FBR suatu Fenomenologi

6
Dina Andriana (55209110024) Tugas Metode Penelitian Komunikasi FBR = Forum Betawi Rembug: “Pembela rakyat betawi” dan ”Preman” Gerak perjuangan FBR berlandaskan kepada keikhlasan, kebersamaan, dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat di sekitarnya yang kebetulan turut tersisih dan termarginalkan akibat pembangunan ekonomi tanpa kompromi, karena pembangunan tersebut tidak melibatkan kaumnya. FBR melalui program-programnya, berusaha membawa perubahan ke arah yang lebih baik, berdaya guna dan bermartabat, dan kedepannya bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri melalui kompetisi secara profesional dan proporsional, namun banyak kendala yang datang menghadang dari berbagai arah. Berangkat dari keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara strukturan dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. Karena latar belakang tadi, maka pada hari Minggu (Legi), 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi. FBR lahir ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi di Pondok Pesantren Yatim “Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi untuk bersatu dan peduli dalam wadah FBR Forum Betawi Rempug adalah organisasi berbasis massa dari etnis betawi. Namun warga etnis lain boleh bergabung asalkan telah menetap di Jakarta lebih dari tiga tahun. Organisasi ini didasarkan pada ajaran Al Quran, Sunnah, Pancasila dan UUD 1945. Namun kenyataannya bagi banyak orang FBR, karakteristik keras FBR menunjukkan bahwa organisasi ini tidak lebih dari sekedar sekelompok preman, brandalan politis atau bahkan kawanan fundamentalis agama dan kesukuan. Baru-baru ini FBR mengklaim memiliki 1,2 juta anggota di Jakarta. Sebagian besar di antaranya pemuda berusia 20 hingga 30an tahun, walau pun secara tradisional, jumlah sebenarnya jauh lebih sedikit. Mereka cenderung memandang FBR sebagai perjuangan mempertahankan hidup di tengah masyarakat modern yang terkadang kejam. Namun tidak sedikit juga pemuda apalagi yang baru berusia SMA bersama teman- teman seumurannya berlomba-lomba untuk bergabung dengan FBR dengan mulai berpakaian hitam-hitam dengan ilustrasi bendera FBR dan berbagai senjata seperti pentungan, golok, badik, pemukul golf. Seperti pasukan siap perang. Selain itu masyarakat sekitar kota JABODETABEK juga sering mengeluhkan gerak-gerik anggota FBR yang terus berpakaian gelap, 1

Transcript of FBR suatu Fenomenologi

Page 1: FBR suatu Fenomenologi

Dina Andriana (55209110024) Tugas Metode Penelitian Komunikasi

FBR = Forum Betawi Rembug: “Pembela rakyat betawi” dan ”Preman”Gerak perjuangan FBR berlandaskan kepada keikhlasan, kebersamaan, dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat di sekitarnya yang kebetulan turut tersisih dan termarginalkan akibat pembangunan ekonomi tanpa kompromi, karena pembangunan tersebut tidak melibatkan kaumnya. FBR melalui program-programnya, berusaha membawa perubahan ke arah yang lebih baik, berdaya guna dan bermartabat, dan kedepannya bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri melalui kompetisi secara profesional dan proporsional, namun banyak kendala yang datang menghadang dari berbagai arah.

Berangkat dari keperihatinan terhadap nasib dan masa depan kaumnya secara strukturan dan kultural menjadi terasing dan terpinggirkan di kampung halamannya sendiri. Karena latar belakang tadi, maka pada hari Minggu (Legi), 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 29 Juli 2001 Masehi. FBR lahir ditonggaki oleh beberapa agamawan muda Betawi di Pondok Pesantren Yatim “Zidatul Mubtadi’ien Cakung Jakarta Timur. Semenjak berdiri, keinginan kuat kaum Betawi dan para simpatisan di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi untuk bersatu dan peduli dalam wadah FBR

Forum Betawi Rempug adalah organisasi berbasis massa dari etnis betawi. Namun warga etnis lain boleh bergabung asalkan telah menetap di Jakarta lebih dari tiga tahun. Organisasi ini didasarkan pada ajaran Al Quran, Sunnah, Pancasila dan UUD 1945.

Namun kenyataannya bagi banyak orang FBR, karakteristik keras FBR menunjukkan bahwa organisasi ini tidak lebih dari sekedar sekelompok preman, brandalan politis atau bahkan kawanan fundamentalis agama dan kesukuan.

Baru-baru ini FBR mengklaim memiliki 1,2 juta anggota di Jakarta. Sebagian besar di antaranya pemuda berusia 20 hingga 30an tahun, walau pun secara tradisional, jumlah sebenarnya jauh lebih sedikit.

Mereka cenderung memandang FBR sebagai perjuangan mempertahankan hidup di tengah masyarakat modern yang terkadang kejam. Namun tidak sedikit juga pemuda apalagi yang baru berusia SMA bersama teman-teman seumurannya berlomba-lomba untuk bergabung dengan FBR dengan mulai berpakaian hitam-hitam dengan ilustrasi bendera FBR dan berbagai senjata seperti pentungan, golok, badik, pemukul golf. Seperti pasukan siap perang.

Selain itu masyarakat sekitar kota JABODETABEK juga sering mengeluhkan gerak-gerik anggota FBR yang terus berpakaian gelap, wajah kasar, berangasan, terkenal sebagai tukang pukul dan debt collector, penguasa parkiran, pembuat onar di evet-event musik, berandalan di jalan raya, tak terdidik. Bahkan tidak jarang terdengar terlibat bentrokan antar massa dari ormas-ormas yang sama mengatasnamakan diri wakil etnis Betawi ini.

Dari semua artikel, karya tulis ilmiah, atau penelitian tentang FBR, hanya sedikit yang memandang organisasi ini dari perspektif anggotanya. Ternyata, saya temukan bahwa kebanyakan pemuda yang bergabung dengan FBR sebenarnya bukan preman, kriminal, atau fundamentalis agama atau kesukuan. Mereka cenderung memandang FBR sebagai perjuangan mempertahankan hidup di tengah masyarakat modern yang terkadang kejam.

Kaum Muda Jakarta

Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di Indonesia mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang berusia 15 hingga 29 tahun. Beberapa memperkirakan, saat ini terdapat kurang lebih tiga juta 'pemuda' di Jakarta, atau 30 persen dari 10 juta penduduk Jakarta.

Secara signifikan Kementerian Pemuda dan Olahraga melaporkan di tahun 2008 jumlah pengangguran di kalangan muda Jakarta ini sekitar 19,5 persen, dua hingga tiga kali lipat lebih banyak dari rata-rata jumlah pengangguran bagi sebuah komunitas secara keseluruhan.

1

Page 2: FBR suatu Fenomenologi

Dina Andriana (55209110024) Tugas Metode Penelitian Komunikasi

Artinya, kaum muda ini menanggung beban pengangguran yang tidak proporsional dan menyumbangkan lebih dari setengah jumlah total pengangguran terbuka dan terselubung di Jakarta. Dua anggota FBR yang saya temui adalah orang yang masuk dalam kategori ini.

Hasil wawancara Grace Leksana pada Yono dan Dede selaku pengikut dari FBR. Yono, pemuda berusia 22 tahun ini, tinggal di Kampung Lio sejak lahir. Dia menyelesaikan pendidikan SD-nya di tahun 1998. Namun Yono tidak sempat menyelesaikan pendidikan SMP-nya. Orang tua Yono tidak mampu lagi membiayai pendidikan Yono, abang dan adik perempuannya.

Sejak saat itu dia mencari pekerjaan tetap, tapi tidak pernah berhasil. Hanya sekali dia pernah sempat kerja selama enam bulan di sebuah pabrik mebel, namun pabrik itu ditutup karena pemiliknya meninggal. Akibatnya, Yono kehilangan pekerjaan.

Bagi Yono sulit untuk mencari pekerjaan tetap. "Sulit mencari pekerjaan dengan hanya bermodalkan ijazah SD. Yang lainnya punya pendidikan lebih tinggi atau punya kenalan di pabrik-pabrik," katanya. Setelah berhenti kerja di pabrik mebel, Yono bekerja serabutan, menjual koran, menjadi tukang sampah atau pemulung, dan terkadang mencuci sepeda motor.

Situasi Yono mirip dengan yang dialami banyak pemuda perkotaan Indonesia. Dede, sahabat Yono, adalah seorang pemuda berusia 19 tahun, tinggal dengan ayah, ibu tiri, dan dua adik laki-laki. Kondisi keuangan keluarga yang tidak memungkinkan memaksa Dede meninggalkan bangku sekolah setelah menamatkan pendidikan SMP.

Mencari pekerjaan juga merupakan hal yang sulit bagi Dede. Selain mencari uang untuk hidup, bagi Yono dan Dede mencari pekerjaan berarti mencari status sosial dan identitas, atau, sebuah pengakuan jati diri bagi pria muda. Menjadi pengangguran berarti dikucilkan secara sosial.

Misalnya, teman-teman Dede berhenti bergaul dengannya setelah mereka mendapatkan pekerjaan. "Kenapa kita harus bergaul dengan pengangguran?" Begitu Dede mengutip kata-kata salah seorang di antaranya. Selain itu, menjadi pengangguran juga berpengaruh buruk bagi hubungan pribadi.

Hubungan asmara Dede yang terakhir terpaksa kandas karena ayah gadis yang dicintai Dede tidak ingin anaknya menikah dengan seorang pengangguran.

Kisah hidup Yono dan Dede, serta banyak lagi, menjelaskan pada kita bahwa 'muda' lebih dari sekedar 'usia'. Muda juga dikonstruksikan dengan pengalaman di bidang pendidikan dan pekerjaan. Generasi muda biasanya diidentikkan sedang menyelesaikan studi atau sudah bekerja.

Namun, kondisi struktural kemiskinan masyarakat perkotaan dan kurangnya pelayanan masyarakat memaksa mereka putus sekolah, dan itu berarti mencegah mereka menemukan pekerjaan.

Kasus Yono dan Dede menunjukkan bahwa lingkaran setan pendidikan minim dan langkanya kesempatan kerja memarjinalisasikan kaum muda, dan menempatkan mereka di 'no man’s land' - tidak lagi muda, namun tidak juga mampu menjadi 'dewasa' seutuhnya. Mereka tersingkir dari konstruksi awam bahwa kaum muda semestinya kuliah atau bekerja.

Bagi Yono dan Dede, situasi inilah yang membuat mereka bergabung dengan FBR.

Rudy juga anggota FBR. Di usianya yang 32 tahun, setidaknya tiga tahun terakhir dalam hidup Rudy dihabiskan dengan bekerja sebagai satpam di salah satu pabrik dekat Kampung Lio. Setelah lulus SMA di tahun 1995, Rudy bekerja serabutan, melakukan semua hal yang bisa mendatangkan uang, seperti menjadi kuli bangunan.

Harapan baru muncul ketika Gardu 127, kantor perwakilan FBR, dibuka di Kampung Lio. Rudy langsung bergabung dengan organisasi itu, dan berharap mendapatkan pekerjaan darinya. Setelah hubungan panjang dan negosiasi antara FBR dan pihak manajemen pabrik, Rudy direkrut sebagai petugas keamanan pabrik.

2

Page 3: FBR suatu Fenomenologi

Dina Andriana (55209110024) Tugas Metode Penelitian Komunikasi

Rudy menghargai kemandirian dan identitas yang didapatkannya dengan menjadi karyawan tetap. Dede juga begitu, walau pun dirinya bisa dikatakan belum bekerja, pemasukan kecil yang didapatkannya dari FBR memberikan Dede semacam perasaan mandiri.

"Sebelumnya, saya selalu makan di rumah. Tapi setelah saya ikut FBR, saya bisa makan di luar. Saya lebih mandiri, setidaknya dalam menentukan makanan. Kadang, saya bilang saja ke ketua Gardu kalau saya perlu makan, lalu dia kasih saya makanan," ujar Dede.

Ketika saya melongok sejumlah arsip keorganisasian FBR, dan membaca latar belakang beberapa anggotanya, saya temukan beberapa fakta tak terduga mengenai organisasi ini. Sebagai awalnya saja, dan berlawanan dengan misi tertulisnya untuk mempromosikan kebangkitan dan hak-hak warga Betawi, keanggotaan FBR tampaknya tidak hanya khusus bagi warga Betawi Jakarta. Saya sempat melihat, ada beberapa anggota yang berasal dari suku Madura, yang biasanya dianggap sebagai 'musuh utama' FBR.

Kedua, FBR menyatakan bahwa mereka adalah organisasi massa yang menggunakan nilai prinsip Islam dalam melakukan aktivitasnya. Tapi, sebagian besar aksi FBR di lapangan sama sekali tidak mencerminkan hal ini. Dalam beberapa tahun terakhir ini, media mencatat sejumlah aksi ganas FBR. Mulai dari meminta uang dengan cara memaksa, demonstrasi dengan kekerasan dan keterlibatan dalam 'politik uang' pada masa kampanye.

Di tengah banyak kontradiksi mengenai FBR, para pemuda Jakarta ini menemukan solusi bagi sebagian kebutuhan mereka. Pada kasus Rudy misalnya, FBR 'berunding' dengan sebuah pabrik setempat agar mempekerjakan anggota FBR. Sebagai imbalannya, FBR menjamin keamanan sekitar pabrik.

Hubungan antara pabrik dan FBR ini juga menghasilkan sejumlah kesepakatan serupa. Misalnya, Yono dan Dede pernah dipekerjaan untuk menebang pohon di sekeliling pabrik. Mereka dibayar 100 ribu rupiah untuk setiap pohon yang ditebang. Menurut Yono, itu perjanjian yang menguntungkan.

Bagi Yono, Dede, dan Rudy, serta banyak lainnya, bergabung dengan FBR membuka kesempatan untuk mendapatkan penghasilan lewat pekerjaan resmi atau tidak resmi. Motif utama mereka bergabung dengan FBR adalah mencari pekerjaan, kemandirian dan identitas yang didapat dengan bekerja, dan cenderung bukan karena nilai-nilai Islami atau perjuangan warga Betawi.

Seperti yang dituturkan Rudy kepada saya, "Saya bukan anggota fanatik FBR. Saya hanya ingin dapat kerja." Bagi remaja perkotaan kelas menengah ke bawah yang terpaksa putus sekolah dan terpaksa kerja serabutan, posisi dan akses menuju lingkaran FBR bisa sangat berguna.

Di tahap tertentu, FBR membantu para pemuda ini memenuhi konstruksi sosial masyarakat mengenai transisi dari masa anak-anak menuju kedewasaan. Dengan caranya sendiri, FBR memberikan mereka perasaan mandiri dan dihormati, membimbing mereka hingga mereka mendapatkan penghasilan sendiri.

Tapi bentuk kemandirian, penghormatan dan bantuan dalam mencari pekerjaan dan penghasilan ini, ada bayarannya. Untuk mendapatkan fasilitas FBR, anggota diharapkan mengikuti aktivitas FBR, walau pun mereka sebenarnya tidak merasa nyaman melakukan hal itu. Ini bukanlah topik yang semangat dibicarakan ketika saya mewawancarai mereka.

Tapi yang jelas, anak-anak muda ini tidak punya 'suara' di FBR. Dalam artian tertentu, mereka membeli suatu bentuk 'kemandirian' atau 'kebebasan' mereka dengan 'pengabdian'.

Jika kita memahami fenomena perkotaan seperti kebangkitan kelompok semacam FBR, kita perlu memahami kaum muda yang bergabung dengan organisasi tersebut sebagai aktor independen, dengan keinginan dan kebutuhan pribadi mereka.

3

Page 4: FBR suatu Fenomenologi

Dina Andriana (55209110024) Tugas Metode Penelitian Komunikasi

Bagi kaum muda perkotaan Indonesia yang berpendidikan minim, yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan terjamin, organisasi kesukuan seperti FBR yang berdiri di era pasca Orde Baru, membuka kesempatan baru.

Tanpa menghiraukan tujuan resmi FBR, atau apa pun representasi organisasi tersebut di media -sebagai organisasi kesukuan dan fundamentalis agama- bagi banyak pemuda, bergabung dengan FBR murni karena alasan pragmatis, yaitu pekerjaan, identitas, dan perjuangan mempertahankan hidup.

Analisis Fenomenologi Konstruksi Derajat Kedua

Menurut pandangan kaum humanistik bahwa hakikat kemanusiaan adalah bukan sekedar human being tetapi human becoming. Manusia menjadi lebih bermakna jika dirinya dipandang “sebagai manusia” (human becoming) bukan hanya atas dasar “kemanusiaan” (human being) saja. Sebuah proses yang menjadi itulah bagian dari hakikat diri manusia.

Sebuah proses adalah sebuah pilihan. Dengan mengamati “proses menjadi”, kita akan dapat lebih memahami mengapa banyak kaum muda di JABODETABEK khususnya Jakarta untuk bergabung dalam Forum Betawi Rembug (FBR).

Dari beberapa hasil browsing mengenai anggota muda dari FBR, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan peristiwa atau alasan yang mendorong mereka untuk bergabung dalam FBR. Beberapa peristiwa atau alasan yang serupa akan dibuat dalam satu kategori, sehingga diperoleh beberapa kategori. Kategori-kategori itulah sebagai langkah membuat konstruksi tingkat kedua.

Shcutz membagi account atau motif dengan memberikan identitas dua fase, yaitu in order to motive (Um zu Motiv), yang merujuk pada masa yang akan datang; dan tindakan because-motive (Weil-Motiv) yang merujuk pada masa lalu. Kedua motif tadi relevan menggambarkan kondisi alasan pemuda untuk bergabung dalam organisasi FBR. Seperti yang di kemukakan Kuswara, menyebutnya sebagai Motif Masa Lalu dan Motif Masa Datang.

Beberapa anggota FBR yang berusia remaja (seumuran siswa SMA), terlihat lebih antusias menjadi anggota FBR karena menjadi anggota FBR mampu memberikan mereka keberanian dan ditakuti oleh masyarakat sekitar tempat tinggal. Anggota FBR muda ini, dapat dikategorikan sebagai Anggota Caper (Cari Perhatian), karena mereka menjadi anggota FBR hanya untuk membanggakan diri sendiri bahwa mereka anggora FBR yang harus ditakuti dan disegani di sekitar tempat tinggal mereka.

Kemudian anggota FBR yang memiliki latar belakang kebutuhan ekonomi ketika memutuskan untuk masuk ke organisasi. Banyak anggota yang berharap jika masuk ke dalam keanggotaan FBR akan diberikan pekerjaan untuk membantu mereka dalam perekonomian rumah tangga. Anggota yang seperti ini, dapat dikategorikan sebagai Anggota Golo (Anggota Golek Lowongan). Dalam arti anggota yang bertujuan mencari (golek bahasa jawa), dan Lowongan merupakan pekerjaan.

Selain itu juga ada anggota FBR yang menjadi anggota organisasi untuk memudahkan langkah mereka dalam memasuki dunia perpolitikan di Indonesia. Anggota yang seperti ini, dapat dikategorikan sebagai Anggota HP (Haus Politik).

4