FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013
Transcript of FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL
PERKAWINAN SIRRI
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
BENNY DWI MAHENDRA
8150408098
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL
PERKAWINAN SIRRI” yang ditulis oleh Benny Dwi Mahendra NIM
8150408098 telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia
Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada:
Hari :
Tanggal :
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001
Mengetahui,
Pembantu Dekan Bidang Akademik
Drs. Suhadi, S.H., M.Si.
NIP. 19671116 199309 1 001
iii
PENGESAHAN
Skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-
Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri” yang ditulis oleh
Benny Dwi Mahendra NIM 8150408098 ini telah dipertahankan di depan Sidang
Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
pada :
Hari :
Tanggal :
Ketua Sekretaris
Drs. Sartono Sahlan, M.H. Drs. Suhadi, S.H., M.Si.
NIP. 19530825 198203 1 003 NIP. 19671116 199309 1 001
Penguji Utama
Dr. Martitah, M.Hum
NIP. 196205171986012001
Penguji I Penguji II
Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001
iv
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : BENNY DWI
MAHENDRA, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya
sendiri dan di dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi atau lembaga
pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam skripsi ini dilakukan
dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka
Semarang, 2013
Yang menerangkan,
BENNY DWI MAHENDRA
8150408098
v
MOTTO
Kebahagiaan yang sejati itu bukan milik mereka yang hebat dalam segala hal,
namun mereka yang mampu menemukan hal yang sederhana di dalam kehidupnya dan
tetap mensyukuri apa yang dimiliki. (Benny Dwi Mahendra)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena
didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk
berhasil (Mario Teguh)
PERSEMBAHAN
Dengan memohon ridho dari Allah SWT skripsi ini penulis persembahkan kepada :
1. Kedua Orang Tua saya Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri,
A.Md.Pd., yang tercinta, Atas dukungan dan doanya serta limpahan kasih sayang
yang tak pernah terputus.
2. Kakak saya tersayang, Yunita Fitriana, S.S. yang selalu selalu memberikan
dorongan semangat serta selalu mendoakan penulis.
3. Hindun Elya Alfunia, yang senantiasa selalu memberikan dorongan semangat serta
selalu mendoakan penulis.
4. Almamater Universitas Negeri Semarang yang selalu saya cintai dan saya
banggakan.
5. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan tahun
2008.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan
limpahan kasih sayang, berkah, serta rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL
PERKAWINAN SIRRI”. Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana
dengan baik atas bantuan semua pihak, sehingga penulis dengan segenap
kerendahan hati mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Bapak Drs. Sartono Sahlan, M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri
Semarang.
3. Ibu Dr. Martitah, M.Hum selaku Dosen Penguji Utama yang dengan
kesabaran, ketelitian telah menguji penulis demi terciptanya karya tulis yang
baik.
4. Bapak Baidhowi, S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan
kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan bimbingan
dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam penyusunan
skripsi ini.
vii
5. Ibu Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang
dengan kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan
bimbingan dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Pujiono, S.H., M.H. sebagai Dosen Wali yang juga turut memberikan
pengarahan dan perhatiannya selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang.
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang
telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang bisa
dijadikan pegangan penulis dalam dunia karir nanti.
8. Kedua Orang tua saya, Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri,
A.Md.Pd., yang selalu memberikan motivasi, dorongan, semangat dan
senantiasa selalu mendoakan penulis.
9. Kakak saya Yunita Fitriana S.S., yang selalu memberikan semangat dan
dorongan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Hindun Elya Alfunia yang selalu mendoakan dan memberikan semangat
dalam mengerjakan skripsi.
11. Bapak Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua dan Hakim di
Pengadilan Agama Semarang yang telah membantu memberikan informasi
bagi penulis demi kelancaran skripsi ini.
viii
12. Ibu Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri
Semarang yang telah membantu memberikan informasi bagi penulis demi
kelancaran skripsi ini.
13. Teman-teman dan sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2008 di Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang dan kos Risa Putra terima kasih untuk
kebersamaan dan dukungannya.
14. Almamaterku, Universitas Negeri Semarang serta semua pihak yang telah
berperan hingga terwujud skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T
dan akhirnya sebagai harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memenuhi
persyaratan di dalam menyelesaikan pendidikan sarjana dan bermanfaat bagi
semua yang membutuhkan.
Semarang,
Penulis
Benny Dwi Mahendra
8150408098
ix
ABSTRAK
Mahendra, Benny Dwi, 2013. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/Puu-Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri. Skripsi,
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I, Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Pembimbing II, Ristina Yudhanti, S.H.,
M.Hum.
Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin
Status anak hasil perkawinan sirri sebelumnya hanya memiliki hubungan
keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa memiliki kepastian hukum.
Setelah di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
tentang Pengakuan Anak Luar Kawin maka terjawablah ketidak pastian tersebut.
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan bagaimanakah
status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedua
bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah biologis dari
perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis
normatif dan teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Data
yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara sebagai penguat.
Hasil dan simpulan dari penelitian ini adalah bahwa perkawinan sirri
merupakan perkawinan yang sah, karena pelaksanaannya telah terpenuhi syarat
dan rukun nikah sesuai agama Islam sebagaimana sesuai bunyi Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah ,
apabilla dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”. Dari bunyi Pasal diatas jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan
menurut agama dan kepercayaannya akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum
terpenuhinya syarat administratif sesuai Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Maka status hukum dari anak yang
dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan statusnya adalah anak luar
kawin. Anak luar kawin tersebut statusnya bisa berubah menjadi anak sah
menurut pandangan hukum positif jika telah dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan
Agama dan atas dasar penetapan dari Perngadilan Agama tersebut, barulah
perkawinan sirri tersebut bisa dilakukan pencatatan di KUA. Untuk membuktikan
apakah anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya harus
bisa di buktikan dengan menggunakan tes DNA. Anak tersebut akan otomatis
mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana hak keperdataan anak
sah pada umumnya, yaitu: hak waris, hak penafkahan, hak perwalian.
Saran penulis adalah, bagi masyarakat sebaiknya tidak melakukan hal
seperti kasus ini karena tidak memiliki kekuatan hukum. Bagi Pengadilan Agama
hendaknya lebih cermat jika nanti menanggani kasus seperti ini.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERSETUJUAN ............................................................................................. ii
PENGESAHAN .............................................................................................. iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang. ………………………………………………………… 1
1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………………………... 6
1.3 Batasan Masalah …………………………………………………………. 8
1.4 Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 9
1.5 Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 9
1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 9
1.7 Sistematika Penulisan …………………………………………………… 10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 13
2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia ………... 13
2.1.1 Pengertian Perkawinan ………………………………………………. 13
2.1.2 Tujuan Perkawinan …………………………………………………... 17
xi
2.1.3 Syarat Perkawinan …………………………………………………... 18
2.2 Kedudukan Perkawinan Sirri Dalam Lembaga Perkawinan …………... 22
2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri………………………………………. 26
2.3 Hak Kewajiban Orang Tua ……………………………………………. 34
2.4 Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan …………………………............. 37
2.4.1 Pengertian Anak Luar Kawin ……………………………………….... 37
2.4.2 Jenis-jenis Anak Luar Kawin ………………………………………... 38
2.4.3 Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri …………………... 39
2.5 Kedudukan, Peran dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi …………... 41
2.6 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ……………………... 51
2.7 Kerangka Berfikir ……………………………………………………… 54
BAB 3 METODE PENELITIAN………………………………………....... 61
3.1 Jenis Penelitian…………………………………………………………… 64
3.2 Metode Pendekatan …………………………………………………......... 64
3.3 Fokus Penelitian…………………………………………………………... 66
3.4 Jenis dan Sumber Data ……………………………………………............ 66
3.5 Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 70
3.6 Teknik Analisis Data……………………………………………………... 71
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 73
4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 73
xii
4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua
Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 ................................................................................................ 73
4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ......... 85
4.2 Pembahasan ................................................................................................ 88
4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua
Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 ................................................................................................ 90
4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ......... 94
BAB 5 PENUTUP ........................................................................................... 100
5.1 Simpulan ................................................................................................... 100
5.2 Saran .......................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi ………………. 46
Tabel 2 : Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ..………………. 83
xiv
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1 : Struktur Lembaga Tinggi Negara …………………………………. 43
Bagan 2 : Kerangka Berfikir …………………………………………………. 60
Bagan 3 : Skema Status Anak (1) ……………………………………………. 96
Bagan 4 : Skema Status Anak (2) ……………………………………………. 97
Bagan 5 : Skema Status Anak (3) ……………………………………………. 98
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Agama Semarang.
Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Negeri Semarang.
Lampiran 3 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan
Agama Semarang.
Lampiran 4 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan
Negri Semarang.
Lampiran 5 : Kartu Bimbingan Skripsi.
Lampiran 6 : Dokumentasi Foto.
Lampiran 7 : Hasil Wawancara.
Lampiran 8 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang merupakan Undang-Undang Perkawinan Nasional secara tidak langsung
Undang-Undang menghapus peraturan tentang masalah perkawinan yang
sudah ada sebelumnya dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal
ini diperjelas dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang
telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nasional ini.
Dan setelah kurang lebih 38 tahun semenjak Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tersebut menjadi dasar hukum yang membahas tentang
perkawinan, masih terdapat beberapa kelemahan salah satunya yang berkaitan
dengan pembahasan ini adalah Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan bahwa : Pada
asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita
hanya boleh memiliki seorang suami. Dan Pasal 3 Ayat (2) menyebutkan
bahwa : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
2
Artinya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menutup
kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan
Pasal 4 Ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih
dari seorang dengan izin dari pengadilan apabila :
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat memberikan keturunan.
Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa
perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur
paksaan dalam bentuk apa pun.
Asas Monogami Relatif yang dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ini memberikan kesempatan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri
lebih dari satu, hal tersebut menimbulkan fenomena marakkan perkawinan
sirri yang dilakukan oleh masyarakat.
Perkawinan sirri yang dilakukan di Indonesia tentunya akan
menimbulkan permasalahan yang komplek dikemudian hari karena di dalam
hukum Indonesia sampai saat ini tidak pernah diatur tentang legalitas
perkawinan sirri. Karena perkawinan sirri sampai saat ini tidak pernah diakui
oleh hukum Indonesia maka secara tidak langsung perkawinan sirri tersebut
walaupun secara agama sah karena telah memenui syarat sahnya rukun nikah
yang diatur menurut agama Islam akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum
sempurna keabsahannya karena perkawinan sirri tersebut belum dicatatkan,
3
artinya bahwa perkawinan sirri tersebut belum mempunyai kekuatan hukum.
Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan sirri status
hukumnya anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan
ibunya sebagaimana sesuai dengan bunyi Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi inilah yang harus diterima anak yang
lahir dari perkawinan sirri, secara hukum positif, negara tidak menjamin
hubungan hukum antara anak dengan ayahnya tersebut, dan hal tersebut akan
terlihat dari akta kelahiran si anak dalam akta kelahiran anak yang lahir dari
perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama
siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal
kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak).
Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara anak dengan ayahnya
secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat hak mewaris,
hak perwalian hak penafkahan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, setelah
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-
VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin
mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada
ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang tertulis pada amar putusan
4
Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang ber isi “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”.
Selama ini sebelum di keluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap diskriminatif dan tidak
memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, status anak di luar kawin
hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya
tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Padahal tidak mungkin
seorang anak tersebut terlahir secara sendirinya, pasti ada peran kedua
orangtuanya yang mendahuluinnya sebelum anak tersebut terlahir. Dengan di
keluarkannya putusan mahkamah konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi : "Setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." telah terpenuhi.
Logika hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010
menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keperdataan penuh anak luar
kawin dengan bapak biologisnya, timbulnya hak dan kewajiban antara anak
luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, mewaris dan
5
perwalian. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan Itsbat
Nikah di Pengadilan Agama dan kemudian dicatatkan di KUA dan dalam
pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuktikan
mempunyai hubungan darah.
Salah satu peran dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji
apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,
mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian dari
padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk
hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk
hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui
kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan
fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar
dari koridor konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia
telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan
bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional
(conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional
(constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1)
huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Tiga kewenangan Mahkamah Konstitusi selain
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) adalah: (1)
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945. (2) Memutus pembubaran partai politik. (3)
6
Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya
pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih
memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga
ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap
sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan
hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara
negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk
menulis skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan
Sirri”.
1.2. Identifikasi Masalah
Sebagaimana yang tertulis didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
dan perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
7
Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pencatatan
perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasannya. Menurut Soekan dan Effendi,
pernikahan yang dilakukan di luar pengawasannya tidak mempunyai
kekuatan hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencatatan
perkawinan merupakan hal yang penting dalam suatu pernikahan, baik laki-
laki maupun perempuan untuk memperoleh kekuatan hukum, Dari pencatatan
ini mempelai laki-laki dan perempuan memperoleh akta nikah.
Akta nikah sangatlah penting bagi sepasang suami istri sebagai bukti
yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Akta nikah merupakan bukti
telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk
tulisan sesuai yang di atur di Undang-Undang yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang. Meskipun keberadaan akta nikah sangatlah penting, namun masih
ada pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah karena perkawinan
mereka tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kenyataan yang beredar di
masyarakat perkawinan dengan tidak dimilikinya akta nikah itu bisa terjadi di
karenakan akad nikah yang mereka lakukan hanya dilakukan oleh kiai atau
modin, sehingga perkawinan yang mereka lakukan hanya sah secara hukum
agama. Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agama tanpa
dilakukan pencatatan perkawinan pada umumnya di kenal dengan perkawinan
sirri.
Perkawinan sirri dalam pandangan Islam di anggap sah sepanjang
memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi belum sempurna menurut
8
pandangan Negara karena belum dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan
di tuangkan dalam akta nikah, maka secara tidak langsung akan berdampak
kepada kedudukan istri, anak, dan harta kekayaan terlebih lagi jika terjadi
putusnya perkawinan, permasalahan yang timbut pasti akan lebih kompleks
lagi.
Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya
(Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 250 KUH Perdata)..
Ketidakjelasan status si anak dengan ayahnya dimuka hukum inilah yang
berdampak tidak baik bagi anak karena jika ayah biologisnya menyangkal
bahwa anak tersebut adalah bukan anaknya maka secara tidak langsung si
anak akan kehilangan hak-haknya yang semestinya dia peroleh seperti
penafkahan dan sampai masalah pewarisan dan perwalian kelak.
1.3. Batasan Masalah
Agar masalah yang ingin penulis bahas tidak meluas sehingga dapat
mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penulis akan
membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut
mengenai :
1. Status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua
biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010.
9
2. Prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari perkawinan sirri
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
1.4. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka penulis membatasi masalah dengan
mengidentifikasinya sebagai berikut:
1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan
sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010?
2. Bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah
biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana status hukum anak dari hasil
perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Untuk mengetahui prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari
perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
1.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
10
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepustakaan tentang
prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan
sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010.
2. Manfaat Praktis
Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan masukan (input) bagi semua pihak, yaitu bagi masyarakat pada
umumnya, pemerintah pada khususnya dan pelaksanaan pengangkatan
anak oleh pemohon beragama Islam dalam prakteknya.
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan secara garis
besar tentang apa yang peneliti kemukakan pada tiap-tiap bab dari skripsi ini
dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan.
Pada bab ini berisi tentang latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penuliasan
BAB II : Tinjauan Pusataka.
Yang mengemukakan tinjauan umum mengenai
perkawinan, kedudukan nikah sirri dalam perkawinan, hak
kewajiban orang tua, anak luar kawin dalam perkawinan,
11
peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi beserta
penjelasan-penjelasanya dalam hal ini yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perkawinan.
BAB III : Metode Penelitian
Pada bab ini penulis memberikan penjelasan mengenai
metode yang digunakan meliputi metode pendekatan
penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis
data.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan yang
akan menjelaskan mengenai hasil penelitian serta analisa-
analisa peneliti dari data yang telah diperoleh. Sehingga
dalam bab ini pula akan diuraikan jawaban dari
permasalahan yang berkaitan dengan prosedur pengakuan
anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri
kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
BAB V : Penutup
12
Dalam bab ini penulis akan memuat kesimpulan dan saran
dan peneliti akan mencoba menarik sebuah benang merah
terhadap permasalahan yang diangkat.
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga
Bahagia
3.1.1. Pengertian Perkawinan
Di Indonesia pengaturan hukum yang berkaitan dengan
perkawinan telah diatur dalam bentuk perundang-undangan negara
yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
sebagai peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum materil
dari perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan
sumber hukum formal yang mengatur tentang perkawinan ditetapkan
dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Dan sebagai aturan pelengkapnya adalah Kompilasi Hukum
Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual
tetapi menurut majasi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami
istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo 2002: 1).
14
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974
menjelaskan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dan Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan :
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Secara bahasa perkawinan itu merupakan Az-zawaaj, Az-
zawaaj dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua
perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.
Sebagaimana firman Allah „azza wa jalla (yang artinya) : Dan apabila
ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). (Q.S At-Takwir:7) dan firman-
Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya
mereka disatukan dengan bidadari : Kami kawinkan mereka dengan
bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.S Ath-Thuur:20)
Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut
juga Al-Aqd, yakni bergandengan atau bersatunya antara laki-laki
dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.
Dasar Pernikahan dalam Al Quran :
15
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035]
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-
hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha mengetahui.
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin
atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat
kawin.
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga
atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku
adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak
16
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni
isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula
dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini
membatasi poligami sampai empat orang saja.
Sedangkan secara syar‟i perkawinan itu ialah ikatan yang
menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut,
larangan-larangan syari‟at (Hosen, 1971:65). Lafadz yang semakna
dengan AzZuwaaj adalah An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling
bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para
ulama tentang maksud dari lafadz An-Nikaah yang sebenarnya.
Apakah berarti perkawinan atau jima. Selanjutnya, ikatan pernikahan
merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat
manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih
sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya
keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji. (Kan’an,
2007: 2).
17
3.1.2. Tujuan Perkawinan
Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang
luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan
perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban
(Afandi, 2000:93). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 1, tujuan perkawinan adalah Untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Membentuk keluarga artinya membentuk
kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami,
isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang
bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang
tua (Nur, 1993:3).
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat
dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana
sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kepercayaan,
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani
tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.
Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi
dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah
tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus
18
dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai
pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3.1.3. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 samapai Pasal
12. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang
bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat
perkawinan yang bersifat formil.
Syarat Materiil
Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari
Pasal 6 s/d 11, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 tahun.
3. Harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang
tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya
apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
4. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
5. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau
pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita.
19
6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain
tidak dapat kawin lagi kecuali memnuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal
4.
7. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan
yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.
8. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu.
Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu
tunggu itu adalah sebagaui berikut:
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu
bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang
antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi
hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.
20
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke
bawah maupun ke atas/incest.
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara
orang tua dan antara seorang dengan saudara
neneknya/kewangsaan.
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri/periparan.
4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak
susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri
lebih Dari seorang
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau
peraturan lain yang berlaku dilarang kawin
Syarat Formal
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam
Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Secara
singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
21
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan
dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum
perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan
lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya.
Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama,
tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5).
2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu
diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian
ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).
3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat
Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:
1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon
pengantin.
2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan
dilangsungkan (Pasal 8-9).
Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh
yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai
menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan
22
telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap
dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada
Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing
diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10-13).
3.2. Kedudukan Perkawinan Sirri Dalam Lembaga
Perkawinan
Menurut Aulawi (1996:20) Sebelum lahir Undang-Undang
Perkawinan, dimasyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan
nikah sirri. Pengertian nikah sirri mengalami perkembangan dan diartikan
secara lebih luas.
Zuhdi (1996:7-10) membagi pengertian nikah
sirri menjadi tiga bentuk. Pertama, nikah sirri diartikan
sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan
syariat agama, bersifat intern keluarga dan belum
dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan
resepsi pernikahan. Suami-Istri belum tinggal dan
hidup bersama sebagai Suami-Istri belum tinggal dan
hidup bersama sebagai Suami-Istri karena istri pada
umumnya masih anak-anak. Kedua, nikah sirri
diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan
syariat Islam, dan sudah dilakukan pencatatan oleh PPN
dan memperoleh akta nikah. Namun, nikahnya bersifat
intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai
suami-istri karena mungkin salah satu atau keduanya
masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh
pekerjaan. Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah
yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat
Islam karena terbentur dengan Peraturan Pemerintah.
Pada pernikahan ini calon suami menikahi calon istri
secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya
sebagai suami istri untuk menghindari hubungan
disiplin oleh pejabat yang berwenang serta izin
Pengadilan Agama dan mempunyai motif untuk
menghindari zina.
23
Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian nikah sirri adalah
nikah yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai dan tidak
dicatatkan di KUA. Dari sisi syarat dan rukunya, nikah sirri telah
memenuhi sebagaimana layaknya pernikahan berdasarkan agama Islam
(Maula,2002:2).
Abdullah (2001:26) mengemukakan bahwa
untuk mengetahui bentuk pernikahan terdapat sirri
(rahasia), dapat mengamati indikator sebagai berikut:
1. Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah
sesuai ketentuan dalam agama Islam yaitu akad nikah
yang terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah,
dan dua orang saksi.
2. Pernikahan tidak mengikuti persyaratan yang di buat
oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum
dari pernikahan yaitu hadirnya Pegawai Pencatat Nikah
(PPN) saat akad nikah berlangsung yang menyebabkan
peristiwa nikah itu memenuhi “legal procedur”
sehingga nikah itu diakui secara hukum dan oleh
karenanya mempunyai akibat hukum berupa adanya
kepastian hukum, sehingga kepada suami-istri diberi
masing-masing sebuah bukti adanya nikah yaitu berupa
akta nikah.
3. Pernikahan tidak melaksanakan walimah al-nikah yaitu
suatu kondisi yang sengaja diciptakanuntuk
menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa diantara
kedua calon suami-istri telah menjadi suami-istri.
Indikasi di atas menunjukkan bahwa setiap
pernikahan berbentuk sirri atau tidak, Ali (1996:27)
mengemukakan bahwa pernikahan mengandung arti
sirri karena seseorang sengaja menyembunyikannya.
Sesuatu yang sengaja di sembunyikan
berkecenderungan mengandung arti menyimpan
masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada
diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya
ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Oleh
karena itu perkawinan yang tidak dilakukan sesuai
ketentuan Undang-Undang yang berlaku dapat
dikategorikan sebagai pernikahan rahasia atau
dirahasiakan karena menyimpan masalah.
24
Termasuk didalam kategori nikah sirri atau rahasia diantarannya
adalah nikah gantung dan nikah dibawah tangan. Menurut Ali (1996:31)
nikah gantung adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang hubungannya sebagai suami istri digantungkan pada
suatu keadaan atau waktu dimasa yang akan datang. Sementara itu,
Handikusumo (1990:53) menjelaskan bahwa nikah gantung adalah nikah
yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam (memenuhi rukun
dan syaratnya), namun suami istri belum tinggal satu rumah dan hidup
bersama sebagai suami istri.
Istilah nikah dibawah tangan menurut Zuhdi
(1996:10-12) mulai dikenal sejak diberlakukannya
Undang-Undang Perkawinan. Keberadaan nikah
dibawah tangan tersebut berdasarkan sah tidaknya
perkawinan dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2
dalam Undang-Undang Perkawinan. Ada dua pendapat
yang berbeda tentang sah tidanya pernikahan. Pertama,
perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai
dengan hukum agama dan kepercayaan. Pendapat
kedua, mengatakan bahwa pernikahan dinggap sah
apabila telah dilakukan menurut agaman dan
kepercayaan masing-masing serta dilakukan pencatatan
sesuai denga peraturan yang berlaku.
Sementara itu, Maula (2002:2) memberikan
pengertian nikah sirri yang terjadi di kalangan
masyarakat Indonesia merupakan pernikahan yang
tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai,
selain tidak dicatat di KUA. Walaupun demikain,
pernikahan sirri dianggap memenuhi syarat dan rukun
perkawinan sebagai mana layaknya perkawinan pada
umumnya.
Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal
dari kata assirru yang mempunyai arti rahasia (Munawwir, 1997:625).
Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan
25
suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya
sekalipun keluarga setempat (Zuhdi,1996:7). Menurut terminologi ini
nikah sirri adalah tidak sah, sebab nikah sirri selain dapat mengundang
fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga bertentangan dengan hadis Nabi
yang berbunyi: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya hidung
kambing” (Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dll. dari Anas).
Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini
umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan
secara rahasia, terselubung, atau sembunyi-sembunyi.
Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan
dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum
pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai
suatu penyimpangan (Nurhaedi,2003:27).
Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Perkawinan
dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif.
Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah
suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang
Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun
maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak
didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat
Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-
Undanh No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 (Ramulyo,1996:239).
Berdasarkan pada harapan masyarakat kita, dalam rangka
terciptanya kepastian hukum perkawinan, maka dalam tubuh Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 telah diletakkan beberapa asas atau dasar
tentang hukum perkawinan nasional. Salah satunya adalah Pasal 2 ayat 1
yang menerangkan bahwa : Perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan
26
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu.
Berdasarkan Pasal ini, secara eksplisit menentukan berlakunya hukum
Islam di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 menetukan bahwa : Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari Pasal 2 ayat 2 dapat dimengerti agar setiap perkawinan
hendaknya dicatatkan pada kantor pencatat nikah yang ditunjuk oleh
pemerintah.
Memang secara nyata pengertian perkawinan sirri tidak terlihat
dalam Pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat
dalam Pasal 2 terutama ayat 1 maka nyatalah bahwa perkawinan sirri itu
tercakup didalamnya. Namun perkawinan sirri memenuhi unsur-unsur
larangan yang tersirat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tetang Perkawinan yang tidak mengakui bahkan tidak
membolehkan adanya perkawinan sirri atau perkawinan yang tidak
didaftarkan di kantor yang berwenang untuk itu. Karena perkawinan sirri
itu merupakan perkawinan yang tidak terdaftar maka menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 2,
Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 dan Pasal 10 ayat 3,
perkawinan sirri itu tidak dibenarkan.
2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri
Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi
umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja
27
dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan
masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena
beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk
mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa
saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih
memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum
nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum
memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan.
Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA
sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka;
menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh
masyarakat setempat atau pencatatan perkawinan itu hanya
dipandang sekedar soal administrasi belum dibarengi dengan
kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan
perkawinan tersebut.
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh
terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan.
Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur
bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan
28
contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara.
Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal
yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan
tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di
pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan
dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih
di bawah umur.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh
seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi
terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan
oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang
mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas
kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi
preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang
berusaha memposisikan supremasi hukum.
c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan Pasal 2 UU No.1
Tahun 1974 merupakan azas pokok dari perkawinan yang
sesungguhnya. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut
harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternatif.
Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya
sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya
29
mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut
mengandung kelemahan karena pasal tersebut seakan-akan multi
tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan
dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah
membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang
Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen.
Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan
dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang
melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat
oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi
ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di
hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal
4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang
melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn
perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut
menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan
perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam
30
Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling
lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar
kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai
hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan
kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN
dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan
pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan
dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi
ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi
sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu
factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
d. Ketatnya Izin Poligami
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi
masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya
mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama
Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang
hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-
31
kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara
limitative dalam undang-undang., yaitu:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal.4 ayat (2) UU
1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan
memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila
terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi
isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya.
Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian
32
terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada
rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat
tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat
menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama
(samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang
pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi
terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami
dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau
menggunakan izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang
bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri
karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih
sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer,
untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di
atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai
dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian
bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus
memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang
berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh
proses panjang.
33
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi
dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat
secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta
menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari
satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik
sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi
masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya
memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran,
pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka
kawin lebih dari satu (poligami) menunjukkan menurun drastis
namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak,
yang disebabkan oleh:
1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena
kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di
samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam
masyarakat ialah:
34
1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering
dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan,
wanita simpanan;
2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami
tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan
bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor
timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang
tidak dicatat, alias nikah sirri.
Sumber : http://www.pa-kotabumi.go.id/karya-ilmiah/207-
jasmani.html, di akses pada tanggal 1 Desember 2012.
3.3. Hak Kewajiban Orang Tua
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya dalam
Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur dalam Pasal 45-49. Dalam Pasal
45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan
mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan.
Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum
dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar
35
pengadilan (Pasal 47). Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada
batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya (Pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang
tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia
sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan
buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya
ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua
yang lain keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang
telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang
dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang
tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49). Sebaliknya,
anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga
mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang
tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang
tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang
tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak
juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas,
bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46).
Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua
masih berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua
36
sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak
dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan
orang tua itu mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau semenjak
pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa,
kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaannya dicabut
atau dibebaskan. Apabila kita bertitik tolak dari Pasal 299 BW diatas,
maka sesungguhnya dari Pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :
1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua. Kekuasaan orang
tua itu dimiliki oleh kedua oranng tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi
lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan
dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan perpisahan meja
dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang tua, apabila
bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit
keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada
dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak
mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah
seorang wali.
2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila
perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus.
Berlangsung sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan
bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang
masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan
menunjukkan asas bahwa kekuasaan orang tua hanya ada selama ada
37
perkawinan orang tua itu sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada
saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka
pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan
ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang masih belum dewasa.
3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas
alasan-alasan tertentu. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan
orang tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah
pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia
karena belum ada hakim khusus untuk anak-anak, maka baik
pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan
kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja
terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik
terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak
(Wibowo,2003:2).
3.4. Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan
3.4.1. Pengertian Anak Luar Kawin
Secara tertulis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
memberikan pengertian dari anak luar kawin, akan tetapi hanya
menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin.
Apabila dilihat dari bunyi Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka dapat ditarik
pengertian bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan
38
diluar perkawinan dan hanya memiliki hubungan keperdataan
dengan ibunya saja.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Anak luar
kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar perkawinan yang
sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada
anak yang dilahirkam diluar perkawinan tersebut.
3.4.2. Jenis-jenis Anak Luar Kawin
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian
anak luar kawin dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:
Anak luar kawin dalam arti luas
Adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan
sumbang. Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari
hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah
satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain.
Anak Sumbang adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan
antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya
berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling
menikahi. Undang-Undang melarang perkawinan mereka
mempunyai kedekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-
mereka yang ada adalah keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat tertentu, tidak boleh saling menikahi.
39
Anak luar kawin dalam arti sempit
Adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan
dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak
ada akibat hukum nya (Pasal 288 KUHPerdata). Namun pada
prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya
hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu
sendiri.
3.4.3. Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri
Dari sudut pandang hukum positif, perkawinan sirri
merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2
ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 4
dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, suatu
perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum
agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan
demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan,
perkawinan sirri adalah perkawinan sah akan tetapi belum
sempurna, ketidak sempurnaan itu karena perkawinan tersebut
belum dicatatkan.
40
Bagi masyarakat Indonesia, ada dua persyaratan pokok
yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan
perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:
1 Perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam,
2 Setiap perkawinan harus dicatat.
Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sesuai Undanga-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.
Undanga-Undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun
1974 harus diartikan secara komulatif tidak bisa diartikan secara
alternatife. Dan jika dikaitkan dengan Pasal 42 Undanga-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunnyi : Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Maka dari sudut pandang hukum positif, anak hasil dari
perkawinan sirri merupakan anak luar kawin karena perkawinan
kedua orang tuanya tidak dicatatkan, walaupun perkawinan kedua
orang tuanya sah secara hukum islam karena telah dilakukan sesuai
syarat dan rukun nikah akan tetapi hukum positif tetap
mengganggap perkawinan tesebut sah akan tetapi belum sempurna
karena tidak dicatatkan dan tidak bisa dibuktikan dengan akta
perkawinan.
41
2.1. Kedudukan, Peran dan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi
Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem division of
power (pembagian kekuasaan) yang sebelumnya dianut kemudian
diganikan dengan separation of power (pemisahan kekuasaan)
mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan
negara. Berdasarkan division of power, lembaga negara disusun secara
vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai
lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah
lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-
masing diberi status sebagai lembaga tinggi Negara.
Kelemahan sistem division of power tersebut
antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada
di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang
berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi
lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi
negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan
rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan
pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu
dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa
konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden
(concentration of power upon the President) Mochtar,
2009:1)
42
Diberlakukannya sistem separation of power, kini lembaga-
lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan
tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan di saat bersamaan dibatasi
juga oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasca amandemen Undang-
Undang Dasar 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya
kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan
sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-
lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara
berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat dan Mahkamah
Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi
diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya untuk
menjadi pengawal konstitusi, mengawal konstitusi berarti menegakkan
konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”.
Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang melandasi
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban
konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas
hukum.
43
Bagan 1
Struktur Lembaga Tinggi Negara
Peran dan Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah
menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.
Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir
pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.
Dalam rangka menjaga konstitusi, kewenagan pengujian undang-undang
itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan
Indonesia sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan
sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.
Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut
sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara
demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan untuk
menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor
konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi
itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.
Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau
tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial
review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu
Undang-
Undang
Dasar 1945
KPU
MK
KY
MA DPD MPR DPR
Bank
Central
BPK Presiden
Undang-
Undang
Dasar 1945
44
undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti
tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan
Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu
dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan
judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya
mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari
koridor konstitusi.
Kewenangan lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus
sengketa antar lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik,
dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. kewenangan lanjutan semacam
itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai
persengketaan antar lembaga negara yang tidak dapat diselesaikan
melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan
tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu
erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem
politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Karena itu, kewenangan penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan
pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah
dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan
bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan
konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban
45
konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah:
1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan
Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2)
UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah
memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela,
atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
46
Tabel 1
Kewenangan Konstitusional Mahkamah
Konstitusi
Tugas dan
Wewenag MKDasar Hukum
Unsur Permohonan
Pemohon
Amar
PutusanSifat Implikasi Relevansi
Uji Undang-
Undang
terhapat
Undang-
Undang Dasar
Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3
huruf a jo. Pasal 10 (1) huruf a
jo. Pasal 30 huruf a jo. Bagian
kedelapan UUMK
Kerugian dari: WNI;
kesatuan, masyarakat
hukum Adat; Badan
Hukum Publik dan Privat;
dan Lembaga lainnya
Bertentangan
atau Tidak
Bertentangan
Tingkat
Pertama
Dan
Terakhir,
final
Kekuatan Hukum
Suatu Materi
Undang-Undang
Keberlakuan Undang-
Undang
Memutus
Sengketa
Kewenangan
Lembaga
Negara
Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3
huruf b jo. Pasal 10 (1) huruf
b jo. Pasal 30 huruf b jo.
Bagian kesembilan UUMK
Kepentingan langsung
dari Lembaga Negara
Kecuali Mahkamah Agung
Berwenang
atau tidak
berwenang
Tingkat
Pertama
Dan
Terakhir,
final
Keabsahan
kewenangan
Lembaga Negara
Dasar hukum kewenangan
Lembaga Negara
Memutus
Pembubaran
Partai Politik
Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3
huruf c jo. Pasal 10 (1) huruf c
jo. Pasal 30 huruf c jo. Bagian
kesepuluh UUMK
Dianggap bertentangan
oleh Pemerintah
Mengabulkan
atau tidak
mengabulkan
permohonan
Tingkat
Pertama
Dan
Terakhir,
final
Eksistensi dan
keabsahan Partai
Politik
Dasar hukum cabut atau
tidak mencabut status
hukum Partai Politik
Memutus
Perseliusihan
Hasil Pemilu
Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3
huruf d jo. Pasal 10 (1) huruf
d jo. Pasal 30 huruf d jo.
Bagian kesebelas UUMK
Mempengaruhi perolehan
suara peserta pemilu
Membenarkan
atau tidak
membenarkan
perhitungan
pemohon
Tingkat
Pertama
Dan
Terakhir,
final
Keabsahan
Perhitungan
suara dalam
pemilu
Dasar hukum penetapan
hasil perhitungan suara
menurut KPU atau menurut
pemohon
Impeachment
terhadap
Presiden dan
atau Wakil
Presiden
Pasal 3 (3) jo. 7A JO. Pasal 7B
jo. Pasal 24C (2); Pasal 1
angka 3 huruf c jo. Pasal 10
(2) dan (3) jo. Pasal 30 huruf e
jo. Bagian keduabelas UUMK
Ada pelanggaran menurut
DPR
Membenarkan
atau tidak
membenarkan
pendapat DPR
Relatif,
tergantung
kekuatan
politik di
MPR
Legitimasi
Presiden dan
atau Wakil
Presiden, atau
MPR dan atau
DPR
Dasar hukum DPR usulkan
rapat paripurna MPR
Putusan Mahkamah Konstitusi
Sumber:Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
47
A. Kewenangan Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang
Dasar
Berdasarkan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Kostitusi melalui
putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-
undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang,
Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak
sesuai dan tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar. Melalui penafsiran
atau interprestasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah
Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi
Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-
sama Presiden dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan hukum
yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian
Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislative diimbangi oleh adannya
pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial c.q Mahkamah
Konstitusi.
B. Kewenangan Memutus Sengketa Lembaga Negara
Putusan Mahkamah Kostitusi atas hal ini akan menyatakan dengan
tegas mengenai berwenang atau tidaknya suatu lembaga Negara menurut
Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 61 Ayat (2) jo Pasal 64 Ayat (3) dan
(4) jo Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Hal ini
mempunyai relevansi sebagai dasar hukum lembaga Negara yang
48
bersangkutan dalam menyelenggarakan kewenangan berdasarkan Undang-
Undang Dasar 1945. Implikasinya adalah keabsahan atau legitimasi
konstitusional kewenangan lembaga Negara (Pasal 64 jo Pasal 66 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2003). Adanya kewenangan lembaga Negara
adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas suatu kewenangan
lembaga Negara. Artinya esensi kewenangan konstitusional mahkamah
konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam
perimbangan kekuasaan lembaga Negara merupakan suatu fungsi control
dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga
Negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan
lembaga Negara sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur
menurut Undang-Undang Dasar 1945.
C. Kewenangan Memutus Pembubaran Partai Politik
Bilamana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemohon adalah beralasan
dan mememuhi ketentuan Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
permohonan dikabulkan, dan jika sebaliknya maka, amar putusan
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima
(Pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Terhadap permohonan
yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusik kemudian mumutuskan tidak
mengabulkan atau mengabulkan permohonan pembubaran partai politik
(Pasal 68 Ayat (2) jo Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang
49
Nomor 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relefansi sebagai dasar hukum
bagi pemohon c.q Pemerintah Pusat (Pasal 68 Ayat (1) jo Pasal 72 jo Pasal
73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan penjelasannya) untuk
membubarkan atau tidak membubarkan atau tidak membatalkan status
hukum suatu partai politik.
Implikasi dari hal tersebut adalah terdapat eksistensi dan keabsahan
suatu partai politik. Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi yang
mengabulkan permohonan pemerintah untuk membubarkan suatu partai
politik tertentu berarti bahwa partai politik yang bersangkutan secara
hukum tidak diakui keberadaannya, dan tidak di benarkan untuk
melakukan aktifitas poitik. Demikian pula sebaliknya, yakni bila amar
putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan
pemerintah, maka keberadaan suatu partai politik tertentu secara hukum
tetap dijamin hak-hak dan kewajiban partai politik, yang berarti dapat
melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai partai politik.
Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan syarat mutlak bagi
pemerintah untuk membubarkan partai politik tertentu. Tanpa adanya
dasar hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara
pembubaran partai politik, pemerintah tidak boleh membubarkan suatu
partai politik. Artinya, keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk
menjamin sekaligus melindungi partai politik dari tindakan sewenang-
wenang pemerintah yang membubarkan partai politik tanpa alas an yang
jelas dan sah secara hukum.
50
D. Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan
Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU
mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan
calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil
presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3).
Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal
ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.
E. Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden
Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem
presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum
habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung
oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before
law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses
pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara
hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan
yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.
51
Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah
Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat
semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu
melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua
per tiga) anggota DPR.
1.5 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang
bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan.
Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan
pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-
cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung
yang menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan
pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum
objektif). Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma
umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum
subjektif). Dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang
dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar dan
bersifat umum yang menjadi panduan atau bahkan ruh dalam
penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya diperlukan
untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu
tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan
perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut
52
harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan
maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi menjadi pedoman dan prinsip yang memandu
hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi
pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses
peradilan. Adapun asas-asas Mahkamah Konstitusi adalah seagai
berikut :
1. Asas Independensi atau Noninterfentif,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU
Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah
Konstitusi merupakan satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.
2. Asas Praduga Rechtmatige, yaitu sebelum ada
putusan Mahkamah Konstitusi, objek yang
menjadi perkara misalnya suatu UU yang diuji
tetap sah dan berlaku sebelum ada putusan akhir
hakim Mahkamah Konstitusi.
3. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, sebagaimana
ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU
Mahkamah Konstitusi, bahwa sidang Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim. Dalam pembacaan
putusan hakim Mahkamah Konstitusi wajib
dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat
(5) UU Mahkamah Konstitusi) yang mana apabila
persidangan dan pembacaan putusan Mahkamah
Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum (Pasal 28 ayat (6) UU
Mahkamah Konstitusi).
4. Asas Hakim Majelis, sebagaimana ditegaskan
Pasal 28 UU Mahkamah Konstitusi yang mana
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
dalam sidang pleno dengan 9 (sembilan) hakim
konstitusi, kecuali keadaan luar biasa dengan
tujuh hakim konstitusi.
5. Asas Objektivitas, untuk tercapainnya putusan
yang adil, maka hakim atau panitera wajib
53
mengundurkan diri apabila terkit hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun
telah bercerai dengan tergugt, penggugat atau
penasehat hukum atau antara hakim dan salah
seorang hakim atau panitera juga terdapat
hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas,
atau hakim atau panitera tersebut mmpunnyai
kepentingan langsung atau tidak langsung.
6. Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus
Litis), hakim konstitusi cukup berperan dalam
melakukan penelusuran dan eksplorasi untuk
mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang
ada asas ini tercermin salah satunya dari asas
pembuktian yang menunjukkan bahwa hakim
konstitusi dapat mencari kebenaran materiel yang
tidak terikat dalam menentukan atau memberikan
penilaian terhadap kekuatan alat buktinya. Selain
itu, asas keaktifan hakim juga tercermin dalam
kewenangan hakim konstitusi memerintahkan
para pihak untuk hadir sendiri dalam persidangan
sekalipun telah diwakili oleh kuasa hukum.
Ketentuan ini dimaksudkan agar hakim konstitusi
dalam menemukan kebenaran materiel yang dapat
diperoleh dari kesaksian dan penjelasan para
pihak yang berperkara. Hal ini mencerminkan
karakteristik hukum public didalam hukum acara
Mahkamah Konstitusi.
7. Asas Pembuktian Bebas (Vrij Bewij),
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1)
dan (2) UU Mahkamah Konstitusi, bahwa
Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti
dan keyakinan hakim. Alat bukti yang dimaksud
sekurang-kurangnya 2 (dua).
8. Asas Putusan Mengikat secara Erga Omnes,
artinya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan
putusan yang tidak hanya mengikat para pihak
(interparties), tetapi juga harus ditaati oleh
siapapun (Erga Omnes). Asas ini tercermin dalam
putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung
dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi
keputusan lembaga atau pejabat yang lain.
9. Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan
Bersifat Final, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi bahwa
54
putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum
yang bersifat final dan tidak ada upaya hukum
lain karena Mahkamah Konstitusi mengadili
tingkat pertama dan terakhir (Pasal 10 UU
Mahkamah Konstitusi).
10. Asas Sosialisasi, artinya putusan Mahkamah
Konstitusi wajib diumumkan dan dilaporkan
secara berkala kepada masyarakat secara terbuka
(Pasal 13 UU Mahkamah Konstitusi).
11. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya
Ringan, untuk memenuhi harapan para pencari
keadilan maka pemeriksaan dan penyelesaian
perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan
efektif serta dengan biaya perkara yang dapat
terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam
pemeriksaan dan penyelesaian perkaratidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari
kebenaran dan keadilan (Pasal 4 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004).
(Sutiyoso,2006:38-44)
2.7. Kerangka Berfikir
Perkawinan sebagai salah satu sunnah nabi Muhammad saw
juga telah diatur dalam hukum perkawinan islam yang secara syar’i telah
diatur dalam nash Al-Qur’an dan Hadits.
Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih
Sunnah : “Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih
Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang
biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing
pasangan siap melakukan perana yang positif dalam
mewujugkan tujuan perkawinan”. Allah tidak mau
menjadikan manusia seperti makluk lainnya, yang
hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan
antara jantan dengan betina secara anarki, dan tidak ada
suatu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan
martabat kemuliaan manusia, Allah membuat hukum
sesuai dengan martabat (Thalib, 1980:7).
55
Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual
tetapi menurut majasi (mathaporic) atau arti hukum adalah aqad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri
antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo, 2002:1). Menurut
hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya adalah aqad antara calon suami
istri untuk memperbolehkannya mereka berdua bergaul sebagai suami
istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi Aqad Nikah artinya
perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki (Asmin,1986:28). Karena itu perkawinan
dianggap sah dan berdampak hukum positif maka harus memenuhi syarat
dan rukunnya. Kalau salah satu syarat perkawina tidak terpenuhi maka
perkawina itu tidak sah. (Soemiyati.1982:30)
Syarat perkawinan : Ada calon mempelai laki-laki dan
perempuan; Ada saksi; Ada wali; Mahar atau maskawin; Ijab –Qabul.
Sedangkan rukun dari perkawinan : Ijab-Qabul (siqhat); Wali; Dua orang
Saksi.
Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri
berasal dari kata assirru yang mempunyai arti “rahasia” (Munawwir,
1997:625). Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang
atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau
jamaahnya sekalipun keluarga setempat (Zuhdi,1996:7). Menurut
terminologi ini nikah sirri tersebut adalah tidak sah, sebab nikah sirri
selain dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga
56
bertentangan dengan hadis Nabi.yang berbunyi: “Adakanlah pesta
perkawinan, sekalipun hanya hidung kambing” (Hadis Riwayat Al-
Bukhari dan Muslim dll. dari Anas). Sesuai dengan namanya,
perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan
secara rahasia, terselubung, atau sembunyi- sembunyi. Praktik kawin sirri
ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat
Indonesia. Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum
pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu
penyimpangan (Nurhaedi, 2003:27). Menurut Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI) “Perkawinan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah
terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan
mudharat atau dampak negatif”. Dalam prakteknya perkawinan sirri ini
adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di
Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat
perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai
Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undanh
No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
(Ramulyo,1996: 239).
Banyaknya sekali permasalahan di masyarakat yang timbul
dari tidak dicatatnya perkawinan seperti kaburnya asal-usul anak,
kewarisan dan nafkah. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:
“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan
57
yang berlaku”. Meskipun Ulama Indonesia pada umumnya setuju
terhadap pasal tersebut tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak
disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat
muslim di Indonesia masih memperdebatkan sahnya suatu perkawinan
tanpa di temui suatu titik terang. Misalnya, masih ada orang yang
mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi
agama lalu menjadi tidak sah.
Implikasi jawaban tersebut adalah bahwa jika sudah terpenuhi
semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam
fiqh, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai dampaknya adalah banyak
masyarakat yang melakukan perkawinan sirri di Indonesia.
Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hingga saat ini kalangan
teoritis dan praktisi hukum masih saling bersilang pendapat tentang
pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para
pakar hukum mengenai masalah ini.
Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya
harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan tersebut di atas, yakni perkawinannya telah
dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam secara sempurna
(memenuhi rukun dan syarat nikah). Mengenai pencatatan nikah oleh
PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban
administratif saja; Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus
58
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mengenai tata cara agama dan ayat (2) mengenai
pencatatan nikah oleh PPN secara simultan. Dengan demikian ketentuan
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, bukan
alternatif. Karena itu perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan
syariat Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai
perkawinan yang sempurna dan perkawinan inilah yang kemudian
setelah berlakunya Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan
perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri.
Perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri berdampak
sangat merugikan bagi perempuan pada umumnya, baik secara hukum
maupun secara sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai
istri sah. Ia tidak berhak menuntut nafkah dan warisan dari suami jika
ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta
gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan
tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selanjutnya secara sosial, sang
istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan
perkawinan dibawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah
dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri
simpanan. Bila pernikahan dibawah tangan ingin diakhiri dan dilegalkan
ada dua cara, yaitu dengan melakukan Itsbat Nikah dan dari hasil
59
penetapan pengadilan tersebut dijadikan dasar pencatatan perkawinannya
di KUA.
Hal-hal seperti di ataslah yang mendasari seorang warga
Indonesia dan juga seorang public figure Hj. Aisyah Mochtar atau yang
biasa dikenal dengan nama Machica Mochtar mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1
Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan untuk di uji dengan
Pasal 28 B ayat 1, Pasal 28 B ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 1 Undang-
Undang Dasar 1945 dan Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan
mengabulkan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang
Perkawinan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi
dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara
anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak biologisnya dan Pasal 2
ayat 2 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan tidak
dikabulkan dengan alasan perkawinan yang dicatatkan adalah untuk
mencapai tertib administrasi.
60
Secara umum penulis menggambarkan alur kerangka berfikir
sebagai berikut :
Bagan 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan di Catatkan Perkawinan Tidak di Catatkan
Anak
Kedudukan Hukum Anak Luar
Kawin Hasil Perkawinan Sirri
Kedudukan Hukum Anak Luar
Kawin Sebelum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
Kedudukan Hukum Anak Luar
Kawin Setelah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Prosedur Pengakuan Anak Luar Kawin Hasil Perkawinan Sirri :
Perkawinan Sirri→ Anak→ Itsbat Nikah→ Perkawinan Sah dan
Dicatatkan = Anak Sah→ Hubungan Perdata Ibu dan Ayah→ Hak
Keperdataan Penuh
Perkawinan Sirri→ Anak→ Tes DNA→ Perkawinan Sah Tidak
Dicatatkan = Anak Anak Luar Kawin→ Hubungan Perdata Ibu
dan Ayah→ Hak Keperdataan Terbatas
Perkawinan Sirri→ Anak→ Itsbat Nikah + Tes DNA→
Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah→ Hubungan Perdata
Ibu dan Ayah→ Hak Keperdataan Penuh
61
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk
mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan
mengadakan analisa dan konstruksi (Soekanto & Mamudji, 2010:20).
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang ditetapkan
harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya
dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu
pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas,
metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan
identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya.
Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu
yang mempunyai langkah-langkah sistematis (Usman dan Akbar, 2003:42).
Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tatacara seorang
ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-
lingkungan yang dihadapinya (Soekanto, 1991:6).
62
Menurut Sunggono penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya
pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek
yang mudah terpegang di tangan.
Penelitian juga merupakan suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai
beberapa karakterisitik tertentu, yaitu: penelitian mempunyai tujuan, sistematik,
terkendali, objektif serta tahan uji. Demikian juga penelitian hukum merupakan
suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai karakteristik, diantaranya:
a. Tujuan, dalam penelitian hukum mempunyai tujuan untuk mempelajari
gejala hukum tertentu dengan menganalisanya.
b. Sistematik, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah
dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana
dengan baik.
c. Terkendali, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah
dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana
dengan baik.
d. Objektif, dalam penelitian hukum terlebih dahulu ditentukan fenomena
hukum yang akan diteliti.
e. Tahan uji, dalam penelitian hukum, penyimpulan teori harus merupakan
hasil dari telaah yang didasari pada suatu teori yang kuat dan metode
yang benar, oleh karena itu siapapun yang melakukan replica akan
sampai pada suatu keimpulan yang sama (Azwar, 2003:1).
63
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penelitian adalah cara
dalam melaksanakan suatu penelitian yang meliputi kegiatan seperti mencari,
mencatat, merumuskan, menganalisis, sampai dengan menyusun laporan
berdasarkan fakta-fakta atau gejala ilmiah.
Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
Sosiologis (Amiruddin & Aisikin, 2006:29)
Penelitian hukum normatif disebut dengan penelitian hukum doktriner,
karena dilakukan dan ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis
atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini dikatakan juga sebagai
penelitian kepustakaan atau studi dokumen, disebabkan penelitian ini lebih
banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.
Data Sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga
meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada
dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Soekanto &
Mamudji, 2010:24).
Metode pendekatan penelitian ini lebih tepat digunakan adalah metode
penelitian yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut
akan menelaah secara lebih dalam terhadap asas-asas hukum, peraturan
perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum serta memandang
hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat
64
kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang (law in
book) tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action).
1.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan cara kerja
dengan menjabarkan hasil penelitian berdasarkan penelitian dan pemaknaan
terhadap data yang diperoleh. Metode ini digunakan apabila data hasil
penelitian tidak dapat diukur dengan angka atau dengan ukuran-ukuran lain
yang bersifat eksak. (Soekanto, 2010:19)
Menurut Jhony Ibrahim penelitian hukum normatif memiliki definisi
yang sama dengan penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu penelitian
berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada
membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.
1.2 Metode Pendekatan
Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di
dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach) (Marzuki,
2008:93). Dari kelima pendekatan penelitian hukum tersebut, penulis di
65
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).
1.2.1 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang menyangkut dengan
implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri, untuk menelaah unsur
filosofi adanya suatu peraturan perundang-undangan tertentu yang
kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis
antara undang-undang dengan isu hukum yang ditangani (Marzuki,
2008: 93-94).
1.2.2 Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu
hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-
pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang
relevan dengan isu yang dihadapi (Marzuki, 2008: 95), kemudian akan
membantu dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan
implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010
terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri.
66
1.3 Fokus Penelitian
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka
hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analisis yaitu
memaparkan, atau mengambarkan peraturan hukum yang berlaku dikaitkan
dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang
menyangkut permasalahan di atas.
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka yang
dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan
sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010?
2. Bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah
biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010?
1.4 Jenis dan Sumber Data
Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 52) yang dimaksud sumber data
penelitian adalah “objek yang diperoleh, diambil dan dikumpulkan. Jenis data
yang diperoleh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis”,
yaitu:
67
a. Jenis data Primer
Menurut Soerjono Soekanto data primer meliputi bahan-bahan
yang mengikat seperti, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan
dasar, bahan hokum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi,
traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang sampai saat ini
masih berlaku.
b. Jenis data Sekunder
Data yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari
kalangan hokum dan seterusnya (Soekanto, 2010: 13).
Sesuai dengan kategori jenis data di atas maka di dalam penelitian ini
sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Namun dalam bukunya,
Penelitian Hukum, (Marzuki, 2008: 141) mengatakan bahwa pada dasarnya
penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah
bahan hukum, hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Penulis dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu
data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari
sumber-sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh dengan penelitian
kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau
tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk
memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun
68
data melalui naskah resmi yang ada. Data sekunder dibidang hukum dapat
dibedakan menjadi :
1.4.1 Bahan Hukum Primer
Merupakan bahan hukum yang utama terdiri dari:
1. Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama.
6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
69
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.
9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
10. Kompilasi Hukum Islam
1.4.2 Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Marzuki, 2008:141).
Merupakan bahan hukum yang erat hubunganya dengan hukum
primer dan membantu untuk menganalisis bahan hukum primer terdiri dari
: buku-buku ilmiah di bidang hukum,putusan hakim, makalah atau hasil-
hasil ilmiah para sarjana, serta literatur yang berhubungan dengan anak
luar kawin.
1.4.3 Bahan hukum Tertier
Merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus
seperti kamus-kamus hukum, serta kamus-kamus keilmuan lainnya.
70
1.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, akan diteliti data sekunder. Dengan demikian
ada dua kegiatan utama yang akan dilakukan dalam melaksanakan penelitian
ini, yaitu mengiventarisasi, mempelajari, dan mencatat ke dalam kartu
penelitian tentang asas-asas dan norma hukum yang menjadi obyek
permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis pada masalah
penelitian dan yang kedua dilakukan dengan cara menelusuri literatur-
literatur ilmu hukum ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan
dengan masalah penelitian.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Studi Kepustakaan
Menurut Soerjono Soekanto studi kepustakaan adalah studi
dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan
atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang
biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti mencari,
membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang berupa
buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada hubungannya
dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Soekanto, 1986:21)
Terhadap data primer dikumpulkan dengan melakukan studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji
71
peraturan perundang-undangan, rancangan undang-undang, hasil
penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah seminar yang
berhubungan dengan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor
46/PUU-VIII/2010 terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri.
b. Wawancara
Dalam penelitian hukum yang menggunakan metode pendekatan
yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan paling
utama adalah penelitian kepustakaan (library research). Sementara
wawancara berfungsi sebagai data pendukung, sehingga data yang
diperoleh hanya berasal dari narasumber.
Wawancara merupakan alat pengumpul data yang tertua karena
sering digunakan untuk mendapatkan informasi dalam semua situasi
praktis. Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka
ketika seseorang yakin pewawancara mengajukan pertanyaan-
pertanyaan dan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan
dengan masalah penelitian kepada seorang responden. (soekanto, 2003:
12 )
1.6 Teknik Analisis Data
Tahap-tahap dari analisis data yuridis normatif adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan asas-asas hukum baik dari data sosial maupun dari data
hukum positif tertulis.
72
2. Merumuskan pengertian-pengertian hukum
3. Membentuk standar-standar hukum
4. Perumusan kaidah-kaidah hukum
Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah metode
analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif bertujuan menggambarkan secara
tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dimasyarakat
(Amiruddin & Askin, 2006:25).
73
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada
Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
Keabsahan status dari seorang anak pasti tidak akan pernah terlepas
dari status perkawinan kedua orangtuanya, anak sah sebagaimana yang
tertulis didalam Pasal 42 Undang-Undang No. Tahun 1974: “Anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 yang menyatakan
anak sah adalah:
(a) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
(b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan
oleh istri tersebut.
Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi :
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah”. Kata-kata “melanjutkan keturunan” apapun
pengertiannya pasti terjemahan konkritnya adalah anak, yakni
kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa, yang
74
dipertegas dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Menilik Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku”. Dari kasus ini topik bahasannya adalah
perkawinan sirri dan perkawinan sirri ialah perkawinan yang secara
materiel telah memenuhi ketentuan syari'at Islam sebagaimaa sesuai
dengan yang dimaksud didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 akan tetapi tidak memenuhi syarat administratif sesuai Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Tujuan pemerintah mengatur tentang pencatatan perkawinan
adalah untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.
Melalui pencatatan perkawinan sepasang suami istri akan memiliki akta
perkawinan sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak
bertanggung jawab maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum
guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Akan tetapi
pada praktiknya tidak semua masyarakat Indonesia mengikuti semua
prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian
masyarakat masih melaksanakan praktik perkawinan yang tidak dicatatkan
secara resmi dan tidak dipublikasikan yang biasa dikenal dengan nama
75
nikah sirri atau kawin sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah
secara agama atau nikah dibawah tangan.
Terdapat dua macam manfaat pencatatan perkawinan, yang
pertama manfaat pencatatan perkawinan secara preventif adalah untuk
menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun
dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya itu,
maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkritnya
penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu :
(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai
Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan.
(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam
ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting,
diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.
Sedangkan manfaat pencatatan perkawinan represif dimaksudkan
untuk membantu masyarakat agar didalam melangsungkan perkawinannya
tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqih saja, tetapi aspek
keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.
Anak yang terlahir dari perkawinan sirri pada dasarnya
merupakan anak yang sah, akan tetapi, belum dicatatkannya perkawinan
kedua orang tuanya tersebutlah yang menyebabkan status anak tersebut
menjadi anak luar kawin.
76
Dalam Makalah yang telah disampaikan pada Seminar Status Anak
Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, Rasyid, (2012) mengatakan:
Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia
terdapat tiga (3) macam status kelahirannya, yaitu :
a. Anak yang lahir dari atau sebab perkawinan yang sah;
b. Anak yang lahir di luar perkawinan;
c. Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).
a. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang
sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1
dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak
yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara
lain:
a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945,
pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu : " Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah " ;
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : " Anak sah
adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah " ;
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : " Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu";
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu : " Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku "
Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat
perkawinan yang sah ini bukan merupakan titik
pembahasan, maka penulis memandang tidak perlu
diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang
akan diuraikan dibawah ini.
b. Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang
lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-
masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini
menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan
menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian
”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi
syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak
tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara
materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor
Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil
77
(anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar
dengan Moerdiono), maka tidak sah secara formil.
Untuk istilah ”anak yang lahir di luar
perkawinan”, maka istilah ini yang tepat untuk kasus
Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil
perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun secara
agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana
berkembangnya persepsi yang salah yang menganggap
kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak
hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan
“di luar perkawinan” karena perkawinannya hanya
memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan
tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus
dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat
1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan
yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti
pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu disebut ”luar
perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu
tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya
perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu
dilakukan di luar prosedur pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa
"luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena
perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada
perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan
tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-
kata : saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada
tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa
rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika
disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah
dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah
yang disebut "luar perkawinan", sedangkan perzinaan
sama sekali tidak tersentuh dengan term ”perkawinan”.
c. Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang
dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa
ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas
pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri
yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi
Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa
kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang
78
sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil
juga tidak sah secara formil.
Pemahaman yang keliru terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terutama
terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa
“di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan
frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan
kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor
Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil
tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang
dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang
dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang
tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak
zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan
dengan perzinahan atau akibat perzinahan, kasus yang
melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan
”pencatatan perkawinan”.
Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan
penulis dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. Menurut beliau, anak
luar kawin tidak bisa begitu saja disamakan dengan anak zina dan
sumbang, harus cermat dalam memposisikan anak yang lahir diluar
perkawinan dan anak yang lahir tanpa perkawinan. Berikut kutipan
wawancaranya:
Harus dibedakan luar kawin dan tanpa perkawinan,
anak luar kawin itu anak yang lahir dengan didasari
perkawinan secara agama akan tetapi tidak dicatatkan
makannya disebut anak luar kawin dan tanpa perkawinan
adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya perkawinan
sama sekali. Penyebutan anak luar kawin dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut
harus di lihat dari perkaranya yang mengajukan itu siapa,
dalam hal ini kasus machica mochtar dan moerdiono
tersebut didasari dengan pernikahan sirri atau pernikahan
secara agama. Kalau mau menanggapi permasalahan ini
kita harus kembali ke pada kasusnya yang mengajukan itu
79
siapa dan jangan lari kemana-mana. (Wawancara dengan
Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Hakim di
Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013).
Namun berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis
dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. beliau tidak sependapat dengan
hal tersebut diatas yang menyatakan Perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan kata lain.
Menurut beliau, perkawina dianggap sah jika sudah dijalankan menurut
agama dan kepercayaannya kemudian dicatatkan (Untuk yang beragama
Islam di KUA dan yang non Islam di Kantor Catatan Sipil) tidak sahnya
perkawinan tersebut otomatis berimplikasi terhadap status anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:
Sahnya suatu anak itu jika perkawinan orang
tuanya tersebut sudah dijalankan sesuai syarat perkawinan
sesuai agamanya dan kemudian dicatatkan di catatan sipil.
Selama ini saya belum menemukan perkawinan yang tidak
dicatatkan dari kasus yang masuk disini pun juga selama
ini perkawinannya tercatatkan semua. (wawancara dengan
Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku hakim di
Pengadilan Negeri Semarang pada 11 Februari 2013)
Dari hasil wawancara yang dilakukan, penulis menemukan
perbedaan secara prinsipil mengenai pemahaman keabsahan perkawinan
yang otomatis berimplikasi terhadap status dari anak tersebut, penulis
tidak ingin memperdebatkan hal tersebut, hal tersebut memang sampai saat
ini masih menjadi perdebatan bagi beberapa kalangan dalam mendefinisan
status perkawinan yang dilakukan secara agama dan kepercayaannya akan
tetapi tidak dicatatkan.
80
Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan
penafsiran atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan berpendapat bahwa hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak
yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
dipersengketakan. Pendapat ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak
(Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa anak akan
didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas
nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak
untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Kemudian, Pasal 7 ayat
(1) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur
bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hak anak untuk mengetahui identitas
kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak
dengan orang tuanya.
Pembuktian asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan
dengan menggunakan akta otentik sebagai mana yang telah tertulis
didalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
berbunyi: “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan
akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang”.
81
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 Anak yang lahir dari perkawinan sirri bisa mempunyai akta
kelahiran namun bedanya tidak ada nama ayahnya, hanya akan tercantum
nama ibunya saja sebagai perempuan yang telah melahirkan anak tersebut.
Anak hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan
keluarga ibunya saja sebagai mana yang tertulis didalam Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya”. Selain itu anak tidak berhak atas nafkah dan
warisan dari bapaknya sebagai mana yang dirasakan oleh ibunya,
konsekuensi ketidaksahan status anak tersebut berakibat negatif terhadap
posisi hukumnya, sebab anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
Jika anak tesebut perempuan, bapaknya tidak bisa menjadi wali nikah atas
anaknya tersebut.
Anak yang lahir dari perkawina sirri bisa memiliki akta kelahiran
akan tetapi tidak ada nama bapaknya, yang tercantum di dalam akta
tersebut hanya nama ibunya saja sebagai wanita yang telah melahirnnya.
Isi pokok dari akta kelahirannya meliputi :
1. Nomor Akta;
2. Tempat, tanggal, bulan, dan tahun anak tersebut dilahirkan;
3. Nama anak yang bersangkutan;
4. Jenis kelamin;
5. Nama Ibunya;
6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran;
7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang
ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk surat kenal lahir dari lurah
atau kepala desa.
82
Manfaat dari akta kelahiran adalah sebagai bukti otentik asal usul
anak, selain itu anak akan mengetahui secara pasti siapakah kedua orang
tuannya, jika disuatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta
kelahiran tersebut, anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Akta
kelahiran dapat digunakan sebagai identitas resmi yang akan sering
digunakan misalnya untuk keperluan sekolah, dan lain sebagainya.
Semenjak di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 dalam amar putusannya yang berbunyi :
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang
menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”,tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai
hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut
harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya”
Anak luar kawin atau anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri
sekarang bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarga
ibunya saja sebagaimana yang telah tertulis di dalam Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi juga menjadi tanggung jawab
dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya selama dapat dibuktikan
83
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah.
Dan untuk memperjelas status anak tersebut kepada ayah
biologisnya harus dilakukan pengakuan, sebenarnya pengakuan anak
terhadap anak luar kawin sudah diatur didalam undang-undang lain, akan
tetapi pengakuan tersebut harus di dasari kesukarelaan ayah biologisnya
dan juga didasari persetujuan ibu kandungnya sebagai upaya adanya
hubungan hukum. Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi tidak
diperlukan kesukarelaan ayah biologisnya dan juga persetujuan ibu
kandungnya dalam hal pengakuan anak.
Agar pembaca lebih mudah untuk memahami posisi status anak di
luar putusan Mahkamah Konstitusi, maka penulis sajikan table sebagai
berikut:
Tabel. 2
Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Pengesahan Anak Pengakuan Anak Putusan Mahkmah
Konstitusi
Penjelasan Pasal 50
ayat (1) UU No.23
tahun 2006 tentang
administrasi
kependudukan,
bahwa yang
dimaksud dengan
pengesahan anak
adalah :
pengesahan status
seorang anak
yanglahir diluar
Penjelasan Pasal 49
ayat (1) UU No.23
tahun 2006 tentang
administrasi
kependudukan,
bahwa yang
dimaksud dengan
pengakuan anak
adalah : pengakuan
seorang ayah
terhadap anaknya
yang lahir diluar
Anak yang
dilahirkan di luar
perkawinan
mempunyai
hubungan perdata
dengan ibunya dan
keluarga ibunya
serta dengan laki-
laki sebagai
ayahnya yang
dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu
84
ikatan perkawinan
sah pada saat
pencatatan
perkawinan kedua
anak tersebut.
Penesahan anak ibu
dan bapak si anak
tersebut
melangsungkan
pernikahan dan pada
saat pencatatan
perkawinan si anak
diakui sebagai anak
kandung mereka.
Pengesahan anak ini
merupakan suatu
upaya hukum
(rechtsmidel) untuk
memberikan suatu
kedudukan sebagai
anak sah melalui
perkawinan yang
dilakukan oleh
orang tuanya.
Mempunyai
hubungan
keperdataan dengan
kedua orang tuanya
karena
berkedudukan
hukum sebagai anak
sah
perkawinan yang
sah atas
persetujuan ibu
kandung anak
tersebut.
Pengakuan anak
hanya sebatas
pengakuan dari ayah
kandungnya yang
disetujui oleh ibu
kandungnya, tanpa
diikuti dengan
perkawinan ibu-
bapaknya (harus ada
kesukarelaan dari
bapak dan
persetujuan dari
ibunya)
Kedudukan anak
tetap sebagai anak
diluar perkawinan
yang sah
Mempunyai
hubungan perdata
dengan ayah yang
mengakuinya
pengetahuan dan
teknologi dan/
atau alat bukti lain
menurut hukum
mempunyai
hubungan perdata
dengan keluarga.
Dalam putusan
Mahkamah
Konstitusi,
kesukarelaan
(bapaknya) dan
persetujuan
(ibunya) tidak
perlu dilakukan
tetapi harus ada
usaha dari anak
untuk
membuktikan
dirinya sendiri
sebagai anak yang
bersangkutan.
Kedudukan anak
tetap sebagai anak
diluar perkawinan
yang sah.
Mempunyai
hubungan
keperdataan
dengan ayahnya
dan keluarga
ayahnya setelah
dibuktikan
berdasarkan ilmu
pengetahuan dan
teknologi dan/
atau alat bukti lain
menurut hukum
mempunyai
hubungan perdata
dengan keluarga
ayahnya.
Putusan
mahkamah
konstitusi ini
dapat diterapkan
85
jika ayahnya tidak
mengakui atau
mengingkari
anaknya.
Sumber: Habib Adjie.2012. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi
Terkait pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Terhadap Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris dab
PPAT. Hal 27.
4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari
Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis dapat dilakukan
dengan mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama
setempat. Adapun langkah-langkah yang harus di tempuh dalam pengajuan
Itsbat Nikah adalah sebagai berikut:
Langkah 1.
a. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan
Setempat.
b. Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah
tempat tinggal anda.
c. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat
permohonan dapat dibuat sendiri (seperti
terlampir). Apabila tidak bisa membuat surat
permohonan, dapat meminta bantuan kepada Pos
Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada
pengadilan setempat secara cuma-cuma.
d. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai
dengan tujuan yaitu 1) surat permohonan itsbat
nikah digabung dengan gugat cerai dan 2) surat
permohonan itsbat nikah.
e. Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah
sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan
menandatangani formulir yang telah lengkap.
Empat rangkap formulir permohonan diserahkan
kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi simpan.
86
f. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara
lain surat keterangan dari KUA bahwa
pernikahannya tidak tercatat.
Langkah 2.
a. Membayar Panjar Biaya Perkara
b. Membayar panjar biaya perkara. Apabila anda
tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda
dapat mengajukan permohonan untuk berperkara
secara cuma-cuma (Prodeo).
c. Apabila mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya
yang berkaitan dengan perkara di pengadilan
menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya
transportasi dari rumah ke pengadilan. Apabila
merasa biaya tersebut masih tidak terjangkau,
maka dapat mengajukan Sidang Keliling.
d. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan
lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai
untuk meminta sisa panjar biaya perkara.
Langkah 3.
a. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan
b. Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang
berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada
Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat
yang tertera dalam surat permohonan.
Langkah 4.
a. Menghadiri Persidangan
b. Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan
waktu yang tertera dalam surat panggilan.
Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan
terlambat.
c. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti
Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir
permohonan yang telah diisi. Dalam sidang
pertama ini hakim akan menanyakan identitas para
Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya
yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim
kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi
permohonan.
d. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan
memberitahukan kepada Pemohon/Termohon yang
hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu siding
berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak
hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya
akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang
bersangkutan melalui surat.
87
e. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada
kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan
bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam
kondisi tertentu, hakim akan meminta
menghadirkan saksi saksi yaitu orang yang
mengetahui pernikahan anda diantaranya wali
nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat
yang mengetahui pernikahan.
Langkah 5.
a. Putusan/Penetapan Pengadilan
b. Jika permohonan dikabulkan, Pengadilan akan
mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah.
c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap
diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari
sidang terakhir.
d. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat
diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau
mewakilkan kepada orang lain dengan Surat
Kuasa.
e. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan
tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk
mencatatkan pernikahan dengan menunjukkan
bukti salinan putusan/penetapan pengadilan
tersebut.
Prosedur pembuktian sebagai mana yang tercantum didalam Amar
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang
menyatakan bahwa : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”. Untuk sementara ini teknologi yang bisa dipakai dan mendekati
akurat adalah dengan melakukan tes DNA. Tidak ada alternatif lain untuk
sementra ini dalam proses pembuktiannya. Berikut hasil wawancara
dengan Hakim di Pengadilan Agama Semarang :
88
Untuk sementara terkait dengan putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada alternatif lain
selain tes DNA, kecuali bapaknya mengakui. Asalkan
bapaknya mengakui tidak perlu lagi dilakukan tes DNA.
(wawancara dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H.
selaku hakim di Pengadilan Agama Semarang pada 12
Februari 2013)
Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri
Semarang :
Kalau untuk teknologi saat ini untuk membuktikan
anak tersebut mempunyai hubungan darah atau tidak
hanya menggunakan tes DNA, karena untuk saat ini
teknologi tersebut yang hasilnya mendekati akurat.
(wawancara dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H.
selaku hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada 11
Februari 2013)
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Hakim
Pengadilan Agama Semarang Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. dan
Hakim Pengadilan Negeri Semarang Endang Sri Widayanti, S.H., M.H.,
beliau berdua sepakat bahwa untuk membuktikan asal usul sebuah anak
mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya adalah dengan
menggunakan tes DNA, karena tes DNA tersebut merupakan teknologi
untuk saat ini yang hasilnya mendekati akurat.
Setelah dilakukan pengakuan di Pengadilan Agama Semarang dan
terbukti dalam pembuktian bahwa laki-laki tersebut mempunyai hubungan
darah dengan anak tersebut, secara otomatis ayah biologisnya tersebut bisa
mencantumkan namanya di dalam akta anak tersebut didasari dengan
penetapan dari Pengadilan Agama dan baru di proses di kantor Catatan
89
Sipil. Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama
Semarang :
Setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan
Agama, ayah biologisnya tersebut bisa mencantumkan
namanya didalam akta anak tersebut, terkait prosedurnya
itu sudah kewenangan Catatan Sipil. Tugas kami hanya
sebatas menangani perkara yang diajukan di sini,
kemudian membuat penetapan. Surat penetapan tersebut
digunakan untuk apa itu merupakan urusan yang
bersangkutan dan diluar wilayah kami lagi. (wawancara
dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku hakim
di Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013).
Pengadilan dapat mengeluarkan Penetapan tentang asal usul
seorang anak melalui pengakuan dan perkawinan yang disahkan atau Itsbat
Nikah jika kedua orangtua anak tersebut menikah berdasarkan agama
namun tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.
Bahwa sesuai dengan Kewenangan Pengadilan Agama berkaitan
dengan permohonan Itsbat Nikah dapat disebutkan bahwa :
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan
Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke
Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah
satu syarat perkawian;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang
tidak mempunyai halangan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 Thaun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah
ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah
90
dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
(Pasal 7 Kompilas Hukum Islam)
Dengan adanya putusan penetapan Itsbat Nikah, maka secara
hukum perkawinan tersebut telah tercatat yang berarti adanya jaminan
ataupun perlindungan hukum bagi hak-hak suami istri maupun anak-anak
dalam perkawinan tersebut.
Itsbat Nikah dilakukan untuk melegalkan perkawinan sirri yang
dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi
tidak dicatatkan setelah dalam pembuktian yang dilakukan di pengadilan
bahwa benar perkawinan tersebut telah dilakukan dan terpenuhi syarat dan
rukun nikah barulah tes DNA di jadikan salah satu bukti penguat untuk
membuktikan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri tersebut
benar-benar mempunyai hubungan keperdataan dengan orangtuanya.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada
Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
Terlahirnya seorang anak di dunia tidak bisa terlepas dari peran
serta kedua orang tuanya dan begitupula dengan status hukum seorang
anak tidak bisa begitu saja dilepaskan dari status perkawinan kedua orang
tuannya. Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang
tertulis didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
perkawinan tersebut sah jika dilakukan menurut agama dan
91
kepercayaannya dan jika perkawinan tersebut sudah dilaksanakan sesuai
dengan syarat dan rukun nikah yang dijelaskan di dalam Islam maka
perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang sah, dan terkait dengan
ayat (2) didalam Pasal tersebut yang menyebutkan untuk diadakannya
suatu pencatatan didalam perkawinan, itu hanya sebagai syarat
administratif yang ditawarkan Negara guna menjamin terpenuhinya hak
dan kewajiban warganegara dengan cara diberikan akta otentik yang di
buat oleh pejabat yang berwenang.
Terkait dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
maka jika anak itu lahir dari atau sebab dari perkawinan yang sah, maka
otomatis anak tersebut merupakan anak yang sah dan anak dari hasil
perkawinan sirri merupakan anak sah selama perkawinan kedua orang
tuanya telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Akan tetapi tidak
dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya tadi secara langsung
berimplikasi terhadap status hukum anak tersebut. Status hukum dari anak
tersebut menjadi anak luar kawin, Disebut anak luar kawin karena
perkawinan sirri yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tersebut sah
karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010,
uji materiil yang diajukan oleh Machica Mochtar terkait Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dikabulkan oleh Mahkamah
Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi berkeyaknan bahwa pencatatan
perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Makna
92
pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut
menurut Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa pencatatan perkawinan
bertujuan untuk jaminan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah (Pasal 28I ayat (4) UUD 1945), dan juga bertujuan untuk
menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan
(Pasal 28I ayat (5) UUD 1945). Jika pencatatan perkawinan dianggap
sebagai pembatasan, Mahkamah Konstitusi berkeyakinan tidak
bertentangan dengan konstitusi karena dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis (Pasal 28J ayat (2) UUD 1945).
Terkait anak luar kawin Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa,
seorang anak dalam kelahirannya tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa
ada pembuahan antara ovum dan spermatozoa baik disebabkan karena
hubungan seksual atau teknologi yang menyebabkan pembuahan tersebut.
Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa tidak adil jika anak luar kawin
hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja, dan terlebih
93
tidak adil jika laki-laki yang terbukti mempunyai hubungan darah dengan
seorang anak tersebut lepas dari tanggung jawabnya. Terlepas dari status
perkawinan kedua orang tuanya yang masih diperdebatkan, anak harus
mendapat perlindungan hukum dan Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2) UUD 1945). Walau
bagaimanapun juga kelahiran seorang anak didasari bukan dari kehendak
anak tersebut ingin terlahir akan tetapi anak tersebut terlahir dari akibat
perbuatan orang tuannya. Jelas dalam kasus ini anak lah yang paling
merasa dirugikan dan Negara harus memberikan perlindungan dan
kepastian hukum status anak tersebut karena ketidak jelasan status ayah
anak tersebut seringkali mendapat stigma negatif didalam masyarakat.
Harus bisa di bedakan mana anak luar kawin dan mana anak tanpa
perkawinan. Penyebutan anak luar kawin itu hanya sebatas istilah yang
dipakai oleh hukum positif untuk menyebut anak yang dilahirkan dari
perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan bukan anak yang di
lahirkan tanpa perkawinan, dan secara prinsip perkawinan sirri merupakan
perkawinan yang sah karena sudah terpenuhi syarat dan rukun nikah dalam
pelaksanaan perkawinannya. Maka sepatutnya tidak perlu diperdebatkan
lagi sah atau tidaknya anak yang lahir dari perkawinan sirri.
94
4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari
Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010
Untuk meningkatkan status hukum seorang anak dari anak luar
kawin menjadi anak sah secara hukum positif yaitu bisa dibuktikannya
bahwa anak tersebut benar-benar terlahir dari suatu dan atau sebab dari
perkawinan yang sah. Untuk membuktikan keabsahan perkawinan orang
tuanya yang sebelumnya dilakukan dengan dilakukan secara agama harus
bisa dibuktikan di Pengadilan bahwa perkawinan tersebut memang bener-
benar ada dan harus dibuktikan juga bahwa syarat dan rukun nikahnya
telah terpenuhi barulah penetapan pengadilan tersebut bisa di jadikan dasar
untuk mencatatkan perkawinannya di KUA.
Itsbat Nikah yang di ajukan ke Pengadilan Agama dari beberapa
syarat yang bisa di gunakan pemohon pengajuan Itsbat Nikah terkait
dengan pembahasan ini dimana telah dilakukan perkawinan secara agama
akan tetapi tidak dicatatkan, para pemohon bisa memberikan alasan dan
menuturkan maksud dan tujuan untuk melakukan Itsbat Nikah karena
adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian
dan/atau perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974. Dengan
dilakukannya Itsbat Nikah yang dilakukan orangtuanya tersebut otomatis
berimplikasi terhadap status hukum dari anak tersebut. Anak tersebut
95
mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana anak sah pada
umumnya.
Untuk sementara ini dari hasil wawancara yang dilakukan penulis
di Pengadilan Agama Semarang dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H.,
M.H. terkait dengan pembuktian menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang di mungkinkan untuk di pakai dan melihat hasilnya yang
mendekati akurat adalah dengan melakukan tes DNA (Deoxyribonucleic
acid).
Pembuktian dengan menggunakan tes DNA dan terbukti
mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tidak lantas
merubah status anak luar kawin tadi berubah statusnya menjadi anak sah
secara hukum positif, statusnya tetap menjadi anak luar kawin. Status
hukum dari anak tersebut bisa berubah satatusnya menjadi anak sah
setelah orangtuanya mencatatkan perkawinannya di KUA atas dasar
penetapan dari Pengadilan Agama setelah terbukti Perkawinan sirrinya
telah terbukti benar-benar telah dilaksanakan dan terbukti telah
terpenuhinya syarat dan rukun nikah secara agama Islam maka otomatis
anak tersebut statusnya menjadi anak sah.
96
Bagan 3 : Skema Status Anak (1)
Dari skema 1 tersebut diatas di jelaskan bahwa perkawinan sirri
yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (dinyatakan
sah) dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan
Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan
kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis
perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, dan
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta
dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan
anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak
penafkah, dan hak perwalian.
Perkawinan
Sirri
Anak
Itsbat Nikah
Perkawinan Sah dan Dicatatkan
=
Anak Sah
Hubungan Perdata
Ibu dan Ayah
Hak Keperdataan
Penuh
97
Bagan 4 : Skema Status Anak (2)
Dari skema 2 tersebut di atas di jelaskan bahwa perkawina sirri
yang menghasilkan seorang anak dan dibuktikan didalam Pengadilan
Agama jika terbukti bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah
dengan laki-laki yang diduga sebagai ayah biologisnya dan terbukti bahwa
laki-laki tersebut mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut maka
timbullah hubungan keperdataan antara laki-laki tersebut dengan anak
tersebut, status anak tersebut tidak lantas berubah statusnya menjadi anak
sah, status anak tersebut masih berstatus anak luar kawin akan tetapi anak
luar kawin tersebut benar-benar terbukti mempunyai hubungan darah
dengan laki-laki tersebut. Statusnya masih anak luar kawin karena
perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan walaupun pada
Perkawinan
Sirri
Anak
Tes DNA
Perkawinan Sah dan Tidak Dicatatkan
=
Anak Luar Kawin
Hubungan Perdata
Ibu dan Ayah
Hak Keperdataan
Terbatas
98
dasarnya perkawinan kedua orang tuanya tersebut itu sah akan tetapi
belum sempurna karena perkawinan tersebut belum dicatatkan maka anak
yang dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan tersebut status
hukum dari anak tersebut adalah anak luar kawin. Hak keperdataan yang
didapatkan anak tersebut adalah hak penafkahan, hak perwalian, dan hak
waris anak luar kawin bukan hak waris anak sah.
Bagan 5 : Skema Status Anak (3)
Dari skema 3 tersebut di atas dijelaskan bahwa perkawinan sirri
yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (dinyatakan
sah) dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan
Perkawinan
Sirri
Anak
Itsbat Nikah
+
Tes DNA
Perkawinan Sah dan Dicatatkan
=
Anak Sah
Hubungan Perdata
Ibu dan Ayah
Hak Keperdataan
Penuh
99
Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan
kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis
perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan
tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, atau
hanya sekedar memastikan status dari anak tersebut, maka perlu untuk
dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah
antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga
ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak
keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.
Dari ketiga skema tersebut diatas, Jika menghadapi kasus seperti
ini penulis lebih sepakat untuk menggunakan skema 3, karena selain
perkawinan sirri yang harus dicatatkan agar mempunyai kekuatan hukum
dan hak-haknya terjamin, anak tersebut juga harus dipastikan mempunyai
hubungan darah dengan orangtuanya terlebih ayah biologisnya. Hal
tersebut nantinya berimplikasi terhadap perwalian anak tersebut jika anak
tersebut perempuan dan hukum harus memastikan bahwa anak tersebut
benar-benar mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya supaya
tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
100
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarakan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan
dalam bab 4 diatas, maka pada penulisan skripsi ini yang berudul “IMPLIKASI
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI”, pada bab 5
ini penulis mengambil simpulan sebagai berikut:
1. Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah, karena dalam
pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang
telah dianjurkan oleh agama Islam sebagai mana sesuai dengan bunyi
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabilla dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal diatas
jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat administratif sesuai
dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Implikasi dari tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang
tuanya itu maka status anak yang lahir dari perkawinan sirri tersebut
statusnya menjadi anak luar kawin.
101
2. Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan
dengan dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama jika dinyatakan sah
maka barulah kemudian dilakukan pencatatan perkawinan di KUA atas
dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinan tersebut
sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara
sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut
berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap
status dari anak tersebut, dan untuk memperkuat status hubungan darah
anataara seorang ank dengan ayah biologisnya maka harus dilakukan tes
DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak
tersebut dengan laki-laki tersebut. Anak tersebut mempunyai hubungan
keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga
ayahnya. Dan hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak
keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.
5.2 Saran
1. Perkawinan sirri tersebut pada dasarnya memang suatu perkawinan yang
sah menurut pandangan hukum positif, akan tetapi tidak dicatatkannya
perkawinan sirri tersebut berdampak kepada status hukum dari anak
tersebut yang tidak jelas dan kabur terkait masalah pembuktiannya.
Alangkah lebih baik dan bijaknya jika kita mensinergikan apa yang telah
diatur di dalam agama dan kepercayaan kita dengan peraturan hukum
102
positif yang berlaku di Negara kita. Jadi kita sepatutnya melaksanakan
perkawinan sesuai aturan agama dan kepercayaan yang kita anut dan
setelah itu kita catatkan agar hak-hak yang kita dapatkan benar-benar
terpenuhi dan mempunyai landasan hukum yang jelas.
2. Bagi Penagdilan Agama, dalam menangani hal tersebut dia atas hendaknya
lebih cermat, karena walau bagaimanapun juga jika menyangkut masalah
perkawinan dampaknya bukan hanya kepada seorang laki-laki dan seorang
perembuan semata tetapi jauh lebih kompleks lagi dari pada hal tersebut,
terutama anak, anak tersebut harus mendapatkan kejelasan status
hukumnya karena secara tidak langsung hal tersebut menyangkut
perkembangan anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku:
Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:
Tarawang.
Afandi, Ali. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:
Rineka Cipta
akan Hak-Hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan
Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung PT.Citra Aditya
Bakti
Daulay,Ikhsan Rosyada Perluhutan. 2006. MAHKAMAH KONSTITUSI
Memahami Keberadaannya Dalam System Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta
Effendi, Soekan dan Erniati. 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia. Cet. I. Surabaya: tp.
Handikusumo, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar
Maju.
Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, rudjuk
dan hukum kerwarisan. Jakarta: Yayasan Ihja 'Ulumiddin Indonesia.
Kanan , Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad. 2007. Ushulul Muasyarotil.
Zaujiyah - Tata Pergaulan Suami Isteri. Jogjakarta: Maktab al-Jihad.
Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Prograsif
Ramulyo, Mohammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta:
Bumi Aksara.
Soekanto, Sarjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :Universitas
Indonesia (UI-Press).
Soemitro, Rony Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Soimin. Soedaryo, 1992. Hukum orang dan keluarga : Perspektif hukum perdata
barat/BW-hukum islam dan hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Renaka Cipta.
104
Sutiyoso, Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada Public.
Jakarta: Sinar Grafika
Syukur, Aswadi. 1985. Intisari Hukum Perkawinan Dan Keluarga Dalam Fikih
Islam. Surabaya: PT.Bina Ilmu.
Dari Undang-Undang:
Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Kitap Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama
Kompilasi Hukum Islam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan
Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Makalah Seminar
Mochtar, M. Akil. PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM NEGARA
HUKUM YANG DEMOKRATIS. disampaikan pada Pendidikan Sespati
Polri dan Pasis Sespim Polri, Lembang, 2009.
Rasyid, Chatib. ANAK LAHIR DILUAR NIKAH (SECARA HUKUM) BERBEDA
DENGAN ANAK HASIL ZINA Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO.
46/PUU-VII/2012. Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak
Keperdataan lainnya, IAIN Walisongo, Semarang, 2012.
Jurnal
Widiawati, Citra Widi dkk, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Mengenai Pengakuan Secara Hukum Perdata Terhadap
Anak Diluar Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jurnal
Retrieval KSP “Principium”, Vol. 4 No.1, Oktober, 2012.
Web
http://www.pa-semarang.go.id
http://www.pa-kotabumi.go.id