Fantasi

download Fantasi

of 8

Transcript of Fantasi

Fantasi, dari Sudut Pandang Pembaca Apakah fiksi fantasi? Kalau dilihat dari pengelompokkan jenis fiksi, fantasi bercerita tentang segala hal yang tak masuk akal. Sihir, makhluk-makhluk dongeng, dunia lain, dan sebagainya. Menurut buku The Complete Idiot's Guide to Publishing Science Fiction karangan Cory Doctorow dan Karl Scroeder, variasi fiksi fantasi dibagi menjadi sebagai berikut: 1. High Fantasy: bercerita mengenai dunia antah-berantah yang sama sekali tidak berhubungan dengan dunia nyata yang kita tinggali. Dunia itu memiliki peraturan yang berbeda, ras makhluk yang beragam. Contoh: The Lord of the Rings karya JRR Tolkien. 2. Traditional Fantasy: mirip dengan High Fantasy tapi tanpa peraturan sama sekali, semua mungkin terjadi. Dunia yang nyata adalah dunia fantasi ini, sedangkan dunia yang kita tinggali hanyalah bayangan saja. Contoh: The Chronicles of Narnia karya CS Lewis. 3. Dark Fantasy: dimana black magic menguasai dunia. Sihir dianggap perbuatan makhluk jahat dan diperangi. Contoh: The Dark Tower Series karya Stephen King. 4. Modern Urban Fantasy: dunia sihir menyentuh dunia nyata. Terjadi di dunia nyata dengan sekala teknologinya yang familiar, sihir menyelinap masuk, disadari atau tidak. Contoh: Harry Potter Series karya JK Rowling. Para pembaca disuguhkan banyak jenis fantasi, penentuan pilihan hanyalah selera. Harry Potter begitu populer mungkin karena bersentuhan dengan dunia nyata modern, sementara Lord of the Rings dengan alur cerita dan struktur Middle Earth yang memukau dapat memikat pembacanya. Sejak zaman dahulu banyak sekali pengarang yang menyuguhkan fantasi, mulai dari fantasi tradisional yang sebagian besar menyangkut folklore sampai fantasi modern setengah science fiction. Mulai dari Thumbelina karya HC Andersen sampai Star Wars karya George Lucas. Perbandingan Beberapa Karya Besar Sihir dan hal-hal supranatural. Biasanya itulah yang diketahui masyarakat awam tentang fiksi fantasi. Beberapa buku fantasi terkenal menyuguhkan sihir dan hal-hal supranatural untuk pembacanya. Dunia lain, makhluk lain, benda-benda ajaib. Ide mungkin saja sama, tapi unsur-unsur yang membentuk cerita memiliki perbedaan. Apa saja perbedaan mendasar dari tiap buku itu? LOTR: Tolkien menciptakan sebuah dunia yang sama sekali tak berhubungan dengan dunia nyata. Tapi begitu piawainya beliau sehingga pembaca dapat melupakan

'dunia nyata' yang mereka tinggali dan tenggelam ke dunia Middle Earth. Pembaca dibuat yakin bahwa Middle Earth benar-benar nyata. Tokien bukan hanya menciptakan dunia, tapi juga isinya. Berbagai ras, tanaman, suku, bahkan bahasa. Dalam bukunya The Silmarillion, Tolkien menjelaskan asal mula terbentuknya Middle Earth dan segala isinya. Beliau menciptakan dunia dengan peraturannya sendiri, batasan-batasan yang dibuatnya sendiri, seperti pada dunia nyata sehingga semua terasa begitu 'believable'. Sihir hanyalah unsur pendukung cerita, bukan inti ceritanya. The Chronicles of Narnia: CS Lewis menciptakan Narnia sebagai dunia lain yang dapat diakses melalui sebuah lemari! Beliau tak menjelaskan asal muasal Narnia, segala hal bisa terjadi di Narnia. Binatang-binatang yang dapat berbicara, perang mempertahankan kekuasaan, semua hitam putih seperti seharusnya cerita good vs evil.Karena cerita ini ditargetkan untuk pembaca anak-anak, maka tak memerlukan penjelasan pajang lebar mengenai segala hal yang terjadi. Harry Potter: Rowling menyelipkan dunia sihir di kehidupan nyata. Penyihir di buku seri ini dilahirkan sebagai penyihir, dan perlu mengasah kemampuan mereka di sebuah sekolah internat. Meskipun berada di dunia yang sama, wizarding world dan muggle world nyaris tak bersentuhan. Mereka dipisahkan oleh adat kebiasaan, teknologi dan peraturan sendiri. The Bartimaeus Trilogy: Cerita ini juga terjadi di dunia kita, tapi dengan keadaan yang sama sekali berbeda. Dunia dikuasai oleh penyihir. Commoner (orang-orang non-penyihir) harus mengikuti peraturan yang dibuat oleh kalangan penyihir yang berkuasa. Penyihir digambarkan sebagai orang-orang yang 'sell their souls to the devil', memiliki kekuasaan mutlak, kepemimpinan mereka diktator, merendahkan kelompok commoner.Tapi penyihir di sini tidak dilahirkan sebagai penyihir. Mereka juga orang biasa, yang sejak kecil sekali dilatih merapalkan mantra untuk memanggil dan mengikat makhluk halus. Para makhluk halus inilah yang melakukan sihir. Penyihir memperbudak makhluk halus demi kekuasaan, sementara makhluk halus yang mereka ikat hanya terpaksa melakukannya. Membaca Fantasi Mengapa suka dengan fantasi? Fantasi menyuguhkan cerita yang dapat membuat pembacanya seakan berada di dunia lain, bebas berkhayal bersama

sang pengarang, jauh dari peraturan dan keterbatasan dunia nyata. Beberapa orang ada yang berpendapat fantasi adalah sebuah eskapisme, tapi saya tidak setuju. Menurut pengamatan saya, penggemar fantasi adalah orang-orang yang justru memiliki kehidupan bahagia, berdaya khayal tinggi dan easy going. Berkhayal sebebas-bebasnya. Itulah yang dirasakan penggemar fantasi, tanpa harus terikat logika dan hal-hal yang masuk akal. Mungkin ini juga sebabnya sebagian besar buku fiksi fantasi ditujukan bagi pembaca anak-anak. Anak-anak memiliki daya khayal luar biasa, takkan mempertanyakan sebuah kejadian itu logis atau tidak, masuk akal atau tidak. Seorang penulis cerita fantasi anak-anak harus bisa menempatkan dirinya sebagai anak-anak, berpikir sebagai anak-anak, berdaya khayal anak-anak, menciptakan dunia dimana tak ada yang mustahil. Pengarang cerita fantasi dewasa menciptakan dunia yang lebih 'believable', membatasi antara yang mungkin dan tidak mungkin dengan cara mereka sendiri. Alur cerita, cara membangun 'dunia lain', makhluk-makhluk khayalan, karakter tokoh yang kuat, heroism, kekuatan supranatural, adalah beberapa daya tarik cerita fantasi bagi penggemarnya. Penggemar fantasi tertarik untuk pergi jauh dari dunia nyata, mengagumi daya khayal sang penulis dan berekreasi ke tempat yang tak mungkin dikunjungi manusia manapun. Fantasi Hanya Milik Pengarang Luar negeri? Tidak. Sejak dulu cerita rakyat Indonesia penuh dengan fantasi. Mulai dari Malin Kundang, Calon Arang, Timun Mas dan lain sebagainya. Tapi sekarang hanya sedikit fiksi karya pengarang dalam negeri yang menyentuh fantasi. Apa kendalanya? Ini beberapa kendala yang menjadi pengamatan saya: 1. Dibatasi oleh adat ketimuran dan keagamaan. 2. Kita tak memiliki origin fantasi, hanya klenik. 3. Takut tenggelam dibandingkan dengan karya-karya pengarang luar negeri. 4. Kalau menciptakan dunia yang sama sekali baru, takut dianggap karyanya adalah karya terjemahan. 5. Apakah ada penerbit yang mau mengambil resiko menerbitkan? Bisakah makhluk halus tradisi lokal dijadikan bahan cerita fantasi, bukan horor? Pengarang-pengarang luar pun menyuguhkan makhluk-makhluk folklore dalam cerita mereka, tapi pandangan masyarakat luas tentang makhluk itu tiba-tiba diporak-porandakan oleh sang pengarang. Contoh adalah buku Monster Mission karya Eva Ibbotson.Di buku ini dikisahkan sebuah makhluk laut raksasa bernama kraken. Menurut folklore dari Norwegia, kraken adalah monster laut yang mengerikan, dapat menenggelamkan kapal dan amat buas. Tapi dalam cerita Monster Mission, sang kraken menjadi sesosok makhluk raksasa yang lembut hati, penjaga kestabilan laut dan jagat raya, penuh kasih dan bertugas sebagai penyelamat dunia.Pengarang lokal takkan kehabisan bahan, tapi butuh keberanian untuk memulai cara bercerita seperti ini.

Menerjemahkan Fiksi Fantasi Banyak istilah-istilah buatan sang pengarang sendiri dalam buku fantasi. Penerjemah mungkin menemukan dilema dalam menerjemahkan beberapa kata sihir, nama benda, nama makhluk-makhluknya, dan kategori penyihir. Misalnya dalam bahasa Inggris terdapat kata wizard, witch, sorcerer, enchanter/tress, mage, magician, dan lain-lain. Apakah hanya dijadikan satu jenis sebagai 'penyihir'? Atau dicari persamaan lain? Beberapa mungkin dapat dikategorikan hanya sebagai penyihir, beberapa lagi harus ditulis persis seperti aslinya. Menerjemahkan fantasi memaksa si penerjemah untuk memiliki daya khayal sendiri, akan diceritakan ulang seperti apa buku yang sedang diterjemahkannya. Seorang penerjemah adalah pengarang tak bebas, yang harus memeras otak juga untuk menciptakan beberapa kata yang paling memungkinkan untuk menyampaikan ide sang pengarang tanpa melenceng jauh dari aslinya. Poppy D. Kartadikaria Dilihat dari unsur-unsur intrinsik, buku anak lokal dan terjemahan memiliki beberapa persamaan pada plot, konflik, tokohutama, dan sudut pandang. Dari segi ilustrasi, buku anak lokal dan terjemahan memiliki persamaan dalam hal teknik pembuatan ilustrasi dan gaya ilustrasi. Perbedaannya, buku anak lokal lebih banyak berupa cerita rakyat, sedangkan dalam bacaan anak terjemahan lebih banyak berupa cerita fantasi. Keunggulan bacaan anak lokal dibandingkan bacaan anak terjemahan terletak pada variasi ragam bacaan yang ditampilkan. Penulis lokal sudah merambah pada ragam fantasi, fiksi realistis, dan cerita rakyat. Sedangkan kelemahannya adalah alur cerita dalam bacaan anak lokal cenderung berbelit-belit, cara penyampaian pesan belum terasa halus, dan tidak mampu menarik anak ke dalam suatu dunia yang menyenangkan dan serba mungkin. Keunggulan bacaan anak terjemahan yaitu jenis bacaan ini memiliki alur cerita yang sederhana, penyampaian pesan yang halus, ilustrasi yang baik, dan karakter tokoh yang kuat. Sedangkan kelemahannya adalah bacaan anak terjemahan lebih menonjolkan popularitas karakter tokoh cerita, akibatnya jalan cerita tidak mendapat perhatian yang serius oleh penulis. Dari segi proses penerbitan, penerbit lokal memiliki kesulitan dalam memperoleh naskah bacaan anak lokal; proses penerbitan bacaan anak lokal yang membutuhkan waktu lama; penerbit merasa sumber daya manusia yang menguasai teknik komputer untuk menghasilkan ilustrasi dan tampilan buku yang artistik masih kurang. Penjualan bacaan anak lokal kurang bagus disebabkan minat masyarakat lebih mengarah pada bacaan anak terjemahan yang sudah memiliki karakter tokoh yang terkenal.

Pada umumnya kita beranggapan bahwa menyampaikan nilai-nilai moral adalah tujuan utama menulis cerita, sehingga segala bentuk cerita kita paksakan atau pastikan untuk memuat nilai-nilai tersebut. Cerita yang tidak bermuatan nilainilai moral kemudian kita anggap tidak atau kurang berbobot. Padahal banyak pula di antara anak-anak kita yang membaca lebih untuk mencari kesenangan, menyalurkan kreativitas atau pikiran kritis atau sekadar berkhayal, berimajinas, berfantasi. Fenomena Doraemon atau Sinchan sesungguhnya merupakan refleksi dari keinginan anak akan hal-hal tersebut di atas, yang sayangnya tidak kita sambut dengan baik. Karena anggapan bahwa anak-anak bersifat inosen seperti di atas maka karya untuk anak-anak kita anggap sebagai karya yang tidak perlu memiliki struktur cerita yang kompleks atau rumit. Banyak penulis khawatir bila stuktur cerita tidak dibuat sederhana maka anakanak tidak akan mampu memahami cerita yang dibacanya. Sementara banyak di antara anak-anak, terutama pembaca lanjut, yang sesungguhnya cukup cerdas dan telah terbiasa dengan teks-teks yang berstruktur cerita yang kompleks, sehingga struktur yang sederhana akan terasa membosankan bagi mereka. Anak-anak seperti ini menghendaki cerita-cerita yang strukturnya lebih menantang, yang ketika membaca mereka juga terundang untuk berpikir, menebak-nebak, menyimpulkan atau membuat inferensi. Alur cerita yang terlampau simpel, yang mengandung terlampau banyak kebetulan dan memiliki penyesaian yang mudah atas konflik yang muncul juga kurang memuaskan sebagian pembaca anak. Lewat alur yang dibangun dalam cerita anak-anak perlu diajak untuk berpikir bahwa persoalan dalam hidup ini kadang tidak terlampau mudah diselesaikan, dan oleh karenanya perlu kerja keras. Alur cerita dalam karya anak tidak menafikan elemen-elemen konflik, klimaks, suspense seperti yang terdapat pada karya sastra untuk orang dewasa. Bahkan ending pada cerita anak tidak harus senantiasa berupa ending yang tertutup. Cerita anak-anak Indonesia biasanya dikembangkan dari pola penokohan dongeng, legenda atau cerita tradisional yang pada umumnya bersifat hitam putih. Pola penokohan serupa, terutama pada cerita-cerita realis atau fantasi akan keluar dari cara berpikir logis kita mengenai manusia dan kehidupan, yang menjadi inti dari cerita. Karena dalam kehidupan nyata yang mereka lihat dan alami manusia memiliki sifat yang multidimensional, yang multifacets. Sebagian anak-anak tidak bisa dikelabuhi dengan penokohan yang artifisial semacam ini, karena mereka tidak dapat menemukan diri mereka dan diri manusia sejati dalam cerita-cerita yang tokoh-tokohnya serba hitam putih. Sementara itu sebuah narasi biasanya berhasil jika ia bisa meyakinkan pembaca dengan cara pikir yang logis (plausible/credible), dan manakala pembaca bisa mengidentifikasikan atau menemukan diri mereka dalam tokoh-tokoh dalam cerita. Kebanyakan di antara kita berpikir bahwa anak-anak hanya memerlukan cerita dengan tema-tema yang serba manis dan aman, dan bukan pada tempatnya untuk berterus-terang terhadap anak mengenai kehidupan yang juga menyimpan

sisi-sisi gelap ini. Kehidupan dalam cerita yang serba cerah dan manis kurang menampilkan dimensi-dimensi kehidupan yang menarik, sehingga terasa menjemukan bagi sebagian pembaca anak, terutama pembaca yang usianya lebih tua. Sebagai akibat dari anggapan bahwa anak adalah inferior dan bercerita merupakan tindakan berpetuah maka bahasa yang digunakan dalam cerita anak kadang-kadang bukan bahasa anak-anak sang tokoh melainkan bahasa orang dewasa sang guru yang menjelma dalam diri tokoh anak. Karena penggunaan bahasa yang tidak pas seperti itu anak dalam cerita tersebut sering muncul secara tidak wajar dana kaku. Hal ini amat mengganggu kualitas dan kredibilitas cerita. Hal-hal tersebut di atas merupakan sebagian dari kekeliruan memahami anakanak secara umum maupun anak-anak sebagai pembaca suatu cerita yang ditulis. Harus diakui bahwa menulis cerita anak sama sekali bukan pekerjaan yang mudah, karena pemahaman mengenai siapa anak adalah hal yang sangat urgent. Seorang penulis cerita yang berhasil harus melakukan riset etnografis selama bertahun-tahun sekadar untuk mengerti pribadi anak-anak yang hendak ia gambarkan dalam cerita, dan agar cerita yang ia tulis mendekati kewajaran. Kredibilitas dan kualitas cerita, seperti kita ketahui, sangat tergantung pada bagaimana cerita dan piranti-pirantinya mampu meyakinkan pembaca, walaupun ia jauh lebih muda dari sang penulis. WIDYASTUTI Disampaikan pada seminar Sastra Anak FBS UNY Selama ini, untuk mengisi kekosongan karya asli, telah cukup banyak penerbit Indonesia yang menerbitkan karya terjemahan sastra anak-anak dari Amerika, Jepang atau negaranegara Eropa. Tapi karena kurangnya promosi, karya sastra terjemahan yang baik ini tenggelam begitu saja dan penerbit tidak berani meneruskan upayanya menerbitkan lebih banyak lagi sastra anak-anak terjemahan. Sebagaimana halnya sastra untuk orang dewasa, maka sastra untuk anak-anak juga tidaklah selalu identik dengan kepopuleran. Tugas para ahli sastra anak-anaklah yang harus mempromosikan atau mempopulerkannya. Selama ini sastra anak-anak karya pengarang asli Indonesia lebih didominasi oleh tematema kemiskinan atau tema anak yang terpaksa harus bekerja meringankan beban finansil orangtua. Padahal kegelisahan dan ketakutan anak Indonesia bukanlah melulu disebabkan oleh faktor ekonomi. Kegelisahan dan ketakutan anak Indonesia sama saja seperti yang dimiliki oleh anak-anak dari berbagai bagian dunia lainnya. Buku-buku yang menjawab ketakutan anak akan hantu, setan, monster atau orang jahat, misalnya, masih bisa dihitung dengan jari. Demikian juga dengan buku-buku yang menjawab kebingungan anak akan realitas sosial seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan, agama atau sukubangsa. Peristiwa PURBANI

pemberontakan G-30-S PKI dan reaksi terhadap peristiwa tersebut, misalnya, adalah suatu kenyataan dalam perjalanan sejarah bangsa kita. Ada jutaan anak dari orangtua yang dituduh sebagai anggota PKI atau terlibat dalam G-30-S, yang harus mengalami kebingungan dan ketakutan. Tapi tampaknya belum ada satu buku anak-anak pun (sastra anak-anak) yang bercerita mengenai hal tersebut. Cerita-cerita fantasi yang bisa menerbangkan anak keluar dari perasaan terkungkung oleh aturan dan norma orang dewasa yang sering tak difahaminya, boleh dikatakan nyaris tak ada. Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi pengarangpengarang asli Indonesia, tidak ada salahnya kalau terjemahan digalakkan. Tapi penerbitan terjemahan baru akan berguna kalau di tengah-tengah kita telah hadir sejumlah ahli dan kritikus sastra anak-anak. Para ahli dan kritikus inilah yang kita harapkan mau memilih dan merekomendasikan kepada para pendidik, pustakawan atau orangtua, sastra anak-anak yang layak untuk mereka beli dan hadiahkan kepada anak. Hal lain yang perlu dilakukan ialah mendorong hadirnya kelompok-kelompok atau lembaga swadaya masyarakat di bidang sastra anak-anak. Kelompok ini bisa merupakan kelompok yang bergerak dalam penulisan, promosi, pemberian hadiah atau penghargaan terhadap sastra terbaik atau pun sekedar kelompok diskusi buku. Pengembangan sastra anak-anak merupakan pekerjaan simultan dari penerbit, kritikus, akademisi dan masyarakat[]. http://mulaharahap.wordpress.com/ Gaya Aspek yang digunakan untuk menelaah gaya dalam sebuah cerita fiksi adalah pilihan kata. Apakah panjang atau pendek, biasa atau tidak, membosankan atau menggairahkan. Kata-kata yang digunakan haruslah tepat dengan cerita itu. Karena kita tahu bahwa pilihan kata akan menimbulkan efek tertentu. Hal lain adalah masalah kalimat. Kalimat dalam cerita anak-anak haruslah lugas, tidak bertele-tele, dan tidak harus menggunakan kalimat tunggal. Kita bisa menggunakan kalimat kompleks asalkan logis dan langsung mengarah kepada apa yang ingin disampaikan. Beberapa prinsip dalam menulis cerita anak yang diuraikan di atas kiranya semakin membantu Anda dalam mengembangkan kreativitas yang dimiliki untuk menulis sebuah cerita anak. Sebuah cerita yang syarat pesan moral bagi anak tanpa harus menggurui mereka, dan mampu mengintregasikan elemen di atas dalam jalinan cerita yang menyenangkan. Selamat berkreativitas lewat cerita anak. Sumber Bacaan Gunawan, Tuti. 2007. Makalah dalam seminar "Tahap Perkembangan Anak dan Mengenal Cara Belajar Anak".

Hadits, Fawzia Aswin. 2003. Psikologi Perkembangan Anak Usia Sekolah Dasar, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. S., Titik W. 2003. Menulis, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. Struktur Bacaan Anak, dalam "Teknik Menulis Cerita Anak". Yogyakarta: Pink Books, Pusbuk, dan Taman Melati.