FARSOS 1

9
Se buah catatan : F armas i So s ial (So cial Pharmacy) APRIL 1, 2013MAPPAKACINNALEAVE A COMMENT Perubahan orientasi praktek kefarmasian dari  product oriented  ke  patient oriented  menuntut adaptasi dari perguruan tinggi dan apoteker yang telah bekerja untuk terus berbenah dan melengkapi diri agar mampu berperan maksimal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Perubahan orientasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki peran yang lebih luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan, pengawasan, penyerahan hingga pemastian bahwa obat yang akan digun akan oleh pasien memenuhi prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berarti  bahwa apoteker wajib berinteraksi dengan pasien dalam rangka memberikan informasi yang tepat terhadap obat yang akan digunakan oleh pasien. Untuk menjalankan peran ini maka setiap apoteker tidak hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu alam ( natural sciences), analisis farmasi, dan teknologi farmasi tetapi lebih dari itu, apoteker juga diwajibkan menguasai farmasi klinik dan farmasi sosial. Farmasi klinik sudah banyak dikenal da n hampir seluruh perguruan tinggi farmasi (PTF) di Indonesia telah melengkapi kurikulumnya dengan mata kuliah-mata kuliah yang menjadi cakupan dari farmasi klinik. Bahkan beberapa PTF telah membuat kurikulum apotekernya berbasis peminatan ke klinik dan beberapa yang lainnya telah membuka pendidikan spesialis dan magister untuk bidang ini. Oleh karena itu, saya tertarik membahas mengenai farmasi sosial dikarenakan masih kurangnya bahasan mengenai ini. apakah betul ini adalah hal yang baru dan belum diterapkan PTF di Indonesia (khususnya di Unhas) ?. Mari kita sama-sama membahasnya. Sejarah dan Pengertian  

Transcript of FARSOS 1

Sebuah catatan : Farmasi Sosial (Social Pharmacy)APRIL 1, 2013MAPPAKACINNALEAVE A COMMENTPerubahan orientasi praktek kefarmasian dariproduct orientedkepatient orientedmenuntut adaptasi dari perguruan tinggi dan apoteker yang telah bekerja untuk terus berbenah dan melengkapi diri agar mampu berperan maksimal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Perubahan orientasi ini mengharuskan apoteker untuk memiliki peran yang lebih luas dari hulu ke hilir mulai dari pembuatan, pengawasan, penyerahan hingga pemastian bahwa obat yang akan digunakan oleh pasien memenuhi prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berarti bahwa apoteker wajib berinteraksi dengan pasien dalam rangka memberikan informasi yang tepat terhadap obat yang akan digunakan oleh pasien. Untuk menjalankan peran ini maka setiap apoteker tidak hanya dilengkapi dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), analisis farmasi, dan teknologi farmasi tetapi lebih dari itu, apoteker juga diwajibkan menguasai farmasi klinik dan farmasi sosial. Farmasi klinik sudah banyak dikenal dan hampir seluruh perguruan tinggi farmasi (PTF) di Indonesia telah melengkapi kurikulumnya dengan mata kuliah-mata kuliah yang menjadi cakupan dari farmasi klinik. Bahkan beberapa PTF telah membuat kurikulum apotekernya berbasis peminatan ke klinik dan beberapa yang lainnya telah membuka pendidikan spesialis dan magister untuk bidang ini. Oleh karena itu, saya tertarik membahas mengenai farmasi sosial dikarenakan masih kurangnya bahasan mengenai ini. apakah betul ini adalah hal yang baru dan belum diterapkan PTF di Indonesia (khususnya di Unhas) ?. Mari kita sama-sama membahasnya.Sejarah dan PengertianDi Eropa dan Amerika kesadaran untuk memperkaya kurikulum apoteker dengan aspek-aspek farmasi sosial telah dimulai pada tahun 80-an. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan dasar farmasi dirasakan tidak cukup mendukung orientasi apoteker yang telah mengarah pada pasien. Peran baru ini menyebabkan apoteker akan berada pada lingkungan praktek baru yang menuntut interaksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, apoteker harus dilengkapi dengan kemampuan yang dapat memaksimalkan peran apoteker dalam lingkungan sosial ini. Disinilah farmasi sosial muncul sebagai isu utama untuk menjawab tantangan ini.Pada awalnya, sekitar dua dekade lalu, farmasi sosial disinonimkan dengan farmakoepidemologi dan disitribusi sosial/demografi penggunaan obat. Tetapi saat ini, cakupan farmasi sosial menjadi lebih luas dan tidak hanya dibatasi oleh pemetaan distribusi obat pada sebuah populasi.Untuk mencapai hasil yang optimum dalam asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) apoteker harus memiliki pemahaman mengenai aspek psikologi dan perilaku (behaviour) dari pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Konsep ilmu psikologi dan prilaku inilah yang menjadi konsep fundamental dari ilmu farmasi sosial.Dalam farmasi sosial, pengobatan dilihat dari persepektif sains, sosial dan humanistik. Farmasi sosial mencakup semua faktor-faktor sosial yang mempengaruhi penggunaan obat seperti kepercayaan pasien terhadap obat, regulasi, kebijakan, perilaku, informasi obat, dan etik. Bahkan Schafer, dkk (1992) memberikan pengertian yang lebih luas dengan merumuskan farmasi sosial sebagai berikut :The endeavor to integrate drugs into a broader perspective and to include legal, ethical, economic, political, social, communicative, and psychological aspects into their evaluation in order to contribute to the safe and rational use of drugsPosisi Farmasi sosial dalam Ilmu FarmasiUntuk menjelaskan dimana dan bagaimana kedudukan farmasi sosial dalam rumpun kelimuan bagan yang dapat diambil adalah yang disediakan oleh Sorensen dkk (2003).

Dalam bagan ini diilustrasikan bahwa farmasi klinik menjadi jembatan yang overlap sekaligus menghubungkan antara ilmu alam dan farmasi sosial. Dalam bagan ini juga diketahui bahwa farmasi sosial memiliki hubungan yang erat dengan praktek kefarmasian. Dan juga dapat dikatakan farmasi sosial menjadi penyempurna ilmu kefarmasian.Pengetahuan yang berasal dari farmasi sosial dapat membantu pengembangan kemampuan personal dan interpersonal apoteker sehingga mampu memberikan komunikasi dan konseling yang efektif dalam rangka meningkatkan kualitas pengobatan. Farmasi sosial juga diharapkan dapat membantu apoteker dalam meningkatkan profesionalisme dan kualitas kepemimpinannya.Sillabus dan Ruang Lingkup Penelitian Farmasi Sosial-Sillabus Farmasi SosialDalam kurikulum PTF, farmasi sosial dapat disajikan dalam sebuah mata kuliah atau dalam bentuk beberapa mata kuliah tergantung pada kebutuhan dan kondisi dunia kefarmasian di negara/daerah PTF tersebut berada. Umumnya farmasi sosial mencakup farmakoekonomi, farmakovigilance/farmakoepidemologi, statistik farmasi, farmakoinformatik, ilmu kesehatan masyarakat, komunikasi, administrasi farmasi, manajemen farmasi, marketing, penilaian kualitas hidup, aspek sosiobehavioral dalam dunia kesehatan dan farmasi,Good Pharmacy Practice in Community and Hospital Pharmacy Settings, Good Pharmacy Education Practice, dan promosi kesehatan.-Ruang lingkup penelitianPenelitian dalam farmasi sosial dihubungkan dengan bidang yang lebih luas yang dikenal dengan penelitian pelayanan kesehatan (health services reserach). Hubungan ini memperlihatkan bahwa bidang aplikasi penelitian farmasi sosial menekankan pada pemahaman dan peningkatan kualitas praktek kefarmasian dan penggunaan obat. Penelitian dibidang ini sangat penting karena seperti yang diketahui bersama bahwa praktek kefarmasian harus didasarkan pada bukti ilmiah (evidence-based) dan menggunakan cara-cara terbaik sehingga praktek kefarmasian harus selalu dievaluasi dan hasil evaluasinya harus segera diimplementasikan. Hasil dari penelitian ini juga dapat dijadikan dasar oleh penentu kebijakan dalam menetapkan regulasi yang terkait dengan pelayanan kesehatan.Penelitian dibidang farmasi sosial dapat dilakukan secara kuantitatif (survei) dan kualitatif seperti wawancara, diskusi, dan pengamatan/observasi.Beberapa ruang lingkup penelitian farmasi sosial sebagai berikut :Farmakoepidemologi, farmakoekonomi, penelitian dibidang kebijakan dan pelayanan kesehatan, bioetik dan aspek sosiobehavioral penggunaan obat,pharmaceutical marketing,drug financing & quality of life studies, interaksi apoteker dan tenaga kesehatan lain.Farmasi sosial di kurikulum pendidikan farmasi UnhasDi Indonesia sendiri farmasi sosial sebagai sebuah mata kuliah telah diaplikasikan oleh UGM dengan dua sks sejak tahun 2001 (tolong koreksi saya kalau salah). Jadi di Indonesia sendiri bukanlah hal yang baru. (saya kurang informasi mengenai universitas lainnya)Sejak tahun 2003, kurikulum farmasi Unhas mulai diperkaya dengan mata kuliah-mata kuliah yang dapat mendukung kemampuan klinik seorang apoteker. Bagaimana dengan farmasi sosial ?. Sebagai sebuah mata kuliah yang berdiri sendiri memang kita tidak akan menemukan mata kuliah farmasi sosial tetapi jika kita melihat kembali silabus dari farmasi sosial maka sebenarnya pada tahun yang sama farmasi Unhas juga sudah mulai menerapkan mata kuliah-mata kuliah yang menjadi unsur farmasi sosial, jadi bukanlah sesuatu yang baru dan belum ada. Hingga saat ini mata kuliah-mata kuliah tersebut terus diperbaiki kualitasnya baik penyaji maupun materinya. Mata kuliah-mata kuliah yang kami maksud adalah kewirausahaan, undang-undang dan etika kesehatan, statistik dan komputasi, komunikasi dan konseling (hasilnya bisa dilihat diyoutube), swamedikasi, manajemen farmasi, dan informasi obat. Beberapa dari mata kuliah ini dibawakan oleh praktisi dibidangnya.Tetapi tetap harus diakui bahwa mata kuliah yang ada belum cukup banyak dan belum maksimal dalam aplikasinya. Ada beberapa hal yang mungkin dapat menjadi penghambat diantaranya :1. Peminatan atau pembentukan konsentrasi (industri dan klinik/komunitas) dinilai belum sesuai dengan kebutuhan apoteker di Indonesia Timur. Hal ini mengakibatkan hingga saat ini seolah-olah kurikulumnya masih penuh sesak. Selanjutnya menjadi tidak memungkinkan untuk makin memperbanyak mata kuliah yang terkait farmasi sosial.2. Belum adanya SDM farmasi yang memiliki keahlian spesifik pada bidang farmasi sosial. Hal ini bisa diatasi dengan makin memperbanyak pihak praktisi yang terlibat dalam menyajikan mata kuliah-mata kuliah farmasi sosial.3. Belum adanya tempat praktek yang mumpuni bagi mahasiswa calon apoteker baik di RS maupun di apotek yang dapat digunakan sebagai tempat belajar langsung aplikasi dari farmasi sosial.Dibidang penelitian yang kami ketahui bahwa tema-tema terkait dengan farmasi sosial telah lama dilakukan di farmasi Unhas. Penelitian-penelitian yang kami ketahui mencakup farmakoekonomi, profil pengobatan, dan pola resistensi. Pembimbingan mahasiswa pun melibatkan praktisi-praktisi terkait. Dan sekali lagi memang belum maksimal dikarenakan belum adanya SDM yang memliki kemampuan spesifik dibidang ini.Jika kita melihat hal ini maka saya pribadi berpikiran bahwa ini membuka peluang bagi teman-teman praktisi di apotek dan rumah sakit untuk berkolaborasi dengan akademisi di kampus untuk melaksanakan penelitian dibidang farmasi sosial. Pemikiran ini didasarkan karena salah satu kesulitan dari pihak kampus adalah dalam hal mengakses data-data yang dibutuhkan di rumah sakit dan apotek. Selain itu penelitian di bidang farmasi sosial khusunya dibidang farmakoepidemologi membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, praktisi di apotek dan rumah sakit sangat mungkin untuk melakukan penelitian dibidang ini. Hasil penelitian bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah dan dijadikan sebagai saran bagi penentu kebijakan. Tentunya ini sangat menguntungkan bagi para praktisi di rumah sakit dan apotek.Farmasi sosial dan Kebijakan hukum kefarmasian di IndonesiaDari penjelasan diatas kita bisa menarik kesimpulan bahwa farmasi sosial memiliki cakupan yang sangat luas sehingga kita tidak membatasinya hanya pada tataran kebijakan hukum farmasi di Indonesia. Tetapi benar bahwa hasil penelitian dibidang farmasi sosial harus dijadikan dasar dalam pembuatan aturan main di bidang kefarmasian. Lahirnya kebijakan yang tidak mendukung eksistensi apoteker di Indonesia tidak hanya disebabkan karena kurangnya pendidikan farmasi sosial. Kasus UU praktek kefarmasian misalnya sebagai contoh. Isu undang-undang ini hilang ditelan bumi dengan lahirnya PP 51 tahun 2009, seolah-olah kita sudah puas dengan mendapatkan PP tersebut. Jika kita melihat konten UU praktek kedokteran dan PP 51 maka kita akan menyadari bahwa isinya dominan sama mengenai hal-hal yang diatur (mungkin UU kedokteran dijadikan colap ?). Lalu mengapa yang satu dalam bentuk UU yang satu bentuknya PP ?. Diresmikannya UU praktek keperawatan saya pikir bisa menjadi pelajaran berharga dan bisa membantu kita menjawab mengapa kita belum mampu memiliki UU sendiri. Apakah benar hanya karena kita kekurangan mata kuliah farmasi sosial ?Disini saya mau mengajak untuk membedakan tataran sosial dan politik dalam sebuah aturan. Kita memang lemah dalam tataran sosial tetapi jika kita tarik ke masalah hukum maka jelas penyebabnya adalah kekurangan kita dalam bidang politik (farmakopolitik ?). Kurang kompaknya para apoteker menjadi salah satu sebab lemahnya nilai tawar apoteker secara politik. IAI sebagai wadah bertemunya ide-ide besar yang harus dibawa untuk diperjuangkan, nyatanya belum mampu diterima dan dirasakan secara penuh kehadirannya oleh para apoteker. Teman-teman sejawat apoteker yang masuk ranah politik bisa dihitung jari dan jikapun mereka mampu berperan secara nasional maka pastinya mereka lebih tersandera oleh kepentingan partai daripada profesi. Inilah realita perpolitikan di Indonesia.Sebenarnya kita punya perwakilan dibidang pemerintahan (Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes, Depkes RI) yang saya nilai bisa memberikan andil besar dalam mempengaruhi kebijakan. Tetapi sampai saat ini sepertinya belum maksimal (mohon saya dikoreksi), buktinya SJSN seolah-olah tidak menghargai eksistensi apoteker.Kesimpulan1. Pengayaan kurikulum pendidikan farmasi di Indonesia khususnya di Unhas adalah sebuah keharusan untuk menjamin lengkapnya kebutuhan keilmuan dan kemampuan yang dibutuhkan apoteker.2. Farmasi sosial mencakup keilmuan yang luas dan bukanlah hal yang baru di Indonesia.3. Terbukanya peluang penelitian dibidang farmasi sosial bagi seluruh apoteker.4. Persepsi farmasi sosial dan politik di Indonesia berbeda.Hormat saya,Toyama, 15-17 Maret 2013