidikan humanistik, dalam
hal ini humanistik-Islami.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1)
Bagaimanakah pemikiran pendidikan yang dikemukakan R.A Kartini? (2)
Sejauhmana pemikiran pendidikan R.A Kartini bersentuhan dengan
konsep “pendidikan humanistik”(3) Bagaimana kontekstualisasi pemikiran
R.A Kartini dalam rekontruksi pendidikan Islam di Indonesia?
Pemikiran pendidikan R.A. Kartini bertumpukan pada pendidikan
karakter dan pendidikan perempuan. R.A. Kartini melihat bahwa
pendidikan perempuan adalah sebuah investasi bagi bangsa. Pendidikan
adalah hak bagi setiap manusia, termasuk perempuan. Perjuangan R.A.
Kartini akan pendidikan perempuan, telah membukakan mata kita, akan
pentingnya pendidikan bagi perempuan. Melalui perjuangan R.A Kartini,
perempuan Indonesia sekarang lebih maju dan bisa berkarya sesuai dengan
kemampuannya. Dalam hal ini kita bisa melihat agency R.A. Kartini
dalam memperjuangkan dan mewujudkan pendidikan bagi perempuan. Di
samping itu, R.A. Kartini juga menekankan pendidikan karakter, yang bisa
menjadi penyangga kemajuan sebuah bangsa.
Pemikiran R.A. Kartini bersentuhan dengan pendidikan
humanistik, yang menekankan pengembangan individu, memanusiakan
manusia dan aktualisasi diri. Hanya saja, perlu kiranya dicatat bahwa
pendidikan humanistik yang menjadi perhatian R.A. Kartini tidaklah
bersifat atheistic namun bersifat theistic. Hal ini antara lain terlihat dalam
diri pribadi R.A. Kartini sendiri yang dalam tulisan-tulisannya
menyiratkan bahwa dia tidak berupaya menjadi “super woman“ namun
menjadi “khalifatullah fil ard“. Pemikiran R.A. Kartini bisa dijadikan
inspirasi dan landasan untuk menata ulang pendidikan Islam di Indonesia.
Hal ini antara lain terkait dengan tema-tema seperti: pendidikan Islam
yang sadar akan gender dan pemberdayaan perempuan, pendidikan Islam
anti-kekerasan, pendidikan karakter dan pendidikan karakter bangsa.
5
ABSTRACT
Female Agency and The Attempt of Reconstructing Islamic Education:
Assesment and Contextualization of R.A. Kartini’s Thoughts
This study investigates R.A. Kartini side from the perspective of female agency,
with an emphasis on R.A. Kartini‟s social engagement R.A. Kartini in developing
education in Indonesia. Educationin this sense is focused on the education of
women, as well as its relevance in contemporary Indonesian Islamic education.
This study uses “qualitative content analysis” and “hermeneutics” to analyze and
contextualize the ideas of R.A. Kartini. To analyze the data, the author uses the
concept of agency and humanistic education, more specifically theistic humanistic
education.
This study deals with the following research questions (1) What are the
educational ideas of R.A Kartini? (2) What is the relevance of educational ideas of
R.A Kartini with the concept of humanistic education? (3) How is the
contextualization of R.A Kartini‟s thoughts in the reconstruction of Islamic
education in Indonesia?
Educational thoughts of R.A. Kartini are concentrated on character education and
women‟s education. R.A. Kartini sees that female education is an investment for
the nation. Education is a right for every human being, including women. The
struggle of R.A. Kartini in the field of women‟s education has opened our eyes on
the importance of education for women. Through her struggle, Indonesian women
are now more advanced and able to work according to their ability. In this regard
we can see the agency R.A. Kartini in fighting and realizing education for women.
In addition, R.A. Kartini also emphasizes character education, which may provide
a pillar for the progress of the nation.
The thoughts of R.A. Kartini have its relevance with humanistic education, which
emphasizes the development of the individual, humanizing the human and self-
actualization. It is worth noting that Kartini‟s concern of humanistic education is
not atheistic, but rather theistic. This is partly visible in the personage of R.A.
Kartini herself in her writings, which suggests that she was not trying to be a
"super woman" but rather to be a "khalifatullah fil ard" (God‟s vicegerent on
earth). The ideas of R.A. Kartini could be used as inspiration and foundation for
reconstructing Islamic education in Indonesia. This is concerned with such themes
as: Islamic education which is aware of gender and women's empowerment, anti-
violent Islamic education, character education and education of the nation
character.
6
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, karunia, dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
pengerjaan tesis ini sampai selesai. Tentunya tak ada gading yang tak retak,
begitupun dengan penulisan tesis ini yang masih banyak kekurangan. Namun
demikian segala hambatan dan tantangan, dalam penyajian tesis ini, bisa penulis
lewati sehingga bisa terselesaikan dengan baik. Penulis mengambil judul “Female
agency dan upaya rekonstruksi pendidikan Islam: telaah dan kontekstualisasi
pemikiran R.A Kartini”. Penulis tertarik meneliti R.A Kartini dari sisi
pendidikannya, karena dari R.A Kartini penulis banyak belajar semangatnya
dalam mendidik anak-anak bangsa, dalam hal ini perempuan. Di dalam penulisan
tesis ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dari berbagai pihak, baik lewat
diskusi, literatur maupun terjun langsung wawancara ke museum R.A Kartini di
Rembang. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dr. Zakiyudin Baedhowi, selaku Direktur Pasca Sarjana.
3. Dr. H. Sa‟adi, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan
meluangkan waktu, tenaga, dan fikirannya dalam memberikan pengarahan
dalam pengerjaan tesis ini.
7
4. Segenap Dosen Pasca Sarjana IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmu,
sekaligus memberikan motivasi agar tetap semangat dalam belajar.
5. Teman-teman Pasca Sarjana IAIN Salatiga, Angkatan 2013/2014.
6. Kedua Orang tua, yang selalu memberikan motivasi, dukungan dan do‟a.
7. Anak saya Naora, terima kasih sudah menghibur mama dengan kelucuan
dan celotehmu. Mama sayang kamu nak.
8. Suami sekaligus partner dalam hidup saya. Terima kasih telah
menumbuhkan semangat saya untuk belajar kembali.
9. Dan semua pihak, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga segala kebaikan mendapatkan balasan dari Allah SWT, amin.
Akhirnya penulis sadari, penulisan tesis ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca.
Salatiga, April 2017
Penulis,
Nur Fajriyah
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………… ……... i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………….. ……... ii
HALAMAN PERNYATAAN …………………………………….. ……... iii
ABSTRAK…………………………………………………………. ……... iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………….. v
DAFTAR ISI ………………………………………………………. ……... vi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang …………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 2
C. Signifikansi Penelitian …………………………………………….. 8
1. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 8
2. Manfaat Penelitian ……………………………………………... 8
D. Kajian Pustaka
1. Review Penelitian Terdahulu……………………………………. 9
2. Kerangka Teori ……………………………………..................... 11
E. Metode Penelitian………………………………………………….. 13
F. Sistematika Penulisan ……………………………………………... 15
BAB II R.A KARTINI: KEHIDUPAN DAN AKTIVISME…………….. 17
A. Genealogi R.A Kartini …………………………………………….. 17
B. Latar Belakang Pendidikan R.A Kartini…………………………… 20
C. Kondisi Pendidikan Jawa pada Zaman R.A Kartini ………………. 23
D. Kumpulan Surat R.A Kartini dan Yayasan Sekolah Kartini……….. 27
E. R.A Kartini dan Perjuangan untuk Kemajuan Bangsa……………... 30
F. R.A Kartini dan Interaksinya dengan Kiai Saleh Darat……………. 34
G. R.A Kartini Feminis Islam dari Indonesia…………………………. 39
BAB III PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A KARTINI………………….. 45
A. R.A Kartini dan Pendidikan Perempuan…………………………… 45
B. R.A Kartini dan Pendidikan Karakter……………………………… 51
C. Relevansi Pemikiran R.A Kartini terhadap pendidikan Humanistik. 56
9
BAB IV KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A KARTINI
DALAM REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM…………………… 66
A. Pentingnya Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia………….. 66
B. Kontekstualisasi Pemikiran Kartini tentang Pendidikan Karakter….69
C. Pendidikan Islam Anti Kekerasan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A
Kartini ………………………………………………………………… 74
D. Pendidikan berwawasan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan: Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini ……………….. 76
BAB V PENUTUP ………………………………………………………... 81
A. Kesimpulan ……………………………………………………. 81
B. Saran ……………………………………………………………. 83
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 84
BIOGRAFI PENULIS ……………………………………………………. 86
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini (untuk selanjutnya
disebut R.A Kartini), lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April
1879, dan wafat di Rembang 17 September 1904 pada usia 25 tahun.1 Anak
kelima dari sebelas bersaudara ini sangat gemar membaca dan menulis, akan
tetapi orang tuanya mengharuskan R.A Kartini menimba ilmu hanya sampai
Sekolah Dasar karena harus dipingit. Karena tekad bulat R.A Kartini untuk
mencapai cita-citanya, R.A Kartini mulai mengembangkan dengan belajar
menulis dan membaca bersama teman sesama perempuannya. Saat itu juga
R.A Kartini juga belajar bahasa Belanda. Semangat R.A Kartini tidak
pernah padam, dengan rasa keingintahuan yang sangat besar, ia ingin selalu
membaca surat kabar, buku-buku dan majalah Eropa. Dari situlah terlintas
ide memajukan wanita Indonesia dari keterbelakangan. Karena
kemampuannya berbahasa Belanda, R.A Kartini juga seringkali melakukan
surat-menyurat dengan korespondensi dari Belanda. Sempat terjadi surat-
menyurat antara R.A Kartini dan Mr. J.H Abendanon untuk pengajuan
beasiswa di negeri Belanda, tetapi semua itu tidak pernah terjadi karena R.A
Kartini harus menikah pada 12 november 1903 dengan Raden Adipati
1 Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini Sebuah Biografi Rujukan Figur Pemimpin
Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, edisi revisi 2011, 24.
11
Joyodiningrat yang sudah memiliki tiga isteri. Perjuangan R.A Kartini tidak
berhenti setelah menikah, R.A Kartini memiliki suami yang selalu
mendukung akan cita-citanya dalam memperjuangkan pendidikan dan
martabat kaum perempuan. Maka pada tahun 1912 didirikannya sekolah
R.A Kartini di Jepara dan Rembang. Pendirian sekolah wanita tersebut
berlanjut di Surabaya, Jogjakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon. Sekolah
R.A Kartini didirikan oleh yayasan R.A Kartini, adapun yayasan R.A
Kartini sendiri didirikan oleh keluarga Van Deventer dan tokoh politik etis.2
R.A Kartini meninggal selang beberapa hari setelah melahirkan anak
pertama bernama R.M Soesalit pada 13 September 1904, tepatnya 4 hari
setelah kelahiran R.M Soesalit, saat itu usia R.A Kartini masih 25 tahun.
Setelah kematian R.A Kartini, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda J.H Abendanon mulai membukukan surat
menyurat R.A Kartini dengan teman-temannya di Eropa dengan judul
“Door Duisternis tot Licht“ yang artinya Habis Gelap terbitlah terang. 3
Kumpulan surat-surat R.A Kartini dibuat setelah beliau terinspirasi
penafsiran Kiai Saleh Darat terhadap Surat al-Baqarah ayat 257,
( ) yang artinya dari kegelapan
menuju cahaya yang terang.
Adapun kedekatan R.A Kartini dengan Islam bermula dari
pertemuannya dengan Kiai Saleh Darat dari Semarang. Saat itu R.A Kartini
2 Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2013, 51.
3 R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A
Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa, Jakarta: Penerbit
Narasi, 2011, 58.
12
hadir dalam pengajian Kiai Saleh yang digelar di Pendopo Kesultanan
Demak, saat itu R.A Kartini berkunjung ke kediaman pamannya, Ario
Hadiningrat, sang bupati Demak. Kiai Saleh mengupas makna surat al-
Fatihah, R.A Kartini yang tertarik pada cara Saleh menguraikan makna
ayat-ayat tersebut meminta agar al Quran diterjemahkan ke dalam Bahasa
Jawa. Kartini menyatakan, “Selama ini surat al-Fatihah gelap artinya bagi
saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia
menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo
kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya
pahami„„.
Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam ayat-
ayat al-Quran, R.A Kartini meminta pamannya, Pangeran Ario Hadiningrat
agar berkenan mempertemukannya kembali dengan Kiai Saleh Darat.
Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang
berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Quran.4 Dialog tersebut
adalah sebagai berikut:
Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang
yang berilmu menyembunyikan ilmunya?“, tanya R.A. Kartini
Kiai Saleh Darat menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa Raden
Ajeng bertanya demikian?“
Kiai, selama hidup saya baru kali ini berkesempatan memahami makna surat
al Fatihah, surat pertama dari induk al-Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,“ ujar R.A Kartini.
Kiai Saleh Darat tertegun mendengar jawaban dari R.A Kartini. Ia seolah-
olah tak punya kata untuk menyela. Lalu R.A Kartini melanjutkan
pembicaraannya dengan sang Kiai.
Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa
selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran
4 Amirul Ulum, Kartini Nyantri, Yogyakarta: Pustaka Alam, 2015, 176.
13
ke dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia
dan sejahtera bagi manusia?.
Dari pertemuan tersebut, muncullah ide Kiai Saleh Darat untuk
membuat al-Quran berbahasa Jawa. Ide kiai Saleh Darat, disambut gembira
oleh R.A Kartini, meski Kiai Saleh Darat, mengetahui hal ini bisa
membuatnya di penjara. Maklum, pada masa itu pemerintah Hindia-Belanda
melarang segala bentuk penerjemahan al Quran. Kitab tafsir al-Quran
berbahasa Jawa segera dikerjakannya. Agar tidak dicurigai penjajah, Kiai
Saleh menggunakan huruf Arab gundul atau tanpa harakat (pegon) yang
disusun membentuk kata-kata dalam bahasa Jawa. Al-Quran terjemahan ke
dalam Bahasa Jawa diberi judul Fayd al-Rahman.
Dalam pembukaan kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan yang memakai bahasa Arab Pegon, Kiai Saleh Darat
menulis alasannya mengapa ia harus menulis tafsir terjemahan al-Quran
tersebut. Ia menulis alasannya: “Saya melihat secara umum pada orang-
orang awam tidak ada yang memperhatikan tentang maknanya al-Quran
karena tidak tahu caranya dan tidak tahu maknanya karena al-Quran
diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka dari itu saya
bermaksud membuat terjemahan arti al-Quran.“5
Kitab tafsir dan terjemahan yang disusunnya itu menjadi kitab tafsir
berbahasa Jawa pertama di Nusantara yang ditulis dalam aksara Arab.
Setelah dicetak, Saleh menghadiahkan satu eksemplar kitab tersebut pada
5Misbahus Surur, Metode dan Corak Tafsir Faidh Ar-Rahman Karya Muhammad Shaleh Ibn
Umar As-Samarani, Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2011, 48.
14
R.A Kartini saat menikah dengan Bupati Rembang, Raden Mas
Joyodiningrat.
Saat menerima al-Quran terjemahan bahasa Jawa itu, dengan perasaan
senang R.A Kartini berucap, “Selama ini surat al-Fatihah gelap artinya bagi
saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia
menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo
kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa Jawa yang saya
pahami.“
Terbantu memahami lebih banyak isi al-Qur„an, R.A Kartini terpikat
pada suatu ayat yang menjadi favoritnya, yakni “Orang-orang beriman
dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya“, dalam surat al-Baqarah
ayat 257. Oleh sastrawan Sanusi Pane, judul buku kumpulan surat R.A
Kartini dalam Bahasa Belanda Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan
menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang, mengacu pada ayat favoritnya itu.6
Berawal saat menerima al-Quran terjemahan bahasa Jawa yang ditulis
oleh Kiai Saleh Darat, R.A Kartini akhirnya mengerti makna yang
terkandung dalam surat al-Baqarah. Sehingga mempengaruhi pemikirannya
mengenai pendidikan yang beliau tulis dalam kumpulan surat-surat yang
ditujukan kepada teman-temannya di Eropa, salah satu suratnya mengenai
pendidikan.
Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan, terutama
akhir-akhir ini. Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban yang
demikian mulia dan suci, sehingga saya pandang kejahatan apabila tanpa
kecakapan yang sempurna saya berani menyerahkan tenaga untuk perkara
6 Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, R.A Kartini, Sebuah Biograf..., 45.
15
pendidikan. Bagi saya pendidikan itu merupakan pembentukan budi dan
jiwa.7
Dalam kerangka tersebut, ada indikasi bahwa pemikiran pendidikan
R.A Kartini bersentuhan dengan konsep pendidikan humanistik. Pendidikan
humanistik adalah di mana seseorang harus mempunyai kemampuan untuk
mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self regulated learning),
apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana, kapan, dan bagaimana
mereka akan belajar. Ide pokoknya adalah bagaimana seseorang yang
belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus memotivasi diri sendiri dalam
belajar daripada sekedar menjadi penerima pasif dalam proses belajar. Dari
beberapa penelitian dengan mengarahkan dan memotivasi diri sendiri,
seseorang lebih memiliki motivasi besar untuk belajar.8
Pendidikan humanistik merupakan sebuah filosofi belajar yang
sangat memperhatikan keunikan-keunikan yang dimiliki oleh seseorang,
bahwa setiap pribadi mempunyai cara sendiri dalam mengkonstruk ilmu
pengetahuan yang dipelajarinya. Pembelajaran dengan pendekatan ini juga
lebih menghargai domain-domain lain yang ada dalam diri seseorang selain
domain kognitif dan psikomotorik, sehingga dalam proses pembelajarannya
nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang mendapatkan
perhatian untuk dikembangkan.9
7Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang..., 111
8 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar Ruzz
Media, 2008, 142. 9 Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran..., 143
16
Penelitian mengenai “Female agency dan upaya rekonstruksi
pendidikan Islam, telaah dan kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini“, ini
penting dilakukan. Mengingat R.A Kartini, merupakan sosok wanita
pertama di Indonesia yang mampu merubah tradisi lama Jawa, dimana
perempuan tidak bisa memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki.
Karena menganggap bahwa perempuan hanya bisa menjadi istri dan ibu
rumah tangga biasa. Dari pemikiran beliau yang dituangkan melalui surat-
menyurat kepada sahabatnya di Eropa, kita bisa membaca bahwa sosok R.A
Kartini adalah pahlawan wanita yang berjasa untuk kemajuan bangsa
Indonesia terutama perempuan dalam memperoleh pendidikan.
Selama ini R.A Kartini sering diidentikkan dengan feminis sekuler,
yang sama sekali tidak berakar dari tradisi Islam. Melalui penelitian ini,
penulis akan menelaah dan menganalisis pemikiran pendidikan R.A. Kartini
dengan melihat akar dan inspirasinya dari tradisi Islam. Selain itu penelitian
ini juga akan melihat kontekstualisasi pemikiran R.A. Kartini dalam upaya
rekonstruksi pendidikan Islam masa kini di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemikiran pendidikan yang dikemukakan R.A
Kartini?
2. Sejauhmana pemikiran pendidikan R.A Kartini bersentuhan dengan
konsep “pendidikan humanistik”?
3. Bagaimana kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam
rekonstruksi pendidikan Islam di Indonesia?
17
C. Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan pemikiran pendidikan yang digagas oleh R.A Kartini
b. Menjelaskan kaitan antara pemikiran pendidikan R.A Kartini dengan
konsep “pendidikan humanistik”.
c. Melacak kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam upaya
rekonstruksi pendidikan Islam di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara akademik diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat
sebagai bahan kajian untuk memahami female agency R.A Kartini
yang terutama sekali terefleksikan dalam aktivisme dan pemikiran
pendidikan R.A Kartini. Sumbangsih lebih lanjut dari penelitian ini
adalah konstektualisasi dari pemikiran pendidikan R.A Kartini, untuk
melihat relevansinya dalam rekonstruksi pendidikan Islam, yang adil
kepada gender.
b. Secara praktis, penelitian ini bisa memberikan sumbang saran dan
dukungan kepada perempuan dan aktivis perempuan, terutama dalam
hal meningkatkan kemampuan kreatifnya, di era modern. Terlebih bagi
aktivis perempuan yang berkecimpung dalam ranah pendidikan Islam,
sehingga nuansa pendidikan Islam yang dikembangkan di lembaga
pendidikan tidak terlalu berpusat pada laki-laki (male-centred).
18
D. Kajian Pustaka
1. Review Penelitian Terdahulu
Sejauh informasi yang diperoleh, penelitian dalam bentuk pemikiran
R.A Kartini telah dilakukan oleh Dri Arbaningsih (2005) dalam bentuk
disertasi dengan judul Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran Kartini
tentang Emansipasi “Bangsa“. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh surat-
surat dan dua nota R.A Kartini. Menurut Dri Arbaningsih, R.A Kartini lebih
dari sekedar tokoh emansipasi wanita seperti dimengerti orang selama ini.
Emansipasi R.A Kartini jauh lebih luas, yakni “emansipasi bangsa“ Jawa
(kebangsaan nasional Indonesia ketika itu belum lahir), yang ternyata
merupakan embrio kebangkitan “bangsa-bangsa“ lain. Pengakuan R.A
Kartini dan beberapa pelajar STOVIA (dalam korespondensi mereka) atas
kesadaran eksistensial-esensial sebagai “rakyat“ dan “bangsa“, yakni Jong
Java, ternyata membuahkan bukan saja Boedi Oetomo melainkan juga
Soempah Pemoeda 1928 oleh pelbagai Jong “bangsa-bangsa“ Nusantara.
Karena itulah, R.A Kartini adalah salah seorang perintis Kebangkitan
Nasional. Buku Door Duisternis Tot Licht (1911), merupakan buku
kumpulan surat-surat R.A Kartini yang disusun dan diterbitkan oleh J.H
Abendanon, berhasil mereduksi dan memposisikan R.A Kartini hanya
sebagai tokoh emansipasi saja.10
10
Dri Arbaningsih, R.A Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran R.A Kartini tentang
Emansipasi “Bangsa“, Jakarta: Kompas, 2005, 12.
19
Selain Dri Arbaningsih, penelitian mengenai R.A Kartini juga
dilakukan oleh Jean Stewart Taylor, yang mengambil judul “Raden Ajeng
Kartini“, yang ditulis dalam sebuah jurnal Signs: Journal of Women in
Culture and Society. Tulisan Taylor, mengangkat R.A Kartini sebagai sosok
yang mempunyai pengaruh dan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia, dan
dianggap sebagai feminis yang menerjemahkan ide-ide Eropa ke dalam
masyarakat Indonesia. Stewart menggambarkan bahwa R.A Kartini juga
mempunyai mimpi besar untuk perubahan bagi kemajuan perempuan Jawa,
terutama dalam hal pendidikan, seni tradisional, kesehatan publik, dan
kesejahteraan ekonomi.11
Penelitian tersebut di atas memilih materi yang berbeda dengan
penelitian yang akan penulis paparkan, sehingga penelitian yang diberi
judul “Female Agency dan Upaya Rekonstruksi Pendidikan Islam: Telaah
dan Konstektualisasi Pemikiran R.A Kartini“ ini layak dilakukan. Menurut
hemat penulis inspirasi yang dilakukan oleh R.A Kartini baik dalam isi
surat-suratnya dan semangatnya dalam pendidikan pembebasan
dipengaruhi oleh al-Quran, yakni surat al-Baqarah ayat 257, yang artinya
“Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya“.
Karena di dalam surat-surat tersebut R.A Kartini banyak memberikan
pencerahan tidak hanya bagi perempuan Jawa yang selama ini terkukung
oleh tradisi, tapi bagaimana R.A Kartini memberikan semangat
pembebasan agar laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan untuk
11
Jean Stewart Taylor, “Raden Ajeng Kartini”, Signs: Journal of Women in Culture and Society,
Volume. 1 Number. 3, Part 1, ( Spring, 1976), 639-661.
20
maju bersama, sebagaimana isi dari kumpulan surat-suratnya yang
terangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Penelitian penulis juga memiliki kekhasan tersendiri, dalam hal
kerangka konsep pendidikan, karena penelitian ini menerapkan konsep
agency untuk membedah keterlibatan sosial R.A Kartini dalam pendidikan
dan pemberdayaan perempuan.
2. Kerangka Teori
Untuk penelitian ini penulis menggunakan konsep agency yang
ditawarkan oleh Emirbayer dan Mische.12
Agency adalah sebuah konsep
yang penting untuk melihat dan menganalisis keterlibatan sebuah aktor,
dalam hal ini R.A Kartini. Agency adalah proses temporal dari keterlibatan
sosial, berdasarkan pengetahuan dan kesadaran akan masa lampau (dalam
bentuk habitual), berorientasi pada masa depan (dalam bentuk
kemampuan projective untuk membayangkan kemungkinan alternatif) dan
juga pada masa sekarang (dalam bentuk kemampuan practical evaluative
untuk mengkontekstualisasi habitus masa lampau dan proyek masa depan
dalam konteks masa sekarang. Ketiga aspek agency tersebut menurut
hemat penulis sangat relevan untuk memotret dan mengkaji keterlibatan
R.A Kartini dalam proses sosial yang melingkupinya.
12
Mustafa Emirbayer and Ann Mische, “What is Agency“, American Journal of Sociology,
volume. 103, number. 4, (January, 1998), 962-1023. Lihat juga: Asfa Widiyanto, Religious
Authority and the Prospects for Religious Pluralism in Indonesia: The Role of Traditionalist
Muslim Scholars, (Zuerich: LIT Verlag, 2016), 13-14.
21
Contoh dari konsep agency ini penulis cuplik dari kumpulan surat
R.A Kartini “Habis Gelap Terbitlah Terang“. Hal ini terlihat dari kutipan
berikut: “Bagaimana pernikahan dapat membawa kebahagiaan, jika
hukumnya dibuat untuk semua lelaki dan tidak untuk wanita? Kalau
hukum dan pendidikan hanya untuk lelaki? Apakah itu berarti ia boleh
melakukan segala sesuatunya?“. 13
Dari kutipan ini terlihat agency dari R.A Kartini, terutama aspek
practical-evaluative. Dalam hal ini R.A Kartini mengkritisi habitus masa
lampau masyarakat Jawa, terutama sekali budaya patriarki, yang
memberikan peran kuat pada laki-laki terutama dalam pendidikan dan
hukum. Sebagai evaluasi dan tindak lanjut dari hal itu, maka R.A Kartini
berupaya memberdayakan perempuan dalam hal pendidikan, yang pada
gilirannya akan memberdayakan perempuan dalam hal hukum dan aspek-
aspek sosial yang lain.
Selain agency, penulis juga menggunakan konsep “pendidikan
humanistik“. Pendidikan humanistik memandang bahwa belajar bukan
sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah
proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian
atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistik dalam
pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi
yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga tujuan
13
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang..., 10.
22
yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain
kognitif saja, tetapi bagaimana menjadi individu yang bertanggungjawab,
penuh perhatian terhadap lingkungannya, serta mempunyai kedewasaan
emosi dan spiritual.14
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan penelitian pustaka
(library research). Untuk menganalisis data yang diperoleh, penulis
menggunakan metode “analisis isi kualitatif“ (qualitative content
analysis). Adapun langkah-langkah utama dari metode ini adalah:
1. menyusun “kategori” (formulating the categories),
2. mendefinisikan “kategori” (defining the categories),
3. mengindikasikan kata-kata yang mewakili “kategori” tersebut.15
Selain itu, penulis menggunakan metode hermeneutika.
Hermeneutika sebagai sistem penafsiran dapat diterapkan, baik secara
kolektif maupun secara personal, untuk memahami makna yang
terkandung dalam teks, mitos ataupun simbol. 16
Dalam penelitian ini,
metode hermeneutika terutama sekali dibutuhkan untuk melihat sebuah
teks dalam konteks awal saat teks tersebut ditulis, untuk kemudian melihat
substansi dari pesan teks tersebut, kemudian dicari relevansinya dalam
14
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran..., 142. 15
Margrit Schreier, Qualitative Content Analysis in Practice, California: Sage, 2012. 16
“Hermeneutics: Principles of Biblical Information“, Encyclopaedia Britannica,
http://www.britannica.com/topic/hermeneutics-principles-of-biblical-interpretation, diakses 20
Februari 2016.
23
konteks masa sekarang, dengan tetap mempertimbangkan substansi pesan
tersebut.17
Sumber premier dari penelitian ini adalah buku kumpulan surat R.A
Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot
Licht) Kumpulan Surat Kartini yang menginspirasi Wanita-wanita di
Indonesia Sepanjang Masa (Jakarta: Penerbit Narasi, 2011). Selain itu
penulis juga merujuk pada biografi R.A Kartini yang ditulis oleh
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soertoto, yang berjudul Kartini,
Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin Teladan (Jakarta: Balai
Pustaka, 2011). Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini adalah
karya-karya yang ditulis oleh para ilmuwan tentang sosok R.A Kartini.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan tesis ini, penulis membuat
sistematika dalam lima bab yaitu:
Bab I, Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, kerangka
teori, review penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II, Biografi R.A Kartini menjelaskan tentang gambaran umum
mengenai sosok R.A Kartini, permasalahan dan kendala yang dihadapi
17
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of an Intellectual Tradition, London:
Center for Middle Eastern Studies, 1982, 40-55.
24
oleh R.A Kartini, dan perjuangan R.A Kartini untuk memberikan
pendidikan kepada kaum perempuan agar setara dengan laki-laki.
Bab III, pemikiran pendidikan R.A Kartini, yang meliputi
pemikiran pendidikan R.A Kartini tentang pendidikan perempuan dan
pendidikan karakter. Pada surat-surat R.A Kartini tertulis pemikiran-
pemikirannya khususnya menyangkut kebebasan untuk menuntut ilmu dan
belajar. Dalam bab ini juga akan dibahas apakah pemikiran R.A Kartini
tentang pendidikan bersinggungan dengan konsep “pendidikan
humanistik“.
BAB IV, kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam
rekonstruksi pendidikan Islam. Dalam bab ini, penulis berupaya
menyelaraskan pemikiran R.A Kartini pada masa lalu ke dalam konteks
sekarang, terutama dalam kaitannya dengan upaya rekonstruksi pendidikan
Islam masa kini, yang sadar akan gender dan pemberdayaan wanita.
Bab V: Penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian akhir
adalah daftar pustaka dan lampiran.
25
BAB II
R.A KARTINI: KEHIDUPAN DAN AKTIVISME
A. Genealogi R.A Kartini
Raden Ajeng Kartini lahir di Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada
tangggal 21 April 1879. Lahir dari pasangan Ario Sosroningrat dan Ibu
Ngasirah. R.A Kartini merupakan anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung
dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan
tertua.
R.A Kartini digambarkan sudah menunjukkan kemandirian dan
rasa ingin tahunya yang tinggi sejak dini.18
Ayah Kartini, R.M.
Sosroningrat, Bupati Jepara, mempunyai dua orang istri. Yang pertama
dinikahinya pada tahun 1872, ketika ia masih berpangkat wedana di
Mayong. Istrinya, Mas Ajeng Ngasirah, berasal dari kalangan rakyat biasa
anak Nyai Hajjah Siti Aminah dengan Kiai Haji Madirono, seorang guru
agama di Desa Telukawur, Jepara.19
Masih dalam kedudukannya sebagai
Wedana, pada tahun 1875 ia menikah lagi dengan seorang putri
bangsawan tinggi keturunan Raja Madura, yaitu Raden Ajeng Wuryam
atau Muryam putri R.A. Citrowikromo, Bupati Jepara sebelum
Sosroningrat. Istri kedua ini kemudian diangkat menjadi “garwa padmi”,
sedangkan Mas Ajeng Ngasirah sebagai “garwa ampil”. Sebutan “garwa
18
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin
Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, 24. 19
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 9.
26
padmi” adalah sebutan untuk istri utama yang mendampingi suaminya
pada upacara-upacara resmi. Sedangkan istri yang lain, yang dinikahi
dengan sah maka disebutnya sebagai “garwa ampil”.
Berikut skema dari silsilah keluarga R.A Kartini, yang berasal dari
kakeknya, R.M Sosroningrat.
Silsilah keluarga Sosroningrat20
R.M. Sosroningrat – Bupati Jepara
Garwa Ampil: M.A Ngasirah Garwa Padmi: R.A. Sosroningrat
1. R.M Slamet (15 Juni 1873) 3. R.A Sulastri (9Januari 1877)
2. R.M Busono (11 Mei 1874) 6. R.A Rukmini (4 Juli 1880)
4. R.M Kartono (10 April 1877) 8.R.A Kartinah (3Juni 1883)
5. R.A Kartini (21 April 1879)
7. R. A Kardinah (1 Maret 1881)
9. R.M Muljono (26 Desember 1885)
10. R.A Sumatri (11 Maret 1888)
11. R.M Rawito (16 Oktober 1892)
20
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 10.
27
Pada skema tersebut, terlihat urutan putra dan putri R.M.A.A Sosroningrat,
serta dari istri mana mereka dilahirkan.
Anak ke-1 : R.M Slamet
Anak ke-2 : R.M Busono, bergelar P.A Sosrobusono, Bupati Ngawi
Anak ke-3 : R.A Sulastri, menikah dengan R. Cokrohadisosro, Patih
Kendal
Anak ke-4 : R.M Kartono, bergelar R.M.P Sosrokartono dan terkenal
sebagai “Ndoro Sosro”.
Anak ke-5 : R.A Kartini, menikah dengan R.A.A Joyoadiningrat
Anak ke-6 : R.A Rukmini, menikah dengan R. Santoso
Anak ke-7 : R.A Kardinah, menikah dengan R.M.A.A Reksonegoro,
Patih Pemalang, kemudian menjadi Bupati Tegal
Anak ke-8 : R.A Kartinah, menikah dengan R. Dirjoprawiro
Anak ke-9 : R.M Mulyono
Anak ke-10 : R.A Sumatri, menikah dengan R. Sosrohadikusumo
Anak ke-11 : R.M Rawito
B. Latar Belakang Pendidikan R.A Kartini
R.A Kartini memulai pendidikan formalnya di ELS (Europese
Lagere School). Di sekolah inilah R.A Kartini belajar bahasa Belanda.
Hanya sampai usia 12 tahun, R.A Kartini diperbolehkan sekolah di ELS,
selebihnya ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Sekolah
R.A Kartini letaknya di samping kabupaten Jepara.
28
Di sekolah, R.A Kartini termasuk sosok yang kritis dan cerdas,
R.A Kartini dengan mudah dapat beradaptasi dan bersaing dengan teman-
temannya dari Belanda baik perempuan maupun laki-laki. Ia berbicara
bahasa Belanda dengan fasih. Hal ini dibuktikan ketika seorang inspektur
Belanda datang ke sekolah R.A Kartini, inspektur tersebut memberikan
tugas kepada anak-anak membuat karangan dalam bahasa Belanda.
Menurut hasil penilaiannya, ternyata karangan R.A Kartini paling bagus
dibanding semua karangan dari seluruh sekolah di daerah inspeksinya.21
R.A Kartini bisa membuat karangan dengan baik, karena tidak
lepas dari didikan ayahnya semenjak kecil. R.A Kartini terbiasa membaca
buku-buku dan koran yang berbahasa Belanda, sehingga menjadikan R.A
Kartini tidak asing dalam mempelajari bahasa Belanda secara fasih. Selain
itu, ayahnya selalu memperkenalkan putri-putrinya kepada tamu bangsa
Belanda yang datang ke kabupaten. Dengan demikian secara tidak
langsung R.A Kartini beserta adik-adiknya belajar berkomunikasi dalam
Bahasa Belanda.
Di antara buku yang dibaca R.A Kartini antara lain adalah, „Tujuan
Pergerakan Wanita‟ dari Dr. Aletta Jacobs dan „Droomen van het Ghetto‟
(impian dari Ghetto) dari Zangwill. Buku „Moderne Maagden‟ dari Marcel
Prevost menarik hatinya karena menggambarkan pergerakan wanita yang
memikat dan mengharukan. Begitu pun artikel „Apakah tugas wanita
modern?‟ dari majalah Wettenschappelijke Bladen. R.A Kartini menyukai
21
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 38.
29
buku „Barthold Meryan‟ dari sosialis Cornelie Huygens, karena membahas
tentang sosialisme, pernikahan, dan kedudukan wanita. Kegemarannya
dengan buku, mengantarkan sahabat, ayah, dan kakaknya menghadiahkan
buku yang berkualitas kepada R.A Kartini. Seperti buku-buku dari Henri
Borel, yaitu „De Laatste Incarnatie‟ dan „Het Jongetje‟. Karya Borel
mampu menampilkan bahasa yang menawan sehingga menarik hati R.A
Kartini untuk membacanya.22
Mengenai kegemarannya membaca, R.A Kartini pernah
menceritakan perihal tersebut kepada Nyonya R.M Abendanon – Mandri.
Bila hatinya sedang bersedih, ia hanya dapat menemukan hiburan dari
sahabatnya yang tak pernah bergerak yaitu “buku-buku”. Ia selalu gemar
sekali membaca, namun kini kesenangannya bacaan sudah menjadi
bagian hidupnya. Apabila ia telah menyelesaikan pekerjaan yang
ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau surat kabar. Ia
membaca semuanya yang tertangkap oleh bola matanya. Ia melahap
semua bacaan, bercampur antara yang baik dan yang buruk. Banyak
sekali buku yang dinikmatinya, buku yang tak terkatakan bagusnya yang
membuatnya dapat melupakan semua kesedihan dalam hidupnya. Tabiat-
tabiat baik, pandangan hidup mulia, jiwa dan pikiran besar, membuat
hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena berbesar hati. Ia
menghayati sepenuhnya semua yang dibaca.23
Sebuah buku yang sangat menyentuh rasa nasionalisme R.A
Kartini, adalah „Max Havelaar‟ karya besar Eduard Douwes Dekker yang
terkenal dengan nama samaran Multatuli. Dia seorang penulis jenius yang
belum ada tandingannya dalam sastra Belanda. „Max Havelaar‟ berisikan
tentang roman otobiografi Multatuli, yang berisi gugatan sosial yang
menggemparkan masyarakat di Eropa dan Hindia Belanda (Indonesia).
22
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 18. 23
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah…, 70.
30
Berkat bukunya itu nama Mulatatuli tercatat dalam sejarah Indonesia
sebagai pembela bangsa Indonesia. Baru pada tahun 1972 buku tersebut
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HB. Jassin dengan kata
pengantar oleh Drs. G. Termoshuizen. Sebelumnya buku „Max Havelaar‟
telah diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa dan menjadi literatur
dunia.24
Jika kita telaah lebih dalam, melalui kegemaran membaca, telah
mengantarkan R.A Kartini pada pengetahuannya yang luas mengenai
berbagai persoalan yang menimpa rakyat Indonesia pada masa itu. Tidak
hanya sekedar membaca, R.A Kartini mampu memahami dan menyelami
pemikiran sang penulis dalam kehidupan sehari-hari. Hingga akhirnya
hasil bacaan tersebut, mampu menghasilkan renungan yang ia tuliskan
dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat, dan teman penanya
dari Indonesia maupun Eropa. Pembelajaran secara otodidak yang
dilakukan oleh R.A Kartini, menjadikan dia fasih dalam bahasa Belanda
selain juga kecakapan untuk tulis menulis.
C. Kondisi Pendidikan Jawa pada zaman R.A Kartini
Pada tahun 1870-an, kondisi dan budaya Jawa tidak menginginkan
perempuan maju setara dengan laki-laki. Perempuan ningrat sebelum
menikah harus dipingit di dalam rumah, untuk menjaga harkat dan
martabatnya sebagai perempuan. Hal ini dilihat oleh R.A Kartini sebagai
24
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 119.
31
ketidakadilan terhadap kaum perempuan dan sebagai bentuk diskriminasi.
R.A Kartini mengkritisi ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan
dalam mengakses pendidikan. Perempuan ingin belajar menuntut ilmu
masih sering dianggap tabu oleh masyarakat. Hal ini karena persepsi
bahwa perempuan ningrat yang keluar rumah adalah melanggar aturan
adat, sehingga tidak ada yang berani melanggarnya.
Ketidakberuntungan juga terlihat di perempuan kelas bawah.
Sekalipun mereka diperbolehkan keluar rumah untuk mencari nafkah,
namun mereka sering dipaksa untuk dinikahkan dengan laki-laki yang
sudah beristri. Perempuan secara umum pada zaman itu bisa dikategorikan
sebagai kelompok termarginalkan.
R.A Kartini memberi perhatian akan fenomena perempuan di Jawa
yang tidak mempunyai akses untuk mengenyam pendidikan. Hal ini antara
lain terlihat dalam korespondensinya dengan Nyonya N. van Kol.
Begitu banyak azab dan sengsara yang diderita oleh perempuan
bumiputra. Berbagai penderitaan itu yang telah saya saksikan dalam
masa kanak-kanak saya, sehingga menimbulkan keinginan dalam hati
untuk melawan adat istiadat yang seolah-olah membenarkan dan
menganggap adil keadaan itu. Usaha kami mempunyai dua tujuan, yaitu
turut berusaha memajukan bangsa kami dan merintis jalan bagi saudara-
saudara perempuan kami menuju ke keadaan yang lebih baik, yang
setara dengan martabat manusia. Kami mengajukan permohonan:
bantulah kami untuk mewujudkan cita-cita kami yang bertujuan
memberi kebahagiaan bagi bangsa dan kaum kami yaitu perempuan.
Didiklah perempuan Jawa, cerdaskan menurut perasaan dan pikiran.
Dengan demikian tuan sekalian akan mendapat teman bekerja yang
tangkas dan cakap dalam melaksanakan kerja raksasa tuan yang mulia
dan indah, yaitu membuat bangsa beradab, cerdas dan bangkit! 25
25
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 151.
32
Dalam suratnya yang lain, yang ditujukan kepada Nyonya N. van
Kol, R.A Kartini menyatakan cita-citanya agar kaum perempuan juga
diberikan kesempatan menimba ilmu kedokteran. Hal ini dikarenakan, R.A
Kartini melihat banyak orang Jawa yang sakit dan masih sedikit yang
mengerti tentang ilmu kedokteran. Keinginaan R.A Kartini mengenai cita-
citanya, dia tuliskan kepada Nyonya N. van Kol.
Saya dan Roekmini akan bekerjasama. Yang juga kami harap dapat
diajarkan pada sekolah yang kami cita-citakan itu ialah: ilmu kesehatan,
ilmu merawat, dan ilmu membalut luka! ilmu pengetahuan inilah yang
selalu akan berguna bagi kami, dan banyak berguna bagi masyarakat di
sekeliling kami ketika harus merawat orang sakit. Sangat menyedihkan
bila melihat orang yang kami sayangi menderita, sedang kami tidak
tahu bagaimana meringankan penderitaan mereka. Pengetahuan ilmu
kesehatan, ilmu merawat dan kepandaian membalut luka harus menjadi
bagian dari pendidikan. Kecelakaan dapat dihindari, atau setidaknya
jumlahnya dapat ditekan serendah-rendahnya apabila pengetahuan itu
diajarkan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan. Sama sekali
kami tidak bermaksud menjadikan orang Jawa sebagai bangsa Jawa
Eropa dengan pendidikan bebas. Kami hanya ingin memberikan
berbagai kelebihan bangsa lain kepada mereka disamping berbagai
kelebihan yang sudah ada pada mereka sendiri. Bukan untuk menggeser
sifat-sifat bawaan mereka sendiri, melainkan untuk membuatnya lebih
halus dan luhur!26
R.A Kartini mengajukan permohonan kepada pemerintah kerajaan
Belanda agar memberikan akses pendidikan kepada rakyat. R.A Kartini
menilai bahwa pendidikan sangat penting untuk pembentukan akal pikiran
dan juga pembentukan karakter. Ini bisa dilihat sebagai aspek projektif
dari agency R.A Kartini, yaitu keinginan dan cita-cita untuk memajukan
pendidikan pada generasi muda. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:
Kami hendak berhubungan dengan kaum laki-laki bangsa kami terpelajar,
yang suka akan kemajuan; hendak berusaha bersahabat dengan mereka
dan selain itu mencoba mendapat bantuannya. Bukan orang laki-laki yang
26
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 153.
33
kami lawan, melainkan pendapat kolot yang turun-temurun, adat yang
tidak terpakai bagi tanah jawa kami masa depan. Dari Jawa baru ini
beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan, bersama-sama
kami merupakan pelopor. Sepanjang masa perintis jalan itu dalam bidang
apapun berat tanggung jawabnya, kami tahu. Senang sekali mempunyai
cita-cita dan tujuan hidup.27
R.A Kartini meminta adanya sekolah kejujuran yang dilengkapi
asrama untuk para gadis. Setiap sekolah harus memiliki perpustakaan yang
memadai, agar para siswa fasih berbahasa Belanda selain bahasa
Indonesia.. Tentang bahasa, R.A Kartini pernah mengatakan, “saya tidak
mengerti satu pun bahasa modern. Sayang! Adat tidak mengizinkan kami,
para gadis untuk belajar lebih banyak. Kami mengerti bahasa Belanda saja,
sudah dianggap keterlaluan. Saya belajar bahasa, bukan hanya untuk
bicara dalam bahasa itu, melainkan supaya saya dapat membaca karya para
pengarang asing yang bagus dalam bahasa aslinya!”28
R.A Kartini dalam suratnya, juga mengemukakan keinginannya
untuk menjadi guru. Ia memandang tugas pendidik sangat mulia, Hal
tersebut dinyatakan kepada Ny. Abendanon:
Saya berpendapat mendidik adalah tugas yang luhur dan suci. Tanpa
memiliki keahlian memadai adalah dosa mencurahkan diri di bidang
tersebut. Bagi saya pendidikan berarti pembentukan watak dan akal
pikiran. Tugas pendidik tidak berhenti pada pengembangan akalnya saja.
Ia juga wajib memelihara pembentukan wataknya. Secara moral dia
berkewajiban, walau tidak ada hukum yang mengharuskannya melakukan
itu. Patut diingat, bahwa perkembangan intelektual saja tidak menjamin
nilai kesusilaannya.29
27
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 55. 28
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 13. 29
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111.
34
Suratnya kepada Prof. Anton yang menyatakan kewajiban
seseorang berpendidikan:
Kami memohon dengan sangat supaya di sini diusahakan pengajaran dan
pendidikan bagi anak-anak perempuan. Bukankah karena kami hendak
menjadikan anak-anak perempuan menjadi saingan orang laki-laki,
melainkan karena kami yakin akan pengaruh besar yang mungkin datang
dari kaum perempuan. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi
lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh ibu Alam
sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu yang menjadi pendidik
anak-anak mereka.30
Selain masalah pendidikan secara umum, R.A Kartini juga
menuliskan pendidikan secara khusus bagi anak-anak. Sebagaimana
tertuang dalam suratnya yang ditujukan kepada Dr.Anton:
Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan
tugas besar mendidik anak-anaknya, pendidikan yang akan membentuk
budi pekertinya. Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak
perempuan. Siapkanlah masak-masak untuk menjalankan tugasnya yang
berat.
Hendaknya para ibu mengetahui jika mereka dikaruniai kebahagiaan
sebesar sebagai seorang perempuan, yaitu kemewahan ibu! Bersamanya
seorang anak mendapatkan masa depannya. Di depan matanya jelas
tergambar kewajiban yang dibebankan keibuannya kepada dirinya.
Mereka mendapatkan anak bukan untuk dirinya sendiri. Mereka harus
mendidiknya untuk keluarga besar, keluarga raksasa yang bernama
masyarakat, karena anak itu kelak akan menjadi anggotanya!.31
Begitu besar perhatian R.A Kartini terhadap pendidikan, yang
beliau tuangkan dalam isi surat-suratnya kepada para sahabat penanya.
R.A Kartini menghendaki sistem pendidikan yang mengutamakan
pembinaan watak untuk semua disiplin ilmu, terutama yang bermanfaat
30
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 339. 31
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 339.
35
bagi masyarakat luas, seperti kesehatan, kedokteran, bidan/perawat,
apoteker obat tradisional, pamong praja, hukum juga agama.32
D. Kumpulan Surat R.A Kartini dan Yayasan Sekolah Kartini
Pada tanggal 13 September putranya lahir dan empat hari
kemudian, pada tanggal 17 September 1904, R.A Kartini meninggal
dengan tiba-tiba dalam usia 25 tahun. Kabar meninggalnya R.A Kartini
telah sampai kepada keluarga Abendanon. Suami dari R.A Kartini, Bupati
Joyodiningrat menyampaikan berita meninggalnya R.A Kartini dengan
menulis surat kepadanya.
Dengan halus dan tenang ia menghembuskan napasnya yang terakhir
dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilang, pikirannya masih utuh,
dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan
usahanya ia adalah lambing cinta. Pandangannya dalam hidup
sedemikian luas sehingga tidak ada di antara saudara-saudaranya
perempuan yang dapat menyamainya. Jenazahnya saya tanam keesokan
harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu. 13 pal dari kota.33
Berita wafatnya R.A Kartini diterima oleh keluarga Abendanon
ketika mereka masih di Batavia. Kabar yang mengejutkan ini, membuat
Abendanon menyesal, karena telah membujuk R.A Kartini untuk
melepaskan izin yang telah dipegangnya untuk belajar di Nederland.
Dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” dituliskan kata pengantar
oleh Abendanon, “Kawat yang memberitakan kematian mendadak pada
tanggal 17 September 1904 menimbulkan kesedihan yang mendalam.
32
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…., 365. 33
M. Vierhout. Raden Ajeng Kartini, Den Haag: 1943, 189.
36
Seperti yang hanya kami rasakan pada berlalunya orang-orang yang paling
kami cintai”.34
Untuk menghormati R.A Kartini, Abendanon akhirnya
menerbitkan surat-surat Kartini sebagai penghargaan tertinggi kepada R.A
Kartini. Buku Door duisternis tot licht terbit pertama kali pada bulan April
1911, sekitar 6,5 tahun setelah wafatnya R.A Kartini. Penerbitan perdana
buku Door duisternis tot licht bertepatan dengan hari lahir R.A Kartini, 21
April 1911. Buku tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Nederland, mereka kagum membaca pikiran-pikiran R.A Kartini yang
ditulis dalam bahasa Belanda yang indah. Dalam waktu yang lama Door
duisternis tot licht menjadi pembicaraan di koran-koran, majalah, dan
bukunya menjadi best seller. Orang Belanda jadi mengenal sosok R.A
Kartini lebih dekat, mengenai pemikiran dan cita-citanya terhadap
pendidikan.35
Selain peran Abendanon, sosok lain yang berjasa dalam
mendirikan sekolah R.A Kartini adalah Nyonya Hilda de Booy-
Boissevain. Hilda sangat aktif untuk mencarikan dana dengan propaganda
berkeliling Nederland memperkenalkan cita-cita R.A Kartini di kalangan
masyarakat Belanda. Dalam kata pengantar Door duisternis tot licht,
Abendanon memberitahukan bahwa semua hasil penjualan buku
diserahkan untuk Sekolah Kartini yang akan didirikan.
34
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, vi. 35
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 340-341.
37
Gagasan R.A Kartini dalam Door duisternis tot licht untuk
mendirikan sekolah bagi perempuan Jawa juga telah mengetuk hati Mr. C.
Th. Van Deventer yang pernah bekerja di Hindia Belanda. Setelah
membaca surat-surat R.A Kartini, ia memperoleh pandangan baru
mengenai sosok R.A Kartini. Selama ini Van Deventer melihat orang Jawa
adalah orang malas, tidak punya pendidikan, dan hanya bisa sebagai
budak. Dengan membaca buku Door duisternis tot licht ia membuat
penilaian yang berbeda. Kekaguman Van Deventer terhadap sosok R.A
Kartini, ia tuliskan dalam sebuah karangan dengan judul „Kartini‟ dalam
majalah De Gids, di mana ia menyatakan rasa kagum dan simpatinya
terhadap cita-cita Kartini. Van Deventer aktif dalam kampanye keliling
bersama Nyonya Hilda de Booy dalam membantu melaksanakan
perkumpulan “Dana Kartini”. Sebagai hasil anjuran dari Abendanon, maka
pada tanggal 27 Juni 1913 di kota Gravenhage didirikan Komite “Dana
Kartini” yang diketuai Mr. C. Th. Van Deventer. Pencetus ide “Dana
Kartini” diprakasai oleh Hilda de Booy-Boissevain, yang merupakan
sahabat pena Kartini.36
Hasil dari pengumpulan dana yang dilakukan oleh Hilda dan
Vandeventer, akhirnya pada tanggal 15 September 1913 dibuka Sekolah
Kartini di Jomblang (Semarang Selatan) yang dibuka oleh residen
Semarang. Setelah itu disusul pendirian Sekolah Guru (Kweekschool)
untuk guru-guru wanita di Salatiga pada tahun 1918. Tahun 1921
36
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 344-345.
38
pemerintah membuka Sekolah Normal (Normaalscholen) untuk
pendidikan guru yang tingkatannya lebih rendah dari Kweekschool. Pada
tahun 1913 didirikan “Perkumpulan Kartini” (Kartini Vareeniging) di
Batavia dan tempat-tempat lain. Berkat bantuan dari “Dana Kartini” di
Nederland dan Hindia Belanda serta subsidi pemerintah, maka kemudian
dapat didirikan Sekolah Kartini di kota lain. Seperti di Batavia (1913),
Meester Cornelis (1913), Buitenzorg (1913), Madiun (1914), Malang
(1916), Pekalongan (1917), Cirebon (1916), dan Indramayu (1918).37
E. R.A Kartini dan Perjuangan untuk Kemajuan Bangsa
R.A Kartini berkorespondensi kepada Nona E.H. Zeehandelaar
yang merupakan sahabat dalam bertukar pikiran dan ide. Perkenalan R.A
Kartini dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Lelie,
majalah wanita yang waktu itu terkenal dengan sumbangan karangan
dalam bidang sosial dan sastra.38
Salah satu isi surat R.A Kartini yang
ditujukan kepada Stella, menceritakan bagaimana keberadaan perempuan
Jawa yang tidak bisa mengakses pendidikan secara maksimal. Hingga usia
12 tahun, R.A Kartini harus dipingit di rumah dan tidak boleh bepergian.
Kebudayaan Jawa yang membatasi perempuan keluar dari rumah, karena
menganggap jika perempuan keluar rumah tanpa didampingi oleh suami,
adalah merupakan aib bagi keluarga. Namun hal itu dilawan R.A Kartini
dengan semangat kemajuan, dimana keberadaan beliau yang dipingit tidak
37
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi…, 348. 38
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 507.
39
menjadikannya diam dan pasrah dengan keadaan. Semangat untuk maju
dan rasa ingin tahu yang tinggi, yang menjadikan R.A Kartini ingin
terbebas dari kungkungan budaya yang lama, dan membawa perubahan
pada budaya yang baru.
Kami, anak-anak gadis yang masih terantai pada adat istiadat lama, hanya
boleh mendapatkan sedikit kemajuan di bidang pendidikan. Anak-anak
gadis setiap hari meninggalkan rumah untuk belajar di sekolah sudah
merupakan pelanggaran besar terhadap adat istiadat negeri kami. Untuk
diketahui, adat di negeri kami melarang keras para anak gadis pergi ke
luar rumah. Apalagi sampai pergi ke tempat lain, tidak boleh. Satu-
satunya lembaga pendidikan yang ada di kota kecil kami, hanya sekolah
rendah umum biasa untuk orang-orang Eropa. Pada usia 12 tahun saya
harus tinggal di rumah. Saya harus masuk “kotak”, terkurung di rumah,
terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu lagi selama
belum memiliki suami- seorang lelaki yang sama sekali asing, yang
dipilih orang tua bagi kami untuk menikahi kami, sungguh tanpa
sepengetahuan kami. Suatu kebahagiaan besar bagi saya bahwa saya
masih boleh membaca buku-buku Belanda dan berkorespondensi dengan
kawan-kawan yang ada di Belanda. Semua itu merupakan satu-satunya
penerangan dalam masa saya yang suram dan sedih.39
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini berikut:
Perkenalkan namaku Raden Ajeng Kartini, putri Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat, Bupati Jepara. Berumur 23 tahun. Lahir di Mayong, daerah
Jepara, pada 21 April 1879. Menginginkan dididik menjadi guru (ijazah
guru bantu dan guru kepala) di negeri Belanda. Dan yang terakhir ini ada
banyak alasannya. Pertama, untuk memperluas pandangan, memperluas
cakrawala pandangan jiwa, membuang prasangka yang masih melekat
padanya dan menyebabkan hambatan, mengunjungi beberapa perguruan
dan lembaga pendidikan di sana untuk mengetahui cara pendidikan dan
pengajaran di Nederland; ini semua dimaksudkan agar dapat lebih baik
menunaikan tugas yang ingin dipikulnya. Tujuan cita-cita ingin belajar di
Eropa tersebut ialah: memberikan yang baik dari peradaban Belanda
kepada bangsa kami, untuk memuliakan adat-istiadatnya; membawa
bangsa itu kepada pandangan tata susila yang lebih tinggi sebagai sarana
untuk mencapai keadaan masyarakat yang lebih baik dan lebih bahagia.
Jalan yang kami harapkan untuk mencapai tujuan itu ialah: mendirikan
39
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 9.
40
sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan Jawa. Untuk sementara
sebagai percobaan dan contoh, adalah sebuah sekolah berasrama untuk
anak-anak perempuan kepala-kepala Bumiputra. Tujuannya ialah: agar
ibu-ibu di pulau Jawa yang maju dan cerdas, dan akan meneruskan
kemajuan dan kecerdasannya itu kepada anak-anaknya; anak-anak
perempuannya yang akan menjadi kaum ibu lagi; anak-anak laki-lakinya,
yang suatu ketika akan dipanggil, turut menjaga suka duka bangsa!.40
R.A. Kartini berusaha mengatasi konservativisme dan
otoritarianisme. Perlu dicatat bahwa yang dilawan R.A. Kartini adalah ide,
bukan orang. Sehingga dia bisa bekerjasama dan berinteraksi dengan kaum
pria yang tercerahkan, yang tidak mendukung konservativisme.
R.A. Kartini sangat menekankan penguasaan bahasa asing, yakni
dalam hal ini bahasa Belanda. Pengetahuan bahasa asing bisa dan sangat
berpotensi untuk memajukan seseorang, secara pribadi, dan bangsa, secara
umum. Pengetahuan ini memungkinkan orang memahami wacana dan ide
maju dari bangsa lain, untuk kemudian mencari inspirasi dan sintesis untuk
kemajuan bangsanya. Pengetahuan ini juga memungkinkan orang untuk
berkomunikasi dengan bangsa-bangsa lain, bergerak dalam aktivisme dan
terlibat dalam jaringan (network) yang memungkinkan seseorang untuk
membangun gerakan yang solid untuk mencari solusi dari masalah bangsa
dan atau memberikan arah bagi kemajuan bangsa.
Pertanyaan yang harus kami jawab itu semuanya sangat penting dan
justru yang memenuhi benak dan sanubari kami, karena itulah kami tidak
dapat dan tidak mau menjawabnya serampangan saja. Untuk
menyebutkan contoh, pertanyaan pertama berbunyi: “Tindakan apa yang
cocok untuk membuat bangsa Jawa lebih maju dan sejahtera?”
Pertanyaan yang telah dipelajari oleh orang-orang yang beruban dan ahli.
Dan pertanyaan itu harus kami jawab cepat dan lengkap pula. Pertanyaan
40
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 265-266.
41
kedua: “Ke arah mana pengajaran harus diperbaiki dan diperluas?. Ini
pertanyaan yang bagi saya cukup dijawab dengan sepatah kata.
Pertanyaan itu berbunyi, apakah arti perempuan dalam memajukan orang
Jawa oleh para negarawan tidak terlalu sedikit diperhatikan?
Yang mengajukan pertanyaan seperti itu pastilah seorang yang berpikiran
modern. Dan pertanyaan yang terakhir, bagaimanakah cara memulai
suatu usaha untuk lebih meningkatkan peradaban dan kemajuan
perempuan jawa dari tingkat tinggi atau bawah, dan tidakkah dengan
demikian usaha itu bertentangan dengan adat kebiasaan negeri?”41
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini berikut:
Bantulah, teman-teman. Bantulah mengusahakan kami pergi dari sini
untuk bekerja mewujudkan cita-cita kami. Akan tiba saat permulaan
untuk mengakhiri ketidakadilan yang besar, yang menyebabkan ribuan
hati perempuan dan anak hancur luluh. Saya hendak menekuni Bahasa
Belanda sungguh-sungguh, menguasainya dengan sempurna, agar saya
dapat berbuat dengan bahasa itu semau saya. Dan saya akan mencoba
dengan pena saya menumbuhkan perhatian mereka, yang dapat memberi
bantuan dalam usaha kami untuk memperbaiki nasib perempuan Jawa.
Kami hendak berhubungan dengan kaum laki-laki bangsa kami terpelajar,
yang suka akan kemajuan; hendak berusaha bersahabat dengan mereka
dan selain itu mencoba mendapat bantuannya. Bukan orang laki-laki yang
kami lawan, melainkan pendapat kolot yang turun-temurun, adat yang
tidak terpakai bagi tanah jawa kami masa depan. Dari Jawa baru ini
beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan, bersama-sama
kami merupakan pelopor. Sepanjang masa perintis jalan itu dalam bidang
apapun berat tanggung jawabnya, kami tahu. Senang sekali mempunyai
cita-cita dan tujuan hidup.42
F. R.A Kartini dan Interaksinya dengan Kiai Saleh Darat
R.A Kartini menurut Pramoedya Ananta Toer adalah seorang yang
relijius, tanpa berpegang pada bentuk-bentuk keibadahan, atau syariat, jadi
ia termasuk golongan jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan
dipahami sebagai sumber hidup yang mengikat setiap orang dengannya, tak
peduli apa pun agama yang dianut, bahkan juga bagi si ateis sekalipun,
41
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 384. 42
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 52.
42
sebagaimana jelasnya dinyatakannya dalam hubungan dengan buku Edna
lyall „We Two‟. Ia dapat menerima agama apa pun, dan ia tidak dapat
menerima pemutar balikan atas agama apa pun, sebagaimana halnya
pernyataannya dalam hubungan dengan buku Sienkiewicz „Quo Vadis‟?43
Tahun berganti tahun, kami namanya orang Muslim, karena kami
keturunan orang Muslim, dan kami namanya Muslim, lebih daripada itu
tidak. Tuhan, Allah, bagi kami semata-mata kata seruan. sepatah kata,
adalah bunyi tanpa arti dan rasa. Demikian kami hidup terus, sampai tiba
hari yang membawa perubahan dalam kehidupan jiwa kami.44
Pandangan R.A Kartini mengenai agama sangat dekat dengan
teologi pembebasan yang kita kenal sekarang. Agama seharusnya
mencerahkan dan memajukan peradaban, bukan menjadi legimitasi orang
untuk melakukan kekerasan pada orang lain, atau melakukan tindakan yang
tidak berperikemanusiaan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:
Kami mendapatkan banyak perhatian dari sahabat kalangan rakyat biasa.
Dan alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami
melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang
dengan berkedok agama. Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama
yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang
membuat segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu.45
Pencarian R.A Kartini akan adanya Tuhan semesta alam, tentu
tidak lepas dari batinnya yang bertanya tentang adanya hidup di dunia.
Kekosongan demi kekosongan telah menimbulkan tanda tanya dalam
dirinya untuk mencari keberadaan seorang Tuhan. Dalam suratnya kepada
Abendanon, tanggal 15 Agustus 1902, R.A Kartini pernah menceritakan
tentang pertemuannya kepada orang tua yang telah membukakan
43
Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2003, 260-261. 44
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 300. 45
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 364.
43
pencariannya akan adanya Tuhan dalam Islam. Orang tua yang dimaksud
disini adalah Kiai Saleh Darat dari Semarang.
Di sini ada seorang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di
dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak
lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi.
Dan dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan:
“Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus
mengasingkan diri di tempat yang sunyi.”
“Habis malam datanglah cahaya,
Habis topan datanglah reda,
Habis duka datanglah suka,
Berdesau-desaulah dalam telinga saya sebagai rekuiem.
Saya tidak mau belajar lagi belajar membaca al Quran, belajar
menghafalkan amsal dalam Bahasa asing, yang tidak saya ketahui
artinya. Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga
tidak mengerti. “Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar
semuanya.” Saya berdosa, kitab suci yang mulia itu terlalu suci untuk
diterangkan artinya kepada kami.
Pertemuan R.A Kartini dengan Kiai Saleh Darat Semarang terjadi
pada 19 Februari 1892 M, di kediaman Pangeran Ario Hadiningrat saat
sedang diadakan pengajian bulanan yang diisi oleh Kiai Saleh Darat.
Menurut catatan Ibu Nyai Fadhila Sholeh, cucu Kiai Saleh Darat, ketika
pengajian yang diselenggarakan di rumah pangeran Ario Hadiningrat
berlangsung, R.A Kartini dan pamannya ikut serta mendengarkan wejangan
ilmu agama yang disampaikan oleh Kiai Saleh Darat. Materi yang
disampaikan adalah tentang tafsir surat al-Fatihah. R.A Kartini
menyimaknya dengan seksama di balik tabir beserta dengan Raden Ayu
atau Raden Ajeng yang lainnya. Ia kagum dengan apa yang disampaikan
oleh Kiai Saleh Darat, sebab selama hidupnya, arti ayat-ayat al-Quran,
terlebih al-Fatihah yang merupakan surat pertama yang diajarkan kepada
44
R.A Kartini dari guru ngajinya begitu asing.46
“Selama ini surat al-Fatihah
gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi
sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna
tersiratnya, sebab Romo Kiai (Saleh Darat) telah menerangkan dalam bahasa
Jawa yang saya pahami,” kata R.A Kartini usai mendapatkan penjelasan
mengenai makna yang terkandung dalam surat al-Fatihah yang disampaikan
Kiai Saleh Darat.
Karena masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam
ayat-ayat al-Quran, R.A Kartini meminta pamannya, pangeran Ario
Hadiningrat agar berkenan mempertemukannya dengan Kiai Saleh Darat.
Ketika keduanya bertemu, maka berlangsunglah sebuah dialog yang
berkenaan dengan makna yang terkandung dalam al-Quran. Dialog tersebut
adalah sebagai berikut:
Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya jika ada seorang
yang berilmu menyembunyikan ilmunya?“, tanya R.A. Kartini
Kiai Saleh Darat menimpalinya dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa
Raden Ajeng bertanya demikian?“
“Kiai, selama hidup saya baru kali ini berkesempatan memahami makna
surat al Fatihah, surat pertama dari induk al-Quran. Isinya begitu indah,
menggetarkan sanubariku,“ ujar R.A Kartini.
Kiai Saleh Darat tertegun mendengar jawaban dari R.A Kartini. Ia
seolah-olah tak punya kata untuk menyela. Lalu R.A Kartini melanjutkan
pembicaraannya dengan sang Kiai.
Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah. Namun, aku heran mengapa
selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-
46
Amirul Ulum, Kartini Nyantri, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ulama, 2015, 177.
45
Quran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah al-Quran adalah bimbingan hidup
bahagia dan sejahtera bagi manusia?47
Pertemuan Kiai Saleh Darat dengan R.A Kartini yang menjadi alasan
Kiai Saleh Darat untuk menulis tafsir yang bernama Fayd al-Rahman fi
Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan. Pertemuan tersebut terjadi
sebelum 19 Februari 1892, atau sebelum R.A Kartini masuk pingitan
(sekitar umur 12 tahun). sebab, Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan itu mulai ditulis pada malam Kamis 19 Februari 1892, dan
selesai pada tanggal 9 Desember 1892.
Dalam pembukaan kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam
Malik ad-Dayyan yang memakai Bahasa Arab pegon, Kiai Saleh Darat
menulis alasannya mengapa ia harus menulis tafsir terjemahan al-Qur‟an
tersebut. Ia menulis alasannya sebagai berikut: “Saya melihat secara umum
pada orang-orang awam tidak ada yang memperhatikan tentang maknanya
al-Qur‟an karena tidak tahu caranya dan tidak tahu maknanya karena al-
Qur‟an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, maka dari itu saya
bermaksud membuat terjemahan arti al-Qur‟an.”
Tentang alasan mengapa Kiai Saleh Darat memakai Bahasa Arab
Pegon dalam menulis tafsirnya, hal ini disebabkan karena salah satunya agar
tidak diketahui Belanda yang di waktu itu melarang penerjemahan al-Qur‟an
ke dalam bahasa Melayu atau Jawa. Terjemah tafsir tersebut diberikan
47
Matsuki HS dan M. Ishom El Seha, “Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala
Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren”, Jakarta: Diva Pustaka, 2006, 151.
46
kepada R.A Kartini pada tahun 1902. Di waktu memberikan tafsir itu, usia
Kiai Saleh Darat sekitar 82 tahun.48
Ketika menerima terjemah tafsir al-Quran tersebut, R.A Kartini sangat
bahagia. Bahasa Arab yang selama menjadi Bahasa yang sulit dipahami,
melalui kitab Fayd al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik ad-Dayyan,
R.A Kartini menjadi antusias mempelajari bahasa Arab meskipun
mengalami sebuah kesulitan. Ia mengagumi isi yang terkandung dalam
tafsir huruf arab pegon tersebut yang mengandung banyak makna. Dalam isi
suratnya kepada tuan Abendanon, R.A Kartini secara jelas menerangkan
sosok orang tua yang memberikan kepadanya sebuah naskah Arab Pegon.
Karena merasa senangnya, seorang tua telah menyerahkan kepada kami
naskah-naskah lama Jawa yang kebanyakan menggunakan huruf Arab.
Karena itu kini kami ingin belajar lagi membaca dan menulis huruf Arab.
Sampai saat ini buku-buku Jawa itu semakin sulit sekali diperoleh
lantaran ditulis dengan tangan. Hanya beberapa buah saja yang dicetak.
Kami sekarang sedang membaca puisi bagus, pelajaran yang arif dalam
Bahasa yang bagus. Saya ingin sekali kamu mengerti bahasa kami.
Aduhai, ingin benar saya membawa kamu untuk menikmati semua
keindahan itu dalam Bahasa aslinya. Maukah kamu belajar Bahasa Jawa?
Sulit, itu sudah tentu, tetapi bagusnya bukan main! Bahasa jawa itu
Bahasa perasaan, penuh puisi dan kecerdikan. Kami sendiri sebagai anak
negeri kerapkali tercengang tentang ketajaman bangsa kami.49
G. R.A Kartini feminis Islam dari Indonesia
Kata feminisme berasal dari kata latin femina (perempuan) yang
mempunyai makna “memiliki kualitas perempuan”, dan mulai dipakai
istilah tersebut pada tahun 1890-an di sebuah publikasi The Athenaeum, 27
April 1895. Menurut Tuttle, pada zaman tersebut istilah feminisme baru
48
Amirul Ulum, Kartini Nyantri…, 179. 49
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 123.
47
merupakan sebuah kesadaran dan belum merupakan sebuah kesadaran
politik apalagi teoritis. Sejarah feminisme membuktikan bahwa wacana
feminis kemudian berkembang pesat pada abad ke-20 dan kini merupakan
salah satu teori yang sangat berpengaruh di hampir segala bidang ilmu,
salah satunya masalah mengenai pendidikan.50
Dua terminologi, yakni feminisme dan Islam, keduanya
mempunyai semangat yang sama dalam mencapai keadilan antara laki-laki
dan perempuan. Feminis, yang pada awal gerakannya muncul di barat
sesungguhnya merupakan pergerakan sosial dan juga politik. Menurut
Simone de Beauvoir, pergerakan perempuan paling awal dapat ditemui
sejak abad ke -15. Christine de Pizan pada abad tersebut telah mengangkat
penanya dan menulis soal ketidakadilan yang dialami perempuan.51
Sama halnya Islam, Nabi Muhammad saw dan beberapa
perempuan, seperti Aisyah dan Khadijah, memusatkan perhatiannya pada
bagaimana memberikan perempuan hak, status, dan kesempatan yang
sama dengan laki-laki. Perempuan muslim secara langsung terlibat dalam
membentuk jati diri sebagai seorang perempuan muslim dengan
menyajikan “penafsiran alternatif al-Qur‟an”. Dengan demikian,
sebenarnya pergerakan kaum feminis bukanlah hal yang baru dalam tradisi
Islam.
Gerakan feminisme telah banyak membuktikan, minimal
menyumbangkan inspirasi pemikiran, bahkan pemahaman terhadap
50
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, 412. 51
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar, 2008, 125.
48
terciptanya dunia yang lebih baik dan lebih adil. Gerakan feminisme tidak
hanya mempengaruhi lembaga-lembaga birokrasi pembangunan, sosial,
bahkan juga mempengaruhi pandangan berbagai agama, paling tidak
memaksa kaum agamawan untuk melihat, mengevaluasi kembali tafsiran
terhadap posisi perempuan yang selama ini ada. Gerakan ini pula yang
mendorong munculnya gugatan atas pelbagai kultur, tradisi yang
mempengaruhi kondisi dan posisi perempuan di banyak tempat.52
Seperti juga yang dialami oleh R.A Kartini pada jamannya, yang
melihat posisi perempuan diperlakukan tidak adil baik dari hak untuk
mendapatkan pendidikan, memilih suami berdasarkan rasa cinta, dsb. Hal
diatas berusaha R.A Kartini perjuangkan, demi mendapatkan hak yang
sama dengan kaum laki-laki. Misalnya dalam hal poligami, yang
diperbolehkan oleh agama Islam. Suami berhak memiliki istri lebih dari
dua. Hal ini ditentang oleh R.A Kartini, yang dianggapnya perempuan
merasa dirugikan, karena telah dimadu. Seperti yang diungkapkan Kartini
dalam isi suratnya yang ditujukan kepada Nyonya R.M Abendanon-
Mandri:
Saya merasa putus asa. Dengan rasa pedih perih, saya pelintir tangan
saya menjadi satu. Sebagai manusia, saya merasa tidak mampu melawan
kejahatan berukuran raksasa itu seorang diri, lebih-lebih dilindungi oleh
ajaran Islam dan dihidupi kebodohan perempuan itu sendiri. Aduh!
Mungkin saja suatu waktu, nasib membebankan kepada saya, siksaan
bernama poligami itu!”saya tidak mau!” mulut menjerit dengan kerasnya,
dan hati menggemakan jeritan itu ribuan kali.
R.A Kartini tidak bisa menerima ketika poligami menjadi pilihan
seorang laki-laki. Karena menurut R.A Kartini, dengan berpoligami,
52
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial…, 127.
49
pertama seorang suami sama saja menyakiti hati istri. Yang kedua,
poligami menunjukkan sikap egoistik dari kaum lelaki. Dua hal tersebut
menunjukkan bahwa posisi tawar seorang perempuan sangat rendah.
Sehingga perempuan tidak dihargai dengan perlakuan yang dilakukan oleh
lelaki.
Munculnya gerakan feminisme, timbul akibat penindasan dan
pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan
dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki
untuk mengubah keadaan tersebut.53
Gerakan feminisme memiliki sejarah cukup panjang, yaitu dimulai
di Barat sejak abad XVII, mengalami pasang surut. Baru pada tahun 1960-
ann khususnya di Amerika, mulai marak kembali dengan skala pengkajian
dan penyebaran lebih intens dan meluas. Dalam kurun waktu itu dikenal
berbagai aliran atau sebutan gerakan feminisme, seperti Feminisme liberal,
Teori Feminisme Radikal, Teori Feminisme Marxis dan Sosialis, Teori
Poststrukturalis dan Postmodernisme.54
Teori Feminisme Liberal
Teori ini memfokuskan pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak
perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi.
Mengapa mereka memilih ke jalur pendidikan praktis dan adakah
stereotip-stereotip dalam pendidikan? Pembahasan feminisme liberal
terutama berkisar pada persoalan akses pendidikan, peningkatan partisipasi
53
Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan, Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2001, 41. 54
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati…, 413.
50
sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan
bagi anak perempuan dari keluarga tidak beruntung dan melakukan
penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak
mengancam.
Teori Feminisme Radikal
Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya
ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena
system patriarkal yang berlaku di masyarakat setempat. Diskursus yang
dipakai dalam teori adalah budaya patriarkal, opresi seksualitas,
pemberdayaan perempuan, mensentralkan kepentingan perempuan. 55
Teori Feminisme Marxis dan Sosialis
Teori ini melihat ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena
institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi.
Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas.
Teori yang di usung dalam marxis ini adalah mengenai kelas, produksi,
dan kemiskinan.
Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme
Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang mengkritik dan
mendekonstruksi filsasfat yang berpihak pada “fondasionalisme dan
absolutisme”. Teori ini mengajak agar merubah kurikulum tetapi melihat
bagaimana kurikulum bias jender terbentuk dan beroperasi secara luas.
55
Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati…, 414.
51
Dari sejarah panjang dan berbagai aliran tersebut diatas, jika
diringkas feminisme memiliki dasar preposisi sebagai berikut:
a. Feminisme muncul sebagai reaksi kesadaran beroposisi terhadap
fitnah dan ketidakadilan perlakuan terhadap perempuan dalam
bentuk oposisi dialektis terhadap praktek misogini. Yaitu,
kekejaman kaum laki-laki terhadap kaum perempuan.
b. Ada keyakinan dalam masyarakat yang perlu diretas, dinyatakan
bahwa identitas sosial jenis kelamin bersifat kultural, bukan
bersifat biologis.
c. Berkeyakinan bahwa adanya kelompok sosial perempuan
merupakan penegas eksistensi kelompok sosial laki-laki, dalam arti
bahwa kelemahan atau kelebihan kelompok sosial jenis kelamin
tertentu sekaligus pula menampakkan kelompok sosial jenis
kelamin yang lainnya. Maksudnya tidak ada jenis kelamin tertentu
yang unggul secara mutlak dalam kehidupan.
d. Adanya kesamaan sudut pandang dalam melihat dan memahami
warisan sistem nilai yang berlaku, yang kemudian digunakan untuk
menentang perbedaan dan pembatasan jenis kelamin yang
dikonstruksi oleh budaya.
e. Adanya keinginan untuk menerima konsep manusia dan
perikemanusiaan secara lebih hakiki.56
56
Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan…, 42.
52
Preposisi di atas dimaksudkan agar setiap manusia diberi peluang
dan kesempatan yang sama menjadi yang terbaik khususnya perempuan.
Dengan demikian, feminisme adalah merupakan gerakan untuk mencari
peluang guna meraih kebebasan dan kemerdekaan kaum perempuan dari
penindasan dan ketidakadilan.
53
BAB III
PEMIKIRAN PENDIDIKAN R.A KARTINI
A. R.A Kartini dan Pendidikan Perempuan
Perjuangan R.A Kartini dalam merintis pendidikan pada awalnya
mengalami kesulitan, hambatan dan tantangan. Apalagi R.A Kartini adalah
sosok seorang perempuan yang masih keturunan priyayi (kelas bangsawan
Jawa), sehingga akses beliau untuk menempuh pendidikan banyak
menemui hambatan. Namun niat R.A Kartini untuk memajukan
perempuan Jawa, tidak berhenti begitu saja. Ide-ide yang terpendam dalam
benak R.A Kartini, ia tuliskan kepada sahabat-sahabatnya dari Eropa.
Surat yang ia tulis pada 7 Oktober 1900, kepada Nyonya R.M
Abendanon–Mandri mencurahkan tentang keinginannya untuk
memberdayakan perempuan agar mandiri.
Saya tahu, jalan yang hendak saya tempuh itu sukar, penuh duri, onak,
dan lubang. Jalan itu berbatu-batu, berjendal-jendul, licin, belum dirintis.
Dan walaupun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, walaupun
saya sudah akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia.
Sebab jalan tersebut sudah terbuka dan saya turut membantu meneratas
jalan yang menuju kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumiputera.
Saya sudah akan puas, apabila orangtua anak-anak perempuan lain yang
juga hendak berdiri sendiri, tidak akan lagi dapat mengatakan: „Masih
belum ada seorang pun di antara kita yang telah berbuat demikian.57
R.A Kartini menyadari bahwa pendidikan perempuan adalah
sesuatu yang perlu diperjuangkan. R.A Kartini dalam hal ini adalah
seorang perintis dalam pendidikan perempuan di Indonesia. Pendidikan
57
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) Kumpulan Surat R.A
Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di Indonesia Sepanjang Masa, Jakarta: Penerbit
Narasi, 2011, 99.
54
bagi perempuan adalah sebuah pembebasan terutama dari kekangan tradisi
dan norma-norma adat yang kurang mendukung pendidikan untuk
perempuan.
Upaya R.A Kartini untuk memperjuangkan pendidikan perempuan
bisa dilihat sebagai perwujudan agency R.A Kartini terutama aspek
proyektifnya, yakni Kartini menginginkan bahwa perempuan Jawa punya
kebebasan dalam menempuh pendidikan. Ini antara lain sejalan dengan
perjuangan teman-teman R.A Kartini di Eropa yang memperjuangkan
pendidikan perempuan. Upaya R.A Kartini juga bisa dilihat aspek agency
lainnya, yakni practical evaluative. Dalam hal ini R.A Kartini melihat
bahwa tradisi dan budaya Jawa saat itu belum mendukung pendidikan
perempuan. Masyarakat Jawa pada saat itu lebih melihat dan
memposisikan perempuan sebagai kelas kedua. Perempuan adalah
pendukung suami dan dia tidak selayaknya diberi peran lain selain ibu
rumah tangga. Idiom-idiom Jawa semacam kanca wingking, surga nunut
neraka katut, menunjukkan kecenderungan ke arah sana.
Perjuangan R.A Kartini agar perempuan diberikan akses
pendidikan terus ia gaungkan. Karena melalui tangan perempuan, seorang
anak pertama kali mendapatkan nilai kasih sayang dan pendidikan dari
sang ibu. Jika, ibunya memiliki pola asuh yang mengedepankan
pendidikan, maka kelak ketika dewasa si anak juga akan mencontoh apa
yang sudah diajarkan oleh seorang ibu. Sebagaimana yang ia tuangkan
55
dalam salah satu suratnya yang ia tujukan kepada Nyonya R.M
Abendanon – Mandri, tertanggal 21 Januari 1901.
Dengan gembira saya benarkan pikiran suami nyonya yang demikian
jelas terbaca dalam surat edaran tentang pengajaran untuk anak-anak
perempuan bumiputra: perempuan sebagai pendukung peradaban! Bukan,
bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan
karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan
mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau yang buruk akan
berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat
membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah
manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan
perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata.
Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-
mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah
ibu-ibu bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri
tidak berpendidikan?58
R.A Kartini menyadari peran sentral perempuan dalam pendidikan
terutama dalam menyiapkan generasi penerus. R.A Kartini melihat bahwa
perempuan adalah pendidik pertama dalam keluarga. Ungkapan Kartini
“meninggikan kadar kesusilaan manusia”, menunjukkan posisi sentral
perempuan dalam meneguhkan dan membangun pendidikan nilai sebuah
bangsa yang tentunya dimulai dari keluarga. Dari sisi itu R.A Kartini
melihat pentingnya mendidik perempuan antara lain karena peran mereka
dalam mendidik bangsa dan generasi penerus. Masa depan bangsa sangat
tergantung pada kadar pendidikan perempuan. Dalam hal ini kita bisa
melihat agency R.A Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni ambisi dan
keinginan R.A Kartini untuk menyiapkan perempuan pendidik yang sangat
penting bagi kemajuan bangsa.
58
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 112.
56
Pemikiran pendidikan R.A Kartini dalam upaya memajukan
perempuan di Indonesia dengan cara mendirikan sekolah untuk para
perempuan. Sekolah tersebut merupakan salah satu cita-cita Kartini untuk
memajukan perempuan Indonesia dari keterbelakangan. Dalam salah satu
suratnya, R.A Kartini mengemukakan idenya tersebut kepada sahabatnya
yang berada di Belanda, Tuan H.H van Kol. Di mana R.A Kartini, ingin
sekolah ke Eropa (Belanda), tidak lain karena ingin memajukan
pendidikan bagi perempuan di Jawa dengan mendirikan sekolah-sekolah.
Tujuan cita-cita ingin belajar di Eropa tersebut ialah: memberikan yang
baik dari peradaban Belanda kepada bangsa kami, untuk memuliakan
adat-istiadatnya; membawa bangsa itu kepada pandangan tata susila yang
lebih tinggi sebagai sarana untuk mencapai keadaan masyarakat yang
lebih baik dan lebih bahagia. Jalan yang kami harapkan untuk mencapai
tujuan itu ialah: mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan
Jawa. Untuk sementara sebagai percobaan dan contoh, adalah sebuah
sekolah berasrama untuk anak-anak perempuan kepala-kepala
Bumiputra. Tujuannya ialah: agar ibu-ibu di pulau Jawa yang maju dan
cerdas, dan akan meneruskan kemajuan dan kecerdasannya itu kepada
anak-anaknya; anak-anak perempuannya yang akan menjadi kaum ibu
lagi; anak-anak laki-lakinya, yang suatu ketika akan dipanggil, turut
menjaga suka duka bangsa!59
Tekad dan perjuangan R.A Kartini untuk maju dan berpikir secara
modern, tentu tidak lepas dari buku-buku yang dibacanya. Dari kakaknya,
Kartono ia selalu mendapat buku-buku mengenai masalah-masalah dunia
modern, seperti emansipasi, revolusi Prancis, dan buku-buku sastra dari
penulis kenamaan. Semua itu mengantarkan R.A Kartini kepada
pengertian mengenai soal-soal sosial politik.60
59
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 265. 60
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini, Sebuah Biografi, Rujukan Figur Pemimpin
Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011, 64.
57
Ia selalu gemar sekali membaca, namun kini kesenangannya terhadap
bacaan sudah menjadi bagian hidupnya. Apabila ia telah menyelesaikan
pekerjaan yang ditugaskan kepadanya, segera ia memegang buku atau
surat kabar. Ia membaca semuanya yang tertangkap oleh bola matanya.
Ia melahap semua bacaan, bercampur antara yang baik dan yang buruk.
Banyak sekali buku yang dinikmatinya, buku yang tak terkatakan
bagusnya yang membuatnya dapat melupakan semua kesedihan dalam
hidupnya. Tabiat-tabiat baik, pandangan hidup mulia, jiwa dan pikiran
besar, membuat hatinya berkobar-kobar kegirangan dan gemetar karena
berbesar hati. Ia menghayati sepenuhnya semua yang dibaca.61
Kegemaran R.A Kartini akan bacaan mengantarkan
pengetahuannya yang luas dalam mengenal budaya dan wawasannya
terhadap dunia. R.A Kartini tidak sekedar membaca buku, tapi ia berusaha
menyelami pemikiran sang penulis dalam kehidupan sehari-hari. Hingga
akhirnya hasil bacaan tersebut, menghasilkan renungan yang ia tuliskan
dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat, dan teman penanya.
Sementara adat feodal yang terjadi di lingkungan kerajaan,
membatasi akses perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih
tinggi. Karena perempuan pada usia 12 tahun juga harus diipingit, tidak
diijinkan untuk bergaul dengan dunia luar. Hal ini R.A Kartini sampaikan
kepada sahabat penanya di Belanda Nona Stella Zeehandelaar. Perkenalan
Kartini dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Lelie,
majalah wanita yang banyak membahas mengenai sosial dan sastra.
Itu pikiran yang mulia, nyonya. Kalau hal itu dilaksanakan tentu akan
membawa berkah bagi dunia wanita bumiputra. Berkah itu akan menjadi
semakin besar jika anak-anak perempuan juga diberi kesempatan
mempelajari salah satu kepandaian yang memungkinkannya dapat
menempuh jalan hidupnya sendiri. Tentunya apabila setelah mendapat
pelajaran tersebut ia kembali lagi ke dunianya yang dulu. Anak
perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah
diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya.62
61
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 70. 62
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 86.
58
Suratnya yang ditujukan kepada Nyonya M.C.E Ovink-Soer, R.A
Kartini mengutarakan agar perempuan diberikan kesempatan untuk
pendidikan yang lebih tinggi. R.A Kartini bercerita kepada Nyonya Ovink
yang dianggap sebagai ibunya sendiri, agar bisa pergi belajar ke Eropa
(baca: Belanda). Kartini berkata, “Saya ingin belajar menjadi guru, agar
dapat mengajarkan kepada para calon ibu- disamping ilmu pengetahuan-
juga pengertian kasih dan keadilan seperti yang kami ketahui dari orang-
orang Eropa”.
Keinginan R.A Kartini tersebut tentu tidak berlebihan,
menginginkan agar perempuan dan laki-laki diberikan akses yang sama
untuk menuntut ilmu. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hujarat ayat
13:
Artinya:
Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui lagi maha mengenal (Q.S. al-Hujurat: 13).
59
Dalam konteks modern, pendidikan perempuan dianggap sebuah
investasi yang strategis bagi pengembangan sumber daya manusia. Hal ini
terlihat dalam kutipan berikut:
Educating girls and women is probably the single most effective
investment a developing country can make, whether or not women
work outside the home. It creates a multitude of positive
remunerations for families including better family health and
nutrition, improved birth spacing, lower infant and child mortality,
and enhanced educational attainment of children63
(Mendidik para gadis dan perempuan adalah investasi paling efektif
dalam membangun bangsa, baik perempuan itu bekerja di luar
rumah atau tidak. Ini menciptakan banyak manfaat positif bagi
keluarga, termasuk kesehatan keluarga dan nutrisi, meningkatnya
jarak kehamilan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, dan
meningkatnya tingkat pendidikan anak).
B. R.A. Kartini dan Pendidikan Karakter
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merumuskan pendidikan
karakter sebagai proses pendidikan yang melibatkan pengetahuan yang
baik (moral knowing), perasaan yang baik (moral feeling), dan perilaku
yang baik (moral action), sehingga terbentuk perwujudan kesatuan
perilaku dan sikap hidup seseorang.64
Dalam hal pendidikan karakter, R.A Kartini pernah
mengemukakan idenya tersebut dalam suratnya yang ditujukan kepada
Nyonya N. van. Kol yang dianggap sebagai ibu sendiri. Isi suratnya
tersebut R.A Kartini sampaikan bahwa pendidikan erat kaitannya dengan
63
Ilhan Ozturk, “The Role of Education in Economic Development”, Journal of Rural
Development and Administration, Volume 33, No. 1, Winter 2001, 40-41. 64
Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter: Pendidikan Menghidupkan Nilai untuk
Pesntren, Madrasah, dan Sekolah, Jakarta: The Asia Foundation, Yayasan Paramadina, dan
Associatian for Living Values Education Indonesia, 2015), xvi.
60
tata susila atau akhlak, dimana jika seseorang yang berpendidikan maka
akan menjadikan masyarakat yang mempunyai derajad dan peradaban
yang tinggi. R.A Kartini berkata, ”Saya berharap dengan pendidikan dapat
membantu pembentukan watak, dan yang paling utama adalah cita-cita.
Cita-cita ini wajib dikembangkan oleh pendidikan, terus-menerus, tak
henti-hentinya”.65
Di lain hal, R.A Kartini juga mengemukakan bagaimana
pentingnya mengenyam pendidikan agar masyarakat pandangannya
menjadi maju dan terbuka.
Hal-hal yang baik dari bangsa lain, kini ingin sekali kami berikan kepada
bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat asli yang baik dan
menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya.
Turut membantu menaikkan derajad bangsa, meningkatkannya ke arah
pandangan tata susila yang lebih tinggi hingga mencapai masyarakat
yang lebih baik dan lebih bahagia, adalah cita-cita kami yang patut kami
perjuangkan seumur hidup! Bagaimana cara mencapai cita-cita itu?
Dengan apa? Semua harus dimulai dari awal yaitu: pendidikan!66
Dari kutipan tersebut kita bisa melihat bahwa pendidikan bukanlah
mengambil peradaban dan budaya lain ke dalam budaya Indonesia atau
budaya Jawa. Pendidikan karakter seharusnya menjadi bagian utama dari
pendidikan. R.A Kartini memahami pendidikan karakter harus berakar pada
nilai-nilai budaya setempat, dalam hal ini budaya Jawa. Peradaban yang asli
tidak akan pernah lahir dari percampuran budaya dan peradaban asing. Tapi
harus berakar dari budaya dan peradaban setempat, tentunya dengan
berinteraksi dengan nilai-nilai positif dari budaya lain. Pandangan R.A
Kartini tentang pendidikan karakter terbentuk dari keseharian kondisi sosial
65
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 298. 66
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111.
61
kultural masyarakat Jawa pada era itu. Dalam hal ini kita bisa melihat
agency R.A Kartini, terutama aspek practical evaluative, yakni R.A Kartini
memberi respon terhadap masyarakat Jawa yang kurang apresiatif terhadap
pendidikan dan melihat pendidikan adalah upaya westernisasi (pembaratan).
Sebagai respon terhadap hal itu, R.A Kartini menyatakan bahwa inti dari
pendidikan adalah pendidikan karakter, yang berakar pada budaya setempat.
Pendidikan yang ditujukan tidak bermaksud mencerabut seseorang dari
akar budayanya dan menjadikannya orang asing.
Telah lama dan telah banyak saya memikirkan perkara pendidikan,
terutama akhir-akhir ini. Saya pandang pendidikan itu sebagai kewajiban
yang demikian mulia dan suci, sehingga saya pandang suatu kejahatan
apabila tanpa kecakapan yang sempurna saya berani menyerahkan tenaga
untuk perkara pendidikan. Sebelumnya harus dibuktikan, apakah saya
mampu menjadi pendidik. Bagi saya pendidikan itu merupakan
pembentukan budi dan jiwa. Aduh, sama sekali saya tidak akan dapat
berpuas diri apabila sebagai guru, saya merasa tidak dapat menjalankan
tugas seperti yang saya wajibkan sendiri kepada pendidik yang baik,
walaupun misalnya orang tidak merasa tidak puas juga terhadap saya.
Saya merasakan demikian, bahwa dengan mengembangkan pikiran saja
tugas pendidik belum selesai, belum boleh selesai. Seorang pendidik harus
juga memelihara pembentukan budi pekerti, walaupun tidak ada hukum
yang secara pasti mewajibkannya melakukan tugas itu. Secara moral ia
wajib berbuat demikian. Peradaban, kecerdasan pikiran, belumlah
merupakan jaminan bagi kesusilaan. Dan orang tidak boleh terlalu
menyalahkan mereka yang budi pekertinya tetap jelek meskipun
pikirannya cerdas benar. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahan tidak
terletak pada mereka sendiri, melainkan pada pendidikan mereka.67
Kalimat R.A Kartini yang menyatakan “Bagi saya pendidikan itu
merupakan pembentukan budi dan jiwa”, adalah merupakan bagian dari
pendidikan karakter, dimana kepribadian total manusia secara seimbang
dilatih melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan
kepekaan tubuh manusia itu sendiri. R.A Kartini juga mengemukakan
67
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111.
62
bagaimana seorang guru atau pendidik juga mempunyai akhlak yang baik.
Karena dari tangan seorang pendidik, akan lahir anak-anak yang pintar
namun juga terjaga tingkah lakunya. “Seorang pendidik harus juga
memelihara pembentukan budi pekerti”.
Menurut Ahmad Muhammad Jamal, pendidikan Islam dan dakwah
Islam dapat dibedakan atas dasar objek formalnya. Objek pendidikan
Islam adalah subjek didik yang dididik di dalam keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sedangkan objek dakwah Islam adalah masyarakat yang
menyimpang dari ajaran Islam, dan para rasul diutus untuk meluruskan
penyimpangan tersebut. Menurut Muhammad Jawwad Rida, inti
pendidikan Islam sebagai „madrasah‟ (tempat belajar) bagi umat Islam.
Berdasarkan pengertian itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai usaha
yang dilakukan Islam dalam rangka pembentukan masyarakat „baru‟,
sebagai lawan bagi masyarakat Jahiliyyah. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh Muhammad al-Sayyid Sultan, bahwa Islam adalah suatu
kekuatan edukatif (quwwah tarbiyah). Dalam arti, Islam memiliki peranan
edukatif dalam membentuk suatu masyarakat agar mempunyai nilai-nilai
moral dan sosial dalam pengertian yang luas. Secara lebih rinci
Abdurrahman al-Nahlawi menyebutkan bahwa pendidikan Islam
merupakan suatu proses penataan individual dan sosial yang dapat
menjadikan seseorang tunduk dan taat sekaligus menerapkan Islam secara
sempurna dalam kehidupan individu dan masyarakat. Berdasarkan
pengertian itu, pendidikan Islam bertugas membimbing manusia agar
63
dapat menjalankan amanat yang diembannya. Amanat itu bersifat
individual dan sosial.68
Dalam suratnya yang lain, R.A Kartini menuliskan juga bagaimana
mendidik tidak sekedar menjadi guru. Tapi juga harus bisa memberikan
contoh yang baik kepada peserta didik.
Jika sudah pasti tidak bisa mendidik satu bangsa yang jumlah
penduduknya 27 juta jiwa, maka lebih mudah untuk sementara mendidik
pada lapisan-lapisan tertinggi bangsa itu. Lapisan yang telah maju itu
akan merupakan berkah bagi lapisan-lapisan di bawahnya. Rakyat
biasanya sangat lekat dengan bangsawannya dan apa yang datang dari
bangsawan akan mudah ditiru oleh rakyat.
Bangsawan berhak akan sanjung puji rakyat dan itu harus patut dijunjung
tinggi. Budi luhur ini akan sangat berguna bagi rakyat. Ke arah itulah
bangsawan harus dibawa oleh pemerintah. Dan ini hanya dapat dicapai
apabila bangsawan diberi pendidikan yang baik, pendidikan yang bukan
semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-
sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan
otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi
mulia. Begitu banyak yang tak terhitung yang membuktikan, bahwa
kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang
mutlak untuk keluhuran budi. Pendidikan harus memperhatikan
perkembangan akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik
pun tidak akan menghasilkan sesuatu sangat diharapkan.69
Pada kalimat “pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas
kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan
pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan
sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia”, dengan jelas
R.A Kartini menggambarkan bahwa pendidikan itu penting, namun yang
lebih utama dalam pendidikan adalah menjaga akhlak dengan baik.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman, bahwa Islam
68
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006,
46-47. 69
R.A. Kartini, Habis Gelap terbitlah Terang…, 468.
64
memandang ilmu pengetahuan itu baik, yang buruk adalah
penyalahgunaannya. Manusia boleh mengembangkan ilmu pengetahuan
asal disertai dengan tanggung jawab (responsibility). Menurut Rahman,
manusia memiliki kebebasan (freedom). Dengan kata lain, manusia
memiliki kebebasan dalam melakukan apapun, termasuk dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan. Jika tidak bisa menjaga akhlaknya
maka manusia akan mengalami krisis. Sebagaimana Fazlur Rahman dalam
analisisnya menyatakan bahwa krisis yang dialami manusia meliputi krisis
identitas, krisis kesadaran, dan krisis kepercayaan, karena manusia lupa
akan dirinya dan mengembangkan potensi dirinya.70
C. Relevansi Pemikiran R.A Kartini terhadap Pendidikan Humanistik
Pendidikan humanistik adalah di mana seseorang harus mempunyai
kemampuan untuk mengarahkan sendiri perilakunya dalam belajar (self
regulated learning), apa yang akan dipelajari dan sampai tingkatan mana,
kapan, dan bagaimana mereka akan belajar. Ide pokoknya adalah
bagaimana seseorang yang belajar mengarahkan diri sendiri, sekaligus
memotivasi diri sendiri dalam belajar daripada sekedar menjadi penerima
pasif dalam proses belajar. Dari beberapa penelitian dengan mengarahkan
dan memotivasi diri sendiri, seseorang lebih memiliki motivasi besar untuk
belajar.71
70
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam…, 38. 71
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Ar Ruzz
Media, 2008, 142.
65
Aliran humanistik memandang bahwa belajar bukan sekedar
pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang
terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh bagian atau domain
yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistik dalam
pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi
yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga tujuan
yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain
kognitif saja, tetapi bagaimana menjadi individu yang bertanggungjawab,
penuh perhatian terhadap lingkungannya, serta mempunyai kedewasaan
emosi dan spiritual.72
Seperti kutipan dari surat R.A Kartini yang ditujukan kepada Tuan
E.C Abendanon.
Bagaimana jalannya memasukkan landasan budi pekerti itu pada orang
dewasa dan setengah dewasa? Menurut pertimbangan saya adalah dengan
bacaan. Patutlah diterbitkan majalah yang berisi bacaan ringan (supaya
banyak dibaca orang), tetapi selalu dengan maksud hendak mendidik.
Cita-cita yang serupa dengan yang hendak kami capai dalam usaha
mendidik anak-anak yaitu sambil bermain-main kami beri pelajaran dan
kami didik, kenapa tidak dapat diturut pula dalam usaha mendidik orang
dewasa?73
Hal ini juga terlihat dalam kutipan surat R.A. Kartini lainnya:
Jika sudah pasti tidak bisa mendidik satu bangsa yang jumlah
penduduknya 27 juta jiwa, maka lebih mudah untuk sementara mendidik
pada lapisan-lapisan tertinggi bangsa itu. Lapisan yang telah maju itu
akan merupakan berkah bagi lapisan-lapisan di bawahnya. Rakyat
72
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran…, 142. 73
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 389.
66
biasanya sangat lekat dengan bangsawannya dan apa yang datang dari
bangsawan akan mudah ditiru oleh rakyat.
Bangsawan berhak akan sanjung puji rakyat dan itu harus patut dijunjung
tinggi. Budi luhur ini akan sangat berguna bagi rakyat. Ke arah itulah
bangsawan harus dibawa oleh pemerintah. Dan ini hanya dapat dicapai
apabila bangsawan diberi pendidikan yang baik, pendidikan yang bukan
semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-
sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan
otak, maka dengan sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi
mulia. Begitu banyak yang tak terhitung yang membuktikan, bahwa
kecerdasan pikiran yang tinggi masih belum merupakan jaminan yang
mutlak untuk keluhuran budi. Pendidikan harus memperhatikan
perkembangan akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik
pun tidak akan menghasilkan sesuatu sangat diharapkan.74
Dari pernyataan R.A Kartini di atas, terlihat jelas bahwa apa yang
dituliskan oleh R.A Kartini adalah selaras dengan konsep pendidikan
humanistik. Di mana seseorang dinilai tidak hanya pintar secara aspek
kognitif saja, melainkan juga emosi dan spiritual berperan penting dalam
pembentukan akhlak dan karakter individu. Seperti kutipan yang ditulis
R.A Kartini, “pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas
kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan
pembentukan akhlak pula. Dengan kecerdasan otak, maka dengan
sendirinya perasaan akan menjadi beradab, menjadi mulia”.
Para ahli psikologi pendidikan menyatakan bahwa pada dasarnya
pendidikan humanistik bukanlah sebuah strategi belajar, melainkan
sebagai sebuah filosofi belajar yang sangat memperhatikan keunikan-
keunikan yang dimiliki oleh seseorang, bahwa setiap pribadi mempunyai
cara sendiri dalam mengkonstruk ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.
74
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 468.
67
Pembelajaran dengan pendekatan ini juga lebih menghargai domain-
domain lain yang ada dalam diri seseorang selain domain kognitif dan
psikomotorik, sehingga dalam proses pembelajarannya nilai-nilai
kemanusiaan yang ada dalam diri seseorang mendapatkan perhatian untuk
dikembangkan.75
Pendidikan humanistik dalam The Encyclopedia of Education
dimaknai sebagai:
an education shaped by these guiding assumptions of humanism– will
be a nonspecialist or general education, an education in humanity
rather than in the knowledge peculiar to a distinct profession.
Accordingly, each interpretation of the distinctively human powers
could in principle generate a corresponding form a nonspecialist
education entitled to be called humanistic.
(pendidikan yang bersumber dari asumsi ajaran humanisme. Model
pendidikan ini lebih merupakan pendidikan kemanusiaan daripada
pendidikan tentang pengetahuan-pengetahuan yang khusus untuk
profesi tertentu. Pendidikan humanistik adalah pendidikan umum
sehingga bukan pendidikan spesialis. Penafsiran terhadap kekuatan
manusia yang unik pada dasarnya dapat menghasilkan bentuk yang
sama dengan pendidikan non-spesialis yang disebut dengan
humanistik).76
Sebagaimana yang dikemukakan oleh R.A Kartini dalam salah satu
suratnya.
Kami telah turut merintis jalan menuju ke situ dan itu pun sudah membuat hati
kami bahagia. Jangan cemas, calon suami saya tidak akan membatasi gerak
saya. Bahkan sebaliknya, karena cita-cita saya yang membumbung tinggi
itulah, maka pandangannya terhadap saya naik. Karena itu maka akan lebih
banyak lagi kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengembangkan
sayap saya. Lapangan usaha saya akan diperluasnya.77
75
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran…, 143. 76
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, Jurnal Kajian Islam, vol. 3, no. 2,
2011, 167. 77
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 427.
68
Juga terlihat dalam surat R.A Kartini yang lain:
Simpati saudara sekalian terhadap usaha kami membuat kami bahagia, simpati
seperti itu bagi kami merupakan bantuan batin yang besar dan membuat kami
memiliki harapan yang lebih banyak lagi, memiliki keberanian yang lebih
banyak dan kepercayaan yang lebih banyak menghadapi hari depan, yang
pasti sekali bukan hanya akan membawakan bunga dan cahaya matahari bagi
kami, melainkan banyak sekali perjuangan, kesusahan dan barangkali duka
cita pula. Tetapi tanpa perjuangan dan susah payah di manakah akan kita
peroleh sesuatu yang bernilai? Kami sudah dapat memastikan harus berjuang
dengan gigih dan tegar hati. Sebab pendapat lama yang turun-temurun, pikiran
yang telah berkarat, tidak akan tersisihkan dengan satu helaan napas. Harus
banyak air mata meleleh, harus banyak darah luka hati mengalir, untuk
menghanyutkan warisan pikiran turun-temurun yang tak membawa rahmat,
untuk menghapus pikiran yang telah berkarat. Kami tahu, tetapi kami tetap
berlutut juga di muka altar keinginan jiwa kami, cita-cita kami!. Keberatan,
kesulitan, tak dapat diingkari adanya. Tetapi haruskah karena segala itu kami
mengabaikan perkara kami dan duduk bertopang dagu?. Begitu indah
kemenangan yang hendak kami capai atas kebodohan, atas prasangka bangsa
kami bagi bangsa itu sendiri. Kemenangan yang gilang gemilang patut kami
perjuangan seumur hidup, sebab kemenangan itu akan mendatangkan rahmat
bagi amat banyak orang.78
Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan, lebih lanjut, bisa dilihat
keselarasannya dengan konsep pendidikan humanistik teistik, atau lebih
spesifik, humanistik-Islami. Humanistik teistik adalah sebuah pandangan
humanistik yang berdasar pada nilai-nilai ketuhanan. Dalam hal ini humanistik
teistik adalah sebuah respons terhadap konsep humanistik ateistik, yang lebih
menekankan kebebasan individu, dengan mengabaikan peran dan kuasa
Tuhan.79
Konsep “pendidikan humanistik-Islami” mencakup dua konsep
pendidikan yang ingin diintegrasikan, yakni pendidikan humanistik dan
pendidikan Islam. Dalam pengintegrasian dua konsep pendidikan ini
78
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 369-370. 79
Arthur James Balfour, Theism and Humanism, Seattle: Inkling Books Seattle, 2000, 19-20.
69
dimaksudkan juga untuk mengurangi kelemahannya. Pendidikan humanistik
yang menekankan kemerdekaan individu diintegrasikan dengan pendidikan
religius (Islam) agar dapat membangun kehidupan sosial yang menjamin
kemerdekaan dengan tidak meninggalkan nilai ajaran agama. Kemerdekaan
individu dalam pendidikan humanistik-Islami dijiwai dengan spirit ajaran Islam
yang bersumber pada al-Quran dan Hadits. Nilai-nilai agama diharapkan
menjadi pendorong perwujudan nilai-nilai kemanusiaan. Pemisahan antara
kedua konsep tersebut akan menyebabkan tidak terwujudnya nilai-nilai
humanisme Islam dalam sistem pendidikan.80
Kata “Islam” dalam istilah tersebut tidak dimaksudkan untuk
mendikotomikannya dari jenis pendidikan lain, meskipun dengan sendirinya
memasuki wilayah perbedaan antara keduanya. Lafal “Islam” hanya untuk
menegaskan bahwa kajiannya didasarkan pada nilai-nilai atau ajaran Islam.
Karena itu, “pendidikan humanistik-Islami” hanyalah merupakan suatu model
pendidikan yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang pelaksanaannya
menggunakan humanisme sebagai pendekatan. Pendidikan ini menjadikan
humanisme Islam sebagai pijakan dalam pelaksanaannya.81
Dalam Islam, pemikiran pendidikan humanistik bersumber dari misi
utama kerasulan Muhammad, yaitu memberikan rahmat dan kebaikan kepada
seluruh umat manusia dan alam semesta. Sebagaimana terdapat pada Al Quran
surat Saba’/34 ayat 28.
80
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 166. 81
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 167.
70
Artinya: “Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan
kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Spirit ayat inilah yang mengilhami pemikiran pendidikan yang
dikembangkan menjadi pendidikan humanistik. Pendidikan Islam yang dibangun
atas dasar sifat dan karakteristik dan nilai-nilai humanisme disebut pendidikan
humanistik-Islami. Pemikiran ini merupakan sebuah hasil olah pikir atau ijtihad
para cendekiawan muslim pakar pendidikan tentang upaya mewujudkan nilai-nilai
kemanusiaan yang menjadi dasar humanisme Islam. Hal ini menunjukkan titik
sinkron antara konsep pendidikan Islam dan makna dasar humanisme yang berarti
pendidikan bagi manusia.82
Pendidikan humanistik dalam Islam bisa didefinisikan sebagai “proses
pendidikan yang lebih memperhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk
sosial dan makhluk religius, ‘abdullah dan khalifatullah, serta sebagai individu
yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-
potensinya”.Pendidikan humanistik-Islami akan merealisasikan tujuan humanisme
Islam, yaitu keselamatan dan kesempurnaan manusia karena
kemuliaannya. Sistem pendidikan ini akan membentuk peserta didik
menjadi ‘abdullah dan khalifatullah sebagai manusia mulia. Pemikiran
82
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168.
71
pendidikan ini Pendidikan humanistik memandang manusia sebagai manusia,
yakni makhluk ciptaan Allah dengan fitrah-fitrah tertentu. Hal ini ditandai dengan
kepemilikan hak hidup dan hak asasi manusia.83
Pengembangan potensi ini hanya mungkin terwujud bila pelaksanaan
pendidikan didasarkan pada prinsip humanisme, yaitu terlindunginya nilai-nilai
hidup, harkat, dan martabat manusia. Al-Attas mendasarkan konsep ta’dib pada
sebuah Hadis Nabi: Addaba-ni Rabbi fa-ahsana ta’dibi (Tuhan telah mendidikku
dan kemudian menyempurnakan pendidikan akhlakku). Kandungan ta’dib adalah
akhlak. Ta’dib dimaksudkan dengan mendidik yang lebih tertuju kepada
pembinaan dan penyempurnaan akhlak. Konsep ini sesuai dengan tema sentral
humanisme Islam, yaitu kebaikan akhlak. Hal ini berbeda dengan humanisme
Barat yang pendidikannya ditujukan hanya untuk pengembangan diri yang matang
(self actualization). Akhlak mulia tidak sama dengan moralitas di Barat. Di sinilah
terletak hakekat pengembangan potensi dalam paradigma pendidikan Islam.84
Pengembangan potensi ini hanya mungkin terwujud bila pelaksanaan
pendidikan didasarkan pada prinsip humanisme, yaitu terlindunginya nilai-nilai
hidup, harkat, dan martabat manusia. Perlindungan ini berfungsi untuk menjamin
potensi anak didik supaya bisa teraktulisasi secara maksimal. Pendidikan
humanistik dalam Islam berupaya memahami kebenaran, kebaikan universal, dan
aktualisasi diri lebih jauh ke kehidupan spiritual (dimensi vertikal), di samping
memahami realitas dan permasalahan kehidupan manusia (dimensi horizontal)
dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, pendidikan humanistik-Islami
83
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 169. 84
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 169.
72
adalah pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai humanisme Islam, yaitu
liberasi, humanisasi, dan transendensi. 85
Konsep pendidikan humanistik disinyalir berakar dari psikologi
humanistik, yang dikembangkan Abraham Maslow. Maslow merumuskan hirarki
kebutuhan (hierarchy of needs), yang mencakup: (a) kebutuhan fisiologis
(physiological needs), (b) kebutuhan akan rasa aman dan nyaman (safety and
security), (c) kebutuhan akan kasih sayang dan keterikatan (love and belonging),
(d) kebutuhan akan harga diri (self esteem), dan (e) kebutuhan akan aktualisasi
diri.86
Pengembangan potensi ditujukan pada ciri utama manusia, berupa
kemampuan diberi motivasi guna mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan ini
dalam pandangan Maslow memberikan tekanan lebih besar pada pengembangan
potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi manusiawi, memahami diri
dan orang lain serta berhubungan dengan mereka, mencapai pemuasan atas
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri. Pendidikan
ini akan membantu orang menjadi pribadi yang sebaik-baiknya sesuai
kemampuannya. Dengan teraktualisasinya potensi itu, manusia akan menjadi
manusia yang sesungguhnya.87
Dengan demikian, hubungan humanisme dengan pendidikan berkisar pada
asumsi etis yang diasosiasikan dengan konsep yang ditawarkan kalangan humanis
tentang kemampuan manusia. Manusia diasumsikan sebagai sumber
85
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 170. 86
Abraham Maslow, “A Theory of Human Motivation”, Psychological Review, vol. 50 (1943),
370. 87
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168.
73
kesempurnaan dan kebaikan. Sifat baik itu dimiliki setiap orang yang memiliki
kesempatan dan kemampuan intelektual untuk menerima pendidikan. Untuk itu,
teori pendidikan harus didasarkan pada identifikasi yang sebenarnya tentang
manusia dan merancang pembelajaran yang akan menyempurnakan
kemampuannya berdasar atas nilai kemanusiaan tersebut.88
Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan bersentuhan dengan konsep
psikologi humanistik, terutama tentang aktualisasi diri. R.A. Kartini sendiri adalah
wujud nyata dari proses aktualisasi diri. Dia tidak berhenti pada kebutuhan yang
berkisar pada fisiologis dan psikologis, namun sudah beranjak ke aktualisasi diri.
Namun perlu dicatat bahwa aktualisasi diri R.A. Kartini tidak berhenti pada
wilayah yang duniawi dan tidak terkait dengan Tuhan. Aktualisasi diri R.A.
Kartini terkait dengan pendidikan akhlak, yang merupakan penyangga utama dari
pendidikan Islam. Dalam surat-surat R.A. Kartini terlihat pemikirannya tentang
pendidikan akhlak. Dengan demikian, arah dari aktualisasi diri R.A. Kartini
bukanlah menjadi “super woman” (perempuan super) namun menjadi
“khalifatullah fil ‘ard” (orang yang diberi tugas menjadi sosok pemimpin di muka
bumi).
88
Musthofa, “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”…, 168.
74
BAB IV
KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN R.A. KARTINI DALAM
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM
A. Pentingnya Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia
Pengertian pendidikan Islam menurut Ali Ashraf adalah
pendidikan yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa
sehingga perilaku kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, serta
pendekatan pada semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai
etika Islam yang sangat dalam dirasakan.89
Dalam memberikan definisi pendidikan Islam, Ashraf lebih
menekankan aspek sensibilitas. Pengertian tersebut mengandung unsur
praktis yang dilakukan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Apabila
murid-murid dapat memiliki sensibilitas yang diatur oleh nilai-nilai etika
Islam, berarti usaha pendidikan dikatakan telah berhasil. Karena
pendidikan Islam bersentuhan langsung dengan pendidikan akhlak.90
Sebagaimana yang dikemukakan dalam „World Conference on
Muslim Education‟ yang pertama di Mekkah tanggal 31 Maret sampai
April 1977, disebutkan:
Education should aim at balanced growth of the total personality
of man through the training of many spirit, intellect, the rational
self, feelings, and bodily senses. Education should therefore cater
for the growth of man in all its aspects: spiritual, intellectual,
imaginative, physical, scientific, linguistic both individually and
89
Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, alih bahasa Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1996, 23. 90
Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006,
48.
75
collectively and motivate all these aspects towards goodness and
the attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim education
lies in the realization of complete submission to Allah on the level
of individual, the community and humanity and large.91
(Pendidikan seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan
kepribadian total manusia secara seimbang melalui latihan spiritual,
intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia.
Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual,
imajinasi, fisik, ilmiah, linguistik baik secara individual maupun
secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan
Islam terletak pada realisasi kepasrahan mutlak kepada Allah pada
tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya).
Konsep pendidikan menurur World Conference tersebut selaras
dengan konsep pendidikan menurut Seyyed Hossein Nasr. Menurut Nasr
pendidikan Islam merujuk pada totalitas manusia yang mencakup aspek
rasional, moral dan spiritual. Konsepsi tentang tujuan pendidikan yang
demikian kiranya senada dengan yang dikemukakan para pakar lain
semisal Al-Attas yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah bukan
untuk mewujudkan warga negara yang baik, namun untuk mewujudkan
manusia yang “baik” yakni, manusia paripurna (al-insan al-kamil) yang
bercirikan universalis dalam wawasan dan otoritatif dalam ilmu yakni
sesuai dengan fungsi diciptakannya manusia di mana ia membawa dua
misi, yaitu sebagai khalifat Allah fî al-ard} dan sebagai hamba Allah (‘abd
Allah).92
Pendidikan Islam tentunya memperhatikan aspek-aspek khusus dari
masyarakat setempat. Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam
91
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988, 308. 92
Asfa Widiyanto, „Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang Bangunan Ilmu
dan Pendidikan Islam“, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, vol. 11, no.2, (2017), 292.
76
tentunya memperhatikan sosio-kultural masyarakat Indonesia. Dalam
kerangka itu, pendidikan Islam yang di Indonesia, tentunya
memperhatikan keindonesiaan dan keislaman. Dengan demikian
pendidikan dimaksudkan untuk proses penyiapan generasi muda untuk
menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih
efektif dan efisien. Pendidikan lebih dari sekedar pengajaran, dengan
proses transfer namun lebih kepada pembentukan kepribadian dengan
segala aspek yang dicakupnya.93
Seperti yang dituliskan oleh R.A Kartini
mengenai pendidikan yang harus memperhatikan tingkah laku dan budi
pekerti yang baik. “Pendidikan harus memperhatikan perkembangan
akhlaknya. Tanpa budi pekerti, pengajaran yang terbaik pun tidak akan
menghasilkan sesuatu sangat diharapkan”.94
Lalu apa kaitannya dengan pendidikan Islam Indonesia. Menurut
definisi KH. Afifuddin Muhajir dalam tulisannya menyatakan bahwa Islam
Indonesia adalah paham dan praktik keislaman di bumi nusantara sebagai
hasil dialektika antara teks syariat dengan realitas budaya setempat.95
Dengan demikian pengertian pendidikan Islam Indonesia mengandung
pengertian bahwa pendidikan yang sudah terakulturasi (tercampur) dan
sudah disesuaikan dengan kondisi budaya Indonesia. Sedangkan
Pendidikan Islam di Indonesia menyiratkan adanya pola pendidikan Islam
yang bersumber dari nilai-nilai Islam seperti dalam al Quran dan Hadits
93
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999, 3. 94
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 468. 95
Akhmad Sahal, Islam Nusantara, Bandung: Mizan Pustaka, 2015, 17.
77
dan kemudian diterapkan serta diajarkan di Indonesia. Seperti yang
dirumuskan oleh Hasan Langgulung, bahwa pendidikan Islam merupakan
sebuah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan,
memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan
fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.96
Pendidikan Islam di Indonesia perlulah senantiasa ditata ulang
sehingga selaras dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat. Dalam
hal ini kiranya perlu dikemukakan pernyataan Toto Suharto tentang
pendekatan kontekstual dalam Filsafat Pendidikan Islam:
Maksud pendekatan kontekstual di sini adalah pendekatan yang mencoba
memahami Filsafat Pendidikan Islam dalam konteks sosial, politik,
budaya dan sebagainya di mana pendidikan Islam itu berada. Ia
bermaksud menjelaskan situasi-situasi dan perkembangan suatu proses
pendidikan yang muncul dari konteks-konteks itu. Jadi, pendekatan
konstektual lebih mengarah kepada situasi dan kondisi yang sosiologis-
antropologis. Aspek sosiologis dan antropologis suatu pendidikan
dibedah sedemikian rupa dalam filsafat pendidikan, sehingga diketahui
relevansi dan akseptabilitasnya dengan suatu tujuan pendidikan yang
telah ditetapkan. Pendekatan ini pada intinya mempertanyakan apakah
proses pendidikan yang dilaksanakan secara sosiologis-antropologis itu
sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan secara filosofis
ataukah tidak? Atau sebaliknya, apakah tujuan pendidikan yang telah
dirumuskan itu sesuai dengan tuntutan masyarakat secara sosiologis-
antropologis di lapangan atau tidak.97
Pendidikan Islam di Indonesia perlulah senantiasa ditata ulang
karena mengingat bahwa zaman sudah berkembang dan begitu juga
dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Pendidikan Islam di Indonesia
juga perlu ditata ulang mengingat ada keterbatasan dan kelemahan dari
produk pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu kelemahan dari
pendidikan Islam di Indonesia adalah masih melahirkan pribadi-pribadi
96
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru…, 5. 97
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006, 57.
78
yang berkepribadian pecah (split personality), misal: beribadah rajin tapi
disisi lain juga melakukan tindak pencurian, beribadah rajin tapi
melakukan kekerasan terhadap orang lain, beribadah rajin tapi kurang
menghormati perbedaan agama. Pendidikan Islam idealnya bisa
melahirkan pribadi yang utuh, bukan hanya saleh secara ritual, namun juga
saleh secara sosial dan profesional.
B. Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini tentang Pendidikan
Karakter
Secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang
artinya „mengukir‟. Dari arti bahasa ini, arti mengukir dimaknakan sebagai
sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak
mudah using tertelan waktu atau aus terkena gesekan.98
R.A Kartini mengemukakan akan pentingnya pendidikan akhlak
sebagai inti dari peradaban sebuah bangsa. Dalam tulisannya, R.A Kartini
mengemukakan:
Bila orang hendak sungguh-sungguh memajukan peradaban, maka
kecerdasan pikiran dan pertumbuhan budi harus sama-sama dimajukan.
Siapa yang paling banyak berbuat untuk yang terakhir, yang paling
banyak membantu mempertinggi kadar budi manusia? Wanita, ibu.
Karena manusia pertama-tama menerima pendidikan dari seorang
perempuan. Dari tangan seorang perempuanlah, anak-anak mulai belajar
merasa, berpikir, dan berbicara. Didikan pertama kali itu bukan tanpa arti
bagi seluruh penghidupan. Salah satu sifat orang Jawa yang kurang baik,
dan kalau perlu dibasmi, adalah sifat gila sanjungan. Jika sampai berhasil
dibasmi, tentu hal itu akan banyak membantu memakmurkan Jawa dan
kami hanya dapat mencapainya melalui pendidikan akhlak.99
98
Abdullah Munir, Pendidikan Karakter, membangun karakter anak sejak dari rumah,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010, 2. 99
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 51.
79
R.A Kartini mengemukakan bagaimana pentingnya pendidikan
karakter yang dimulai dari keluarga. Dalam hal ini perempuan yaitu ibu
yang memegang peranan penting untuk mendidik anak-anak, agar kelak
ketika dewasa mereka sudah dibekali dengan akhlak yang baik, sehingga
bisa menjadi pribadi yang rendah hati, tidak mudah puas dengan apa yang
dicapai. Karena kunci kesuksesan bukan hanya pada kecerdasan otak
belaka namun kecerdasan emosi juga mendapatkan andil dalam
menentukan keberhasilan.
Pemikiran R.A. Kartini tentang pendidikan karakter menemukan
relevansinya dalam kurikulum 2013 yang sangat menekankan pendidikan
karakter. Kita menyaksikan ada dan berkembangnya fragmentasi
kehidupan, menguatnya egoisme pribadi dan kolektif, marak dan
meluasnya aneka konflik, rusaknya komunitas moral, dan meluasnya
aneka kesenjangan yang mengisi pemberitaan media publik. Identitas
karakter bangsa semakin tidak jelas, nyaris kehilangan jati diri.
Menghormati jabatan lebih penting dari menghormati pribadi sebagai
manusia. Pemahaman dan penghormatan terhadap manusia dan
kemanusiaannya terlupakan.100
Pendidikan karakter dimaksudkan antara lain untuk memberikan
solusi dan mencegah kasus-kasus tersebut, di samping tentunya
menanamkan nilai-nilai positif yang memainkan peranan penting dalam
menumbuhkan pribadi unggul dan berkarakter. Kemajuan sebuah bangsa
100
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik, Yogyakarta: UNY Press,
2011, 3.
80
diyakini sangat bergantung pada kekuatan karakter dari generasi penerus
bangsa.
R.A. Kartini sangat memperhatikan tentang karakter bangsa. Hal
ini antara lain terlihat dalam kutipan pemikiran R.A. Kartini berikut: “Hal-
hal yang baik dari bangsa lain, kini ingin sekali kami berikan kepada
bangsa sendiri. Bukan untuk mendesak sifat-sifat asli yang baik dan
menggantinya dengan yang asing, melainkan untuk memuliakannya”.101
Pemikiran R.A. Kartini tersebut menemukan relevansinya dan bisa kita
kontekstualisasikan dalam konteks sekarang yakni, terkait dengan
pengembangan karakter bangsa.
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang R.A. Kartini dan
karakter bangsa, perlu kiranya dikemukakan apa yang dimaksud dengan
karakter bangsa. Karakter bangsa dipahami sebagai “tata nilai budaya dan
keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan dan masyarakat dan
memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar
sebagai kepribadian masyarakat tersebut”.102
Karakter bangsa menjadi perhatian dari pemerintah, terutama
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini antara lain terlihat dari
pasal 3 UU No. 20 tahun tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membantu
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi,
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
101
R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 111. 102
Ade Armando, Refleksi Karakter Bangsa, Jakarta: Forum Kajian Antropologi Indonesia, 2008,
8.
81
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Karakter bangsa terbentuk dari suatu masyarakat yang merupakan
bagian penting dari kebudayaan masyarakat itu sendiri. Masyarakat
Indonesia dari dahulu, sekarang, dan yang akan datang terus majemuk,
plural, beraneka ragam, namun diharapkan dapat hidup berdampingan,
saling bertenggang rasa. Dengan harapan Indonesia bisa menjadi negara
yang utuh, demokratis, adil, dan makmur tanpa diskriminasi, yang
didasarkan pada ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 103
Konsep karakter bangsa belakangan ini semakin menguat dalam
wacana pendidikan Indonesia. Hal ini terutama ditujukan untuk penguatan
jati diri bangsa, untuk mewujudkan generasi penerus yang sadar akan jati
dirinya sebagai bangsa Indonesia, yang pada gilirannya akan
menumbuhkan sikap rela berkorban dan mengabdi untuk kemajuan
bangsa.
Konsep karakter bangsa sangat berkaitan dengan Islam dan
karenanya juga sangat layak dikembangkan dalam pendidikan Islam.
Karakter bangsa dalam wacana Indonesia merupakan hasil akulturasi dari
berbagai budaya dan agama di Indonesia, yang tentunya Islam sebagai
agama terbesar di Indonesia tidak bisa dikesampingkan, bahkan
mempunyai peranan penting dalam proses pembentukan karakter
(character building).
103
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik…, 6.
82
Seperti yang dituturkan oleh Ki Hajar Dewantara, sebagai pendidik
bangsa, yang menjelaskan perwujudan kebudayaan mempunyai tiga jenis
yakni: (1) mengenal rasa kebatinan atau moral, (2) mengenal kemajuan
angan-angan, dan (3) mengenal kepandaian. Yang termasuk kebudayaan
rasa kebatinan adalah agama, adat istiadat, tata negara, kesosialan.
Kebudayaan jenis angan-angan antara lain pengajaran, ilmu bahasa, ilmu
pengetahuan. Kebudayaan jenis kepandaian antara lain, pertanian, industri,
pelayaran, kesenian dan lain-lain. Kebudayaan adalah buah dari perbuatan
manusia, timbul dari kematangan budi, kehalusan perasaan, kecerdasan
pikiran, dan kekuatan kehendak. Dalam konteks kebudayaan itu
masyarakat Indonesia bersendikan kekeluargaan, kegotongroyongan,
sosialisme, komunalisme. Ki Hajar Dewantara menegaskan pentingnya
memilih dan menegaskan pentingnya memilih dan mengembangkan
kebudayaan kebangsaan yang merdeka.104
Dengan demikian dari penjelasan Ki Hajar Dewantara, kita bisa
menyimak bahwa pendidikan Islam erat kaitannya dengan pendidikan
karakter bangsa. Dengan membangun karakter bangsa yang bersumber
pada pendidikan Islam diharapkan akan menghasilkan generasi penerus
yang sadar akan nilai-nilai universal Islam, namun juga sadar akan
tanggung jawabnya sebagai Muslim Indonesia dan bangsa Indonesia.
Mereka tidak mempertentangkan “keindonesiaan” dan “keislaman”,
104
Suyata, Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik..., 7-8.
83
namun sebaliknya mereka melihat bahwa kedua nilai tersebut adalah
berkaitan dan menyatu dalam diri mereka.
C. Pendidikan Islam yang Anti Kekerasan: Kontekstualisasi Pemikiran
R.A. Kartini
R.A. Kartini hidup pada akhir abad 19, namun beliau sudah sangat
kritis melihat fenomena agama dan masyarakat. Dia bisa membedakan
dengan jernih mana yang masuk dalam ranah “ajaran ideal agama” dan
mana yang masuk dalam ranah “perilaku umat beragama”. Perilaku umat
beragama tidak mesti mencerminkan ajaran ideal yang terkandung dalam
agamanya.
Hal ini terlihat dalam kutipan R.A. Kartini berikut:
Kami mendapatkan banyak perhatian dari sahabat kalangan rakyat biasa.
Dan alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami
melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang
dengan berkedok agama. Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama
yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang
membuat segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. 105
Dari kerangka itu, R.A. Kartini kemudian melihat aspek kekerasan
dalam agama. Kartini melihat bahwa agama pada dasarnya mengajarkan
kasih sayang dan cinta sesama. Hanya saja, nilai-nilai luhur ini kadang
dikaburkan oleh penganut agama, dengan melakukan tindak kekerasan
pada yang lain. Yang dikritisi R.A. Kartini di sini adalah orang-orang yang
menjustifikasi (mencari pembenaran) agama untuk melakukan tindakan
kekerasan pada orang lain.
105
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 364.
84
Pemikiran R.A. Kartini tentang agama anti kekerasan tersebut bisa
kita kontekstualisasikan dalam ranah pendidikan Islam di Indonesia. Saat
ini, pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya pendidikan Islam)
masih terdapat adanya praktek-praktek kekerasan: baik itu berupa tawuran
antar pelajar, pelecehan seksual, ataupun intimidasi pada orang yang
berbeda agama.
Pendidikan Islam di Indonesia sudah selayaknya merespons
maraknya isu-isu kekerasan tersebut dengan merancang dan menerapkan
pendidikan anti kekerasan. Pendidikan anti kekerasan tersebut antara lain
bertumpu pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
seluruh alam). Dalam kerangka itu, secara teologis, rahmat Allah diyakini
meliputi semuanya, semua makhluk, termasuk makhluk yang berbeda
dengan kita. Sejalan dengan kerangka itu, perlu dikembangkan nilai-nilai
semacam kasih sayang, menghormati sesama, menghormati yang berbeda,
dan pantang melakukan kekerasan yang tidak dibenarkan. Nilai-nilai itu
kemudian dijabarkan lewat kurikulum dan terutama sekali ditujukan agar
dihayati dan diamalkan para siswa, sehingga menjadi nilai-nilai yang
hidup. Guru, sebagai pendidik di sekolah, juga memberi contoh dengan
tidak melakukan kekerasan baik verbal maupun fisik, baik kepada siswa
maupun kelompok lain.
85
D. Pendidikan yang Sadar akan Gender dan Pemberdayaan Perempuan:
Kontekstualisasi Pemikiran R.A. Kartini
Gagasan dan perjuangan R.A. Kartini tentang pendidikan untuk
perempuan sudah kita rasakan hasilnya sekarang. Saat ini perempuan di
Indonesia sudah bisa menikmati dan mendapatkan akses pendidikan, yang
memungkinkannya untuk maju dan setara dengan kaum pria. Pemikiran
R.A. Kartini saat itu lebih didasari kondisi riil masyarakat Jawa yang
kurang memberi kebebasan kepada perempuan untuk menempuh
pendidikan. Dalam hal ini R.A. Kartini melihat bahwa kaum perempuan
adalah kaum tertindas (the oppressed), karena itu R.A. Kartini berusaha
untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan tersebut.
Perjuangan R.A. Kartini tentang pendidikan dan pemberdayaan
perempuan tadi belum lah selesai. Perempuan masih harus berjuang
bersama-sama untuk meningkatkan kualitas diri mereka (antara lain
dengan pendidikan) dan meningkatkan akses mereka untuk mempunyai
hak yang sama dalam karir, tentunya sepanjang hal itu tidak menyalahi
kodrat biologis mereka.106
Dalam kacamata sosiologi, sex (jenis kelamin) adalah kodrat
biologis, sedangkan gender adalah bentukan masyarakat tentang peran
yang idealnya diperankan oleh laki-laki dan perempuan. Gender, dengan
demikian adalah konstruksi sosial, dan tidak bersifat tetap. Gender sebagai
106
Untuk perjuangan gender yang dilakukan oleh Sinta Nuriyah Wahid silakan lihat: Asfa
Widiyanto, “Female Religious Authority, Religious Minority and the Ahmadiyya: The Activism of
Sinta Nuriyah Wahid“, Journal of Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1 (2015), 1-24.
86
konstruksi sosial dibangun dan diinspirasi oleh nilai-nilai budaya dan
pemahaman keagamaan yang ada pada suatu negara, atau tempat.107
Konstruksi gender di Indonesia dengan demikian erat berkaitan
dengan pemahaman keagamaan yang berkembang di Indonesia.
Azyumardi Azra, misalnya, menyatakan bahwa salah satu karakteristik
“Islam Indonesia” adalah bahwa perempuan memiliki peran yang
menonjol di ruang publik.108
Hal ini antara lain terlihat bahwa di
Indonesia, perempuan bisa menjadi anggota DPR, presiden, dan bisa
menjadi hakim. Fenomena hakim perempuan (bahkan di pengadilan agama
(Islam) adalah sesuatu yang menarik, dan tentunya unik, jika kita
membandingkan dengan negara Islam yang lain. Juga jika kita
membandingkan dengan fiqih klasik, yang menyatakan bahwa kesaksian
perempuan adalah separuh kesaksian laki-laki. Menjadi saksi saja
perempuan ada kesulitan, apalagi menjadi hakim.
Perlu kiranya dicatat, bahwa Islam Indonesia di sini bukanlah suatu
aliran baru, namun merupakan ekspresi agama khas yang berkembang di
Indonesia, sebagai hasil dialog antara ajaran Islam dan budaya lokal. Dari
sisi ajaran, Islam Indonesia menekankan sisi moderasi, baik terkait aspek
teologis, fiqih maupun tasawuf. Dengan bekal moderasi dari sisi ajaran,
107
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2008, 12. 108
Azyumardi Azra, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”, dalam Jajat
Burhanuddin dan Kees van Dijk, Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretations,
(Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), 63-70.
87
Islam Indonesia menjadi sangat mudah berdialog dengan budaya-budaya
yang ada di Indonesia.
Salah satu yang menjadi tantangan dari gerakan pemberdayaan
perempuan saat ini, bila ditinjau dari kacamata pendidikan Islam, adalah
adanya segelintir aktivis perempuan yang “sangat melampaui” pemikiran
R.A. Kartini. Segelintir aktivis ini sangat memperhatikan dan mengikuti
jejak feminis-feminis kontemporer di Barat sehingga kadang kurang
melihat kodratnya sebagai perempuan, yang tentunya mempengaruhi
konsepsi dan keharmonisan keluarga (yang dibangun oleh perempuan dan
laki-laki, dan tentunya atas konstruk sosial tentang peran suami dan isteri
dalam keluarga). Hal ini agak berbeda dengan ide yang diperjuangkan
R.A. Kartini. R.A. Kartini melihat bahwa pemberdayaan tidak harus
semata bertumpukan pad ide-ide dan konsepsi Barat, namun juga harus
berlandaskan pada inspirasi dari Timur, terutama sekali Islam. Dalam
kerangka itu, kita bisa melihat bahwa R.A. Kartini belajar dan
mengapresiasi ajaran-ajaran Kyai Saleh Darat, yang tentunya
mempengaruhi pemikiran R.A. Kartini tentang Islam.
Disini ada seorang tua, tempat saya meminta bunga yang berkembang di
dalam hati. Sudah banyak yang diberikan kepada saya, sangatlah banyak
lagi bunga simpanannya. Dan saya ingin lagi, senantiasa ingin lagi.
Dan dengan sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan:
“Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus
mengasingkan diri di tempat yang sunyi.”
“Habis malam datanglah cahaya,
Habis topan datanglah reda,
Habis duka datanglah suka,
Berdesau-desaulah dalam telinga saya sebagai rekuiem.
88
Saya tidak mau belajar lagi, belajar membaca al Quran, belajar
menghafalkan amsal dalam Bahasa asing, yang tidak saya ketahui artinya.
Dan boleh jadi guru-guru saya, laki-laki dan perempuan juga tidak
mengerti. “Beritahu saya artinya dan saya akan mau belajar semuanya.”
Saya berdosa, kitab suci yang mulia itu terlalu suci untuk diterangkan
artinya kepada kami.109
Agama sering dianggap masalah, bahkan dijadikan kambing hitam
atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat
menganggu misalnya tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah
adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam hampir semua
agama. Sejauhmanakah pandangan tersebut dipengaruhi oleh atau
mempengaruhi kultur yang dikenal sebagai patriarki?. Spirit apa yang
dibawa islam pada awal kelahirannya, yakni melakukan perbandingan atas
posisi dan kondisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah Islam.
Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam
atau yang dikenal zaman jahiliyah, posisi perempuan dalam masyarakat
sangatlah rendah dan amat buruk kondisinya, serta dianggap tidak lebih
berharga dari suatu komoditas. Dari berbagai uraian tentang
penggambaran kedudukan kaum perempuan, yang menonjol diantaranya
adalah bahwa jika seorang suami meninggal dunia, saudara laki-laki
lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya. Bahkan kebiasaan
mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik merendahkan kaum
perempuan yang membentang luas di dunia Arab pada zaman pra-Islam.
Rendahnya martabat kaum perempuan juga terlihat dari hakikat
109
R.A Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang…, 299.
89
perkawinan yang posesif sifatnya. Salah satunya adalah praktek poligami,
yang membolehkan suami boleh memiliki banyak istri.110
Al-Quran sebagai rujukan masyarakat Islam, pada dasarnya
mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara.
Seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa ayat 124.
Artinya: “Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-
laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan
masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun”.
Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), di mana yang satu tidak
memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan al-Quran menjelaskan
secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk nabi Adam
sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-
Quran terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah setara.
110
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial…, 129.
90
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pemikiran pendidikan R.A. Kartini bertumpu pada dua hal: pendidikan
perempuan dan pendidikan karakter. Bagi R.A Kartini, pendidikan
perempuan mutlak diperlukan karena perempuan adalah sosok yang
dekat dengan anak dan keluarga. Jika perempuan mendapatkan akses
pendidikan yang memadai, maka diharapkan bisa mendidik anak-anak
sebagai generasi penerus bangsa. Upaya R.A Kartini untuk
memperjuangkan pendidikan perempuan bisa dilihat sebagai aspek
perwujudan agency Kartini terutama aspek proyektifnya, yakni
perempuan Jawa mempunyai kebebasan dalam menempuh pendidikan.
Aspek lain selain agency, yakni practical evaluative, dalam hal ini
Kartini melihat bahwa tradisi dan budaya Jawa saat itu belum
mendukung pendidikan perempuan.
R.A Kartini sangat memperhatikan pendidikan karakter yang
erat kaitannya dengan pendidikan Islam. Bagi Kartini, pendidikan tidak
hanya mencakup kecerdasan otak belaka, namun yang lebih penting
adalah pendidikan yang bertumpu pada budi pekerti. Hal ini sejalan
dengan konsep yang diusung oleh pendidikan Islam, yang
mengedepankan pengetahuan yang berdasarkan pada etika Islam.
2. Pemikiran pendidikan R.A. Kartini tentang pendidikan bersentuhan
dengan konsep psikologi pendidikan humanistik, terutama tentang
91
aktualisasi diri. R.A. Kartini sendiri merupakan wujud nyata dari proses
aktualisasi diri. Dia tidak berhenti pada kebutuhan yang berkisar pada
fisiologis dan psikologis, namun sudah beranjak ke aktualisasi diri.
Namun perlu dicatat bahwa aktualisasi diri R.A. Kartini tidak berhenti
pada wilayah yang duniawi dan tidak terkait dengan Tuhan. Aktualisasi
diri R.A. Kartini terkait dengan pendidikan akhlak, yang merupakan
penyangga utama dari pendidikan Islam. Dalam surat-surat R.A. Kartini
terlihat pemikirannya tentang pendidikan akhlak. Dengan demikian,
arah dari aktualisasi diri R.A. Kartini bukanlah menjadi “super woman”
(perempuan super) namun menjadi “khalifatullah fil ‘ard” (orang yang
diberi tugas menjadi sosok pemimpin di muka bumi).
3. Kontekstualisasi pemikiran R.A Kartini dalam ranah ke Indonesiaan,
mencakup dua hal, yakni pendidikan yang berkaitan dengan gender
dalam upaya pemberdayaan untuk kaum perempuan dan pendidikan
anti kekerasan. Pemikiran R.A. Kartini mengenai pendidikan, patut
mendapatkan apresiasi bagi pendidik maupun seluruh elemen bangsa.
R.A Kartini telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
kemajuan pendidikan perempuan di Indonesia. Kontekstualisasi
pemikiran R.A Kartini dalam hal pemberdayaan perempuan sudah kita
rasakan hasilnya sekarang. Saat ini perempuan di Indonesia sudah bisa
menikmati dan mendapatkan akses pendidikan, yang
memungkinkannya untuk maju dan setara dengan kaum pria. Pemikiran
R.A. Kartini saat itu lebih didasari kondisi riil masyarakat Jawa yang
92
kurang memberi kebebasan kepada perempuan untuk menempuh
pendidikan. Dalam hal ini R.A. Kartini melihat bahwa kaum perempuan
adalah kaum tertindas (the oppressed), karena itu R.A. Kartini berusaha
untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan tersebut.
Pemikiran R.A. Kartini tentang agama anti kekerasan tersebut bisa
kita kontekstualisasikan dalam ranah pendidikan Islam di Indonesia.
Saat ini, pendidikan di Indonesia (termasuk di dalamnya pendidikan
Islam) masih terdapat adanya praktek-praktek kekerasan: baik itu
berupa tawuran antar pelajar, pelecehan seksual, ataupun intimidasi
pada orang yang berbeda agama. Pendidikan Islam di Indonesia sudah
selayaknya merespons maraknya isu-isu kekerasan tersebut dengan
merancang dan menerapkan pendidikan anti kekerasan. Pendidikan anti
kekerasan tersebut antara lain bertumpu pada nilai-nilai Islam yang
rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
B. SARAN
1. Penelitian tesis ini masih terbatas menggunakan buku „Habis Gelap
Terbitlah Terang‟, alangkah baiknya bila ada penelitian yang
menggunakan manuskrip surat-surat dan arsip-arsip sejarah lain yang
terdapat di museum dan perpustakaan lain.
2. Korespondensi R.A Kartini dengan Kyai Saleh Darat belum diungkap
secara mendalam di tesis ini. Apabila ada penelitian lain yang
membahas mengenai penelitian tersebut, dengan merujuk pada karya-
93
karya Kyai Saleh Darat tentu akan menambah wacana lain, terutama
pengetahuan R.A Kartini mengenai Islam.
94
DAFTAR PUSTAKA
Arbaningsih, Dri. R.A Kartini dari Sisi Lain, Menelaah Pemikiran R.A Kartini
tentang Emansipasi “Bangsa“. Jakarta: Kompas, 2005.
Arivia, Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2006.
Armando, Ade. Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta: Forum Kajian Antropologi
Indonesia, 2008. Ashraf, Ali. Horison Baru Pendidikan Islam. alih bahasa Sori Siregar, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1996.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Azra, Azyumardi. “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”,
dalam Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk, Islam in Indonesia:
Contrasting Images and Interpretations. Amsterdam: Amsterdam
University Press, 2013. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi
Offset, 1990.
Baharuddin dan Wahyuni, Esa Nur. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta:
Ar Ruzz Media, 2008.
Balfour, Arthur James. Theism and Humanism. Seattle, Inkling Books Seattle,
2000.
Emirbayer, Mustafa and Ann Mische. “What is Agency“, American Journal of
Sociology. Volume. 103, number. 4, (1998): 962-1023.
El Seha, Matsuki HS, M.Ag dan M. Ishom, M.Ag. Intelektualisme Pesantren;
Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren.
Seri 2, Jakarta, Diva Pustaka, 2006.
Freire, Paolo. Education for Critical Consciousness. New York: The Continum
Publishing Company, 2000.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar, 2008.
Idi, Abdullah dan Suharto, Toto. Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006. Kartini, R.A. Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht)
Kumpulan Surat R.A Kartini yang Menginspirasi Wanita-wanita di
Indonesia Sepanjang Masa. Jakarta: Penerbit Narasi, 2011.
Langgulung, Hasan. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1988.
Maslow, Abraham. “A Theory of Human Motivation”, Psychological Review,
volume. 50, (1943): 370.
Musthofa. “Pemikiran Pendidikan Humanistik dalam Islam”, Jurnal Kajian
Islam, volume. 3, number. 2, (2011): 167. Munir, Abdullah. Pendidikan Karakter, membangun karakter anak sejak dari
rumah. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010.
95
Muthali‟in, Achmad. Bias Gender dalam Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2001.
Munawar, Budhy, Rachman. Pendidikan Karakter: Pendidikan Menghidupkan
Nilai untuk Pesntren, Madrasah, dan Sekolah. Jakarta: The Asia
Foundation, Yayasan Paramadina, dan Associatian for Living Values
Education Indonesia, 2015.
Ozturk, Ilhan. “The Role of Education in Economic Development”, Journal of
Rural Development and Administration, Volume 33, No. 1, (Winter 2001):
40-41.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity Transformation of an Intellectual
Tradition. London, Center for Middle Eastern Studies, 1982.
Sahal, Akhmad. Islam Nusantara. Bandung: Mizan Pustaka, 2015.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruz, 2006.
Suyata. Pendidikan Karakter dalam Prespektif Teori dan Praktik, Yogyakarta:
UNY Press, 2011.
Surur, Misbahus. Metode dan Corak Tafsir Faidh Ar-Rahman Karya Muhammad
Shaleh Ibn Umar As-Samarani, Institut Agama Islam Negeri Walisongo,
Semarang, 2011.
Soeroto, Sitisoemandari dan Myrtha Soeroto. R.A Kartini, Sebuah Biografi,
Rujukan Figur Pemimpin Teladan, Jakarta: Balai Pustaka, 2011.
Schreier, Margrit. Qualitative Content Analysis in Practice, California: Sage,
2012.
Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja, Penerbit: Lentera Dipantara,
Jakarta, 2013.
Taylor, Jean Stewart. “Raden Ajeng Kartini”, Signs: Journal of Women in Culture
and Society, Volume. 1 Number.3, (1976): 639-661.
Ulum, Amirul. Kartini Nyantri, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ulama, 2015.
Widiyanto, Asfa. Religious Authority and the Prospects for Religious Pluralism in
Indonesia: The Role of Traditionalist Muslim Scholars, Zuerich: LIT
Verlag, 2016.
Widiyanto, Asfa, „Rekontekstualisasi Pemikiran Seyyed Hossein Nasr tentang
Bangunan Ilmu dan Pendidikan Islam“, Islamica: Jurnal Studi Keislaman,
vol. 11, no.2, 2017.
Widiyanto, Asfa, “Female Religious Authority, Religious Minority and the
Ahmadiyya: The Activism of Sinta Nuriyah Wahid“, Journal of
Indonesian Islam, Vol. 9, No. 1, 2015. Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
96
97
BIOGRAFI PENULIS
Nur Fajriyah lahir di Rembang pada tanggal 21 April 1983. Pendidikan menengah
di MAKN Surakarta (1999-2001), kemudian melanjutkan studi Strata satu di
Univesitas Islam Negeri, Yogyakarta dengan mengambil jurusan Bahasa dan
Sastra Arab (2001-2006). Lulus tahun 2006, Nur Fajriyah memutuskan bekerja
menjadi Jurnalis di Kedaulatan Rakyat, cabang Jakarta. Pernah bekerja di
Kementerian Pemuda dan Olahraga, sebagai tim Asistensi staf Ahli Kepemudaan
dari tahun 2008 sampai dengan 2013. Saat ini, penulis berdomisili di Salatiga dan
mengambil Magister Pendidikan Islam, dengan NIM. M113014. Untuk informasi
lebih lanjut, penulis bisa dihubungi melalui alamat email: