FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

120
IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Negeri Semarang Oleh BENNY DWI MAHENDRA 8150408098 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

Transcript of FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

Page 1: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL

PERKAWINAN SIRRI

SKRIPSI

Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

BENNY DWI MAHENDRA

8150408098

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013

Page 2: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi dengan judul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL

PERKAWINAN SIRRI” yang ditulis oleh Benny Dwi Mahendra NIM

8150408098 telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia

Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001

Mengetahui,

Pembantu Dekan Bidang Akademik

Drs. Suhadi, S.H., M.Si.

NIP. 19671116 199309 1 001

Page 3: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

iii

PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/Puu-

Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri” yang ditulis oleh

Benny Dwi Mahendra NIM 8150408098 ini telah dipertahankan di depan Sidang

Panitia Ujian Skripsi Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Semarang (Unnes)

pada :

Hari :

Tanggal :

Ketua Sekretaris

Drs. Sartono Sahlan, M.H. Drs. Suhadi, S.H., M.Si.

NIP. 19530825 198203 1 003 NIP. 19671116 199309 1 001

Penguji Utama

Dr. Martitah, M.Hum

NIP. 196205171986012001

Penguji I Penguji II

Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum. NIP. 197307122008011010 NIP. 197410262009122001

Page 4: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

iv

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : BENNY DWI

MAHENDRA, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya saya

sendiri dan di dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi atau lembaga

pendidikan manapun. Pengambilan karya orang lain dalam skripsi ini dilakukan

dengan menyebutkan sumbernya sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka

Semarang, 2013

Yang menerangkan,

BENNY DWI MAHENDRA

8150408098

Page 5: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

v

MOTTO

Kebahagiaan yang sejati itu bukan milik mereka yang hebat dalam segala hal,

namun mereka yang mampu menemukan hal yang sederhana di dalam kehidupnya dan

tetap mensyukuri apa yang dimiliki. (Benny Dwi Mahendra)

Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba, karena

didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk

berhasil (Mario Teguh)

PERSEMBAHAN

Dengan memohon ridho dari Allah SWT skripsi ini penulis persembahkan kepada :

1. Kedua Orang Tua saya Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri,

A.Md.Pd., yang tercinta, Atas dukungan dan doanya serta limpahan kasih sayang

yang tak pernah terputus.

2. Kakak saya tersayang, Yunita Fitriana, S.S. yang selalu selalu memberikan

dorongan semangat serta selalu mendoakan penulis.

3. Hindun Elya Alfunia, yang senantiasa selalu memberikan dorongan semangat serta

selalu mendoakan penulis.

4. Almamater Universitas Negeri Semarang yang selalu saya cintai dan saya

banggakan.

5. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan tahun

2008.

Page 6: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan

limpahan kasih sayang, berkah, serta rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul: “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL

PERKAWINAN SIRRI”. Skripsi diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak dapat terlaksana

dengan baik atas bantuan semua pihak, sehingga penulis dengan segenap

kerendahan hati mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si., Rektor Universitas Negeri

Semarang.

2. Bapak Drs. Sartono Sahlan, M.H., Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang.

3. Ibu Dr. Martitah, M.Hum selaku Dosen Penguji Utama yang dengan

kesabaran, ketelitian telah menguji penulis demi terciptanya karya tulis yang

baik.

4. Bapak Baidhowi, S.Ag., M.Ag., selaku Dosen Pembimbing I yang dengan

kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan bimbingan

dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam penyusunan

skripsi ini.

Page 7: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

vii

5. Ibu Ristina Yudhanti, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang

dengan kesabaran, ketelitian dan kebijaksanaannya telah memberikan

bimbingan dengan sepenuh hati serta memberikan masukan dan saran dalam

penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Pujiono, S.H., M.H. sebagai Dosen Wali yang juga turut memberikan

pengarahan dan perhatiannya selama menempuh pendidikan di Fakultas

Hukum Universitas Negeri Semarang.

7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang

telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama menempuh

pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang yang bisa

dijadikan pegangan penulis dalam dunia karir nanti.

8. Kedua Orang tua saya, Bapak Bambang Yuwono, S.Pd., dan Ibu Eny Sulastri,

A.Md.Pd., yang selalu memberikan motivasi, dorongan, semangat dan

senantiasa selalu mendoakan penulis.

9. Kakak saya Yunita Fitriana S.S., yang selalu memberikan semangat dan

dorongan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10. Hindun Elya Alfunia yang selalu mendoakan dan memberikan semangat

dalam mengerjakan skripsi.

11. Bapak Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Wakil Ketua dan Hakim di

Pengadilan Agama Semarang yang telah membantu memberikan informasi

bagi penulis demi kelancaran skripsi ini.

Page 8: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

viii

12. Ibu Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri

Semarang yang telah membantu memberikan informasi bagi penulis demi

kelancaran skripsi ini.

13. Teman-teman dan sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2008 di Fakultas

Hukum Universitas Negeri Semarang dan kos Risa Putra terima kasih untuk

kebersamaan dan dukungannya.

14. Almamaterku, Universitas Negeri Semarang serta semua pihak yang telah

berperan hingga terwujud skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu.

Semoga amal baiknya mendapat balasan yang setimpal dari Allah S.W.T

dan akhirnya sebagai harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memenuhi

persyaratan di dalam menyelesaikan pendidikan sarjana dan bermanfaat bagi

semua yang membutuhkan.

Semarang,

Penulis

Benny Dwi Mahendra

8150408098

Page 9: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

ix

ABSTRAK

Mahendra, Benny Dwi, 2013. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/Puu-Viii/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan Sirri. Skripsi,

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang.

Pembimbing I, Baidhowi, S.Ag., M.Ag. Pembimbing II, Ristina Yudhanti, S.H.,

M.Hum.

Kata Kunci: Putusan Mahkamah Konstitusi, Anak Luar Kawin

Status anak hasil perkawinan sirri sebelumnya hanya memiliki hubungan

keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya tanpa memiliki kepastian hukum.

Setelah di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

tentang Pengakuan Anak Luar Kawin maka terjawablah ketidak pastian tersebut.

Oleh sebab itu penulis tertarik untuk membahas permasalahan bagaimanakah

status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua biologis

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, kedua

bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah biologis dari

perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis

normatif dan teknik analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif. Data

yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara sebagai penguat.

Hasil dan simpulan dari penelitian ini adalah bahwa perkawinan sirri

merupakan perkawinan yang sah, karena pelaksanaannya telah terpenuhi syarat

dan rukun nikah sesuai agama Islam sebagaimana sesuai bunyi Pasal 2 Ayat (1)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Perkawinan adalah sah ,

apabilla dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya

itu”. Dari bunyi Pasal diatas jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan

menurut agama dan kepercayaannya akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum

terpenuhinya syarat administratif sesuai Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”. Maka status hukum dari anak yang

dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan statusnya adalah anak luar

kawin. Anak luar kawin tersebut statusnya bisa berubah menjadi anak sah

menurut pandangan hukum positif jika telah dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan

Agama dan atas dasar penetapan dari Perngadilan Agama tersebut, barulah

perkawinan sirri tersebut bisa dilakukan pencatatan di KUA. Untuk membuktikan

apakah anak tersebut mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya harus

bisa di buktikan dengan menggunakan tes DNA. Anak tersebut akan otomatis

mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana hak keperdataan anak

sah pada umumnya, yaitu: hak waris, hak penafkahan, hak perwalian.

Saran penulis adalah, bagi masyarakat sebaiknya tidak melakukan hal

seperti kasus ini karena tidak memiliki kekuatan hukum. Bagi Pengadilan Agama

hendaknya lebih cermat jika nanti menanggani kasus seperti ini.

Page 10: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

PERSETUJUAN ............................................................................................. ii

PENGESAHAN .............................................................................................. iii

PERNYATAAN .............................................................................................. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... x

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii

DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xv

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang. ………………………………………………………… 1

1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………………………... 6

1.3 Batasan Masalah …………………………………………………………. 8

1.4 Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 9

1.5 Tujuan Penelitian ………………………………………………………... 9

1.6 Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 9

1.7 Sistematika Penulisan …………………………………………………… 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………….. 13

2.1 Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia ………... 13

2.1.1 Pengertian Perkawinan ………………………………………………. 13

2.1.2 Tujuan Perkawinan …………………………………………………... 17

Page 11: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

xi

2.1.3 Syarat Perkawinan …………………………………………………... 18

2.2 Kedudukan Perkawinan Sirri Dalam Lembaga Perkawinan …………... 22

2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri………………………………………. 26

2.3 Hak Kewajiban Orang Tua ……………………………………………. 34

2.4 Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan …………………………............. 37

2.4.1 Pengertian Anak Luar Kawin ……………………………………….... 37

2.4.2 Jenis-jenis Anak Luar Kawin ………………………………………... 38

2.4.3 Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri …………………... 39

2.5 Kedudukan, Peran dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi …………... 41

2.6 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi ……………………... 51

2.7 Kerangka Berfikir ……………………………………………………… 54

BAB 3 METODE PENELITIAN………………………………………....... 61

3.1 Jenis Penelitian…………………………………………………………… 64

3.2 Metode Pendekatan …………………………………………………......... 64

3.3 Fokus Penelitian…………………………………………………………... 66

3.4 Jenis dan Sumber Data ……………………………………………............ 66

3.5 Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 70

3.6 Teknik Analisis Data……………………………………………………... 71

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 73

4.1 Hasil Penelitian .......................................................................................... 73

Page 12: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

xii

4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua

Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 ................................................................................................ 73

4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ......... 85

4.2 Pembahasan ................................................................................................ 88

4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada Orangtua

Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 ................................................................................................ 90

4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari Perkawinan Sirri

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ......... 94

BAB 5 PENUTUP ........................................................................................... 100

5.1 Simpulan ................................................................................................... 100

5.2 Saran .......................................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 13: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi ………………. 46

Tabel 2 : Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 ..………………. 83

Page 14: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

xiv

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1 : Struktur Lembaga Tinggi Negara …………………………………. 43

Bagan 2 : Kerangka Berfikir …………………………………………………. 60

Bagan 3 : Skema Status Anak (1) ……………………………………………. 96

Bagan 4 : Skema Status Anak (2) ……………………………………………. 97

Bagan 5 : Skema Status Anak (3) ……………………………………………. 98

Page 15: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Agama Semarang.

Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Penelitian di Pengadilan Negeri Semarang.

Lampiran 3 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan

Agama Semarang.

Lampiran 4 : Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian pada Pengadilan

Negri Semarang.

Lampiran 5 : Kartu Bimbingan Skripsi.

Lampiran 6 : Dokumentasi Foto.

Lampiran 7 : Hasil Wawancara.

Lampiran 8 : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Page 16: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

yang merupakan Undang-Undang Perkawinan Nasional secara tidak langsung

Undang-Undang menghapus peraturan tentang masalah perkawinan yang

sudah ada sebelumnya dan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal

ini diperjelas dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menyatakan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan

yang diatur dalam KUH Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen

dan peraturan perkawinan campuran, dinyatakan tidak berlaku sepanjang

telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nasional ini.

Dan setelah kurang lebih 38 tahun semenjak Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tersebut menjadi dasar hukum yang membahas tentang

perkawinan, masih terdapat beberapa kelemahan salah satunya yang berkaitan

dengan pembahasan ini adalah Pasal 3 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan bahwa : Pada

asasnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita

hanya boleh memiliki seorang suami. Dan Pasal 3 Ayat (2) menyebutkan

bahwa : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri

lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Page 17: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

2

Artinya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak menutup

kemungkinan seorang suami beristri lebih dari seorang karena berdasarkan

Pasal 4 Ayat (2) yang menyatakan bahwa seorang suami dapat beristri lebih

dari seorang dengan izin dari pengadilan apabila :

a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

c. Istri tidak dapat memberikan keturunan.

Mengenai persetujuan antara kedua belah pihak diartikan bahwa

perkawinan harus berdasarkan atas dasar kesepakatan dan tidak ada unsur

paksaan dalam bentuk apa pun.

Asas Monogami Relatif yang dianut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 ini memberikan kesempatan bagi seorang laki-laki untuk memiliki istri

lebih dari satu, hal tersebut menimbulkan fenomena marakkan perkawinan

sirri yang dilakukan oleh masyarakat.

Perkawinan sirri yang dilakukan di Indonesia tentunya akan

menimbulkan permasalahan yang komplek dikemudian hari karena di dalam

hukum Indonesia sampai saat ini tidak pernah diatur tentang legalitas

perkawinan sirri. Karena perkawinan sirri sampai saat ini tidak pernah diakui

oleh hukum Indonesia maka secara tidak langsung perkawinan sirri tersebut

walaupun secara agama sah karena telah memenui syarat sahnya rukun nikah

yang diatur menurut agama Islam akan tetapi perkawinan sirri tersebut belum

sempurna keabsahannya karena perkawinan sirri tersebut belum dicatatkan,

Page 18: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

3

artinya bahwa perkawinan sirri tersebut belum mempunyai kekuatan hukum.

Sebelum dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

VIII/2010, anak-anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan sirri status

hukumnya anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan

ibunya sebagaimana sesuai dengan bunyi Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi inilah yang harus diterima anak yang

lahir dari perkawinan sirri, secara hukum positif, negara tidak menjamin

hubungan hukum antara anak dengan ayahnya tersebut, dan hal tersebut akan

terlihat dari akta kelahiran si anak dalam akta kelahiran anak yang lahir dari

perkawinan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama

siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal

kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

Konsekuensi dari tidak adanya hubungan antara anak dengan ayahnya

secara hukum juga berakibat anak luar kawin tidak mendapat hak mewaris,

hak perwalian hak penafkahan dari ayah biologisnya. Akan tetapi, setelah

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-

VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar kawin

mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada

ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang tertulis pada amar putusan

Page 19: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

4

Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 yang ber isi “Anak yang

dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya

dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat

dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti

lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya”.

Selama ini sebelum di keluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi

No.46/PUU-VIII/2010 ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap diskriminatif dan tidak

memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, status anak di luar kawin

hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluarga ibunya

tanpa adanya tanggung jawab dari ayah biologisnya. Padahal tidak mungkin

seorang anak tersebut terlahir secara sendirinya, pasti ada peran kedua

orangtuanya yang mendahuluinnya sebelum anak tersebut terlahir. Dengan di

keluarkannya putusan mahkamah konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

mencerminkan prinsip Persamaan di hadapan hukum (equality before the law)

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi : "Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." telah terpenuhi.

Logika hukum Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010

menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keperdataan penuh anak luar

kawin dengan bapak biologisnya, timbulnya hak dan kewajiban antara anak

luar kawin dan bapak biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, mewaris dan

Page 20: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

5

perwalian. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan Itsbat

Nikah di Pengadilan Agama dan kemudian dicatatkan di KUA dan dalam

pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dibuktikan

mempunyai hubungan darah.

Salah satu peran dari Mahkamah Konstitusi adalah untuk menguji

apakah suatu undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi,

mekanisme yang disepakati adalah judicial review yang menjadi kewenangan

Mahkamah Konstitusi. Jika suatu undang-undang atau salah satu bagian dari

padanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk

hukum itu akan dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk

hukum harus mengacu dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui

kewenangan judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan

fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar

dari koridor konstitusi. Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia

telah dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan

bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional

(conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional

(constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1)

huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Tiga kewenangan Mahkamah Konstitusi selain

Menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (judicial review) adalah: (1)

Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD 1945. (2) Memutus pembubaran partai politik. (3)

Page 21: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

6

Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Pasal 24C

ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi

bersifat final. Artinya, tidak ada peluang menempuh upaya hukum berikutnya

pasca putusan itu sebagaimana putusan pengadilan biasa yang masih

memungkinkan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Selain itu juga

ditentukan putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan hukum tetap

sejak dibacakan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Putusan

pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap memiliki kekuatan

hukum mengikat untuk dilaksanakan. Semua pihak termasuk penyelenggara

negara yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh Mahkamah

Konstitusi harus patuh dan tunduk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis terdorong untuk

menulis skripsi dengan judul “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Eksistensi Anak Hasil Perkawinan

Sirri”.

1.2. Identifikasi Masalah

Sebagaimana yang tertulis didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

dan perkawinan tersebut harus dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Page 22: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

7

Dalam Kompilasi Hukum Islam dinyatakan bahwa pencatatan

perkawinan dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah yang dilangsungkan

dihadapan dan di bawah pengawasannya. Menurut Soekan dan Effendi,

pernikahan yang dilakukan di luar pengawasannya tidak mempunyai

kekuatan hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencatatan

perkawinan merupakan hal yang penting dalam suatu pernikahan, baik laki-

laki maupun perempuan untuk memperoleh kekuatan hukum, Dari pencatatan

ini mempelai laki-laki dan perempuan memperoleh akta nikah.

Akta nikah sangatlah penting bagi sepasang suami istri sebagai bukti

yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Akta nikah merupakan bukti

telah dilangsungkannya suatu perkawinan yang diwujudkan dalam bentuk

tulisan sesuai yang di atur di Undang-Undang yang dibuat oleh pejabat yang

berwenang. Meskipun keberadaan akta nikah sangatlah penting, namun masih

ada pasangan suami istri yang tidak memiliki akta nikah karena perkawinan

mereka tidak dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Kenyataan yang beredar di

masyarakat perkawinan dengan tidak dimilikinya akta nikah itu bisa terjadi di

karenakan akad nikah yang mereka lakukan hanya dilakukan oleh kiai atau

modin, sehingga perkawinan yang mereka lakukan hanya sah secara hukum

agama. Perkawinan yang hanya mengikuti peraturan dan syarat agama tanpa

dilakukan pencatatan perkawinan pada umumnya di kenal dengan perkawinan

sirri.

Perkawinan sirri dalam pandangan Islam di anggap sah sepanjang

memenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi belum sempurna menurut

Page 23: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

8

pandangan Negara karena belum dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan

di tuangkan dalam akta nikah, maka secara tidak langsung akan berdampak

kepada kedudukan istri, anak, dan harta kekayaan terlebih lagi jika terjadi

putusnya perkawinan, permasalahan yang timbut pasti akan lebih kompleks

lagi.

Anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan

keluarga ibunya dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya

(Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 250 KUH Perdata)..

Ketidakjelasan status si anak dengan ayahnya dimuka hukum inilah yang

berdampak tidak baik bagi anak karena jika ayah biologisnya menyangkal

bahwa anak tersebut adalah bukan anaknya maka secara tidak langsung si

anak akan kehilangan hak-haknya yang semestinya dia peroleh seperti

penafkahan dan sampai masalah pewarisan dan perwalian kelak.

1.3. Batasan Masalah

Agar masalah yang ingin penulis bahas tidak meluas sehingga dapat

mengakibatkan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penulis akan

membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut

mengenai :

1. Status hukum anak dari hasil perkawinan sirri kepada orangtua

biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010.

Page 24: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

9

2. Prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari perkawinan sirri

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

1.4. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka penulis membatasi masalah dengan

mengidentifikasinya sebagai berikut:

1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan

sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010?

2. Bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah

biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010?

1.5. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana status hukum anak dari hasil

perkawinan sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Untuk mengetahui prosedur pengakuan anak oleh ayah biologis dari

perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010.

1.6. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Page 25: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

10

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepustakaan tentang

prosedur pengakuan anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan

sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010.

2. Manfaat Praktis

Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

bahan masukan (input) bagi semua pihak, yaitu bagi masyarakat pada

umumnya, pemerintah pada khususnya dan pelaksanaan pengangkatan

anak oleh pemohon beragama Islam dalam prakteknya.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan secara garis

besar tentang apa yang peneliti kemukakan pada tiap-tiap bab dari skripsi ini

dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan.

Pada bab ini berisi tentang latar belakang, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penuliasan

BAB II : Tinjauan Pusataka.

Yang mengemukakan tinjauan umum mengenai

perkawinan, kedudukan nikah sirri dalam perkawinan, hak

kewajiban orang tua, anak luar kawin dalam perkawinan,

Page 26: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

11

peran dan fungsi Mahkamah Konstitusi beserta

penjelasan-penjelasanya dalam hal ini yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai

perkawinan.

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini penulis memberikan penjelasan mengenai

metode yang digunakan meliputi metode pendekatan

penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis

data.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

Merupakan bab hasil penelitian dan pembahasan yang

akan menjelaskan mengenai hasil penelitian serta analisa-

analisa peneliti dari data yang telah diperoleh. Sehingga

dalam bab ini pula akan diuraikan jawaban dari

permasalahan yang berkaitan dengan prosedur pengakuan

anak dan status hukum anak dari hasil perkawinan sirri

kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

BAB V : Penutup

Page 27: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

12

Dalam bab ini penulis akan memuat kesimpulan dan saran

dan peneliti akan mencoba menarik sebuah benang merah

terhadap permasalahan yang diangkat.

Page 28: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Tinjauan Tentang Perkawinan Membentuk Keluarga

Bahagia

3.1.1. Pengertian Perkawinan

Di Indonesia pengaturan hukum yang berkaitan dengan

perkawinan telah diatur dalam bentuk perundang-undangan negara

yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

sebagai peraturan pelaksanaannya merupakan sumber hukum materil

dari perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang. Sedangkan

sumber hukum formal yang mengatur tentang perkawinan ditetapkan

dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan

Agama. Dan sebagai aturan pelengkapnya adalah Kompilasi Hukum

Islam sebagaimana telah ditetapkan dan di sebarluaskan melalui

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual

tetapi menurut majasi (mathaporic) atau arti hukum adalah akad

(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami

istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo 2002: 1).

Page 29: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

14

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No 1 Tahun 1974

menjelaskan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan :

Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Secara bahasa perkawinan itu merupakan Az-zawaaj, Az-

zawaaj dalam bahasa arab yang menunjukan arti: bersatunya dua

perkara, atau bersatunya ruh dan badan untuk kebangkitan.

Sebagaimana firman Allah „azza wa jalla (yang artinya) : Dan apabila

ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh). (Q.S At-Takwir:7) dan firman-

Nya tentang nikmat bagi kaum mukminin di surga, yang artinya

mereka disatukan dengan bidadari : Kami kawinkan mereka dengan

bidadari-bidadari yang cantik lagi bermata jeli (Q.S Ath-Thuur:20)

Karena perkawinan menunjukkan makna bergandengan, maka disebut

juga Al-Aqd, yakni bergandengan atau bersatunya antara laki-laki

dengan perempuan, yang selanjutnya diistilahkan dengan zawaaja.

Dasar Pernikahan dalam Al Quran :

Page 30: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

15

32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035]

diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-

hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka

dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi

Maha mengetahui.

[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin

atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat

kawin.

3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya),

Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga

atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku

adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak

Page 31: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

16

yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak

berbuat aniaya.

[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni

isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat

lahiriyah.

[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat

tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula

dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini

membatasi poligami sampai empat orang saja.

Sedangkan secara syar‟i perkawinan itu ialah ikatan yang

menjadikan halalnya bersenang-senang antara laki-laki dengan

perempuan, dan tidak berlaku, dengan adanya ikatan tersebut,

larangan-larangan syari‟at (Hosen, 1971:65). Lafadz yang semakna

dengan AzZuwaaj adalah An-Nikaah; sebab nikah itu artinya saling

bersatu dan saling masuk. Ada perbedaan pendapat di antara para

ulama tentang maksud dari lafadz An-Nikaah yang sebenarnya.

Apakah berarti perkawinan atau jima. Selanjutnya, ikatan pernikahan

merupakan ikatan yang paling utama karena berkaitan dengan dzat

manusia dan mengikat antara dua jiwa dengan ikatan cinta dan kasih

sayang, dan karena ikatan tersebut merupakan sebab adanya

keturunan dan terpeliharanya kemaluan dari perbuatan keji. (Kan’an,

2007: 2).

Page 32: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

17

3.1.2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang

luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri. Dengan

perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban

(Afandi, 2000:93). Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 1, tujuan perkawinan adalah Untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.

Membentuk keluarga artinya membentuk

kesatuan masyarakat kecil yang terdiri dari suami,

isteri dan anak-anak. Membentuk keluarga yang

bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang

merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan

pendidikan menjadi hak dan kewajiban kedua orang

tua (Nur, 1993:3).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat

dijelaskan bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dimana

sila yang pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan

mempunyai hubungan yang erat dengan agama atau kepercayaan,

sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani

tetapi unsur bathin rohani yang mempunyai peranan yang penting.

Suami isteri perlu saling bantu membantu dan saling melengkapi

dalam membentuk keluarga. Pembentukan keluarga atau rumah

tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

mengandung makna bahwa selain dari perkawinannya harus

Page 33: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

18

dilangsungkan menurut ajaran agama masing-masing sebagai

pengejewantahan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.1.3. Syarat Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan diatur mulai Pasal 6 samapai Pasal

12. Pasal 6 s/d Pasal 11 memuat mengenai syarat perkawinan yang

bersifat materiil, sedang Pasal 12 mengatur mengenai syarat

perkawinan yang bersifat formil.

Syarat Materiil

Syarat perkawinan yang bersifat materiil dapat disimpulkan dari

Pasal 6 s/d 11, yaitu:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai umur 21 tahun.

3. Harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang

tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya

apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.

4. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

5. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau

pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun

wanita.

Page 34: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

19

6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain

tidak dapat kawin lagi kecuali memnuhi Pasal 3 ayat 2 dan Pasal

4.

7. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan

yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

8. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka

waktu tunggu.

Dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 waktu

tunggu itu adalah sebagaui berikut:

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu

ditetapkan 130 hari, dihitung sejak kematian suami.

2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu

bagi yang masih berdatang bulan adalah 3 kali suci dengan

sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang

tetap.

3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam

keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

4. Bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian sedang

antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi

hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu.

Page 35: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

20

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang

yang:

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke

bawah maupun ke atas/incest.

2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping

yaitu anatara saudara, antara seorang dengan saudara

orang tua dan antara seorang dengan saudara

neneknya/kewangsaan.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu/bapak tiri/periparan.

4. Berhubungan sususan, yaitu orang tua susuan, anak

susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan.

5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri dalam hal seorang suami beristri

lebih Dari seorang

Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau

peraturan lain yang berlaku dilarang kawin

Syarat Formal

Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan dalam

Pasal 3 s/d Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Secara

singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Page 36: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

21

1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus

memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai Pencatat

Perkawinan di mana perkawinan di mana perkawinan itu akan

dilangsungkan, ddilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum

perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan

lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/wakilnya.

Pemberitahuan itu antara lain memuat: nama, umur, agama,

tempat tinggal calon mempelai (Pasal 3-5).

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat Perkawinan lalu

diteliti, apakah sudah memenuhi syarat/belum. Hasil penelitian

ditulis dalam daftar khusus untuk hal tersebut (Pasal 6-7).

3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat

Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara lain:

1. Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan calon

pengantin.

2. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan

dilangsungkan (Pasal 8-9).

Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh

yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai

menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai

pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan

Page 37: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

22

telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan dibuat rangkap

dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan satu lagi disimpan pada

Panitera Pengadilan. Kepada suami dan Istri masing-masing

diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 10-13).

3.2. Kedudukan Perkawinan Sirri Dalam Lembaga

Perkawinan

Menurut Aulawi (1996:20) Sebelum lahir Undang-Undang

Perkawinan, dimasyarakat telah ada pernikahan yang disebut dengan

nikah sirri. Pengertian nikah sirri mengalami perkembangan dan diartikan

secara lebih luas.

Zuhdi (1996:7-10) membagi pengertian nikah

sirri menjadi tiga bentuk. Pertama, nikah sirri diartikan

sebagai nikah yang dilangsungkan menurut ketentuan

syariat agama, bersifat intern keluarga dan belum

dilakukan pencatatan oleh PPN serta belum dilakukan

resepsi pernikahan. Suami-Istri belum tinggal dan

hidup bersama sebagai Suami-Istri belum tinggal dan

hidup bersama sebagai Suami-Istri karena istri pada

umumnya masih anak-anak. Kedua, nikah sirri

diartikan sebagai nikah yang telah memenuhi ketentuan

syariat Islam, dan sudah dilakukan pencatatan oleh PPN

dan memperoleh akta nikah. Namun, nikahnya bersifat

intern keluarga dan belum hidup bersama sebagai

suami-istri karena mungkin salah satu atau keduanya

masih menyelesaikan studinya atau belum memperoleh

pekerjaan. Ketiga, nikah sirri diartikan sebagai nikah

yang hanya dilangsungkan menurut ketentuan syariat

Islam karena terbentur dengan Peraturan Pemerintah.

Pada pernikahan ini calon suami menikahi calon istri

secara diam-diam dan dirahasiakan hubungannya

sebagai suami istri untuk menghindari hubungan

disiplin oleh pejabat yang berwenang serta izin

Pengadilan Agama dan mempunyai motif untuk

menghindari zina.

Page 38: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

23

Pendapat lain mengatakan bahwa pengertian nikah sirri adalah

nikah yang tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai dan tidak

dicatatkan di KUA. Dari sisi syarat dan rukunya, nikah sirri telah

memenuhi sebagaimana layaknya pernikahan berdasarkan agama Islam

(Maula,2002:2).

Abdullah (2001:26) mengemukakan bahwa

untuk mengetahui bentuk pernikahan terdapat sirri

(rahasia), dapat mengamati indikator sebagai berikut:

1. Pernikahan tidak memenuhi rukun dan syarat nikah

sesuai ketentuan dalam agama Islam yaitu akad nikah

yang terdiri dari calon suami, calon istri, wali nikah,

dan dua orang saksi.

2. Pernikahan tidak mengikuti persyaratan yang di buat

oleh pemerintah untuk memperoleh kepastian hukum

dari pernikahan yaitu hadirnya Pegawai Pencatat Nikah

(PPN) saat akad nikah berlangsung yang menyebabkan

peristiwa nikah itu memenuhi “legal procedur”

sehingga nikah itu diakui secara hukum dan oleh

karenanya mempunyai akibat hukum berupa adanya

kepastian hukum, sehingga kepada suami-istri diberi

masing-masing sebuah bukti adanya nikah yaitu berupa

akta nikah.

3. Pernikahan tidak melaksanakan walimah al-nikah yaitu

suatu kondisi yang sengaja diciptakanuntuk

menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa diantara

kedua calon suami-istri telah menjadi suami-istri.

Indikasi di atas menunjukkan bahwa setiap

pernikahan berbentuk sirri atau tidak, Ali (1996:27)

mengemukakan bahwa pernikahan mengandung arti

sirri karena seseorang sengaja menyembunyikannya.

Sesuatu yang sengaja di sembunyikan

berkecenderungan mengandung arti menyimpan

masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada

diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya

ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Oleh

karena itu perkawinan yang tidak dilakukan sesuai

ketentuan Undang-Undang yang berlaku dapat

dikategorikan sebagai pernikahan rahasia atau

dirahasiakan karena menyimpan masalah.

Page 39: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

24

Termasuk didalam kategori nikah sirri atau rahasia diantarannya

adalah nikah gantung dan nikah dibawah tangan. Menurut Ali (1996:31)

nikah gantung adalah pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang hubungannya sebagai suami istri digantungkan pada

suatu keadaan atau waktu dimasa yang akan datang. Sementara itu,

Handikusumo (1990:53) menjelaskan bahwa nikah gantung adalah nikah

yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam (memenuhi rukun

dan syaratnya), namun suami istri belum tinggal satu rumah dan hidup

bersama sebagai suami istri.

Istilah nikah dibawah tangan menurut Zuhdi

(1996:10-12) mulai dikenal sejak diberlakukannya

Undang-Undang Perkawinan. Keberadaan nikah

dibawah tangan tersebut berdasarkan sah tidaknya

perkawinan dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 dan ayat 2

dalam Undang-Undang Perkawinan. Ada dua pendapat

yang berbeda tentang sah tidanya pernikahan. Pertama,

perkawinan dianggap sah apabila telah dilakukan sesuai

dengan hukum agama dan kepercayaan. Pendapat

kedua, mengatakan bahwa pernikahan dinggap sah

apabila telah dilakukan menurut agaman dan

kepercayaan masing-masing serta dilakukan pencatatan

sesuai denga peraturan yang berlaku.

Sementara itu, Maula (2002:2) memberikan

pengertian nikah sirri yang terjadi di kalangan

masyarakat Indonesia merupakan pernikahan yang

tidak diketahui orang banyak atau khalayak ramai,

selain tidak dicatat di KUA. Walaupun demikain,

pernikahan sirri dianggap memenuhi syarat dan rukun

perkawinan sebagai mana layaknya perkawinan pada

umumnya.

Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri berasal

dari kata assirru yang mempunyai arti rahasia (Munawwir, 1997:625).

Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang atas pesan

Page 40: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

25

suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya

sekalipun keluarga setempat (Zuhdi,1996:7). Menurut terminologi ini

nikah sirri adalah tidak sah, sebab nikah sirri selain dapat mengundang

fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga bertentangan dengan hadis Nabi

yang berbunyi: “Adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya hidung

kambing” (Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim dll. dari Anas).

Sesuai dengan namanya, perkawinan sirri ini

umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan

secara rahasia, terselubung, atau sembunyi-sembunyi.

Praktik kawin sirri ini telah banyak dikenal dan

dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia.

Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum

pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai

suatu penyimpangan (Nurhaedi,2003:27).

Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Perkawinan

dibawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun

nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif.

Dalam prakteknya perkawinan sirri ini adalah

suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang

Islam di Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun

maupun syarat-syarat perkawinan, tetapi tidak

didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai Pencatat

Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-

Undanh No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah

No. 9 Tahun 1975 (Ramulyo,1996:239).

Berdasarkan pada harapan masyarakat kita, dalam rangka

terciptanya kepastian hukum perkawinan, maka dalam tubuh Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 telah diletakkan beberapa asas atau dasar

tentang hukum perkawinan nasional. Salah satunya adalah Pasal 2 ayat 1

yang menerangkan bahwa : Perkawinan itu adalah sah, apabila dilakukan

Page 41: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

26

menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu.

Berdasarkan Pasal ini, secara eksplisit menentukan berlakunya hukum

Islam di masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Selanjutnya Pasal 2 ayat 2 menetukan bahwa : Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dari Pasal 2 ayat 2 dapat dimengerti agar setiap perkawinan

hendaknya dicatatkan pada kantor pencatat nikah yang ditunjuk oleh

pemerintah.

Memang secara nyata pengertian perkawinan sirri tidak terlihat

dalam Pasal itu, namun apabila kita mau memahami hakikat yang tersirat

dalam Pasal 2 terutama ayat 1 maka nyatalah bahwa perkawinan sirri itu

tercakup didalamnya. Namun perkawinan sirri memenuhi unsur-unsur

larangan yang tersirat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun

1974 tetang Perkawinan yang tidak mengakui bahkan tidak

membolehkan adanya perkawinan sirri atau perkawinan yang tidak

didaftarkan di kantor yang berwenang untuk itu. Karena perkawinan sirri

itu merupakan perkawinan yang tidak terdaftar maka menurut Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974 tetang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat 2,

Peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 dan Pasal 10 ayat 3,

perkawinan sirri itu tidak dibenarkan.

2.2.1 Faktor Penyebab Perkawian Sirri

Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi

umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja

Page 42: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

27

dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan

masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena

beberapa faktor yang melatarbelakanginya. Tentu saja untuk

mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa

saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih

memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum

nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum

memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan.

Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA

sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka;

menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh

masyarakat setempat atau pencatatan perkawinan itu hanya

dipandang sekedar soal administrasi belum dibarengi dengan

kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan

perkawinan tersebut.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh

terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan.

Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur

bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan

Page 43: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

28

contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara.

Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal

yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan

tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di

pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan

dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih

di bawah umur.

Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh

seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi

terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan

oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang

mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas

kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi

preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang

berusaha memposisikan supremasi hukum.

c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan Pasal 2 UU No.1

Tahun 1974 merupakan azas pokok dari perkawinan yang

sesungguhnya. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut

harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternatif.

Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya

sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya

Page 44: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

29

mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut

mengandung kelemahan karena pasal tersebut seakan-akan multi

tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang

melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan

dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah

membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang

Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen.

Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan

dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang

melanggarnya.

Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat

oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi

ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di

hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal

4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang

melanggarnya.

Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatn

perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut

menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan

perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam

Page 45: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

30

Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak

6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling

lama 6 (enam) bulan.

Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai

hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling

banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan

kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN

dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan

pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan

dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi

ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi

sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu

factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.

d. Ketatnya Izin Poligami

UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi

masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya

mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama

Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang

hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-

Page 46: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

31

kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara

limitative dalam undang-undang., yaitu:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal.4 ayat (2) UU

1/1974)

Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan

memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila

terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

isteri dan anak-anak mereka;

Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi

isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya.

Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian

Page 47: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

32

terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada

rasa keadilan hakim sendiri.

Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat

tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat

menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama

(samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang

pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi

terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami

dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau

menggunakan izin palsu.

Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang

bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri

karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih

sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.

Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer,

untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di

atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai

dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus

memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang

berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh

proses panjang.

Page 48: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

33

Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi

dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat

secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta

menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari

satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik

sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi

masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya

memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran,

pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.

Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka

kawin lebih dari satu (poligami) menunjukkan menurun drastis

namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak,

yang disebabkan oleh:

1. tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;

2. bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena

kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di

samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;

3. tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;

Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam

masyarakat ialah:

Page 49: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

34

1. hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering

dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan,

wanita simpanan;

2. bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami

tanpa pencatatan nikah.

Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan

bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu factor

timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang

tidak dicatat, alias nikah sirri.

Sumber : http://www.pa-kotabumi.go.id/karya-ilmiah/207-

jasmani.html, di akses pada tanggal 1 Desember 2012.

3.3. Hak Kewajiban Orang Tua

Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya dalam

Undang-undang No.1 tahun 1974 diatur dalam Pasal 45-49. Dalam Pasal

45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik

anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat

berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara

kedua orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan

mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum

mencapai umur 18 tahun atau belum pemah melangsungkan perkawinan.

Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum

dewasa ini dalam melakukan perbuatan hukum didalam dan diluar

Page 50: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

35

pengadilan (Pasal 47). Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada

batasnya yaitu tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-

barang tetap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu

menghendakinya (Pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang

tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia

sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan

buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya

ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua

yang lain keluarga dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang

telah dewasa atau penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang

dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang

tua dicabut kekuasaannya, namun mereka masih tetap kewajiban untuk

memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (Pasal 49). Sebaliknya,

anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga

mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang

tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang

tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara orang

tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak

juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas,

bila mereka ini memerlukan bantuannya (Pasal 46).

Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua

masih berlangsung, maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua

Page 51: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

36

sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan orang tuanya itu tidak

dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan demikian kekuasan

orang tua itu mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau semenjak

pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa,

kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaannya dicabut

atau dibebaskan. Apabila kita bertitik tolak dari Pasal 299 BW diatas,

maka sesungguhnya dari Pasal itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu :

1. Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua. Kekuasaan orang

tua itu dimiliki oleh kedua oranng tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi

lazimnya dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan

dari kekuasaan orang tua, atau berada dalam keadaan perpisahan meja

dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan kekuasaan orang tua, apabila

bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit

keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada

dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak

mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah

seorang wali.

2. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka, apabila

perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus.

Berlangsung sebagaimana telah diketahui bahwa apabila perkawinan

bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap anak yang

masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan

menunjukkan asas bahwa kekuasaan orang tua hanya ada selama ada

Page 52: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

37

perkawinan orang tua itu sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada

saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka

pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan

ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang masih belum dewasa.

3. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas

alasan-alasan tertentu. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan

orang tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah

pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia

karena belum ada hakim khusus untuk anak-anak, maka baik

pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan orang tua dimintakan

kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan bukan saja

terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik

terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak

(Wibowo,2003:2).

3.4. Anak Luar Kawin Dalam Perkawinan

3.4.1. Pengertian Anak Luar Kawin

Secara tertulis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak

memberikan pengertian dari anak luar kawin, akan tetapi hanya

menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar kawin.

Apabila dilihat dari bunyi Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) dan (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka dapat ditarik

pengertian bahwa anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan

Page 53: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

38

diluar perkawinan dan hanya memiliki hubungan keperdataan

dengan ibunya saja.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Anak luar

kawin merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar perkawinan yang

sah. Predikat sebagai anak luar kawin tentunya akan melekat pada

anak yang dilahirkam diluar perkawinan tersebut.

3.4.2. Jenis-jenis Anak Luar Kawin

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian

anak luar kawin dibagi menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut:

Anak luar kawin dalam arti luas

Adalah anak luar perkawinan karena perzinahan dan

sumbang. Anak Zina adalah Anak-anak yang dilahirkan dari

hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah

satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain.

Anak Sumbang adalah Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan

antara laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya

berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling

menikahi. Undang-Undang melarang perkawinan mereka

mempunyai kedekatan hubungan darah atau semenda. Mereka-

mereka yang ada adalah keluarga sedarah atau semenda sampai

derajat tertentu, tidak boleh saling menikahi.

Page 54: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

39

Anak luar kawin dalam arti sempit

Adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.

Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan

dengan ayah dan ibunya. Bila anak itu terpaksa disahkan pun tidak

ada akibat hukum nya (Pasal 288 KUHPerdata). Namun pada

prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan, karena biasanya

hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu

sendiri.

3.4.3. Status Anak Luar Kawin dari Hasil Perkawinan Sirri

Dari sudut pandang hukum positif, perkawinan sirri

merupakan perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana kita pahami bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 4

dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam, suatu

perkawinan di samping harus dilakukan secara sah menurut hukum

agama, juga harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Dengan

demikian, dalam perspektif peraturan perundang-undangan,

perkawinan sirri adalah perkawinan sah akan tetapi belum

sempurna, ketidak sempurnaan itu karena perkawinan tersebut

belum dicatatkan.

Page 55: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

40

Bagi masyarakat Indonesia, ada dua persyaratan pokok

yang harus dikondisikan sebagai syarat kumulatif yang menjadikan

perkawinan mereka sah menurut hukum positif, yaitu:

1 Perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam,

2 Setiap perkawinan harus dicatat.

Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Nikah sesuai Undanga-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo.

Undanga-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undanga-Undang Nomor 1 Tahun

1974 harus diartikan secara komulatif tidak bisa diartikan secara

alternatife. Dan jika dikaitkan dengan Pasal 42 Undanga-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunnyi : Anak yang sah adalah anak

yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Maka dari sudut pandang hukum positif, anak hasil dari

perkawinan sirri merupakan anak luar kawin karena perkawinan

kedua orang tuanya tidak dicatatkan, walaupun perkawinan kedua

orang tuanya sah secara hukum islam karena telah dilakukan sesuai

syarat dan rukun nikah akan tetapi hukum positif tetap

mengganggap perkawinan tesebut sah akan tetapi belum sempurna

karena tidak dicatatkan dan tidak bisa dibuktikan dengan akta

perkawinan.

Page 56: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

41

2.1. Kedudukan, Peran dan Kewenangan Mahkamah

Konstitusi

Pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945 sistem division of

power (pembagian kekuasaan) yang sebelumnya dianut kemudian

diganikan dengan separation of power (pemisahan kekuasaan)

mengakibatkan perubahan mendasar terhadap format kelembagaan

negara. Berdasarkan division of power, lembaga negara disusun secara

vertikal bertingkat dengan MPR berada di puncak struktur sebagai

lembaga tertinggi negara. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

sebelum perubahan menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagai pelaku sepenuhnya

kedaulatan rakyat. Di bawah MPR, kekuasaan dibagi ke sejumlah

lembaga negara, yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-

masing diberi status sebagai lembaga tinggi Negara.

Kelemahan sistem division of power tersebut

antara lain adalah kekuasaan yang sangat besar berada

di tangan Presiden sebagai mandataris MPR, yang

berarti satu-satunya pelaksana amanat MPR. Di sisi

lain, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi

negara yang melaksanakan “sepenuhnya” kedaulatan

rakyat. Presiden tidak hanya memegang kekuasaan

pemerintahan tertinggi, tetapi juga memegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang. Hal itu

dipertegas dengan penjelasan yang menyatakan bahwa

konsentrasi kekuasaan negara ada di tangan Presiden

(concentration of power upon the President) Mochtar,

2009:1)

Page 57: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

42

Diberlakukannya sistem separation of power, kini lembaga-

lembaga negara tidak lagi terkualifikasi ke dalam lembaga tertinggi dan

tinggi negara. Lembaga-lembaga negara itu memperoleh kekuasaan

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan di saat bersamaan dibatasi

juga oleh Undang-Undang Dasar 1945. Pasca amandemen Undang-

Undang Dasar 1945, kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya

kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Dengan kata lain, kedaulatan

sekarang tidak terpusat pada satu lembaga tetapi disebar kepada lembaga-

lembaga negara yang ada. Artinya sekarang, semua lembaga negara

berkedudukan dalam level yang sejajar atau sederajat dan Mahkamah

Konstitusi menjadi salah satu lembaga negara baru yang oleh konstitusi

diberikan kedudukan sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya untuk

menjadi pengawal konstitusi, mengawal konstitusi berarti menegakkan

konstitusi yang sama artinya dengan “menegakkan hukum dan keadilan”.

Sebab, Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar yang melandasi

sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini Mahkamah

Konstitusi memiliki kedudukan, kewenangan serta kewajiban

konstitusional menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas

hukum.

Page 58: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

43

Bagan 1

Struktur Lembaga Tinggi Negara

Peran dan Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah adalah

menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum.

Demikian halnya yang melandasi negara-negara yang mengakomodir

pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya.

Dalam rangka menjaga konstitusi, kewenagan pengujian undang-undang

itu tidak dapat lagi dihindari penerapannya dalam ketatanegaraan

Indonesia sebab Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa anutan

sistem bukan lagi supremasi parlemen melainkan supremasi konstitusi.

Bahkan, ini juga terjadi di negara-negara lain yang sebelumnya menganut

sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara

demokrasi. Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan kewenangan untuk

menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor

konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi

itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya.

Untuk menguji apakah suatu undang-undang bertentangan atau

tidak dengan konstitusi, mekanisme yang disepakati adalah judicial

review yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Jika suatu

Undang-

Undang

Dasar 1945

KPU

MK

KY

MA DPD MPR DPR

Bank

Central

BPK Presiden

Undang-

Undang

Dasar 1945

Page 59: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

44

undang-undang atau salah satu bagian dari padanya dinyatakan terbukti

tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan

Mahkamah Konstitusi. Sehingga semua produk hukum harus mengacu

dan tak boleh bertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan

judicial review ini, Mahkamah Konstitusi menjalankan kewenangannya

mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari

koridor konstitusi.

Kewenangan lanjutan selain judicial review, yaitu (1) memutus

sengketa antar lembaga negara, (2) memutus pembubaran partai politik,

dan (3) memutus sengketa hasil pemilu. kewenangan lanjutan semacam

itu memungkinkan tersedianya mekanisme untuk memutuskan berbagai

persengketaan antar lembaga negara yang tidak dapat diselesaikan

melalui proses peradilan biasa, seperti sengketa hasil pemilu, dan

tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perkara semacam itu

erat dengan hak dan kebebasan para warga negara dalam dinamika sistem

politik demokratis yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Karena itu, kewenangan penyelesaian atas hasil pemilihan umum dan

pembubaran partai politik dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah

Konstitusi.

Peran dan kewenangan Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah

dilembagakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menentukan

bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan

konstitusional (conctitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban

Page 60: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

45

konstitusional (constitusional obligation). Ketentuan itu dipertegas dalam

Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan Undang-Undang Nomor 24

tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Empat kewenangan

Mahkamah Konstitusi adalah:

1. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

2. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

3. Memutus pembubaran partai politik.

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

Sementara, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan

Pasal 24 C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2)

UU Nomor 24 Tahun 2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah

memberi keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil

Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela,

atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden

sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.

Page 61: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

46

Tabel 1

Kewenangan Konstitusional Mahkamah

Konstitusi

Tugas dan

Wewenag MKDasar Hukum

Unsur Permohonan

Pemohon

Amar

PutusanSifat Implikasi Relevansi

Uji Undang-

Undang

terhapat

Undang-

Undang Dasar

Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3

huruf a jo. Pasal 10 (1) huruf a

jo. Pasal 30 huruf a jo. Bagian

kedelapan UUMK

Kerugian dari: WNI;

kesatuan, masyarakat

hukum Adat; Badan

Hukum Publik dan Privat;

dan Lembaga lainnya

Bertentangan

atau Tidak

Bertentangan

Tingkat

Pertama

Dan

Terakhir,

final

Kekuatan Hukum

Suatu Materi

Undang-Undang

Keberlakuan Undang-

Undang

Memutus

Sengketa

Kewenangan

Lembaga

Negara

Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3

huruf b jo. Pasal 10 (1) huruf

b jo. Pasal 30 huruf b jo.

Bagian kesembilan UUMK

Kepentingan langsung

dari Lembaga Negara

Kecuali Mahkamah Agung

Berwenang

atau tidak

berwenang

Tingkat

Pertama

Dan

Terakhir,

final

Keabsahan

kewenangan

Lembaga Negara

Dasar hukum kewenangan

Lembaga Negara

Memutus

Pembubaran

Partai Politik

Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3

huruf c jo. Pasal 10 (1) huruf c

jo. Pasal 30 huruf c jo. Bagian

kesepuluh UUMK

Dianggap bertentangan

oleh Pemerintah

Mengabulkan

atau tidak

mengabulkan

permohonan

Tingkat

Pertama

Dan

Terakhir,

final

Eksistensi dan

keabsahan Partai

Politik

Dasar hukum cabut atau

tidak mencabut status

hukum Partai Politik

Memutus

Perseliusihan

Hasil Pemilu

Pasal 24C (1); Pasal 1 angka 3

huruf d jo. Pasal 10 (1) huruf

d jo. Pasal 30 huruf d jo.

Bagian kesebelas UUMK

Mempengaruhi perolehan

suara peserta pemilu

Membenarkan

atau tidak

membenarkan

perhitungan

pemohon

Tingkat

Pertama

Dan

Terakhir,

final

Keabsahan

Perhitungan

suara dalam

pemilu

Dasar hukum penetapan

hasil perhitungan suara

menurut KPU atau menurut

pemohon

Impeachment

terhadap

Presiden dan

atau Wakil

Presiden

Pasal 3 (3) jo. 7A JO. Pasal 7B

jo. Pasal 24C (2); Pasal 1

angka 3 huruf c jo. Pasal 10

(2) dan (3) jo. Pasal 30 huruf e

jo. Bagian keduabelas UUMK

Ada pelanggaran menurut

DPR

Membenarkan

atau tidak

membenarkan

pendapat DPR

Relatif,

tergantung

kekuatan

politik di

MPR

Legitimasi

Presiden dan

atau Wakil

Presiden, atau

MPR dan atau

DPR

Dasar hukum DPR usulkan

rapat paripurna MPR

Putusan Mahkamah Konstitusi

Sumber:Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Page 62: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

47

A. Kewenangan Menguji Undang-Undang Terhadap Undang-Undang

Dasar

Berdasarkan kewenangan untuk menguji konstitusionalitas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003, Mahkamah Kostitusi melalui

putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu undang-

undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang,

Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak

sesuai dan tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar. Melalui penafsiran

atau interprestasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah

Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi

Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama-

sama Presiden dalam penyelenggaraan Negara yang berdasarkan hukum

yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian

Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislative diimbangi oleh adannya

pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial c.q Mahkamah

Konstitusi.

B. Kewenangan Memutus Sengketa Lembaga Negara

Putusan Mahkamah Kostitusi atas hal ini akan menyatakan dengan

tegas mengenai berwenang atau tidaknya suatu lembaga Negara menurut

Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 61 Ayat (2) jo Pasal 64 Ayat (3) dan

(4) jo Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Hal ini

mempunyai relevansi sebagai dasar hukum lembaga Negara yang

Page 63: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

48

bersangkutan dalam menyelenggarakan kewenangan berdasarkan Undang-

Undang Dasar 1945. Implikasinya adalah keabsahan atau legitimasi

konstitusional kewenangan lembaga Negara (Pasal 64 jo Pasal 66 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2003). Adanya kewenangan lembaga Negara

adalah untuk menyelesaikan perselisihan hukum atas suatu kewenangan

lembaga Negara. Artinya esensi kewenangan konstitusional mahkamah

konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga Negara dalam

perimbangan kekuasaan lembaga Negara merupakan suatu fungsi control

dari badan peradilan terhadap penyelenggaraan kekuasaan oleh lembaga

Negara yaitu dengan menempatkan kekuasaan yang menjadi kewenangan

lembaga Negara sesuai proporsi atau ruang lingkup kekuasaan yang diatur

menurut Undang-Undang Dasar 1945.

C. Kewenangan Memutus Pembubaran Partai Politik

Bilamana Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan

pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemohon adalah beralasan

dan mememuhi ketentuan Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 maka, amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan

permohonan dikabulkan, dan jika sebaliknya maka, amar putusan

Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak dapat diterima

(Pasal 70 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Terhadap permohonan

yang dikabulkan, Mahkamah Konstitusik kemudian mumutuskan tidak

mengabulkan atau mengabulkan permohonan pembubaran partai politik

(Pasal 68 Ayat (2) jo Pasal 70 jo Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang

Page 64: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

49

Nomor 24 Tahun 2003). Hal ini mempunyai relefansi sebagai dasar hukum

bagi pemohon c.q Pemerintah Pusat (Pasal 68 Ayat (1) jo Pasal 72 jo Pasal

73 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan penjelasannya) untuk

membubarkan atau tidak membubarkan atau tidak membatalkan status

hukum suatu partai politik.

Implikasi dari hal tersebut adalah terdapat eksistensi dan keabsahan

suatu partai politik. Artinya, amar putusan Mahkamah Konstitusi yang

mengabulkan permohonan pemerintah untuk membubarkan suatu partai

politik tertentu berarti bahwa partai politik yang bersangkutan secara

hukum tidak diakui keberadaannya, dan tidak di benarkan untuk

melakukan aktifitas poitik. Demikian pula sebaliknya, yakni bila amar

putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan

pemerintah, maka keberadaan suatu partai politik tertentu secara hukum

tetap dijamin hak-hak dan kewajiban partai politik, yang berarti dapat

melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai partai politik.

Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan syarat mutlak bagi

pemerintah untuk membubarkan partai politik tertentu. Tanpa adanya

dasar hukum berupa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara

pembubaran partai politik, pemerintah tidak boleh membubarkan suatu

partai politik. Artinya, keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk

menjamin sekaligus melindungi partai politik dari tindakan sewenang-

wenang pemerintah yang membubarkan partai politik tanpa alas an yang

jelas dan sah secara hukum.

Page 65: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

50

D. Kewenangan Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dengan

Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara

nasional. Perselisihan hasil pemilu dapat terjadi apabila penetapan KPU

mempengaruhi 1). Terpilihnya anggota DPD, 2). Penetapan pasangan

calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan presiden. dan wakil

presiden serta terpilihnya pasangan presiden dan wakil presiden, dan 3).

Perolehan kursi partai politik peserta pemilu di satu daerah pemilihan. Hal

ini telah ditentukan dalam Bagian Kesepuluh UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dari Pasal 74 sampai dengan Pasal 79.

E. Pendapat DPR mengenai dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden

Kewenangan ini diatur pada Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam sistem

presidensial, pada dasarnya presiden tidak dapat diberhentikan sebelum

habis masa jabatannya habis, ini dikarenakan presiden dipilih langsung

oleh rakyat. Namun, sesuai prinsip supremacy of law dan equality before

law, presiden dapat diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran

hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD. Tetapi proses

pemberhentian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara

hukum. Hal ini berarti, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

seorang presiden bersalah, presiden tidak bisa diberhentikan. Pengadilan

yang dimaksud dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi.

Page 66: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

51

Dalam hal ini hanya DPR yang dapat mengajukan ke Mahkamah

Konstitusi. Namun dalam pengambilan sikap tentang adanya pendapat

semacam ini harus melalui proses pengambilan keputusan di DPR yaitu

melalui dukungan 2/3 (dua pertiga) jumlah seluruh anggota DPR yang

hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua

per tiga) anggota DPR.

1.5 Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Asas secara umum diartikan sebagai dasar atau prinsip yang

bersifat umum yang menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan.

Asas di satu sisi dapat disebut sebagai landasan atau alasan

pembentukan suatu aturan hukum yang memuat nilai, jiwa, atau cita-

cita sosial yang ingin diwujudkan. Asas hukum merupakan jantung

yang menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan

pandangan masyarakat di mana hukum itu berlaku (asas hukum

objektif). Di sisi lain, asas hukum dapat dipahami sebagai norma

umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif (asas hukum

subjektif). Dalam konteks Hukum Acara Mahkamah Konstitusi yang

dimaksud dengan asas dalam hal ini adalah prinsip-prinsip dasar dan

bersifat umum yang menjadi panduan atau bahkan ruh dalam

penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya diperlukan

untuk mencapai tujuan penyelenggaraan peradilan itu sendiri, yaitu

tegaknya hukum dan keadilan, khususnya supremasi konstitusi dan

perlindungan hak konstitusional warga negara. Asas-asas tersebut

Page 67: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

52

harus dijabarkan dan dimanifestasikan baik di dalam peraturan

maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya asas Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi menjadi pedoman dan prinsip yang memandu

hakim dalam menyelenggarakan peradilan serta harus pula menjadi

pedoman dan prinsip yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses

peradilan. Adapun asas-asas Mahkamah Konstitusi adalah seagai

berikut :

1. Asas Independensi atau Noninterfentif,

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 UU

Mahkamah Konstitusi bahwa Mahkamah

Konstitusi merupakan satu lembaga negara yang

melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan.

2. Asas Praduga Rechtmatige, yaitu sebelum ada

putusan Mahkamah Konstitusi, objek yang

menjadi perkara misalnya suatu UU yang diuji

tetap sah dan berlaku sebelum ada putusan akhir

hakim Mahkamah Konstitusi.

3. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) UU

Mahkamah Konstitusi, bahwa sidang Mahkamah

Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat

permusyawaratan hakim. Dalam pembacaan

putusan hakim Mahkamah Konstitusi wajib

dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat

(5) UU Mahkamah Konstitusi) yang mana apabila

persidangan dan pembacaan putusan Mahkamah

Konstitusi tidak sah dan tidak mempunyai

kekuatan hukum (Pasal 28 ayat (6) UU

Mahkamah Konstitusi).

4. Asas Hakim Majelis, sebagaimana ditegaskan

Pasal 28 UU Mahkamah Konstitusi yang mana

dalam memeriksa, mengadili, dan memutus

dalam sidang pleno dengan 9 (sembilan) hakim

konstitusi, kecuali keadaan luar biasa dengan

tujuh hakim konstitusi.

5. Asas Objektivitas, untuk tercapainnya putusan

yang adil, maka hakim atau panitera wajib

Page 68: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

53

mengundurkan diri apabila terkit hubungan

keluarga sedarah atau semenda sampai derajat

ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun

telah bercerai dengan tergugt, penggugat atau

penasehat hukum atau antara hakim dan salah

seorang hakim atau panitera juga terdapat

hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas,

atau hakim atau panitera tersebut mmpunnyai

kepentingan langsung atau tidak langsung.

6. Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus

Litis), hakim konstitusi cukup berperan dalam

melakukan penelusuran dan eksplorasi untuk

mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang

ada asas ini tercermin salah satunya dari asas

pembuktian yang menunjukkan bahwa hakim

konstitusi dapat mencari kebenaran materiel yang

tidak terikat dalam menentukan atau memberikan

penilaian terhadap kekuatan alat buktinya. Selain

itu, asas keaktifan hakim juga tercermin dalam

kewenangan hakim konstitusi memerintahkan

para pihak untuk hadir sendiri dalam persidangan

sekalipun telah diwakili oleh kuasa hukum.

Ketentuan ini dimaksudkan agar hakim konstitusi

dalam menemukan kebenaran materiel yang dapat

diperoleh dari kesaksian dan penjelasan para

pihak yang berperkara. Hal ini mencerminkan

karakteristik hukum public didalam hukum acara

Mahkamah Konstitusi.

7. Asas Pembuktian Bebas (Vrij Bewij),

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1)

dan (2) UU Mahkamah Konstitusi, bahwa

Mahkamah Konstitusi memutus perkara

berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti

dan keyakinan hakim. Alat bukti yang dimaksud

sekurang-kurangnya 2 (dua).

8. Asas Putusan Mengikat secara Erga Omnes,

artinya putusan Mahkamah Konstitusi merupakan

putusan yang tidak hanya mengikat para pihak

(interparties), tetapi juga harus ditaati oleh

siapapun (Erga Omnes). Asas ini tercermin dalam

putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung

dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi

keputusan lembaga atau pejabat yang lain.

9. Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan

Bersifat Final, sebagaimana ditegaskan dalam

Pasal 47 UU Mahkamah Konstitusi bahwa

Page 69: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

54

putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh

kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan

dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum

yang bersifat final dan tidak ada upaya hukum

lain karena Mahkamah Konstitusi mengadili

tingkat pertama dan terakhir (Pasal 10 UU

Mahkamah Konstitusi).

10. Asas Sosialisasi, artinya putusan Mahkamah

Konstitusi wajib diumumkan dan dilaporkan

secara berkala kepada masyarakat secara terbuka

(Pasal 13 UU Mahkamah Konstitusi).

11. Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya

Ringan, untuk memenuhi harapan para pencari

keadilan maka pemeriksaan dan penyelesaian

perkara dilakukan dengan cara yang efisien dan

efektif serta dengan biaya perkara yang dapat

terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam

pemeriksaan dan penyelesaian perkaratidak

mengorbankan ketelitian dalam mencari

kebenaran dan keadilan (Pasal 4 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004).

(Sutiyoso,2006:38-44)

2.7. Kerangka Berfikir

Perkawinan sebagai salah satu sunnah nabi Muhammad saw

juga telah diatur dalam hukum perkawinan islam yang secara syar’i telah

diatur dalam nash Al-Qur’an dan Hadits.

Sayyid Sabiq menulis dalam bukunya Fikih

Sunnah : “Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih

Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang

biak dan melestarikan hidupnya, setelah masing-masing

pasangan siap melakukan perana yang positif dalam

mewujugkan tujuan perkawinan”. Allah tidak mau

menjadikan manusia seperti makluk lainnya, yang

hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan

antara jantan dengan betina secara anarki, dan tidak ada

suatu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan

martabat kemuliaan manusia, Allah membuat hukum

sesuai dengan martabat (Thalib, 1980:7).

Page 70: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

55

Nikah atau kawin menurut arti asli ialah hubungan seksual

tetapi menurut majasi (mathaporic) atau arti hukum adalah aqad

(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri

antara seorang pria dengan seorang wanita. (Ramulyo, 2002:1). Menurut

hukum Islam, nikah itu pada hakikatnya adalah aqad antara calon suami

istri untuk memperbolehkannya mereka berdua bergaul sebagai suami

istri. Aqad artinya ikatan atau perjanjian. Jadi Aqad Nikah artinya

perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang

wanita dengan seorang laki-laki (Asmin,1986:28). Karena itu perkawinan

dianggap sah dan berdampak hukum positif maka harus memenuhi syarat

dan rukunnya. Kalau salah satu syarat perkawina tidak terpenuhi maka

perkawina itu tidak sah. (Soemiyati.1982:30)

Syarat perkawinan : Ada calon mempelai laki-laki dan

perempuan; Ada saksi; Ada wali; Mahar atau maskawin; Ijab –Qabul.

Sedangkan rukun dari perkawinan : Ijab-Qabul (siqhat); Wali; Dua orang

Saksi.

Di dalam kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, kata sirri

berasal dari kata assirru yang mempunyai arti “rahasia” (Munawwir,

1997:625). Dalam terminologi Fiqh Maliki, nikah sirri ialah nikah yang

atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau

jamaahnya sekalipun keluarga setempat (Zuhdi,1996:7). Menurut

terminologi ini nikah sirri tersebut adalah tidak sah, sebab nikah sirri

selain dapat mengundang fitnah, tuhmah dan suudz-dzan, juga

Page 71: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

56

bertentangan dengan hadis Nabi.yang berbunyi: “Adakanlah pesta

perkawinan, sekalipun hanya hidung kambing” (Hadis Riwayat Al-

Bukhari dan Muslim dll. dari Anas). Sesuai dengan namanya,

perkawinan sirri ini umumnya merupakan perkawinan yang dilakukan

secara rahasia, terselubung, atau sembunyi- sembunyi. Praktik kawin sirri

ini telah banyak dikenal dan dilakukan oleh sebagian masyarakat

Indonesia. Sementaara itu jika dilihat dari perespektif hukum

pemerintahan dan norma sosial sering dinilai sebagai suatu

penyimpangan (Nurhaedi, 2003:27). Menurut Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) “Perkawinan dibawah tangan hukumnya sah kalau telah

terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan

mudharat atau dampak negatif”. Dalam prakteknya perkawinan sirri ini

adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam di

Indonesia, yang memenuhi baik rukun-rukun maupun syarat-syarat

perkawinan, tetapi tidak didaftarkan atau dicatatkan pada Pegawai

Pencatat Nikah seperti yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undanh

No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

(Ramulyo,1996: 239).

Banyaknya sekali permasalahan di masyarakat yang timbul

dari tidak dicatatnya perkawinan seperti kaburnya asal-usul anak,

kewarisan dan nafkah. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

“tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang- undangan

Page 72: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

57

yang berlaku”. Meskipun Ulama Indonesia pada umumnya setuju

terhadap pasal tersebut tetapi karena persyaratan pencatatan di atas tidak

disebut dalam kitab-kitab fiqh, dalam pelaksanaannya masyarakat

muslim di Indonesia masih memperdebatkan sahnya suatu perkawinan

tanpa di temui suatu titik terang. Misalnya, masih ada orang yang

mempertanyakan apakah perkawinan yang tidak dicatatkan itu dari segi

agama lalu menjadi tidak sah.

Implikasi jawaban tersebut adalah bahwa jika sudah terpenuhi

semua rukun dan syarat perkawinan sebagaimana dikehendaki dalam

fiqh, suatu perkawinan itu tetap sah. Sebagai dampaknya adalah banyak

masyarakat yang melakukan perkawinan sirri di Indonesia.

Sehubungan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hingga saat ini kalangan

teoritis dan praktisi hukum masih saling bersilang pendapat tentang

pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan. Ada dua pendapat para

pakar hukum mengenai masalah ini.

Pertama, bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya

harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tersebut di atas, yakni perkawinannya telah

dilaksanakan menurut ketentuan syariat Islam secara sempurna

(memenuhi rukun dan syarat nikah). Mengenai pencatatan nikah oleh

PPN, tidaklah merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban

administratif saja; Kedua, bahwa sahnya suatu akad nikah harus

Page 73: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

58

memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengenai tata cara agama dan ayat (2) mengenai

pencatatan nikah oleh PPN secara simultan. Dengan demikian ketentuan

Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, bukan

alternatif. Karena itu perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan

syariat Islam tanpa pencatatan oleh PPN, belumlah dianggap sebagai

perkawinan yang sempurna dan perkawinan inilah yang kemudian

setelah berlakunya Undang-Undanh No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan

perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri.

Perkawinan dibawah tangan atau perkawinan sirri berdampak

sangat merugikan bagi perempuan pada umumnya, baik secara hukum

maupun secara sosial. Secara hukum, perempuan tidak dianggap sebagai

istri sah. Ia tidak berhak menuntut nafkah dan warisan dari suami jika

ditinggal meninggal dunia. Selain itu sang istri tidak berhak atas harta

gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan

tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Selanjutnya secara sosial, sang

istri akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan

perkawinan dibawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah

dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri

simpanan. Bila pernikahan dibawah tangan ingin diakhiri dan dilegalkan

ada dua cara, yaitu dengan melakukan Itsbat Nikah dan dari hasil

Page 74: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

59

penetapan pengadilan tersebut dijadikan dasar pencatatan perkawinannya

di KUA.

Hal-hal seperti di ataslah yang mendasari seorang warga

Indonesia dan juga seorang public figure Hj. Aisyah Mochtar atau yang

biasa dikenal dengan nama Machica Mochtar mengajukan gugatan ke

Mahkamah Konstitusi untuk menguji Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 43 ayat 1

Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan untuk di uji dengan

Pasal 28 B ayat 1, Pasal 28 B ayat 2 dan Pasal 28 D ayat 1 Undang-

Undang Dasar 1945 dan Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan

mengabulkan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang

Perkawinan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai

bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi

dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara

anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak biologisnya dan Pasal 2

ayat 2 Undang-Undang No 1 Th 1974 tentang Perkawinan tidak

dikabulkan dengan alasan perkawinan yang dicatatkan adalah untuk

mencapai tertib administrasi.

Page 75: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

60

Secara umum penulis menggambarkan alur kerangka berfikir

sebagai berikut :

Bagan 2

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan di Catatkan Perkawinan Tidak di Catatkan

Anak

Kedudukan Hukum Anak Luar

Kawin Hasil Perkawinan Sirri

Kedudukan Hukum Anak Luar

Kawin Sebelum Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010

Kedudukan Hukum Anak Luar

Kawin Setelah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Prosedur Pengakuan Anak Luar Kawin Hasil Perkawinan Sirri :

Perkawinan Sirri→ Anak→ Itsbat Nikah→ Perkawinan Sah dan

Dicatatkan = Anak Sah→ Hubungan Perdata Ibu dan Ayah→ Hak

Keperdataan Penuh

Perkawinan Sirri→ Anak→ Tes DNA→ Perkawinan Sah Tidak

Dicatatkan = Anak Anak Luar Kawin→ Hubungan Perdata Ibu

dan Ayah→ Hak Keperdataan Terbatas

Perkawinan Sirri→ Anak→ Itsbat Nikah + Tes DNA→

Perkawinan Sah dan Dicatatkan = Anak Sah→ Hubungan Perdata

Ibu dan Ayah→ Hak Keperdataan Penuh

Page 76: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

61

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan

mengadakan analisa dan konstruksi (Soekanto & Mamudji, 2010:20).

Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang ditetapkan

harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya

dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu

pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas,

metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan

identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmu-ilmu

pengetahuan lainnya.

Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu

yang mempunyai langkah-langkah sistematis (Usman dan Akbar, 2003:42).

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tatacara seorang

ilmuwan dalam mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-

lingkungan yang dihadapinya (Soekanto, 1991:6).

Page 77: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

62

Menurut Sunggono penelitian pada dasarnya merupakan “suatu upaya

pencarian” dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu obyek

yang mudah terpegang di tangan.

Penelitian juga merupakan suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai

beberapa karakterisitik tertentu, yaitu: penelitian mempunyai tujuan, sistematik,

terkendali, objektif serta tahan uji. Demikian juga penelitian hukum merupakan

suatu kegiatan ilmiah yang mempunyai karakteristik, diantaranya:

a. Tujuan, dalam penelitian hukum mempunyai tujuan untuk mempelajari

gejala hukum tertentu dengan menganalisanya.

b. Sistematik, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah

dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana

dengan baik.

c. Terkendali, dalam penelitian hukum harus mempunyai langkah-langkah

dalam persiapan, pelaksanaan dan pembuatan laporan yang terencana

dengan baik.

d. Objektif, dalam penelitian hukum terlebih dahulu ditentukan fenomena

hukum yang akan diteliti.

e. Tahan uji, dalam penelitian hukum, penyimpulan teori harus merupakan

hasil dari telaah yang didasari pada suatu teori yang kuat dan metode

yang benar, oleh karena itu siapapun yang melakukan replica akan

sampai pada suatu keimpulan yang sama (Azwar, 2003:1).

Page 78: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

63

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa metode penelitian adalah cara

dalam melaksanakan suatu penelitian yang meliputi kegiatan seperti mencari,

mencatat, merumuskan, menganalisis, sampai dengan menyusun laporan

berdasarkan fakta-fakta atau gejala ilmiah.

Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum

Sosiologis (Amiruddin & Aisikin, 2006:29)

Penelitian hukum normatif disebut dengan penelitian hukum doktriner,

karena dilakukan dan ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis

atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian ini dikatakan juga sebagai

penelitian kepustakaan atau studi dokumen, disebabkan penelitian ini lebih

banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.

Data Sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga

meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada

dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah (Soekanto &

Mamudji, 2010:24).

Metode pendekatan penelitian ini lebih tepat digunakan adalah metode

penelitian yuridis normatif. Dalam metode penelitian yuridis normatif tersebut

akan menelaah secara lebih dalam terhadap asas-asas hukum, peraturan

perundang-undangan, yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum serta memandang

hukum secara komprehensif. Artinya hukum bukan saja sebagai seperangkat

Page 79: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

64

kaidah yang bersifat normatif atau apa yang menjadi teks undang-undang (law in

book) tetapi juga melihat bagaimana bekerjanya hukum (law in action).

1.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menggunakan cara kerja

dengan menjabarkan hasil penelitian berdasarkan penelitian dan pemaknaan

terhadap data yang diperoleh. Metode ini digunakan apabila data hasil

penelitian tidak dapat diukur dengan angka atau dengan ukuran-ukuran lain

yang bersifat eksak. (Soekanto, 2010:19)

Menurut Jhony Ibrahim penelitian hukum normatif memiliki definisi

yang sama dengan penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu penelitian

berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada

membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.

1.2 Metode Pendekatan

Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di

dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical

approach), pendekatan komparatif (comparative approach) (Marzuki,

2008:93). Dari kelima pendekatan penelitian hukum tersebut, penulis di

Page 80: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

65

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute

approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).

1.2.1 Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang menyangkut dengan

implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010

terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri, untuk menelaah unsur

filosofi adanya suatu peraturan perundang-undangan tertentu yang

kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis

antara undang-undang dengan isu hukum yang ditangani (Marzuki,

2008: 93-94).

1.2.2 Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu

hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-

pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang

relevan dengan isu yang dihadapi (Marzuki, 2008: 95), kemudian akan

membantu dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan

implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010

terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri.

Page 81: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

66

1.3 Fokus Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai pada penelitian ini, maka

hasil penelitian ini nantinya akan bersifat deskriptif analisis yaitu

memaparkan, atau mengambarkan peraturan hukum yang berlaku dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang

menyangkut permasalahan di atas.

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka yang

dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah status hukum anak luar kawin dari hasil perkawinan

sirri kepada orangtua biologis pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010?

2. Bagaimanakah prosedur pengakuan anak luar kawin oleh ayah

biologis dari perkawinan sirri pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010?

1.4 Jenis dan Sumber Data

Menurut Suharsimi Arikunto (1998: 52) yang dimaksud sumber data

penelitian adalah “objek yang diperoleh, diambil dan dikumpulkan. Jenis data

yang diperoleh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2 (dua) jenis”,

yaitu:

Page 82: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

67

a. Jenis data Primer

Menurut Soerjono Soekanto data primer meliputi bahan-bahan

yang mengikat seperti, norma dasar atau kaidah dasar, peraturan

dasar, bahan hokum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi,

traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan yang sampai saat ini

masih berlaku.

b. Jenis data Sekunder

Data yang menjelaskan mengenai bahan hukum primer, seperti

rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya dari

kalangan hokum dan seterusnya (Soekanto, 2010: 13).

Sesuai dengan kategori jenis data di atas maka di dalam penelitian ini

sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Namun dalam bukunya,

Penelitian Hukum, (Marzuki, 2008: 141) mengatakan bahwa pada dasarnya

penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah

bahan hukum, hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Penulis dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu

data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari

sumber-sumber yang telah ada. Data sekunder diperoleh dengan penelitian

kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau

tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk

memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun

Page 83: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

68

data melalui naskah resmi yang ada. Data sekunder dibidang hukum dapat

dibedakan menjadi :

1.4.1 Bahan Hukum Primer

Merupakan bahan hukum yang utama terdiri dari:

1. Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 Tentang Peradilan Agama.

6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Page 84: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

69

8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan.

9. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

10. Kompilasi Hukum Islam

1.4.2 Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Marzuki, 2008:141).

Merupakan bahan hukum yang erat hubunganya dengan hukum

primer dan membantu untuk menganalisis bahan hukum primer terdiri dari

: buku-buku ilmiah di bidang hukum,putusan hakim, makalah atau hasil-

hasil ilmiah para sarjana, serta literatur yang berhubungan dengan anak

luar kawin.

1.4.3 Bahan hukum Tertier

Merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi tentang

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus-kamus

seperti kamus-kamus hukum, serta kamus-kamus keilmuan lainnya.

Page 85: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

70

1.5 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, akan diteliti data sekunder. Dengan demikian

ada dua kegiatan utama yang akan dilakukan dalam melaksanakan penelitian

ini, yaitu mengiventarisasi, mempelajari, dan mencatat ke dalam kartu

penelitian tentang asas-asas dan norma hukum yang menjadi obyek

permasalahan ataupun yang dapat dijadikan alat analisis pada masalah

penelitian dan yang kedua dilakukan dengan cara menelusuri literatur-

literatur ilmu hukum ataupun hasil-hasil penelitian hukum yang relevan

dengan masalah penelitian.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a. Studi Kepustakaan

Menurut Soerjono Soekanto studi kepustakaan adalah studi

dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan

atas data tertulis dengan mempergunakan “content analysis” atau yang

biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti mencari,

membaca, dan mempelajari dari bahan-bahan kepustakaan yang berupa

buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan lainnya yang ada hubungannya

dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Soekanto, 1986:21)

Terhadap data primer dikumpulkan dengan melakukan studi

kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji

Page 86: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

71

peraturan perundang-undangan, rancangan undang-undang, hasil

penelitian, jurnal ilmiah, artikel ilmiah, dan makalah seminar yang

berhubungan dengan implikasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor

46/PUU-VIII/2010 terhadap eksistensi anak hasil perkawinan sirri.

b. Wawancara

Dalam penelitian hukum yang menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif, maka teknik pengumpulan data yang digunakan paling

utama adalah penelitian kepustakaan (library research). Sementara

wawancara berfungsi sebagai data pendukung, sehingga data yang

diperoleh hanya berasal dari narasumber.

Wawancara merupakan alat pengumpul data yang tertua karena

sering digunakan untuk mendapatkan informasi dalam semua situasi

praktis. Wawancara adalah situasi peran antara pribadi bertatap muka

ketika seseorang yakin pewawancara mengajukan pertanyaan-

pertanyaan dan untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan

dengan masalah penelitian kepada seorang responden. (soekanto, 2003:

12 )

1.6 Teknik Analisis Data

Tahap-tahap dari analisis data yuridis normatif adalah sebagai berikut:

1. Merumuskan asas-asas hukum baik dari data sosial maupun dari data

hukum positif tertulis.

Page 87: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

72

2. Merumuskan pengertian-pengertian hukum

3. Membentuk standar-standar hukum

4. Perumusan kaidah-kaidah hukum

Dalam penelitian ini metode analisis data yang digunakan adalah metode

analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif bertujuan menggambarkan secara

tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk

menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dimasyarakat

(Amiruddin & Askin, 2006:25).

Page 88: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

73

BAB 4

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada

Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010

Keabsahan status dari seorang anak pasti tidak akan pernah terlepas

dari status perkawinan kedua orangtuanya, anak sah sebagaimana yang

tertulis didalam Pasal 42 Undang-Undang No. Tahun 1974: “Anak yang

sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah”. Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 99 yang menyatakan

anak sah adalah:

(a) Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

(b) Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan

oleh istri tersebut.

Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi :

“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan

melalui perkawinan yang sah”. Kata-kata “melanjutkan keturunan” apapun

pengertiannya pasti terjemahan konkritnya adalah anak, yakni

kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa, yang

Page 89: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

74

dipertegas dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, yang berbunyi: “Anak yang sah adalah anak yang

dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Menilik Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

yang berbunyi: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-

undangan yang berlaku”. Dari kasus ini topik bahasannya adalah

perkawinan sirri dan perkawinan sirri ialah perkawinan yang secara

materiel telah memenuhi ketentuan syari'at Islam sebagaimaa sesuai

dengan yang dimaksud didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 akan tetapi tidak memenuhi syarat administratif sesuai Pasal 2

ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Tujuan pemerintah mengatur tentang pencatatan perkawinan

adalah untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat.

Melalui pencatatan perkawinan sepasang suami istri akan memiliki akta

perkawinan sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka

lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak

bertanggung jawab maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum

guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Akan tetapi

pada praktiknya tidak semua masyarakat Indonesia mengikuti semua

prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian

masyarakat masih melaksanakan praktik perkawinan yang tidak dicatatkan

secara resmi dan tidak dipublikasikan yang biasa dikenal dengan nama

Page 90: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

75

nikah sirri atau kawin sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah

secara agama atau nikah dibawah tangan.

Terdapat dua macam manfaat pencatatan perkawinan, yang

pertama manfaat pencatatan perkawinan secara preventif adalah untuk

menanggulangi agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun

dan syarat-syarat perkawinan baik menurut agama dan kepercayaannya itu,

maupun menurut perundang-undangan. Dalam bentuk konkritnya

penyimpangan tadi dapat dideteksi melalui prosedur yang diatur dalam

Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu :

(1) Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai

Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.

(2) Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan

sekurang kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan.

(3) Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam

ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting,

diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala

Daerah.

Sedangkan manfaat pencatatan perkawinan represif dimaksudkan

untuk membantu masyarakat agar didalam melangsungkan perkawinannya

tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum fiqih saja, tetapi aspek

keperdataannya juga perlu diperhatikan secara seimbang.

Anak yang terlahir dari perkawinan sirri pada dasarnya

merupakan anak yang sah, akan tetapi, belum dicatatkannya perkawinan

kedua orang tuanya tersebutlah yang menyebabkan status anak tersebut

menjadi anak luar kawin.

Page 91: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

76

Dalam Makalah yang telah disampaikan pada Seminar Status Anak

Di Luar Nikah dan Hak Keperdataan lainnya, Rasyid, (2012) mengatakan:

Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia

terdapat tiga (3) macam status kelahirannya, yaitu :

a. Anak yang lahir dari atau sebab perkawinan yang sah;

b. Anak yang lahir di luar perkawinan;

c. Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).

a. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan

yang sah, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang

sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1

dan ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak

yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan antara

lain:

a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945,

pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu : " Setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah " ;

b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : " Anak sah

adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah " ;

c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : " Perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu";

d. Pasal 2 ayat (2), yaitu : " Tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku "

Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat

perkawinan yang sah ini bukan merupakan titik

pembahasan, maka penulis memandang tidak perlu

diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang

akan diuraikan dibawah ini.

b. Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang

lahir dari perkawinan yang dilakukan menurut masing-

masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini

menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan

menurut agama Islam, maka perkawinan yang demikian

”sah” dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi

syarat dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak

tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah secara

materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor

Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor Catatan Sipil

Page 92: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

77

(anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar

dengan Moerdiono), maka tidak sah secara formil.

Untuk istilah ”anak yang lahir di luar

perkawinan”, maka istilah ini yang tepat untuk kasus

Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil

perkawinan dengan memenuhi syarat dan rukun secara

agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana

berkembangnya persepsi yang salah yang menganggap

kasus anak dari Machica dengan Moerdiono sebagai anak

hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan

“di luar perkawinan” karena perkawinannya hanya

memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, dan

tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.

Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus

dilaksanakan dengan prosedur sesuai dengan pasal 2 ayat

1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, itulah yang dimaksud dengan perkawinan

yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang

perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti

pasal 2 ayat 1 saja, maka perkawinan itu disebut ”luar

perkawinan”, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan itu

tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan adanya

perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1

Tahun 1974 tentang perkawinan.

Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu

dilakukan di luar prosedur pada pasal 2 ayat 2. Tidak bisa

"luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena

perbuatan zina itu dilakukan sama sekali tanpa ada

perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan

tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-

kata : saya tidur di luar rumah, artinya rumahnya ada

tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa

rumah, berarti rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika

disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu sudah

dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah

yang disebut "luar perkawinan", sedangkan perzinaan

sama sekali tidak tersentuh dengan term ”perkawinan”.

c. Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang

dilahirkan dari hubungan antara pria dengan wanita tanpa

ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas

pertemuan ovum dengan sperma dari pasangan suami istri

yang menikah secara sah keberadaan anak melalui Bayi

Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa

kandungan dititipkan kepada rahim selain ibunya yang

Page 93: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

78

sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil

juga tidak sah secara formil.

Pemahaman yang keliru terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terutama

terhadap kalimat “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan” membawa kepada perdebatan panjang. Frasa

“di luar perkawinan” sangat berbeda maknanya dengan

frasa “tanpa perkawinan”. Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan atau anak yang lahir dari perkawinan yang

dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan

kepercayaannya tapi tidak tercatat pada KUA atau Kantor

Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil

tapi tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang

dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau anak yang

dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan

tanpa adanya ikatan perkawinan merupakan anak yang

tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak

zina). “Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan

dengan perzinahan atau akibat perzinahan, kasus yang

melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan

”pencatatan perkawinan”.

Hal tersebut diatas sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan

penulis dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. Menurut beliau, anak

luar kawin tidak bisa begitu saja disamakan dengan anak zina dan

sumbang, harus cermat dalam memposisikan anak yang lahir diluar

perkawinan dan anak yang lahir tanpa perkawinan. Berikut kutipan

wawancaranya:

Harus dibedakan luar kawin dan tanpa perkawinan,

anak luar kawin itu anak yang lahir dengan didasari

perkawinan secara agama akan tetapi tidak dicatatkan

makannya disebut anak luar kawin dan tanpa perkawinan

adalah anak yang dilahirkan tanpa adanya perkawinan

sama sekali. Penyebutan anak luar kawin dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tersebut

harus di lihat dari perkaranya yang mengajukan itu siapa,

dalam hal ini kasus machica mochtar dan moerdiono

tersebut didasari dengan pernikahan sirri atau pernikahan

secara agama. Kalau mau menanggapi permasalahan ini

kita harus kembali ke pada kasusnya yang mengajukan itu

Page 94: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

79

siapa dan jangan lari kemana-mana. (Wawancara dengan

Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku Hakim di

Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013).

Namun berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis

dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. beliau tidak sependapat dengan

hal tersebut diatas yang menyatakan Perkawinan yang sah adalah

perkawinan yang telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan kata lain.

Menurut beliau, perkawina dianggap sah jika sudah dijalankan menurut

agama dan kepercayaannya kemudian dicatatkan (Untuk yang beragama

Islam di KUA dan yang non Islam di Kantor Catatan Sipil) tidak sahnya

perkawinan tersebut otomatis berimplikasi terhadap status anak yang

dilahirkan dari perkawinan tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:

Sahnya suatu anak itu jika perkawinan orang

tuanya tersebut sudah dijalankan sesuai syarat perkawinan

sesuai agamanya dan kemudian dicatatkan di catatan sipil.

Selama ini saya belum menemukan perkawinan yang tidak

dicatatkan dari kasus yang masuk disini pun juga selama

ini perkawinannya tercatatkan semua. (wawancara dengan

Endang Sri Widayanti, S.H., M.H. selaku hakim di

Pengadilan Negeri Semarang pada 11 Februari 2013)

Dari hasil wawancara yang dilakukan, penulis menemukan

perbedaan secara prinsipil mengenai pemahaman keabsahan perkawinan

yang otomatis berimplikasi terhadap status dari anak tersebut, penulis

tidak ingin memperdebatkan hal tersebut, hal tersebut memang sampai saat

ini masih menjadi perdebatan bagi beberapa kalangan dalam mendefinisan

status perkawinan yang dilakukan secara agama dan kepercayaannya akan

tetapi tidak dicatatkan.

Page 95: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

80

Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan

penafsiran atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan berpendapat bahwa hukum harus memberi

perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak

yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak

yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih

dipersengketakan. Pendapat ini sejalan dengan Konvensi Hak-Hak Anak

(Convention on the Rights of Child) yang mengatur bahwa anak akan

didaftar segera setelah lahir dan akan mempunyai hak sejak lahir atas

nama, hak untuk memperoleh suatu kebangsaan dan sejauh mungkin, hak

untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Kemudian, Pasal 7 ayat

(1) UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur

bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan

diasuh oleh orang tuanya sendiri. Hak anak untuk mengetahui identitas

kedua orang tuanya akan memperjelas status serta hubungan antara anak

dengan orang tuanya.

Pembuktian asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan

dengan menggunakan akta otentik sebagai mana yang telah tertulis

didalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

berbunyi: “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan

akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang”.

Page 96: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

81

Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-

VIII/2010 Anak yang lahir dari perkawinan sirri bisa mempunyai akta

kelahiran namun bedanya tidak ada nama ayahnya, hanya akan tercantum

nama ibunya saja sebagai perempuan yang telah melahirkan anak tersebut.

Anak hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan

keluarga ibunya saja sebagai mana yang tertulis didalam Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya”. Selain itu anak tidak berhak atas nafkah dan

warisan dari bapaknya sebagai mana yang dirasakan oleh ibunya,

konsekuensi ketidaksahan status anak tersebut berakibat negatif terhadap

posisi hukumnya, sebab anak tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Jika anak tesebut perempuan, bapaknya tidak bisa menjadi wali nikah atas

anaknya tersebut.

Anak yang lahir dari perkawina sirri bisa memiliki akta kelahiran

akan tetapi tidak ada nama bapaknya, yang tercantum di dalam akta

tersebut hanya nama ibunya saja sebagai wanita yang telah melahirnnya.

Isi pokok dari akta kelahirannya meliputi :

1. Nomor Akta;

2. Tempat, tanggal, bulan, dan tahun anak tersebut dilahirkan;

3. Nama anak yang bersangkutan;

4. Jenis kelamin;

5. Nama Ibunya;

6. Kota atau tempat dan tanggal dikeluarkannya akta kelahiran;

7. Nama dan tanda tangan pejabat kantor catatan sipil yang

ditunjuk untuk itu atau dalam bentuk surat kenal lahir dari lurah

atau kepala desa.

Page 97: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

82

Manfaat dari akta kelahiran adalah sebagai bukti otentik asal usul

anak, selain itu anak akan mengetahui secara pasti siapakah kedua orang

tuannya, jika disuatu saat timbul permasalahan, dengan bantuan akta

kelahiran tersebut, anak tersebut dapat melakukan upaya hukum. Akta

kelahiran dapat digunakan sebagai identitas resmi yang akan sering

digunakan misalnya untuk keperluan sekolah, dan lain sebagainya.

Semenjak di keluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 dalam amar putusannya yang berbunyi :

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang

menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya”,tidak memiliki kekuatan hukum

mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan

perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau

alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai

hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut

harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya

yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan

dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata

dengan keluarga ayahnya”

Anak luar kawin atau anak yang dilahirkan dari perkawinan sirri

sekarang bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab ibu dan keluarga

ibunya saja sebagaimana yang telah tertulis di dalam Pasal 42 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 akan tetapi juga menjadi tanggung jawab

dari ayah biologis dan keluarga ayah biologisnya selama dapat dibuktikan

Page 98: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

83

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain

menurut hukum mempunyai hubungan darah.

Dan untuk memperjelas status anak tersebut kepada ayah

biologisnya harus dilakukan pengakuan, sebenarnya pengakuan anak

terhadap anak luar kawin sudah diatur didalam undang-undang lain, akan

tetapi pengakuan tersebut harus di dasari kesukarelaan ayah biologisnya

dan juga didasari persetujuan ibu kandungnya sebagai upaya adanya

hubungan hukum. Berbeda dengan putusan Mahkamah Konstitusi tidak

diperlukan kesukarelaan ayah biologisnya dan juga persetujuan ibu

kandungnya dalam hal pengakuan anak.

Agar pembaca lebih mudah untuk memahami posisi status anak di

luar putusan Mahkamah Konstitusi, maka penulis sajikan table sebagai

berikut:

Tabel. 2

Perbandingan Pengesahan Anak, Pengakuan Anak, dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Pengesahan Anak Pengakuan Anak Putusan Mahkmah

Konstitusi

Penjelasan Pasal 50

ayat (1) UU No.23

tahun 2006 tentang

administrasi

kependudukan,

bahwa yang

dimaksud dengan

pengesahan anak

adalah :

pengesahan status

seorang anak

yanglahir diluar

Penjelasan Pasal 49

ayat (1) UU No.23

tahun 2006 tentang

administrasi

kependudukan,

bahwa yang

dimaksud dengan

pengakuan anak

adalah : pengakuan

seorang ayah

terhadap anaknya

yang lahir diluar

Anak yang

dilahirkan di luar

perkawinan

mempunyai

hubungan perdata

dengan ibunya dan

keluarga ibunya

serta dengan laki-

laki sebagai

ayahnya yang

dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu

Page 99: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

84

ikatan perkawinan

sah pada saat

pencatatan

perkawinan kedua

anak tersebut.

Penesahan anak ibu

dan bapak si anak

tersebut

melangsungkan

pernikahan dan pada

saat pencatatan

perkawinan si anak

diakui sebagai anak

kandung mereka.

Pengesahan anak ini

merupakan suatu

upaya hukum

(rechtsmidel) untuk

memberikan suatu

kedudukan sebagai

anak sah melalui

perkawinan yang

dilakukan oleh

orang tuanya.

Mempunyai

hubungan

keperdataan dengan

kedua orang tuanya

karena

berkedudukan

hukum sebagai anak

sah

perkawinan yang

sah atas

persetujuan ibu

kandung anak

tersebut.

Pengakuan anak

hanya sebatas

pengakuan dari ayah

kandungnya yang

disetujui oleh ibu

kandungnya, tanpa

diikuti dengan

perkawinan ibu-

bapaknya (harus ada

kesukarelaan dari

bapak dan

persetujuan dari

ibunya)

Kedudukan anak

tetap sebagai anak

diluar perkawinan

yang sah

Mempunyai

hubungan perdata

dengan ayah yang

mengakuinya

pengetahuan dan

teknologi dan/

atau alat bukti lain

menurut hukum

mempunyai

hubungan perdata

dengan keluarga.

Dalam putusan

Mahkamah

Konstitusi,

kesukarelaan

(bapaknya) dan

persetujuan

(ibunya) tidak

perlu dilakukan

tetapi harus ada

usaha dari anak

untuk

membuktikan

dirinya sendiri

sebagai anak yang

bersangkutan.

Kedudukan anak

tetap sebagai anak

diluar perkawinan

yang sah.

Mempunyai

hubungan

keperdataan

dengan ayahnya

dan keluarga

ayahnya setelah

dibuktikan

berdasarkan ilmu

pengetahuan dan

teknologi dan/

atau alat bukti lain

menurut hukum

mempunyai

hubungan perdata

dengan keluarga

ayahnya.

Putusan

mahkamah

konstitusi ini

dapat diterapkan

Page 100: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

85

jika ayahnya tidak

mengakui atau

mengingkari

anaknya.

Sumber: Habib Adjie.2012. Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi

Terkait pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan Terhadap Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris dab

PPAT. Hal 27.

4.1.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari

Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010

Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis dapat dilakukan

dengan mengajukan permohonan Itsbat Nikah ke Pengadilan Agama

setempat. Adapun langkah-langkah yang harus di tempuh dalam pengajuan

Itsbat Nikah adalah sebagai berikut:

Langkah 1.

a. Datang dan Mendaftar ke Kantor Pengadilan

Setempat.

b. Mendatangi Kantor Pengadilan Agama di wilayah

tempat tinggal anda.

c. Membuat surat permohonan itsbat nikah. Surat

permohonan dapat dibuat sendiri (seperti

terlampir). Apabila tidak bisa membuat surat

permohonan, dapat meminta bantuan kepada Pos

Bakum (Pos Bantuan Hukum) yang ada pada

pengadilan setempat secara cuma-cuma.

d. Surat permohonan itsbat nikah ada dua jenis sesuai

dengan tujuan yaitu 1) surat permohonan itsbat

nikah digabung dengan gugat cerai dan 2) surat

permohonan itsbat nikah.

e. Memfotokopi formulir permohonan Itsbat Nikah

sebanyak 5 rangkap, kemudian mengisinya dan

menandatangani formulir yang telah lengkap.

Empat rangkap formulir permohonan diserahkan

kepada petugas Pengadilan, satu fotokopi simpan.

Page 101: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

86

f. Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara

lain surat keterangan dari KUA bahwa

pernikahannya tidak tercatat.

Langkah 2.

a. Membayar Panjar Biaya Perkara

b. Membayar panjar biaya perkara. Apabila anda

tidak mampu membayar panjar biaya perkara, anda

dapat mengajukan permohonan untuk berperkara

secara cuma-cuma (Prodeo).

c. Apabila mendapatkan fasilitas Prodeo, semua biaya

yang berkaitan dengan perkara di pengadilan

menjadi tanggungan pengadilan kecuali biaya

transportasi dari rumah ke pengadilan. Apabila

merasa biaya tersebut masih tidak terjangkau,

maka dapat mengajukan Sidang Keliling.

d. Setelah menyerahkan panjar biaya perkara jangan

lupa meminta bukti pembayaran yang akan dipakai

untuk meminta sisa panjar biaya perkara.

Langkah 3.

a. Menunggu Panggilan Sidang dari Pengadilan

b. Pengadilan akan mengirim Surat Panggilan yang

berisi tentang tanggal dan tempat sidang kepada

Pemohon dan Termohon secara langsung ke alamat

yang tertera dalam surat permohonan.

Langkah 4.

a. Menghadiri Persidangan

b. Datang ke Pengadilan sesuai dengan tanggal dan

waktu yang tertera dalam surat panggilan.

Upayakan untuk datang tepat waktu dan jangan

terlambat.

c. Untuk sidang pertama, bawa serta dokumen seperti

Surat Panggilan Persidangan, fotokopi formulir

permohonan yang telah diisi. Dalam sidang

pertama ini hakim akan menanyakan identitas para

Pihak misalnya KTP atau kartu identitas lainnya

yang asli. Dalam kondisi tertentu hakim

kemungkinan akan melakukan pemeriksaan isi

permohonan.

d. Untuk sidang selanjutnya, hakim akan

memberitahukan kepada Pemohon/Termohon yang

hadir dalam sidang kapan tanggal dan waktu siding

berikutnya. Bagi Pemohon/Termohon yang tidak

hadir dalam sidang, untuk persidangan berikutnya

akan dilakukan pemanggilan ulang kepada yang

bersangkutan melalui surat.

Page 102: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

87

e. Untuk sidang kedua dan seterusnya, ada

kemungkinan harus mempersiapkan dokumen dan

bukti sesuai dengan permintaan hakim. Dalam

kondisi tertentu, hakim akan meminta

menghadirkan saksi saksi yaitu orang yang

mengetahui pernikahan anda diantaranya wali

nikah dan saksi nikah, atau orang-orang terdekat

yang mengetahui pernikahan.

Langkah 5.

a. Putusan/Penetapan Pengadilan

b. Jika permohonan dikabulkan, Pengadilan akan

mengeluarkan putusan/ penetapan itsbat nikah.

c. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap

diambil dalam jangka waktu setelah 14 hari dari

sidang terakhir.

d. Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat

diambil sendiri ke kantor Pengadilan atau

mewakilkan kepada orang lain dengan Surat

Kuasa.

e. Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan

tersebut, bisa meminta KUA setempat untuk

mencatatkan pernikahan dengan menunjukkan

bukti salinan putusan/penetapan pengadilan

tersebut.

Prosedur pembuktian sebagai mana yang tercantum didalam Amar

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang

menyatakan bahwa : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta

dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum

mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga

ayahnya”. Untuk sementara ini teknologi yang bisa dipakai dan mendekati

akurat adalah dengan melakukan tes DNA. Tidak ada alternatif lain untuk

sementra ini dalam proses pembuktiannya. Berikut hasil wawancara

dengan Hakim di Pengadilan Agama Semarang :

Page 103: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

88

Untuk sementara terkait dengan putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut tidak ada alternatif lain

selain tes DNA, kecuali bapaknya mengakui. Asalkan

bapaknya mengakui tidak perlu lagi dilakukan tes DNA.

(wawancara dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H.

selaku hakim di Pengadilan Agama Semarang pada 12

Februari 2013)

Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri

Semarang :

Kalau untuk teknologi saat ini untuk membuktikan

anak tersebut mempunyai hubungan darah atau tidak

hanya menggunakan tes DNA, karena untuk saat ini

teknologi tersebut yang hasilnya mendekati akurat.

(wawancara dengan Endang Sri Widayanti, S.H., M.H.

selaku hakim di Pengadilan Negeri Semarang pada 11

Februari 2013)

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Hakim

Pengadilan Agama Semarang Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. dan

Hakim Pengadilan Negeri Semarang Endang Sri Widayanti, S.H., M.H.,

beliau berdua sepakat bahwa untuk membuktikan asal usul sebuah anak

mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya adalah dengan

menggunakan tes DNA, karena tes DNA tersebut merupakan teknologi

untuk saat ini yang hasilnya mendekati akurat.

Setelah dilakukan pengakuan di Pengadilan Agama Semarang dan

terbukti dalam pembuktian bahwa laki-laki tersebut mempunyai hubungan

darah dengan anak tersebut, secara otomatis ayah biologisnya tersebut bisa

mencantumkan namanya di dalam akta anak tersebut didasari dengan

penetapan dari Pengadilan Agama dan baru di proses di kantor Catatan

Page 104: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

89

Sipil. Berikut hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Agama

Semarang :

Setelah mendapatkan penetapan dari Pengadilan

Agama, ayah biologisnya tersebut bisa mencantumkan

namanya didalam akta anak tersebut, terkait prosedurnya

itu sudah kewenangan Catatan Sipil. Tugas kami hanya

sebatas menangani perkara yang diajukan di sini,

kemudian membuat penetapan. Surat penetapan tersebut

digunakan untuk apa itu merupakan urusan yang

bersangkutan dan diluar wilayah kami lagi. (wawancara

dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H., M.H. selaku hakim

di Pengadilan Agama Semarang pada 12 Februari 2013).

Pengadilan dapat mengeluarkan Penetapan tentang asal usul

seorang anak melalui pengakuan dan perkawinan yang disahkan atau Itsbat

Nikah jika kedua orangtua anak tersebut menikah berdasarkan agama

namun tidak dicatat oleh PPN yang berwenang.

Bahwa sesuai dengan Kewenangan Pengadilan Agama berkaitan

dengan permohonan Itsbat Nikah dapat disebutkan bahwa :

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta

Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan

Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke

Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian;

(b) Hilangnya Akta Nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah

satu syarat perkawian;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum

berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang

tidak mempunyai halangan perkawinan menurut

Undang-Undang No.1 Thaun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah

ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah

Page 105: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

90

dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

(Pasal 7 Kompilas Hukum Islam)

Dengan adanya putusan penetapan Itsbat Nikah, maka secara

hukum perkawinan tersebut telah tercatat yang berarti adanya jaminan

ataupun perlindungan hukum bagi hak-hak suami istri maupun anak-anak

dalam perkawinan tersebut.

Itsbat Nikah dilakukan untuk melegalkan perkawinan sirri yang

dalam pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi

tidak dicatatkan setelah dalam pembuktian yang dilakukan di pengadilan

bahwa benar perkawinan tersebut telah dilakukan dan terpenuhi syarat dan

rukun nikah barulah tes DNA di jadikan salah satu bukti penguat untuk

membuktikan bahwa anak yang dilahirkan dalam perkawinan sirri tersebut

benar-benar mempunyai hubungan keperdataan dengan orangtuanya.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Status Hukum Anak Dari Hasil Perkawinan Sirri Kepada

Orangtua Biologis Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010

Terlahirnya seorang anak di dunia tidak bisa terlepas dari peran

serta kedua orang tuanya dan begitupula dengan status hukum seorang

anak tidak bisa begitu saja dilepaskan dari status perkawinan kedua orang

tuannya. Mengenai syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana yang

tertulis didalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

perkawinan tersebut sah jika dilakukan menurut agama dan

Page 106: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

91

kepercayaannya dan jika perkawinan tersebut sudah dilaksanakan sesuai

dengan syarat dan rukun nikah yang dijelaskan di dalam Islam maka

perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang sah, dan terkait dengan

ayat (2) didalam Pasal tersebut yang menyebutkan untuk diadakannya

suatu pencatatan didalam perkawinan, itu hanya sebagai syarat

administratif yang ditawarkan Negara guna menjamin terpenuhinya hak

dan kewajiban warganegara dengan cara diberikan akta otentik yang di

buat oleh pejabat yang berwenang.

Terkait dengan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

maka jika anak itu lahir dari atau sebab dari perkawinan yang sah, maka

otomatis anak tersebut merupakan anak yang sah dan anak dari hasil

perkawinan sirri merupakan anak sah selama perkawinan kedua orang

tuanya telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Akan tetapi tidak

dicatatkannya perkawinan kedua orang tuanya tadi secara langsung

berimplikasi terhadap status hukum anak tersebut. Status hukum dari anak

tersebut menjadi anak luar kawin, Disebut anak luar kawin karena

perkawinan sirri yang dilakukan oleh kedua orang tuanya tersebut sah

karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah akan tetapi tidak dicatatkan.

Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010,

uji materiil yang diajukan oleh Machica Mochtar terkait Pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak dikabulkan oleh Mahkamah

Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi berkeyaknan bahwa pencatatan

perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Makna

Page 107: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

92

pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut

menurut Mahkamah Konstitusi beranggapan bahwa pencatatan perkawinan

bertujuan untuk jaminan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan

pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama

pemerintah (Pasal 28I ayat (4) UUD 1945), dan juga bertujuan untuk

menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia

dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan

(Pasal 28I ayat (5) UUD 1945). Jika pencatatan perkawinan dianggap

sebagai pembatasan, Mahkamah Konstitusi berkeyakinan tidak

bertentangan dengan konstitusi karena dalam menjalankan hak dan

kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang

ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang

lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan

moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

masyarakat demokratis (Pasal 28J ayat (2) UUD 1945).

Terkait anak luar kawin Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa,

seorang anak dalam kelahirannya tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa

ada pembuahan antara ovum dan spermatozoa baik disebabkan karena

hubungan seksual atau teknologi yang menyebabkan pembuahan tersebut.

Mahkamah Kostitusi berpendapat bahwa tidak adil jika anak luar kawin

hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya saja, dan terlebih

Page 108: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

93

tidak adil jika laki-laki yang terbukti mempunyai hubungan darah dengan

seorang anak tersebut lepas dari tanggung jawabnya. Terlepas dari status

perkawinan kedua orang tuanya yang masih diperdebatkan, anak harus

mendapat perlindungan hukum dan Setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28B ayat (2) UUD 1945). Walau

bagaimanapun juga kelahiran seorang anak didasari bukan dari kehendak

anak tersebut ingin terlahir akan tetapi anak tersebut terlahir dari akibat

perbuatan orang tuannya. Jelas dalam kasus ini anak lah yang paling

merasa dirugikan dan Negara harus memberikan perlindungan dan

kepastian hukum status anak tersebut karena ketidak jelasan status ayah

anak tersebut seringkali mendapat stigma negatif didalam masyarakat.

Harus bisa di bedakan mana anak luar kawin dan mana anak tanpa

perkawinan. Penyebutan anak luar kawin itu hanya sebatas istilah yang

dipakai oleh hukum positif untuk menyebut anak yang dilahirkan dari

perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan bukan anak yang di

lahirkan tanpa perkawinan, dan secara prinsip perkawinan sirri merupakan

perkawinan yang sah karena sudah terpenuhi syarat dan rukun nikah dalam

pelaksanaan perkawinannya. Maka sepatutnya tidak perlu diperdebatkan

lagi sah atau tidaknya anak yang lahir dari perkawinan sirri.

Page 109: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

94

4.2.2 Prosedur Pengakuan Anak Oleh Ayah Biologis Dari

Perkawinan Sirri Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010

Untuk meningkatkan status hukum seorang anak dari anak luar

kawin menjadi anak sah secara hukum positif yaitu bisa dibuktikannya

bahwa anak tersebut benar-benar terlahir dari suatu dan atau sebab dari

perkawinan yang sah. Untuk membuktikan keabsahan perkawinan orang

tuanya yang sebelumnya dilakukan dengan dilakukan secara agama harus

bisa dibuktikan di Pengadilan bahwa perkawinan tersebut memang bener-

benar ada dan harus dibuktikan juga bahwa syarat dan rukun nikahnya

telah terpenuhi barulah penetapan pengadilan tersebut bisa di jadikan dasar

untuk mencatatkan perkawinannya di KUA.

Itsbat Nikah yang di ajukan ke Pengadilan Agama dari beberapa

syarat yang bisa di gunakan pemohon pengajuan Itsbat Nikah terkait

dengan pembahasan ini dimana telah dilakukan perkawinan secara agama

akan tetapi tidak dicatatkan, para pemohon bisa memberikan alasan dan

menuturkan maksud dan tujuan untuk melakukan Itsbat Nikah karena

adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian

dan/atau perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Thaun 1974. Dengan

dilakukannya Itsbat Nikah yang dilakukan orangtuanya tersebut otomatis

berimplikasi terhadap status hukum dari anak tersebut. Anak tersebut

Page 110: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

95

mendapatkan hak keperdataan secara penuh sebagaimana anak sah pada

umumnya.

Untuk sementara ini dari hasil wawancara yang dilakukan penulis

di Pengadilan Agama Semarang dengan Drs. H. Toha Mansyur, S.H.,

M.H. terkait dengan pembuktian menggunakan ilmu pengetahuan dan

teknologi yang di mungkinkan untuk di pakai dan melihat hasilnya yang

mendekati akurat adalah dengan melakukan tes DNA (Deoxyribonucleic

acid).

Pembuktian dengan menggunakan tes DNA dan terbukti

mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya tidak lantas

merubah status anak luar kawin tadi berubah statusnya menjadi anak sah

secara hukum positif, statusnya tetap menjadi anak luar kawin. Status

hukum dari anak tersebut bisa berubah satatusnya menjadi anak sah

setelah orangtuanya mencatatkan perkawinannya di KUA atas dasar

penetapan dari Pengadilan Agama setelah terbukti Perkawinan sirrinya

telah terbukti benar-benar telah dilaksanakan dan terbukti telah

terpenuhinya syarat dan rukun nikah secara agama Islam maka otomatis

anak tersebut statusnya menjadi anak sah.

Page 111: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

96

Bagan 3 : Skema Status Anak (1)

Dari skema 1 tersebut diatas di jelaskan bahwa perkawinan sirri

yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (dinyatakan

sah) dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan

Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan

kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis

perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak

yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, dan

mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta

dengan ayah dan keluarga ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan

anak tersebut adalah hak keperdataan penuh meliputi hak waris, hak

penafkah, dan hak perwalian.

Perkawinan

Sirri

Anak

Itsbat Nikah

Perkawinan Sah dan Dicatatkan

=

Anak Sah

Hubungan Perdata

Ibu dan Ayah

Hak Keperdataan

Penuh

Page 112: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

97

Bagan 4 : Skema Status Anak (2)

Dari skema 2 tersebut di atas di jelaskan bahwa perkawina sirri

yang menghasilkan seorang anak dan dibuktikan didalam Pengadilan

Agama jika terbukti bahwa anak tersebut mempunyai hubungan darah

dengan laki-laki yang diduga sebagai ayah biologisnya dan terbukti bahwa

laki-laki tersebut mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut maka

timbullah hubungan keperdataan antara laki-laki tersebut dengan anak

tersebut, status anak tersebut tidak lantas berubah statusnya menjadi anak

sah, status anak tersebut masih berstatus anak luar kawin akan tetapi anak

luar kawin tersebut benar-benar terbukti mempunyai hubungan darah

dengan laki-laki tersebut. Statusnya masih anak luar kawin karena

perkawinan kedua orang tuanya yang tidak dicatatkan walaupun pada

Perkawinan

Sirri

Anak

Tes DNA

Perkawinan Sah dan Tidak Dicatatkan

=

Anak Luar Kawin

Hubungan Perdata

Ibu dan Ayah

Hak Keperdataan

Terbatas

Page 113: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

98

dasarnya perkawinan kedua orang tuanya tersebut itu sah akan tetapi

belum sempurna karena perkawinan tersebut belum dicatatkan maka anak

yang dilahirkan dari perkawinan sirri yang tidak dicatatkan tersebut status

hukum dari anak tersebut adalah anak luar kawin. Hak keperdataan yang

didapatkan anak tersebut adalah hak penafkahan, hak perwalian, dan hak

waris anak luar kawin bukan hak waris anak sah.

Bagan 5 : Skema Status Anak (3)

Dari skema 3 tersebut di atas dijelaskan bahwa perkawinan sirri

yang kemudian dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama (dinyatakan

sah) dan kemudian dicatatkan di KUA atas dasar penetapan Pengadilan

Perkawinan

Sirri

Anak

Itsbat Nikah

+

Tes DNA

Perkawinan Sah dan Dicatatkan

=

Anak Sah

Hubungan Perdata

Ibu dan Ayah

Hak Keperdataan

Penuh

Page 114: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

99

Agama tersebut maka perkawinan tersebut sah dan dicatatkan atau dengan

kata lain perkawinan tersebut sah secara sempurna dan otomatis

perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut berimplikasi terhadap anak

yang dilahirkan dari perkawinan tersebut statusnya adalah anak sah, akan

tertapi jika terjadi permasalahan terhadap status dari anak tersebut, atau

hanya sekedar memastikan status dari anak tersebut, maka perlu untuk

dilakukan tes DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah

antara anak tersebut dengan laki-laki tersebut. Mempunyai hubungan

keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga

ayahnya. Hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak

keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.

Dari ketiga skema tersebut diatas, Jika menghadapi kasus seperti

ini penulis lebih sepakat untuk menggunakan skema 3, karena selain

perkawinan sirri yang harus dicatatkan agar mempunyai kekuatan hukum

dan hak-haknya terjamin, anak tersebut juga harus dipastikan mempunyai

hubungan darah dengan orangtuanya terlebih ayah biologisnya. Hal

tersebut nantinya berimplikasi terhadap perwalian anak tersebut jika anak

tersebut perempuan dan hukum harus memastikan bahwa anak tersebut

benar-benar mempunyai hubungan darah dengan ayah biologisnya supaya

tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Page 115: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

100

BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarakan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dijabarkan

dalam bab 4 diatas, maka pada penulisan skripsi ini yang berudul “IMPLIKASI

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

TERHADAP EKSISTENSI ANAK HASIL PERKAWINAN SIRRI”, pada bab 5

ini penulis mengambil simpulan sebagai berikut:

1. Perkawinan sirri merupakan perkawinan yang sah, karena dalam

pelaksanaannya telah terpenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana yang

telah dianjurkan oleh agama Islam sebagai mana sesuai dengan bunyi

Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan: “Perkawinan adalah sah, apabilla dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Dari bunyi Pasal diatas

jelas bahwa perkawinan itu sah jika telah dilakukan menurut agama dan

kepercayaannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat administratif sesuai

dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Implikasi dari tidak dicatatkannya perkawinan kedua orang

tuanya itu maka status anak yang lahir dari perkawinan sirri tersebut

statusnya menjadi anak luar kawin.

Page 116: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

101

2. Proses pengakuan anak luar kawin dalam perkawinan sirri dapat dilakukan

dengan dilakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama jika dinyatakan sah

maka barulah kemudian dilakukan pencatatan perkawinan di KUA atas

dasar penetapan Pengadilan Agama tersebut, maka perkawinan tersebut

sah dan dicatatkan atau dengan kata lain perkawinan tersebut sah secara

sempurna dan otomatis perkawinan yang sah dan dicatatkan tersebut

berimplikasi terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut

statusnya adalah anak sah, akan tertapi jika terjadi permasalahan terhadap

status dari anak tersebut, dan untuk memperkuat status hubungan darah

anataara seorang ank dengan ayah biologisnya maka harus dilakukan tes

DNA untuk memastikan ada atau tidaknya hubungan darah antara anak

tersebut dengan laki-laki tersebut. Anak tersebut mempunyai hubungan

keperdataan dengan ibu dan keluarga ibu serta dengan ayah dan keluarga

ayahnya. Dan hak keperdataan yang didapatkan anak tersebut adalah hak

keperdataan penuh meliputi hak waris, hak penafkah, dan hak perwalian.

5.2 Saran

1. Perkawinan sirri tersebut pada dasarnya memang suatu perkawinan yang

sah menurut pandangan hukum positif, akan tetapi tidak dicatatkannya

perkawinan sirri tersebut berdampak kepada status hukum dari anak

tersebut yang tidak jelas dan kabur terkait masalah pembuktiannya.

Alangkah lebih baik dan bijaknya jika kita mensinergikan apa yang telah

diatur di dalam agama dan kepercayaan kita dengan peraturan hukum

Page 117: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

102

positif yang berlaku di Negara kita. Jadi kita sepatutnya melaksanakan

perkawinan sesuai aturan agama dan kepercayaan yang kita anut dan

setelah itu kita catatkan agar hak-hak yang kita dapatkan benar-benar

terpenuhi dan mempunyai landasan hukum yang jelas.

2. Bagi Penagdilan Agama, dalam menangani hal tersebut dia atas hendaknya

lebih cermat, karena walau bagaimanapun juga jika menyangkut masalah

perkawinan dampaknya bukan hanya kepada seorang laki-laki dan seorang

perembuan semata tetapi jauh lebih kompleks lagi dari pada hal tersebut,

terutama anak, anak tersebut harus mendapatkan kejelasan status

hukumnya karena secara tidak langsung hal tersebut menyangkut

perkembangan anak tersebut.

Page 118: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku:

Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:

Tarawang.

Afandi, Ali. 2000. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:

Rineka Cipta

akan Hak-Hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan

Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung PT.Citra Aditya

Bakti

Daulay,Ikhsan Rosyada Perluhutan. 2006. MAHKAMAH KONSTITUSI

Memahami Keberadaannya Dalam System Ketatanegaraan Republik

Indonesia. Jakarta: P.T. Rineka Cipta

Effendi, Soekan dan Erniati. 1997. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia. Cet. I. Surabaya: tp.

Handikusumo, Hilman. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar

Maju.

Hosen, Ibrahim. 1971. Fiqh perbandingan dalam masalah nikah, thalaq, rudjuk

dan hukum kerwarisan. Jakarta: Yayasan Ihja 'Ulumiddin Indonesia.

Kanan , Al-Qodhi Asy-Syaikh Muhammad Ahmad. 2007. Ushulul Muasyarotil.

Zaujiyah - Tata Pergaulan Suami Isteri. Jogjakarta: Maktab al-Jihad.

Munawir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawawwir Arab-Indonesia

Terlengkap. Yogyakarta: Pustaka Prograsif

Ramulyo, Mohammad Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta:

Bumi Aksara.

Soekanto, Sarjono. 2010. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :Universitas

Indonesia (UI-Press).

Soemitro, Rony Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:

Ghalia Indonesia

Soimin. Soedaryo, 1992. Hukum orang dan keluarga : Perspektif hukum perdata

barat/BW-hukum islam dan hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika

Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Renaka Cipta.

Page 119: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

104

Sutiyoso, Bambang. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia: Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman kepada Public.

Jakarta: Sinar Grafika

Syukur, Aswadi. 1985. Intisari Hukum Perkawinan Dan Keluarga Dalam Fikih

Islam. Surabaya: PT.Bina Ilmu.

Dari Undang-Undang:

Undang - Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Kitap Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama

Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan

Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Makalah Seminar

Mochtar, M. Akil. PERAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM NEGARA

HUKUM YANG DEMOKRATIS. disampaikan pada Pendidikan Sespati

Polri dan Pasis Sespim Polri, Lembang, 2009.

Rasyid, Chatib. ANAK LAHIR DILUAR NIKAH (SECARA HUKUM) BERBEDA

DENGAN ANAK HASIL ZINA Kajian Yuridis Terhadap Putusan MK NO.

46/PUU-VII/2012. Seminar Status Anak Di Luar Nikah dan Hak

Keperdataan lainnya, IAIN Walisongo, Semarang, 2012.

Page 120: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

Jurnal

Widiawati, Citra Widi dkk, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010 Mengenai Pengakuan Secara Hukum Perdata Terhadap

Anak Diluar Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jurnal

Retrieval KSP “Principium”, Vol. 4 No.1, Oktober, 2012.

Web

http://www.pa-semarang.go.id

http://www.pa-kotabumi.go.id