febris
-
Upload
hary-anggoro -
Category
Documents
-
view
899 -
download
17
Transcript of febris
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Febris atau demam merupakan kondisi tubuh dengan suhu di atas
37,5°C sementara normalnya berkisar 36-37,5°C (Doengoes, 2000). Demam
kerap disertai gejala menggigil, lesu, gelisah, sulit makan, susah tidur dan
sebagainya. Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Diantaranya adalah
kecepatan metabolisme basal, rangsangan saraf simpatis, hormon
pertumbuhan, hormon tiroid, hormon kelamin, proses peradangan, status gizi,
aktivitas, gangguan organ, dan lingkungan. Suhu tubuh manusia diatur oleh
pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Titik tetap (set point) tubuh
dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan pada 37°C. Apabila suhu tubuh
meningkat lebih dari titik tetap, hipotalamus akan merangsang untuk
melakukan serangkaian mekanisme untuk mempertahankan suhu dengan cara
menurunkan produksi panas dan meningkatkan pengeluaran panas sehingga
suhu kembali pada titik tetap (Ignatavicius, 2002). Upaya-upaya yang kita
dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh yaitu mengenakan pakaian yang
tipis, banyak minum, banyak istirahat, beri kompres, beri obat penurun panas.
Ada beberapa teknik dalam memberikan kompres dalam upaya menurunkan
suhu tubuh antara lain kompres hangat basah, kompres hangat kering (buli-
buli), kompres dingin basah, kompres dingin kering (kirbat es), bantal dan
selimut listrik, lampu penyinaran, busur panas (Yohmi, 2008).
1
2
Pasien yang datang dengan keluhan panas tinggi, tindakan pertama
yang dilakukan selain memberi obat penurun panas, juga diberikan kompres.
Kompres dipakai untuk membantu menurunkan panas, selain pemberian obat
penurun panas (Yohmi, 2008). Berdasarkan data selama bulan Januari –
Desember 2009 dari rekam medik di ICU RSUD Wangaya Denpasar,
didapatkan jumlah pasien dengan observasi febris sebanyak 108 orang.
Kompres merupakan tindakan mandiri perawat untuk pasien observasi febris.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan didapatkan data dari 4
dokumentasi asuhan keperawatan pada pasien observasi febris di ruang F
selama bulan November – Desember, seluruhnya 4 dokumentasi (100%)
dilakukan intervensi kompres untuk diagnosis keperawatan hipertermi.
Metode kompres dianggap sebagai upaya penurun suhu badan non
farmakologis. Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan
memberikan sinyal ke hipothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus dirangsang, sistem effektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla
oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/kehilangan energi/panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan
normal kembali (Smletzer, 2002).
Perawat dalam hal ini mempunyai peran sebagai care giver atau
pemberi asuhan keperawatan seharusnya mampu melaksanakan tindakan –
3
tindakan keperawatan, meliputi observasi, pendidikan kesehatan, intervensi
mandiri, serta tindakan kolaboratif. Kompres merupakan tindakan mandiri
perawat dalam upaya menurunkan suhu tubuh. Cara kompres seperti ini benar
bila dilakukan dengan air hangat. Karena air hangat membantu pembuluh
darah tepi di kulit melebar hingga pori – pori jadi terbuka yang selanjutnya
memudahkan pengeluaran panas dari dalam tubuh. Selain itu, kompres juga
bertujuan menurunkan suhu di permukaan tubuh. Turunnya suhu diharapkan
terjadi lewat panas tubuh yang digunakan untuk menguapkan air pada kain
kompres (Perry, & Potter, 2002). Kain kompres dapat diletakkan tak hanya di
dahi / kening, tapi juga perut atau di bagian tubuh yang luas dan terbuka. Bisa
juga diletakkan di wilayah yang terdapat pembuluh-pembuluh darah besar,
semisal leher, ketiak, selangkangan maupun lipatan paha. Yang perlu
diperhatikan, hindari mengompres dengan air dingin, air es atau es batu.
Pasalnya, perbedaan suhu yang terlalu ekstrem ini dapat mengakibatkan
"korsleting" atau benturan kuat di otak antara suhu panas tubuh dengan
kompres yang terlalu dingin tadi. Sehingga kompres air dingin justru memicu
peningkatan suhu tubuh. Air kompres yang dingin menyebabkan pembuluh
darah tepi mengecil. Akibatnya, panas yang seharusnya dialirkan oleh darah
ke kulit agar keluar dari tubuh justru jadi terhalang hingga suhu tubuh pun
akan meningkat (Yohmi, 2008). Begitu juga dengan metode kompres yang
menggunakan alkohol. Metode yang dulu dianggap mujarab menurunkan
demam ini sudah ditinggalkan. Alkohol bersifat mudah menguap dan untuk
proses penguapan ini dibutuhkan energi panas yang diambil dari tubuh
penderita. Dengan kompres alkohol, penurunan suhu tubuh bisa berlangsung
4
cepat yang justru bisa membahayakan, dan uap dari baluran alkohol di tubuh
yang terhirup dapat menimbulkan gangguan pada susunan saraf pusat (Perry
& Potter, 2002). Berdasarkan uraian di atas, maka sangat penting dilakukan
penelitian tentang efektifitas kompres hangat pada area temporalis, axilaris,
dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang
A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
B. Rumusan Masalah
1. Adakah pengaruh kompres hangat pada area temporalis terhadap
penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD
Wangaya Denpasar?
2. Adakah pengaruh kompres hangat pada area axilaris terhadap penurunan
suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya
Denpasar?
3. Adakah pengaruh kompres hangat pada area femoralis terhadap penurunan
suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya
Denpasar?
4. Bagaimanakah perbandingan efektifitas kompres hangat pada area
temporalis, axilaris, dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien
observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar?
5
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menjelaskan efektifitas kompres hangat pada area temporalis,
axilaris, dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi
febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
2. Tujuan Khusus
a. Mengukur penurunan suhu tubuh pasien observasi febris sebelum dan
sesudah diberikan kompres hangat pada area temporalis di ruang A, C,
dan F RSUD Wangaya Denpasar.
b. Mengukur penurunan suhu tubuh pasien observasi febris sebelum dan
sesudah diberikan kompres hangat pada area axilaris di ruang A, C, dan
F RSUD Wangaya Denpasar.
c. Mengukur penurunan suhu tubuh pasien observasi febris sebelum dan
sesudah diberikan kompres hangat pada area femoralis di ruang A, C,
dan F RSUD Wangaya Denpasar.
d. Membandingkan efektifitas penurunan suhu tubuh pasien observasi
febris sebelum dan sesudah diberikan kompres hangat pada area
temporalis, axilaris, dan femoralis di ruang A, C, dan F RSUD
Wangaya Denpasar.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Menambah wawasan ilmu keperawatan mengenai efektifitas kompres
hangat pada area temporalis, axilaris, dan femoralis terhadap penurunan
suhu tubuh pasien observasi febris.
b. Bahan pertimbangan dan data referensi bagi penelitian lanjutan yang
ingin mengetahui pengaruh intervensi keperawatan mandiri yang lain
dalam upaya penurunan suhu tubuh pasien dengan observasi febris atau
kasus penyakit lainnya.
2. Praktis
a. Bahan masukan bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan
pasien observasi febris.
b. Bahan masukan bagi perawat dalam melaksanakan intervensi mandiri
keperawatan, dan pedoman dalam pemberian pendidikan kesehatan
tentang tindakan penurunan suhu tubuh kepada pasien dan keluarga
pasien.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Suhu Tubuh
1. Pengertian
Suhu tubuh merupakan panas yang dihasilkan oleh tubuh dan
diatur oleh suatu pusat di dalam hipotalamus dari otak. Pusat ini bereaksi
terhadap darah yang melaluinya. Bila diukur di dalam mulut atau anus,
suhu yang terbaca menunjukkan “suhu tengah” dari tubuh, yaitu suhu dari
organ – organ rongga dada dan rongga perut serta dari otak. Suhu mulut
normal berkisar antara 36,0° - 37,5°C, suhu rektal / anus sedikit lebih
tinggi. Suhu yang terbaca di ketiak dan lipat paha sedikit lebih rendah
(Ignatavicius, 2002).
2. Fisiologi Suhu Tubuh
Berdasarkan distribusi suhu di dalam tubuh, dikenal suhu inti
(core temperatur), yaitu suhu yang terdapat pada jaringan dalam, seperti
kranial, toraks, rongga abdomen, dan rongga pelvis. Suhu ini biasanya
dipertahankan relatif konstan (sekitar 37°C). selain itu, ada suhu
permukaan (surface temperatur), yaitu suhu yang terdapat pada kulit,
jaringan sub kutan, dan lemak. Suhu ini biasanya dapat berfluktuasi sebesar
20°C sampai 40°C (Corwin, 2001).
8
3. Penghasil Suhu Tubuh
1. Laju metabolisme basal (basal metabolisme rate, BMR) di semua sel
tubuh.
2. Laju cadangan metabolisme yang disebabkan aktivitas otot (termasuk
kontraksi otot akibat menggigil).
3. Metabolisme tambahan akibat pengaruh hormon tiroksin dan sebagian
kecil hormon lain, misalnya hormon pertumbuhan (growth hormone
dan testosteron).
4. Metabolisme tambahan akibat pengaruh epineprine, norepineprine, dan
rangsangan simpatis pada sel.
5. Metabolisme tambahan akibat peningkatan aktivitas kimiawi di dalam
sel itu sendiri terutama bila temperatur menurun.
4. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh
Tubuh manusia merupakan organ yang mampu menghasilkan
panas secara mandiri dan tidak tergantung pada suhu lingkungan. Tubuh
manusia memiliki seperangkat sistem yang memungkinkan tubuh
menghasilkan, mendistribusikan, dan mempertahankan suhu tubuh dalam
keadaan konstan. Panas yang dihasilkan tubuh sebenarnya merupakan
produk tambahan proses metabolisme yang utama (Corwin, 2001).
Suhu tubuh manusia cenderung berfluktuasi setiap saat. Banyak
faktor yang dapat menyebabkan fluktuasi suhu tubuh. Untuk
mempertahankan suhu tubuh manusia dalam keadaan konstan, diperlukan
regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme umpan
balik (feed back) yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu di
9
hipotalamus. Apabila pusat temperatur hipotalamus mendeteksi suhu tubuh
yang terlalu panas, tubuh akan melakukan mekanisme umpan balik.
Mekanisme umpan balik ini terjadi bila suhu inti tubuh telah melewati
batas toleransi tubuh untuk mempertahankan suhu, yang disebut titik tetap
(set point). Titik tetap tubuh dipertahankan agar suhu tubuh inti konstan
pada 37°C. Apabila suhu tubuh meningkat lebih dari titik tetap,
hipotalamus akan merangsang untuk melakukan serangkaian mekanisme
untuk mempertahankan suhu dengan cara menurunkan produksi panas dan
meningkatkan pengeluaran panas sehingga suhu kembali pada titik tetap
(Smletzer, 2002).
Upaya-upaya yang kita dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh
yaitu mengenakan pakaian yang tipis, banyak minum, banyak istirahat, beri
kompres, beri obat penurun panas. Ada beberapa teknik dalam memberikan
kompres dalam upaya menurunkan suhu tubuh antara lain kompres hangat
basah, kompres hangat kering (buli-buli), kompres dingin basah, kompres
dingin kering (kirbat es), bantal dan selimut listrik, lampu penyinaran,
busur panas (Yohmi, 2008).
5. Mekanisme Perubahan Suhu Tubuh
a. Mekanisme tubuh ketika suhu tubuh meningkat yaitu :
1) Vasodilatasi
Vasodilatasi pembuluh darah perifer hampir dilakukan
pada semua area tubuh. Vasodilatasi ini disebabkan oleh hambatan
dari pusat simpatis pada hipotalamus posterior yang menyebabkan
vasokontriksi sehingga terjadi vasodilatasi yang kuat pada kulit,
10
yang memungkinkan percepatan pemindahan panas dari tubuh ke
kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak.
2) Berkeringat
Pengeluaran keringat melalui kulit terjadi sebagai efek
peningkatan suhu yang melewati batas kritis, yaitu 37°C.
pengeluaran keringat menyebabkan peningkatan pengeluaran
panas melalui evaporasi. Peningkatan suhu tubuh sebesar 1°C
akan menyebabkan pengeluaran keringat yang cukup banyak
sehingga mampu membuang panas tubuh yang dihasilkan dari
metabolisme basal 10 kali lebih besar. Pengeluaran keringat
merupakan salh satu mekanisme tubuh ketika suhu meningkat
melampaui ambang kritis. Pengeluaran keringat dirangsang oleh
pengeluaran impuls di area preoptik anterior hipotalamus melalui
jaras saraf simpatis ke seluruh kulit tubuh kemudian menyebabkan
rangsangan pada saraf kolinergic kelenjar keringat, yang
merangsang produksi keringat. Kelenjar keringat juga dapat
mengeluarkan keringat karena rangsangan dari epinefrin dan
norefineprin.
3) Penurunan pembentukan panas
Beberapa mekanisme pembentukan panas, seperti
termogenesis kimia dan menggigil dihambat dengan kuat.
11
b. Mekanisme tubuh ketika suhu tubuh menurun, yaitu :
1) Vasokontriksi kulit di seluruh tubuh
Vasokontriksi terjadi karena rangsangan pada pusat
simpatis hipotalamus posterior.
2) Piloereksi
Rangsangan simpatis menyebabkan otot erektor pili yang
melekat pada folikel rambut berdiri. Mekanisme ini tidak penting
pada manusia, tetapi pada binatang tingkat rendah, berdirinya bulu
ini akan berfungsi sebagai isolator panas terhadap lingkungan.
3) Peningkatan pembentukan panas
Pembentukan panas oleh sistem metabolisme meningkat
melalui mekanisme menggigil, pembentukan panas akibat
rangsangan simpatis, serta peningkatan sekresi tiroksin.
4) Penjalaran Sinyal Suhu Pada Sistem Saraf
Sinyal suhu yang dibawa oleh reseptor pada kulit akan
diteruskan ke dalam otak melalui jaras spinotalamikus
(mekanismenya hamper sama dengan sensasi nyeri). Ketika sinyal
suhu sampai di tingkat medulla spinalis , sinyal akan menjalar
dalam traktus Lissauer beberapa segmen di atas atau di bawah, dan
selanjutnya akan berakhir terutama pada lamina I, II dan III radiks
dorsalis.
Setelah mengalami percabangan melalui satu atau lebih
neuron dalam medulla spinalis, sinyal suhu selanjutnya akan
dijalarkan ke serabut termal asenden yang menyilang ke traktus
12
sensorik anterolateral sisi berlawanan, dan akan berakhir di tingkat
reticular batang otak dan komplek ventrobasal thalamus. Beberapa
sinyal suhu pada kompleks ventrobasal akan diteruskan ke korteks
somatosensorik.
6. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Suhu Tubuh (Smletzer, 2002)
a. Kecepatan metabolisme basal
Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal
ini memberi dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi
berbeda pula. Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya, sangat
terkait dengan laju metabolisme.
b. Rangsangan saraf simpatis
Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan
metabolisme menjadi 100% lebih cepat. Disamping itu, rangsangan
saraf simpatis dapat mencegah lemak coklat yang tertimbun dalam
jaringan untuk dimetabolisme. Hampir seluruh metabolisme lemak
coklat adalah produksi panas. Umumnya, rangsangan saraf simpatis ini
dipengaruhi stress individu yang menyebabkan peningkatan produksi
epineprin dan norepineprin yang meningkatkan metabolisme.
c. Hormone pertumbuhan
Hormone pertumbuhan ( growth hormone ) dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme sebesar 15-20%.
Akibatnya, produksi panas tubuh juga meningkat.
13
d. Hormone tiroid
Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hamper semua
reaksi kimia dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin dapat
mempengaruhi laju metabolisme menjadi 50-100% diatas normal.
e. Hormone kelamin
Hormone kelamin pria dapat meningkatkan kecepatan
metabolisme basal kira-kira 10-15% kecepatan normal, menyebabkan
peningkatan produksi panas. Pada perempuan, fluktuasi suhu lebih
bervariasi dari pada laki-laki karena pengeluaran hormone
progesterone pada masa ovulasi meningkatkan suhu tubuh sekitar 0,3 –
0,6°C di atas suhu basal.
f. Demam ( peradangan )
Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan
peningkatan metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu
10°C.
g. Status gizi
Malnutrisi yang cukup lama dapat menurunkan kecepatan
metabolisme 20 – 30%. Hal ini terjadi karena di dalam sel tidak ada zat
makanan yang dibutuhkan untuk mengadakan metabolisme. Dengan
demikian, orang yang mengalami mal nutrisi mudah mengalami
penurunan suhu tubuh (hipotermia). Selain itu, individu dengan lapisan
lemak tebal cenderung tidak mudah mengalami hipotermia karena
lemak merupakan isolator yang cukup baik, dalam arti lemak
14
menyalurkan panas dengan kecepatan sepertiga kecepatan jaringan
yang lain.
h. Aktivitas
Aktivitas selain merangsang peningkatan laju metabolisme,
mengakibatkan gesekan antar komponen otot / organ yang
menghasilkan energi termal. Latihan (aktivitas) dapat meningkatkan
suhu tubuh hingga 38,3 – 40,0 °C.
i. Gangguan organ
Kerusakan organ seperti trauma atau keganasan pada
hipotalamus, dapat menyebabkan mekanisme regulasi suhu tubuh
mengalami gangguan. Berbagai zat pirogen yang dikeluarkan pada saai
terjadi infeksi dapat merangsang peningkatan suhu tubuh. Kelainan
kulit berupa jumlah kelenjar keringat yang sedikit juga dapat
menyebabkan mekanisme pengaturan suhu tubuh terganggu.
j. Lingkungan
Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan,
artinya panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan
yang lebih dingin. Begitu juga sebaliknya, lingkungan dapat
mempengaruhi suhu tubuh manusia. Perpindahan suhu antara manusia
dan lingkungan terjadi sebagian besar melalui kulit.
Proses kehilangan panas melalui kulit dimungkinkan karena
panas diedarkan melalui pembuluh darah dan juga disuplai langsung
ke fleksus arteri kecil melalui anastomosis arteriovenosa yang
mengandung banyak otot. Kecepatan aliran dalam fleksus
15
arteriovenosa yang cukup tinggi (kadang mencapai 30% total curah
jantung) akan menyebabkan konduksi panas dari inti tubuh ke kulit
menjadi sangat efisien. Dengan demikian, kulit merupakan radiator
panas yang efektif untuk keseimbangan suhu tubuh.
7. Mekanisme Kehilangan Panas Melalui Kulit
a. Radiasi
Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam
bentuk gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang
dipancarkan dari tubuh memiliki panjang gelombang 5 – 20
mikrometer. Tubuh manusia memancarkan gelombang panas ke segala
penjuru tubuh. Radiasi merupakan mekanisme kehilangan panas paling
besar pada kulit (60%) atau 15% seluruh mekanisme kehilangan panas.
Panas adalah energi kinetic pada gerakan molekul. Sebagian
besar energi pada gerakan ini dapat di pindahkan ke udara bila suhu
udara lebih dingin dari kulit. Sekali suhu udara bersentuhan dengan
kulit, suhu udara menjadi sama dan tidak terjadi lagi pertukaran panas,
yang terjadi hanya proses pergerakan udara sehingga udara baru yang
suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.
b. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung
kulit dengan benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses
kehilangan panas dengan mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan
dengan benda umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil
karena dua mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk terpapar
16
langsung dengan benda relative jauh lebih kecil dari pada paparan
dengan udara, dan sifat isolator benda menyebabkan proses
perpindahan panas tidak dapat terjadi secara efektif terus menerus.
c. Evaporasi
Evaporasi (penguapan air dari kulit) dapat memfasilitasi
perpindahan panas tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami
evaporasi akan menyebabkan kehilangan panas tubuh sebesar 0,58
kilokalori. Pada kondisi individu tidak berkeringat, mekanisme
evaporasi berlangsung sekitar 450 – 600 ml/hari.
Hal ini menyebabkan kehilangan panas terus menerus dengan
kecepatan 12 – 16 kalori per jam. Evaporasi ini tidak dapat
dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat difusi molekul air secara
terus menerus melalui kulit dan system pernafasan.
8. Rentang Suhu Tubuh Manusia
a. Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C
b. Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 36 - 37,5°C
c. Febris / pireksia, bila suhu tubuh antara 37,5 - 40°C
d. Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C
B. Konsep Febris
1. Pengertian
Menurut kamus kedokteran, febris (pireksia, fever, demam) adalah
peningkatan suhu tubuh di atas normal; setiap penyakit yang ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh (Dorland, 2002).
17
Febris atau pyrexia adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal.
Keadaan ini paling banyak disebabkan oleh pengaruh pada pusat pengatur
suhu oleh zat – zat pyrogen, yaitu zat – zat kimia yang dilepaskan dalam
jumlah kecil ke dalam darah oleh kerja dari kuman – kuman dan dari
jaringan – jaringan yang rusak (Smletzer, 2002).
Demam adalah suhu tubuh di atas batas normal biasa, dapat
disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh zat toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit – penyakit bakteri, tumor
otak, dan dehidrasi.
2. Etiologi
1. Infeksi
Febris dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, protozoa,
dan metazoa.
2. Neoplasma
Febris dapat timbul pada setiap keganasan yang berkembang
dengan cepat, sebagai akibat dilepaskannya zat – zat pyrogen dari sel –
sel yang rusak atau dari suatu infeksi sekunder.
3. Reaksi – reaksi kerentanan / hipersensitifitas
Febris dapat disebabkan oleh karena suatu kerentanan terhadap
obat – obatan atau protein – protein asing, dan biasanya bersamaan
dengan urtikaria, gatal – gatal, muntah, rasa nyeri di persendian dan
albuminuria.
18
4. Penyakit – penyakit kolagen
Febris dapat merupakan gejala dari lupus erytematous
sistemik, poliartritis nodosa.
5. Gangguan mekanisme pengaturan suhu
Mekanisme yang mengatur suhu dapat terganggu pada
berbagai keadaan dengan akibat hiperpireksia. Ini dapat terjadi pada
heat stroke, dan kerusakan pada hipotalamus.
6. Gangguan peredaran darah
Penyakit yang dapat menyebabkan febris antara lain infark
miokard, infark paru dan hemoragi subarachnoid.
7. Penyebab – penyebab lain
Seperti penyakit crohn, krisis tiroid, dan sepsis gigi.
3. Patofisiologi
Demam dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau
oleh zat toksikyang mempengaruhi pusat pengaturan suhu, penyakit –
penyakit bakteri, tumor otak, dan dehidrasi.
Banyak protein, hasil pemecahan protein, dan zat – zat tertentu
lain, seperti toksin lipopolisakarida yang disekresi oleh bakteri dapat
menyebabkan titik setel termostat hipotalamus meningkat. Zat – zat yang
menyebabkan efek ini dinamakan pirogen. Terdapat pirogen yang
disekresikan oleh bakteri toksik atau pirogen yang dikeluarkan dari
degenerasi jaringan tubuh yang menyebabkan demam selama sakit. Bila
titik setel thermostat hipotalamus meningkat lebih tinggi dari normal,
19
semua mekanisme untuk meningkatkan suhu tubuh bekerja, termasuk
konservasi panas dan peningkatan pembentukan panas. Dalam beberapa
jam setelah thermostat diubah ke tingkat yang lebih tinggi, suhu tubuh juga
mencapai tingkat tersebut.
Bila pengaturan termostat dengan mendadak diubah dari tingkat
normal ke nilai yang lebih tinggi dari normal sebagai akibat kerusakan
jaringan, zat pirogen, atau dehidrasi, suhu tubuh biasanya memerlukan
beberapa jam untuk menemui suhu yang baru. Jika suhu darah lebih rendah
daripada setelan suhu thermostat hipotalamus, terjadi respon otonom yang
biasanya menyebabkan peningkatan suhu tubuh. Selama periode ini orang
akan menggigil, selama ia sangat dingin, walaupun suhu tubuhnya melebihi
suhu normal. Menggigil terus berlangsung terus sampai suhu tubuhnya ke
tingkat seting hipotalamus yaitu 103°F. Kemudian bila suhu tubuh
mencapai nilai ini, ia tidak lagi menggigil tetapi gantinya ia tidak merasa
dingin atau panas (Corwin, 2001).
4. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Observasi Febris (Doengoes,
2000)
a. Pengakajian
1) Data Subjektif
- Pasien mengatakan badannya panas
- Pasien mengatakan badannya terasa panas
- Pasien mengatakan kedinginan akibat suhunya naik.
2) Data Objektif
- Suhu lebih dari 38°C
20
- Kulit kemerahan
- Tubuh pasien terasa hangat
- Takikardi
- Nafas cepat
- Dehidrasi
b. Diagnosis Keperawatan
1) Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi
2) Hipertermi berhubungan dengan penurunan kemampuanuntuk
berkeringat
3) Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan
c. Rencana Tindakan
1) Pantau tanda – tanda vital terutama suhu
2) Beri pasien banyak minum
3) Beri pasien kompres dengan air hangat
4) Anjurkan pasien memakai pakaian tipis dan menyerap keringat
5) Beri selimut pelindung
6) Pantau suhu lingkungan
7) Kolaborasi dalam pemberian obat anti piretik
d. Evaluasi
1) Suhu tubuh pasien normal antara 36,5°C – 37,5°C
2) Pasien tidak lemas
3) Pasien tidak dehidrasi
21
C. Konsep Kompres Hangat
1. Pengertian
Kompres hangat adalah suatu prosedur menggunakan kain /
handuk yang telah di celupkan pada air hangat, yang ditempelkan pada
bagian tubuh tertentu, untuk memberikan rasa nyaman dan menurunkan
suhu tubuh dalam menangani kasus klien yang mengalami pireksia /
demam.
Metode kompres dianggap sebagai upaya penurun suhu badan.
Cara kompres seperti ini memang benar bila dilakukan dengan air hangat.
Karena air hangat membantu pembuluh darah tepi di kulit melebar hingga
pori – pori jadi terbuka yang selanjutnya memudahkan pengeluaran panas
dari dalam tubuh. Selain itu, kompres juga bertujuan menurunkan suhu di
permukaan tubuh. Turunnya suhu diharapkan terjadi lewat panas tubuh
yang digunakan untuk menguapkan air pada kain kompres. Kain kompres
dapat diletakkan tak hanya di dahi / kening, tapi juga perut atau di bagian
tubuh yang luas dan terbuka. Bisa juga diletakkan di wilayah yang terdapat
pembuluh-pembuluh darah besar, semisal leher, ketiak, selangkangan
maupun lipatan paha (White, 2002).
2. Fisiologi Kompres Hangat
Kompres dengan air hangat atau suam-suam kuku merupakan cara
terbaik untuk menurunkan panas. Sebab kalau suhu di luar tubuh terasa
hangat, maka tubuh akan menginterpretasikan bahwa suhu di luar cukup
panas. Dengan demikian, tubuh akan menurunkan kontrol pengatur suhu di
otaknya, supaya suhu tubuhnya jangan terlalu panas. Kebalikan dari
22
kompres air dingin, tubuh yang panas akan semakin panas, karena tubuh
menganggap di luar suhunya dingin.
Pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan
sinyal ke hipothalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor
yang peka terhadap panas dihipotalamus dirangsang, sistem effektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer.
Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada
medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian
anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/kehilangan energi/panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh
sehingga mencapai keadaan normal kembali (Yohmi, 2008).
3. Lokasi Pemberian Kompres
Prinsipnya mengompres adalah memberi kemungkinan agar panas
yang ada dalam tubuh dapat mengalir keluar. Panas keluar melalui tempat-
tempat di mana pembuluh darah besar yang dekat dengan kulit berada,
seperti di leher, ketiak, dan selangkangan.
4. Prosedur Pemberian Kompres Hangat (Yohmi, 2008)
a. Alat dan bahan :
- Larutan kompres berupa air hangat 40 °C dalam wadahnya (dalam
kom)
- Handuk / kain / wash lap untuk kompres
- Handuk pengering
23
- Sarung tangan
- Termometer
b. Prosedur :
- Beri tahu klien, dan siapkan alat, klien, dan lingkungan.
- Cuci tangan
- Ukur suhu tubuh
- Basahi kain pengompres dengan air, peras kain sehingga tidak
terlalu basah.
- Letakkan kain pada daerah yang akan dikompres ( dahi, ketiak,
perut, leher belakang ).
- Tutup kain kompres dengan handuk kering
- Apabila kain telah kering atau suhu kain relative menjadi dingin,
masukkan kembali kain kompres ke dalam cairan kompres dan
letakkan kembali di daerah kompres, lakukan berulang-ulang
hingga efek yang diinginkan dicapai
- Evaluasi hasil dengan mengukur suhu tubuh klien setelah 20 menit
- Setelah selesai, keringkan daerah kompres atau bagian tubuh yang
basah dan rapikan alat
- Cuci tangan
24
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kerangka Konseptual
Keterangan : DiukurTidak Diukur
Gambar 3.1 : Kerangka konseptual efektifitas kompres hangat pada area temporalis, axilaris, dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
25
Pasien Observasi Febris
Peningkatan Suhu Tubuh(Suhu Tubuh Rektal ≥ 38°C)
Rangsangan
Vasodilatasi pembuluh darah
Pori – pori terbuka lebar
Panas tubuh mengalir keluar
Penurunan suhu tubuh(Suhu tubuh rektal < 38 °C)
Faktor Eksternal :- Lingkungan- Aktivitas- Status gizi
Faktor Internal :- Gangguan organ- Demam
(peradangan)- Rangsangan saraf
simpatis- Kecepatan
metabolisme basal- Hormonal Kompres Hangat pada :
- Temporalis- Aksilaris- Femoralis
Termostat suhu di hipotalamus
Mendeteksi adanya benda panas di kulit (kain kompres)
Menurunkan produksi panas tubuh dan meningkatkan
pengeluaran panas
25
Dari bagan kerangka konseptual dapat dijelaskan proses interaksi dari
berbagai faktor yang mempengaruhi penurunan suhu tubuh pada pasien
dengan observasi febris dan pengaruh kompres hangat pada temporalis,
aksilaris, dan femoralis. Peningkatan suhu tubuh pada pasien dengan observasi
febris dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Secara umum faktor – faktor
itu dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu faktor eksternal dan faktor
internal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam tubuh manusia seperti
Gangguan organ, Demam (peradangan), Rangsangan saraf simpatis,
Kecepatan metabolisme basal, dan hormonal. Sedangkan faktor eksternal
adalah faktor dari luar tubuh manusia yang mempengaruhi suhu tubuh yaitu
Lingkungan, Aktivitas, dan Status gizi. Kompres hangat merupakan suatu
upaya untuk menurunkan suhu tubuh, mekanisme kompres hangat akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah yang menyebabkan terbukanya
pori – pori sehingga aliran panas dari dalam tubuh dapat keluar dengan
mudah. Selain itu rangsangan kain kompres hangat pada kulit akan
merangsang termostat di hipotalamus yang mendeteksi adanya suhu yang
hangat di luar tubuh, sehingga pusat panas menurunkan produksi panas tubuh
dan meningkatkan pengeluaran panas. Pada akhirnya suhu tubuh akan
menurun.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota
suatau kelompok (orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimiliki
oleh sekelompok tersebut (Nursalam & Pariani, 2001). Variabel independen
adalah variabel yang nilainya menentukan variabel lain (Nursalam, 2003).
26
Variabel independen dalam penelitian ini adalah kompres hangat di area
temporalis, aksilaris, dan femoralis. Variabel dependen adalah variabel yang
nilainya ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2003). Variabel dependen
dalam penelitian ini adalah penurunan suhu tubuh.
Definisi operasional variabel adalah definisi berdasarkan karakteristik
yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam & Pariani,
2001).
Tabel 4.1 : Definisi operasional efektifitas kompres hangat pada area temporalis, axilaris, dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
No. VariabelDefinisi
OperasionalParameter
AlatUkur
Skala Skor
1.IndependenKompres hangat pada temporalis, aksilaris, dan femoralis
Suatu cara menurunkan suhu tubuh dengan menempelkan kain handuk yang telah dicelupkan air hangat (40°C) di area dahi, lipatan ketiak, dan lipatan paha.
Melakukan prosedur kompres hangat dengan kain handuk ukuran 20x20cm, dilipat menjadi dua bagian, dicelupkan air hangat (40°C), diperas, kemudian ditempelkan di area :1. Temporalis : di
dahi, tepat di atas alis mata
2. Aksilaris : lipatan ketiak kanan dan kiri dengan posisi menjepit kain kompres.
3. Femoralis : di lipatan paha kanan dan kiri tepat di atas inguinal.
2.DependenPenurunan suhu tubuh
Keadaan dimana temperatur rektal lebih rendah dibandingkan dengan temperatur rektal awal
Mengukur suhu tubuh melalui rektal sebelum dan sesudah tindakan kompres
LE
MB
AR
OB
SE
RV
AS
I
O R
D I
N A
L
Skor :1 = Suhu tubuh
menurun dibandingkan dengan suhu tubuh awal
2 = Suhu tubuh tetap3 = Suhu tubuh
mengalami peningkatan dibandingkan suhu tubuh awal
27
C. Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini dirumuskan hipotesis penelitian (H1) yaitu,
1. Ada pengaruh pemberian kompres hangat pada area temporalis, axilaris, dan
femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A,
C, dan F RSUD Wangaya Denpasar
2. Ada perbedaan efektifitas kompres hangat pada area temporalis, axilaris, dan
femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A,
C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
28
BAB 4
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran
ilmu pengetahuan atau untuk memecahkan suatu masalah dengan menggunakan
metode ilmiah (Notoatmojo, 2005).
A. Rancangan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka
penelitian ini merupakan suatu studi pre experimental yang mengkaji dan
menganalisis pengaruh antara variabel – variabel dan bertujuan untuk
mengungkapkan adanya perbedaan pengaruh pada variabel.
Sehingga rancangan penelitian yang sesuai adalah dengan pendekatan
static-group comparison, yaitu suatu pendekatan dalam penelitian untuk
menentukan pengaruh dari suatu tindakan pada kelompok subjek yang
mendapat perlakuan yang berbeda (Nursalam, 2003).
Subjek Pra Perlakuan Pasca testK O I-1 O1K O I-2 O2K O I-3 O3
Time 1 Time 2 Time 3Keterangan :
K : Subjek (pasien observasi febris)O : Observasi suhu tubuh per rektalI (1+2+3) : Intervensi kompres hangat (kelompok temporalis, aksilaris, dan
femoralis)O (1+2+3) : Observasi suhu tubuh per rektal (kelompok temporalis, aksilaris, dan
femoralis)
29
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya
Denpasar dengan alasan angka kejadian dan jumlah penderita observasi febris
terdapat pada ruangan – ruangan tersebut cukup banyak. Penelitian ini akan
dilaksanakan selama 2 bulan mulai tanggal 1 Desember 2010 sampai dengan
30 Januari 2011.
C. Kerangka Kerja
Gambar 3.1 : Kerangka kerja efektifitas kompres hangat pada area temporalis, axilaris, dan femoralis terhadap penurunan suhu tubuh pasien observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar
Hasil perbedaanpenurunan suhu tubuh
Penyajian Hasil
Penetapan sampel(kriteria inklusi)
AnalisisData
AnalisisData
Observasi :Suhu Rektal
Observasi :Suhu Rektal
Kompres hangatdi Temporalis
Kompres hangat di Aksilaris
Kelompok 1(n=10)
Kelompok 2(n=10)
Populasi
AnalisisData
Observasi :Suhu Rektal
Kompres hangat di Femoralis
Kelompok 3(n=10)
30
D. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah setiap subjek (misalnya; manusia, pasien) yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan (Nursalam, 2003). Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasien dengan kasus observasi febris di ruang
A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar.
2. Sampel
Sampel adalah bagian populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam,
2003). Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah pasien dengan
kasus observasi febris di ruang A, C, dan F RSUD Wangaya Denpasar
yang disesuaikan dengan kriteria inklusi.
3. Besar sampel
Berdasarkan data dari rekam medik di ICU RSUD Wangaya
Denpasar, didapatkan populasi pasien BPH yang menjalani operasi open
prostatectomy selama bulan Januari – Desember 2009 sejumlah 108 kasus
dan jumlah rata – rata kasus setiap bulan sebanyak 9 kasus. Karena
keterbatasan jumlah populasi, maka besar sampel diambil dari keseluruhan
subjek penelitian yang didapatkan selama periode pengumpulan data (total
sampling).
31
4. Sampling
Sampling adalah proses dalam menyeleksi porsi dari populasi
untuk dapat mewakili populasi (Nursalam, 2003). Penelitian ini
menggunakan teknik nonprobability dengan metode total sampling, yaitu
suatu cara pengambilan sampel dengan mengambil keseluruhan dari
jumlah populasi yang ada (Notoatmodjo, 2002). Sehingga dalam penelitian
ini diambil sampel pasien dengan kasus observasi febris di ruang A, C, dan
F RSUD Wangaya Denpasar yang seluruhnya dijadikan subjek penelitian.
E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer yaitu materi atau
kumpulan fakta yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti pada saat
berlangsungnya suatu penelitian (Arikunto, 2002). Data tersebut diperoleh
peneliti selama periode penelitian dari hasil observasi subjek penelitian
yang didokumentasikan pada lembar observasi penelitian.
2. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan pedoman
observasi suhu tubuh dan standar operasional prosedur kompres hangat,
yang diadaptasi dari berbagai sumber referensi tentang asuhan
keperawatan pada pasien dengan observasi febris.
3. Prosedur Pengumpulan Data
Sebelum pengumpulan data dilakukan, peneliti mengajukan
permohonan kepada Direktur RSUD Wangaya Denpasar dan Kepala
32
Ruangan ICU, untuk mendapatkan persetujuan penelitian, peneliti juga
mengajukan permohonan ijin pada responden yaitu pasien observasi febris
sebagai subjek penelitian.
Setelah mendapatkan ijin dari instansi yang terkait dan responden,
peneliti melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan
dengan melakukan observasi suhu tubuh per rektal sebelum dilakukan
intervensi kompres hangat. Kompres dilakukan pada masing – masing
kelompok area temporalis, aksilaris, dan femoralis selama 3 x 15 menit
dengan jeda 5 menit. Kemudian diukur suhu per rektal dan dilakukan
analisis data.
F. Pengolahan dan Analisis Data
Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan pengelompokan
variabel independen dan variabel dependen. Data tersebut dianggap
memenuhi syarat apabila seluruh data telah terisi dengan lengkap dan jelas
(editing). Data tersebut selanjutnya diberi tanda khusus (coding) untuk
menghindari pencantuman identitas atau menghindari adanya kesalahan
dan duplikasi data yang masuk.
Setelah proses coding selesai dilanjutkan dengan tabulasi dalam
bentuk tabel sesuai dengan variabel yang diukur untuk mengetahui
hubungan tingkat kepatenan aliran cairan irigasi dengan kejadian obstruksi
bekuan darah (clotting) pada pasien pasca operasi open prostatectomy.
Data kuantitatif yang diperoleh dari lembar observasi dilakukan analisis
dengan komputer program SPSS, menggunakan uji Wilcoxon Sign Rank
Test, dengan tingkat kemaknaan p<0,05. Jika hasil uji statistik
33
menunjukkan p<0,05 maka H0 ditolak dan hipotesis penelitian (H1)
diterima, yang berarti ada beda antara pemberian kompres hangat terhadap
penurunan suhu. Hasil masing – masing kelompok kemudian
dibandingkan untuk mengetahui signifikansi dan efektifitas kompres
hangat pada area temporalis, aksilaris, dan femoralis.
G. Etika Penelitian
Apabila manusia dijadikan sebagai subjek suatu penelitian, hak
sebagai manusia harus dilindungi (Nursalam, 2001). Sebelum dilakukan
pengumpulan data, peneliti terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin yang
disertai proposal penelitian. Setelah mendapat persetujuan, peneliti memulai
melakukan observasi. Penelitian ini menekankan masalah etik sebagai
berikut :
1. Lembar Persetujuan Responden (Informed Consent)
Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian. Setelah responden mengerti maksud dan tujuan
penelitian, responden atau keluarga yang bertanggung jawab
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden menolak untuk diteliti
maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak klien.
2. Tanpa Pencantuman Nama Responden (Anonimity)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak akan
mencantumkan nama subjek pada lembar pengumpulan data (kuesioner)
yang diisi oleh subjek. Lembar hanya diberi nomor kode tertentu.
34
3. Kerahasiaan Data Responden (Confidentiality)
Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh responden
dijamin oleh peneliti. Data hanya akan disajikan kepada kelompok tertentu
yang berhubungan dengan penelitian ini
H. Keterbatasan
1 Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data berupa lembar
observasi yang diadaptasi dari tinjauan teori belum diketahui validitas dan
reliabilitasnya.
2 Feasibility yaitu dalam melaksanakan penelitian terdapat adanya
pertimbangan mengenai keterbatasan waktu dan subjek penelitian yang
diambil berdasarkan total sampling.
35
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Corwin, E. J. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Doengoes, M. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.
Ganong, W. F. (2000). Fisiologi Kedokteran, Edisi 10. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, D. & Linda W. (2002). Medical Surgical Nursing, Critical Thinking for Colaborative Care, 4th Edition, Volume I. New York : WB. Saunders Company.
Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : PT. Salemba Medika.
Nursalam & Pariani S. (2001). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Perry, A. & Potter, P. (2002). Clinical Nursing Skill and Techniques, 5th Edition. St. Louis : Mosby Company.
Yohmi, E. (2008). Kompres Hangat. Tanggal 1 Februari 2010, jam 20.00 WITA. http://nursingbegin.com/kompres-hangat/
Smith, S. F. (2004). Clinical Nursing Skill, Basic to Advance Skill, 6th Edition. New Jersey : Pearson Prentice-Hall.
Smletzer, S. (2002). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC.
White, L. & Gena D. (2002). Medical Surgical Nursing, an Integrated Approach, 2nd Edition. New York : Delmar-Thompson Learning.