Faktor Risiko DSS

8
Faktor Risiko Dengue Shock Syndrome secara umum dapat dibagi menjadi faktor risiko yang tidak dapat termodifikasi dan yang dapat termodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat termodifikasi terdiri dari: 1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang. Beberapa penelitian telah menjelaskan keterkaitan jenis kelamin sebagai faktor risiko terjadinya DSS, meskipun beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam sebuah studi yang dilakukan di Thailand, dinyatakan bahwa jenis kelamin tidak bermakna secara statistik dalam meningkatkan terjadinya DSS (Tantracheewathorn, 2007). Meskipun demikian studi terbaru pada tahun 2011 yang dilakukan oleh Anders, dkk. di Vietnam menyatakan bahwa anak perempuan memiliki risiko mengalami DSS lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki (Anders dkk., 2011). Data tersebut juga diperkuat dengan studi metaanalisis yang menyatakan bahwa terdapat asosiasi kuat antara jenis kelamin perempuan dan DSS (Huy dkk., 2013). Adanya faktor risiko tersebut diperkirakan oleh karena perempuan cenderung memiliki dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibandingkan dengan laki-laki (Harrison dkk., 2001 dalam Harisnal, 2012). 2. Umur

description

DSS

Transcript of Faktor Risiko DSS

Page 1: Faktor Risiko DSS

Faktor Risiko Dengue Shock Syndrome secara umum dapat dibagi menjadi faktor risiko

yang tidak dapat termodifikasi dan yang dapat termodifikasi. Faktor risiko yang tidak

dapat termodifikasi terdiri dari:

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi status

kesehatan seseorang. Beberapa penelitian telah menjelaskan keterkaitan jenis

kelamin sebagai faktor risiko terjadinya DSS, meskipun beberapa penelitian

menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam sebuah studi yang dilakukan di

Thailand, dinyatakan bahwa jenis kelamin tidak bermakna secara statistik dalam

meningkatkan terjadinya DSS (Tantracheewathorn, 2007).

Meskipun demikian studi terbaru pada tahun 2011 yang dilakukan oleh Anders,

dkk. di Vietnam menyatakan bahwa anak perempuan memiliki risiko mengalami

DSS lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki (Anders dkk., 2011). Data tersebut

juga diperkuat dengan studi metaanalisis yang menyatakan bahwa terdapat

asosiasi kuat antara jenis kelamin perempuan dan DSS (Huy dkk., 2013). Adanya

faktor risiko tersebut diperkirakan oleh karena perempuan cenderung memiliki

dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibandingkan

dengan laki-laki (Harrison dkk., 2001 dalam Harisnal, 2012).

2. Umur

Umur merupakan faktor risiko yang berasosiasi negatif terhadap kejadian DSS,

artinya semakin bertambahnya umur maka risiko terjadinya DSS semakin kecil.

Dengan kata lain, penderita dengan umur muda lebih berisiko mengalami DSS

(Huy dkk., 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anders dkk. juga

menyatakan demikian dengan jumlah angka mortalitas dan morbiditas memuncak

pada anak dengan umur 1-5 tahun dibandingkan dengan anak dengan umur di atas

lima tahun. Risiko kematian juga disebutkan empat kali lebih tinggi pada anak

dengan umur 1-5 tahun (Anders dkk., 2011).

Selain faktor risiko tersebut di atas, terdapat pula faktor risiko termodifikasi atau faktor

risiko yang dapat dikontrol, antara lain:

1. Status Nutrisi

Page 2: Faktor Risiko DSS

Penderita DHF, khususnya anak yang memiliki status nutrisi yang buruk atau

malnutrisi memiliki risiko mengalami DSS yang lebih rendah dibandingkan

dengan anak dengan status nutrisi yang baik. Hal tersebut dikarenakan oleh

adanya gangguan sistem imunitas selular pada individu malnutrisi (Senanayake,

2006). Pada individu dengan malnutrisi yang berat, terjadi penurunan imunitas

selular yang ditandai dengan penurunan sel T CD4+, penurunan sekresi antibodi

IgA, dan komponen komplementer (C3, C4, dan faktor B), serta gangguan

fagositosis (Hung, 2005). Dengan begitu, status malnutrisi menurunkan tingkat

keparahan infeksi dengue dan terjadinya DSS.

Meskipun demikian, status malnutrisi tidak sepenuhnya memberikan proteksi

absolut terhadap kejadian DSS. Ditemukan bahwa pada individu dengan status

malnutrisi ringan/sedang risiko terjadinya DSS tidak berbeda secara signifikan

dengan individu dengan status nutrisi yang baik (Hung, 2005).

2. Status Neurologis

Infeksi virus dengue dapat menyebabkan adanya komplikasi terhadap status

neurologis pasien. Adapun beberapa tanda komplikasi neurologis tersebut dapat

terdiri dari gejala perasaan gelisah, iritabel, pusing, mengantuk, stupor, koma, dan

konvulsi (Huy, 2013). Patogenesis terjadinya komplikasi tersebut belum diketahui

secara pasti, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

a. Efek neurotropik virus dengue, seperti encepalitis, meningitis, myositis,

rhabdomyolysis, dan myelitis;

b. Efek sistemik infeksi virus, seperti encepalopati, stroke (hemoragik dan

iskemik), paralisis hipokalemik, dan papiledema; serta

c. Efek pasca-infeksi virus dengue (Murthy, 2010).

Berdasarkan metaanalisis oleh Huy dkk., tanda neurologis memiliki korelasi yang

kuat terhadap terjadinya DSS (OR=4,66 CI 95%: 1,70-12.8). Salah satu

komplikasi yang paling sering terjadi adalah encepalopati, yang mana dapat

terjadi akibat banyak faktor seperti edema serebral, perdarahan serebral,

hiponatremia, gagal hati, gagal ginjal, dan hipoksia serebral (Murthy, 2010).

3. Status Pencernaan

Page 3: Faktor Risiko DSS

Beberapa gejala gangguan pencernaan dapat menjadi manifestasi klinis yang

mengarah pada DSS. Adapun gejala yang sering terjadi adalah mual, muntah,

anoreksia, nyeri abdomen, dan hepatomegali (Srivastava dkk., 1990). Di antara

gejala-gejala tersebut, mual/muntah dan nyeri abdomen merupakan dua

manifestasi klinis yang paling berkaitan dengan DSS (OR=1,43 CI 95%: 1,5-1,78)

(Huy dkk., 2013).

4. Tanda Perdarahan

Perdarahan gastrointestinal memiliki hubungan yang positif sebagai faktor

terjadinya DSS (OR=1,84 CI 95%: 1,42-2,39). Sementara itu, tanda adanya

perdarahan yang lain seperti hasil tes tourniquet yang positif, perdarahan pada

kulit, petekia, hematuria, dan hemoptisis dikatakan tidak memiliki hubungan yang

signifikan terhadap terjadinya DSS (Huy dkk., 2013)

5. Tanda Kebocoran Plasma

Kebocoran plasma dapat diindikasikan dengan mengetahui nilai hemokonsentrasi

pasien demam berdarah melalui pemeriksaan hematokrit. Adapun disebut terjadi

kebocoran plasma apabila terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

yang secara pemeriksaan laboratorium ditandai dengan peningkatan

hemokonsentrasi dan hematokrit sampai dengan 20% (Harisnal, 2012). Menurut

metaanalisis oleh Huy dkk., kadar hematokrit memiliki asosiasi positif terhadap

kejadian DSS, yang artinya semakin tinggi kadar HSS maka risiko terjadinya DSS

semakin tinggi pula.

Adanya tanda kebocoran plasma juga dapat ditandai dengan gejala efusi pleura,

ascites, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia. Tanda-tanda tersebut juga

berhubungan secara kuat terhadap terjadinya DSS (Huy dkk., 2013).

6. Manifestasi Hepatika

Demam berdarah dapat menyebabkan gangguan yang terjadi pada hepar. Gejala

yang terjadi dapat berupa hepatomegali, serta apabila didasarkan pada

pemeriksaan laboratorium adalah peningkatan serum aspartate transaminase

(AST) dan alanine transaminase (ALT). Penelitian oleh Putra dkk. membuktikan

bahwa kenaikan kadar AST dan ALT berkaitan dengan kejadian DSS pada anak

Mekanisme terjadinya DSS tersebut belum diketahui secara pasti. Namun

Page 4: Faktor Risiko DSS

diperkirakan bahwa infeksi dengue dapat menyebabkan kerusakan sel hati akibat

efek sitopatik virus secara langsung, sehingga kematian sel akan menginduksi

sistem imunitas tubuh dan mengarah kepada DSS (Putra dkk., 2014).

7. Sel Darah

Jumlah sel darah sangat berperan terhadap kejadian DSS. Kadar trombosit dan

leukosit merupakan dua prediktor yang sering digunakan dalam mendeteksi risiko

terjadinya DSS. Kadar kedua komponen darah tersebut dapat diketahui melalui

pemeriksaan darah rutin. Secara umum, pada setiap kejadian demam berdarah

selalu ditemukan kadar trombosit yang rendah atau yang disebut dengan

trombositopenia. Penurunan jumlah trombosit tersebut dapat terjadi hingga <

100.000/mm3 (Harsinal, 2012). Jumlah trombosit memiliki asosiasi negatif

terhadap kejadian DSS, yang berarti semakin rendah kadar trombosit di dalam

darah maka semakin besar risiko terjadinya DSS (Huy dkk., 2013).

Seperti trombosit, adanya penurunan kadar leukosit atau leukopenia juga

ditemukan pada infeksi dengue dan berisiko terhadap kejadian DSS. Menurut

Gupta, dkk. (2011) dalam Harsinal (2012), jumlah leukosit yang < 4.000/mm3

merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian DSS.

8. Koagulator

Berdasarkan studi metaanalisis Huy dkk., koagulator memiliki asosiasi positif

terhadap kejadian DSS, yang berarti peningkatan prothrombin time (PT) dan

activated partial thromboplastin time (APTT) dapat meningkatkan risiko

terjadinya DSS. Kondisi ini sering terjadi pada infeksi dengue dan berkaitan

dengan menurunnya kadar trombosit di dalam darah (Huy dkk., 2013).

9. Faktor Virus

Virus dengue dapat dibagi menjadi empat serotipe, yaitu DENV-1, DENV-2,

DENV-3, dan DENV-4. Di antara keempat serotipe virus dengue tersebut,

DENV-2 merupakan serotipe yang memiliki hubungan yang kuat dalam

terjadinya DSS dibandingkan dengan serotipe jenis lainnya (Huy dkk. 2013).

Sementara itu, studi lain menyebutkan bahwa infeksi virus yang dapat

menyebabkan komplikasi yang buruk adalah infeksi DENV-1, kemudian diikuti

oleh DENV-2 (Rajapakse, 2011).

Page 5: Faktor Risiko DSS

Tantracheewathorn T, Tantracheewathorn S. 2007. Risk factors of dengue shock

syndrome in children. J Med Assoc Thai, 90(2): 272-7.

Anders KL, Nguyet NM, Chau NVV, Hung NT, et al. 2011. Epidemiological factors

associated with dengue shock syndrome and mortality in hospitalized dengue patients in

Ho Chi Minh City, Vietnam. Am J Trop Med Hyd, 84(1): 127-34.

Huy NT, Van Giang T, Thuy DHD, Kikuchi M, Hien TT, et al. 2013. Factors associated

with dengue shock syndrome: a systematic review and meta-analysis. PLOS Negl Trop

Dis, 7(9): e2412.

Harisnal. 2012. Faktor-faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam

berdarah dengue di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmasin tahun 2010-

2012 [Tesis]. Denpasar: Universitas Indonesia.

Senanayake S. 2006. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever: a diagnostic

challenge. Aust Fam Physician, 35(8): 609-12.

Hung NT, Lan NT, Lei H, Lin Y, Lien LB, et al. 2005. Association between sex,

nutritional status, severity of dengue hemorrhagic fever, and immune status in infants

with dengue hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg, 72(4): 370-74.

Murthy JMK. 2010. Neurological complications of dengue infection. Neurol India, 58(4):

581-4.

Srivastava VK, Suri S, Bhasin A, Srivastava L, Bharadwaj M. 1990. An epidemic of

dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in Delhi: a clinical study. Ann

Trop Paediatr, 10(4): 329-34.

Putra Y, Arhana BNP, Safitri I, Widiana R. 2014. Serum transaminase levels and dengue

shock syndrome in children. Paediatr Indones, 54(3): 181-5

Rajapakse S. 2011. Dengue shock. J Emerg Trauma Shock, 4(1): 120-7.