FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM...

95
FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : HILWANUZZIKRI NIM. 1113044000097 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M / 1440 H

Transcript of FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM...

Page 1: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

FATWA-FATWA AHMAD HASSAN

DALAM

BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

HILWANUZZIKRI

NIM. 1113044000097

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M / 1440 H

Page 2: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

i

Page 3: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

ii

Page 4: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

iii

Page 5: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

iv

ABSTRAK

Hilwanuzzikri, NIM 1113044000097, FATWA-FATWA AHMAD

HASAN DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM, Strata Satu (S-1),

Jurusan Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1440 H/2019H.

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui bagaimana metode dan tipe

pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum

Keluarga Islam yang tertuang dalam salah satu karya ilmiahnya yaitu “Soal

Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.Ahmad Hassan dikenal sebagai

Ulama Persis, bahkan beliau pun masuk sebagai golongan guru besar Persis.

Beliau merupakan seorang tokoh Islam yang dikenal sebagai ulama pembaharu

dan pemikiran-pemikirannya tajam juga kritis terutama dalam menafsirkan Nash

(teks) Al-Qur’an dan Hadist. Namun. dalam menetapkan fatwa di bidang Hukum

Keluarga Islam tentunya memerlukan beberapa metode dalam menetapkan

hukum atau yang sering disebut metode istinbath hukum. Hal ini hanya bisa

dilakukan oleh ulama yang kapasitas pengetahuan yang luas dan juga

berkompeten. Atas dasar inilah maka timbul pertanyaan bagaimana metode

istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam menjawab persoalan

hukum keluarga Islam yang tertuang didalam karyanya.

Penelitian ini terkategori sebagai penelitian kualitatif yang dilakukan

melalui kajian pustaka atau library research. Kajian pustaka yaitu maksudnya

adalah penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai objek sumber dalam

penelitian ini. Sebagai penelitian pustaka, maka penelitian ini akan mengkaji

teori-teori, konsep-konsep, dan proposi-proposi yang terdapat dalam sumber

penelitian seperti buku-buku, makalah, tulisan ilmiah, atau sumber yang sesuai

dengan tema penelitian.

Metode istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam menjawab

persoalan hukum keluarga yakni, dengan pemahaman beliau terhadap tafsir ayat

al-Qur’an dan hadits yang relevan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh

penannya. Banyak fatwa Ahmad Hassan dengan melontarkan kembali pendapat

para ulama Mutaqoddimin dan ulama Muttaakhirin yang pendapatnya masih

relavan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para penannya. Jawaban

jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad Hassan memang

terkadang tidak dijawab secara tegas dan mendetail. Namun, agar jawaban yang

diberikan Ahmad Hassan mudah diterima, Ahmad Hassan memperkuat pendapat

para ulama dengan dalil al-Qur’an maupun hadits yang berkaitan dengan masalah

yang ditanyakan.

Kata Kunci : Ahmad Hassan, Metode Istibath Hukum, Hukum Keluarga Islam

Pembimbing : Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA

Page 6: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الحمن الحيم

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha

Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan

anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM

KELUARGA ISLAM. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada

junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan

sahabatnya, yang telah mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan

kebenaran.

Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari

dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan

rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H.,

Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, MA., Pembimbing skripsi yang dengan

tulus ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan

arahan serta saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

4. Muh. Fudhail Rahman, Dosen Penasihat Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

5. Penguji I Dr. H. A. Juaini Syukri, L.c, M.A.dan Penguji II Indra

Rahmatullah, S.HI, MH dengan tulus ikhlas meluangkan waktu untuk

memberikan arahan serta saran-saran kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Page 7: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

vi

6. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff

Perpustakaan Fakultas Syarifah dan Hukum, yang telah memberikan

fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

7. Orang tua Penulis ayahanda & Ibunda tercinta H. Sabeni dan Hj.

Jamilah, Adik-Adik Penulis, Asyrofuzzaman, Sahla Aulia, yang telah

memberikan kasih sayang, semangat serta motivasi dan nasihat-nasihat

kepada ananda dari awal penulisan hingga berakhirnya penulisan

skripsi ini.

8. Muhammad Ilham, Abdul Wahid, A. Miftah , Ainurohman dan Para

sahabat dan kawan seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam, dan

Hukum Keluarga 2013.

9. Teman-teman pengajian Majlis Tadris dan Muzakkaroh Syekh Azhari

terlebih khusus, Faqih Fadhlillah, Hizam Adli, Zain Fananie, Farhan

Apip, Lutfi Fathurizal, Nurul Fadhlia A.Md.Kep yang telah

memberikan motivasi, masukan,semangat dan juga doa dari kalian.

10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini semoga Allah membalasnya. Aamiin.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya

untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 21 Mei 2019

Penulis

Hilwanuzzikri

Page 8: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

vii

DAFTAR ISI

LEMBRAR PENGESAHAN SKRIPSI..................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ..................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 4

C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 5

D. Perumusan Masalah .............................................................................. 5

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 5

F. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu .................................................... 6

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ............................................. 7

H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 10

BAB II FATWA DAN FUNGSINYA DALAM HUKUM KELUARGA

ISLAM ...................................................................................................... 12

A. Pengertian dan Kedudukan Fatwa ...................................................... 12

B. Sumber Hukum dan Dalil Hukum dalam Fatwa ................................ 16

C. Metode Istinbath Hukum dalam Penetapan Fatwa ............................. 25

BAB III TINJAUAN UMUM AHMAD HASSAN DAN BUKU SOAL

JAWAN TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA ................... 34

A. Biografi Ahmad Hassan ..................................................................... 34

B. Karya-karya Ahmad Hassan ............................................................... 39

C. Sistematika Penulisan Buku Soal Jawab Tentang Berbagai

Masalah Agama .................................................................................. 41

BAB IV KARAKTER PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AHMAD HASSAN

DAN METODE ISTINBATH HUKUM ATAS FATWANYA

DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM ............................ 45

A. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hassan Atas Fatwanya Dalam

Bidang Hukum Keluarga Islam .......................................................... 45

1. Nikah Sebelum Masa Iddah ........................................................... 45

2. Nikah Melalui Perantara Telepon .................................................. 47

3. Talak Tiga Dengan Sekali Ucapan ................................................ 52

4. Kebolehan Wanita Menikah Tanpa Wali....................................... 58

B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan ...................... 79

Page 9: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

viii

BAB V PENUTUP ................................................................................................. 81

A. Kesimpulan ................................................................................................... 81

B. Saran-Saran ................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 84

Page 10: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama hukum Islam, di

samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut sifatnya

tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih memerlukan

penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang.1 Al- Qur’an dan

Hadist juga merupakan gambaran kesmpurnaan Islam, karena tidak ada satu

sisi pun dari bagian-bagian hidup ini yang terlepas dari perhatiannya. Al-

Qur’an dan Hadist juga telah mengatur urusan bersuci hingga urusan bisnis,

urusan ibadah hingga strategi perang, serta urusan keluarga hingga urusan

dalam pemerintahan.

Yang dimaksud urusan keluarga, termasuk di dalamnya Hukum Keluarga

Islam yaitu hukum yang mengatur hubungan internal anggota keluarga dalam

satu keluarga (rumah tangga) berkenaan dengan masalah-masalah tertentu

yakni: pernikahan, nasab, (keturunan), nafkah (biaya hidup) dan pemeliharaan

anak (hadhanah) serta perwalian dan kewarisan.2

Seiring berkembangnya zaman dan semakin berkembangnya pola

kehidupan manusia, banyak sekali persoalan-persoalan baru dalam Hukum

Keluarga Islam. Dengan datangnya berbagai persoalan-persoalan baru

tersebut. Maka menjadi tugas baru kepada para Ulama untuk mengkaji dan

menjawabnya. Dan tentunya dalam usaha menjawab berbagai persoalan

tersebut hanya dapat dilakukan oleh para Ulama yang mempunyai

pengetahuan luas dan berkompeten dalam ilmunya.

Dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut tentunya al-Qur’an dan

Hadist adalah sumber rujukan pertama yang didalami oleh para Ulama untuk

1 Said Agil Husin Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: PT.

Pemadani 2004) h.23. 2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada,2004) h.20.

Page 11: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

2

menjawab persoalan tersebut. Akan tetapi di dalam al-Qur’an dan Hadist

tidak semua persoalan yang terus bermunculan dapat di jelaskan secara rinci,

sehingga perlunya pengkajian dan usaha untuk mendalami kedua sumber

tersebut. Dalam hal ini, reaksi para Ulama untuk menemukan pemecahannya

perlu usaha keras untuk menggali lewat kedua sumber utama itu yaitu al-

qur’an dan Hadist yang disebut dengan ijtihad. Sehingga dapat melahirkan

suatu teori-teori ilmu pengetahuan yang dikenal sabagai ilmu Ushul Fiqh.

Di dalam ilmu Ushul Fiqh banyak melahirkan rumusan-rumusan dan

kaidah-kaidah yang menjadi acuan para Ulama untuk menetapkan suatu

permasalahan hukum, yang lebih dikenal dengan istilah Istinbat Hukum.

Dengan itu muncul cabang dalil-dalil hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan,

fatwa sahaby, sad adzzari’ah dan maslahah al mursalah3

Cabang dari pada dalil-dalil tersebut bukanlah diartikan sebagai sumber

hukum, melainkan sebagai alat dalam menetapkan hukum-hukum yang

kurang jelas pemaparannya daripada al-Qur’an dan Hadist. Untuk

menghadapi persoalan-persoalan yang dihadapi sekarang ini, para Ulama

terus melakukan usaha bagaimana cara pemecahannya, padahal dari

persoalan-persoalan tersebut dibutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Maka

daripada usaha dan upaya tersebut melahirkan sebuat pandangan hukum yang

sering disebut dengan fatwa.

Belakangan ini banyak fatwa yang dikeluarkan melalui para Ulama

seperti yang dilakukan oleh para Ulama Bahtsu al-Masail, Majlis Tarjih dan

Tajdid ataupun musyawarah baik secara berkelompok maupun secara

individu seperti lembaga Nahdatul Ulama (NU) Muhammadiyah, dan Majelis

Ulama Indonesia (MUI), ataupun yang secara individu yang dilakukan

beberapa Ulama misalnya Ahmad Hassan melalui fatwa-fatwanya dengan

berbagai permasalahan Agama.

Ahmad Hassan yang nama aslinya adalah Hassan bin Ahmad merupakan

seorang pemikir Islam yang sangat dipandang sebagai guru besar Persatuan

3 Untuk lebih jelasnya pengertian dari masing masing istilah tersebut bisa dilihat dalam

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, cet v, (Jakarta: Kencana, 2009) h. 321-405.

Page 12: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

3

Islam (PERSIS)4. Ahmad Hassan adalah ilmuan Persis, seorang Mujtahid dan

sosok Ulama yang mandiri dan serba bisa. Sejak tahun 1924, Persis telah

menyelenggarakan kelas pendidikan aqidah dan ibadah bagi orang dewasa.

Lembaga Pendidikan itu semakin berkembang sejak Ahmad Hassan masuk

dalam Persis pada tahun 1926. Perkembangan di Persis tidak hanya terjadi

pada pendidikan tetapi di bidang literasi dan publikasi seperti percetakan

buku-buku dan majalah juga berkembang pesat5.

Ahmad Hassan adalah sosok Ulama yang serba bisa dalam hal

pandangan Hukum Islam. Sekalipun beliau di kenal sebagai Ulama yang

sangat berperan dalam Pendidikan Islam, tetapi juga banyak kesempatan

memberikan fawa-fatwa dalam bidang Hukum Islam yang mana di dalamnya

terdapat beberapa fatwa tentang Hukum Keluarga Islam. Fatwa-fatwa ini

hadir daripada hasil jawaban atas pertanyaan persoalan-persoalan para umat

yang di ajukan kepadanya. Hal ini terlihat pada salah karya yang beliau

himpun yang berjudul “Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.

Secara tegas, karya Ahmad Hassan mencoba masuk kedalam ruang

berfikir kaum awam, akan tetapi, setelah penulis membaca dan mencermati

dari pada karya beliau tersebut, terkadang penulis menemukan dari beberapa

jawaban-jawaban beliau yang agak sedikit berbeda dan membuat bingung

kepada pembaca awam. Sebagai contoh pendapat beliau tentang hal wali

kawin6 dalam bukunya tersebut yang beliau uraikan bahwa bolehnya wanita

baligh menikah tanpa adanya wali, dalam hal ini yang nanti akan kita bahas

rujukan beliau dan metode Instinbat Hukum yang digunakan atas

pendapatnya itu. Dan apakah beliau juga merujuk kepada pendapat golongan

tertentu yang terdapat dalam bukunya tersebut

4 Persis lahir dari sebuah ide alumnus Darul Ulum Mekkah yaitu H. Zamzam dan temannya

yang bernama H. Muhammad Yunus. Ide-ide tentang pengembalian ajaran yang murni yaitu Al-

qur’an dan Hadis. Dari berbagai diskusi yang mereka lakukan kemudian terbesit untuk mendirikan

sebuah organisasi yang kemudian disebut Persatuan Islam (Persis). Persis lahir pada tanggal 12

sebtember 1923 di Bandung. Lihat Dadan wildan Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983,(

Bandung: Gema Syahid, 1995), h. 30-31 5 Ahmad Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004),

h.141. 6 Ahmad Hassan,Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama , (Bandung: Cv Penerbit

Diponegoro, 2007) h. 244

Page 13: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

4

Masih banyak lagi fatwa-fatwa Ahmad Hassan dalam mengenai Hukum

Keluarga Islam di dalam karyanya tersebut, dengan berdasarkan salah satu

metode dalam penginstinbatan hukum yang beliau terapkan juga pemahaman

tentang Hukum Islam dalam kerangka berfikirnya.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk membahas suatu karya

ilmiah yang berjudul. “FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM

BIDANG HUKUM KELUARGA ISLAM”

B. Identifikasi Masalah

Ahmad Hassan dikenal sebagai Ulama Persis, bahkan beliau pun masuk

sebagai golongan guru besar Persis. Beliau merupakan seorang tokoh Islam

yang dikenal sebagai ulama pembaharu dan pemikiran-pemikirannya tajam

juga kritis terutama dalam menafsirkan Nash (teks) Al-Qur’an dan Hadist. Di

dalam keahliannya dalam Hukum Islam, beliau telah mengeluarkan fatwa-

fatwa tentang Hukum Keluarga Islam yang tertera dalam salah satu karyanya

yang berjudul ”Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”

Di dalam menetapkan fatwa di bidang Hukum Keluarga Islam tentunya

memerlukan beberapa metode dalam menetapkan hukum atau yang sering

disebut metode istinbath hukum. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh ulama

yang kapasitas pengetauan yang luas dan juga berkompeten. Dari sinilah kita

dapat melihat cara kerangka berfikir atau karakter pemikiran hukum Islam

dari Ahmad Hassan melalui penelitian dari beberapa fatwanya dan metode

penetapan hukumnya.

Atas uraian tersebut maka timbul bebrapa masalah yang akan

diidentifikasikan oleh penulis, sebagai berikut:

1. Apa saja fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam?

2. Bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam memfatwakan

Hukum Keluarga Islam?

3. Bagaimana karakter pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan?

4. Apakah ada kesesuaian terkaitb fatwa Ahmad Hassan dalam Masalah

Hukum keluarga dengan fatwa ulama di indonesia umumnya?

Page 14: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

5

C. Pembatasan Masalah

Untuk meneliti seluruh identifikasi masalah di atas memerlukan suatu

usaha dari penelitian. Jika peneliti memiliki keterbatasan-keterbatasan

kemampuan maka penelitian hanya akan membatasi pada:

1. Metode istinbath apa yang digunakan hukum Ahmad Hassan dalam

memfatwakan Hukum Keluarga Islam?

2. Apakah ada kesesuaian terkaitb fatwa Ahmad Hassan dalam Masalah

Hukum keluarga dengan fatwa ulama di indonesia umumnya?

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi serta batasan masalah diatas, maka Penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam memfatwakan

Hukum Keluarga Islam?

2. Bagaimana tipe pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan?

3. Bagaimana fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam

di Indonesia?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan Peneliti yang ingin dicapai dari pembahasan ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana metode Ahmad Hassan dalam

menginstinbathkan Hukum Keluarga Islam.

2. Untuk mengetahui bagaimana tipe pemkiran hukum Islam Ahmad

Hassan.

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan memberi manfaat secara

teorotis dan praktis yaitu:

1. Secara teoritis

Dari penulisan ini diharapkan mampu memberikan informasi yang

tepat terhadap pemikiran dan metode istinbath hukum Ahmad Hassan

Page 15: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

6

dalam fatwa-fatwanya mengenai Hukum Keluarga Islam serta tipe

pemikirannya dalam hukum islam.

2. Secara praktis

Dapat dijadikan bahan untuk studi dalam bidang Hukum Keluarga

Islam terutama yang berkenaan dengan Hukum Keluarga Islam.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Penulis melakukan studi pendahuluan terlenih dahulu sebelum

menentukan judul proposal, diantaranya sebagai berikut:

1. Muhammad Rifa’i (2009) Jurusan Jinayah Siyasah, Institut Agama Islam

Sunan Ampel, dengan judul “Pemikiran Politik Islam Menurut Ahmad

Hassan Dalam Perspektif Politik Islam Indonesia”. Yang di dalam

skripsinya membahas tentang pemikiran Ahmad Hassan yang

memperjuangkan tegaknya syariat Islam sampai masalah politik

kenegaraan demi mewujudkan suatu Negara Islam yang sesuai dengan

kehendak Tuhan. Walaupun membahas pemikiran tokoh yang sama,

tetapi yang membedakann adalah pembahasan tentang pemikirannya.

Penulis membahas tentang fatwa-fatwa Ahmad Hassan tentang hukum

Keluatga Islam, sedangkan Muhammad Rifa’i terfokus membahas

tentang pemikiran Ahmad Hassan dari segi politik Islamnya yang

memperjuangkan masalah kenegaraan yang Islami.

2. Mahwanih (2012) Konsentrasi Tafsir Hadist, UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, dengan judul “ Tafsir Al-Furqon Karya Ahmad Hassan (Analisi

Kritis). Di dalam skripsi ini membahas sumber penafsiran, metode

penafsiran dan corak penafsiran Ahmad Hassan dalam karyanya yaitu

Tafsir Al-Furqon. Walaupun sama-sama membahas tentang tulisan karya

beliau, tetapi yang membedakan adalah Penulis membahas pemikiran

Hukum Keluarga Islam Ahmad Hassan dalam bukunya yang berjudul

“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama” sedangkan saudara

Mahwanih dalam skripsinya menganalisa dengan kritis karyanya ahmad

Hassan yaitu Tafsir Al-Furqon

Page 16: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

7

3. Khaidarullah (2014) Konsentrasi Hukum Keluarga, Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dengan tesis yang

berjudul “modernisasi Hukum Keluarga Islam: Studi Perkembangan

Diskursus dan Legislasi Usia Perkawinan di Indonesia”. Dalam Tesis ini

membahas diskursus dan sejarah legislasi usia perkawinan dalam konteks

modernisasi Hukum Keluarga Islam di Indonesia, perdeatan dan polemik

dalam diskursus usia perkawinan di Indonesia serta aspek-aspek penting

yang terjadi dibalik dinamika pengaturan usia perkawinan di Indonesia.

Mengenai perbedaannya dengan penelitian saya yaitu, penelitian yang

akan penulis bahas yaitu tentang studi terhadap fatwa-fatwa tokoh

tentang Hukum Keluarga Islam, sedangkan penelitian Khaidarullah

Membahas tentang studi perkembangan diskursus dan sejarah legisasi

usia perkawinan di Indonesia dalam konteks Modernisasi Hukum

Keluarga Islam.

G. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Pendekatan penelitian

Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif.

Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan

dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang

bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifat naturalistik dan

mendasar atau kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium

melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam

ini disebut dengan field study.7

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini terkategori sebagai penelitian kualitatif yang dilakukan

melalui kajian pustaka atau library research. Kajian pustaka yaitu

maksudnya adalah penelitian yang menjadikan bahan pustaka sebagai

objek sumber dalam penelitian ini. Sebagai penelitian pustaka, maka

penelitian ini akan mengkaji teori-teori, konsep-konsep, dan proposi-

7 Muhammad Nazir, Metode Penelitian, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), h.159.

Page 17: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

8

proposi yang terdapat dalam sumber penelitian seperti buku-buku,

makalah, tulisan ilmiah, atau sumber yang sesuai dengan tema penelitian.

3. Sumber data Penelitian

a. Sumber Data Penelitian

Secara garis besar ada 3 sumber data penelitian yang penulis

gunakan dalam penulisan skeripsi ini, yaitu:

1) Data Primer

Data primer merupakan data yang langsung penulis

gunakan dari karya-karya autentik Ahmad Hassan yaitu: Soal

Jawab Tentang Berbagai masalah Agama.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh dari buku-

buku yang digunakan sebagai penunjang untuk kelengkapan

penelitian ini di antaranya : Fiqh Munakahat, Ushul Fiqh,

Hukum Islam di Indonesia dan sumber lainnya yang

berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

3) Data Tersier

Data tersier merupakan suatu data tambahan yang secara

tidak langsung berkaitan dengan tema dalam penelitian ini,

kongkritnya sumber tersier dapat berupa kamus, buku-buku

tentang cara penelitian (metode penelitian), dan sumber-sumber

yang berasal dari situs internet.

b. Jenis Data Penelitian

Jenis data penelitian yang penulis gunakan adalan jenis data

Kualitatif Deskriptif. Kualitatif yaitu sebagai prosedur yang

menghasilkan berupa data deskriptif berupa kata-kata tertulis,

sedangkan Desktiptif adalah metode penyajian data secara sistematis

sehingga dapat mudah dipahami dan disimpulkan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Page 18: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

9

Sesuai dengan jenis penelitian yang penulis terapkan, maka teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi naskah

(studi pustaka), dengan cara mengumpulkan data baik berupa teori,

konsep dan proposisi yang terdapat dalam buku-buku, majalah, jurnal

dan sejenisnya, yang diasumsikan relaval dengan masalah yang diangkat

dalam penelitian ini.

5. Subjek-objek Penelitian

a. Subjek penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu atau orang-orang yang

mengetahui,berkaitan dan menjadi pelaku dari penelitian yang

diharapkan dapat memberi informasi dalam penelitian ini. Dan yang

menjadi subjek penelitian ini adalah pemikiran Ahmad Hassan yang

tertuang dalam suatu karyanya.

b. Objek Penelitian

Sesuai dengan judul dan jenis penelitian yang penulis bahas,

maka objek penelitian dalam skripsi ini adalah FATWA-FATWA

AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM KELUARGA

ISLAM (Studi terhadap metode Instinbath Hukum dalam Bukunya

“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”)

6. Teknik Pengelolaan Data

Teknik pengelolaan data dalam skripsi ini yaitu dengan

mendeskripsikan data yang sudah terkumpul secara sistematis sehingga

dapat dengan mudah di pahami dan disumpulkan.

7. Metode Analisis Data

Metode analisis data dalam penelitian ini adalah conten analisis atau

analisis isi, yaitu menganalisis konsep-konsep, teori-teori dan proposisi-

proposisi terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yaitu

Fatwa-Fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam (studi

Terhadap Metode Istinbath Hukum dalam Bukunya “Soal Jawab Tentang

Berbagai Masalah Agama). Maka teknik analisis data dalam penelitian

ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Page 19: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

10

a. Menemukan pola atau tema tertentu. Di Sini Penulis berusaha

memahami pemikiran Hukum Keluarga Islam menurut Ahmad

Hassan melalui fatwa-fatwanya yang tertuang dalam buku “Soal

Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”.

b. Berusaha menentukan metode istinbath yang digunakan oleh Ahmad

Hassan dalam beberapa fatwanya mengenai bidang Hukum Keluarga

Islam.

c. Menentukan karakteristik dari pada pemikiran Ahmad Hassan.

d. Mencari tahu beberapa sebab dan alasan Ahmad Hassan dalam

fatwanya yang terkadang berbeda dari Ulama-ulama lainnya.

H. Sistematika Penulisan

Penulis berupaya untuk menjaga keutuhan pemahasan dalam skripsi ini

agar terarah, maka penulis akan menggunakan sistematika sebagai berikut:

Bab Pertama, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,

Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Tinjuan (Review) Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, Teknik Penulisan,

dan Sistematika Penulisan.

Bab Kedua, menjelaskan tentang fatwa dan fungsinya dalam Hukum

Keluarga Islam serta menjelaskan dalil-dalil dan metode Istinbath Hukum

dalam ifta.

Bab Ketiga, sebagaimana lazimnya penelitian terhadap seorang tokoh

dan buku karyanya. Maka penulis akan memperkenalkan profil Ahmad

Hassan serta mendeskripsikan bukunya. Kemudian penulis menjelaskan

fatwa-fatwa Ahmad Hassan dalam bidang Hukum Keluarga Islam yang

tertuang dalam bukunya tersebut.

Page 20: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

11

Bab Keempat, penulis menganalisa metode istinbath hukum yang

digunakan oleh Ahmad Hassan atas fatwa-fatwanya dalam bidang Hukum

Keluarga Islam lalu penulis juga menganalisa tipe pemikiran hukum Islam

dari pada Ahmad Hassan.

Bab Kelima, penutup dan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh setelah

menganalisa metode istinbath hukumnya.

Page 21: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

12

BAB II

FATWA DAN FUNGSINYA DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM

A. Pengertian dan Kedudukan Fatwa

1. Pengertian fatwa

Secara etimologi kata fatwa berasal dari bahasa Arab “ al-Fatwa”.

Menurut Ibnu Manshur kata fatwa ini merupakan bentuk mashdar dari

kata “fata” yaitu “fatwan” yang bermakna muda, baru, penjelasan,

penerangan.

Secara terminologi, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ tentang

suatu masalah atas pernyataan seseorang atau sekelompok. Menurut as-

Syatibi, fatwa dalam arti al-Ifta berarti keterangan tentang hukum syara’

yang tidak mengikat untuk diikuti.1 Sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf

Qardawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara’ dan persoalan sebagai

jawaban atas pernyataan yang diajukan oleh peminta fatwa (Mustafti)

baik secara perorangan atau kolektif.2

Sedangkan yang dimaksud dalam ruang lingkup Hukum keluarga

Islam adalah hukum yang mengatur prihal hubungan hukum internal

dalam anggota keluarga dalam keluarga tertentu yang berhubungan

dengan ihwal kekeluargaan.3 Adapun istilah Hukum Keluarga berasal

dari kata Familierecht yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, atau dari

bahasa Inggris law of family. Hukum Keluarga diartikan sebagai

keseluruhan ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang

bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeliargaan karena

suatu hubungan perkawinan. jadi yang dimaksud dengan Fatwa dalam

Bidang Hukum Keluarga Islam yaitu suatu penjelasan hukum syara’ yang

mengatur hubungan hukum yang timbul sebab kekeluargaan sedarah

1 Wahbah al-Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islami , (Lebanon: Daar Fikr, 1987), h. 98.

2 Yusuf al-Qardawi, al-fatwa Bayan al-Indibat wa al-Tasayyub, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1997), h.5. 3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2004), h. 16

Page 22: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

13

maupun sebab perkawinan atas pertanyaan yang di ajukan dari suaru

kelompok atau perorangan.

Dapat disimpulkan dari definisi-definisi diatas terdapat dua sifat

yang terlihat menonjol dari fatwa. Pertama, fatwa bersifat responsif,

dikatakan responsif karena fatwa merupakan jawaban hukum (legal

opinion) yang baru dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan dari

persoalan yang biasanya aspek hukum tersebut telah terjadi atau nyata.

Kedua dari segi kekuatan hukum, dalam hal ini fatwa bersifat tidak

mengikat, dalam kata lain seseorang atau suatu kelompok yang meminta

fatwa dari seorang mufti atau lembaga fatwa tidak harus mengikuti

hukum yang difatwakan kepadanya. Karena dalam hal ini seorang mufti

atau seseorang yang diminta memfatwakan suatu persoalan bisa saja

berbeda fatwanya dengan mufti lain pada tempat yang sama. Akan tetapi,

apabila fatwa ini kemudian di adopsi oleh hakim untuk menjadikan suatu

keputusan pengadilan maka barulah ia memiliki kekuatan hukum tetap

yang mengikat. Terlebih lagi bila ia diadopsi menjadi hukum positif

dalam ranah wilayah tertentu.

Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan proses pemberian

fatwa (Ifta)4, yang pertama, kegiatan menerangkan hukum syara’ sebagai

suatu jawaban atas pertanyaan yang diajukan, yang biasa disebut Ifta.

Kedua, suatu badan organisasi atau orang yang mengajukan pertanyaan,

disebut mustafi. Ketiga, orang atau lembaga yang memberikan dorongan

atas pertanyaan yang diajukan, disebut mufti. Keempat, masalah,

peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status hukumnya, dalam

hal ini disebut mustafi fih. Kelima, jawaban hukum atas pertanyaan yang

diajukan kepada mufti atau lembaga fatwa, dan inilah yang disebut

fatwa.Pada dasarnya kegiatan meminta penjelasan dari seorang yang ahli

sebagaimana halnya fatwa didorong berdasarkan Al-Qur’an dalam QS.

An-Nahl ayat 43:

4 Ma’ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Cet. i, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2008), h.

21.

Page 23: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

14

ل تعي ت م مس إ و اىر فاسؤىا أ قبيل إلا زجالا حي إىي ا أزسيا

(٣٤اىحو:)

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-

orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah

kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui” (QS. An-Nahl : 43)

Pada masa awal perkembangan Islam Rasulullah SAW telah

menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru. Tradisi meminta dan

memberi fatwa itu sendiri telah berlangsung sejak zaman Rasulullah

SAW ketika Al-Qur’an masih diturunkan secara berangsur-angsur.

Bahkan pada saat itu terdapat peristiwa-peristiwa di mana para sahabat

meminta fatwa kepada Nabi dan kemudian dijadikan teks al-Qur’an yang

sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut seperti dalam QS.

An-Nisa 127:

ا في يفتين يستفتل في اىساء قو للاا (٧٢١)اىسآء:

Artinya : “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.

Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka” (QS. An-

Nisa : 127)

Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAW, Nabi sendirilah yang

menjadi mufti dari berbagai persoalan–persoalan yang muncul pada saat

kasus hukumnya diperlukan, yang tentunya langsung dengan tuntunan

wahyu dari Allah. Dan setelah wafatnya beliau secara tidak langsung

tradisi ini diteruskan oleh Para sahabat yang berpencar ke berbagai

pelosok dunia sehingga setiap daerah memiliki masing-masing mufti.

Para mufti tersebut mewariskan ilmunya kepada murid-muridnya

sehingga hal ini akan terus berlangsung hingga akhir hayat dunia.

Page 24: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

15

Secara sederhana fatwa merupakan produk yang dihasilkan melalui

kegiatan istinbath hukum dalam suatu permasalahan, baik permasalahan

yang hukumnya sudah digariskan oleh ulama-ulama terdahulu maupun

belum. Ifta itu sendiri adalah sinonim dari ijtihad.5 Perbedaan ifta dengan

ijtihad, ifta itu lebih khusus dari ijtihad. ijtihad6 dilakukan terhadap suatu

problematika yang kasusnya sudah terjadi ataupun belum terjadi.

Sedangkan ifta dilakukan terhadap suatu kasus yang sudah terjadi yang

dimana mufti memutuskan ketentuan hukumnya berdasarkan fakta yang

ada.

2. Fungsi Fatwa dalam Hukum Keluarga Islam

Fatwa yang relatif spesifik untuk suatu kasus tertentu, tempat

tertentu, dan masa tertentu memberikan daya fleksibelitas bagi syariat

islam yang dianggap shalihun li kulli az-zaman wa al-makaan.7 Dalam

hal ini fatwa memegang peranan penting dalam mendominasisasikan

Hukum Keluarga Islam dalam kehidupan umat melalui respon terhadap

persoalan yang muncul dalam hubungan kekeluargaan sesuai dengan

dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya.8 Adapun adanya pranata

fatwa dalam Hukum Keluarga Islam disamping Qadha telah memberikan

kontribusi yang signifikan bagi keberlakuan Hukum Keluarga Islam

ditengah kehidupan masyarakat. Fatwa dan qadha juga merupakan

interpretasi sekaligus implementasi dari ketentuan hukum syariat Islam

yang bersifat global dan universal. Fatwa berfungsi sebagai pertimbangan

hakim dalam mengambil suatu keputusan, dalam hal ini otoritas fatwa

bersifat umum yang secara potensial dapat mencakup setiap bentuk kasus

yang serupa.

5 Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), h. 212.

6 Ijtihad sebagaimana diungkapkan oleh Syaukani ialah mencurahkan kemampuan untuk

menghasilkan hukum syara’ yang bersifat zhanni, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ;

Relevansinya bagi pembaharuan hukum Islam di Indonesia, cet. i, (Jakarta: Logos, 1999),h. 250. 7 Anis Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami an-Nubuwwah was-sahabah wat-Tabi‟in, (Kairo:

Dar at-Tiba’ah, 1980), h. 10. 8 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos,

1995), h. 19

Page 25: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

16

B. Sumber Hukum dan Dalil Hukum dalam Penetapan Fatwa

1. Sumber Hukum dalam Penetapan Fatwa

a. Al-Qur’an Sebagai Sumber Utama dalam Penetapan Fatwa

Para ulama Usul al-Fiqh, Ulama Fiqh, Pakar bahasa Arab,

maupun ulama Mutakalimin sependapat bahwa pengertian pokok

yang terkandung dalam istilah Al-Qur’an ( ) اىقسا yaitu: “Lafal yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW mulai dari Surah al-

Fatihah sampai akhir an-Nas”.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam memberikan

penjelasan atau rincian tentang sifat-sifat yang terdapat dalam

pengertian pokok tersebut. Di antara mereka ada yang memberikan

rincian yang relatif panjang, ada yang secara sederhana, dan ada

yang secara singkat saja.

Para ulama yang memberikan rincian relatif panjang, definisi al-

Qur’an menurut mereka, yakni:

Kalam yang bersifat mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf, yang dinukilkan

secara mutawatir, dan membacanya merupakan ibadah.

Dalam definisi tersebut, mereka menambahkan empat sifat

terhadap pengertian pokok al-Qur’an yang telah disebutkan

sebelumnya, yaitu:

1. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu

memiliki unsur i’jaz, artinya tidak bisa ditandingi oleh siapa

pun.

2. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu

ditulis atau dibukukan oleh mushaf.

3. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu

diriwayatkan secara mutawatir.

Page 26: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

17

4. Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad itu

apabila dibaca memiliki nilai ibadah tersendiri.9

Mengenai kehujjahan al-Qur’an kaum muslimin telah sepakat

menerima keautentikan al-Qur’an, karena al-Qur’an diriwayatkan

secara mutawatir. Oleh sebab itu, dari segi riwayat al-Qur’an

dipandang sebagai qath‟i al-tsubut yang artinya riwayatnya diterima

secara pasti atau meyakinkan. dari prinsip demikian segenap kaum

muslimin juga sepakat menerima al-Qur‟an sebagai dalil atau

sumber hukum yang paling asasi.10

Sebagaimana Al-Qur‟an sendiri

memerintahkan agar metetapkan sesuatu atas dasar hukum Allah

yang tertulis didalam nya dalam surah QS. al-Maidah 48:

اا عيي ي اىنتاب يدي ا بي قاا ى صد صىا إىيل اىنتاب باىحق أ

ا جاءك ا ع اء ابع أ ل تت صه للاا ا أ ب بي اىحق فاحن

(٣٤)اىائدة :

Artinya : “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran

dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya,

yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian

terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara

mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu

mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang

telah datang kepadamu” (QS. al-Maidah : 48)

Adapun kesepakatan kaum muslimin terhadap keabsahan al-

Qur’an sebagai dalil atau sumber tidak diragukan lagi maka dari itu

para mujtahid yang menggali hukum Islam tidak dibenarkan

menjadikan dalil lain sebagai hujjah sebelum terlebih dahulu

membahas dan meneliti ayat-ayat yang terkandung didalam al-

Qur’an. Namun apabila tidak lagi ditemukan didalam al-Qur’an

barulah beralih kepada sumber-sumber hukum yang lain.

b. As-Sunnah

9 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Cet. ii (Jakarta: Amzah, 2013), h. 16.

10 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ; Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum

Islam di Indonesia, cet. i, (Jakarta: Logos, 1999), h.28.

Page 27: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

18

Hadist menurut Bahasa “Segala sesuatu yang datang Nabi SAW

selain Al Qur‟an baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan

yang patut dijadikan dalil hukum syara”.

Definisi ini menunjukkan bahwa sunnah adalah segala sesuatu

yang datang atau yang tampak yakni perbuatan, perkataan, dan

persetujuan dari Nabi SAW termasuk cita-citanya (Hammiyah).

Menurut Nabi berarti mengecualikan sesuatu yang datang dari selain

Nabi. Batasan selain al-Qur’an, memasukan hadis qudsi sedangkan

batasan yang dapat dijadikan dalil hukum seperti hukum wajib,

haram, sunnah, makruh, dan mubah. Berarti mengecualikan hadist

yang tidak layak dijadikan dalil hukum, maka tidak dinamakan

sunnah seperti duduk, berdiri, jongkok, berjalan.11

Dengan demikian menurut pandangan dikalangan ahli Usul al-

Fiqh, Nabi sebagai pembuat syara’ yang meletakkan dasar-dasar

ijtihad bagi kaum mujtahidin dan Nabi sebagai penjelas kepada

manusia tentang perundang-undangan dalam hidup. Oleh karena itu

mereka ahli Ushul mendefinisikan sunah yaitu segala sesuatu yang

datang dari Nabi yang dapat dijadikan dasar hukum syar’

Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah kemuka bumi dengan

membawa ajaran-ajaran yang dimuat dalam al-Qur’an. Allah SWT

menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk hidup di dunia dan

pedoman menuju akhirat. Dengan diturunkannya al-Qur’an tidak

secara langsung dapat dipahami tanpa adanya penjelasan, maka dari

itu al-Sunah merupakan sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan

dari al-Qur’an.

Dalam hubungan al-Quran dan as-Sunnah memiliki fungsi: 1.

Memperkuat ketentuan hukum al-Qur’an: 2. Memperjelas

kemujmalan al-Qur’an, membatasi kemutlakannya, atau mentakhsis

11

Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadist, cet. i,

(Jakarta: Kencana, 2011), h. 164.

Page 28: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

19

keumumannya;. 3. Menetapkan suatu hukum yang belum ditetapkan

al-Qur’an.12

Dengan demikian, atas dasar inilah kaum muslimin juga sepakat

Sunah Nabi sebagai dalil atau sumber hukum. Walaupun ada

segelintir kaum khawarij yang tidak memandang sunah sebagai dalil,

yang kemudian pandangan ini melahirkan kaum inkar as-Sunah13

namun dalam kriteria ini hanyalah segolongan kecil yang tidak

memandang Sunah sebagai dalil.

2. Dalil Hukum dalam Penetapan Fatwa

a. Ijma’

Secara etimologi Ijma‟ mengandung arti kesepakatan atau

konsensus. Ijma juga dapat diartikan sebagai al azmu „alas Syai‟ atau

ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Ijma’ secara terminologi

didefinisikan oleh beberapa ahli diantaranya:

1) Al-Ghazali: Ijma’ yaitu kesepakatan umat Muhammad SAW

secara khusus atas suatu urusan agama; definisi ini

mengindikasikan bahwa ijma’ tidak dilakukan pada masa

Rasulullah SAW, sebab keberadaan Rasulullah sebagai syar’i

tidak memerlukan ijma’.

2) Al-Amidi: Ijma’ adalah kesepakatan ahlul halli wal „aqdi atau

para ahli yang berkompeten mengurusi umat dari umat Nabi

Muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.14

Dari definisi diatas memperjelas pengertian ijma’ yaitu

kesepakatan dan yang sepakat adalah semua ulama mujtahid yang

memenuhi syarat, berlaku pada suatu masa tertentu sesudah

Rasulullah wafat. Sedangkan hukum syara’ yang dimaksud adalah

kesepakatan itu hanya terbatas dalam masalah hukum amaliyah

12

Abd al-Wahab Khalaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kairo : Dar al-Qalam, 1978), h. 40. 13

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, ; Relevansinya bagi pembaharuan hukum

Islam di Indonesia, h. 29. 14

Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h.10 .

Page 29: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

20

termasuk yang berhubungan dengan muamalah serta tidak terjangkau

pada masalah-masalah akidah.

Jika telah terjadi kesepakatan (ijma’) terhadap hukum suatu

permasalahan, maka hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’

tersebut mempunyai kekuatan sebagai hukum yang bersifat qath’i,

meskipun sanad yang dijadikan sandaran ijma’ tersebut bersifat

zhanni. Misalnya, para Fuqaha terlah bersepakat, bahwa berpoligami

dengan wanita yang masih ada hubungan mahram dengan istrinya

adalah haram. Hukum ini adalah bersifay qath’i yang tidak dapat

ditawar-tawar lagi.

Mengenai kehujjahan ijma’ jumhur ulama berpendapat, bahwa

ijma’ dapat dijadikan argumentasi (hujjah) berdasarkan dua dalil

berikut:

1) Hadis-hadis yang menyatakan bahwa ummat Muhammad tidak

akan bersepakat terhadap kesesatan. Apa yang menurut

pandangan kaum muslimin baik, maka menurut Allah juga baik.

Oleh karena itu, amal perbuatan para sahabat yang telah

disepakati dapat dijadikan argumentasi (hujjah).15

2) Firman Allah dalam surah Q.S. an-Nisa ayat 115:

ي ؤ يتابع غيس سبيو اى ى اىد ا تبيا بعد سه يشاقق اىسا

ا صيسا ساءت ا ج صي ىا ا ت ى (٧٧١اىسآء : )

Artinya :“dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah

jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan

orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap

kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukkan ia

kedalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat

kembali”. (Q.S. an-Nisa : 115)

Dari Nash diatas menjelaskan bahwa mengikuti jalan yang

bukan jalannya orang mukmin adalah haram. Karena orang yang

15

Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh,Cet. xiii, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),

h.314.

Page 30: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

21

melakukan hal tersebut berarti menentang Allah dan Rasulnya

dan diancam neraka Jahannam.16

Dari uraian diatas bahwasanya mengikuti pendapat orang

mukmin, berarti mengikuti sesuatu yang ditetapkan berdasarkan

ijma’. Dengan demikian, ijma’ dapat dijadikan hujjah yang

harus dipergunakan untuk menggali hukum syara’ (istinbath)

dari nash-nash syara’.

b. Qiyas

Pengertian qiyas menurut ulama Ushul ialah menerangkan

hukum sesuatu yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan Hadist

dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang telah

ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.17

Sebab hukum islam,

kadang tergambar jelas dalam nash al-Qur’an atau Hadist, kadang

juga bersifat implisit-analogic terkandung dalam nash tersebut.

Banyak sekali Hadist yang menunjukkan bahwa Rasulullah

sesungguhnya telah menerapkan cara pengambilan hukum secara

analogis terhadap masalah yang tidak ada ketegasan nash nya. Disini

juga para sahabat melakukan hal serupa, yakni dengan cara

mengambil keputusan hukum serupa dari dua kasus yang berbeda

karena persamaan „illat.

Kehujjahan qiyas disini tidak perlu diragukan, bahwa aliran

jumhur adalah aliran yang tepat dan paling kuat, karena

argumentasinya didasarkan pada prinsip berpikir mantiq yang logis,

disamping ayat al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah. Diantaranya ayat

al-Qur’an yang dijadikan dalil adalah firman Allah18

Q.S. an-Nisa

Ayat 59 :

16

Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh,Cet. xiii, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994),

h.315 17

Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh, h.336. 18

Muhammad Abu Zahra, Ushul al- Fiqh, h. 340.

Page 31: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

22

يا فئ ن س أىي ال سه أطيعا اىسا ا أطيعا للاا آ ا اىاري أي

الخس اىي باللا تؤ ت م سه إ اىسا إى للاا في شيء فسد تاشعت

ت أحس ىل خيس يلا ذ (١٥)اىسآء : ؤ

Artinya: “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan

taati lah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu

lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. an-Nisa : 59)

Dari nash al-Qur’an diatas menjadi dasar hukum qiyas, karena

maksud dari ungkapan “kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam

masalah khilafiyah), yaitu perintah agar menyelidiki tanda-tanda

kecenderungan; apa sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan

Rasul- Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari “illat hukum,

yang dinamakan qiyas.

c. Istihsan

Istihsan menurut bahasa adalah anggapan baik atau menganggap

baik. Menurut istilah ushu al-Fiqhistihsan ialah meninggalkan qiyas

dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena terdapat dalil yang

menghendakinya, serta lebih sesuai dengan kemaslahatan manusia.19

Maksud istihsan bukan hanya mengambil seenaknya tanpa

adanya sandaran kepada hukum asli. Atau, maksudnya yang benar

adalah mendahulukan maslahat parsial yang muktabat atas qiyas

menyeluruh. Atau, mendahulukan qiyas yang illat nya khafi (samar)

tetapi pengaruhnya kuat, atas qiyas yang jalli (jelas) illatnya tetapi

lemah pengaruhnya. Atau bisa mengkhususkan keumuman dengan

dalil yang muktabar.20

19

al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi, (Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), jil. ii, h. 200. 20

Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Praktis bagi Kehidupan Modern, (Jakarta: Gema Insani Press,

2002), h.70.

Page 32: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

23

Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Hambaliyah

menjadikan istihsan sebagai dalil hukum.21

Akan tetapi, mereka

berbeda dalam volume penetapannya. Ulama Hanafiyah adalah yang

terbanyak dan terpopuler menetapkan istihsan sebagai dalil hukum.

Sebaliknya, ulama Syafi’iyah, Zahiriyah, Syi’ah, dan Mu’tazilah

menolak istihsan sebagai dalil hukum.22

d. Maslahah Mursalah

kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan

maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah secara

bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik,

kebaikan, guna, atau kegunaan.23

Maslahah merupakan bentuk

masdar dari fi‟il) shalaha. Disini terlihat bahwa, kata maslahah dan

kata manfaat yang juga berasal dari bahasa arab yang mempunyai

arti atau makna yang sama.

Secara etimologis, kata maslahah berarti sesuatu yang baik. Al

Maslahah kadang- kadang disebut pula dengan istishlah yang berarti

mencari yang baik. Sedangkan al-Maslahah secara literal adalah

yang lepas. Menurut Kahalid Ramadhan Hasan, al-Maslahah berarti

suatu kemaslahatan yang terlepas dari pengukuhan atau penolakan

syara’.24

Dari kutipan di atas Imam Al- Ghazali merumuskan maslahah

sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara’ atau tujuan hukum

Islam. Sedangkan tujuan hukum Islam menurut Ghazali adalah

memelihara lima hal diatas, yaitu hifdz ad-din, hifdz an-nafs, hifdz

al-aql, hifdz an-nasl, dan hifdz al-mal. Jadi setiap hal yang di

dalamnya terkandung pemeliharaan terhadap prinsip lima yang di

21

Abd al-Qadir Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad ibn Hambal

(Mesir: Idarah al-Thiba al-Muniriyyah, t.th.) 135-136. 22

Muhammad Taqi al-Hakim, al-Ushul al-Ammah li-al-Fiqh al-Muqaran, (Berut: Dar al-

Andalus, 1963), h. 367. 23

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.ii,

(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634. 24

Kahalid Ramadhan, Mu‟jam Ushul al-Fiqh, (Mesir: al-Raudhoh, 1998), h. 270.

Page 33: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

24

atas tersebut maka dikatakan dengan maslahah. Setiap hukum yang

mengandung tujuan memlihara salah satu dari lima di atas disebut

dengan maslahah, dan setiap hal yang meniadakan dari pada hal

yang diatas merupakan mafsadah, sedangkan menolak mafsadah

disebut maslahah.25

Di antara Ulama yang banyak dikenal memakai maslahah

mursalah dalam menetapkan hukum adalah Malik bin Annas atau

yang dikenal dengan sebutan “Imam Malik”. 26

e. Sadd al Dzari’ah

Dilihat dari segi bahasa kata terdiri dari sadd al dzari‟ah terdiri

dari dua kata yaitu sadd artinya menutup dan kata dzari‟ah berarti

washilah atau jalan kepada tujuan. Dengan demikian, sadd al

dzari‟ah secara bahasa berarti “ menutup jalan kepada suatu

tujuan”.27

Maksudnya yaitu menutup jalan dari yang tujuannya

menuju kepada kerusakan. Sesuai dengan tujuan syara’ menetapkan

hukum untuk para Mukallaf, agar mencapai kemaslahatan dan

menjauhkan diri dari pada kerusakan.

Sebagai gambaran untuk memahami sadd al dzari‟ah dapat

diilustrasikan dari pepatah yang mengatakan: “lebih baik mencegah

dari pada mengobati” pepatah ini dapat kita pahami bahwa

mencegah itu relatif lebih mudah dan tidak memerlukan biaya besar

adapun mengobati resikonya lebih besar dan membutuhkan waktu

serta biaya yang tidak sedikit. Hukum Islam dibangun atas dasar

menarik maslahat dan menolak madarat. Untuk mancapai dua hal

tersebut maka diperlukan antisipasi dan usaha.

f. Qaul Shahaby

25

Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam al-Ghazali: Maslahah Mursalah dan

Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 95 26

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukukm Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah

Noer Madkur dan Muhammad Salm Madkur, cet viii, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002),

h. 125. 27

Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 172.

Page 34: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

25

Sebagian Ulama ushu al-Fiqhmenyebut istilah qaul shahaby

dengan istilah “mazhab ash-shahabi”. Sebenarnya kedua istilah ini

tidak persis sama maknannya. Sebab yang dimaksud dengan qaul

shahaby ialah, pendapat hukum yang dikemukakan oleh seorang

seseorang atau beberapa orang sahabat Rasulullah Saw secara

individu tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat

ketentuannya, baik dalam Al Qur’an maupun Sunnah.28

Jalaludin al

Suyuti menyebutkan bahwa sahabat adalah seseorang yang selalu

beradab dalam majlis Rasulullah Saw dan selalu mengikutinya juga

meriwayatkan hadist dari beliau.29

Pengertian di atas memberikan suatu indikasi syarat-syarat

sahabat yang dapat diterima pendapatnya dalam hal penetapan

hukum, karena tidak mungkin seseorang hanya bertemu sebentar

dengan Rasulullah dan mampu memahami segala ajaran Islam yang

dijelaskan oleh Rasulullah terkait suatu peristiwa, sehingga sahabat

yang menyertai Rasulullah secara terus-menerus akan memahami

proses tasyri’ atau penjelasan hukum dan bisa juga disebut dengan

penetapan peraturan. Oleh karena yang termasuk dalam golongan ini

seperti al Khulafa al Rasyidin, Abdullah ibn Mas’ud, Anas ibn

Malik, Zaid ibn Tsabit, Abu Hurairah, dan lain-lain. Atas dasar

pertimbangan di atas, kalangan Sunni sepakat bahwa fatwa sahabat

sebagai sumber hukum.

C. Metode Istinbath Hukum dalam Penetapan Fatwa

Ketika seorang mufti disodorkan suatu pertanyaan atau permasalahan,

makal ia harus mengistinbathkan hukum atas kasus tersebut dari sumber-

sumber hukum yang ada. Istinbathpun tidak akan membuahkan hasil yang

memadai jika tidak di tempuh dengan metode-metode yang tepat untuk itulah

28

Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 225. 29

Jalaludin Abdurahman as-Suyuti, Tadribur Rawi, (Beirut: Daar al-Fikr, 1972), h. 212.

Page 35: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

26

para ulama ushul menyusun kaidah-kaidah istinbath yang dapat dijadikan

pedoman dalam menetapkan hukum yang diklasifikasikan menjadi tiga.30

1. Metode Bayani (Analisis Kebahasaan)

Metode ini berupaya untuk menjelaskan teks al-Qur’an dan Hadits

dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisis kaidah

kebahasaan. Yang dimaksud dengan kaidah kebahasaan adalah kaidah-

kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa dan kemudian diadopsi oleh

para ulama ushul untuk melakukan pemahaman terhadap makna

lafalsebagai hasil analisa indiktif dari tradisi kebahasaan bangsa Arab

sendiri, aik bahasa prosa maupun syair/nazam.31

Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber utama hukum Islam yang

menggunakan bahasa Arab, maka untuk menginstinbathkan hukum dari

keduanya bisa memuaskan dan maksimal, pengetahuan mengenai bahasa

Arab harus mendalam. Bahkan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa kaidah

kebahasaan sebagai pilar ushu al-Fiqhdan merupakan sandaran dalam

beristinbath. Karena yang di analisa adalah dalam aspek bahasa nash, maka

metode ini digunakan untuk menjelaskan hukum yang kasusnya telah

terdapat dalam nash al-qur’an dan Hadits.

Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushu al-Fiqh mencakup:

a. Analisa berdasarkan makna lafadz (bil i‟tibaar al-lafz lil ma‟na)

b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna (bil i‟tibaar isti‟mal al-lafz

fil ma‟na)

c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna (bil i‟tibaar

dalalah al-lafdz ala al-ma‟na bi hasab zuhur al-ma‟na wa khafa‟ih)

d. Analisa berdasarkan segi penunjukan lafadz kepada makna menurut

maksud pencipta nash (bil i‟tibaar kaifiyyah dalalah al-lafdz ala al-

ma‟na)

Maksud dari segi makna lafadz, ada suatu lafal yang ditempatkan untuk

menunjukan suatu makna yang tertentu (khass) dan adapula suatu lafal yang

30

Ma’ruf ad-Dawalibi, al-Madkhal ila „Ilmi Usul al-Fiqh, (Lebanon: Daar al-Kitab al-

Jadid, 1965) Cet.V, h. 422 31

Ma’ruf amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 44

Page 36: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

27

ditempatkan untuk menunjukan makna umum (amm), ada lafal yang

mengacu kepada dua makna atau lebuh (musytarak), dan ada juga dua lafal

atau lebih yang mengacu kepada satu makna (muradif), dan adapula lafal

jama’ yang mencakup satuan-satuan yang banyak, akan tetapi tidak

mencakup seluruh satuan yang dapat dimasukan kedalamnya (jama‟

munakkar).

Maksud dari segi pemakaian arti ada lafal yang menunjukan kepada

pengertian yang asli (al-haqiqah) dan ada lafal yang menunjukan kepada

pengertian lain, yang bukan makna asli, karena ada suatu indikasi yang

menghendaki demikian (al-majaz), selain itu ada pula suatu lafal yang

mengacu kepada pengertian yang jelas karena pengertian tersebut telah

lazim dipakai (sarih), dan ada pula lafal yang samar maksudnya karena baru

diketahui ketika ada indikasi lain yang membahas untuk mengetahui

maknanya (kinayah).

Maksud dari segi terang dan samarnya makna, ada lafal yang petunjuk

maknannya jelas, sehingga tanpa memerlukan lafal lain untuk memperjelas

(wadih ad-dalalah) dan ada juga yang tidak jelas petunjuk maknannya,

kecuali ada lafal lain yang membantu untuk menjelaskannya (khafi ad-

dalalah).32

Dan dari segi penunjukan lafadz kepada makna menurut maksud

pencipta nash, ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada nngkapan

ekplisit (al-mantiq) dan ada lafal yang petunjuk teksnya mengacu kepada

makna implisitnya (al-mafhum). 33

Selain itu termasuk dalam metode ini adalah tata cara penyelesaian

dalil-dalil yang secara lahirnya terlihat bertentangan (ta‟arud al-dilalah),

yang mencangkup : kompromi antar nash-nash yang berlawanan (al-jam wa

32

Menurut Hanafiyah lafal yang ditunjukan maknannya (wadih al dalalah) jelas terbagi

empat, yaitu: (1) al-zahir, (2) al-nashsh, (3) al-mufassae, dan (4) al-muhkam; yang pertama

petunjuk maknannya jelas, lalu kejelasan makna tersebut disusul lagi yang selebihnya, dan yang

terakhir adalah yang paling jelas petunjuk maknannya; sedangkan menurut ulama syafi’iyyah lafal

yang demikian hanya dibagi atas dua bentuk (1) al-zahir (masih mungkin menerima takwil) (2) al-

nashsh (tidak menerima takwil). 33

Menurut Hanafiyah membagi lafal dalam kategori ini menjadi empat : (1) dalalah al ibrah

(2) dalalah al-isyarat (3) dalalah al-dalalah (4) dalalah al-iqtidha.

Page 37: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

28

al-taufiq), mengamalkan dalil yang lebuh kuat dan menegaskan yang lebih

kuat (tajrih), menghapus ketentuan dalil yang datangnya lebih dahulu (nash

al-mansukh), atau tidak mengamalkan kedua dalil tersebut dan berpaling

kepada dalil lain (tawaqquf).

2. Metode Ta’lili

Metode Ta’lili, adalah metode untuk menggali dan menetapkan hukum

terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam

nash baik secara qat‟i dan maupun zhanni,dan tidak juga ada ijma’ yang

menetapkan hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada.

Istinbath jenis ini ditunjukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa

dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya karena antara dua

pristiwa itu terdapat kesamaan ilat hukum. Dalam hal ini mufti menetapkan

hukum suatu peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya.

Istinbath jenis ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan. 34

Penalaran yang dipakai berusaha untuk melihat apa yang

melatarbelakangi suatu ketentuan hukum dalam al-Qur’an atau Hadits.

Dengan kata lain apa yang menjadi ilat (nilai hukum/sebab efektif) dari

suatu peraturan. Menurut ulama, semua ketentuan hukum mengandung ilat,

karena tidak layak Tuhan memberi peraturan tanpa tujuan dan maksud yang

baik.35

Di dalam al-Quran dan Hadits sendiri, dari berbagai ketentuan

hukumnya, ada yang disebutkan secara tegas illatnya, ada yang di isyaratkan

saja, dan ada pula yang tidak disebutkan. Dari ketentuan yang tidak

disebutkan illatnya tersebut, ada yang bisa ditemukan melalui perenungan

dan ada pula yang belum terungkap hingga kini. Kebanyakan peraturan

yang tidak diketahui illatnya adalah peraturan-peraturan di bidang ibadah

murni (mahdah). Para ulama telah merumuskan cara-cara menemukan illat

dari ayat dan hadits serta menyusun kategori-kategorinya. Berdasarkan

34

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah Noer

Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer, cet viii, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2002), h. 93. Lihat juga Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 303-304. 35

Sya’labi, Ta‟lil al-Ahkam, (Kairo : Dar an-Nahdah al-Arabiyyah, 1981), h. 150

Page 38: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

29

kegunaan praktisnya illat dapat dibedakan kepada tiga kategori, yaitu illat

tasyri, illat qiyasi dan illat istihsani.36

Adapun illat tasyri‟i adalah illat yang digunakan untuk menemukan

apakah hukum yang dipahami dari nash tersebut memang harus seperti

apadanya, atau boleh diubah pada lainnya, berhubung diketahui illat

pentasyria’an peraturan tersebut, maka ulama berani menakwilkan

maknanya sesuai dengan makna yang dipahami tadi, sehingga hukum

yangK muncul jadi bergeser dari pemahaman sebelumnya, atau berbeda

dengan arti harfiyahnya. Sebagai contoh keputusan umar untuk tidak

membagi-bagikan harta rampasan perang(fa’i) berupa tanah pertanian di

irak, padahal dimasa rasul dan abu bakar, tanah tersebut dibagi-bagikan

kepada tentara yang ikut berperang. Keputusan umar ini berdasarkan

pemahan terhadap QS. Al-Hasyr ayat 7 yang menyebut: “ agar kekayanan

tidak menjadi monopoli orang-orang tertentu”. Inilah yang dijadikan Umar

sebagai illat bagi ketentuan tentang rampasan perorang. Ia melihat saat itu

pembagian tanah pertanian yang luas di Irak justru kan menciptakan tuan

tanah baru, yang sebenernya inigin dihindari Qur’an. Oleh sebab itu tanah

tersebut harus dimikili dan dimanfaatkan oleh negara serta hasilnya nanti

dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berhak. Dalam illat tasyri‟i ini

tidak dipersoalkan ada qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya sudah

tertera pada masalah itu sendiri. Kalau illat tersebut ingin diberlakukan pada

masalah itu sendiri. Tetapi, jikalau illat tersebut ingin diberlakukan pada

masalah lain, maka fungsinya berubah menjadi illat qiyasi37

Illat qiyasi ialah illat yang digunakan untuk memberlakukan suatu

ketentuuan nash pada masalah lain, illat ini digunakan untuk menjawab

pertanyaan apakah nash yang mengatur masalah X misalnya, juga berlaku

untuk masalah Y (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun antara

kedua hal tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang

disebut illat. Sebagai contoh tentang keharaman khamr (miuman keras yang

36

Sya’labi, Ta‟lil al-Ahkam, h. 142. 37

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 94.

Page 39: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

30

terbuat dari perasan kurma) dalam surat al-maidah ayat 90 dengan illat

memabukkan. Ayat ini secara harfiyah (penalaran bayani) tidak

mencangkup wisky, bir atau tuak yang bahan dasarnya bukan kurma. Tetapi

hukum ketiga minuman ini disamakan dengan khamr, karena mengandung

illat yang sama yaitu memabukan.38

Illat istihsani, yaitu illat pengecualian, maksudnya mungkin saja ada

pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyi’i tidak dapat berlaku

terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas tidak

dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang menyebabkan

dikecualikan. Dengan demikian, illat kategori ini mungkin ditemukan

sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana mungkin juga

menjadi pengecualia kategori kedua. Yang membedakan ketiga

pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas

persyaratannya. Persyratan untuk illat qiyasi lebih banyak daripada

persyaratan untuk illat tasyi‟i dan istihsani. Dengan penjelasan diatas, maka

dapat dinyatakan bahwa dalil qiyas dan istihsan telah tercakup dalam

istinbat ta‟lili.39

3. Metode Istislahi

Metode istishlahi adalah metode yang digunakan untuk menggali,

menemukan dan merumuskan hukum syara’ dengan cara menerapkan

hukum kulli unuk peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam

nash baik qath’i maupun zhanni, dan tidak mumungkinkan mencari

kaitannya dengan nash yang ada, belum diputuskan dengan ijma’. Serta

tidak memungkinkan dengan jalan qiyas atau istihsan. Jadi dasar pegangan

dalam ijtihad bentuk ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan

untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, baik dalam bentuk

mendatangkan manfaat ataupun menolak mudharat dalam rangka

memelihara agama, kehidupan akal, keturunan dan harta.40

38

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 94. 39

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh, h. 95. 40

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islam, (Daar an-Nahdlah al-

Arabiyyah,t.th), h. 54.

Page 40: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

31

Penalaran yang dipakai menggunkan ayat-ayat atau hadits-hadits yang

mengandung “ Konsep umum” sebagai dalil atau sandarannya. Misalnya

ayat-ayat yang menyuruh berlaku adil; tidak boleh mencelakakan diri

sebagai sendiri dan orang lain; bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada jalan

keluar yang meringankannya; tujuan suatu peraturan adalah untuk

kemaslahatan dan lainnya.

Biasanya penalaran ini dilakukan kalau masalah yang akan

didefinisikannya (takyif) tersebut tidak dapat dikembalikan kepada suatu

ayat atau hadits tertentu secara khusus. Dengan kata lain, tidak ada

bandingan yang tepat dari jaman nabi yang tepat. Misalnya aturan

pembuatan SIM, tidak ditemukan bandingan sunah nabi unuk mendengar

keadaan. Tetapi mengatur masalah baru-baik menerima atau menolaknya-

adalah perlu karena menyangkut hajat orang banyak. Cara kerjanya, ayat

dan hadits tersebut digabungkan satu sama lain, sehingga kesimpulannya

akan ada sebuah “ prinsip umum” prinsip umum ini di dedukasikan pada

persoaln-persoalan yang ingin diselesaikan tadi. Lebih jauh, para ulama

telah membuat 3 katagori kemaslahatan yang menjadi sarana semua perintah

dan laranagan allah SWT, yaitu dlaruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat.

Secara umum, terlebih dahulu di tentukan dalam katagori yang mana

persoalan yang akan dikualifikasi/ identifikasi itu berada. Setelah itu diteliti

pula apakah penerimaan dan penolakaannya itu tidak menimbulkan dampak

negatif pada kategori yang lebih tinggi, maka perbuatan itu menjadi

terlarang.41

sebagai contoh tentang tentang kasus pemanfaatan organ tubuh

orang yang meninggal untuk dicangkokan pada orang yang masih hidup.

Dalam hal ini ada pertentangan antara memberikan pertolongan untuk

menyempurnakan atau menyelamatkan manusia yang hidup dan perusakan

terhadap mayat. Kalau manfaat pertolongan lebih besar dari mudharat yang

ditimbulkan akibat perusaknya, maka pencangkokan dianggap boleh.

41

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islam, (Daar an-Nahdlah al-

Arabiyyah,t.th), h. 55.

Page 41: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

32

Namun untuk contoh ini sebenernya masih banyak khilafiyah yang

mengikutinya.

Dari uraian di atas, kiranya dapat dinyatakan bahwa dalam ijtihad

istishlahi telah termasuk di dalamnya dalil-dalil mashalih al-mursalah,, urf,

dan istishab. Hal ini disebabkan karena pertimbangan utama para ulama

dalam menerima dalil-dalil tersebut adalah faktor kemaslahatan.

Bentuk ijtihad bayani diterima semua golongan, termasuk di kalangan

Zahiriyah dan Syia’ah, namun bentuk ijtihad ta‟lili/qiyasi dan istishlahi

terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menggunakannya,

Ulama hanafiya, Malikiyah dan Hanabilah menggunakan dua bentuk

terakhir ini. Zahiriyah menolak kedua bentuk terakhir terakhir ini secara

mutlak, sedangkan syafi’iyah membatasinya pada bentuk kedua yang itupun

hanya kepada qiyas dan menolak istihsan serta menolak bentuk ketiga42

atau

ijtihad yang berada diluar wilayah nash.

Pada dasarnya ketiga metode istinbat tersebut di atas merupakan upaya

untuk menemukan maqashid syariah (tujuan umum syariah) yaitu merealisir

kemaslahatan umum dengan memberikan kemanfaatan dan menghindari

kemafsadatan bagi umat manusia yang bertujuan untuk memelihara agama,

jiwa, akal, keturanan dan harta. Maqasid syariah tersebut dapat tercapai jika

perintah syariat dilaksanakan sebaik-baiknya dan sebaliknya larangan

syariat dijauhi.43

Pengetahuan dan pemahamanyang benar mengenai sebab-sebab

perintah dikhitabkan menjadi pendukung utama untuk mentaati perintah

syariat, karena sebab-sebab dikeluarkannya suatu perintah selalu mengikuti

status hukum musababnya. Artinya jika status hhukum musababnya wajib,

maka wajib pula hukum sebab yangmenjadi perantaranya.

Demikian pula larangan-larangan syar’i mempunyai perantara-perantara

yang menjadi sebab pelarangannya. Adalah tidak logis apabila suatu

42

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadhaa Fii al-Islaam, h. 55. 43

Untuk lebih jelasnya tentang maqasid asy-syari’ah lihat Abd. Rahman Dahlan, Ushul

Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 304. Dan Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqshid Syari’ah,

Penerjemah Khikmawati, Cet. Iii, (Jakarta: Amzah, 2013), h. Xi-xvi.

Page 42: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

33

perbuatan dilarang. Sementara perantaranya diperbolehkan. Oleh karena itu

perantara (wasilah) dari suatu larangn lazimnya mengikuti status hukum

yang diperntarainya, yakni terlarang pula

Dari ketentuan tersebut timbulah dua kaidah penting, fath al-zari‟ah44

dan sad al-zari‟ah dalam kedua metode ini, penetapan hukum zariah harus

mempertimbangkan dua hal,pertama, dari segi akibat yang ditimbukan

dengan ketetapan hukum tersebut, dan kedua, dari segi niat untuk

melakukannya. Dari segi pertama, jika akan menimbulkan mafsadat,harus

ditutup peluangnya, baik dengan haram atau yang makruh, sesuai dengan

bobot mafsadat yang akan ditimbulkannya. Sebaliknya jika akan

menimbulkan maslahat, harus dibuka peluangnya, baik wajib, nadb, maupun

ibahah sesuai dengan bobot maslahat yang akan ditimbulkannya. Termasuk

untuk perbuatan yang akan berakibat ganda, jika lebih besar peluang

maslahat, maka harus dibuka peluang tersebut, dan jika lebih besar

mafsadatnya, harus ditutup peluang untuk melakukannya.45

Demikian pula dari segi niat, jika niat melakukan perbuatan hukum

tersebut itu baik sesuai tuntutan syariah, maka peluang harus dibuka, baik

dengan wajib, nadb, ataupun ibaha, sesuai dengan bobot maslahat yang akan

ditimbulkannya. Sementara jika niatnya buruk harus ditutup peluangnya

baik dengan haram maupun makruh, sesuai dengan bobot mafsadat yang

akan ditimbulkannya.46

pada pembahasan sisi niat inilah para ulama

memperselisihkan status hukum hial terhadap dzari’ah yang menerut

asalnya di perbolehkannya akan tetapi orang yang mengajarkannya

bermaksud menggunakannya sebagai media untuk menghindari ketentuan

syariah sebagian ada yang memperbolehkan hial sedangkan zumhur tidak

memperbolehkannya.47

44

Yaitu lawan dari pada saad al-dzari’ah yakni suatu sarana yang membawa kepada

perbuatan baik dan menimbulkan kemaslahatan. 45

Dede Rosyada, Metode Kajian Dewan Hisbah Persis, (Jakarta: Logos, 1999), h. 73. 46

Dede Rosyada, Metode Kajian Dewan Hisbah Persis, h. 74. 47

Ali Hasabalah, Ushul al-Tasyri al-Islam,(Mesir: Daar al-Na’arif, 1991) h. 286-290.

Page 43: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

34

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG AHMAD HASSAN DAN BUKU SOAL

JAWAB TENTANG BERBAGAI MASALAH AGAMA

A. Biografi Ahmad Hassan

Ahmad Hassan, nama asli Ahmad Hassan adalah Hassan bin Ahmad,

Hassan menuliskan nama ayahnya di depan namanya sendiri.dan ketika

beliau berdomisili di Bandung tahun 1930, panggilan Hassan bendung

sangat populer dalam masyarakat, namun ketika beliau tinggal di Bangil

meski tidak sepopoler nama Hasan Bandung, panggilan Hassan Bangil juga

terasa akrab di masyarakat.

Ahmad Hassan lahir pada tahun 1887 M. di Singapura. Ayahnya

bernamaAhmad Sinna Vappu Maricar yang digelari “Pandit“ berasal dari

India dan ibunya bernama Muznah berasal dari Palekat, Madras. Ahmad

menikahi Muznah di Surabaya ketika dia berdagang di kota tersebut,

kemudian menetap di Singapura. Ahmad adalah seorang pengarang

dalam bahasa Tamil dan pemimpin surat kabar “Nurul Islam” di Singapura.

Dia suka berdebat dalam masalah bahasa dan agama serta mengadakan tanya

jawab dalam surat kabarnya.1

Pendidikan Ahmad Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya

ketika dia kecil. Pada usia tujuh tahun d i a sudah belajar Al-Qur’an.

Selama empat tahun anak tunggal ini belajar di Sekolah Melayu. Empat

tahun berikutnya digunakan sebaik-baiknya untuk mempelajari bahasa secara

privat yang diperlukannya, yaitu bahasa Melayu, bahasa Tamil, bahasa Arab,

dan bahasa Inggris. Beliau belajar agama Islam di beberapa tempat

pengajian. Guru- gurunya selama di Singapura adalah H. Ahmad di kampong

Tiung, H. Muhammad Thaib di kampong Rokoh, Said Munaci Mausili,

Abdullatif, H. Hassan, dan Syekh Ibrahim India. Namun dia tidak sempat

1 Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet.ii, (Surabaya: PT.

Bina Ilmu, , 1994), h.11.

Page 44: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

35

menyelesaikan sekolah dasarnya karena pada usia 12 tahun sudah bekerja

mencari nafkah sendiri. Meskipun demikian dia mengambil pelajaran

bahasa Arab secara privat sebagai usaha untuk memperdalam

pengetahuannya tentang Islam.2

Dalam mempelajari dan memperdalam agama Islam dari beberapa orang

guru tersebut kesemuanya ditempuh sampai kira-kira tahun 1910, menjelang

ia berusia 23 tahun.3

Di samping belajar memperdalam agama Islam, dari tahun 1910

hingga 1921, A. Hassan menekuni berbagai macam pekerjaan di Singapura.

Sejak tahun 1910 ia telah menjadi guru tidak tetap di madrasah orang-orang

India di Arab Street, Baghdad Street, dan Geylang hingga 1913, kemudian

menjadi guru tetap menggantikan Fadhlullah Suhaimi pada Madrasah

Assegaf di jalan sulthan. Sekitar tahun 1912-1913, A. Hassan menjadi

anggota redaksi surat kabar Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore

Press di bawah pimpinan Inche Hamid dan Sa’dullah Khan.4

Selain sebagai

seorang pengajar dan redaktur, beliau juga bekerja sebagai buruh toko kain,

toko permata, dan toko minyak wangi. Ia juga pernah menjadi agen distribusi

es, vulkanisir ban mobil, bahkan menjadi clerk (juru tulis) di jeddan Pilgrims

Office (Kantor Jemaah Haji).5

Pada tahun 1921 M., A. Hassan berangkat ke Surabaya (Jawa

Timur) untuk berdagang dan mengurus toko milik Abdul Lathif pamannya.

Selain berusaha memajukan perusahaan tekstil pamannya, di kota ini ia

memperoleh kesempatan untuk berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan

politik terkemuka dari Sarekat Islam, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Sangaji,

H. Agussalim, Bakri Siroatmodjo, dan Wondoamiseno.6 Pada masa itu

2 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, (PT.

Remaja Rosda Karya, 1998), h.168-167 3 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, (Bandung: PP

PERSIS, 2007), h.147. 4 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, h. 147.

5 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.

169. 6 A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.

170.

Page 45: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

36

Surabaya menjadi tempat pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kaum

muda dipelopori oleh Faqih Hasyim, seorang pendatang yang menaruh

perhatian dalam masalah-masalah keagamaan. Ia memimpin kaum Islam di

Surabaya dengan cara tukar pikiran, tabligh, dan diskusi-diskusi

keagamaan. Haji Abdul Latif, paman Ahmad Hassan yang juga gurunya

pada masa Ahmad Hassan masih kecil, mengingatkan Ahmad Hassan agar

tidak melakukan hubungan dengan Faqih Hasyim yang dikatakannya telah

membawa masalah-masalah pertikaian agama di Surabaya, dan dianggap

pula oleh pamannya sebagai wahabi.7

Usahanya dalam bidang pertekstilan tampaknya tidak beruntung, bahkan

rugi, sehingga ia terpaksa membuka usaha vulkanisir ban mobil untuk

menyambung hidupnya. Mungkin usaha ini juga kurang memuaskan, karena

kepuasannya terletak pada upaya pengembangan dirinya dalam bidang ilmu

agama Islam. Sementara pergaulannya dengan para tokoh terkemuka Serikat

Islam telah membuka matanya tentang adanya pergolakan yang ada dalam

tubuh organisasi politik itu. Ada dua golongan dalam SI pada waktu itu:

pertama, SI Putih yang islami, dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto;

dan yang kedua, SI Merah yang komunis dan berkiblat ke Moskow,

dipimpin oleh Semaun.8

Ketika beliau dibawa berkunjung oleh pamannya kepada kiai Abdul

Wahhab Hasbullah yang kemudian menjadi tokoh Nahdatul Ulama, Ahmad

Hassan memperoleh gambaran tentang ketegangan kaum muda dan

kaum tua. Berawal dari pertemuannya itu Abdul Wahab Hasbullah

mengajukan pertanyaan kepadanya mengenai hukum membaca ushalliy

sebelum takbirat al-ihrām. Sesuai dengan pengetahuannya ketika itu, Ahmad

Hassan menjawab bahwa hukumnya “sunnah”. Ketika ditanyakan lagi

mengenai alasan hukumnya, dia menjawab bahwa soal alasannya dengan

mudah dapat diperoleh dari kitab manapun juga. Namun dari pertemuan ini,

7 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, h. 148.

8 A.Latief Muchtar, Gerakan Kembali Ke Islam;Warisan Terakhir A. Latief Muchtar, h.

170.

Page 46: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

37

beliau heran, mengapa soal semudah itu yang dipertanyakan kepadanya.

Setelah menceritakan perbedaan- perbedaan antara Kaum Tua dan Kaum

Muda, Abdul Wahhab Hasbullah meminta agar Ahmad Hassan

memberikan alasan sunnatnya membaca ushalliy dari al-Qur’an dan

Hadits, karena menurut Kaum Muda, agama hanyalah apa yang dikatakan

Allah dan Rasul-Nya. Ahmad Hassan kemudian berjanji akan memeriksa

dan menyelidiki masalah itu. Tetapi sesuatu yang berkembang menjadi

keyakinan dihatinya bahwa agama hanyalah apa yang dikatakan oleh Allah

dan Rasul-Nya. Keesokan harinya Ahmad Hassan mulai memeriksa kitab

Shahīh al-Bukhāriy dan Shahīh Muslim, dan mencari ayat-ayat al-Qur’an

mengenai alasan sunnatnya ushalliy namun ia tidak menemukannya,

pendiriannya membenarkan Kaum Muda akhirnya bertambah tebal.

Melihat persoalan yang muncul ke permukaan, terutama masalah

gerakan pembaharuan pemikiran Islam yang sedang ramai dan pertentangan

antara kaum muda dan kaum tua yang terus berlanjut di Surabaya, Ahmad

Hassan lebih banyak lagi mencurahkan perhatiannya untuk memperdalam

agama Islam. Maksud sebenarnya berdagang ke Surabaya untuk berdagang

tidak dapat dipertahankan, bahkan kemudian ia lebih banyak bergaul dengan

Faqih Hasyim dan kaum muda lainnya.

Usahanya di Surabaya pada akhirnya mengalami kemunduran, dua orang

sahabatnya Bibi Wantee dan Muallimin mengirim Ahmad Hassan untuk

mempelajari pertenunan pemerintah yang ada di Bandung. Di Bandung

inilah beliau tinggal pada keluarga Muhammad Yunus, salah seorang pendiri

organisasi Persatuan Islam (PERSIS). Dengan demikian tanpa sengaja

Ahmad Hassan telah mendekatkan dirinya pada pusat kegiatan penelaahan

dan pengkajian Islam dalam jam’iyyah PERSIS. Ia sangat tertarik terhadap

masalah-masalah keagamaan. Pada akhirnya ia pun tidak lagi berminat

mendirikan usaha tenunnya di Surabaya, tetapi di Bandung, yang rupanya

disetujui oleh kawan-kawannya. Akan tetapi perusahaan tenun yang

didirikannya gagal sehingga terpaksa ditutup. Sejak itulah minatnya untuk

berusaha tidak ada lagi, malahan kemudian ia mengabdikan dirinya dalam

Page 47: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

38

penelaahan dan pengkajian Islam lalu berkiprah secara total dalam

jam’iyyah PERSIS.9

Bagi peminat soal-soal agama di Indonesia, nama A. Hassan bukan

merupakan sesuatu yang asing. Karya-karyanya telah tersebar luas di

Indonesia khususnya dan di Asia Tenggara umumnya. Hassan banyak

menulis tentang agama yang berupa nasihat, anjuran berbuat baik, dan

mencegah kemungkaran. Beliau juga mengetengahkan berbagai-bagai

persoalan yang dikembangkannya dalam bentuk syair. Tulisannya

banyak mengandungi kritikan masyarakat demi untuk kemajuan Islam.

Dan tema tulisan sedemikian itulah yang banyak mewarnai hasil karyanya

pada masa- masa berikutnya.

Awal abad ke-20 yang dikenal dengan gerakan ishlah atau tajdid, atau

dalam sosiologi Barat disebut reformasi. Dalam kerangka itu, A. Hassan

merupakan seorang figur yang sangat penting, bahkan mungkin paling

penting. Kecuali karena fikiran-fikirannya, ada faktor sampingan yang

sangat mendukung penilaian itu; antara lain, keberaniannya secara

terbuka untuk menentang arus pemikiran yang dipandang menjadi kendala

bagi kemajuan umat, dan ketekunannya untuk menggarap bidang-bidang

yang strategis bagi sebuah gerakan pemikiran. Untuk membuat penilaian

keberhasilan sebuah gerakan ishlah tentu saja tidak cukup dengan

melihatnya dalam kurun masa hidup seorang penggerak, tetapi harus dilihat

dalam pengaruh yang timbul sesudahnya.

Sebab seorang mushlih (pelaku ishlah) atau mujaddid (pelaku tajdid)

akan selalu menentang arus masanya dan menghadapi suatu masyarakat

yang memerlukan proses dan berubah. Pemikir-pemikir dalam tradisi

Hambali, misalnya Ibnu Taymiyyah (w.1328), yang misi utamanya ialah

kritik pemikiran dan kehidupan sosial, mendapatkan reaksi yang keras dari

lawan- lawannya, tetapi beberapa abad kemudian, khususnya dua abad

terakhir ini, memberikan pengaruh yang kuat terhadap gerakan Islam,

9 Siddiq Amien, dkk, Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis, 149-150

Page 48: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

39

mungkin bukan dalam bentuk detail pemikirannya, tetapi dalam metode dan

semangatnya.10

Secara umum barangkali bisa disebut bahwa karir A. Hassan

merupakan refleksi gerakan pemikiran yang akar-akarnya bisa dilihat dalam

tradisi ishlah yang dilakukan oleh penerus-penerus Ahmad ibn Hanbal

(w.855) setelah melalui proses pergeseran dan tarik-menarik dengan

kekuatan pemikiran lainnya maupun dengan kenyataan sosial yang ada.

Pergeseran dan tarik- menarik antara berbagai kekuatan yang dialami telah

membentuk A. Hassan sebagai seorang mushlih. Dalam riwayat hidupnya

yang panjang itu ada beberapa momentum yang diduga sangat penting

dalam menentukan arah hidupnya. Di tengah-tengah masuknya arus

pemikiran ishlah ke Asia Tenggara di awal abad ke-20, A. Hassan ketika

masih muda telah menyaksikan polemik di Singapura tentang mencium

tangan seorang sayyid (orang yang mengaku keturunan Nabi), suatu polemik

yang menggugat hak- hak tertentu bagi suatu kelas yang menuntut

perlakuan istimewa dari masyarakat umumnya.

Pada hari Senin, tanggal 10 November 1958 di Rumah Sakit

Karangmenjangan (Rumah sakit Dr. Soetomo) Surabaya, A. Hassan

berpulang ke Rahmatullah dalam usia 71 tahun. Ulama besar yang dikenal

dengan Hassan Bandung (ketika masih di Bandung) atau Hassan bangil

(sejak bermukim di Bangil) telah menorehkan sejarah baru dalam

gerakan pemurnian ajaran Islam di Indonesia dengan ketegasan, keberanian,

dan kegigihannya dalam menegakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah meski

kadang disampaikannya dengan pemikiran yang “radikal’.11

B. Karya-karya Ahmad Hassan

Ahmad Hassan merupakan salah seorang tokoh pemikir yang produktif

menuliskan ide-idenya baik di majalah-majalah maupun dalam bentuk buku.

10

Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, h. 22. 11

Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima

TokohPersis,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), h. 31-32.

Page 49: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

40

Dalam hayat dan perjuangannya sebagai ulama penegak Qur’an Sunah, A.

Hassan telah menuliskan sekitar 80 judul buku. Dengan gaya penulisan yang

khas, lugas dan mudah dipahami, buku-bukunya diterbitkan ribuan eksemplar

dan sering kali dicetak ulang.12

Berikut adalah buku-buku tulisan A. Hassan yang dikutip dari Djaja

(1980: 166-168); lihat pula Fiederspeil (1970); Mughni (1980); Dadan

Wildan (1997):

No. Nama Buku No. Nama Buku

1 Pengerjaan Sholat 26 Tertawa

2 Pengajaran Sholat (bahasa

Arab)

27 Pemerintahan Cara Islam

3 Kitab Talqin 28 Kamus Rampaian

4 Risalah Jum’at 29 A.B.C. Politik

5 Debat Riba 30 Merebut Kekuasaan

6 Al-Mukhtar 31 Al-Manasik

7 Soal Jawab Tentang Berbagai

Masalah Agama

32 Kamus Persamaan

8 Al-Burhan 33 Al-Hikam

9 Debat Talqin 34 Frist Step

10 Kitab Riba 35 Al-Faraidh

11 Risalah Ahmadiyah 36 Al-Hidayah

12 Pepatah

Debat Luar Biasa

37 Sejarah Isra Mi’raj

13 Debat Taqlid 38 Al-Jawahir

14 Surat-surat Islam dari Endah 39 Matan al-Jurumiyah

15 Islam dan Kebangsaan 40 Is Muhammad a Prophet

16 An-Nubuwah 41 Apa Dia Islam

17 Perempuan Islam 42 What Is Islam

12

Dadan Wildan, Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima

TokohPersis, h. 31-32

Page 50: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

41

18 Risalah Kerudung 43 Tashauf

19 Qaidah Ibtidaiyah 44 Al-Fatihah

20 Hafalan 45 At-Tahajji

21 Kesopanan Islam 46 Syair

22 Kesopanan Tinggi 47 Kitab Tajwid

23 Bacaan Sembahyang 48 Special Edition

24 Ketuhanan Yesus Menurut

Bibel

49 Muhammad Rasul?

25 Al-Hidayah 50 Risalah Haji

Ahmad Hassan Selain menerbitkan buku-buku, beliau juga rajin menulis

dalam majalah- majalah dan selebaran-selebaran yang cukup luas

penyebarannya. Dalam perkembangannya, buku-buku Ahmad Hassan sering

kali dicetak ulang dan dijadikan referensi oleh para ulama ataupun santri

yang sedang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan Islam, tidak

hanya ulama dan santri Persis, tetapi juga para ulama dan santri di luar persis.

C. Sistematika Penulisan Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah

Agama

1. Latar Belakang Penulisan Buku

Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama di beri nama

demikian karena dalam buku tersebut didapati berbagai masalah yang

diajukan pembaca majalah “Pembela Islam, al-Lisan, dan al-Fatawa”

yang dibina oleh Ahmad Hassan. Dalam buku tersebut pemikiran dan

pendapat para ulama terdahulu dengan cara mengemukakannhya dan

menganalisanya kemudian mengambil pendapat yang paling kuat. Ini

tidak berarti ia terpengaruh kepada pendapat-pendapat itu. Ini

menggambarkan ia tidak terikat dan fanatik dengan madzhab tertentu.

Bahkan pada waktu menjawab suatu masalah, ia lebih banyak merujuk

kepada ayat-ayat Al- Qur’an dan menyimpulkan maksudnya

daripada mengikuti pendapat ulama terdahulu.

Page 51: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

42

2. Sistematika Penulisan Buku

Adapun gambaran Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah

Agama ditulis dengan bahasa Indonesia dan Melayu, diterbitkan pertama

kali oleh Pesantren Persatuan Islam Bangil di Surabaya pada tahun 1931

M sebanyak 7000 eksemplar, buku ini terdiri dari 4 jilid dan jumlah

halaman seluruhnya adalah 1597 halaman. Adapun sistematika dalam

penyusunan buku tersebut adalah sebagai berikut:

a. Jilid I : terdiri dari 12 bagian, yaitu:

1. Tamhied, berisikan penjelasan tentang yang berhubungan

dengan hukum-hukum syari’at, bahasa (lughat), ilmu hadis,

dan ushul fiqih.

2. Thaharah

3. Shalat

4. Shalat Jum’ah

5. Jenazah/Kuburan

6. Zakat

7. Shaum

8. Hajji

9. Nikah

10. Minuman dan Makanan

11. Do’a

12. Berbagai-bagai masalah

b. Jilid II : terdiri dari 14 bagian, yaitu:

1. Thaharah

2. Shalat

3. Shalat Jum’ah

4. Jenazah

5. Zakat

6. Zakat Fitrah

7. Shaum

8. N.T.R., Tudung dan Aurat

Page 52: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

43

9. Makanan, Minuman, dan Sembelihan

10. Jual Beli dan Riba

11. Faraidl dan Hibah

12. Tentang Hadis-Hadis

13. Tentang Nabi

14. Berbagai Masalah

c. Jilid III; terdiri dari 15 bagian, yaitu;

1. Thaharah

2. Shalat

3. Shalat Jum’ah

4. Jenzah

5. Zakat

6. Shaum

7. Hajji

8. N.T.R. Tudung, Aurat, dll

9. Makanan dan sembelihan

10. Faraid, Hibah, dan Sidqah

11. Tentang Hadis

12. Tentang Nabi

13. Do’a

14. Berbagai Masalah

15. Riwayat Hidup A. Hassan

d. Jilid IV; terdiri dari 12 bagian, yaitu;

1. Thaharah

2. Masjid/Shalat

3. Shalat Jum’ah

4. Berkhitan

5. Qubur/Jenazah

6. Faraidl

7. Shaum

8. Nikah

Page 53: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

44

9. Mu’amalat

10. Tentang Al-Qur’an

11. Tentang Hadis

12. Berbagai Masalah

Lebih kurangnya seperti di atas dari pada rincian dari isi buku

tersebut. Dari sekian banyaknya tanya-jawab yang tertera dalam buku

itu, Ahmad Hassan sepenuhnya menyadari bahwa menjawab

pertanyaan-pertanyaan di atas bukanlah suatu hal yang mudah, apalagi

masalah tersebut berkaitan hukum tentang berbagai masalah agama.

3. Pengaruh Buku Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama di

indonesia

Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama merupakan

salah satu karya terpenting Ahmad Hassan yang banyak diminati oleh

banyak kalangan terutama pada ormas Persatuan Islam (PERSIS) yang

menjadi rujuakan utama dalam masalah hukum Islam. Buku tersebut

dipelajari di pesantren-pesantren Persatuan Islam yang tersebar di

seluruh Indonesia.

Buku Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama adalah salah

salah satu karya tulis Ahmad Hassan yang membuatnya terkenal saat

itu. Begitu buku itu dicetak pada tahun 1931 sebanyak 7000

eksemplar dan dibaca oleh para ulama dan pembaca lainnya, serta

merta ia mendapat tanggapan keras karena dalam tulisan tersebut

berkaitan erat dengan tradisi masyarakat kala itu yang menurut

Ahmad Hassan bertentangan dengan Al- Qur’an dan Sunnah.

Caranya unik, khas PERSIS, dan tidak lazim dilakukan oleh

orang lain yang lebih mengutamakan penyebaran pemikiran-

pemikiran baru secara tenang dan damai. Ia tak segan-segan

menentang berdebat kepada pihak-pihak yang berbeda pemikiran

dengannya.

Page 54: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

45

BAB IV

KARAKTER PEMIKIRAN HUKUM ISLAM AHMAD HASSAN DAN

METODE ISTINBATH HUKUM ATAS FATWANYA DALAM BIDANG

HUKUM KELUARGA ISLAM

A. Metode Istinbath Hukum Ahmad Hassan Dalam Bidang Hukum

Keluarga Islam

Dari sekian banyak fatwa Ahmad Hassan yang hadir dari pernyataan

umat tentang persoalan agama yang tertulis dalam karyanya beliau yaitu

“Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama”, sesuai dengan tema

skripsi, penulis hanya akan menjelaskan fatwanya tentang Hukum Keluarga

Islam, dan meneliti bagaimana metode istinbath hukum Ahmad Hassan dalam

memfatwakan Hukum Keluarga Islam, sebagai berikut:

1. Nikah Sebelum Masa Iddah

Persoalan ini muncul dari seorang yang bertanya kepada Ahmad

Hassan mengenai “Bagaimana hukumnya seorang wanita yang bercerai

dari suaminya lalu menikah dengan orang lain sebelum habis masa

iddahnya?”

Dalam persoalan ini Ahmad Hassan menjawab menggunakan ayat

al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 228:

ثلثت لشء فغ بأ طمبث خشبص ا (٢٢٢) ابمشة :

Artinya: ”wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru‟ “. (QS. al-Baqarah : 228)

Di ayat tersebut terlihat jelas bahwa wanita yang di talak harus

menunngu atau menahan dirinya untuk menikah kepada orang lain

sampai habis masa iddah nya. Namun mengenai masalah tiga kali quru‟

terdapat perbedaan di antara ulama mazhab, imam Syafi‟i dan imam

Malik berpendapat bahwa memahami arti quru‟ adalah dihitung tiga kali

Page 55: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

46

suci, sedangkan menurut pendapat Hanafi arti quru‟ yaitu tiga kali haid.

Dan di indonesia karena mayoritas Syafi‟iyyah maka yang di pakai

Ahmad Hassan adalah tiga kali quru‟.

Adapun Seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena

talak, fasakh, khulu‟ , li‟an maupun di tinggal mati oleh suaminya maka

wajib menjalankan iddah. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk laki-

laki sehingga laki-laki dibolehkan untuk menikah secara langsung oleh

perempuan lain setelah perceraian selama tidak ada larangan

syara‟seperti menikahi perempuan yang masih mahram. Contoh saudara

kandung, saudara perempuan ayah atau bibi, anak saudara kandung atau

keponakan dan menikahi istri yang ditalak tiga kali sebelum ada

terpenuhi syarat yang menghalalkannya untuk menikah lagi.

Karena Iddah berasal dari dari kata al-„Addad yang artinya bilangan.

Maka definisi dari iddah adalah masa menunggu atau menanti yang di

lakukan wanita yang baru di talak oleh suaminya.1

Macam-macam Iddah:

a. Iddah seorang perempuan yang ditalak hidup atau mati dalam

keadaan hamil, maka waktunya adalah hingga dia melahirkan.

b. Iddah perempuan yang ditalak tetapi tidak dalam keadaan hamil

maka waktunya adalah tiga kali suci.

c. Iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya sedangkan ia sedang

tidak hamil, maka waktunya adalah 4 bulan 10 hari.

d. Iddah wanita yang belum di gauli maka ia tidak memiliki waktu

menunggu (iddah).

Terkait pertanyaan yang diajukan oleh penannya kepada Ahmad

Hassan. Ada kerancuan dari soal yang di berikan oleh penannya kepada

Ahmad Hassan yaitu terhadap wanita yang di talak. Apakah wanita

tersebut di talak karena cerai hidup atau cerai mati, karena dalam hal

demikian berbeda masa iddahnya. Sedangkan jawaban dari Ahmad

1 Honey Miftahuljannah, A-Z Ta‟aruf, Khitbah, Nikah, dan Talak, ( Jakarta, Gramedia,

2014) h. 173.

Page 56: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

47

Hassan bahwa perempuan yang sedang iddah tidak boleh dinikahkan.

Ahmad Hassan mengambil dasar hukum melalui surat al-Baqarah ayat

228 yang menjadi dalil bahwa wanita yang iddahnya disebabkan talak

hidup dan tidak sedang keadaan hamil tidak boleh menikah sebelum tiga

kali suci.

Jadi metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk

menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam kategori

metode istinbath hukum bayani, yakni berupa memahami makna dari

teks al-Qur‟an dan Hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.

2. Nikah Melalui Perantara Telepon

Pernikahan dengan perantara telepon dalam konteks bahasa yaitu,

pernikahan yang akad nikahnya dilakukan melalui jalan telekomunikasi

lewat suara atau yang disebut sebagai via telepon. Secara istilah

umumnya bahwa pernikahan dengan perantara telepon merupakan

pernikahan yang dilakukan oleh sebagian orang yang memungkinkan

untuk melaksanakan pernikahan, dan yang berada dalam keadaan jarak

jauh, dimana sebagian dari syarat dan rukun dalam pernikahan yang tidak

biasa dilaksanakan sesuai hukum yang ada. Dan sehingga mengharuskan

untuk terjadinya peroses pernikahan atau peroses ijab qabul dengan

melauli jalan telekomunikasi suara.

Masalah-masalah kontemporer khususnya dalam masalah

pernikahan, diharapkan mampu menjawab permasalahan tersebut, karena

Islam adalah agama yang memiliki kaidah fleksibilitas hukum, oleh

karena itu penulis berupaya menganalisa pertanyaan yang di ajukan

kepada Ahmad Hassan mengenai pernikahan yang dilakukan via telepon.

Seorang bertanya begini “ Sahkah menerima nikah dengan perantara

telepon?”

Dalam permasalah ini Ahmad Hassan menjawab, membolehkan

menikah melalui perantara telepon asalkan syarat-syaratnya terpenuhi

Page 57: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

48

lantaran di telepon bisa dikenali suaranya, dengan dalil hadits yang

diriwayatkan Abu Dawud yang berbunyi:

خب ادبش خسش.فبث بأسض اسبشت فد زببت وبج حسج عبذاهللا ب ا أ

أشب اسب اب هللا زغت سز ب ع ششزب بعث بب ا عت آالف دس

)سا اب داد اغبئ( اب .فمب2

Artinya “Dari Muhammad ibnu Hatim ibnu Bazi‟ menghadistkan

kepada kami oleh Ali ibnu Hassan ibnu Syaqiq dari ibn Mubarok dari

Yunus dari az-Zuhri : Bahwasanya Ummu Habibah adalah istri

Ubaidillah ibnu Jahsyi. Ketika Ubaidillah mati di negeri Habsyah maka

raja Najasyi menikahkan Ummu Habibah kepada Nabi dan ia bayarkan

maharnya 4000 Dirham, kemudian ia kirim kepada Nabi bersama

Syurohbil ibnu Hassanah maka Nabi menerimanya”.

Hadits di atas sebagai dasar kebolehan menikah melalui telepon yang

di ambil oleh Ahmad Hassan melalui metode istinbath hukum Bayani,

yakni dengan memahami dari teks dan makna hadits yang bersangkutan

dengan masalah hukum tersebut.

Meski pernikahan melalui telepon tidak dibahas oleh ulama-ulama

fiqih kelasik, namun ada beberapa hal yang dapat di identifikasi melalui

perspektif fiqih yaitu masalah syarat ijab qabul dan kehadiran saksi.

a. Syarat Ijab dan Qabul

1) Kedua belah pihak sudah Mumayyiz

2) Ijab dan Qabul dalam satu majlis

3) Makna ijab dan qabul tidak saling bertentangan

4) Lafadz yang digunakan dalam ijab dan qabul adalah lafadz yang

memenuhi syarat dan harus menggunakan lafadz al-tajwiz (saya

kawinkan) atau al-nikah (saya nikahkan).

5) Sigat tersebut dapat di dengar oleh kedua belah pihak dengan

jelas.3

2 Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, No:1786 (Kairo:

Daar Ibnu Al-Jauzi,2011) h. 450 3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jil.ii, Di Terjemahkan Muhammad Thalib, (Bandung : al-

Ma‟arif, 1987), h.22.

Page 58: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

49

Pada kasus pernikahan melalui telepon, syarat yang

dipermasalahkan adalah bersatunya majelis ijab dan qabul.

Penyatuan majelis di sini bermakna bahwa ijab dan qabul tidak

diselingi atau dipisahkan oleh kalimat asing atau aktivitas lain di

luar sigat nikah. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa

meski lafadz kabul tidak diucapkan secara beriringan, misalnya

mempelai lelaki sempat terdiam lama sebelum mengucapkan kabul

maka akad nikah tetap sah selama tidak diselingi oleh kalimat dan

aktivitas lain.4

Syafi‟iyah dan Malikiyah mengemukakan bahwa disyaratkan

untuk bersegera mengucapkan lafadz qabul setelah kalimat ijab

selesai.5 Maksudnya yaitu tidak boleh ada jeda waktu antara kedua

lafadz tersebut yang menunjukkan bahwa pihak mempelai tidak

menyetujui akad tersebut.

Terlihat dari beberapa pendapat tersebut, adanya syarat

penyatuan majelis ijab dan qabul ditekankan pada kesinambungan

waktu antara ijab dan qabul agar kedua belah pihak saling

menunjukkan kerelaan dan persetujuan dalam akad nikah. Oleh

karena itu, meski pernikahan dengan media telepon tidak

mempertemukan kedua belah pihak dalam satu tempat, namun

tetap dianggap sah jika memenuhi kriteria kesinambungan waktu

ijab dan kabul. Jika pada saat proses ijab dan kabul dilaksanakan,

kemudian terjadi masalah seperti operator telepon menyela ijab

dan kabul atau koneksi tiba-tiba terputus maka sebaiknya akad

diulang dengan berpegang pada pendapat Syafi‟iyah untuk lebih

berhati-hati.

Pada zaman Rasulullah, pernikahan yang tidak

mempertemukan para pelaksana akad dalam satu tempat juga

pernah terjadi. Bedanya, pernikahan di zaman itu menggunakan

4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, h.23.

5 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islaam wa Adillatuh, Jil ix,(Suriah: Dar al-Fikr, 2002),

h.6536.

Page 59: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

50

sistem perwakilan atau media tulisan yang dibawa oleh

seorang utusan. Dalam kasus seperti ini, salah satu pihak

menulis kalimat ijab dengan tulisannya sendiri lalu menyerahkan

kepada seorang utusan yang membawa surat tersebut kepada pihak

perempuan atau walinya menuliskan kalimat qabul sebelum surat

tersebut dibawa kembali oleh utusan tadi.6

b. Kehadiran saksi

Dalam proses pernikahan biasa, kehadiran saksi sangat

dibutuhkan sebagai bentuk atau ta‟kid (penguat) terhadap

keabsahan akad nikah sehingga jika terdapat masalah, saksi dapat

memberikan kesaksian yang diperlukan. Jika pernikahan via telepon

tidak mempertemukan para pelaksana akad, maka kehadiran saksi

tentu memiliki peran yang lebih besar untuk memberikan

pengawasan terhadap keabsahan pada proses akad nikah.

Pada kasus pernikahan melalui telepon, terpisahnya pihak-pihak

yang melakukan akad akan menyebabkan ketimpangan dalam

persaksian. Beberapa ulama fiqih seperti Hanafiyah berpendapat

bahwa dalam pernikahan beda tempat seperti menikah dengan

mengirimkan tulisan maka saksi-saksi diwajibkan untuk mengetahui

apa yang tertulis dalam surat sekaligus menyaksikan langsung qabul

yang dilakukan oleh pihak kedua. Dalam pernikahan seperti itu,

Hanafiyah tidak mengharuskan kedua saksi berada di kedua tempat.

Misalnya, jika pihak pertama mengirim utusan ke pihak kedua yang

berada di tempat lain, maka saksi cukup berada di tempat pihak

kedua untuk mendengar ijab yang diucapkan oleh utusan tersebut

dan kabul dari pihak perempuan.7

Syafi‟iyah menafsirkan bahwa kehadiran dua orang saksi

merupakan salah satu syarat sahnya akad, sehingga jika syarat

6 Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fi „Aqdi al-Nikah wa Asaruhu (Kairo: Dar al-Fikr

al-„Arabi, 1971), h.81. 7 Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuh, h. 6531

Page 60: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

51

tersebut tidak terpenuhi akad pun menjadi batal. Kehadiran saksi

berarti keduanya melihat dan mendengar apa yang diucapkan

ketika ijab dan kabul berlangsung, meski keduanya tidak

mendengar jumlah mahar yang disebutkan.

Berbeda dengan Hanafiyah, Syafi‟iyah bahkan dengan tegas

menolak saksi yang hanya mendengar ijab kabul, tapi tidak dapat

melihat langsung. Oleh karena itu, Syafi‟iyah berpendapat bahwa

saksi harus melihat langsung proses akad (al-mu‟ayanah) karena

suara atau ucapan tidak cukup dengan didengar saja, tetapi perlu

dikuatkan dengan melihat secara langsung.8 Jadi, jika pernikahan

melalui perantara telepon dilakukan, akad tidak sah jika saksi hanya

mendengar suara salah satu pihak lewat pengeras suara.

Jika berpegang pada mazhab Hanafiyah, maka saksi yang hanya

mendengar lafadz ijab qabul lewat pengeras suara, tanpa melihat

siapa yang mengucapkan sudah dianggap sah. Namun, karena di

Indonesia mazhab yang mayoritas dianut adalah Syafi‟iyah, maka

penulis cenderung kepada pendapat Syafi‟iyah yang lebih ketat

dalam memberikan aturan saksi.

Dan untuk menjamin keabsahan akad ada solusi lain yaitu Video

Call, melalui telepon berbasis video kedua belah pihak serta saksi-

saksi yang hadir juga dapat melihat tayangan proses ijab qabul

secara jelas, maka nikah tersebut sah, kasus ini ada dalam fatwa

Lembaga Majelis Tajrih Muhammadiyah.9

Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sah

atau tidaknya pernikahan via telepon terletak pada terpenuhinya

syarat dan rukun nikah yang telah ditetapkan. Karena Pernikahan

sebagai salah satu bentuk ibadah yang menyatukan dua insan dalam

8 Syamsuddin al-Syaribnui, Mughni al-Muhtaj ila Ma‟rifati Ma‟ani Alfaz al-Minhaj, Juz 4

(Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.), h. 249 9 Lihat fatwa Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat

Muhammadiyah, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-vidieo-call.html, diakses

pada tanggal 31 Desember 2018.

Page 61: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

52

ikatan suci memang sepatutnya mengikuti aturan yang telah

ditetapkan dalam agama. Aturan tersebut bukan hanya memberikan

jaminan keabsahan akad nikah, tetapi juga masa depan pernikahan

kelak.

Jadi, metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk

menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam

kategori metode istinbath hukum Bayani, karena Ahmad Hassan

Mengambil dalil dari Hadits yang diriwayatkan oleh Abu

Dawud,yakni berupa memahami makna dari teks al-Qur‟an dan

Hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut.

3. Talak Tiga Dengan Sekali Ucapan

Persoalan ini muncul kepada Ahmad Hassan mengenai,

bagaimana hukumnya talak tiga yang dijatuhkan dengan sekali

ucapan, dan apakah boleh ia kembali kepada istrinya?

Sebelum penulis menerangkan jawaban Ahmad Hasan, penulis

terlebih dahulu menerangkan secara garis besar mengenai talak dan

macam macamnya. Talak dalam istilah bahasa ialah memutuskan

ikatan. Diambil dari kata itlaq yang artinya adalah melepaskan dan

meninggalkan.10

Sedangkan menurut istilah syara‟ , talak yaitu

“melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami

istri”.11

Fiqh talak mempunyai dua arti, umum dan khusus. Talak dalam

arti umum yaitu segala macam bentuk perceraian baik yang

dijatuhkan oleh suami, yang di tetapkan oleh Hakim maupun

perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena

meninggalnya salah seorang dari suami atau istri dan adapun talak

dalam arti khusus yaitu perceraian yang dijatuhkan oleh suami.

10

Kamal ibnu as-Sayyid Salim, Fiqh Sunnah Lin Nisa‟, Cet. i, (Jakarta: Tiga Pilar, 2007), h.

627. 11

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 191.

Page 62: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

53

Dari pengertian di atas maka, talak adalah melepaskan ikatan

antara suami-istri, sehingga diantara keduanya tidak berhak

berkumpul lagi dalam arti tidak boleh mengadakan hubungan suami-

istri tanpa diadakannya rujuk terlebih dahulu dalam masa iddahnya.

Macam - macam talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami

rujuk kembali dibagi menjadi dua macam yaitu:

a. Talak raj‟i

Talak raj‟i yaitu talak dimana suami mempunyai hak

merujuk kembali isatrinya setelah talak itu dijatuhkan dengan

lafadz-lafadz tertentu dan istri sudah benar-benar digauli.12

Firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 229

حغشر عشف أ غبن ب فئ حب ش اطلق أ ى ال س بئزغب

أال خفخ فئ ب زذد هللا خبفب أال م ئب إال أ ش خ ب آح حأخزا

ه زذد هللا ح ب افخذث ب ب ف فل خبذ ع ب زذد هللا فل حعخذب م

اظب ئه فأ خعذ زذد هللا (٢٢٢)ابمشة :

Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu

boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan

dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil

kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka,

kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan

hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya

(suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah,

maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang

diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-

hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka

itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Baqarah : 229)

Maksud ayat tersebut bahwa seorang suami berhak merujuk

istrinya setelah talak yang pertama ataupun yang kedua. Setelah

itu suami boleh memilih apakah meneruskan pernikahannya atau

bercerai, tetapi jika ia memilih bercerai maka ia wajib

menjatuhkan talak yang ketiga dan tidak berhak merujuk

istrinya kembali.

12

Abiddin Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h.17

Page 63: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

54

Dalam talak raj‟i suami memiliki hak untuk kembali kepada

istrinya (rujuk) sepanjang istrinya dalam masa iddah baik

istrinya bersedia maupun tidak. Adapun yang termasuk dalam

talak raj‟i adalah sebagai berikut:

1) Talak satu atau talak dua tanpa iwadh dan telak kumpul

2) Talak karena „ila yang dilakukan hakim

3) Talak hakamain artinya talak yang diputuskan juru damai

dari pihak suami ataupun dari pihak istri.13

b. Talak Ba‟in

Talak Ba‟in yaitu talak yang ketiga kalinya dan talak yang

jatuh sebelum suami istri berhubungan serta talak yang

dijatuhkan istri kepada suaminya. Talak bain dibagi menjadi dua

yaitu:

1) Talak ba‟in sugra

Talak ba‟in sugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk

tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas istrinya

meskipun dengan masa iddah. Adapaun yang termasuk

dalam kategori talak ba‟in sugra antara lain:

a) Talak karena fasakh yang dijatuhklan oleh hakim di

Pengadilan Agama.

b) Talak iwadh (ganti rugi), atau talak tebus berupa

khulu‟.

c) Talak sebab belum istri di dukhul. adapaun istri yang

ditalak sebelum di dukhul maka tidak ada iddahnya,

sehingga jika ingin kembali maka harus dengan akad

yang baru atau menikah lagi.

2) Talak Ba‟in kubro

Talak Ba‟in kubro adalah talak yang ketiga dari talak-

talak yang dijatuhi oleh suami. Seorang suami yang

mentalak ba‟in kobro istrinya boleh mengawini istrinya

13

Abiddin Aminuddin, Fiqh Munakahat, h. 34

Page 64: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

55

kembali apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

a) Istri telah kawin dengan laki-laki

b) Istri telah di dukhul oleh suaminya yang baru

c) Istri sudah dicerai oleh suami yang baru

d) Telah habis masa iddahnya. 14

Macam-macam talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkan

dibagi menjadi dua macam :

a. Talak bid‟i

Talak bid‟i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai dengan

ketentua agama. Adapun yang dimaksud dengan talak bid‟i

antara lain:

1) Talak yang dijatuhkan kepada istri disaat dalam keadaan

suci dan telah dicampuri, sedang masalahb hamil atau

tidaknya belum diketahui

2) Talak yang dijatuhkan kepada istri yang sedang haid atau

nifas

3) Menjatuhkan talak ketiga kali secapa berpisah pisah dalam

satu majlis.15

b. Talak sunni yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami istri

dengan ketentuan agama. Adapun yang termasuk talak sunni

antara lain:

1) Talak yang dijatuhkan kepada istri dalam keadaan suci

dalam belum di dukhul.

2) Talak yang dijatuhkan oleh suami pada saat istri sedang

hamil.

Kemudian selanjutnya mengenai permasalahan yang diajukan

kepada Ahmad Hassan tentang talak tiga yang diucapkan dengan

14

Soemiyati, Hukum perkawinan, ( Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 109 15

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, penerjemah M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka

Kautsar, 1999), h.211

Page 65: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

56

sekali ucapan beliau menjawab dengan memaparkan dalil sebagai

berikut:

ح أخبش بعط خش اق أخبشب اب ص ثب عبذ اش صبر زذ ذ ب ثب أز زذ

ى اب ت عىش ع ع ع صى هللا ى اب ب أب سافع

عببط لبي غك ع اب ىر عببط ع سوبت أ ح إخ بذ ضذ أب سوبت

ب غ ع إال فمبج ع ع صى هللا ت فدبءث اب ض شأة ا

سأعب عشة شعشة أخزحب اش ب حغ ز فأخزث و ب ق ب ففش

أحش لبي دغبئ ث ح إخ ت فذعب بشوبت ز ع ع صى هللا اب

وزا فلب شب عبذ ضذ وزا وزا فلب شب وزا لبا ع

شأحه لبي ساخع ا ث عبذ ضذ غمب ففع ع ع صى هللا لبي اب

ج ساخع لبي لذ ع لبي إ غمخب ثلثب ب سعي هللا ح إخ سوبت ب أ

حل { ح عذ اغبء فطم إرا غمخ ب اب د { ب أ لبي أب دا

ع أب سوبت ع ضذ ب ب ع ب عبذ هللا ش عد زذث بفع ب

سوبت أ أصر خذ ع ع صى هللا اب بخت فشدب إ شأح ا غك ا

بخت فدعب اب شأح ا ب غك ا سوبت إ إ ب أع أ خ ذ اش ل

ع ازذة صى هللا ع . 16

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami [Ahmad ibnu Shalih],

telah menceritakan kepada kami [Abdurrazzaq], telah mengabarkan

kepada kami [Ibnu Juraij] telah mengabarkan kepadaku [sebagian

anak-anak Abu Rafi'] mantan budak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

dari [Ikrimah] mantan budak Ibnu Abbas, dari [Ibnu Abbas], ia

berkata; Abdu Yazid? dan saudara-saudaranya yaitu Abu Rukanah

telah mencerai Ummu Rukanah dan menikahi seorang wanita dari

Muzainah, kemudian wanita tersebut datang kepada Nabi shallallahu

'alaihi wasallam dan berkata; ia tidak memberiku kepuasan kecuali

seperti sehelai rambut ini. Ia mengambil sehelai rambut dari

kepalanya. Maka Kemudian beliau berkata kepada orang-orang yang

duduk bersamanya: "Apakah kalian melihat Fulan menyerupai

demikian dan demikian dari Abdu Yazid? dan Fulan menyerupai

darinya demikian dan demikian?" Mereka mengatakan; ya. Nabi

shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada Abdu Yazid?: "Ceraikan

dia!" Lalu ia melakukan hal tersebut, kemudian beliau berkata:

"Kembalilah kepada isterimu yaitu Ummu Rukanah!" Ia berkata;

sesungguhnya aku telah mencerainya tiga kali wahai Rasulullah.

Beliau berkata: "Aku telah mengetahui, kembalilah kepadanya!" Dan

beliau membacakan ayat: "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-

16

Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, No: 1877 (Kairo:

Daar Ibnu Al-Jauzi,2011) h.843

Page 66: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

57

isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka

dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)." Abu Daud berkata; dan

hadits Nafi' ibnu 'Ujair, [Abdullah ibnu Ali ibnu Yazid? ibnu Rukanah]

dari [ayahnya] dari [kakeknya] bahwa Rukanah telah isterinya sama

sekali, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengembalikannya

kepada Rukanah, hadits tersebut lebih shahih karena anak seseorang

dan keluarganya lebih mengetahuinya. Sesungguhnya Rukanah telah

mencerai isterinya sama sekali dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

menjadikannya sebagai satu kali talak.

Dari hadits di atas ahmad Hassan menyimpulkan bahwa:

a. Jika seorang suami mengucapkan kepada istrinya “ aku beri

kepadamu tiga talak atau aku talak tiga akan dikau atau saya cerai

kamu dengan talak tiga” , dan sebagainya, maka Ahmad Hassan

menerangkan bahwa hanya menjadi satu talak saja

b. Ahmad Hassan menerangkan mentalak istri dengan sekali ucapan

sama saja mempermainkan kitab Allah yaitu al-Qur‟an. Karena di

dalam alquran menyebutkan bahwa talak yang boleh kembali lagi

yaitu talak dua saja, yakni mentalak istri sekali lalu kembali lagi,

dan mentalak sekali lagi lalu kembali dan sesuadah talak yang

ketiga tidak boleh kembali lagi .

Ahmad Hasan memperkuat keterangannya dengan dalil naqli Q.S

al-Baqoroh ayat 229:

حأخزا أ ى ال س حغشر بئزغب عشف أ غبن ب فئ حب ش اطلق

أال م خفخ فئ ب زذد هللا خبفب أال م ئب إال أ ش خ ب آح ب زذد هللا

خعذ زذد هللا فل حعخذب ه زذد هللا ح ب افخذث ب ب ف فل خبذ ع

اظب ئه (٢٢٢)ابمشة : فأ

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh

rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara

yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari

yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya

khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika

kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat

menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya

tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.

Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Page 67: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

58

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah

orang-orang yang zalim.”. (QS Al-Baqoroh : 229)

Keterangan tersebut di atas sesuai dengan fikiran, karena itu

artinya “lepas atau “melepaskan”. Kalau kita sebut “aku lepaskan

engkau tiga kali” , kelepasan itu hanya menjadi satu kali saja. begitu

juga kalau kita berkata kepada seorang yang bekerja kepada kita : “

aku berhentikan engkau tiga kali” umpamanya, berhentinya orang itu

hanya kejadian sekali saja.17

Ahmad Hassan menerangkan ayat di atas dengan penalaran dan

mencoba memahami ayat tersebut kemudian beliau menyimpulkan

dari ayat tersebut, bahwa talak tiga yang di ucapkan dengan sekali

ucapan di dalam waktu yang sama hanya terjadi satu, Ahmad Hassan

mengumpamakan dengan seseorang yang bekerja dan di berhentikan

oleh majikannya dengan sekali ucapan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan Ahmad

Hasasan dalam menetapkan hukum ini adalah metode Bayani atau

analisis kebahasaan, yaitu berupaya untuk memahami makna dari

teks al-Qur‟an dan hadist yang bersangkutan dengan talak tiga yang

diucapkan dengan sekali ucapan dengan kaidah kebahasaan.

4. Kebolehan Wanita Menikah Tanpa Wali

a. Pendapat Ahmad Hassan tentang menikah tanpa wali

Pendapat Ahmad Hassan dalam bukunya yang berjudul Soal

Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, Ahmad Hassan telah

mengungkapkan panjang lebar tentang bolehnya wanita gadis

menikah tanpa wali. Sebelumnya sampai pada kesimpulan dan

pendapatnya, Ahmad Hassan, mengawali uraiannya dengan

menampilkan alasan golongan yang menganggap tidak sah menikah

tanpa wali.

17

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, ( Bandung, CV.

Diponegoro, 2007) h. 589

Page 68: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

59

Dalam bukunya itu beliau mengatakan bahwa beliau akan

merangkan terlebih dahulu alasan- alasan golongan yang berkata,

bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak dengan wali, kemudian

beliau akan menerangkan juga alasan-alasan golongan yang

menganggap tak perlu wali buat nikah. Sesudah itu beliau juga akan

menerangkan golongan yang menganggap perlu wali buat perawan

saja. Ada pula satu golongan lain menganggap, bahwa wali itu perlu

di dalam urusan nikah, tetapi tidak sebagai satu syarat, yakni sah

nikah dengan tidak berwali. Kemudian setelah menerangkan alasan-

alasan mereka, barulah beliau membuat pandangan atau bantahan

atas pendapat dari golongan-golongan tersebut. Lalu beliau akan

ambil keputusan di mana-mana tempat yang perlu.18

Alasan golongan pertama menurut Ahmad Hassan adalah

hadist- hadist sebagai berikut :

ع اب بشدة ب اب عى ع اب لبي : لبي سعي هللا صى هللا ع ع

)سا ازذ السبعت صسس اب اذ اخشزي اب : ال ىبذ اال ب

19 .زبب اع بشع(

Artinya: Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa, r.a. dari ayahnya

r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada pernikahan

kecuali dengan seorang wali. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad. dan

al-Arba'ah (Abu Daud At Tirmidzi, An Nasa'i dan Ibnu Majah),

dan dinilai shahih oleh Ibnul Madini, At-Tirmidzi dan Ibnu

Hibban, tetapi beliau menilainya cacat karena mursal.

Kemudian hadits kedua :

عب لبج : لبي سعي هللا صى هللا ع ع ع عب ئشت سظ هللا

إشاة ىسج بغش ار ب فىبزب ببغ، فب دخ بب فب اش بب

اعخس فشخب، فب اشخدشا فب غطب ب. اخشخ االسبعت

20.اال اغئ، صسس اب عات اب زبب اسبو

18

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h. 370-371 19

Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h. 582 20

Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h. 583

Page 69: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

60

Artinya : Dari Aisyah r.a. beliau berkata : Rasulullah SAW.

bersabda: Mana saja perempuan yang menikah tanpa seizin

walinya, maka pernikahannya batal. Jika suaminya telah

mencampurinya, maka dia (wanita) itu berhak mendapatkan mahar

karena dia sudah menganggap halal farajnya. Lalu jika mereka

(para wali) itu bertengkar, maka sultanlah yang menjadi wali bagi

orang yang tidak mempunyai wali baginya. Diriwayatkan oleh al-

Arba'ah selain An-Nasa'i. (berarti hanya Abu Daud, at-Tirmidzi dan

Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh: Abu Uwanah, Ibnu Hibban

danAl Hakim).

ع ابى ششة سظ هللا ع لبي : : لبي سعي هللا صى هللا ع ع ،

ا ضج ال ح ب )سا اب بخ اذاس فغ اشءة ضج ، ال ح ة شء ا ة شء

امط سخب ثمبث( 21

Artinya : Dari Abu Hurairah ra berkata: bersabda

Rasulullah SAW,. wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan

wanita tidak boleh mengawinkan dirinya (H.R. Ibnu Majah dan

Daraquthni, dan para perawinya orang-orang terpercaya).

Sementara itu, Alasan golongan kedua menurut Ahmad

Hassan adalah berdasar dalil-dalil sebagai berikut:

Firman Allah SWT dalam surah al-Baqoroh ayat 230 :

غمب فل خبذ ش فئ خب غ ىر ص بعذ زخى ح غمب فل حس فئ

ب م ب ه زذد هللا ح ب زذد هللا م ظب أ خشاخعب إ ب أ ع

(٢٣)ابمشة : ع

Artinya : Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak

yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga

dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain

itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas

suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya

berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah

hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)

mengetahui. (QS. al-Baqoroh : 230)

21

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugul Maram (Suriah: Dar al-Fikr, 1991) h. 211

Page 70: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

61

Maksudnya, menurut Ahmad Hassan bahwa seorang perempuan

apabila ditalak tiga oleh suaminya, maka tidak boleh ia kembali

kepada laki-laki itu, melainkan sesudah ia kawin kepada orang lain.

Firman Allah SWT Surat Al-Baqarah Ayat 232 :

ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ إرا غمخ ا إرا حشاظ اخ أص

ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب

عشف ر بب ب

ال حع خ أ ع هللا أغش (٢٣٢)ابمشة : أصوى ى

Artinya : Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis

masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi

mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat

kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang

dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi

dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain. (QS. al-

Baqarah : 232)

Maksudnya,menurut Ahmad Hassan adalah, bahwa seorang

perempuan, apabila sudah dipinang dan sudah suka sama suka

kepada laki-laki itu dengan cara sopan, maka tidak boleh wali

melarang dia kawin dengan laki-laki itu.

Sabda Nabi SAW :

ع لبي: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع ابى ششة

ع: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي

هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(22

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):

Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh dinikahkan

perempuan janda itu sehingga ada perintah dan perempuan gadis

tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya. Mereka

bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya? Beliau

menjawab : Diamnya. (Muttafaq 'alaih).

22

Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v,

(Beirut: Daar al-Hadit, 1987) h. 175

Page 71: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

62

Ahmad Hassan Menerangkan bahwa wali tidak perlu campur

tangan di dalam urusan kawin perempuan janda yang berada di

dalam tanggungannya. Sabda Rasulullah SAW :

صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب

سا غ. ف فع ظ ع اثب أش ابىش حغخأش ارب عىحب.

اخت حغخأش )سا اب داد اغبئ صسس اب زبب(23

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (katanya) : Sesungguhnya Nabi

saw. bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap dirinya

daripada walinya. Dan gadis dimintai izinnya dan izinnya

adalah diamnya. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu

susunan matannya : Tidak ada perintah bagi wali bersama/terhadap

janda, dan perempuan yatim dimintai izinnya. (Diriwayatkan

oleh Abu Daud dan An-Nasa'i serta dinilai shahih oleh Ibnu

Hibban)

Golongan ketiga menurut Ahmad Hassan menyatakan

bahwa sekalian keterangan yang menunjukkan perempuan boleh

kawin sendiri (tak pakai wali), itu ditujukan pada wanita janda.

Adapun wanita yang berstatus masih gadis, maka tidak ada

keterangan yang membolehkan kawin tanpa wali.

Alasan golongan keempat, menganggap wali perlu,

tetapi tidak sebagai syarat sah nikah, adalah yang berdasarkan

peristiwa Aisyah yang pernah mengawinkan seorang anak

perempuan dengan tidak pakai wali. Alasan lainnya karena

perempuan mempunyai kekuasaan sendiri, dan wali itu tidak

berkuasa apa-apa.

Menurut Ahmad Hassan bahwa di dalam tiap-tiap urusan, kalau

ditinggalkan atau kelupaan pokok atau asal, niscaya urusan itu tidak

beres. Tiap tiap satu perkara, ada pokoknya atau asalnya. Yang

dimaksudkan pokok atau asal di dalam perkara wali ini, ialah

kemerdekaan seorang yang diurus oleh si wali.

23

Muhammad ibnu Ismail ibnu al-Mughirah ibnu Bardizibah al-Bukhari, Shahih Bukhari,

Kitab An-Nikah no.5136

Page 72: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

63

Seorang anak, selagi ia masih belum baligh, memang di dalam

tanggungan ibu-bapaknya atau walinya. Di hari ia baligh, hilanglah

hukum kewajiban ibu bapak dan kekuasaan wali; dan mulai dari hari

itu, dia terhitung sebagai orang yang cakap melakukan tindakan

hukum, bukan sebagai anak- anak lagi.24

Kalau ia mendapat pusaka dari orang-orang tuanya, wajib

diserahkan kepadanya. Harta benda itu boleh ia urus

menurut kemauannya, dengan tidak dapat teguran dari siapa-siapa,

kecuali kalau ia boros atau digunakan di maksiat. Jadi, seorang

yang sudah baligh, boleh mengurus dirinya itu, dinamakan pokok

atau asal. Tentang tiap-tiap orang sesudah baligh mempunyai

kemerdekaan seperti yang tersebut itu, sudah diakui oleh Agama,

akal dan adat.25

Menurut Ahmad Hassan, orang-orang yang menganggap

bahwa seorang perempuan itu tidak boleh dan tidak berkuasa

mengawinkan dirinya, maka anggapan itu berarti menghilangkan hak

kemerdekaan untuk mengurus diri. Padahal ada keterangan-

keterangan yang dijadikan alasan oleh golongan yang menganggap,

bahwa seorang perempuan itu boleh mengawinkan dirinya,

anggapan mana berarti menguatkan hak kemerdekaan seorang yang

sudah baligh dalam mengurus dirinya.

Dengan pemaparan yang singkat itu ,dapatlah dikatakan bahwa

keterangan-keterangan yang ditunjukkan buat menghilangkan hak

kemerdekaan mengurus diri itu perlu alasan yang kuat. sedangkan

keterangan yang menyokong adanya hak kemerdekaan mengurus diri

itu tentu tidak perlu disertai alasan yang kuat, tetapi kalau kuat, lebih

utama demikian ungkap Ahmad Hassan.

Menurut Ahmad Hassan, dari pembicaraan wali itu bisa timbul

beberapa pertanyaan:

24

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.378 25

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.378

Page 73: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

64

1. Kalau perempuan boleh mengurus dirinya dan boleh buat itu dan

ini, apa guna ada wali ?

2. Menurut kaidah yang sudah umum terkenal, bahwa beberapa

Hadits yang lemah, kalau berkumpul, bisa jadi kuat.26

Selanjutnya Ahmad Hassan menjawab pertanyan-pertanyaan

tersebut dengan jawaban berikut :

1. Harus diakui, bahwa di tiap-tiap rumah perlu ada seorang laki-

laki yang menjadi pengawal, pengurus dan pembela rumah

tangga itu daripada segala macam kejelekan dan kenistaan,

terutama sekali yang berhubungan dengan kehormatan,

teristimewa pula yang berhubungan dengan kehormatan

perempuan. Si pengurus yang mempunyai kekuasaan itu kita

namakan wali, dan menurut pandangan sebagian ulama, wali itu

boleh mencegah kalau anak perempuan yang di dalam

penjagaannya mau kawin dengan orang yang tidak pantas. Si

wali itu perlu untuk mengurus perkara-perkara atau urusan yang

mana si perempuan tak dapat mengurusnya.

2. Menurut kaidah memang Hadits-hadits yang dha'if, kalau

berkumpul yakni kalau banyak, bisa jadi kuat, tetapi

yang demikian itu memerlukan syarat. Adapun Hadits yang

mewajibkan pakai wali itu tak bisa jadi kuat dengan sebab

banyaknya, karena berlawanan dengan beberapa keterangan

yang memang kuat. Lantaran itu tak boleh di pakai Hadits itu

buat mewajibkan wali, hanya di pakai untuk menyunnatkan saja.

Jadi, berarti, bahwa di kawinkan oleh wali atau berkawin

dengan ridlanya wali itu lebih baik daripada tidak. Setelah

menguraikan panjang lebar persoalan nikah tanpa wali, maka

Ahmad Hassan sampai pada kesimpulan bahwa: “Tidak wajib

26

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.386

Page 74: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

65

pakai wali di dalam pernikahan, tetapi hukumnya hanya

sunnat.27

b. Metode istinbath hukum Ahmad Hassan tentang kebolehan menikah

tanpa wali

Adapun metode Istinbath hukum tentang kebolehan wanita

menikah tanpa wali yang pakai oleh Ahmad Hassan dalam

menggunakan metode istimbath hukum ialah al-Qur‟an, Sunnah

Nabi, Ra„yu. Pertama, al- Qur‟an, yaitu wahyu yang diturunkan

dengan lafal bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT, melalui

wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW., ia

merupakan dasar dan sumber utama bagi syari‟at.

Ayat yang dijadikan dasar untuk mendukung pendapatnya

adalah surat al-Baqarah ayat 232 :

إرا غمخ ا إرا حشاظ اخ أص ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ

ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب

عشف ر بب ب

هللا أغش أصوى ى ال حع خ أ (٢٣٢)ابمشة : ع

Artinya: apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa

iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka

kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan

di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang

dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-

Baqarah : 232)

Al-Qur„an tidak banyak memberikan hukum-hukum yang terinci

dan pasti terhadap masalah-masalah yang menyangkut bidang

muamalah bahkan al-Qur‟an melarang para sahabat banyak

bertanya kepada Nabi mengenai hukum-hukum yang belum

diperlukan. Sebab, jangan sampai terjadi karena banyak pertanyaan

akan mengakibatkan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya,

seperti kasus seorang Yahudi yang banyak bertanya tentang

27

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.386

Page 75: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

66

bagaimana sapi yang harus mereka sembelih. Terhadap sesuatu yang

menjadi penyakit masyarakat, beban-beban hukumnya pun diberikan

secara bertahap, seperti hukum zina misalnya.

Kedua, mengenai hadits yang dijadikan dasar untuk

mendukung pendapatnya adalah Sabda Nabi S.A.W :

: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع لبيع ابى ششة

عي : ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسع

28 .هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):

Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh dinikahkan

perempuan janda itu sehingga ada perintah dan perempuan gadis

tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya. Mereka

bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya? Beliau

menjawab: Diamnya (Muttafaq 'alaih).

Sebagai sumber hukum yang kedua, Ahmad Hassan memilih

pendapat ahli ushul yang memformulasikan hadits dengan: segala

perbuatan, ucapan dan taqrir.

Dalam menggali hukum terhadap masalah-masalah baru yang

bersifat mubah, Ahmad Hassan menggunakan metode analogi

deduksi rasional seperti yang dipakai oleh Abu Hanifah. Metode

tersebut oleh ulama Hanafiah didefinisikan sebagai perluasan

hukum dari nash asli ke dalam proses yang digunakan pada suatu

kasus tertentu dengan memakai illat umum, yang tidak dapat

diketahui jika hanya dengan menafsirkan bahasa yang dipakai oleh

nash.

Adapun terhadap masalah-masalah yang telah

ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu,

baik yang dihasilkan dari kalangan sunni semua mazhab yang ada

dan pernah ada juga dari kalangan syiah, khawarij dan lain-lain,

28

Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v,

(Beirut: Daar al-Hadit, 1987) h. 175

Page 76: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

67

A.Hassan menggunakan metode komparasi (muqarin). Yakni

membandingkan antara satu pendapat dengan pendapat yang

lain dan memilih mana yang lebih baik dan lebih dekat kepada

kebenaran dan didukung oleh dalil-dalil yang terkuat.29

Tentang hal anjurannya agar melakukan kajian komparasi

dengan pendapat-pendapat dari aliran non sunni, ia beralasan, bukan

saja metode ini digunakan juga oleh para muhakikin tetapi lebih

dari itu, ulama mereka sebenarnya adalah golongan umat Islam

yang berijtihad. Maka para mujtahid itu adakala benar, ada kala

salah.

Dalam mengkaji fiqih warisan fuqaha masa lalu,

harus dilakukan kajian komparasi secara terpadu dari semua

aliran. Sebab, kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh salah satu

aliran saja. Menurut pendapat Ahmad Hassan, dengan melakukan

kajian perbandingan terpadu ini, maka problem hukum yang terus

berkembang itu dapat diketemukan teori dan acuan dasarnya pada

apa yang telah dikemukakan oleh para fuqaha terdahulu. Kaidah-

kaidah fiqih yang diajukan mereka masih tetap relevan.

Di samping itu, dengan menggunakan metode perbandingan

terpadu ini, fiqih akan tetap selalu muda, mempunyai daya tumbuh

dan berkembang tanpa perlu melepaskan diri dari acuan dasar

yang telah digali oleh para fuqaha terdahulu, yang telah dikerjakan

dengan susah payah, penuh ketekunan dan dengan cita-cita yang

luhur serta ikhlas. Fiqih yang selalu muda pastilah dapat

mengikuti perkembangan masyarakat modern dan memenuhi

kebutuhan hukum mereka.

Manfaat lain yang dapat diperoleh dengan melakukan kajian

komparasi terpadu ialah pertama, mengetahui pendapat-pendapat

yang disepakati dan yang diperselisihkan. Kedua, mengetahui sebab-

29

Ahmad Hassan, Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama, h.371

Page 77: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

68

sebab timbulnya perselisihan, karena mengetahui perbedaan metode

dan pendekatan yang digunakan oleh masing - masing fuqaha.

Ketiga, memperoleh ketetapan hati terhadap hukum yang

diistimbathkan, karena diketahui mana hukum yang dikutip dari al-

Qur‟an, mana yang dari hadits, mana yang melalui qiyas dan mana

yang menggunakan kaidah-kaidah khusus dari suatu madhzab. Di

samping itu, dengan menggunakan metode komparasi ini, dapat pula

dijelaskan persamaan dan perbedaan antara hukum adat dan hukum

positif di suatu negeri pada satu pihak dengan fiqih pada pihak yang

lain. Kemudian, akan diperoleh pula wawasan yang luas sehingga

dimungkinkan untuk memilih secara tepat, mana yang lebih kuat

dalilnya, lebih dekat kepada kebenaran dan dapat membawa

kemaslahatan kepada umat dan mencerminkan kepada ruh

syari‟at.Dengan menggunakan kajian komparasi, maka usaha

kompilasi hukum Islam, lebih mudah dapat dikerjakan. Sebab,

mudah memilih mana materi hukum yang lebih sesuai dengan situasi

dan kondisi Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

istimbath hukum yang digunakan ahmad Hassan dalam

membolehkan wanita menikah tanpa wali adalah al-Qur'an surat al-

Baqarah ayat 232 dan hadits dari Abu Hurairah.

c. Analisis pendapat Ahmad Hassan tentang kebolehan menikah tanpa

wali

Salah satu pendapat Ahmad Hassan hubungannya dalam wali

pernikahan beliau menyatakan membolehkan wanita menikah tanpa

wali. Seperti yang di ungkapkan dalam bukunya sebagai berikut :

Keterangan-keterangan itu tak dapat dijadikan alasan untuk

mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, karena

berlawanan dengan beberapa keterangan dari al-Qur'an, Hadits dan

riwayatnya yang sahih dan kuat. Dengan tertolaknya keterangan-

keterangan yang mewajibkan wali itu, berarti wali tidak perlu,

artinya tiap-tiap wanita boleh menikah tanpa wali. Jika sekiranya

Page 78: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

69

seorang wanita tidak boleh menikah kecuali harus ada wali, tentunya

al-Qur'an menyebutkan tentang itu.

Perlu dijelaskan bahwa Ahmad Hassan membolehkan wanita

menikah tanpa wali dengan berdasarkan kepada Al-Qur„an dan

beberapa Hadist. Dalam al Qur„an terdapat pada surat al-Baqarah

ayat 232. Sedangkan beberapa Hadits yang dijadikan dasar untuk

menguatkan pendapatnya maka Ahmad Hassan dalam bukunya

mencatumkan beberapa Hadits sebagai berikut :

: لبي سعي هللا صى هللا ع سظ هللا ع لبيششة ع ابى ششة

: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي ع

30 .هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):

Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh

dinikahkan perempuan janda itu sehingga ada perintah dan

perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai

izinnya. Mereka bertanya: Ya, Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya?

Beliau menjawab : Diamnya. (Muttafaq 'alaih).

Maksud Ahmad Hassan bahwa wali tidak perlu campur tangan

di dalam urusan kawin perempuan janda yang di dalam

tanggungannya. Sabda Rasulullah S.A.W :

صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب

فع ظ ع اثب أش ابىش حغخأش ارب عىحب. سا غ. ف

اخت حغخأش )سا اب داد اغبئ صسس اب زبب(31

Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. (katanya) :Sesungguhnya Nabi

saw. bersabda : perempuan janda lebih berhak terhadap

dirinyadaripada walinya. Dan gadis dimintai izinnya dan izinnya

adalah diamnya. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam suatu

susunan matannya : Tidak ada perintah bagi wali bersama/terhadap

30

Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil v, h.

175 31

Muhammad ibnu Ismail ibnu al-Mughirah ibnu Bardizibah al-Bukhari, Shahih Bukhari,

Kitab An-Nikah no.5136

Page 79: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

70

janda, dan perempuan yatim dimintai izinnya. (Diriwayatkan oleh

Abu Daud dan An-Nasa'i serta dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).

Kita mengaku, bahwa di tiap-tiap rumah perlu ada seorang laki-

laki yang menjadi pengawal, pengurus dan pembela rumah tangga

itu daripada segala macam kejelekan dan kenistaan, terutama

sekali yang berhubungan dengan kehormatan, teristimewa pula

yang berhubungan dengan kehormatan perempuan. Ahmad Hassan

menjelaskan bahwa pengurus yang mempunyai kekuasaan itu di

namakan wali, dan menurut pandangan sebagian ulama, wali itu

boleh mencegah kalau anak perempuan yang di dalam

penjagaannya mau berkawin dengan orang yang tidak pantas. Si wali

itu perlu buat mengurus perkara-perkara atau urusan yang mana si

perempuan tak dapat mengurusnya.

Menurut ka'idah memang Hadits-hadits yang dha'if,

kalua berkumpul yakni kalau banyak, bisa jadi kuat, tetapi

yang demikian itu di tentang urusan-urusan yang tidak ada lain-

lain keterangan melawan dia. Adapun Hadits yang mewajibkan

wali itu tak bisa jadi kuat dengan sebab banyaknya, karena

berlawanan dengan beberapa keterangan yang memang kuat.

Lantaran itu tak boleh di pakai Hadits itu buat mewajibkan wali,

hanya di pakai untuk menyunnatkan saja. Jadi, berarti, bahwa di

kawinkan oleh wali atau berkawin dengan ridlanya wali itu lebih

baik daripada tidak.32

Pendapat Ahmad Hassan di atas berbeda dengan pendapat ulama

lain, misalnya :

Sayyid Sabiq dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar tentang

masalah pernikahan. Dalam hubungannya dengan wali bahwa

wali merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan

kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.33

32

Ahmad Hassan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, h.386 33

Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h.240.

Page 80: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

71

Imam Malik ibn Anas dalam kitabnya mengungkapkan

masalah wali dengan penegasan bahwa seorang janda lebih berhak

atas dirinya daripada walinya, dan seorang perawan harus

meminta persetujuan walinya. Sedangkan diamnya seorang perawan

menunjukkan persetujuannya.

Fiqih Tujuh Mazhab yang dikarang oleh Mahmud Syalthut.

Dalam buku itu diungkapkan bahwa nikah tanpa wali terdapat

perbedaan pendapat yaitu ada yang menyatakan boleh secara mutlak,

tidak boleh secara mutlak, bergantung secara mutlak, dan ada lagi

pendapat yang menyatakan boleh dalam satu hal dan tidak boleh

dalam hal lainnya.

Ulama berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat

sahnya nikah atau tidak. Imam Malik berpendapat tidak ada nikah

tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Pendapat yang

sama dikemukakan pula oleh Imam Syafi‟i. Sedangkan Abu

Hanifah, Zufar asy-Sya‟bi dan Azzuhri berpendapat apabila

seorang perempuan melakukan akad nikahnya tanpa wali,

sedang calon suami sebanding, maka nikahnya itu boleh.34

Mengungkapkan pendapat Imam Abu Hanifah, bahwa

menurut Imam Abu Hanifah perempuan yang telah dewasa boleh

mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali jika sekufu, dan bagi

perempuan anak kecil maka baginya harus dengan wali.35

Imam Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda. Dia

mensyaratkan adanya wali pada gadis, dan tidak mensyaratkan pada

janda. Berdasarkan riwayat Ibnul Qasim dari Malik dapat

disimpulkan adanya pendapat lain, yaitu bahwa persyaratan wali itu

sunat hukumnya, dan bukan fardlu. Demikian itu karena ia

meriwayatkan dari Malik bahwa ia berpendapat adanya waris

34

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Seria, 1999), h. 84 35

Muhammad ibnu Abdurrahman ad-Dimasqy, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al A‟immah,

diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Hasyimi, 2013), h.

319

Page 81: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

72

mewarisi antara suami dengan istri yang perkawinannya terjadi

tanpa menggunakan wali, dan wanita yang tidak terhormat itu boleh

mewakilkan kepada seorang lelaki untuk menikahkannya. Malik

juga menganjurkan agar seorang janda mengajukan walinya

untuk mengawinkannya.36

Dengan demikian, seolah-olah Malik menganggap wali itu

termasuk syarat kelengkapan perkawinan, bukan syarat sahnya

perkawinan. Ini bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki

dari Baghdad yang menyatakan bahwa wali itu termasuk syarat

sahnya perkawinan, bukan syarat kelengkapan.

Dengan demikian masalah wali dapat dipertegas sebagai

berikut: jumhur ulama mensyaratkan adanya wali nikah dalam akad

perkawinan dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.

Menurut Ibnu Mundzir tidak terdapat seorang sahabatpun yang

menyalahi pendap Jumhur ini Imam Malik berpendapat bahwa

disyaratkan adanya wali nikah bagi wanita bangsawan dan tidak

disyaratkan bagi wanita biasa. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa

tidak disyaratkan adanya wali nikah dalam suatu akad perkawinan.

Ulama Dhahiriyah mensyaratkan adanya wali nikah bagi gadis dan

tidak mensyaratkan bagi janda. Abu Tsaur berkata bahwa wanita

boleh mengawinkan dirinya dengan izin walinya.

Menurut Imam Syafi'i, perkawinan tanpa wali

maka perkawinan demikian batal, karena perkawinan harus ada

izin dari walinya. Alasan Imam Syafi'i berpendapat seperti ini di

dasarkan pada hadits di bawah ini:

36

Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1, h. 84

Page 82: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

73

لبي سعي هللا صى هللا ع ع اب بشدة ب اب عى ع اب لبي:

. سا ازذ السبع صسس اب اذ اخشزي ع: الىبذ إال ب

37 .اب زبب اع بشعبي

Artinya: Dari Abu Burdah r.a. dari Abu Musa, r.a. dari ayahnya

r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada

pernikahan kecuali dengan seorang wali. Diriwayatkan oleh Imam

Ahmad. dan al-Arba'ah (Abu Daud At Tirmidzi, An Nasa'i dan

Ibnu Majah), dan dinilai shahih oleh Ibnul Madini, At

Tirmidzi dan Ibnu Hibban, tetapi beliau menilainya cacat karena

mursal.

Karenanya untuk mencegah madaratnya, maka adanya

wali sangat diperlukan. Dalam ushul fikih ada kaidah yang berbunyi:

غذة صست لذ دفع دسء افبعذ اي خب اصبر فئر حعبسض ف

افغذة غببب

Artinya : menolak kerusakan lebih diutamakan daripada

menarik kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah

dan maslahah, didahulukan menolak yang mafsadah.

d. Metode istinbath hukum hal wali kawin yang digunakan ahmad

hassan

Metode istinbat hukum yang digunakan Ahmad Hassan,menurut

penulis ia ternyata menafsirkan surat al-Baqarah ayat 232 :

ا إرا حشاظ اخ أص ىس أ فل حعع أخ اغبء فبغ إرا غمخ

ىخش ر ا ا ببلل ؤ ى وب ه عع ب

عشف ر بب ب

ال حع خ أ ع هللا أغش (٢٣٢)ابمشة : أصوى ى

37

Abu Dawud Sulaiman ibnu al-Asy‟ats as-Sijistan, Sunan Abu Dawud, h.582

Page 83: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

74

Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis

masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi

mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat

kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang

dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi

dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.” (QS. al-

Baqarah : 232)

Ahmad Hassan menjadikan Ayat diatas dijadikan sebagai

petunjuk dibolehkannya wanita menikah tanpa wali. Pendapat ini

tampaknya kurang tepat, karena ayat tersebut bukan menunjuk

pada wanita melainkan pada wanita janda. Dan ayat ini tak lebih

hanya sekedar menunjukkan larangan terhadap kerabat atau keluarga

seorang wanita untuk tidak mencegah atau menghalang-halangi

pernikahannya. Dalam hal ini, “pencegahan hanyalah dapat

dilakukan terhadap orang yang dalam genggamannya terletak

sesuatu yang dilarang tersebut. Dengan demikian, ayat itu telah

menunjukkan bahwa akad nikah berada di tangan wali, bukan dalam

tangan wanita.

Hal ini diperkuat oleh hadist yang menerangkan sebabnya turun

ayat itu. al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya, Abu

Dawud dan at- Tirmizi telah menshahihkan riwayat dari Ma‟qal ibnu

Yassar bahwa ayat ini turun berkenaan dengannya. Ia berkata, “Aku

menikahkan saudara perempuanku, kemudian suaminya

menceraikannya. Setelah habis masa iddahnya, mantan suaminya

datang meminangnya lagi dan aku katakan kepadanya, „aku telah

mengawinkan dirimu, telah kuberi tempat kepadamu dan telah

kumuliakan dirimu, tetapi engkau menceraikannya, lalu sekarang

engkau datang meminang lagi. Tidak demi Allah! Ia tidak boleh

kembali kepada dirimu selama-lamanya.”

Suami wanita itu adalah seorang laki-laki yang baik dan mantan

istrinya pun ingin kembali kepadanya. Allah Maha Mengetahui

Page 84: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

75

keinginan laki-laki itu kepada mantan istrinya dan juga Maha

Mengetahui keinginan wanita itu kepada mantan suaminya tersebut,

maka Allah SWT, mewahyukan kepada Rasulullah SAW surat al-

Baqarah ayat 232 :

ا ارا حشاظ اخ اص ىس ا فل حعع اخ اغبء فبغ ارا غمخ

ف ب عش بب خش ر ى اال ا

ببلل ؤ ى وب عع ب ر ه

اغش ى ـى اصک ال حع ـخ ا عهللا (٢٣٢)ابمشة :

Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis

masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi

mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat

kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang

dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih

suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Kawin lagi

dengan bekas suami atau dengan laki-laki yang lain.” (QS. al-

Baqarah : 232)

Maka aku berkata kepada Rasulullah SAW, (setelah beliau

memberitakan Firman Allah SWT itu), “Sekarang aku

akan melakukannya, ya Rasulullah.” Kemudian aku

mengawinkan adikku kepada mantan suaminya.38

Berkaitan dengan riwayat diatas, Ibn Hajar memberikan

penjelasan: “sebab turunnya ayat ini merupakan dalil paling jelas

tentang kewajiban adanya wali dalam perkawinan. Seandainya

tidak demikian, penolakan Ma‟qil tersebut tidak ada artinya. Dan,

sekiranya si perempuan dibenarkan mengawinkan dirinya sendiri,

niscaya ia tidak memerlukan saudaranya itu.” Jadi tafsiran Ahmad

Hassan terlalu jauh dan keluar dari konteks maksud ayat.

Kekeliruan yang lain dari Ahmad Hassan adalah dalam

menafsirkan hadits. Hadits ini oleh Ahmad Hassan ditafsirkan

38

Syaikh Mahmoud Syaltout dan Syaikh M. Ali As-Sayyis, Perbandingan Mazhab dalam

Masalah Fiqh, (Jakarta: Bulan Ibnutang, 1973), h. 115.

Page 85: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

76

sebagai dalil yang membolehkan wanita menikah tanpa wali yang

berbunyi, Sabda Nabi SAW

: لبي سعي هللا صى هللا ع ششة سظ هللا ع لبيع ابى ششة

: ال حىر ال زخى حغخأش ال خىر ابىش زخى حغخأر، لبا بسعي ع

39 هللا وف إرب؟ لبي: أ حغخىج )خفك ع(

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. (beliau berkata):

Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak boleh

dinikahkan perempuan janda itu sehingga ada perintah dan

perempuan gadis tidak boleh dinikahkan sehingga dimintai izinnya.

Mereka bertanya:“wahai Rasulullah SAW. Bagaimana izinnya?”

Beliau menjawab : “Diamnya.” (Muttafaq 'alaih).

Maksud hadits ini bukan berarti wanita janda boleh

menikah tanpa wali, tetapi maksudnya adalah bahwa wanita janda itu

tidak boleh dinikahkan sehingga dia diajak musyawarah dan

dimintai pendapatnya serta dijelaskan perkaranya sejelas mungkin,

tidak boleh hanya cukup dengan pendapat dan pandangan wali

saja.

Oleh sebab itu, dengan mengkaji dan mempertimbangkan lebih

jauh dalil-dalil Al-Qur‟an dan As-Sunnah mengenai itu, dapatlah

disimpulkan bahwa perkawinan bukanlah menjadi hak dan

kepentingan perempuan sendiri, sehingga ia dibenarkan bertindak

semaunya. Sebab, perkawinan adalah ikatan yang bukan saja

mempersatukan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki ;

tetapi juga mempersatukan antara dua keluarga, dan mempererat

persahabatan diantara para anggota kedua- duanya. Maka sungguh

tidak wajar apabila para anggota keluarga yang lain termasuk para

wali tidak diikutsertakan di dalam perikatan seperti ini atau lebih

tidak wajar lagi apabila hal itu berlangsung tanpa

musyawarah sama sekalidan tanpa kerelaan mereka.

39

Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, jil.v, h.

175.

Page 86: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

77

Oleh sebab itu, yang paling layak dijadikan

pegangan adalah keharusan bermusyawarah yang disertai sikap arif

dan bijak, sehingga terpenuhinya keinginan si perempuan yang akan

menikah dan keinginan para walinya dalam memilih calon suami,

yang selanjutnya akan menjadi salah satu anggota baru keluarga

besar mereka.

Dan hadist dari Abu Hurairah di atas mempunyai

kedudukan shahih dan termasuk hadist yang disepakati oleh

Imam Bukhari dan Muslim (Muttafaq „alaih). Hadits di atas selaras

dengan hadits-hadits lainnnya seperti

صى هللا ع ع ل اثب ازك بفغب ب ع اب عببط أ اب

40ابىش حغخأش ارب عىحب. سا غ

Artinya : dari Ibnu „Abbas Ia berkata: Sesungguhnya

Rasulullah SAW bersabda: “Wanita tsayyib (janda) adalah lebih

berhak dengan dirinya daripada walinya dan wanita perawan

diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah diamnya”.(HR.

Muslim).

Perlu diketahui bahwa lafazd “dia lebih berhak” menunjukkan

bahwa kedua-duanya memiliki hak, hanya saja wanita janda lebih

berhak daripada walinya karena tidak mungkin bagi wali untuk

menikahkannya kecuali setelah ridhanya. Berarti wali itu punya hak

yaitu dalam akad dan wanita juga punya hak yaitu izin dan

keridhaannya.

Dengan demikian dapat kita padukan antara keduanya,

yakni si wanita lebih berhak dalam masalah izin dan tidak sah

pernikahan kecuali dengan wali dalam akad. Jadi nampak jelaslah

bagi kita bahwa pembicaraan hadits ini berkaitan tentang izin dan

keridhaan wanita, bukan masalah melangsungkan akad pernikahan.

40

Abu Husain Muslim ibnu al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburii, Shahih Muslim, Jil.v, h.

175

Page 87: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

78

Nabi menetapkan bagi si wanita sebuah hak dan menjadikannya

lebih berhak daripada wali, karena memang tugas wali hanyalah

melangsungkan akad pernikahan dan tidak boleh baginya untuk

menikahkan kecuali dengan izin si wanita”.

Nikah tanpa wali dapat menimbulkan dampak yang

negatif, Salah satu fenomena yang amat mengkhawatirkan dewasa

ini adalah maraknya pernikahan „jalan pintas‟ dimana seorang

wanita manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya

atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia

lebih memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan

berpindah tangan kepada para penghulu bahkan kepada orang „yang

diangkat‟ nya sendiri sebagai walinya, seperti orangtua angkat,

kenalannya dan sebagainya.

Para ulama juga mengatakan bahwa perkawinan memiliki

berbagai macam tujuan kebaikan. Sedangkan kebanyakan

perempuan seringkali hanya tunduk kepada perasaan emosi hatinya,

sehingga kurang mampu memilih yang terbaik secara rasional.

Sebagai akibatnya, ia akan kehilangan banyak diantara tujuan-

tujuan yang baik ini. Karena itulah ia perlu dicegah dari melakukan

sendiri akad nikahnya, dan harus menyerahkan persoalan

pernikahannya itu kepada walinya, agar lebih banyak manfaat yang

dapat diraih secara keseluruhan.41

Jadi metode yang digunakan oleh Ahmad Hassan untuk

menginstinbathkan hukum dalam permasalahan ini masuk dalam

kategori metode istinbath hukum Bayani, yakni berupa memahami

makna dari teks al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 232 dengan kaidah

analisi kebahasaan.

41

Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an As-Sunnah dan

Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2002), h.58.

Page 88: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

79

B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan

Untuk menganalisa tipe pemikiran Hukum Islam Ahmad Hassan Jika

dilihat dari segi fatwa-fatwa Ahmad Hassan di dalam bukunya Soal Jawab

tentang Berbagai Masalah Agama itu, terdapat banyak jawaban-jawaban

yang hanya berpedoman kepada al-Qur‟an dan hadits. Karena Dalam

menggali masalah hukum Ahmad Hassan merujuk kepada al-Qur‟an dan

hadits guna menemukan hukum. Kerena al-Qur‟an dan hadits sumber pokok

hukum islam. Pendapatnya bahwa hanya al-Qur‟an dan hadits yang menjadi

pokok sumber hukum islam senantiasa tercermin dalam seluruh buah

pikirannya yang amat mendasar.42

Ahmad Hassan tidak pernah membagi secara tegas sumber hukum Islam,

tetapi yang jelas sumber hukum Islam yang pokok adalah al-Qur‟an, Hadits,

ijma dan qiyas yang pada hakikatnya tidak berdiri sendiri. Istilah kitab

menurut ulama merupakan kitab yang isinya semata-mata wahyu Allah yang

diturunkan kepada Nabi Saw.43

al-Qur‟an menurut Ahmad Hassan merupakan

kitab suci umat Islam yang kalimat,rangkaian,sisi dan maknannya dari Allah

Swt. Dan semua ayat al-Qur‟an merupakan sumber hukum Islam tanpa

terkecuali.44

Bagi A.Hassan, Alquran dan Hadis merupakan pijakan cara beragama

Islam yang kaffah, sempurna. Dalam kedua sumber hukum tersebut juga

tersimpan seluruh aturan agama yang terkait dengan konsep muamalah dan

jinayah. Sehingga Alquran dan Hadis merupakan sebuah paketan konstitusi

dari Allah yang siap digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Pemikiran Ahmad Hassan hadir sebagai tokoh yang menjawab tantangan

situasi pada saat itu dengan meletakan dasar pemikirannya melalui organisasi

Persatuan Islam. Pada masa itu masyarakat cendrung statis dan menyeleweng

dari ajaran Islam yang sebenarnya, seperti syirik, bid‟ah dan khurafat.

Misalnya kepercayaan terhadap roh halus, pemujaan arwah nenek moyang

42

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Intermas, 1996), h. 534. 43

Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Cet.ii, (Surabaya: PT.

Ibnua Ilmu, , 1994), h.7. 44

Ahmad Hassan, Ringkasan Islam, (Bandung: Diponogoro, 1983), h. 11.

Page 89: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

80

dan leluhur dengan sesaji.45

Sikap beragam yang terjadi pada masyarat pada

waktu itu bukanlah terbentuk secara tiba-tiba pada awal abad ke-20, tetapi

merupakan warisan yang sudah berakar jauh pada masa terjadinya proses

Islamisasi beberapa abad sebelumnya.

Sementara itu proses Islamisasi di Indonesia boleh dikatakan sangat

dipengaruhi oleh dua hal yaitu tareqat sufi46

dan mazhab fiqih.47

Pada saat itu,

para pedagang dan kaum sufi pun cendrung memegang peranan yang sangat

penting. Melalui merekalah Islam dapat menjangkau daerah-daerah pelosok

hampir seluruh Nusantara.

Dengan demikian, kemunduran umat islam saat itu cenderung berakar

dari masuknya faham yang tidak bersumber dari al-Qur‟an dan Sunnah. Sikap

yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya fanatisme tehadap suatu

imam mazhab yang cendrung membabi buta. Kecendrungan yang demikian

itu pada akhirnya menyebabkan mereka hanya terfokus pada kitab-kitab yang

dihasilkan oleh imam mazhab. Sementara itu sumber hukum yang diikuti

adalah hasil ijtima ulama yang dikenal, jadi mazhab tesebut meresap pada

umat Islam di Indonesia lantaran datangnya Islam ke Indonesia cenderung

menunjukan ciri-ciri mazhab Syafi‟i. Sementara itu, sistem pendidikan yang

boleh dikatakan cenderung bersifat tradisional. Pola pendidikan pada saat itu

terfokos pada masalah agama terutama kitab-kitab yang dihasilkan mazhab

fiqih seperti Imam Syafi‟i.48

45

M. Mukhsin Jamil, dkk, Nalar Islam Nusantara: Studi Islam Ala Muhammadiyah, al-

Irsyad, Persis dan NU, (Fahmina Institute, 2008), h. 192 46

Lihat Shammad Hamid, Islam dan Pembaharuan, (Surabaya: Ibnua Ilmu, 1984), h. 58. 47

Sartono Kartojo, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. ii, (Jakarta: Depdikbud,1985), h. 128. 48

Sartono Kartojo, Sejarah Nasional Indonesia , h. 129.

Page 90: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

81

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian terhadap analisis fatwa-fatwa

Ahmad Hassan dalam bidang hukum keluarga Islam yang terdapat dalam

bukunya. “Soal jawab tentang berbagai masalah agama”. Dari aspek

pendekatan metode istinbat hukum Islam sebagai mana yang telah diurai pada

penilis pada bab-bab sebelumnya, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai

berikut:

1. Metode istinbath hukum yang digunakan Ahmad Hassan dalam

menjawab persoalan hukum keluarga yakni, dengan pemahaman beliau

terhadap tafsir ayat al-Qur’an dan hadits yang relevan dengan pertanyaan

yang dilontarkan oleh penannya. Metode ini biasa dikenal dengan metode

bayani

2. Banyak fatwa Ahmad Hassan dengan melontarkan kembali pendapat

para ulama Mutaqoddimin dan ulama Muttaakhirin yang pendapatnya

masih relavan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh para

penannya.

3. Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada Ahmad

Hassan memang terkadang tidak dijawab secara tegas dan mendetail.

Beliau hanya memaparkan pendapat ulama yang pro maupun kontra

terhadap persoalan yang dibahas. Agar jawaban yang diberikan Ahmad

Hassan mudah diterima, Ahmad Hassan memperkuat pendapat para

ulama dengan dalil al-Qur’an maupun hadits yang berkaitan dengan

masalah yang ditanyakan.

4. Adapun pendekatan berfikir Ahmad Hassan yaitu melalui pendekatan

kontekstual, dimana pemahamannya lebih berorientasi pada konteks

dalil-dalil hukum di dalam al-Qur’an dan Hadits.

Page 91: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

82

B. SARAN-SARAN

Ahmad Hassan dalam memberikan jawaban sudah cukup baik di dalam

fatwanya. Ahmad Hassan memfatwakan hukum agama di dalam bukunya

dengan terlebih dahulu menyajikan bebrapa pendapat parab ulama yang pro

maupun kontra dengan tujuan memberikan pemahaman yang luas kepada

umat bahwa persoalan agama tidak hanya dilihat dari satu pendangan atau

pendapat. Akan tetapi, pendapat Ahmad Hassan akan lebih baik jika

disertakan dengan bayan (penegasan), tarjih, dan menegaskan pada pendapat

yang lebih kuat (rojih). Adapun pendapat yang lebih kuat hendaknya

diberikan alasan-alasannya mengapa ulama lebih memilih hukum tersebut

pada suatu masalah agama,hal ini bertujuan supaya kalangan awam seperti

kita dapat mengambil kesimpulan dengan baik atas fatwanya tersebut.

Page 92: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

84

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemah Departeman Agama RI.

A. Mughni, Syafiq. Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal. Cet.ii. Surabaya:

PT. Bina Ilmu, , 1994.

Abidin, Slamet. Fiqih Munakahat 1. Bandung: CV Pustaka Seria, 1999.

Amien, Siddiq, dkk,. Panduan Hidup Berjama’ah Dalam Jam’iyyah Persis.

Bandung: PP PERSIS, 2007.

Amin, Ma’ruf. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. Cet. i. Jakarta: Elsas Jakarta,

2008.

Aminuddin, Abiddin. Fiqih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh. Cet. ii. Jakarta: Amzah, 2013.

Ayyub, Syaikh Hasan. Fiqh Keluarga. penerjemah M. Abdul Ghoffar. Jakarta:

Pustaka Kautsar, 1999.

Badran, Abd al-Qadir Ahmad ibn. al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad ibn

Hambal. Mesir: Idarah al-Thiba al-Muniriyyah, t.th.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Intermas, 1996.

Dahlan, Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Dawaibi ad, Ma’ruf. al-Madkhal ila Ilm Ushul Fiqh. Cet.v. Lebanon: Dar al-Kitab

al-Jadid, 1965.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet.ii.

Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Dimasqy ad,Muhammad bin Abdurrahman. Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al

A’immah. diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Alkaf. Fiqih Empat

Madzhab. Bandung: Hasyimi, 2013.

Page 93: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

85

Djamil, Faturrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta:

Logos, 1995.

Efendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2010.

Habsyi al, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis Menurut Al-Qur’an As-Sunnah

dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Mizan, 2002.

Hakim al, Muhammad Taqi. al-Ushul al-Ammah li-al-Fiqh al-Muqaran. Berut:

Dar al-Andalus, 1963.

Hamid, Shammad. Islam dan Pembaharuan. Surabaya: Bina Ilmu, 1984

Hasabalah, Ali. Ushul al-Tasyri al-Islam. Mesir: Daar al-Na’arif, 1991.

Hassan, Ahmad. Ringkasan Islam. Bandung: Diponogoro, 1983.

----------.Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Cv Penerbit

Diponegoro, 2007.

Jamil, M. Mukhsin, dkk. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam Ala

Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Fahmina Institute, 2008.

Ka’bah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Kartojo, Sartono. Sejarah Nasional Indonesia. Jil.ii. Jakarta: Depdikbud,1985.

Khalaf, Abd al-Wahab. Ilm Ushul al-Fiqh. Kairo : Dar al-Qalam, 1978.

----------. Kaidah-Kaidah Hukum Islam; Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah Noer

Madkur dan Muhammad Salm Madkur. Cet. viii. Jakarta : PT. Raja

Grafindo Persada, 2002.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadist.

Cet. i . Jakarta: Kencana, 2011.

Madkur, Muhammad Salam. Al-Qadhaa Fii al-Islam. Daar an-Nahdlah al-

Arabiyyah,t.th.

Page 94: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

86

Miftahuljannah, Honey. A-Z Ta’aruf, Khitbah, Nikah, dan Talak. Jakarta,

Gramedia, 2014.

Muchtar, A. Latief. Gerakan Kembali Ke Islam ;Warisan Terakhir A. Latief

Muchtar. PT. Remaja Rosda Karya, 1998.

Mudjib, Abdul. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Munawwar al, Said Agil Husin. Hukum Islam dan Pluralitas Sosia. Jakarta: PT.

Pemadani 2004.

Naasaburi al, Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Jil.v. Beirut:

Daar al-Hadit, 1987.

Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986.

Qaradhawi al, Yusuf. Fiqh Praktis bagi Kehidupan Modern. Jakarta: Gema Insani

Press, 2002.

----------. al-fatwa Bayan al-Indibat wa al-Tasayyub. Jakarta: Gema Insani Press,

1997.

Ramadhan, Kahalid. Mu’jam Ushul al-Fiqh. Mesir: al-Raudhoh, 1998.

Rosyada, Dede. Metode Kajian Dewan Hisbah Persis. Jakarta: Logos, 1999.

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani ; Relevansinya Bagi Pembaharuan

Hukum Islam di Indonesia. Cet.i. Jakarta: Logos, 1999.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jil.ii. Di Terjemahkan Muhammad Thalib.

Bandung : al-Ma’arif, 1987.

Salim, Kamal bin as-Sayyid. Fiqh Sunnah Lin Nisa’. Cet. i. Jakarta: Tiga Pilar,

2007.

Sarakhsi al. Ushul al-Sarakhsi. Jil. ii. Berut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993.

Sijistan-as, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Dawud. Kairo: Daar

Ibnu al-Jauzi, 2011.

Soemiyati. Hukum perkawinan. Yogyakarta: Liberty, 1982.

Page 95: FATWA-FATWA AHMAD HASSAN DALAM BIDANG HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/46518/1/... · pemikiran hukum Islam Ahmad Hassan dalam menginstinbathkan Hukum Keluarga

87

Suma, Muhammad Amin,. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada,2004.

Suyuti as, Jalaludin Abdurahman. Tadrib ar-Rawi. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.

Sya’labi. Ta’lil al-Ahkam. Kairo : Dar an-Nahdah al-Arabiyyah, 1981.

Syaltout, Syaikh Mahmoud dan Syaikh M. Ali as-Sayyis. Perbandingan Mazhab

dalam Masalah Fiqh. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Syarbini al, Syamsuddin. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfaz al-Minhaj.

Jil. Iv. Mesir: Maktabah al-Taufiqiyah, t.th.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat

Muhammadiyah. http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-

vidieo-call.html, diakses pada tanggal 31 Desember 2018.

Ubadah, Anis. Tarikh al-Fiqh al-Islami an-Nubuwwah was-sahabah wat-Tabi’in.

Kairo: Dar at-Tiba’ah, 1980.

Zuhaili al, Wahbah. Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Jil.ix. Suriah: Dar al-Fikr, 2002.

----------. Ushul Fiqh al-Islami. Lebanon: Daar Fikr, 1987.

Wildan, Dadan. Yang Da’I Yang Politikus; Hayat dan Perjuangan Lima

TokohPersis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997.

Zahra, Muhammad Abu. Ushul al- Fiqh. Cet. xiii. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,

1994.

Zahrah, Muhammad Abu. Muhadarat fi ‘Aqdi al-Nikah wa Asaruhu. Kairo: Dar

al-Fikr al-‘Arabi, 1971.