FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4244/1/03210070.pdf ·...
Transcript of FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) …etheses.uin-malang.ac.id/4244/1/03210070.pdf ·...
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
H I S O L
NIM 03210070
FAKULTAS SYARI AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG 2008
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
H I S O L
NIM 03210070
FAKULTAS SYARI AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG 2008
MOTTO
Seorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan seorang gadis harus dimintai izin atas dirinya,
dan izinnya adalah diamnya.
(Diriwayatkan oleh Jama ah Kecuali Bukhari)
Buppa Babbu, Ghuru, Rato
(Falsafah Madura) Artinya Bapak-Ibu, Guru, Ratu Ungkapan ini mencerminkan hierarki
penghormatan di kalangan masyarakat Madura yang dimulai dari kedua orang tua, selanjutnya penghormatan diberikan kepada guru, kemudian penghormatan yang
terakhir diberikan kepada penguasa atau pemerintah
(Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia Publishing, 2004, 54).
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohiim......
Terukir do'a dan terucap Syukur dari lubuk hati yang teramat dalam Serta ke ta dhziman senantiasa mengarungi buah karya ini
Saya persembahkan Kepada:
Abah & Ibu Tercinta
(Abd. Karim dan Siti Romlah Roufah)
Yang telah banyak mengenalkan berbagai dinamika kehidupan, mengasihi setulus hati sebening cinta dan karena beliau ber-2 pulalah penulis mampu menapaki kerikil-kerikil
tajam kehidupan dengan selamat. Beliau merupakan penasehat spiritual, teman diskusi,
sekaligus pembimbing hidup buat penulis. Sembah sujud penulis berikan kepada Abah dan Ibu tercinta.
Kaka'2ku dan Adik2ku tercinta, Serta keponakanku tersayang
(M. Hasan, Mba' Aisyah, Mba' Mas'udah
(Fadzoh, Syukron, Ikhlas)
Yang masih menempuh cita-citanya Ghiyats dan Firda)
Bersama kalian aku bisa terhibur dan tersenyum.
Seseorang yang Terkasih (Insirohul Mas udah, S.Hi)
Yang kehadirannya telah menghantarkan-ku menyongsong lembaran baru sejarah hidup
Yang selalu setia Menemani & Membantu-ku hingga terselesainya skripsi ini
Sahabat Terbaikku: Blok-M (Ahmed, Iye', Syaiful, Aiman, Helman, Thoriq, Najih) Serta sahabat-sahabatku di Syariah-03. Buat mas Khomar
& Hasyim thank's atas penyemangatnya, dan teman-temanku dikost-an, dzereh Dadank, Sizka, Kephet, GBoex- thank's atas motifasi dan bantuannya hingga selesainya skripsi ini.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK
KELUARGA KIAI PRAJJAN
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 03 Januari 2008
Penulis,
H i s o l
NIM 03210070
HALAMAN PERSETUJUAN
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK
KELUARGA KIAI PRAJJAN
SKRIPSI
oleh:
H I S O L
NIM 03210070
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan, Oleh Dosen Pembimbing:
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag
NIP 150 303 047
Mengetahui, Dekan Fakultas Syari ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Hisol, NIM 03210070, mahasiswa Fakultas
Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati
kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang
bersangkutan dengan judul:
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK
KELUARGA KIAI PRAJJAN
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
majelis dewan penguji.
Malang, 03 Januari 2008
Pembimbing,
Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag
NIP 150 303 047
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Hisol, NIM 03210070, Mahasiswa Fakultas Syari ah
angkatan tahun 2003, dengan judul
E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULNYA KONFLIK
KELUARGA KIAI PRAJJAN
Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam
(S.HI)
Dengan Penguji:
1. Drs. Fadil Sj, M.Ag (________________________) NIP. 150 252 758 (Penguji Utama)
2. Drs. Badruddin, M.H.I (________________________) NIP 150 302 562 (Ketua)
3. Drs. M. Fauzan Zenrif, M. Ag
(________________________) NIP. 150 303 047 (Sekretaris)
Malang, 03 Januari 2008
Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
KATA PENGANTAR
Puji syukur terpanjatkan kehadirat Allah SWT., Tuhan Penguasa Alam, yang ada
dalam dimensi ruang dan waktu, yang atas rahmat dan inayah-Nya sehingga
penulisan skripsi yang berjudul E-Cang Pancang: Upaya Mempertahankan Jalur
Kekerabatan dan Munculya Konflik Keluarga Kiai Prajjan, di Desa Prajjan
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang, dapat diselesaikan dengan curahan cinta
kasih-Nya, penuh kedamaian dan ketenangan.
Shalawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada Baginda kita Nabi
Muhammad SAW. yang telah mengentaskan umat manusia dari jurang
kejahiliyyahan dengan kesejukan ajaran beliau yaitu agama Islam. Mudah-mudahan
pada hari kiamat kelak kita mendapat Syafa at dari beliau, Amien...3x.
Sudah sepatutnya bagi penulis untuk menyampaikan banyak terima kasih tiada
tara kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung penyelesaian skripsi
ini, terutama secara khusus penulis haturkan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta yang telah rela mengorbankan segala yang ada padanya
dan tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah SWT demi putera-puterinya,
khususnya kepada penulis demi terselesainya tugas akhir ini, serta telah menjadi
sumber motivasi dan inspirasi kuat bagi penulis selama proses penyelesaian
skripsi ini.
2. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
3. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang.
4. Roibin, M.Hi, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas Syari ah UIN
Malang.
5. Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
meluangkan waktu serta dengan sabar mengoreksi dan tidak pernah lelah dalam
memberikan arahan serta bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini.
6. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang
telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami.
7. Para kiai dan tokoh masyarakat Desa Prajjan yang telah sudi memberikan
sumbangan pemikiran dan informasi tentang dampak e-cang pancang: upaya
mempertahankan jalur kekerabatan dan munculya konflik keluarga kiai Prajjan
yang dapat membantu proses pengumpulan data penulisan skripsi ini, Utamanya
KH. Imam Ghazali, KH. Moh. Jailani, K.H. Muzakki, KH. Ihya', KH. Mustajib,
KH. Hamdan Badri, KH. Alief Madani, H. Badrut Tamam selaku Kepala Desa
Prajjan, dan semua kiai serta tokoh masyarakat yang tidak mungkin disebutkan
satu persatu. Keikhlasan dalam berjuang telah menyadarkan penulis yang pernah
hilang dalam pencarian jati diri untuk berproses menjadi insan cita.
8. Semua keluargaku terutama kakak-kakakku, adik-adikku dan keponakanku yang
telah memberikan motifasi pada kami.
9. Seorang yang terkasih I.M. Nawal, yang selalu senantiasa menemani dan
membantu penulis.
10. Seluruh anggota jama ah sholawat Al-Muhibbin , terima kasih atas do a-do a
kalian, semoga kita semua dapat meraih syafa at Rosululah SAW!
11. Mas Khomar dan Hasyim, yang dengan kesabarannya telah banyak membantu
dan menjadi penyemangat dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Segenap sahabat karibku, H. Ahmed AO. S.Hi., H. Aiman M. S.Hi., Syaiful
Bahri S.Hi., Insirohul M. S.Hi, Lyna S.Hi, yang selalu setia menghiburku dan
selalu berbagi cerita denganku.
13. Segenap sahabat-sahabatku di Joyo Suko 41E, dhereh Da dhank, Chonk Sizka,
Khepet dan Gaboex yang selalu setia bersamaku dalam suka dan duka.
Akhirnya dengan keterbatasan kemampuan dan kami sadar bahwa penulisan
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritik konstruktif dari
semua pihak sangat kami harapkan.
Semoga skripsi ini bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis
khususnya serta bagi pembaca pada umumnya.
Malang, 03 Januari 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ v
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... vi
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi
ABSTRAK ........................................................................................................... xiv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
E. Definisi Operasional .................................................................................... 5
F. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 6
BAB II : SISTEM KEKERABATAN DAN TEORI KONFLIK
A. Penelitian Terdahulu .................................................................................... 8
B. Khitbah dalam Perspektif Fiqh .................................................................. 13
C. Sistem Kekerabatan ................................................................................... 15
D. Teori-teori Konflik .................................................................................... 16
E. Kiai di Masyarakat Madura ....................................................................... 26
BAB III : METODE PENELITIAN
A. Gambaran Kondisi Objek Penelitian ......................................................... 32
1. Kondisi Geografis ................................................................................ 32
2. Kondisi Sosial-Keagamaan ................................................................. 34
3. Kondisi Pendidikan ............................................................................. 36
4. Kondisi Ekonomi ................................................................................. 38
5. Stratifikasi Sosial ................................................................................. 39
B. Paradigma Penelitian ................................................................................. 41
C. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................................ 42
D. Sumber Data .............................................................................................. 43
E. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 48
F. Metode Pengolahan Data ........................................................................... 50
G. Metode Analisis Data ................................................................................ 52
BAB IV : PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi E-Cang-Pancang ....................................................................... 54
B. Realitas Kegagalan E-Cang Pancang pada Keluarga Kiai ....................... 58
C. Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan Keluarga Kiai ..... 68
a. Dampak Hubungan Sosial ..................................................................... 68
b. Dampak Hubungan Ekonomi ................................................................ 70
D. Proses Sosiologis Dampak Kegagalan E-Cang Pancang Terhadap Ikatan
Keluarga Kiai ............................................................................................ 72
E. Proses Harmonisasi Pasca Kegagalan E-Cang Pancang .......................... 75
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 80
B. Saran-saran ................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ABSTRAK
Hisol, 03210070, 2008, E-Cang Pancang: Upaya Mempertahankan Jalur Kekerabatan dan Munculnya Konflik Keluarga Kiai Prajjan, Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Drs. M. Fauzan Zenrif, M.Ag
Kata Kunci: E-Cang Pancang, Kekerabatan, Konflik, Kiai
E-cang Pancang adalah perjodohan yang dilakukan antar orang tua terhadap anak-anaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia pranatal, dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan) dan kekerabatan (sa bh l n) dari masing-masing keluarga tersebut. Fenomena E-cang pancang sampai saat ini masih dapat ditemukan pada beberapa keluarga di Madura untuk mempertahankan kualitas keturunan dan masa depan sebuah keluarga. Fenomena ini tidak saja membawa manfaat bagi penganutnya, lebih dari pada itu juga meninggalkan berbagai jenis konflik akibat adanya kegagalan dalam proses e-cang pancang.
Penelitian ini mengkaji permasalahan 1) Bagaimana kegagalan e-cang pancang dapat berdampak terhadap keretakan ikatan keluarga kiai? 2) Bagaimana bentuk-bentuk konflik pasca kegagalan e-cang pancang? 3) Bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan keluarga pasca kegagalan e-cang pancang? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dan paradigma sosiologis. Adapun dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode observasi dan interview.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan e-cang pancang memiliki dampak negatif bagi ikatan keluarga kiai Prajjan. Dampak-dampak yang ditimbulkannya antara lain adalah adanya kemungkinan dikucilkan oleh keluarga yang lain, dan juga adanya hubungan yang tidak harmonis diantara keluarga yang terlibat dalam rencana pernikahan melalui proses e-cang pancang. Kemudian bentuk-bentuk konflik akibat adanya kegagalan proses e-cang pancang seperti apabila bertemu di jalan, diantara yang berkonflik enggan untuk bertegur sapa, apabila berada dalam satu forum pertemuan diantara yang berkonflik cenderung untuk saling menghindari, apabila diantara mereka mengadakan sebuah acara, masing-masing cenderung tidak hadir dalam acara tersebut. Kegagalan e-cang pancang diperbaiki melalui proses, antara lain: a) adanya saling menyadari dan memahami diantara yang berkonflik b) adanya peningkatan dalam hal silaturrahmi antar keluarga, utamanya bagi yang berkonflik c) adanya peranan para sesepuh yang termasuk dalam satu ikatan keluarga d) apabila e-cang pancang gagal karena alasan seorang anak tidak mau dinikahkan atas dasar pilihan orang tuanya, maka orang tua bisa menggantikannya dengan anak yang lain yang masih satu keluarga.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga keyae (Indonesia: kiai) di Madura memiliki kebiasaan yang berbeda
dengan kebanyakan masyarakat Madura lainnya, kebiasaan yang dibangun terkesan
atas dasar pemahaman keagamaan yang kental dan cenderung Arab sentris. Diantara
hal tersebut ialah sikap keluarga kiai yang kuat dalam menjaga, mempertahankan dan
memprotek nasab keluarga. Dalam hal ini, keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan
Camplong Kabupaten Sampang memiliki kecenderungan yang kuat dalam
mempertahankan nasab dari nenek moyang (bengaseppo: bahasa Madura) keluarga
mereka, sehingga keluarga kiai kemudian dikenal dengan keluarga besar.1
Dalam rangka mempertahankan nasab, keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan
Camplong Kabupaten Sampang melakukan kebiasaan e-cang pancang antar sesama
1KH. Moh. Jailani, wawancara (Prajjan, 27 Juli 2007).
keluarga dekat mereka, dengan harapan bahwa anak cucu mereka kelak memperoleh
jodoh yang senasab dan sekufu'.2 Oleh sebab itu, di Desa Prajjan Kecamatan
Camplong Kabupaten Sampang hampir 55 % keluarga kiai melaksanakan e-cang
pancang.3
Kenyataan itu pada akhirnya membuat mereka sangat ketat dan kaku dalam
mempertahankan kebiasaan e-cang pancang yang merupakan "wasiat" dari nenek
moyang mereka dulu.4 Oleh karena itu, apabila ada salah satu keluarga yang anaknya
e-cang pancang kemudian digagalkan dengan beragam persoalan yang
melatarbelakanginya, maka akan menyebabkan rusaknya ikatan keluarga besar. Di
antara fenomena tersebut seperti keluarga KH. Ach. Zaini yang putera sulungnya
bernama Aminulloh, sejak tahun 1982 telah e-cang pancang (dijodohkan sejak
berusia 5 tahun) dengan salah seorang puteri KH. Abd. Latief, bernama Siti Fathimah
(3 tahun). Selama perjodohan ini hubungan antar kedua keluarga dan keluarga
kerabat lainnya (keluarga besar) berjalan harmonis, masing-masing keluarga saling
menghormati, menghargai dan memahami antara satu dengan lainnya, seperti apabila
salah satu diantara mereka mengadakan sebuah acara, walaupun tanpa diminta, maka
mereka dengan sendirinya datang (kompak) untuk memberikan bantuan (baik berupa
tenaga maupun materi) demi kesuksesan acara tersebut. Hal ini dilakukan sebagai
bentuk solidaritas atas eratnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan mereka.
Namun, pada saat perjodohan (e-cang pancang) yang telah dilakukan oleh kedua
pihak keluarga ini pada akhirnya gagal (tidak diteruskan), karena disaat Aminulloh
menginjak usia dewasa (17 tahun) menolak keras perjodohan yang telah dilakukan
2KH. Hamdan Badri, wawancara (Prajjan, 26 Juli 2007). 3KH. Mustajib, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007). 4Ny. Roufah, wawancara (Prajjan, 28 Juli 2007).
oleh kedua orang tuanya tersebut. Gagalnya perjodohan (e-cang pancang) tersebut,
pada akhirnya menjadi penyebab rusaknya ikatan persaudaraan kedua keluarga kiai
tersebut, dan di samping itu juga berimbas pada retaknya hubungan persaudaraan
sanak kerabat lainnya. Hubungan mereka yang pada awalnya harmonis sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, kemudian menjadi retak dan tidak harmonis lagi,
seperti yang terlihat ketika keluarga KH. Abd. Latief diundang untuk menghadiri
acara yang diadakan oleh keluarga KH. Ach. Zaini, beliau tidak berkenan hadir
dengan berbagai macam alasan, jika berjumpa di jalan mereka tidak lagi saling
menyapa, dan apabila mereka bertemu dalam satu forum pertemuan, mereka saling
menghindar dan lain sebagainya. 5
Dari apa yang dialami oleh keluarga kiai di atas, maka benarlah apa yang telah
dijelaskan oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey bahwa walaupun pertalian
(sosial/kekeluargaan) cenderung membatasi eskalasi konflik (meningkatnya konflik),
tetapi tidak ada jaminan yang mutlak untuk mencegah terjadinya eskalasi tersebut.
Bahkan pertalian yang kuat sekalipun tidak dapat melindungi suatu hubungan, bila
konflik kepentingan itu begitu beragam dan kuat. Ketika kontroversi mengalami
eskalasi, maka pertalian cenderung mengalami disintegrasi. Hubungan menjadi
rusak, cinta berubah menjadi benci, orang memindahkan ketergantungannya kepada
orang lain dan lain sebagainya,6 seperti yang telah dialami oleh kedua keluarga kiai
di atas. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang e-
cang pancang sebagai upaya mempertahankan jalur kekerabatan dan munculya
konflik keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang.
5KH. Alief Madani, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007). 6Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 163.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kegagalan e-cang pancang dapat berdampak terhadap keretakan
ikatan keluarga kiai?
2. Bagaimana bentuk-bentuk konflik pasca kegagalan e-cang pancang?
3. Bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan keluarga pasca kegagalan e-
cang pancang?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Memberikan penjelasan fenomena tentang dampak kegagalan e-cang pancang
terhadap keretakan ikatan keluarga kiai.
2. Memberikan penjelasan tentang bentuk-bentuk konflik pasca kegagalan e-cang
pancang.
3. Memberikan penjelasan tentang bagaimana keluarga kiai memperbaiki keretakan
keluarga pasca kegagalan e-cang pancang.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam
pengembangan khazanah keilmuan yang berkaitan dengan kajian budaya di tanah
air.
2. Secara Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat
Islam di wilayah Kabupaten Sampang khususnya masyarakat Desa Prajjan
terhadap kemungkinan timbulnya dampak positif dan negatif dari e-cang
pancang.
b. Agar masyarakat Kabupaten Sampang khususnya masyarakat Desa Prajjan
memahami dan mengetahui kebiasaan e-cang pancang ini dalam pandangan
hukum Islam..
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul di atas, maka perlu
dijelaskan makna dan maksud dari masing-masing istilah yang ada pada judul skripsi
ini, diantaranya:
1. E-cang pancang: Perjodohan yang dilakukan oleh antar orang tua (antar oreng
toah) terhadap anak-anaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia
pranatal, dengan tujuan untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan)
dan kekerabatan (sa bh l
n) dari masing-masing keluarga tersebut. Hal ini
berlaku pada golongan masyarakat Madura tertentu, yakni pada mayoritas
golongan kiai (keyae).7
2. Konflik: Pertentangan antara dua kekuatan yang disebabkan oleh keinginan yang
saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku
yang diwujudkan dengan tindakan konflik, seperti saling menghindar, diam,
ejekan, rasa tidak suka, dan lain-lain.8
7KH. Imam Ghazali, wawancara (Prajjan, 20 Nopember 2006). 8Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam (Bandung: Mandar Maju, 1989), 68.
3. Keluarga: Kumpulan dari kaum kerabat, termasuk sanak saudara, kakek-nenek,
paman-bibi, sepupu-sepupu dan lain-lain yang masih mempunyai ikatan darah
(nasab) atau yang tidak tetapi telah diangkat sebagai anggota keluarga.9
4. Kiai (keyae): Orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama atau ulama
karena menguasai ilmu agama (Islam).10 Dalam penelitian ini, yang dimaksud
kiai (keyae) adalah mereka para pemuka agama atau ulama di Desa Prajjan
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang yang memiliki kebiasaan e-cang
pancang cukup kuat.
5. Prajjan: Nama salah satu desa dari 14 (empat belas) desa yang terletak di
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang. Desa Prajjan merupakan desa yang
dikenal dengan desanya para kiai (keyae), karena mayoritas (± 60 %)
penduduknya adalah keluarga para kiai.11
F. Sistematika Pembahasan
Penyusunan skripsi ini, dibagi atas beberapa bab. Pada tiap-tiap bab dibagi atas
beberapa sub-bab yang mana isinya antara yang satu dengan yang lain saling
berkaitan, dengan maksud agar mudah dipahami. Adapun sistematika pembahasan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan sistematika
9Jalaluddin Rakhmat dan Mukhtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), 20. 10A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 49. 11KH. Mustajib, wawancara (Prajjan, 25 Juli 2007).
pembahasan. Bab ini mendeskripsikan fenomena yang muncul dan bagaimana
fenomena tersebut diteliti.
Bab II Kajian Pustaka, yang meliputi: penelitian terdahulu, teori-teori konflik
dan tentang kiai di masyarakat Madura. Kajian pustaka diletakkan pada bab ini, agar
dapat dijadikan bekal bagi peneliti untuk menguji dan mengukur kebenaran teori
dengan realitas yang ada di masyarakat.
Bab III Metodologi Penelitian, yang meliputi: gambaran kondisi objek
penelitian, kondisi geografis, kondisi sosial-keagamaan, kondisi pendidikan, kondisi
ekonomi, stratifikasi sosial, paradigma, pendekatan dan jenis penelitian, sumber data,
metode pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan analisis data. Hal ini
bertujuan untuk dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian, karena peran
metode penelitian sangat penting guna manghasilkan hasil yang akurat serta
pemaparan data yang rinci dan jelas dan mengantarkan pada bab berikutnya.
Bab IV Paparan dan Analisis Data, merupakan laporan hasil penelitian yang
meliputi: deskripsi umum tentang e-cang pancang meliputi profil subjek penelitian
(informan), definisi e-cang pancang serta sejarah e-cang pancang, realitas kegagalan
e-cang pancang pada keluarga kiai, dampak kegagalan e-cang pancang terhadap
ikatan keluarga kiai, proses sosiologis dampak kegagalan e-cang pancang terhadap
ikatan keluarga kiai, dan proses harmonisasi pasca kegagalan e-cang pancang.
Bab V Penutup, merupakan bab terakhir, yang meliputi: kesimpulan hasil
penelitian dan saran bagi berbagai pihak yang bersangkutan dengan penelitian ini.
BAB II
SISTEM KEKERABATAN DAN TEORI KONFLIK
A. Penelitian Terdahulu
Dalam rangka untuk mengetahui bahwasanya fokus kajian penelitian yang
dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, maka perlu kiranya
hasil penelitian-penelitian terdahulu tersebut dipaparkan. Diantara hasil penelitian
yang dimaksud ialah sebagai berikut:
1. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Naily Rahmah pada tahun 2003
mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya,
dengan judul: Peran Bimbingan dan Konseling Agama Dalam Menanggulangi
Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-Anak Usia
Dini
(Studi Kasus di Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang).
Penelitian ini, mengkaji dan membahas tentang apakah proses pelaksanaan
bimbingan dan konseling agama dalam menanggulangi penyimpangan perilaku
orang tua terhadap anak akibat adanya tradisi perjodohan anak usia dini di Desa
Omben sesuai dengan dengan teori Bimbingan Konseling Agama (BKA) dan
bagaimana hasil akhir pelaksanaan Bimbingan Konseling Agama (BKA) dalam
menanggulangi penyimpangan perilaku orang tua terhadap anak akibat adanya
tradisi perjodohan anak usia dini di Desa Omben.
Dengan menggunakan pendekatan terapi realitas yang bersifat deskriptif
komparatif dan data diperoleh melalui observasi dan wawancara, Naily Rahmah
menyimpulkan bahwa proses pelaksanaan BKA yang telah dilakukan oleh
konselornya dalam menanggulangi penyimpangan perilaku orang tua terhadap
anak akibat adanya tradisi perjodohan anak usia dini telah ada kesesuaian dengan
teori BKA dan hasil akhir pelaksanaan BKA yang telah dilakukan oleh konselor
masuk kategori berhasil, hal tersebut ditandai dengan munculnya perubahan
kekuatan emosional yang lebih baik, yaitu berupa kesadaran klien dalam
menghadapi kenyataan yang ada serta banyaknya perilaku yang dilaksanakan
setelah mendapat BKA.12
2. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Holilur Rahman pada tahun 2006
mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan
judul: Peminangan Dini dalam Perspektif Islam
(Studi Kasus di Desa Arok
Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan). Paradigma yang digunakan dalam
penelitian ini Islamic Construktivism World View, yaitu dengan mengkorelasikan
antara paradigma barat dan paradigma Islam. Penelitian ini berusaha menjelaskan
12Naily Rahmah, Peran Bimbingan dan Konseling Agama dalam menanggulangi Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-anak Usia Dini (Studi Kasus di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang), Skripsi (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003).
faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan peminangan dini dan
bagaimana prosesi yang melingkupi pelaksanaan peminangan dini ditinjau dari
perspektif Islam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dimana faktor-faktor
yang melatarbelakangi pelaksanaan peminangan dini ditinjau dari perspekti Islam
di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan antara lain: a) adat
kebiasaan nenek moyang, b) dominasi orang tua, c) kepercayaan kepada tokoh
masyarakat yang berlebihan, d) sterotip negatif, e) ekonomi, dan f) mitos
(kelahiran bayi dalam waktu yang sama). Jadi, dapat disimpulkan bahwa semua
faktor-faktor tersebut tidak sesuai dengan prinsip dasar dalam ajaran Islam.
Adapun prosesi yang melingkupi pelaksanaan peminangan dini di Desa Arok
Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, akan tetapi ada satu hal sedikit bersinggungan, yaitu ketika mencari
pasangan pertama yang diprioritaskan adalah yang dekat hubungan darahnya, hal
ini bertolak belakang dengan prinsip ajaran Islam, dimana mencari pasangan
dianjurkan yang jauh hubungan darahnya.13
3. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Rohela pada tahun 2003 mahasiswa
Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan judul:
Perkawinan Di bawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga
Sakinah
(Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura).
Penelitian ini mengkaji dan membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya perkawinan di bawah umur dan pengaruh perkawinan di bawah umur
terhadap pembentukan keluarga sakinah dan juga bagaimana upaya yang
13Holilur Rahman, Peminangan Dini Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2006).
dilakukan oleh KUA Kecamatan Tlanakan Pamekasan-Madura untuk
mengurangi terjadinya perkawinan di bawah umur.
Dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik pengambilan datanya
interview, dokumentasi dan observasi, secara umum Rohela menggambarkan
bahwa Kecamatan Tlanakan terletak dipesisir pantai yang memiliki tingkat
perekonomian yang relatif rendah dan sebagian besar masyarakatnya beragama
Islam. Hal tersebut menyebabkan masyarakat cenderung melaksanakan
perkawinan di bawah umur. Selain itu, faktor lain yang mendukung terjadinya
perkawinan di bawah umur adalah kurang mengerti dan memahami arti dan
maksud perkawinan baik hukum perkawinan nasional maupun hukum
perkawinan Islam. Sehingga hasil akhir dari penelitiannya menunjukkan bahwa
perkawinan di bawah umur tersebut sangat berpengaruh terhadap pembentukan
keluarga sakinah dan mempunyai akibat negatif terhadap kesehatan sang ibu
maupun anak yang dilahirkan.14
4. Penelitian skripsi yang dilakukan oleh Achmad Fauzi pada tahun 2006
mahasiswa Fakultas Syari ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, dengan
judul: Perkawinan Endogami Di Kabupaten Pamekasan . Penelitian ini,
memfokuskan pada alasan utama tentang perkawinan endogami dan bagaimana
dampak serta akibat yang timbul dari pelaksanaan perkawinan endogami
tersebut. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis-empiris dan dengan jenis
penelitian studi kasus (case study), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
perkawinan memiliki dua sistem, yaitu sistem perkawinan endogami dan sistem
14Rohela, Perkawinan Dibawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga Sakinah (Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2003).
perkawinan eksogami. Perkawinan endogami adalah sistem perkawinan dimana
anggota masyarakat hanya memperbolehkan mengawini atau menikah dengan
anggota masyarakat lain yang masih dalam satu marga. Sedangkan sistem
perkawinan eksogami adalah perkawinan yang dilakukan oleh anggota
masyarakat di luar marga atau kelompoknya sendiri.
Perkawinan eksogami dalam ajaran Islam sangat dianjurkan dengan tujuan untuk
memperluas tali silaturrahim dan menghindari kemungkinan kawin atau menikah
dengan saudara sesusuan. Namun Islam sendiri tidak melarang adanya
perkawinan endogami dan sistem perkawinan ini, banyak juga kita jumpai di
masyarakat dengan berbagai alasan dan berbagai faktor, diantaranya faktor
budaya, menjaga dan mempertahankan status sosial, dan menjaga harta warisan.
Faktor tersebut juga menjadi alasan pasangan kawin endogami di Desa Palengaan
Laok Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.
Melakukan suatu perkawinan dengan eksogami ataupun endogami keduanya
sama-sama diperbolehkan oleh Islam dan semuanya bisa diterima oleh
masyarakat, hal yang terpenting dalam suatu perkawinan adalah bagaimana
hubungan perkawinan tersebut bisa dijaga keutuhannya.15
Dari keempat penelitian terdahulu tersebut, dapat diketahui bahwa penelitian
dengan judul E-CANG PANCANG: UPAYA MEMPERTAHANKAN JALUR
KEKERABATAN DAN MUNCULYA KONFLIK KELUARGA KIAI PRAJJAN
yang dilakukan ini ternyata belum pernah diteliti, meskipun objek penelitiannya
sama, yakni pada masyarakat Madura, akan tetapi fokus kajian penelitiannya berbeda
15Achmad Fauzi, Perkawinan Endogami di Kabupaten Pamekasan,
Skripsi (Malang: UIN Malang, 2003).
dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Naily Rahmah, Holilur Rahman, Rohela
dan Achmad Fauzi sebagaimana yang telah dipaparkan di atas. Penelitian ini
memfokuskan pada bagaimana e-cang pancang sebagai upaya mempertahankan jalur
kekerabatan dan munculya konflik keluarga kiai di Desa Prajjan Kecamatan
Camplong Kabupaten Sampang.
B. Khitbah dalam Perspektif Fiqh
Satu langkah awal untuk dari suatu pernikahan adalah melalui proses khitbah .
Hal ini telah disyari atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta ala sebelum diadakannya
akad nikah antara suami isteri. Dengan maksud, supaya masing-masing pihak
mengetahui pasangan yang akan menjadi pendamping hidupnya. Khitbah menurut
bahasa berasal dari kata
yang artinya meminang.16 Menurut Sayyid Sabiq
dalam fiqhus sunnahnya, khitbah adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang
perempuan untuk menjadi isterinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di
tengah-tengah masyarakat.17 Sedangkan menurut Mukhtar Kamal cara-cara khitbah
tidak hanya dapat dilakukan oleh laki-laki secara langsung, tetapi dapat juga
dilakukan melalui perantaraan pihak lain yang dipercayainya.18 Sehingga dari
beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa khitbah merupakan suatu
langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki yang ingin menikah
dengan menanyakan terlebih dahulu apakah perempuan tersebut bersedia atau tidak
menjadi isterinya dan perempuan tersebut dapat menerima atau menolaknya.
16Syarif Al-Qusyairi, Kamus Akbar Arab-Indonesia (Surabaya: Karya Ilmu, t.th.), 117. 17Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , diterjemahkan M. Ali, Fikih Sunnah 6 (Bandung: Al-Ma arif, 1987), 35. 18Muchtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 33.
Mengenai lafadz khitbah, ulama fiqih membagi dalam dua bentuk, yaitu:19
1. As-Sharih (jelas), yaitu tidak mengandung pengertian lain selain meminang.
2. Kinayah (sindiran), seperti seorang laki-laki mengatakan kepada seorang
perempuan saya ingin menikahi seorang wanita . Ulama fiqih sepakat bahwa
apabila peminangan dilakukan dengan lafal al-kinayah maka harus disertai
dengan niat.
Dalam meminang, seorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa
sifat yang ada pada wanita yang akan dipinang, diantaranya:20
1. Wanita itu disunnahkan seorang yang penuh cinta kasih. Maksudnya, ia harus
selalu menjaga kecintaan terhadap suaminya, sementara sang suami pun memiliki
kecenderungan dan rasa cinta padanya.
2. Disunnahkan pula agar wanita yang akan dipinang itu seorang yang banyak
memberikan keturunan, karena ketenangan, kebahagiaan dan keharmonisan
keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap
pasangan suami-isteri.
3. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu seorang yang masih gadis dan masih
muda. Hal itu sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab Shahihain dan juga
kitab-kitab lainnya.
4. Dianjurkan untuk tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat,
karena Imam Syafi i pernah mengatakan, jika seseorang menikahi wanita dari
keluarganya sendiri, maka kemungkinan besar anaknya mempunyai daya pikir
yang lemah.
Dalam ilmu dan teknologi ditetapkan bahwa di antara sebab
19Hafidz Dasuki dkk, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), 928. 20Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Al-Usratul Muslimah , diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), 12-15.
musnahnya etnis adalah pembatasan hubungan (menikah) dalam satu kelompok
saja, karena hal itu dapat mengakibatkan rusaknya silsilah dan lemahnya
keturunan.
5. Disunnahkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita yang mempunyai
silsilah keturunan yang jelas dan terhormat, karena hal itu akan berpengaruh pada
dirinya dan juga anak keturunannya.
6. Hendaklah wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia.
Karena ketaatan menjalankan agama dan akhlaknya yang mulia akan
menjadikannya pembantu bagi suaminya dalam menjalankan agamanya,
sekaligus akan menjadi pendidik bagi anak-anaknya, akan dapat bergaul dengan
keluarga suaminya dengan baik.
7. Selain itu, hendaklah wanita yang akan dinikahi adalah seorang yang cantik,
karena kecantikan akan menjadi dambaan setiap insan dan selalu diinginkan oleh
setiap orang yang akan menikah, dan kecantikan itu pula yang akan membantu
manjaga kesucian dan kehormatan.kecantikan itu bersifat relatif. Setiap orang
mempunyai gambaran tersendiri tentang kecantikan ini sesuai dengan selera dan
keinginannya.
C. Sistem Kekerabatan Keluarga Kiai
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat
dapat
dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang
bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga
yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan
terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek
dan seterusnya.
Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan
dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri,
dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok
kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga
unilateral.
Dalam tradisi kehidupan para kiai, jaringan kekerabatan di antara mereka sangat
ketat. Cara praktis yang ditempuh untuk mempererat jalur kekerabatan kiai antara
lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perkawinan endogamous di
antara keluarga kiai. Kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan
kekerabatan serta dipererat dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kiai satu
dengan lainnya.
D. Teori-teori Konflik
1. Deskripsi Teori Konflik
Teori konflik merupakan sebuah teori yang beranggapan bahwa seluruh
kehidupan sosio budaya yang ditentukan oleh pertentangan antara dua kelas sosial
yang terlibat dalam proses produksi, yaitu kaum industri yang mengontrol alat-alat
produksi, dan kaum proletar.21 Dalam pandangan ini, konflik memberikan kontribusi
terhadap pemersatu suatu komunitas.
Di samping itu, konflik dianggap sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau
tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan
21M. F. Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an Teori dan Praktik (Malang: UIN Malang Press, 2006), 45.
yang persediaannya tidak mencukupi. Sekalipun memojokkan, merugikan atau
menghancurkan lawannya, konflik disebut sebagai unsur interaksi yang penting, dan
baik. Konflik memberikan banyak kontribusi terhadap kelestarian kelompok dan
mempererat hubungan antara anggotanya. Pada sisi lain, teori konflik membedakan
dengan jelas antara perasaan-perasaan subjektif, seperti amarah, kebencian, antipati,
keinginan akan balas dendam, dengan relasi-relasi pertentangan yang objektif dan
struktural.22
Teori konflik berasal dari berbagai sumber seperti teori Marx dan pemikiran
konflik sosial dari Simmel.23 Dalam teorinya, Marx menekankan pentingnya kondisi-
kondisi material yang melandasi konflik, terutama konflik kelas yang didasari
hubungan-hubungan kepemilikan. Para teori konflik lainnya seperti Simmel adalah
sosiolog klasik yang memusatkan perhatiannya untuk mempelajari berbagai bentuk
dan konsekuensi konflik. Minat untuk mempelajari konflik mulai bangkit kembali,
paling tidak di negara-negara yang berbahasa Inggris, pada tahun 1960- an. Para
teori konflik memberi penekanan yang berbeda-beda dan hal ini memperkaya
khazanah pemikiran mengenai konflik. Banyak diantaranya yang berpedoman pada
pemikiran Marx, meskipun mereka sendiri memiliki pemikiran yang saling berlainan
terhadap pemikiran Marx itu sendiri. Sebagai contoh, Gramsci (1971) menekankan
pentingnya hegemoni kultural kelas penguasa sebagai bentuk dominasi. Sedangkan
Dahrendorf (1959) berpendapat bahwa hubungan-hubungan kekuasaanlah, bukan
hubungan kepemilikan, yang melandasi konflik sosial.24
22Ibid., 46. 23George Ritzer and Douglas J. Goodman, Modern Sociological Theory , diterjemahkan Alimandan, Teori Sosiologi Modern (Jakarta: Kencana, 2004), 153. 24Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Cet. 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), 156.
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat
mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus
dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus
harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji
konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama
dihadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat tidak akan ada tanpa
konsensus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tidak akan
punya konflik kecuali ada konsensus sebelumnya.25 Contoh, keluarga KH. Ach.
Zaini sangat tidak mungkin berkonflik dengan keluarga KH. Abd. Latief, karena
tidak ada kontak antara mereka, tidak ada integrasi sebelumnya yang menyediakan
basis untuk konflik.
Menurut Jandt dalam bukunya Robby I Chandra yang berjudul Konflik Dalam
Kehidupan Sehari-hari , berpendapat bahwa konflik terjadi apabila pihak-pihak yang
terlibat melihat kehadiran sikap/tindakan di dalam hubungan mereka yang bisa
dianggap sebagai tindakan konflik. Tindakan konflik ini ada yang diwujudkan secara
lisan atau isyarat. Dalam tingkat antar pribadi bisa juga disampaikan secara lisan
yaitu saling menghindar atau saling diam.26
Adapun pengertian konflik itu sendiri, menurut Webster (1966), istilah conflict
di dalam bahasa aslinya berarti suatu perkelahian, peperangan, atau perjuangan ,
yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian
berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas
berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang
25George Ritzer and Douglas J. Goodman, Op. Cit., 154. 26Robby I Chandra, Konflik Dalam Kehidupan Sehari-hari (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 30.
juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain
konfrontasi fisik itu sendiri. Secara singkat, istilah conflik menjadi begitu meluas
sehingga berisiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.27
Konflik menggambarkan sebuah situasi dimana masing-masing pihak
menginginkan sesuatu yang tidak ingin diberikan oleh pihak yang lain. Konflik
sering dirasakan sebagai kemelut, apakah kemelut itu muncul dari dalam (individu),
pada hubungan dua orang, pada sebuah kelompok keluarga kecil, atau pada sebuah
organisasi. Namun, konflik juga memberikan kesempatan untuk berkembang, hidup
baru, dan pada saat yang sama itu juga potensial juga menghasilkan kehancuran,
kematian dan stagnasi.28
Sejalan dengan pendapat di atas, banyak para ahli manajemen konflik
memberikan arti dari konflik itu sendiri, yakni tindakan perlawanan atas suatu
pertentangan, (pertentangan kepentingan, tujuan, opini, mental) pertarungan,
benturan yang terjadi dalam kelompok, antara individu atau pribadi.29
Di tengah-tengah perkembangan masyarakat Indonesia, banyak pendapat umum
yang salah mengartikan konflik antara lain sebagai berikut:
a. Selalu tidak menyenangkan jika menghadapi seseorang yang bermasalah;
b. Konflik jika diabaikan akan selesai dengan sendirinya;
c. Kemarahan dan emosi merupakan faktor negatif yang merusak.30
2. Aliran Teori Konflik
27Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 9. 28Joyce L. Hocker and William W. Wilmot, Interpersonal Conflik, Third Edition (Oubjuque, Lowa: Wm. C. Brown Publisher, 1991), 4. 29Susul Tetrabuana Soeryo, Manajemen Konflik Sosial (Jakarta: Restu Agung, 2005), 3. 30Ibid., 6.
Pendekatan dini terhadap konflik yang diungkapkan oleh Robbins,
mengandaikan bahwa semua konflik itu buruk. Konflik dipandang sebagai hal yang
negatif dan disinonimkan dengan istilah seperti kekerasan, deskruktif, dan irasional
demi memperkuat konotasi negatifnya.31 Seiring dengan perkembangan, konflik
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang berkonotasi negatif hingga memunculkan
tiga aliran konflik, yaitu:
a. Aliran Tradisional
Aliran tradisonal ini adalah aliran yang paling tua dan selalu beranggapan
bahwa konflik itu buruk. Konflik akan merugikan, oleh karena itu sedapat
mungkin harus dihindari. Aliran ini melihat konflik sebagai suatu hasil
disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurangnya keterbukaan dan
kepercayaan satu sama lain. Oleh aliran ini, konflik dipandang negatif dan
disamakan dengan segala bentuk pengrusakan, demonstrasi, penghancuran dan
pemaksaan negatif lainnya.
b. Aliran Hubungan antar Manusia
Aliran ini beranggapan bahwa konflik itu terjadi secara alami dan
keberadaannya tidak terelakkan, sehingga mau atau tidak mau konflik pasti ada
dalam komunitas tertentu, karena konflik tidak dapat dihindari. Maka keberadaan
konflik dalam suatu komunitas harus diakui dan konflik tidak dapat disingkirkan,
bahkan adakalanya konflik dapat bermanfaat pada kinerja kelompok.
c. Aliran Interaksionis
31S. P. Robbins, Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi (Jakarta: PT. Prenhallindo, 1996), 125.
Jika pada aliran tradisional diupayakan menghindarkan diri dari konflik,
maka pada aliran hubungan antar manusia keberadaan konflik diterima
sedangkan pada aliran interaksionis ini malah konflik sebaiknya didorong
keberadaannya dan sebisa mungkin konflik diciptakan. Aliran ini mendorong
konflik atas dasar kelompok yang kooperatif, tenang, damai dan serasi cenderung
menjadi statis, apatis dan tidak tanggap pada kebutuhan akan perubahan dan
inovasi. Kontribusi utama dalam aliran ini adalah mendorong para pemimpin
kelompok untuk tetap mempertahankan tingkat konflik minimum sehingga
menghasilkan titik diri dan terciptanya proses kreatif.32 Aliran ini sangat
mendukung ketidaksamaan dengan membuka kritik dan pertanyaan yang
ditujukan pada pihak-pihak lain sehingga akan memberikan bantuan atau
masukan bagi kinerja yang baik.
3. Klasifikasi Konflik
Menurut Newtrom dan Davis konflik terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:33
a. Konflik Intrapersonal
Konflik yang terjadi dalam diri individu yang dapat berupa konflik peran
atau ambiguitas peran. Konflik ini bisa mengakibatkan seseorang mengalami
stres atau gangguan emosional yang tinggi dan juga pikiran dan perilakunya tidak
terkontrol sehingga akan mempengaruhi prestasi individu. Konflik intrapersonal
ini sering dialami ketika kita menghadapi pilihan untuk melakukan atau menolak
32Suherman, Pengantar Managemen (Konseptual dan Perilaku) (Malang: Unibraw, 1999), 315-316. 33K. Davis & J. W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi, (Terjemahan), Alih Bahasa Oleh Agus Dharma, (Jakarta: Erlangga, 1993), 201.
mengerjakan sesuatu. Dalam kondisi seperti ini, kita dapat saja menyalahkan dan
membenci, bahkan menyakiti dan membunuh diri sendiri.34
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal atau antar pribadi merupakan masalah yang serius bagi
banyak orang karena konflik tersebut sangat mempengaruhi emosi seseorang.
Ada kebutuhan untuk melindungi citra diri dan harga diri dari tindakan orang lain
yang merusaknya. Apabila konsep diri terancam, timbul kekecewaan yang serius
dan hubungan dapat terganggu. Konflik antar pribadi ini juga dapat berkembang
dari kegagalan atau perbedaan persepsi. Konflik intrapersonal ini dapat berbentuk
individu-individu, antar individu dalam keluarga,35 antar individu yang terjalin
dengan komitmen persahabatan, antaretnis atau komunitas masyarakat yang
diikat dengan komitmen, baik komitmen kebangsaan atau kenegaraan, maupun
keagamaan.36
c. Konflik Antar Kelompok
Konflik antar kelompok yang terjadi diantara departemen yang berbeda juga
dapat menimbulkan masalah. Konflik ini terjadi dari hal-hal seperti pertentangan
pendapat loyalitas kelompok dan persaingan memperebutkan sumber daya.
Konflik yang terjadi karena memperebutkan sesuatu yang mengandung nilai
materi. Hampir semua kelompok merasa bahwa mereka memerlukan lebih
banyak dari pada yang mereka peroleh, jadi sebenarnya ada benih konflik antar
kelompok apabila sumber daya yang tersedia terbatas.
34M. F. Zenrif, Op. Cit., 52. 35Keluarga yang dimaksudkan, baik bentukan keluarga yang didasarkan atas pertalian keturunan maupun keluarga yang didasarkan atas pertalian adopsi. 36M. F. Zenrif, Loc. Cit.
Beberapa asumsi yang dapat digunakan dalam memahami konflik dari yang
negatif sampai yang positif .
a) Konflik merupakan kenyataan adanya penyimpangan dalam masyarakat,
akibat tidak patuhnya aturan atau pranata yang ada.
b) Konflik merupakan peristiwa yang tidak produktif, dan cenderung membawa
kerusakan, oleh sebab itu harus dihindari dengan segala macam cara.
c) Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia. Konflik adalah hal yang
wajar dalam kehidupan manusia-bukan cela, tetapi bukan hal yang
diharapkan.
d) Konflik memuat dua sisi sekaligus: ancaman dan peluang.
Konflik merupakan energi perubahan sosial. Dengan demikian konflik
dipandang sebagai kekuatan yang justru mendorong keberlangsungan proses
perubahan sosial.37
4. Tanda-tanda atau Gejala-gejala Konflik
Konflik tidak selalu digambarkan dalam bentuk nyata seperti pertentangan
antara beberapa orang secara terbuka, seperti berteriak atau saling dorong mendorong
badan, atau saling pukul memukul, atau bahkan tanda-tanda lain yang secara fisik
mudah dilihat dengan panca indera kita.
Konflik juga dapat dikenali melalui intuisi. Intuisi anda akan memberi tahu anda
tentang sesuatu yang tidak beres, jadi dalam diri seseorang kadang terdapat suatu
konflik, tetapi orang tersebut mampu meredam perasaan konflik tersebut, tetapi efek
perilaku dalam sebuah komunitas keluarga misalnya dapat dilihat dari sisi tingkah
37Amir Mulkhan, Palagan Konflik (Yogyakarta: Forum LSM DIY, 2001), 40.
lakunya maupun cara pandang, sehingga konflik dapat diekspresikan secara pasif
maupun agresif.38
Tanda-tanda atau gejala-gejala konflik dapat diperlihatkan sesuai dengan gambar
1 dibawah ini:
Kuadran IV Kuadran I
Kuadran III Kuadran II
Gambar. 1
Kuadran I (kombinasi jelas dan agresif) adalah tanda yang jelas dari konflik
yang ditunjukkan secara agresif. Contohnya adalah: teriakan, celaan, ejekan dan
kekerasan, dll.
Kuadran II (kombinasi dari agresif dan tersembunyi) adalah tanda tersembunyi
dari konflik yang ditunjukkan secara agresif, contohnya komentar-komentar yang
merendahkan, pelecehan, penghinaan, selalu mengkritik dan mencari-cari kesalahan,
kebencian untuk mencoreng orang lain dll.
Kuadran III adalah tanda tersembunyi dari konflik yang ditunjukkan secara
pasif, misalnya tidak mau cooperatif, menderita atas suatu penyakit. Misalnya dalam
sebuah acara perkawinan, terdapat seseorang yang tidak mau hadir dalam acara
38Susun Tertabuana Soeryo, Manajemen Konflik Sosial (Jakarta: Restu Agung, 2005), 12-13.
JELAS
AGRESIF
TERSEMBUNYI
PASIF
tersebut dengan alasan bepergian luar kota, hal ini dilakukan secara terbuka karena
dia tidak menyukai keluarga tersebut.
Kuadran IV adalah tanda yang jelas nampak yang ditunjukkan secara jelas dalam
kejadian konflik secara pasif,39 misalnya mengirim surat telegram yang salah, lalu
dikirim kepada atasannya, hanya berkata Siap
kepada komandan, tidak mau
berbicara terhadap komandannya dan lain-lain.
5. Tahap-tahap Penyelesaian Konflik
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menghindari dan
menyelesaikan konflik diantaranya adalah:
a. Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih
disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain.
b. Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia
menerima kurang dari sebetulnya dengan apa yang diinginkan. Masing-
masing pihak bersedia menerima kekurangan dari yang sebetulnya mereka
inginkan untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak.
Yielding memang menciptakan solusi, tetapi bukan berarti solusi yang
berkualitas tinggi.
c. Problem Solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang
memuaskan aspirasi kedua belah pihak.
d. With Drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik,
baik secara fisik maupun psikologis. With drawing melibatkan pengabaian
39Ibid., 14.
terhadap kontroversi, sedangkan di dalam ketiga strategi yang lain
terkandung upaya mengatasi konflik yang berbeda satu sama lain.
e. Inaction (diam), yaitu tidak melakukan apapun. Masing-masing pihak saling
menunggu langkah berikut dari pihak lainnya, entah sampai kapan. Tetapi
pada akhirnya usaha mengatasi jalan buntu itu justru berhasil karena
keduanya tidak melakukan apapun.40
E. Kiai di Masyarakat Madura
Sebutan kiai di Madura, biasanya diberikan kepada orang yang memiliki atau
memimpin sebuah pondok pesantren. Akan tetapi sebutan kiai atau ulama juga
berlaku bagi orang yang memiliki darah keturunan seorang kiai. Sampai saat ini,
unsur keturunan itu merupakan faktor penentu penyebutan terhadap seorang sebagai
kiai. Apalagi jika faktor keturunan tersebut berkaitan dengan seorang kiai yang
kharismatik, maka anak-anaknya secara otomatis mereka juga akan disebut sebagai
kiai oleh masyarakatnya, sekalipun mereka tidak memiliki kelebihan apa-apa. Lebih-
lebih bagi mereka yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan kiai yang
lain, seperti alim di bidang ilmu agamanya atau sakti (memiliki ilmu ghaib) dan lain-
lain.41
Sejalan dengan pendapat di atas, hasil penelitian Sunyoto Usman di Kabupaten
Pamekasan yang mengemukakan adanya tiga istilah kiai dalam masyarakat Madura
sebagaimana dikutip oleh Muthmainnah sebagai berikut:
40Dean G. Pruitt and Jeffrey Z. Rubin, Op. Cit., 4-6. 41Samheri, Kompetensi Kiai Sebagai Wali Hakim Dalam Pernikahan Bawah Tangan (Kasus di Desa Bujur Tengah Kecamatan Batumarmar Kabupaten Pamekasan), Skripsi (Malang: UIN Malang, 2005).
1. Kiai diartikan sebagai figur pemimpin pondok pesantren. Status ini didapat
karena keturunan (ascribed status). Penyandangnya adalah seorang keturunan
kiai (anak, saudara kandung, ipar, menantu) yang mempunyai keahlian dalam
ilmu agama dan menjadi tokoh masyarakat serta fatwa-fatwanya selalu
diperhatikan.
2. Kiai diartikan sebagai tokoh masyarakat berpengetahuan keagamaan. Kiai
tipe ini tidak menjadi pemimpin namun seringkali mengadakan pertemuan
dengan kiai pemimpin pondok pesantren. Kebanyakan dari mereka adalah
alumni pondok pesantren itu atau ada beberapa diantaranya yang merupakan
keturunan kiai. Sama halnya dengan kiai tipe 1, mereka menjadi panutan
masyarakat dan ide - idenya seringkali menjadi keputusan desa. Kedudukan
ini diperoleh dengan usaha (achieved status).
3. Kiai diartikan sebagai guru mengaji di surau (langghar: Mushalla).
Sebetulnya, mereka bukan selalu tokoh masyarakat yang dimintai pendapat,
tetapi hanyalah orang yang mempunyai beberapa santri untuk belajar mengaji
al-Qur an. Disamping itu, mereka juga berfungsi sebagai imam di surau
(masjid) setempat.42
Ulama atau kiai memiliki tempat yang spesifik dalam masyarakat Madura, tidak
hanya karena proses penyebaran agama yang merata diberbagai wilayah. Akan
tetapi, didukung oleh kondisi-kondisi ekologi (tegal) dan struktur pemukiman
penduduk yang ada. Ulama merupakan perekat solidaritas dan kegiatan-kegiatan
keagamaan, membangun sentimen kolektif keagamaan, dan penyatuan elemen sosial
42Muthmainnah, Jembatan SURAMADU: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi (Yogyakarta: LKPSM, 1998), 43-44.
atau kelompok kekerabatan yang tersebar karena faktor ekologis dan struktur
pemukiman tersebut.43 Oleh karena itu, tidak heran jika ulama dan kiai dijadikan
sebagai pemegang otoritas keagamaan yang memiliki pengaruh yang besar dalam
kehidupan orang Madura lebih-lebih masyarakat pedesaan, sehingga dalam
kedudukan dan peranannya yang diposisikan sebagai pemimpin sosial keagamaan,
kadang-kadang pengaruhnya tidak terbatas pada batas geografis lingkungan
masyarakatnya.
Masyarakat Madura memiliki kepatuhan dan ketundukan yang sangat tinggi
terhadap kiai atau ulamanya. Hal itu dapat terlihat dari ungkapan Buppa , Babbu,
Guru, ban Rato , yang artinya Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan
Ungkapan tersebut mencerminkan hierarki kepatuhan dikalangan masyarakat
Madura.44 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Prajjan dalam
memberikan kepatuhan hierarkinya dimulai dari kedua orang tua, kemudian guru dan
selanjutnya kepatuhan diberikan kepada ratu pemimpin atau pemerintah. Tidak ada
kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan,
dan kepasrahan kepada keempat figur tersebut.
Kepatuhan atau ketaatan kepada ayah dan ibu (Buppa ban Babbu ) sebagai
orang tua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya.
Secara kultural ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orang tuanya
adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakaanlah ditimpakan
kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks
budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orang tuanya menjadi kemestian
43Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 53. 44Ibid., 54.
secara mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Kepatuhan
mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh
faktor genealogis.45 Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika
pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orang tuanya maka pada saatnya nanti
dia ketika menjadi orang tua akan ditaati pula oleh anak-anaknya.
Selanjutnya, penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan
menekankan pada pengertian kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-
kurangnya ustadz pada sekolah-sekolah keagamaan. Kepatuhan kultural orang
Madura kepada guru (kiai/ustadz) karena peran dan jasa mereka itu dipandang
bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru berjasa dalam
mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk memperoleh
kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak.
Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah
memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pasca
kehidupan dunia.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan)
menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang dari mana
pun etnik asalnya, bukan karena faktor genealogis melainkan karena keberhasilan
prestasi dalam meraih status. Figur Rato dipandang berjasa dalam mengatur
ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja,
mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebebasan
beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau
45Taufiqurrahman, "Islam dan Budaya Madura," http://www.ditpertais.net/annualconference/ancon, (diakses pada 11 Desember 2007), 3.
keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam
perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama
wajib untuk dipatuhi.46
Dengan demikian kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur tersebut,
sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi religiusitas budayanya.
Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+
97-99%) muslim,47 Madura
menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan
kepada ajaran normatif agamanya.
Dalam kehidupan masyarakat Madura, khususnya yang berada di daerah
pedesaan, kedudukan dan peranan kiai sangatlah besar. Pengaruhnya melampaui
batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan yang lain, termasuk kepemimpinan
dalam birokrasi pemerintahan, sehingga tidak berlebihan kiranya bila masyarakat
Prajjan merasa lebih bangga dihadiri para kiai dari pada dihadiri Bupatinya ketika
mereka mengadakan suatu acara.
Dalam berbagai urusan kehidupan sehari-hari, kiai menjadi tempat mengadu.
Berbagai urusan warga masyarakat, seperti masalah perjodohan, pengobatan
penyakit, mencari rezeki, mendirikan rumah, mencari pekerjaan dan karir sering
diadukan kepada kiai. Nasehat-nasehatnya akan diperhatikan dan dilaksanakan oleh
warga masyarakat tersebut. Bahkan kadang-kadang masyarakat yang fanatik
terhadap kiai melaksanakannya tanpa memperhitungkan apakah hal itu baik atau
tidak.48 Bahkan hampir semua masyarakat Desa Prajjan rela mengabdi, bekerja
dilahan milik kiai tanpa imbalan materi apapun. Bahkan tidak jarang diantara mereka
46Ibid., 4-6. 47A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 42. 48Ibid., 55.
berkorban dan rela mati demi membela dan membatu kiai yang dipercaya, dihormati,
dan diikutinya (kharismatik).
Dengan demikian, dapat dijelaskan pula bahwa masyarakat Madura pada
umumnya, masyarakat Sampang pada khususnya, utamanya masyarakat Desa Prajjan
dalam memberikan penghormatan dan kepercayaan kepada ulama atau kiai melebihi
penghormatan dan kepercayaan yang diberikan kepada orang-orang yang menduduki
jabatan di instansi pemerintahan, seperti halnya pegawai Depag atau KUA dan lain
sebagainya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Gambaran Kondisi Obyek Penelitian
1. Kondisi Geografis
Desa Prajjan merupakan salah satu desa dari 14 (empat belas) desa yang berada
di wilayah Kecamatan Camplong. Adapun pemilihan lokasi tersebut adalah
berdasarkan tinjauan deskriptif, dimana daerah tersebut dikenal dengan desanya para
kiai, karena mayoritas (± 60 %) penduduknya adalah keluarga para kiai. Sehingga
kebiasaan e-cang pancang masih sangat kental di desa ini.
Desa ini memiliki dua dusun yakni: Dusun Prajjan Dajah dan Dusun Prajjan
Lao', terbagi menjadi 16 komplek,49 yaitu:
49 H. Moh. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
1. Langgar Genteng 9. Langgar Bungso 2. Langgar Tana 10. Accem Manis 3. Langgar Temor 11. Langgar Tete Tana 4. Langgar Laok 12. Burneh 5. Temor Songai 13. Langgar Somber 6. Langgar Seppo 14. Masaran 7. Congkop Temor 15. Somber Oloh 8. Congkop Bere' 16. Ge' Onggeen
Desa Prajjan mempunyai batas-batas wilayah antara lain:
a. Sebelah Utara : Desa Banjar Tabulu
b. Sebelah Selatan : Desa Tambaan
c. Sebelah Barat : Desa Banjar Tabulu
d. Sebelah Timur : Desa Dharma Camplong
Berikut nama-nama desa di Kecamatan Camplong:
1. Dharma Camplong 8. Taddan
2. Prajjan 9. Pamolaan
3. Banjar Talelah 10. Rabasan
4. Banjar Tabulu 11. Anggersek
5. Sejati 12. Tambaan
6. Tanjung 13. Plampaan
7. Batu Karang 14. Madupat
Desa Prajjan terletak di sebelah timur kota Kabupaten Sampang yang berjarak ±
8 km dan dari pusat Kecamatan berjarak ± 2,5 km, dengan luas wilayah 4.600, 000
Ha. Adapun jumlah penduduk Desa Prajjan sampai dengan Desember 2006 tercatat
2.900 jiwa, terdiri dari: Laki-laki 1.353 jiwa, perempuan 1.547 jiwa, dan terdapat 620
kepala keluarga.50
2. Kondisi Sosial Keagamaan
Berbicara mengenai sosial keagamaan (religiusitas) yang ada di Madura pada
umumnya, termasuk di dalamnya Desa Prajjan Kecamatan Camplong khususnya
yang menjadi obyek dan kajian dalam penelitian ini. Adanya keadaan sosial yang
cukup kental dan homogen di dalamnya menjadi fenomena yang tidak asing lagi bagi
orang lain, khususnya orang luar Madura. Hal ini terbukti tidak adanya tempat
peribadatan agama-agama lain di luar Islam, jadi semua penduduknya 100% murni
beragama Islam dengan madzhab yang diyakini yakni madzhab Syafi'i.51 Oleh karena
itu proses dan aktivitas keberagamaan dapat berjalan dengan lancar, yang di
dalamnya terdapat semangat dan minat masyarakat untuk menuntut dan mendalami
ilmu agama.
Masyarakat Desa Prajjan tergolong masyarakat yang berbakti terhadap orang tua
dan juga fanatik terhadap kiai yang diyakini dan ditaati. Bentuk bakti terhadap orang
tua, terbukti dengan adanya kebiasaan e-cang pancang yang sudah mendarah daging
dalam kehidupan masyarakat Desa Prajjan. Adapun bentuk penghormatan terhadap
orang yang diyakini dan ditaati (kiai) yaitu dengan mematuhi dan melaksanakan apa
yang diucapkan dan disukai dalam kesehariannya. Hal itu terjadi karena masyarakat
Madura mempunyai sebuah falsafah hidup Buppa , Babbu, Guru, Rato (Ayah, Ibu,
Guru, dan Ratu (Pemimpin pemerintahan))52, ungkapan ini mencerminkan hierarki
50 Sistem Pendataan Profil Desa dan Kelurahan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampag 2006. 51KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 21 Oktober 2007). 52Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Madura:Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur, (Malang: Bayumedia,2004), 54.
penghormatan dikalangan masyarakat Madura, bahwa penghormatan yang paling
utama harus diberikan kepada kedua orang tua, selanjutnya penghormatan diberikan
kepada guru, pengertian guru lebih terfokus kepada kiai, kemudian penghormatan
yang terakhir diberikan kepada penguasa atau pemerintah.
Kedudukan dan peranan seorang kiai di desa ini sangat besar pengaruhnya
terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan dibanding kedudukan
dan peranan pemerintah setempat. Hal ini terbukti bahwa kiai mendominasi jumlah
penduduk Desa Prajjan yakni 60% adalah golongan kiai dan 40% masyarakat biasa,
dan hampir 40 % golongan kiai tersebut memiliki pondok pesantren (Ponpes)
tersendiri. Akan tetapi yang eksis hanya 17 lembaga pondok pesantren yang
merupakan ponpes terbesar diantara ponpes-ponpes lainnya. 53
Faktor lain yang sangat berpengaruh terhadap identitas keagamaan yang kuat
(agama Islam) masyarakat Desa Prajjan, antara lain:
a. Situasi dan kondisi lingkungan wilayah Kecamatan Camplong yang
merupakan daerah dekat pesisir, yang secara historis proses dakwah Islam
melalui daerah-daerah tersebut, sehingga sampai saat ini kehidupan
masyarakat setempat cukup kokoh dalam menjalankan berbagai aktifitas
keagamaan. Selain itu proses pewarisan nilai-nilai ajaran Islam tersebut sudah
turun-temurun dari generasi ke generasi.
b. Banyaknya kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti: molotan,
sholawatan, gambus, imtihan, yasinan dan tahlilan, khotmil qur'an, kompolan
dan acara keagamaan lainnya.
53 KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 22 Oktober 2007).
c. Adanya kondisi lingkungan yang potensial, yang mana pada daerah tersebut
kondisi tanahnya cukup subur, selain itu masyarakatnya juga mudah dalam
kebutuhan air. Kondisi inilah yang menyebabkan para santri senang
melakukan aktifitas belajar di daerah ini.
d. Tidak cepat terpengaruh oleh adanya budaya-budaya yang datang dari luar
yang sifatnya bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.54
3. Kondisi Pendidikan
Secara umum, masyarakat Madura lebih mengenal pondok pesantren daripada
sekolah formal, begitu juga halnya masyarakat Desa Prajjan, seperti apa yang sudah
penulis paparkan di atas, menunjukkan banyaknya lembaga-lembaga pondok
pesantren merupakan sebuah bukti bahwa dalam hal pendidikan masyarakatnya lebih
mengutamakan pendidikan agama dibandingkan pendidikan umum.
Gambaran proyektif kondisi pendidikan formal di Desa Prajjan antara lain:
Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar Negeri (SDN), Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah Swasta (MAS). Sedangkan
pendidikan non formal, seperti: Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA), Madrasah
Diniyah (MD), Pondok Pesantren (Ponpes). Mereka yang menempuh pendidikan non
formal di pondok-pondok pesantren tersebut dengan cara nyolok55 maupun bermukim
di asrama pondok pesantren (monduk). Orang yang sedang menempuh jalur
pendidikan semacam ini disebut santri (santreh) dan yang telah selesai
54 H. Moh. Anwar Fajri, wawancara, (Prajjan, 24 Oktober 2007). 55Nyolok adalah istilah yang digunakan untuk santri yang belajar dan mengikuti kegiatan di pondok pesantren namun tidak menetap (mukim) di asrama pondok pesantren tersebut (pulang-pergi).
menempuhnya biasanya disebut bhindhereh.56 Para santri yang masuk ke pondok
pesantren tersebut bukan hanya berasal dari masyarakat desa setempat, melainkan
banyak juga yang berasal dari desa tetangga, luar kota maupun luar jawa seperti,
Kalimantan, Sulawesi dan lain sebagainya.
Tabel 1.
Sarana Pendidikan Formal/Non Formal Desa Prajjan Kecamatan Camplong
No.
Jenis Prasarana Jumlah 1. Taman Kanak-Kanak (TK) 2 2. Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) 12 3. Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 4. Madrasah Ibtidaiyah (MI) 5 5. Madrasah Diniyah (MD) 3 6. Madrasah Tsanawiyah (MTs) 1 7. Madrasah Aliyah Swasta (MAS) 1 8. Pondok Pesantren (Ponpes) 17
Namun perlu ditegaskan disini, berdasarkan hasil observasi dan wawancara
dengan Kepala Desa setempat, bahwa ternyata jumlah Ponpes di Desa Prajjan ini
mencapai 27 Ponpes, hasil observasi peneliti dan wawancara menunjukkan bahwa
dari 27 Ponpes yang ada, hanya 17 yang aktif atau memenuhi standart pelaksanaan
pendidikan, sedangkan yang 10 dalam prosesnya tidak memenuhi standart
pelaksanaan pendidikan pesantren.57 Data tersebut seperti pada tabel di atas.
Nama-nama Pondok Pesantren Yang Ada Di Desa Prajjan
No.
Nama Pesantren Pengasuh 1. PP. Nazhatut Thullab Alm. KH. Ach. Muafi Alif Zaini 2. PP. Fatihul Ulum KH. Moh. Nasir Syuja'i 3. PP. Al- Furjani KH. Yahya Hamiduddin 4. PP. As- Salafi KH. Mufahhom 5. PP. Langgar Genteng K. Muhammad
56Bhindhereh adalah orang yang kemampuan religiusitasnya berada di bawah kemampuan kiai, namun sudah melampaui para santri. 57H. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
6. PP. Langgar Temor KH. Halim 7. PP. Langgar Laok KH. Kholil Munir 8. PP. Temor Sungai KH. Syakur 9. PP. Langgar Seppo KH. Tohe
10. PP. Congkop Barat KH. Sumawan 11. PP. Langgar Bungsoh KH. Mujelis 12. PP. Accem Manis KH. Husein 13. PP. Langgar Tete Tana KH. Mabrur 14. PP. Burneh KH. Abd. Wasi' 15. PP. Langgar Somber KH. Tajussalam 16. PP. Masaran KH. Alfawi 17.
PP. Somber Oloh KH. Abdullah Sattar58
Data di atas menunjukkan bahwa untuk Ponpes nomor urut 1 s/d 4 nama
pesantren berasal dari adanya proses manajemen pendidikan yang ada di dalamnya,
sedangkan untuk nomor urut 5 s/d 17 nama pesantren diambil dari nama gedung atau
komplek yang ada. Perbedaannya terletak pada kurikulum, untuk pesantren nomor
urut 1 s/d 4 di dalamnya terdapat kurikulum agama dan umum, sedangkan untuk
pesantren nomor urut 5 s/d 17 hanya memprioritaskan pada kurikulum agama.
4. Kondisi Ekonomi
Adanya perekonomian merupakan cara/usaha untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Perekonomian terjadi jika ada manusia saling membutuhkan, begitu juga
keadaan perekonomian masyarakat Desa Prajjan yang diramaikan oleh masyarakat
dengan aktifitas petani. Aktifitas-aktifitas bidang pertanian ini tidak dapat
berlangsung sepanjang tahun. Aktifitas menanam tembakau (bhekoh) hanya dapat
dilakukan pada musim kemarau (nemor) sedangkan pada musim penghujan
(nambhere ), lahan sawah biasanya ditanami jagung, ketela pohon, umbi-umbian,
kedelai, kacang-kacangan. Di samping itu, ada sekitar 13,241 % dari keseluruhan
jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani, 8,586 % berprofesi di bidang
58KH. Abd. Harits Muhobir, wawancara, (Prajjan, 13 Desember 2007).
jasa/perdagangan, 0,448 % berprofesi di bidang PNS, 0,275 % berprofesi sebagai
pegawai desa, 2,068 % berprofesi sebagai nelayan, 3,344 % merupakan pertukangan,
1,241 % berprofesi sebagai penambang batu bata, 0,310 % bekerja di bidang
ABRI/TNI, dan sekitar 70,482 % berstatus sebagai pengangguran atau tidak
memiliki pekerjaan (tetap).
Tabel 2. Jenis Pekejaan/Mata Pencaharian Penduduk59
No.
Mata Pencaharian Jumlah Keterangan 01. Petani 384 jiwa 13,241 % 02. Jasa/Perdagangan 249 jiwa 8,586 % 03. PNS 13 jiwa 0,448 % 04. Pegawai Desa 8 jiwa 0,275 % 05. Nelayan 60 jiwa 2,068 % 06. Pertukangan 97 jiwa 3,344 % 07. Penambang Batu Bata 36 jiwa 1,241 % 08. ABRI/TNI 9 jiwa 0,310 % 09. Pengangguran 712 jiwa 24,551 % 10. Lain-lain 1.332 jiwa 45,931 %
Jumlah 2.900 jiwa 100 %
5. Stratifikasi Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu mengalami perubahan dan
membentuk lapisan-lapisan dalam kehidupan masyarakat. Lapisan masyarakat berarti
jenjang status dan peranan yang relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial
(dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) dalam hal pembedaan hak, pengaruh
dan kekuasaan.
Secara garis besar, stratifikasi atau pelapisan sosial masyarakat Desa Prajjan
sama halnya dengan stratifikasi sosial masyarakat Madura pada umumnya yang
meliputi 3 (tiga) lapis, yaitu oreng kene
atau disebut juga oreng dume
sebagai lapis
59Sistem Pendataan Profil Desa dan Kelurahan Kecamatan Camplong Kabupaten Sampag 2006.
terbawah; pongghabeh sebagai lapis menengah; dan parjaji (Jawa: priayi) sebagai
lapis paling atas. Sedangkan menurut Abdurrahman, jika stratifikasi sosial ini dilihat
dari dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu santreh (santri) dan banne
santreh (bukan santri).60 Namun demikian, Islam tidak membeda-bedakan umatnya
satu dengan yang lain, laki-laki dan perempuan dianggap sederajat dalam hak-hak
keagamaan, etika dan sipil serta tugas-tugas dan kewajibannya, karena ajaran Islam
hanya membedakan kualitas ketaqwaannya saja.
Oreng kene
atau orang dume
(orang kecil) adalah kelompok masyarakat biasa
atau kebanyakan yang menempati lapisan sosial paling bawah. Profesi mereka
biasanya adalah sebagai petani, nelayan, pengrajin dan sebagainya; bahkan orang-
orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau pengangguran juga termasuk
dalam kelompok ini. Kemudian lapisan sosial menengah atau pongghabeh meliputi
para pegawai, terutama yang bekerja sebagai birokrat, mulai dari tingkatan bawah
hingga tinggi.
Sedangkan lapisan sosial paling atas adalah para bangsawan (parjaji), yang tidak
saja secara genealogis merupakan keturunan langsung raja-raja di Madura ketika
Madura berada dalam pengaruh atau menjadi bagian dari kerajaan-kerajaan besar di
Jawa. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, akhir-akhir ini
pencantuman gelar kebangsawanan sudah tidak populer lagi karena gelar-gelar itu
sebagai lambang feodalisme. Ironisnya, gelar-gelar kesarjanaan dari berbagai disiplin
ilmu justru menggantikan gelar-gelar kebangsawanan.61
60A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LKiS, 2006), 47. 61Helman Fajri, Sal p Tarjhâ: Antara Normatifitas, Mitos, dan Realitas,
Skripsi (Malang: UIN Malang, 2007), 38.
Selanjutnya, pelapisan sosial yang mengacu pada dimensi agama yaitu santreh
(santri) dan banne santreh (bukan santri), dalam kenyataannya tidak harus diartikan
bahwa kelompok santreh identik dengan parjaji dan kelompok banne santreh
dengan oreng kene , atau sebaliknya. Sebab, kelompok santreh bisa terdiri dari
parjaji dan oreng kene , begitu pula halnya dengan kelompok banne santreh. Dalam
konteks ini, kiai (keyae) merupakan kelompok masyarakat yang berada di lapisan
sosial atas, sedangkan santreh di lapisan bawah. Adapun bhindereh dianggap sebagai
kelompok masyarakat yang berada di lapisan menengah.62
Namun perlu ditegaskan disini, bahwa Al-Qur'an sama sekali tidak melihat
stratifikasi sosial tersebut sebagai satu pola khusus dalam sebuah komunitas sosial
yang kemudian mendapatkan keistimewaan tertentu. Di samping itu juga, Islam tidak
membedakan stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan),
karena setiap individu dalam Islam mempunyai kesempatan yang sama dalam
memperoleh posisinya masing-masing.63
B. Paradigma Penelitian
Dalam sebuah penelitian, paradigma menjadi hal yang penting untuk ditentukan
terlebih dahulu karena setiap penelitian senantiasa berlandaskan pada suatu
paradigma tertentu. Penelitian ini, berupaya untuk mempelajari dan memahami
peristiwa kultural yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Madura dengan
menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek studi.64
62Ibid., 49. 63M. F. Zenrif, Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an Teori dan Praktik (Malang: UIN Malang Press, 2006), 33. 64Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), 94.
Adapun paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
sosiologis, yang mana salah satu tugas dari paradigma sosiologis ini adalah
mengungkapkan sebab-musabab ketimpangan antara tata tertib masyarakat yang di
cita-citakan dengan tertib masyarakat dalam kenyataannya.65 Dengan demikian
penelitian ini akan memfokuskan pada hubungan timbal balik antara kegagalan e-
cang pancang dengan gejala-gejala sosial yang terjadi dikalangan keluarga kiai
(keyae).
C. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang akan dikaji, penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Metode kualitatif yaitu jenis
metode penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai
(diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari
pengukuran. Penelitian ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan
masyarakat, sejarah, tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi, organisasi,
pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan.66
Pemilihan pendekatan fenomenologis bertujuan untuk memahami arti peristiwa
dan kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Penekanannya
adalah aspek subyektif dari perilaku seseorang. Peneliti fenomenologi tidak
berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang
diteliti. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia dunia konseptual para subyek
yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu
65Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 196. 66Anselm Strauss, Basic Of Qualitative Research . diterjemahkan oleh Djunaidi Ghony, Penelitian Kualitatif (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997), 11.
pengertian yang dikembangkan oleh mereka dan sekitar peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian subyek penelitian yaitu melihatnya dari segi pandangan
mereka .67 Oleh karena itu, peneliti akan melihat mayarakat sebagai subyek
penelitian guna mengetahui pandangan mereka tentang suatu permasalahan.
Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian field research
(penelitian lapangan), yang mana penelitian ini lebih menitik beratkan pada hasil
pengumpulan data mengurangi kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta
untuk meningkatkan kualitas data.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data-data diperoleh.68
Adapun mengenai sumber data ini dibedakan atas dua jenis yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, yang diamati
dan dicatat untuk pertama kalinya.69 Dalam penelitian ini, data primer diperoleh dari
pelaku e-cang pancang dan pihak-pihak yang terkait langsung dengannya, baik anak
yang dijodohkan dan orang tua yang menjodohkan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data primer yang telah diolah lebih lanjut kemudian
disajikan, baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain.70 Adapun data
sekunder dalam penelitian ini dapat diperoleh dari beberapa orang yang tidak terkait
67Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), 3. 68Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107. 69Marzuki, Metodologi Riset (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII, 1983), 55. 70Husein Umar, Metode Penelitian Untuk skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), 42-43.
langsung, akan tetapi mengerti dan paham tentang e-cang pancang di Desa Prajjan,
misalnya: tokoh adat/sesepuh, masyarakat setempat, Kepala Desa dan lain
sebagainya.
F. Profil Subjek Penelitian (Informan)
1. Tokoh Masyarakat (Sesepuh Desa)
a. KH. Abd. Harits Muhobir (umur 57)
Beliau adalah sesepuh Desa Prajjan, peneliti pilih sebagai informan dengan
alasan bahwa yang bersangkutan dipandang oleh masyarakat sebagai orang yang
terhormat dan memiliki kharismatik. Observasi peneliti menunjukkan bahwa beliau
juga memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang sejarah Desa Prajjan. Selain
disebut sebagai sesepuh, beliau juga sebagai orang yang dianggap memiliki
kedalaman dalam spritual, hal tersebut terbukti dengan banyaknya masyarakat
setempat yang sering meminta bantuannya dalam hal keagamaan (masalah
ubudiyyah), misalnya urusan pernikahan, penentuan hari baik, kematian, serta
berbagai hal yang terkait dengan pemahaman masyarakat setempat.
b. KH. Mustajib (umur 52)
Selain sesepuh di atas KH. Mustajib juga termasuk deretan orang yang dianggap
memiliki kelebihan di Desa Prajjan, baik dalam hal keagamaan maupun hal-hal yang
terkait dengan masalah kehidupan sosial di Desa Prajjan. Dalam kehidupannya, KH.
Mustajib juga sebagai seseorang yang dijadikan rujukan oleh masyarakat sekitar
dalam berbagai masalah agama maupun masalah sosial.
c. Ny. Roufah (umur 73)
Dari kalangan wanita terdapat Ny. Roufah. Beliau adalah salah satu sesepuh
Desa Prajjan dari kalangan wanita yang memiliki pengetahuan serta pengalaman
dalam berbagai masalah agama dan sosial. Utamanya beliau mengetahui persis tata
tingkah laku masyarakat setempat secara historis. Ny Roufah dalam hal ketokohan
juga termasuk orang yang disegani oleh masyarakat setempat. Dasar tersebut menjadi
alasan peneliti untuk memilihnya sebagai informan.
d. Bpk. H. Nasir (umur 40)
Berikutnya yang termasuk dalam kategori tokoh masyarakat adalah Bapak. Moh
Nasir, berbeda dengan informan di atas, untuk Bapak Nasir beliau sebagai
masyarakat biasa, namun kapasitas sserta kompetensinya terhadap pemahaman
karakter dan corak masyarakat di Desa Prajjan, beliau cukup faham, dasar inilah
yang dijadikan peneliti untuk menggali data.
e. Bpk. H. Syaiful Amin (umur 45)
Selain Moh. Nasir salah satu tokoh masyarakat yang lain adalah Bpk Syaiful
Amin, peneliti menjadikannnya sebagai informan dengan alasan beliau memiliki
pemahaman dan pengalaman yang terkait dengan karakter dan corak kehidupan
masyarakat Desa Prajjan, selain itu karena kedekatannya dengan para keluarga kiai,
menjadikan beliau memiliki pemahaman yang tinggi dalam hal agama. Yang
terpenting lagi Bapak Syaiful Amin juga memiliki intelektualitas dalam hal
kehidupan sosial utamanya terkait dengan masyarakat di Desa Prajjan.
2. Kalangan Ustadz
Beliau adalah H. Moh. Anwar Fajri (umur 39) yang di Desa Prajjan merupakan
orang yang di anggap memiliki kelebihan dalam hal agama, secara rutin informan
yang satu ini beraktivitas sebagai pengajar agama di beberapa pesantren setempat.
Selain sebagai ustadz, beliau juga termasuk dalam kategori sosok yang disegani di
daerah setempat, sehingga beliau juga paham tentang berbagai corak dan kebiasaan
masyarakat setempat.
3. Pelaku (Orang Tua)
a. KH. Imam Ghazali (umur 51),
Selain sebagai orang terpandang karena kelimuannya, beliau juga sebagai orang
tua yang pernah menikahkan anaknya dalam konteks kebiasaan e-cang pancang.
Informan ini memiliki kompetensi terkait dengan masalah e-cang pancang, dasar
inilah yang menjadikan peneliti memilihnya sebagai informan.
b. KH. Hamdan Badri (umur 46)
Informan kedua adalah KH. Hamdan Badri, selain sebagai tokoh agama yang
juga memiliki kharismatik dan dijadikan sebagai sesepuh desa setempat, beliau juga
merupakan orang tua dari anak yang dinikahkan melalui e-cang pancang.
c. KH. Alif Madani (umur 43)
Yang termasuk dalam kategori orang tua adalah KH. Alif Madani, selain sebagai
tokoh agama di desa setempat, beliau juga merupakan orang tua dari anak yang telah
dinikahkan melalui proses e-cang pancang. Masyarakat menganggap KH. Alif
Madani sebagai sosok yang terhormat dan mulia di Desa Prajjan.
d. Ny. Rumhana (umur 51)
Kalangan keempat yang termasuk dalam kategori orang tua dari kalangan wanita
adalah Ny. Rumhana. Beliau memiliki posisi yang cukup diperhitungkan di
masyarakat, karena pemahaman dan pengalamannnya dalam hal agama maupun
sosial. Masyarakat menyebutnya sebagai Bu Nyai.
4. Pelaku (Anak)
a. KH. Muzakki (umur 42)
Beliau merupakan salah satu anak yang pernah melakukan pernikahan melalui e-
cang pancang. Selain sebagai pelaku dari e-cang pancang, beliau adalah termasuk
sosok yang memiliiki ilmu pengetahuan agama yang cukup tinggi, khususnya dalam
bidang kajian kitab kuning. Yang terpenting lagi beliau adalah termasuk pengurus
salah satu madrasah di desa setempat.
b. KH. Moh. Jailani (umur 41)
Selain KH. Muzakki, terdapat KH. Moh. Jailani yang juga salah satu anak yang
pernah melakukan proses pernikahan melalui e-cang pancang. Selain sebagai
seorang anak yang pernah melakukan proses pernikahan melalui e-cang pancang,
beliau juga sebagai guru agama di Sekolah Dasar (SD). Yang lebih penting lagi,
beliau diamanati oleh Alm. orang tuanya sebagai pemimpin rumah tangga dan juga
diamanati untuk mengurusi taman kanak-kanak (TK). Sama halnya dengan KH.
Muzakki beliau juga memiliki kompetensi dalam hal membaca dan mengkaji kitab
kuning, yang mana kemampuannya beliau ajarkan pada santrinya di pesantren Nurul
Iman.
c. KH. Moh. Ihya' (umur 43)
Seperti KH. Jailani, KH. Moh Ihya juga merupakan pelaku dari adanya
kebiasaan e-cang pancang. KH. Moh Ihya ini adalah seseorang yang memiliki
kemampuan dalam memimpin calon jamaah haji. Eksistensinya di masyarakat
sebagai seorang tokoh yang cukup kharismatik dan disegani.
5. Kepala Desa
Beliau adalah KH. Badrut Tamam (umur 38). Jabatannya sebagai PJs. Kepala
Desa (sewaktu penelitian ini dilakukan) menjadikan beliau sangat faham dan
memiliki pengalaman terhadap berbagai corak dan karakter masyarakat setempat.
E. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang valid sesuai dengan pokok pembahasan dalam
penelitian ini, maka peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
a. Metode Observasi
Observasi atau disebut juga dengan pengamatan meliputi kegiatan pemusatan
perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan segala indra.71 Sedangkan S.
Margono mengemukakan bahwa observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian.72
Berdasarkan definisi di atas, maka yang dimaksud metode observasi adalah
suatu cara pengumpulan data melalui pengamatan panca indra yang kemudian
diadakan pencatatan-pencatatan. Peneliti menggunakan metode ini untuk mengamati
secara langsung dilapangan tentang kondisi objektif masyarakat Desa Prajjan
71Suharsimi Arikunto, Op. Cit., 158. 72S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 158.
Kecamatan Camplong Kabupaten Sampang dan berbagai aktifitasnya terutama yang
berkaitan dengan e-cang pancang ini.
b. Metode Interview
Interview atau wawancara adalah alat pengumpulan informasi dengan cara
mengajukan sebuah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula.73
Sebagaimana dikemukakan Spradley, menjalin keakraban (rapport) dengan
informan dan komunitas yang diteliti merupakan prasyarat penting dalam kegiatan
penelitian karena memungkinkan didapat keterangan yang jujur dan terbuka.74
Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada 14 orang (informan), yakni dengan
pelaku e-cang pancang dan pihak-pihak yang terkait langsung dengannya, baik
orang tua yang menjodohkan maupun anak yang dijodohkan serta orang-orang
yang mengerti dan memahami e-cang pancang, seperti: tokoh adat/sesepuh,
masyarakat setempat, Kepala Desa. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
No.
Data IPD Subyek/Informan Umur
Keterangan 1. Definisi e-cang
pancang Interview
1.KH. Imam Ghazali 2.KH. Hamdan Badri 3.KH. Moh. Jailani 4.KH. Moh. Ihya'
51 th 46 th 41 th 43 th
Pelaku (ortu) idem Pelaku (anak) idem
2. Sejarah e-cang pancang
idem
1.Ny. Roufah 2.KH.Mustajib 3.KH.Abd. Harits M. 4.KH.Hamdan Badri
73 th 52 th 57 th 46 th
Sesepuh idem idem Pelaku (ortu)
3. Realitas kegagalan e-cang pancang pada keluarga kiai (keyae)
idem
1.KH. Mustajib 2.Ny. Rumhana 3.KH.Alif Madani 4.KH.Muzakki 5.KH.Moh.Jailani 6.H.Moh.Anwar F. 7.Bpk. H. Nasir
52 th 51 th 43 th 42 th 41 th 39 th 40 th
Sesepuh Pelaku (ortu) idem Pelaku (anak) idem Ustadz Masyarakat setempat
73Ibid,165. 74Andang Subaharianto, dkk., Tantangan Industrialisasi Madura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 11.
4. Dampak
kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai (keyae)
idem
1.KH. Mustajib 2.KH. Alif Madani 3.Bpk. H. Badrut T.
52 th 43 th 38 th
Sesepuh Pelaku (ortu) Kepala Desa
5. Proses sosiologis dampak kegagalan e-cang pancang terhadap ikatan keluarga kiai (keyae)
idem
1.Bpk. H. Syaiful A.
2.Bpk. H. Nasir
45 th
40 th
Masyarakat setempat idem
6. Proses harmonisasi pasca kegagalan e-cang pancang
idem
1.KH. Hamdan Badri 2.KH. Moh. Jailani
46 th 41 th
Pelaku (ortu) Pelaku (anak)
Materi wawancara disampaikan kepada seluruh informan, namun terdapat
beberapa materi wawancara yang difokuskan pada beberapa informan yang dianggap
memiliki kompetensi oleh peneliti, sebagaimana dalam tabel di atas.
F. Metode Pengolahan Data
Setelah data yang terkumpul, baik dari hasil observasi maupun dari hasil
interview, dilakukan proses pengolahan data mencakup:
a. Editing
Langkah pertama, Peneliti melakukan penelitian kembali catatan yang diperoleh
dari data untuk mengetahui apakah catatan tersebut sudah cukup baik berkaitan
dengan e-cang pancang, terutama pada aspek kelengkapan data, kejelasan makna,
kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain, dengan tujuan apakah
data-data tentang e-cang pancang tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan
permasalahan yang sedang diteliti atau belum, dan untuk mengurangi kesalahan serta
kekurangan data dalam penelitian, dan berusaha meningkatkan kualitas data
penelitian.
b. Classifying
Langkah kedua, dimana seluruh data baik yang berasal dari wawancara,
observasi dan lain-lain, hendaknya dibaca, diteliti secara mendalam kemudian
mengklasifikasikan sesuai dengan kebutuhan,75 karena dari beberapa informan
penelitian tentunya tidak sama (berbeda-beda) dalam memberikan informasi. Dari
sinilah kemudian peneliti mengumpulkan data-data yang telah diperoleh dengan cara
memilih mana data yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan.
c. Verifying
Langkah ketiga, dalam hal ini proses dan kegiatan yang dilakukan peneliti untuk
memperoleh data dan informasi dari lapangan berkaitan dengan e-cang pancang ini
harus di cross-check kembali agar validitasnya dapat diakui.76
d. Analisying
Langkah keempat, merupakan proses penyederhanaan kata ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam analisa ini akan digunakan
teori-teori yang relevan.77 Dimana teori yang peneliti gunakan adalah teori-teori
sosial. Kemudian, data hasil penelitian yang telah diperoleh dari lapangan disusun
oleh peneliti secara sistematis dengan menarik dari sumber data primer dan data
sekunder, agar nantinya akan saling melengkapi sehingga diperoleh gambaran yang
jelas mengenai e-cang pancang.
75Lexy J Moleong, Op. Cit., 104-105. 76Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1987), 263. 77Nana Sudjana dan Ahwal Kusumah, Proposal Penelitian: di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), 89.
e. Concluding
Merupakan langkah terakhir, dimana peneliti sudah dapat menghasilkan
jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan. Peneliti pada tahap ini
membuat kesimpulan-kesimpulan menarik poin-poin penting yang kemudian
menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah dipahami tentang e-cang
pancang di masyarakat Madura khususnya di Desa Prajjan.
G. Metode Analisis Data
Pada dasarnya, analisis data merupakan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori dan satuan urutan dasar.78 Maka
penelitian yang akan dilakukan ini, data yang belum tertata, yang didapat dari
lapangan tempat penelitian dilakukan, baik itu berupa catatan hasil wawancara,
maupun observasi. Data-data ini akan dikelompokkan sesuai dengan tujuan yang
akan dicapai dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini data yang digali adalah data kualitatif, oleh karena itu
analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan menggunakan alur
deskriptif analisis, yaitu metode penelitian untuk membuat gambaran seperti situasi
dan kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar
belaka yang bertujuan untuk menggambarkan gejala sosial, politik ekonomi, budaya,
dan gejala keagamaan.79
Sesuai dengan analisis data yang digunakan, tahapan dalam proses teknis
analisis data terkait e-cang pancang ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang
78Lexy J Moleong, Op. Cit., 3. 79Sayuti Ali, Metode Penelitian Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), 22.
telah ditentukan, yaitu identifikasi klasifikasi dan selanjutnya diinterpretasikan
dengan cara menjelaskan secara deskriptif.
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Tentang E-Cang-Pancang
Kebiasaan e-cang pancang di Desa Prajjan Kecamatan Camplong Kabupaten.
Sampang sudah ada sejak zaman nenek moyang Desa Prajjan yang bernama K.
Abdul Allam. Menurut informasi yang peneliti peroleh bahwa K. Abdul 'Allam ini
hidup di Desa Prajjan sekitar awal tahun 1770 selama ±30 tahun.80 Beliau berwasiat
kepada anak-anaknya dan semua keturunannya untuk memilih jodoh dari kalangan
keluarga sendiri atau masih sama-sama keturunan K. Abdul Allam.81 Hasil
penelusuran dari beberapa informan, ditemukan adanya 2 (dua) versi yang
memberikan penjelasan berkaitan dengan wasiat K. Abdul Allam. Pertama, versi
80KH. Abd. Harits Muhobir, wawancara, (Prajjan, 13 Desember 2007). 81KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 31 Oktober 2007).
yang mengatakan bahwa K. Abdul Allam pernah berwasiat kepada putera-puteranya
dengan sebuah redaksi wasiat yang sharih sebagai berikut:
Senga cong j abinih kaloar ma le ad ddiagi emas pa lekor, settong tolang settong d ging .82
(Awas cong83 jangan sampai beristeri keluar (beristeri dari keturunan nasab yang berbeda), supaya menjadi emas 24 (dua puluh empat) karat (bibit unggul), satu tulang satu daging).
Menurut versi yang pertama ini, dapat dipahami bahwa K. Abdul Allam
berwasiat dengan terang-terangan kepada putera-puteranya agar menikah dengan
keluarga yang masih senasab. Wasiat tersebut semata-mata bertujuan untuk
memelihara keutuhan ikatan tali persaudaraan (nyambungah bh l h) antar keluarga
atau untuk memelihara nasab mereka. Apabila ada putera-putera atau keturunan K.
Abdul Allam yang menikah bukan dari keturunannya, maka hal itu dianggap
merusak dan mengganggu kebiasaan e-cang pancang yang sudah mendarah daging.
Mereka masih memegang teguh prinsip bahwa kewajiban dalam mencarikan jodoh
bagi putera-puteranya adalah menjadi tanggung jawab orang tua, walaupun mereka
sudah dewasa. Kalaupun ada anak-anak mereka yang menikah diluar keturunan,
maka akan dikucilkan oleh keluarga yang lain.
Sedangkan menurut versi yang kedua, K. Abdul Allam pernah berwasiat kepada
semua keturunannya untuk menikah dengan keluarga yang masih senasab, akan
tetapi dalam hal ini wasiat tersebut tidak dalam redaksi yang sharih84 seperti halnya
versi pertama.
82Ny. Roufah, wawancara, (Prajjan, 16 Oktober 2007). 83Cong itu berasal dari kata kacong yang merupakan kata sapaan/panggilan bagi anak-anak atau para pemuda di Madura dari orang yang lebih tua/sepuh. 84KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 15 Oktober 2007).
Dalam perjalanan sejarah perkembangan Desa Prajjan, wasiat itu sampai
sekarang masih dipegang teguh dan seolah-olah harus dilaksanakan oleh semua
keturunannya, sehingga kebiasaan e-cang pancang ini mengakar kuat di Desa
Prajjan.
Setelah peneliti mengetahui sejarah e-cang pancang yang terdapat di Desa
Prajjan, selanjutnya peneliti menelusuri dan mempertanyakan tentang definisi dari e-
cang pancang itu sendiri, yang kemudian para informan menerangkan dan
menjelaskan kepada kami bahwa yang dimaksud dengan e-cang pancang adalah
Perjodohan yang dilakukan oleh antar orang tua (antar oreng toah) terhadap anak-
anaknya yang masih berusia dini, balita atau bahkan usia pranatal, dengan tujuan
untuk mempererat ikatan persaudaraan (sa taretanan) dan kekerabatan (sa bh l n)
dari masing-masing keluarga tersebut. Hal ini berlaku pada golongan masyarakat
madura tertentu, yakni pada mayoritas golongan kiai (keyae).85
KH. Moh. Ihya salah seorang anak pelaku e-cang pancang di desa Prajjan,
beliau berkata:
e-cang pancang areah le', anak see edu-juduagi gi keni moso oreng toanah polanah la ngarteh dh asal usullah keluarga calon (keturunnah) bisannah.86
(Yang dimaksud dengan e-cang pancang itu le',87 anak yang dijodoh-jodohkan sejak kecil oleh orang tuanya karena sudah mengerti dan mengenal asal usul keluarga calon (keturunannya) besannya.
Senada dengan apa yang telah dikatakan oleh KH. Moh. Ihya', KH. Hamdan
Badri yang juga merupakan salah seorang orang tua masyarakat Desa Prajjan ini
85KH. Imam Ghazali, wawancara, (Prajjan, 20 Nopember 2006). 86KH. Moh. Ihya', wawancara, (Prajjan, 27 Oktober 2007). 87Le' itu berasal dari kata ale' (dalam bahasa Indonesia Adik) yang merupakan kata sapaan/panggilan di Madura bagi mereka yang usianya lebih muda.
dengan penuh antusias menjelaskan apa yang dimaksud dengan e-cang pancang,
yakni:
ejuduagi otab h edu-juduagi otabeh esang pasangih gi keni moso oreng toanah. 88
(e-cang pancang ini adalah dijodohkan atau dijodoh-jodohkankan atau dipasang-pasangkan sejak kecil oleh orang tuanya).
Berbeda dengan penjelasan dari kedua informan di atas, dalam hal ini KH. Moh.
Jailani dengan panjang lebar dan juga dengan antusiasnya, beliau mengatakan bahwa
yang dimaksud e-cang pancang adalah:
"duw oreng toah sepakat majuduh anaknah se gi
b dh h edh l m kandungan, kalab n oca lamon tang anak bini b n anaknah b na lake otab h sab ligg
makah ejuduaginah.
Enga' lamb ' Abdul Waris ana'nah KH. Syaifuddin, epapolong moso ana'nah KH. Kusairi se anyamah Mukarromah, se Mukarromah g ll ' gi' b dh h edh l m kandungan.89
(dua orang tua yang sepakat menjodohkan anaknya yang masih dalam kandungan, dengan ucapan "kalau anak saya perempuan sedangkan anakmu laki-laki atau sebaliknya, maka akan saya jodohkan." Seperti halnya dahulu Abdul Waris anaknya KH. Syaifuddin, dijodohkan dengan anaknya KH. Kusairi yang bernama Mukarromah, dimana Mukarromah tersebut masih berada dalam kandungan).
Temuan peneliti tersebut di atas menunjukkan bahwa e-cang pancang secara
historis menjadi kebiasaan keluarga kiai Prajjan. Dalam beberapa wawancara peneliti
bersama beberapa sesepuh yang lain, menunjukkan bahwa e-cang pancang
merupakan warisan nilai yang dianggap sangat baik sebagi alternatif
mempertahankan keutuhan keluarga besar kiai Prajjan. Namun ketika peneliti
singgung mengenai apakah kebiasaan e-cang pancang tersebut akan bertahan,
sebagian dari sesepuh optimis bahwa kebiasaan e-cang pancang akan bertahan
88KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 15 Oktober 2007). 89KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 22 Oktober 2007).
dengan syarat masing-masing anggota keluarga masih teguh mempertahankan
kebiasaan tersebut.
Sebagian sesepuh yang lain tidak optimis bahwa e-cang pancang pada keluarga
kiai prajjan akan bertahan, sebagian sesepuh tersebut mendasarkan statemennya pada
adanya perubahan dan perjalanan waktu yang cenderung mambawa pada perubahan.
Selain itu, faktor pendidikan dan ilmu pengetahuan yang diperoleh generasi yang
akan datang cenderung menjadi faktor perubahan kebiasaan e-cang pancang. Hasil
wawancara peneliti tersebut menjadi temuan penting, sebagai sebuah dasar dalam
melakukan kajian yang lebih mendalam tentang kebiasaan e-cang-pancang dan
kegagalannya.
B. Realitas Kegagalan E-Cang Pancang pada Keluarga Kiai
Dalam temuan peneliti, yang dilakukan melalui proses observasi, terdapat
fenomena bahwa e-cang pancang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat yang
cukup kental di kalangan kiai Prajjan dalam rangka memperkokoh ikatan
kekerabatan dan menjaga jurang pemisah dalam ikatan hubungan tersebut. Dapat
dikatakan bahwa e-cang pancang merupakan kebiasaan mutlak dalam menjaga dan
memperkokoh kekerabatan. Proses e-cang pancang tersebut sebagaimana hasil
observasi peneliti menunjukkan pada berbagai model dan bentuk yang cukup
bervariasi, model-model tersebut sebagaimana hasil observasi peneliti antara lain:
1. Pertama, model e-cang pancang dengan cara antar orang tua melakukan
perencanaan, apabila diantara mereka nantinya punya anak yang berbeda jenis
kelamin, maka keduanya akan dijodohkan.
2. Kedua, model e-cang pancang dengan cara adanya perjanjian antara orang tua
dalam ikatan keluarga kiai, yang salah satunya sedang hamil, sedangkan orang
tua yang lain sudah memiliki bayi laki-laki, maka mereka melakukan perjanjian
apabila nanti lahir bayi perempuan, maka keduanya akan dikawinkan.
3. Ketiga, model e-cang pancang yang dilakukan antar orang tua yang sama-sama
memiliki anak di usia balita atau usia belum baligh, antar orang tua sudah
melakukan proses perjanjian, bahwa keduanya nantinya akan dikawinkan.
Paparan data tersebut di atas peneliti pertegas melalui hasil wawancara dengan
salah satu orang tua yang merupakan keluarga besar kiai Prajjan, yaitu Ny. Rumhana.
Beliau mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan warisan para sesepuh
(bengaseppo), yang mana kebiasaan tersebut memiliki nilai yang sangat luhur dalam
upaya mempertahankan ikatan kekeluargaan (sa bh l n). Sebagaimana dalam
kutipan berikut :
"B dh nah e-cang pancang areah penting dh l m keluarga besar. Polanah b dh nah e-cang pancang areah keluarga besar Prajjan bisa kokoh sampe' sateyah..."90
(Keberadaan e-cang pancang ini penting dalam keluarga besar (Prajjan). Karena adanya e-cang pancang inilah keluarga besar ini kokoh sampai saat ini...).
Selanjutnya, Ny. Rumhana juga mengungkapkan bahwa banyak model atau bentuk
e-cang pancang yang dilakukan dalam satu keluarga besar tersebut, sebagaimana
telah peneliti paparkan dalam hasil observasi tersebut diatas. Selanjutnya Kutipan
hasil wawancara tersebut sebagai berikut :
90Ny. Rumhana, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
"e-cang pancang b nnya' macemmah carah se elakoneh; settong, rencana antar oreng s ppo se gi' ta' andhi' ana' potoh, dhuw ', antar dhuwe' oreng seppo se para' andhi' h ana' (bininah la ngandhung), tello', antar dhuw ' oreng s ppo se la andhi' ana' kene' (gi ta' b lligh)...."91
(....Banyak macam cara e-cang pancang yang dilakukan, yaitu pertama, rencana antar orang tua yang belum sama sekali memiliki anak, kedua, antar orang tua yang keduanya akan mempunyai anak (sudah sama-sama hamil), ketiga, antar kedua orang tua yang sudah jelas memiliki anak diusia dini atau belum baligh.....).
Temuan-temuan peneliti tersebut diatas menjadi dasar penting bahwa fenomena
e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan merupakan sesuatu yang memiliki nilai
signifikan bagi perjalanan keluarga besar kiai Prajjan. Untuk membuktikan hal ini
peneliti melakukan wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Desa Prajjan.
Dalam wawancara ini peneliti berusaha mengungkap sejauh mana pentingnya e-cang
pancang itu sendiri dari generasi ke generasi.
Adapun tokoh masyarakat yang dimaksud adalah Bapak H. Nasir, dia
mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan bagian penting dalam keluarga
besar kiai Prajjan, agar keluarga kiai Prajjan dapat berkembang sesuai harapan
keluarga besar, maka penting bagi para anggota keluarga yang memiliki keturunan
melewati proses e-cang pancang. H. Nasir berargumen bahwa pentingnya e-cang
pancang didasarkan pada tujuan dari keluaga besar kiai Prajjan, yaitu:
a. Pertama, adanya ikatan keluarga yang selalu kokoh dan harmonis.
b. Kedua, dihasilkannya keturunan-keturunan yang berkualitas karena masih
dalam satu garis keturunan.
c. Ketiga, mempertahankan warisan para sesepuh.
91Ny. Rumhana, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
Paparan tersebut sebagaimana kutipan wawancara dengan H. Nasir sebagai
berikut :
".....e-cang pancang areah penting, polanah sana' rak t b n kebersamaan saj n tamba kokoh otabeh kuat, bisah nga olle ana' potoh se b cce' ben bisah aj g h b ris n otab h wasiat bengas ppo, ajiyah sat rrossah ce' pentingngah sarah..."92
(.....e-cang pancang itu penting, karena di dalamnya akan diperoleh kokohnya kekerabatan dan kebersamaan, diperolehnya keturunan-keturunan yang baik dan mempertahankan warisan atau wasiat para sesepuh....itu semua penting sampai kapanpun....).
Sebagaimana H. Nasir, KH. Mustajib juga mengungkapkan hal yang sama,
bahwa e-cang pancang dalam keluarga kiai Prajjan menjadi bagian dan unsur
penting untuk mempertahankan perjalanan keluarga besar kiai Prajjan. Harapan
beliau bahwa e-cang pancang ini akan terus dilestarikan oleh para generasi-generasi
berikutnya, karena kiai Mustajib khawatir kalau generasi-generasi berikutnya tidak
mampu melanjutkan kebiasaan ini, maka akan terjadi kehidupan keluarga yang tidak
terjamin. Ungkapan yang terakhir ini peneliti lanjutkan dengan wawancara tentang
adanya kegagalan e-cang pancang dalam keluarga besar kiai Prajjan. Hasil dari
wawancara tersebut menunjukkan bahwa kiai Mustajib masih tetap optimis
kebiasaan e-cang pancang masih akan berlanjut, kiai Mustajib sendiri tidak
memungkiri adanya salah satu keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, gagal
dalam arti salah satu keluarga tersebut kurang setuju terhadap realitas e-cang
pancang, meskipun mereka adalah bagian dari keluarga besar kiai Prajjan. Masih
menurut kiai Mustajib, bahwa hal tersebut perlu dilakukan musyawarah dengan
keluarga yang bersangkutan atau dalam bahasa yang lain adalah silaturrahmi antar
keluarga.
92H. Nasir, wawancara, (Prajjan, 03 Nopember 2007).
Peneliti tidak berhenti sampai pada ungkapan tersebut, selanjutnya peneliti
bertanya, seandainya proses musyawarah tersebut gagal apa yang akan terjadi pada
keluarga tersebut?. kiai Mustajib menjawab bahwa hal tersebut akan berdampak
tidak baik bagi perjalanan keluaga besar, utamanya dalam masalah silaturrahmi.
Peneliti mengutip wawancara tersebut sebagai berikut :
"....yee..h bahaya mon sampe' ajiyah d ddih, polanah ap ngaroh jub ' dh ' silaturrahim antar kaloarga-kaloarga se laen, terutamanah kaloarga se t rlibat..."93
(......Berbahaya jika hal itu terjadi, karena akan berdampak pada silaturrahmi diantara keluarga-keluarga yang lain, utamanya keluarga yang bersangkutan...).
Ungkapan kiai Mustajib tersebut juga di aminkan oleh kiai Moh. Jailani dan kiai Alif
Madani mereka berdua sepakat bahwa jika e-cang pancang gagal, maka hal tersebut
akan berdampak pada adanya masalah silaturrahmi. Sebagaimana peneliti mengutip
hasil wawancara tersebut sebagai berikut :
"Neng disah Prajjan areah b dh h kebiasaan se b gus, se bisah ma koat dh ' silaturrahim. Kebiasaan areah enyamaeh "kebiasaan e-cang pancang", se ekoca' adu-juduagi antara sa bh l n ".94
(Ada kebiasaan yang bagus di Desa Prajjan untuk memperkokoh silaturrahmi, kebiasaan itu adalah e-cang pancang, yaitu melakukan perjodohan antar keluarga).
Untuk mencari perbandingan dan membuktikan hal tersebut peneliti mencari
temuan terhadap beberapa keluaga yang gagal dalam e-cang pancang atau kurang
setuju terhadap realitas e-cang pancang. Peneliti mendapatkan informan yaitu KH.
Alif Madani, beliau merupakan salah satu keluarga besar kiai Prajjan yang kurang
93KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan, 01 Nopember 2007). 94KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
setuju realitas e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan. Banyak alasan yang beliau
ungkapkan, sebagaimana dalam kutipan wawancara sebagai berikut :
"Sengko' keah b gi n dh ri kaloarga keyae Prajjan, tapeh sengko' s poranah mon ta' pateh setuju dh ' praktek e-cang pancang e dh l m kaloarga Prajjan reah. Karnah na' kana' sateyah ta' padh h b n na' kana' lambh ' (konanah). Na' kana' sateyah odhi' b n aj l n bi' dibi', kita ta' kerah taoh apah se arassa agih, tapeh na' kana' areah taoh se erassa agih, mon sengko' ma akabin tang ana' bi' oreng se ta' eka s nn ngih polanah b nnya' hal, makah ajiyah pemaksaan b n sengko' y ken ta' b gus. Menurut sengko' dinalah na' kana n ma' la nyareh dibi', tapeh sakeranah ta' menentang ka prinsip-prinsip kaloarga, b n oreng toah padh h s nn ng ka pelennah na' kana' ajiyah ...."95
(.....saya juga bagian keluarga kiai Prajjan, namun saya mohon maaf jika kurang setuju terhadap pelaksanaan e-cang pancang di keluaga besar ini (keluarga kiai Prajjan). Alasan saya bahwa seorang anak itu hidup dan berjalan dengan kemampuan dan wawasannya sendiri, kita tidak mengetahui apa yang mereka rasakan, anak akan tahu apa yang mereka rasakan, kalau saya memaksa anak saya untuk menikah dengan orang yang tidak dia cintai karena berbagai hal, maka sesungguhnya saya memaksa dia, dan saya yakin itu akan tidak baik.....saya pikir biarlah anak memilih sendiri asalkan juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keluarga....dan orang tua juga senang terhadap pilihannya anak....).
Mengenai dampak yang akan muncul dari adanya ketidaksetujuan terhadap e-
cang pancang, kiai Alif Madani menyatakan bahwa hal itu wajar, karena e-cang
pancang merupakan bagian yang bernilai tinggi serta bagian penting yang
merupakan warisan para sesepuh. Selain itu sang kiai juga menyadari
ketidaksetujuannya terhadap e-cang pancang akan berdampak pada beberapa hal,
diantaranya adalah kemungkinan terkucilkan oleh keluarga yang lain, adanya proses
komunikasi yang kurang harmonis serta silaturrahmi yang agak merenggang yang
kondisi tersebut berbeda dengan biasanya.
Dalam observasi berikutnya, peneliti memperoleh temuan tentang beberapa
keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, temuan tersebut didasarkan pada hasil
95KH. Alif Madani, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
wawancara dengan KH. Hamdan Badri, yang mana beliau mengungkapkan bahwa
bukan beliau saja yang kurang setuju terhadap fenomena e-cang pancang. Temuan
peneliti tersebut mengungkap bahwa terdapat beberapa keluarga yang dalam hal ini
orang tua dan anak yang kurang setuju terhadap fenomena e-cang pancang, yang
mana dari berbagai ungkapan wawancara bersama peneliti, mereka mengungkapkan
hal yang tidak berbeda dari apa yang telah diungkapkan oleh kiai Alif Madani. Salah
satu dari informan lain yang juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh kiai Alif
Madani adalah Ust. H. Moh. Anwar Fajri, dia mengatakan bahwa e-cang pancang
cenderung membuat anak tidak mampu berkembang sesuai dengan pandangan dan
cita-cita hidupnya, oleh karena itu sebagai orang tua menurut Ust. H. Moh. Anwar
Fajri hendaklah bersifat demokratis terhadap anak, orang tua hanya punya hak untuk
mengarahkan yang baik, bukan memaksanya. Data tersebut dapat peneliti perjelas
melalui kutipan berikut :
"Na' naka' j ' sampe' epaksah akabih b n oreng se ta' kenal ben ta' ekasennengih, na' kana' mon epaksah, makah ta' b gus, saterrosah na' kana' n ta' kerah maju ben berkembang ".96
(Seorang anak itu jangan di paksa untuk melakukan pernikahan dengan orang yang dia tidak tahu dan tidak suka, kalau dipaksakan kepada anak, sungguh hal itu tidak baik, di masa yang akan datang anak tidak bisa berkembang dan maju).
Selain itu temuan peneliti yang lain adalah adanya bukti bahwa sudah pernah
terjadi pada beberapa keluarga dalam hal ini orang tua dan anak yang tidak setuju
adanya e-cang pancang. Dampak yang timbul terhadap hal ini adalah berbagai hal
yang terkait dengan hubungan silaturrahmi diantara keluarga besar. Temuan peneliti
yang lain sebagai pendukung paparan data ini adalah adanya orang tua yang setuju
96H. Moh. Anwar Fajri, wawancara, (Prajjan, 13 Nopember 2007)
terhadap e-cang pancang, yang mana antar orang tua sudah bersepakat akan
menikahkan anaknya nantinya kalau mereka sudah sama-sama dewasa, namun ketika
anak tersebut sudah dewasa ternyata mereka memiliki pemahaman yang berbeda
dengan apa yang telah direncanakan oleh orang tua masing-masing. Terdapat juga
realitas e-cang pancang yang terpaksa harus dilaksanakan oleh sang anak karena
antar orang tua sudah saling malu.
Dalam obeservasi peneliti, adanya fenomena keterpaksaan untuk melakukan
pernikahan, menurut para informan yang kurang sepakat terhadap fenomena tersebut,
mereka khawatir bahwa keadaan tersebut berakibat tidak baik bagi masa depan anak
nantinya. Barangkali e-cang pancang tidak apa-apa untuk dilakukan apabila antar
orang tua dan anak sudah saling setuju terhadap pernikahan yang akan dilakukan.
Beralih dari paparan data tersebut di atas, peneliti di sini mencoba mencari data
tentang bagaimana kehidupan dari pelaku e-cang pancang itu sendiri. Dalam
observasi peneliti, terdapat beberapa keluarga yang telah melakukan proses e-cang
pancang, yang mana dalam kajian ini peneliti hanya mengambil informan sebagai
sampel. Salah satu informan tersebut adalah KH. Muzakki, dalam wawancaranya
dengan peneliti terkait dengan bagaimana pendapatnya tentang e-cang pancang serta
kehidupan yang beliau jalani sampai saat ini. Secara nyata hasil dari wawancara
tersebut menunjukkan bahwa KH. Muzakki cukup setuju terhadap realitas e-cang
pancang. KH. Muzakki setuju karena beliau mendasarkan pada perintah orang tua
yang menghendaki untuk menikah melalui proses e-cang pancang, selain itu orang
tuanya pernah mengatakan, sebagaimana peneliti kutip berikut ini :
"Na', settong tang pangat rro dhe' be'en, la pola areah tang permintaan se paleng penting mulaeh sengko' mulaeh alahirragi be'en, arab t be'en ben masakolaagi be'en kalaben ab nteng tolang, sampe' be'en la raj h enga' areah. Sengko' na..' t rro ma'le be'en atoro' apah se e kasajj h sengko', ye.. areah akabin moso oreng se la d ddih pelenah ibu molaeh be'en gi' kene".97
(Nak, ada satu keinginan Ibu kepadamu, yang barangkali ini adalah permintaanku yang paling penting semenjak aku mulai melahirkanmu, merawatmu dan menyekolahkanmu dengan susah payah, hingga kamu besar seperti saat ini. Ibu ingin agar kamu mau menuruti permintaanku, yaitu menikah dengan orang yang sudah menjadi pilihan ibu semenjak kamu masih kecil).
Kutipan wawancara di atas, menjadikan KH. Muzakki mau melaksanakan
pernikahan seperti yang di kehendaki orang tuanya. Beliau berfikir bahwa betapa
pentingnya ketaatan seorang anak terhadap orang tuanya, karena bila menolak KH.
Muzakki berfikir bahwa dirinya takut dikatakan sebagai anak yang durhaka atau
tidak mau balas budi terhadap pengorbanan dan perjuangan orang tuanya.
Setelah peneliti dapatkan data mengenai alasan KH. Muzakki mau melaksanakan
proses pernikahan atas dasar pilihan orang tuanya atau e-cang pancang, selanjutnya
peneliti menggali data terkait dengan kehidupan beliau saat ini, yaitu kehidupan yang
didasarkan pada pernikahan melalui proses e-cang pancang. Dalam wawancara
dengan peneliti, beliau mengakui bahwa kehidupan yang beliau jalani saat ini cukup
bahagia, bahkan dari hasil pernikahannya beliau dikaruniai dua orang anak yang saat
ini telah beumur 7 tahun. Diakui juga bahwa beliau juga mencintai dan menyayangi
istrinya.
Selain KH. Muzakki, peneliti juga mengkaji penelitinnya secara matang dengan
cara melakukan perbandingan antara informan yang pertama dengan informan
berikutnya dalam paradigma yang sama, sehingga peneliti melakukan penggalian
97KH. Muzakki, wawancara, (Prajjan, 02 Nopember 2007).
data lanjutan melalui wawancara dengan KH. Moh. Ihya. Senada dengan apa yang
dikatakan oleh KH. Muzakki, beliau mendasarkan pernikahannya pada ketaatan dan
kepatuhan terhadap orang tuanya. Walaupun istrinya yang sekarang adalah pilihan
orang tuanya, KH. Moh. Ihya mengaku bahagia dan merasa tenang dalam menjalani
kehidupannya sekarang. Data tersebut peneliti pertegas melalui wawancara bersama
KH. Moh Jailani, beliau mengungkapkan hal yang sebenarnya tidak berbeda dengan
apa yang telah disampaikan oleh dua kiai di atas. Hanya saja KH. Moh Jailani lebih
mengungkapkan bahwa hakikat dari pernikahan itu sendiri untuk mencapai
kehidupan yang tenang, tentram dan bahagia. Sebagaimana dikatakan dalam Al-
Qur an Surat Ar-Ruum ayat 21.
Arrtinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir."98
Jadi walaupun pernikahan tersebut adalah hasil dari pilihan orang tua, asalkan
didalamnya tidak ada unsur paksaan, hal tersebut tidak menjadi masalah.99 Beberapa
data tersebut di atas menunjukkan bahwa para pelaku pernikahan melalui proses e-
cang pancang mengakui bahwa pernikahan yang mereka lakukan tidak memiliki
kendala dan permasalahan apapun.
98QS. Ar-Ruum (30): 21. 99KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
C. Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan Keluarga Kiai
Hasil observasi peneliti mengenai dampak kegagalan e-cang pancang
mendasarkan pada sebuah teori sosial bahwa salah satu ciri dari sebuah masyarakat
adalah adanya nilai-nilai yang dianggap penting untuk dipedomani, tentunya nilai-
nilai tersebut merupakan warisan dari generasi ke generasi. Dalam konteks penelitian
ini nilai-nilai yang di maksud adalah kebiasaan e-cang pancang, sebuah kebiasaan
yang dianggap oleh keluarga kiai Prajjan sebagai sebuah nilai penting yang harus di
pedomani, barangkali jika nilai-nilai tersebut di langgar atau adanya ketidaksetujuan
karena alasan-alasan tertentu, maka terdapat sanksi-sanksi sosial bagi para pelanggar
tersebut.
Paparan data tersebut peneliti dasarkan pada adanya sebuah sistem nilai yang
dilanggar oleh salah satu anggota masyarakat keluarga kiai Prajjan yaitu kebiasaan e-
cang pancang yang kurang atau tidak disetujui. Adanya sebuah kegagalan bagi
anggota keluarga berdampak pada beberapa segi kehidupan, segi kehidupan tersebut
meliputi :
1. Dampak Hubungan Sosial
Dari segi sosial, kegagalan e-cang pancang memiliki dampak yang sangat
penting. Dalam paparan ini dapat peneliti ungkapkan bahwa realitas e-cang pancang
merupakan bagian tak terpisahkan dari keluarga kiai Prajjan, disisi lain keberadaan e-
cang pancang telah membuktikan mampu menjadi alat mujarab untuk
mempertahankan dan memperkokoh kekerabatan diantara keluarga kiai Prajjan.
Eksistensi tersebut seolah tidak boleh dilanggar atau hampir-hampir menjadi hukum
mutlak bagi keberadaan masyarakat tersebut. Sebagian besar dari masyarakat dalam
keluarga kiai Prajjan sendiri mengakui bahwa e-cang pancang merupakan proses
turun temenurun yang memiliki nilai positif bagi keberlanjutan generasi yang akan
datang, sebagian besar dari mereka juga meyakini bahwa dengan proses e-cang
pancang telah diperoleh keturunan-keturunan yang baik seperti selama ini.
Hasil observasi peneliti tersebut di atas, selanjutnya peneliti perkuat dengan hasil
wawancara dengan salah satu kiai dari keluarga desa Prajjan. Beliau adalah KH. Alif
Madani. Sang kiai mengungkapkan bahwa e-cang pancang merupakan bagian
penting dari keberadaan keluarga kiai Prajjan, hingga sang kiai mengungkapkan
bahwa apabila terdapat kegagalan dalam proses e-cang pancang antar keluarga,
maka akan terdapat dampak yang cukup berarti. Dampak-dampak yang dimaksudkan
oleh KH. Alif Madani meliputi;
a. Pertama, adanya keengganan untuk saling menyapa atau mengenal jika
mereka bertemu.
b. Kedua, dalam pertemuan bersama satu forum diantara keluarga yang gagal
melakukan proses e-cang pancang tersebut saling menghindar seolah terdapat
kebencian dan permusuhan.
c. Ketiga, adanya ketidakmauan untuk menghadiri undangan diantara satu sama
lain.
d. Keempat, keengganan memberikan bantuan dalam berbagai bantuan yang
dibutuhkan, baik secara material maupun tenaga.
Kutipan wawancara tersebut sebagai berikut :
"B dh h le' p ngaro-p ngaroh se' e gr ssah, settong contoh se sengko' katela', ye..padh h ta' nyapah, mon kat mmon dh l m acara umum, jarang kat moh saleng maj u, yeh ta' taoh apah ken todhus (songkan) otab h paj t andh ' kat mmo, t rros jarang dh t ng mon b dh h acara-acara se sifatth h
kakaloargaan, akanthah mantan, khitanan, slam th n. Pole mon epentaeh tolong, semisal mab cce' roma s ngkah se dh t ngah ab rri' b ntoan..."100
(Ada dik dampak-dampak yang terasa, seperti yang selama ini saya lihat, ya antara lain adanya saling tidak menyapa diantara mereka, kalau bertemu di acara-acara umum mereka jarang bertemu atau kalau bertemu saling menghindar, entah karena malu atau memang tidak mau bertemu terus mereka juga jarang mau menghadiri acara-acara yang sifatnya kekeluargaan, misalnya pernikahan, khitanan, tasyakuran juga kalau dimintai bantuan misalnya memperbaiki rumah, enggan mereka datang memberi bantuan).
Proses-proses konflik tersebut di atas merupakan fenomena yang biasa muncul
ketika terdapat kegagalan dalam proses e-cang pancang antar keluarga. Masing-
masing diantara keluarga yang berkonflik sebenarnya sudah saling menyadari bahwa
hal tersebut tidak baik untuk dilakukan, namun karena kurangnya pemahaman serta
kesadaran untuk mengurangi terjadinya konflik, sehingga fenomena tersebut di
biarkan begitu saja. Beberapa sesepuh yang ada juga menyaksikan hal tersebut,
namun dalam perjalanan waktu konflik tersebut masih terjadi.
2. Dampak Hubungan Ekonomi
Hasil observasi peneliti menunjukkan bahwa kegagalan e-cang pancang juga
berdampak pada segi ekonomi. Secara umum kehidupan ekonomi keluarga kiai
Prajjan boleh dikatakan cukup homogen, artinya jarak antara yang kaya dengan yang
miskin tidak begitu senjang. Karena aspek-aspek yang terkait dengan perekonomian
dalam keluarga kiai Prajjan di bagi dengan cukup merata, sehingga apabila terdapat
pekerjaan maupun peluang bisnis yang lain, maka yang terlibat di dalamnya adalah
anggota keluarga kiai Prajjan itu sendiri, baik dalam hal mengurusi sawah, tambak,
perdagangan maupun bisnis-bisnis yang lain. Dalam wawancara peneliti dengan H.
Badrut Tamam, seorang Kepala Desa masyarakat di daerah setempat, beliau
100KH. Alif Madani, wawancara, (Prajjan, 20 Oktober 2007).
mengatakan bahwa kehidupan keluarga kiai Prajjan secara ekonomi memang sangat
makmur, karena pembagian wilayah garapan dalam hal ekonomi memang cukup adil
dan merata.
Dalam konteks penelitian ini, yaitu tentang e-cang pancang kondisi tersebut di
atas berubah, perubahan dari segi ekonomi tersebut diakibatkan karena adanya
anggota keluarga yang gagal dalam e-cang pancang, sehingga kegagalan tersebut
berdampak pada adanya keengganan diantara anggota keluarga untuk melibatkan
anggota keluarga yang lain yang gagal dalam e-cang pancang. Kondisi tersebut di
atas mengawali adanya sistem perekonomian dalam keluarga kiai Prajjan tidak lagi
secara utuh dikelola bersama dan merata, diantara mereka ada kecendrungan untuk
tidak melibatkan yang lain, khususnya yang gagal dalam e-cang pancang.
Hasil wawancara lanjutan oleh peneliti terhadap H. Badrut Tamam,
membuktikan bahwa adanya permasalahan dalam hal perekonomian di keluarga kiai
Prajjan memang terkait dengan adanya kegagalan antar keluarga dalam e-cang
pancang. Hasil kutipan wawancara peneliti sebagai berikut :
"Lakar b dh nah masalah ekonomi ta' lepas dh ri sala settongah masalah burungah antar kaloarga dh l m e-cang pancang, mungkin mon ta' d ddih, makah antar kaloarga se atokaran padh h ta' kerah ngalamih masalah dh l m ekonominah "101
(Memang adanya permasalahan ekonomi tidak terlepas dari adanya kegagalan antar keluarga dalam e-cang pancang, barangkali kalau hal tersebut tidak terjadi, maka antar keluarga yang berkonflik juga tidak mengalami permasalahan dalam hal ekonomi)
Data tersebut peneliti perkuat dengan melakukan wawancara kepada KH.
Mustajib yang merupakan sesepuh Desa Prajjan, apa yang beliau sampaikan tidak
berbeda dengan apa yang di sampaikan oleh H. Badrut Tamam bahwa secara umum
101H. Badrut Tamam, wawancara, (Prajjan, 10 Oktober 2007).
perekonomian keluarga kiai Prajjan memang bagus ketika itu, namun untuk saat ini
menurut KH. Mustajib cenderung bermasalah, permasalah tersebut terletak pada
sudah tidak adanya lagi kekompakan dan kebersamaan dalam mengelola aset
keluarga kiai Prajjan. Untuk saat ini beberapa anggota keluarga kiai Prajjan yang
memiliki masalah dengan e-cang pancang cenderung melibatkan orang lain diluar
keluarga kiai Prajjan dalam mengelola perekonomiannya, hal tersebut dilakukan
dengan alasan adanya konflik antar keluarga.
KH. Mustajib juga menambahkan bahwa sebab-sebab terjadinya perubahan
hidup dari segi perekonomian, juga diakibatkan karena sudah banyaknya anggota
keluarga kiai Prajjan yang mengurusi prekonomian di dalamnya, disisi lain masih
menurut KH. Mustajib, bahwa adanya sebagian anggota keluarga yang senang
merantau ke daerah lain juga berdampak pada adanya perubahan dalam hal
ekonomi,102 dimana anggota-anggota keluarga tersebut enggan mengurusi aset
keluarga besar kiai Prajjan dengan alasan tidak lebih baik dari pada merantau.
D. Proses Sosiologis Dampak Kegagalan E-Cang Pancang terhadap Ikatan
Keluarga Kiai
Berdasarkan pada hasil observasi peneliti dalam konteks penelitian ini, proses
sosiologis yang dimaksud adalah sebuah proses kehidupan sosial yang terjadi pada
keluarga kiai Prajjan yang di dalamnya mengandung adanya dampak kegagalan e-
cang pancang. Proses sosiologis itu sendiri peneliti dasarkan pada adanya hubungan-
hubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang jelas bahwa temuan
102KH. Mustajib, wawancara, (Prajjan: 01 Nopember 2007).
peneliti menunjukkan bahwa ikatan keluarga kiai Prajjan memiliki bentuk ikatan
yang cukup kental dan homogen.
Untuk lebih memperkuat data penelitian ini, dalam konteks proses sosial, maka
peneliti berusaha mencari data pendukung melalui wawancara dengan Bapak H.
Syaiful Amin selaku tokoh masyarakat yang cukup memahami proses sosial
masyarakat keluarga kiai Prajjan dalam konteks kegagalan e-cang pancang. Hasil
wawancara tersebut menunjukkan pada adanya beberapa temuan penting peneliti
a. Pertama, bahwa proses sosial atau hubungan-hubungan sosial keluarga kiai
Prajjan memang cukup kuat proses tersebut memang terjadi sejak dari
generasi ke generasi.
b. Kedua, keluarga kiai Prajjan sejak dulu memang mampu mempertahankan
nilai-nilai kemasyarakatan yang di pedomani bersama yang dalam konteks ini
adalah kebiasaan e-cang pancang.
c. Ketiga, secara umum keluarga kiai Prajjan benar-benar ingin agar kualitas
dan mutu keluarga benar-benar seperti bentuk-bentuk keluarga yang saat ini
ada atau lebih baik dengan cara selalu menjaga ikatan perkawinan dan
keturunan.
d. Keempat, ungkapan Bapak H. Syaiful Amin yang peneliti anggap penting
adalah bahwa keluarga kiai Prajjan dianggap sebagai keluarga yang sangat
harmonis, proses-proses sosial didalamnya berjalan dengan baik tanpa adanya
masalah-masalah yang cukup prinsip.
Menurut Bapak H. Syaiful Amin keadaan seperti itu karena adanya upaya-upaya
penting yang telah dilakukan oleh keluarga kiai Prajjan dalam menjaga harmonisasai
atau proses sosial yang baik.
Paparan data-data tersebut peneliti lanjutkan dengan mencari jawaban mengenai
perbedaan-perbedaan proses sosial pada masa lalu dan sekarang. Sesuai hasil
wawancara peneliti, Bapak H. Syaiful Amin mengatakan bahwa terdapat perbedaan-
perbedaan yang cukup signifikan, utamanya dalam konteks adanya kegagalan yang
cukup berarti terhadap e-cang pancang untuk saat ini. Sebagaimana jawaban Bapak
H. Syaiful Amin sebagai informan, perbedaan-perbedaan tersebut meliputi beberapa
hal, diantaranya :
1. Proses sosial yang tidak lagi homogon dan kental seperti zaman dulu, untuk
saat ini cenderung mengalami perubahan. Informan mengatakan bahwa
perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan dan perjalanan waktu
2. Dari segi pendidikan dan ekonomi, masing-masing anggota keluarga Kiai
Prajjan labih dinamis dan berbeda, kondisi seperti ini cukup berbeda dengan
masa lalu, yang mana dari segi pendidikan dan ekonomi, hampir boleh
dikatakan semuanya sama, perbedaan-perbedaannya tidak terlalu signifikan.
Namun untuk saat ini antara anggota keluarga cenderung memilki pandangan
hidup sendiri-sendiri untuk menata masa depannya, tidak lagi mendasarkan
pada keluarga besar atau ungkapan-ungkapan yang dikatakan oleh para
sesepuh.
3. Adanya beberapa proses perkawinan yang tidak lagi mendasarkan pada
kebiasaan e-cang pancang. Beberapa anggota keluarga kiai Prajjan untuk
menikahkan anaknya lebih didasarkan pada pilihan anak itu sendiri, beberapa
orang tua sudah tidak lagi mencampuri keinginan serta cita-cita anak untuk
memilih pasangannnya, asalkan tidak bertentangan dengan keluarga. Kondisi
seperti tersebut cukup berbeda dengan masa lalu, dimana kebiasaan e-cang
pancang adalah bagian penting dari keluarga kiai Prajjan.103
Menurut Bapak H. Nasir yang juga tokoh masyarakat, dia mengatakan bahwa
perubahan dan perbedaan proses sosial keluarga kiai Prajjan terjadi akibat adanya
pemahaman hidup yang berubah dari masa lalu menuju masa sekarang dan masa
yang akan datang, yang mana hal tersebut terjadi karena adanya proses pendidikan
dan ilmu pengetahuan. 104 Artinya bahwa seiring dengan adanya pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang mereka peroleh, baik dari lembaga formal maupun non formal, hal
tersebut mempengaruhi terhadap kebiasaan-kebiasaan keluarga kiai Prajjan.
Perubahan tersebut dipercepat oleh adanya beberapa anggota keluarga kiai
Prajjan yang merantau, baik untuk tujuan pendidikan maupun pekerjaan. Selanjutnya
anggota-anggota keluarga tersebut setelah sukses di daerah perantauan mereka
pulang. Kepulangan mereka inilah yang mempercepat adanya perubahan pada
keluarga besar kiai Prajjan. Karena mereka membawa pemahaman dan budaya baru
dari daerah rantauan.
E. Proses Harmonisasi Pasca Kegagalan E-Cang Pancang
Proses sosial dari kegagalan e-cang pancang memang cukup memiliki
perubahan penting pada keluarga kiai Prajjan. Yang tentunya hal tersebut berbeda
dengan keadaan masa lalu. Setidak-tidaknya adanya kegagalan e-cang pancang pada
beberapa anggota keluarga kiai Prajjan menyebabkan adanya pola-pola hidup yang
juga berubah. Hasil observasi peneliti menjadi temuan penting terkait dengan
103H. Syaiful Amin, wawancara, (Prajjan, 28 Desember 2007) 104H. Nasir, wawancara, (Prajjan, 27 Desember 2007).
fenomena baru dalam paradigma perubahan yang terjadi. Sebelum peneliti mengkaji
secara mendalam hasil wawancaranya, maka perlu peneliti paparkan mengenai hasil
observasi mendalam terkait dengan kehidupan keluarga kiai prajjan dalam konteks
kegagalan e-cang pancang menuju proses harmonisasi.
Dalam sebuah kehidupan masyarakat, adanya sebuah sistem nilai yang gagal
dilaksanakan oleh anggotanya tidak selamanya menjadi penyebab bagi kegagalan
komunikasi atau dalam konteks penelitian ini adalah proses harmonisasi. Dalam
konteks ini pula beberapa anggota kiai Prajjan tidak menghendaki adanya hubungan
yang tidak harmonis akibat dari gagalnya kebiasaan e-cang pancang, walaupun
sebenarnya menurut mereka melakukan proses harmonisasi bukanlah hal yang
mudah, namun bagi mereka yang sadar akan pentingnya kekokohan kekerabatan,
proses harmonisasi tersebut harus benar-benar di tempuh. Wawancara peneliti
dengan KH. Moh Jailani menunjukkan bahwa dalam proses harmonisasi perlu
adanya pihak-pihak yang saling menyadari kelemahan dan kekurangannya masing-
masing, tidak hanya mencari kesalahan dan kekurangan orang lain. Jika masing-
masing anggota keluarga mampu dan mau menyadari, maka proses harmonisasi
adalah sesuatu yang sangat mudah dilakukan. Sebagaimana kutipan berikut ini :
"ye.. se' ebutoagih sateyah kesadaran antar sa bh l n, ajiyah mon pas t rros dh ' iy h, ngala' kar bb h dibi', ta' andh ' ngab s kab dh ' n, y
repot kaloarga bisa rukun, lla dinahla j ' lakoh nyareh kesalannah ben kakorangannah oreng laen, se penting kita nyadareh kesalannah ben kakorangannah kita. Insya Alloh b gus mon dh 'iy h".105
(Dibutuhkan adanya kesadaran bagi keluarga-keluarga itu, kalau terus kayak gitu, minta menangnya sendiri, tidak mau melihat dirinya sendiri, ya sulit keluarga akan bersatu, sudahlah jangan hanya mencari kesalahan dan kekurangan orang lain, yang penting diri kita ini menyadari kesalahan dan kekurangan kita. Insya Allah baik kalau seperti itu).
105KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa proses harmonisasi akan
terjadi manakala masing-masing anggota keluarga memiliki kesadaran yang tinggi
terhadap diri masing-masing. Barangkali proses tersebut tidak serta merta dengan
mudah terjadi pada masing-masing anggota keluarga yang gagal dalam e-cang
pancang. Hasil observasi peneliti menunjukkan adanya beberapa anggota keluarga
yang merasa bahwa keadaan tidak harmonis mereka biarkan begitu saja, tanpa
adanya proses yang mengarah kepada perubahan yang lebih baik. Seperti dalam
wawancara peneliti dengan seorang anggota keluarga yang namanya tidak mau di
sebut, beliau mengatakan bahwa apa yang terjadi akibat kegagalan e-cang pancang
adalah proses yang wajar, beliau mengatakan bahwa itu adalah sanksi yang harus
dijadikan pelajaran, karena beliau menganggap bahwa e-cang pancang adalah
kebiasaan yang memiliki nilai dalam keluarga kiai Prajjan. Oleh karena itu apabila
hal tersebut dilanggar atau bermasalah bagi para anggota keluarga kiai Prajjan, maka
wajarlah kalau hal-hal yang sifatnya konflik terjadi di dalamnya. Untuk memperkuat
data tersebut, berikut peneliti kutip hasil wawancara dengan informan :
"enga' ajiyah la biasah, ta' osa e-j
paraj h, enga' ajiyah kan kabiasanah e dinna', mon e langgar y ..akibatth h enga' ajiyah lah, ajiyah enga' okomon se pas d ddih karnah b dh nah kabiasaan se elanggar, b n pole ajiyah bisah d ddih pelajaran b n pringath n dh ' se laen".106
(Biasalah hal itu, tidak usah terlalu dibesar-besarkan, itu kan kebiasaan di sini, kalaupun dilanggar ya akibatnya seperti itu, itu kan seperti hukuman yang terjadi akibat adanya kebiasaan yang dilanggar, itu juga bisa menjadi pelajaran bagi yang lain).
Untuk memperdalam hasil penelitian ini, peneliti melanjutkan wawancaranya
dengan KH. Hamdan Badri, terkait dengan adanya harmonisasi yang terganggu
akibat adanya kegagalan e-cang pancang, beliau sangat tidak setuju terhadap kondisi
106KH. Moh. Jailani, wawancara, (Prajjan, 12 Nopember 2007).
seperti itu, menurutnya harmonisasi dan kekokohan keluarga harus menjadi ciri
utama bagi keluarga kiai Prajjan. Persatuan dan kesatuan itu tidak boleh cacat akibat
masalah kegagalan e-cang pancang. Masih menurut KH. Hamdan Badri, beliau
menambahkan bahwa memang e-cang pancang adalah bagian dari kebiasaan
keluarga, namun ketika dalam perjalanannya mengalami permasalahan, maka tidak
boleh hal tersebut mengorbankan keutuhan keluarga kiai Prajjan. Untuk itu sang kiai
menyarankan agar adanya permasalahan e-cang pancang tidak berakibat pada
adanya ancaman terhadap keutuhan keluarga. Secara khusus KH. Hamdan Badri
memberikan alternatif-alternatif solusi, di antaranya:107
1. Pertama, bagi keluarga yang mengalami masalah dalam e-cang pancang perlu
saling menyadari antar keduanya.
2. Kedua, para sesepuh keluarga hendaknya sering melakukan pertemuan
keluarga, agar permasalahan-permasalahan yang terpendam dapat diselesaikan
dengan baik.
3. Ketiga, masing-masing anggota keluarga perlu secara rutin melakukan
silaturrahmi antar keluarga.
Selanjutnya peneliti melakukan observasi terhadap beberapa keluarga yang
mengalami kegagalan e-cang pancang. Salah satu kepala keluarga KH. Moh. Salim
(Nama Samaran) mengaku bahwa mereka mengalami kegagalan dalam e-cang
pancang. Kegagalan tersebut di akibatkan karena anaknya benar-benar tidak mau
untuk di jodohkan dengan pilihan orang tua. Oleh karena itu orang tua sendiri tidak
memaksa kehendak sang anak, karena jika dipaksa, hal tersebut akan berdampak
tidak baik bagi anak. Sedangkan keluarga mantan calon pengantin perempuan sudah
107KH. Hamdan Badri, wawancara, (Prajjan, 31 Nopember 2007).
merasa cocok, selain itu keluarga ini juga sudah menunggu lama mulai mantan calon
pengantin laki-laki masih kecil. Fenomena tersebut diakui oleh KH. Moh. Salim
(nama samaran) sebagai pemicu adanya keretakan di antara mereka. Namun bagi
KH. Moh. Salim (nama samaran) menyadari bahwa sesungguhnya hal tersebut tidak
boleh terjadi, beliau beralasan bahwa mana mungkin orang tua memaksa anaknya
untuk urusan memilih pasangan hidupnya, sedangkan sang anak sudah memiliki
pilihan sendiri, selain itu sang anak juga memiliki pandangan hidup yang jelas
berbeda dengan orang tuanya di tambah lagi dengan kapasitas pendidikan dan ilmu
pengetahuan yang juga berbeda.
Terdapat beberapa temuan penting peneliti terkait dengan kondisi di atas,
temuan tersebut peneliti dasarkan pada hasil wawancara dengan KH. Moh. Salim
(nama samaran). Beberapa temuan yang dimaksud adalah perlu adanya pemahaman
yang mendalam bagi orang tua untuk mengerti tentang seorang anak secara obyektif
khususnya menyangkut masa depannya. Untuk keluarga KH. Moh. Salim (nama
samaran) memang mengalami kegagalan dalam e-cang pancang, namun beliau
punya pengganti dari seorang anak yang tidak mau di kawinkan tadi yang anak
tersebut juga putra dari KH. Moh. Salim (nama samaran), sehingga hal ini tidak
terlalu mempengaruhi harmonisasi keluarga.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa proses harmonisasi dalam keluarga
kiai Prajjan dapat terus kokoh dengan cara adanya kesadaran dan pemahaman dari
masing-masing keluarga disisi lain terdapat strategi-strategi harmonisasi seperti yang
telah dilakukan oleh KH. Moh. Salim (nama samaran).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan dan analisis data yang telah dikemukakan di atas, maka
sebagai akhir pembahasan peneliti akan memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kegagalan e-cang pancang memiliki dampak yang penting bagi ikatan keluarga
kiai Prajjan, dampak-dampak tersebut antara lain, Pertama adanya kemungkinan
dikucilkan oleh keluarga yang lain. Kedua, adanya hubungan yang tidak
harmonis diantara keluarga yang terlibat dalam rencana pernikahan e-cang
pancang. Dampak tersebut terjadi karena kebiasaan e-cang pancang merupakan
warisan nilai yang berharga dari leluhur yang jika dilanggar akan berdampak
negatif, selain itu e-cang pancang diakui mampu membentuk ikatan keluarga
yang kokoh dan harmonis, dihasilkannya keturunan-keturunan yang berkualitas
karena masih dalam satu garis keturunan serta bentuk mempertahankan warisan
para sesepuh.
2. Akibat adanya kegagalan dalam proses e-cang pancang, maka terdapat beberapa
bentuk konflik yang terjadi didalamnya. Bentuk-bentuk konflik tersebut adalah
apabila bertemu di jalan, diantara yang berkonflik enggan untuk bertegur sapa,
apabila berada dalam satu forum pertemuan diantara yang berkonflik cenderung
untuk saling menghindar, apabila diantara mereka mengadakan sebuah acara,
masing-masing cenderung untuk tidak hadir dalam acara tersebut, baik acara
tasyakuran, khitanan maupun pernikahan. Dan apabila di antara yang berkonflik
tersebut dimintai bantuan, baik berupa tenaga maupun harta benda mereka selalu
beralasan yang lain. Keadaan tersebut terjadi akibat adanya rasa malu karena
rencana pernikahan melalui proses e-cang pancang gagal dilaksanakan di antara
mereka. Adapun yang menyebabkan gagalnya e-cang pancang karena beberapa
hal sebagai berikut :
a. Seorang anak tidak menyukai pilihan orang tuanya, karena tidak sesuai
dengan pilihannya, baik dari segi lahir maupun bathin.
b. Seorang anak sudah memiliki pilihannya sendiri
c. Adanya pemahaman pendidikan serta ilmu pengetahuan seorang anak,
sehingga dia tidak menghendaki proses e-cang pancang
d. Adanya pembatalan dari salah satu orang tua yang pernah mengadakan
perjanjian, pembatalan tersebut karena beberapa hal, baik karena keadaan,
kondisi sang anak maupun adanya rencana yang lain.
3. Keretakan keluarga kiai Prajjan diperbaiki melalui beberapa proses, diantaranya
adalah Pertama, dibutuhkan adanya saling menyadari dan memahami di antara
yang berkonflik. Kedua, apabila e-cang pancang gagal karena alasan seorang
anak tidak mau dinikahkan atas dasar pilihan orang tuanya, maka orang tua bisa
menggantikannya dengan anak yang lain yang masih satu keluarga, baik adik
maupun kakak dari anak yang tidak mau dinikahkan melalui e-cang pancang.
Ketiga, perlu adanya peningkatan dalam hal silaturrahmi antar keluarga,
utamanya bagi yang berkonflik. Keempat adanya peranan para sesepuh yang
termasuk dalam satu ikatan keluarga, peranan tersebut dalam bentuk melakukan
harmonisasi kepada pihak pihak yang berkonflik, baik dengan adanya saran
maupun pertemuan-pertemuan yang sifatnya silaturrahmi.
B. Saran-saran
Berangkat dari kajian serta temuan peneliti mengenai beberapa hal yang terkait
dengan kebiasaan e-cang pancang pada keluarga kiai Prajjan, maka peneliti
memberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Adanya kegagalan e-cang pancang dalam keluarga kiai Prajjan dapat dikurangi,
apabila diantara yang berkonflik cenderung saling menyadari dan memahami
berbagai hal yang terkait dengan kondisi dan pilihan seorang anak. Oleh karena
itu, kepada para sesepuh hendaknya menjadi fasilitator dan pemberi semangat
bagi keluarga yang lain agar konflik bisa dihindari dan dikurangi.
2. Beberapa anggota keluarga yang berkonflik, hendaknya menyadari bahwa tidak
selamanya apa yang dirasakan oleh orang tua juga sama dengan apa yang
dirasakan oleh seorang anak. Sehingga orang tua pun harus menyadari tentang
potensi, cita-cita dan masa depan seorang anak. Selain itu harus ada kesadaran
bahwa konflik hanya akan membawa pada kerugian.
3. Bagi para tokoh masyarakat, tokoh agama, serta para Ustadz yang masih dalam
ikatan keluarga kiai Prajjan hendaknya peka terhadap apa yang terjadi diantara
anggota keluargannya, agar harmonisasi dapat selalu dipertahankan.
4. Bagi para keluarga yang berkonflik hendaknya selalu meningkatkan tali
silaturrahmi di antara keluarga-keluarga yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Sayuti (2002) Metode Penelitian Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Amiruddin dan Zainal Asikin (2004) Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Anselm Strauss (1997) Basic Of Qualitative Research . diterjemahkan oleh Djunaidi Ghony, Penelitian Kualitatif. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Ayyub, Syaikh Hasan (2006) Fiqh Al-Usratul Muslimah . diterjemahkan oleh M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Chandra, Robby I. (1992) Konflik Dalam Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius.
Dasuki, Hafidz dkk, (1999) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Davis, K. & J. W. Newstrom, (1993) Perilaku Dalam Organisasi, (Terjemahan), Alih Bahasa Oleh Agus Dharma. Jakarta: Erlangga.
Departemen Agama RI (1984) Al Quran dan Terjemahannya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur an.
Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. (2000) Cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Fajri, Helman (2007) Sal p Tarjhâ: Antara Normatifitas, Mitos, dan Realitas,
Skripsi. Malang: UIN Malang.
Fauzi, Achmad (2003) Perkawinan Endogami di Kabupaten Pamekasan,
Skripsi. Malang: UIN Malang.
Hocker, Joyce L. and William W. Wilmot (1991) Interpersonal Conflik, Third Edition, Oubjuque. Lowa: Wm. C. Brown Publisher.
Kamal, Muchtar (1974) Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.
Kartono, Kartini (1989) Hygiene Mental dan Kesehatan Mental Dalam Islam. Bandung: Mandar Maju.
Margono, S. (1996) Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Marijan, Cf. Kacung (1991) Respons NU Terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia.
Marzuki (1983) Metodologi Riset. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UII.
Moleong, Lexy J (2002) Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, Noeng (1996) Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Mulkhan, Amir (2001) Palagan Konflik. Yogyakarta: Forum LSM DIY.
Muthmainnah (1998) Jembatan SURAMADU: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi. Yogyakarta: LKPSM.
Pruitt, Dean G. and Jeffrey Z. Rubin (2004) Social Conflict: Escalation, Stalemate, and Settlement , diterjemahkan Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto, Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qusyairi, Syarif (t.th.) Kamus Akbar Arab-Indonesia. Surabaya: Karya Ilmu.
Rahmah, Naily (2003) Peran Bimbingan dan Konseling Agama dalam menanggulangi Penyimpangan Perilaku Orang Tua Akibat Tradisi Perjodohan Anak-anak Usia Dini (Studi Kasus di Desa Omben Kecamatan Omben Kabupaten Sampang), Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.
Rahman, Holilur (2006) Peminangan Dini Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus di Desa Arok Kecamatan Burneh Kabupaten Bangkalan), Skripsi. Malang: UIN Malang.
Rakhmat, Jalaluddin dan Mukhtar Gandaatmaja (1993) Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ritzer, George and Douglas J. Goodman. (2004) Modern Sociological Theory , diterjemahkan Alimandan, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Robbins, S. P. (1996) Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, dan Aplikasi. Jakarta: PT. Prenhallindo.
Rohela (2003) Perkawinan Dibawah Umur Sebagai Hambatan Pembentukan Keluarga Sakinah, (Studi Kasus di Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan-Madura), Skripsi. Malang: UIN Malang.
Sabiq, Sayyid (1987) Fiqhus Sunnah , diterjemahkan oleh M. Ali, Fikih Sunnah 6.
Bandung: Al-Ma arif.
Samheri (2005) Kompetensi Kiai Sebagai Wali Hakim Dalam Pernikahan Bawah Tangan,
(Kasus di Desa Bujur Tengah Kecamatan Batumarmar Kabupaten
Pamekasan), Skripsi. Malang: UIN Malang.
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi (1987) Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial. http://id.wikipedia.org/w/index.php? title= Budaya&action=edit§ion=9. Diakses pada 25 April 2008.
Soeryo, Susul Tetrabuana (2005) Manajemen Konflik Sosial. Jakarta: Restu Agung.
Subaharianto, Andang dkk. (2004) Tantangan Industrialisasi Mudura: Membentur Kultur, Menjunjung Leluhur. Malang: Bayumedia Publishing.
Sudjana, Nana dan Ahwal Kusumah (2000) Proposal Penelitian: di Perguruan Tinggi. Bandung: Sinar Baru Algasindo.
Suherman (1999) Pengantar Managemen (Konseptual dan Perilaku). Malang: Unibraw.
Umar, Husein (2000) Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wiyata, A. Latief (2006) Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.
Zenrif, M. F. (2006) Realitas dan Metode Penelitian Sosial Dalam Perspektif Al-Qur'an Teori dan Praktik. Malang: UIN Malang Press.