Faktor Risiko DSS
description
Transcript of Faktor Risiko DSS
Faktor Risiko Dengue Shock Syndrome secara umum dapat dibagi menjadi faktor risiko
yang tidak dapat termodifikasi dan yang dapat termodifikasi. Faktor risiko yang tidak
dapat termodifikasi terdiri dari:
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang. Beberapa penelitian telah menjelaskan keterkaitan jenis
kelamin sebagai faktor risiko terjadinya DSS, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan hasil yang berbeda. Dalam sebuah studi yang dilakukan di
Thailand, dinyatakan bahwa jenis kelamin tidak bermakna secara statistik dalam
meningkatkan terjadinya DSS (Tantracheewathorn, 2007).
Meskipun demikian studi terbaru pada tahun 2011 yang dilakukan oleh Anders,
dkk. di Vietnam menyatakan bahwa anak perempuan memiliki risiko mengalami
DSS lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki (Anders dkk., 2011). Data tersebut
juga diperkuat dengan studi metaanalisis yang menyatakan bahwa terdapat
asosiasi kuat antara jenis kelamin perempuan dan DSS (Huy dkk., 2013). Adanya
faktor risiko tersebut diperkirakan oleh karena perempuan cenderung memiliki
dinding kapiler yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibandingkan
dengan laki-laki (Harrison dkk., 2001 dalam Harisnal, 2012).
2. Umur
Umur merupakan faktor risiko yang berasosiasi negatif terhadap kejadian DSS,
artinya semakin bertambahnya umur maka risiko terjadinya DSS semakin kecil.
Dengan kata lain, penderita dengan umur muda lebih berisiko mengalami DSS
(Huy dkk., 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Anders dkk. juga
menyatakan demikian dengan jumlah angka mortalitas dan morbiditas memuncak
pada anak dengan umur 1-5 tahun dibandingkan dengan anak dengan umur di atas
lima tahun. Risiko kematian juga disebutkan empat kali lebih tinggi pada anak
dengan umur 1-5 tahun (Anders dkk., 2011).
Selain faktor risiko tersebut di atas, terdapat pula faktor risiko termodifikasi atau faktor
risiko yang dapat dikontrol, antara lain:
1. Status Nutrisi
Penderita DHF, khususnya anak yang memiliki status nutrisi yang buruk atau
malnutrisi memiliki risiko mengalami DSS yang lebih rendah dibandingkan
dengan anak dengan status nutrisi yang baik. Hal tersebut dikarenakan oleh
adanya gangguan sistem imunitas selular pada individu malnutrisi (Senanayake,
2006). Pada individu dengan malnutrisi yang berat, terjadi penurunan imunitas
selular yang ditandai dengan penurunan sel T CD4+, penurunan sekresi antibodi
IgA, dan komponen komplementer (C3, C4, dan faktor B), serta gangguan
fagositosis (Hung, 2005). Dengan begitu, status malnutrisi menurunkan tingkat
keparahan infeksi dengue dan terjadinya DSS.
Meskipun demikian, status malnutrisi tidak sepenuhnya memberikan proteksi
absolut terhadap kejadian DSS. Ditemukan bahwa pada individu dengan status
malnutrisi ringan/sedang risiko terjadinya DSS tidak berbeda secara signifikan
dengan individu dengan status nutrisi yang baik (Hung, 2005).
2. Status Neurologis
Infeksi virus dengue dapat menyebabkan adanya komplikasi terhadap status
neurologis pasien. Adapun beberapa tanda komplikasi neurologis tersebut dapat
terdiri dari gejala perasaan gelisah, iritabel, pusing, mengantuk, stupor, koma, dan
konvulsi (Huy, 2013). Patogenesis terjadinya komplikasi tersebut belum diketahui
secara pasti, namun secara umum dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:
a. Efek neurotropik virus dengue, seperti encepalitis, meningitis, myositis,
rhabdomyolysis, dan myelitis;
b. Efek sistemik infeksi virus, seperti encepalopati, stroke (hemoragik dan
iskemik), paralisis hipokalemik, dan papiledema; serta
c. Efek pasca-infeksi virus dengue (Murthy, 2010).
Berdasarkan metaanalisis oleh Huy dkk., tanda neurologis memiliki korelasi yang
kuat terhadap terjadinya DSS (OR=4,66 CI 95%: 1,70-12.8). Salah satu
komplikasi yang paling sering terjadi adalah encepalopati, yang mana dapat
terjadi akibat banyak faktor seperti edema serebral, perdarahan serebral,
hiponatremia, gagal hati, gagal ginjal, dan hipoksia serebral (Murthy, 2010).
3. Status Pencernaan
Beberapa gejala gangguan pencernaan dapat menjadi manifestasi klinis yang
mengarah pada DSS. Adapun gejala yang sering terjadi adalah mual, muntah,
anoreksia, nyeri abdomen, dan hepatomegali (Srivastava dkk., 1990). Di antara
gejala-gejala tersebut, mual/muntah dan nyeri abdomen merupakan dua
manifestasi klinis yang paling berkaitan dengan DSS (OR=1,43 CI 95%: 1,5-1,78)
(Huy dkk., 2013).
4. Tanda Perdarahan
Perdarahan gastrointestinal memiliki hubungan yang positif sebagai faktor
terjadinya DSS (OR=1,84 CI 95%: 1,42-2,39). Sementara itu, tanda adanya
perdarahan yang lain seperti hasil tes tourniquet yang positif, perdarahan pada
kulit, petekia, hematuria, dan hemoptisis dikatakan tidak memiliki hubungan yang
signifikan terhadap terjadinya DSS (Huy dkk., 2013)
5. Tanda Kebocoran Plasma
Kebocoran plasma dapat diindikasikan dengan mengetahui nilai hemokonsentrasi
pasien demam berdarah melalui pemeriksaan hematokrit. Adapun disebut terjadi
kebocoran plasma apabila terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
yang secara pemeriksaan laboratorium ditandai dengan peningkatan
hemokonsentrasi dan hematokrit sampai dengan 20% (Harisnal, 2012). Menurut
metaanalisis oleh Huy dkk., kadar hematokrit memiliki asosiasi positif terhadap
kejadian DSS, yang artinya semakin tinggi kadar HSS maka risiko terjadinya DSS
semakin tinggi pula.
Adanya tanda kebocoran plasma juga dapat ditandai dengan gejala efusi pleura,
ascites, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia. Tanda-tanda tersebut juga
berhubungan secara kuat terhadap terjadinya DSS (Huy dkk., 2013).
6. Manifestasi Hepatika
Demam berdarah dapat menyebabkan gangguan yang terjadi pada hepar. Gejala
yang terjadi dapat berupa hepatomegali, serta apabila didasarkan pada
pemeriksaan laboratorium adalah peningkatan serum aspartate transaminase
(AST) dan alanine transaminase (ALT). Penelitian oleh Putra dkk. membuktikan
bahwa kenaikan kadar AST dan ALT berkaitan dengan kejadian DSS pada anak
Mekanisme terjadinya DSS tersebut belum diketahui secara pasti. Namun
diperkirakan bahwa infeksi dengue dapat menyebabkan kerusakan sel hati akibat
efek sitopatik virus secara langsung, sehingga kematian sel akan menginduksi
sistem imunitas tubuh dan mengarah kepada DSS (Putra dkk., 2014).
7. Sel Darah
Jumlah sel darah sangat berperan terhadap kejadian DSS. Kadar trombosit dan
leukosit merupakan dua prediktor yang sering digunakan dalam mendeteksi risiko
terjadinya DSS. Kadar kedua komponen darah tersebut dapat diketahui melalui
pemeriksaan darah rutin. Secara umum, pada setiap kejadian demam berdarah
selalu ditemukan kadar trombosit yang rendah atau yang disebut dengan
trombositopenia. Penurunan jumlah trombosit tersebut dapat terjadi hingga <
100.000/mm3 (Harsinal, 2012). Jumlah trombosit memiliki asosiasi negatif
terhadap kejadian DSS, yang berarti semakin rendah kadar trombosit di dalam
darah maka semakin besar risiko terjadinya DSS (Huy dkk., 2013).
Seperti trombosit, adanya penurunan kadar leukosit atau leukopenia juga
ditemukan pada infeksi dengue dan berisiko terhadap kejadian DSS. Menurut
Gupta, dkk. (2011) dalam Harsinal (2012), jumlah leukosit yang < 4.000/mm3
merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian DSS.
8. Koagulator
Berdasarkan studi metaanalisis Huy dkk., koagulator memiliki asosiasi positif
terhadap kejadian DSS, yang berarti peningkatan prothrombin time (PT) dan
activated partial thromboplastin time (APTT) dapat meningkatkan risiko
terjadinya DSS. Kondisi ini sering terjadi pada infeksi dengue dan berkaitan
dengan menurunnya kadar trombosit di dalam darah (Huy dkk., 2013).
9. Faktor Virus
Virus dengue dapat dibagi menjadi empat serotipe, yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4. Di antara keempat serotipe virus dengue tersebut,
DENV-2 merupakan serotipe yang memiliki hubungan yang kuat dalam
terjadinya DSS dibandingkan dengan serotipe jenis lainnya (Huy dkk. 2013).
Sementara itu, studi lain menyebutkan bahwa infeksi virus yang dapat
menyebabkan komplikasi yang buruk adalah infeksi DENV-1, kemudian diikuti
oleh DENV-2 (Rajapakse, 2011).
Tantracheewathorn T, Tantracheewathorn S. 2007. Risk factors of dengue shock
syndrome in children. J Med Assoc Thai, 90(2): 272-7.
Anders KL, Nguyet NM, Chau NVV, Hung NT, et al. 2011. Epidemiological factors
associated with dengue shock syndrome and mortality in hospitalized dengue patients in
Ho Chi Minh City, Vietnam. Am J Trop Med Hyd, 84(1): 127-34.
Huy NT, Van Giang T, Thuy DHD, Kikuchi M, Hien TT, et al. 2013. Factors associated
with dengue shock syndrome: a systematic review and meta-analysis. PLOS Negl Trop
Dis, 7(9): e2412.
Harisnal. 2012. Faktor-faktor risiko kejadian dengue shock syndrome pada pasien demam
berdarah dengue di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmasin tahun 2010-
2012 [Tesis]. Denpasar: Universitas Indonesia.
Senanayake S. 2006. Dengue fever and dengue haemorrhagic fever: a diagnostic
challenge. Aust Fam Physician, 35(8): 609-12.
Hung NT, Lan NT, Lei H, Lin Y, Lien LB, et al. 2005. Association between sex,
nutritional status, severity of dengue hemorrhagic fever, and immune status in infants
with dengue hemorrhagic fever. Am J Trop Med Hyg, 72(4): 370-74.
Murthy JMK. 2010. Neurological complications of dengue infection. Neurol India, 58(4):
581-4.
Srivastava VK, Suri S, Bhasin A, Srivastava L, Bharadwaj M. 1990. An epidemic of
dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in Delhi: a clinical study. Ann
Trop Paediatr, 10(4): 329-34.
Putra Y, Arhana BNP, Safitri I, Widiana R. 2014. Serum transaminase levels and dengue
shock syndrome in children. Paediatr Indones, 54(3): 181-5
Rajapakse S. 2011. Dengue shock. J Emerg Trauma Shock, 4(1): 120-7.