FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

96
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN PASIEN DALAM MINUM OBAT ANTIHIPERTENSI DI PUSKESMAS PAMULANG KOTA TANGERANG SELATAN PROPINSI BANTEN TAHUN 2009 Nandang Tisna Ali Ami Jaya 105104003470 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M

description

faktor

Transcript of FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Page 1: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

TINGKAT KEPATUHAN PASIEN

DALAM MINUM OBAT ANTIHIPERTENSI DI PUSKESMAS PAMULANG

KOTA TANGERANG SELATAN PROPINSI BANTEN TAHUN 2009

Nandang Tisna Ali Ami Jaya

105104003470

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

Page 2: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN TINGKAT KEPATUHAN PASIEN

DALAM MINUM OBAT ANTIHIPERTENSI DI PUSKESMAS PAMULANG

KOTA TANGERANG SELATAN PROPINSI BANTEN TAHUN 2009

Nandang Tisna Ali Ami Jaya

105104003470

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H / 2009 M

Page 3: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kronik didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan

yang berkaitan dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan

penatalaksanaan jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2002). Berdasarkan data

WHO tahun 2005, Prevalensi penyakit kronik didunia mencapai 60% dari kasus

yang menyebabkan kematian. Presentase ini akan semakin meningkat dari tahun

ke tahun. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup,

mengkonsumsi makanan tinggi lemak, kolesterol, merokok dan stress yang tinggi

(Smeltzer & Bare, 2002). Diperkirakan pada tahun 2030 sekitar 150 juta orang

akan terkena penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2002). Di Indonesia pada tahun

2002 sekitar 61% orang meninggal dunia oleh penyakit kronik. Jenis penyakit

kronik yang menyebabkan kematian adalah penyakit kardiovaskuler, kanker,

penyakit paru obstruksi kronik, diabetes millitus, dan hipertensi (WHO, 2002).

Menurut Joint National Commitee on Prevention Detection, Evaluation, and

Treatment of High pressure VII, 2003; hipertensi adalah suatu keadaan seseorang

mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal, yaitu tekanan darah sistolik

≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.

Meningkatnya kejadian hipertensi cenderung terjadi pada orang dengan faktor

risiko; orang dengan usia diatas 18 tahun, jenis kelamin, orang yang memiliki

Page 4: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

riwayat keluarga dengan hipertensi, serta pada orang dengan gaya hidup yang

tidak sehat seperti merokok (Depkes, 2006) sedangkan menurut E Sualit, 1991,

faktor genetik, ciri individu (usia, jenis kelamin, ras) dan faktor lain seperti

masukan tinggi natrium, obesitas, dan stress.

Hipertensi mempunyai gejala umum yang di timbulkan seperti pusing, sakit

kepala, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang

(Soeparman, 2005). Menurut Departemen kesehatan tahun 2008, gejala yang

ditimbul hampir sama dengan peryataan Soeparman tahun 2005 seperti sakit

kepala, gelisah, jantung berdebar-debar, pusing, penglihatan kabur, dan mudah

lelah sedangkan di Puskesmas Pamulang gejala hipertensi yang sering timbul

seperti pusing, nyeri tengkuk, dan mual (nyeri ulu hati) (Data Puskesmas, 2009).

Gejala yang timbul pada penyakit hipertensi dapat di cegah dengan cara

menurunkan berat badan berlebih (obesitas), pembatasan asupan garam,

melakukan olah raga teratur, berhenti merokok dan minum obat secara teratur.

(Depkes, 2008).

Prevalensi penyakit hipertensi kian hari semakin mengkuatirkan, seperti yang

dilansir oleh The Lancet, di tahun 2000 sebanyak 26% atau sama dengan 927 juta

orang dewasa di dunia menderita hipertensi. Angka ini akan terus meningkat,

diperkirakan pada tahun 2025 sekitar 29% orang dewasa di seluruh dunia yang

menderita hipertensi. Berdasarkan laporan WHO tahun 2002 menyebutkan bahwa

hipertensi merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam morbiditas maupun

mortalitas di negara maju, seperti di Amerika, diperkirakan 50 juta orang

menderita hipertensi.

Page 5: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Departemen Kesehatan tahun 2007 melakukan survai tentang prevalensi

hipertensi berdasarkan hasil pengukuran, diagnosis tenaga kesehatan, riwayat

minum obat hipertensi di temukan; prevalensi hipertensi di Indonesia pada

penduduk usia diatas 18 tahun adalah sebesar (29,8%), prevalensi tertinggi di

Kalimantan selatan (39,6%) dan terrendah di Papua barat (20,1%). Hipertensi

yang di diagnosis oleh tenaga kesehatan hanya mencapai 24%, hipertensi dalam

masyarakat yang belum terdiagnosis (76,0%) sedangkan yang minum obat

hipertensi (0,4%). Di Jawa barat prevalensi hipertensi sebesar (29,3%), prevalensi

tertinggi di Tasikmalaya dan Karawang (43,1%), diagnosis oleh tenaga kesehatan

adalah (9,5%), sementara diagnosis dan atau riwayat minum obat hipertensi

adalah (9,9%) dan prevalensi hipertensi di provinsi Banten (27,6%), tertinggi

ditemukan di kabupaten Tangerang (10%), sedangkan terrendah di Kota

Tangerang (7%). Berdasarkan diagnosis dan atau riwayat minum obat hipertensi

adalah (9,4%) lebih tinggi dari angka nasional (7,6 %).

Data dinas kesehatan kabupaten Tangerang tahun 2007 didapatkan bahwa

hipertensi sebanyak 29.088 orang sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi

33.402 orang yang menderita hipertensi. Pada profil Puskesmas Pamulang tahun

2008 hipertensi termasuk kedalam 20 penyakit terbesar urutan ke 13 sebanyak

1.604 orang.

Hipertensi masih menjadi masalah dibanyak negara termasuk di Amerika

pasien hipertensi yang diobati sebanyak 59% dan yang terkontrol 34%.

Hasil laporan di Puskesmas pasien hipertensi di Indonesia yang periksa teratur

sebanyak 22,8%, sedangkan tidak teratur sebanyak 77,2%. Pada pasien hipertensi

Page 6: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

dengan riwayat kontrol tidak teratur, tekanan darah yang belum terkontrol

mencapai 91,7%. (Sja‟bani, 2008).

Ketidakpatuhan dengan program terapi merupakan masalah yang besar pada

pasien hipertensi. Menurut Hanns, 2008 menjelaskan bahwa diseluruh dunia

sekitar 20% dari semua pasien hipertensi yang di diagnosis untuk minum obat

yang diresepkan oleh dokter sedangkan menurut Departemen Kesehatan 2006,

hanya 50% pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak minum obat sesuai

anjuran tenaga kesehatan.

Ketidakpatuhan pada pasien hipertensi dengan minum obat antihipertensi

dapat menyababkan komplikasi pada penyakit hipertensi sehingga dapat

menyebabkan kerusakan organ meliputi otak, karena hipertensi yang tidak

terkontrol dapat meningkatkan risiko stroke kemudian kerusakan pada jantung,

hipertensi meningkatkan beban kerja jantung yang akan menyebabkan

pembesaran jantung sehingga meningkatkan risiko gagal jantung dan serangan

jantung. Selain kerusakan otak dan jantung karena kondisi hipertensi yang

memburuk, gagal ginjal juga merupakan risiko yang harus ditanggung pasien

hipertensi. Ditambah lagi kerusakan pada pembuluh darah di retina yang

berakibat pada gangguan penglihatan bahkan bisa mengalami kebutaan.

(Suhardjono, 2008).

Ketidakpatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi dipengaruhi oleh

beberapa faktor, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pujiyanto (2007)

di Puskesmas Beji kota Depok menunjukan umur, jenis kelamin, pekerjaan,

suku dan sosial ekonomi mempengaruhi kepatuhan minum obat antihipertensi.

Page 7: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Van der wal, Jaarsma dan Van

veldhusein (2005) terhadap faktor-faktor yang terkait dengan kepatuhan adalah

pengetahuan mengenai hipertensi, keyakinan mengenai manfaat dan kendala

dalam melaksanakan program pengobatan, faktor demografi (umur, jenis

kelamin, status menikah, tingkat pendidikan) dan kondisi klien (tingkat

keparahan penyakit dan gejala depresi yang muncul).

Berdasarkan data diatas bawah pasien hipertensi yang tidak minum obat

sesuai anjuran tenaga kesehatan sebesar 50% sehingga perlu adanya upaya

untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien hipertensi dengan terapi obat untuk

mencapai tekanan darah normal. Maka diperlukan peran tenaga kesehatan

dalam hal ini perawat komunitas mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam

pengendalian tekanan darah pasien hipertensi. Peran perawat komunitas di

Puskesmas salah satunya adalah memberikan pendidikan kesehatan untuk

menambah pengetahuan mengenai hipertensi, pemberi pelayanan kesehatan

kepada individu, keluarga atau masyarakat berupa asuhan keperawatan

(Depkes, 2006).

Studi pendahuluan dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat hipertensi

yang dilakukan pada tanggal 4 maret 2008 pada pasien yang berobat ke

Puskesmas Pamulang, pasien yang dilakukan wawancara berjumlah 10 orang.

Berdasarkan wawancara pada pasien yang tidak minum obat diantaranya;

mengatakan bosan minum obat terus-menerus dan tidak kunjung sembuh

penyakitnya, lupa meminum obat yang diberikan oleh petugas kesehatan, dan

tidak mempunyai uang untuk datang kembali ke Puskesmas setiap obat habis.

Page 8: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Berdasarkan data yang diuraikan diatas penulis tertarik untuk meneliti

faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum

obat antihipertensi dan belum menemukan penelitian tentang kepatuhan pasien

minum obat antihipertensi sehingga dengan dilakukan penelitian ini dapat

menjadi informasi yang cukup akurat bagi perawat primery health nursing dalam

menangani pasien hipertensi.

B. RUMUSAN MASALAH

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang umum terjadi pada penduduk

dewasa, karena bertambahnya usia dapat menyebabkan tejadinya kenaikan

tekanan darah. Hal ini dibuktikan dengan prevalensi hipertensi di provinsi Banten

27,6 %, tertinggi ditemukan di kabupaten Tangerang, sedangkan terrendah di

Kota Tangerang. Berdasarkan diagnosis dan atau riwayat minum obat hipertensi

adalah 9,4% lebih tinggi dari angka nasional (7,6 %). (Depkes, 2007).

Untuk menghindari terjadinya komplikasi yang dapat menyebabkan kematian

sehingga diperlukan adanya kepatuhan minum obat antihipertensi untuk

mencegah mortalitas dan morbiditas pada pasien hipertensi. (Depkes, 2006).

Melihat data pasien hipertensi yang diuraikan diatas menunjukan yang tidak

minum obat cukup tinggi sebesar 50%, maka peneliti ingin mengetahui faktor-

faktor apa saja yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum

obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan propinsi

Banten tahun 2009.

Page 9: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran faktor predisposisi; pendidikan, pekerjaan,

sosial ekonomi (pendapatan), usia, jenis kelamin dan Pengetahuan ?

2. Bagaimana gambaran faktor pemungkin; transportasi dan persepsi jarak?

3. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan propinsi

Banten tahun 2009?

4. Apakah ada hubungan antara faktor predisposisi dengan tingkat kepatuhan

pasien dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang

Kota Tangerang Selatan propinsi Banten tahun 2009?

5. Apakah ada hubungan antara faktor pemungkin dengan tingkat kepatuhan

pasien dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang

Kota Tangerang Selatan propinsi Banten tahun 2009?

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Tujuan Umum:

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang

Selatan propinsi Banten tahun 2009.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran faktor perdisposisi; pendidikan, pekerjaan, sosial

ekonomi (pendapatan), usia, jenis kelamin dan pengetahuan.

b. Diketahuinya gambaran faktor pemungkin; transportasi dan

persepsi jarak.

Page 10: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

c. Diketahuinya gambaran tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi.

d. Analisis hubungan faktor predisposisi dengan tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat antihipertensi.

e. Analisis hubungan faktor pemungkin dengan tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat antihipertensi.

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi tenaga kesehatan

untuk memperhatikan pasien hipertensi dengan minum obat antihipertensi

sehingga dapat mencegah komplikasi dan menurunkan mortalitas pada pasien

hipertensi.

2. Bagi Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi primery health nusing dalam

memberikan asuhan keperawatan pada keluarga dengan hipertensi.

3. Bagi Klien

a. Meningkatkan pengetahuan klien tentang penyakit hipertensi baik secara

pengobatan farmakologi maupun non farmakologi.

b. Meningkatkan kepatuhan klien dalam minum obat antihipertensi.

Page 11: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP HIPERTENSI

1. Pengertian hipertensi

Tekanan darah adalah kekuatan darah menekan dinding pembuluh darah.

Setiap kali berdetak (sekitar 60-70 kali per menit dalam keadaan istirahat),

jantung akan memompa darah melewati pembuluh darah. Tekanan terbesar

terjadi ketika jantung memompa darah (dalam keadaan kontriksi), dan ini

disebut dengan tekanan sistolik. Ketika jantung beristirahat (dalam keadaan

dilatasi), tekanan darah berkurang disebut tekanan darah diastolik

(Puspitorini, 2008). Tekanan darah tidak pernah konsisten, Kondisinya

berubah-ubah sepanjang hari, sesuai dengan situasi. Tekanan darah akan

meningkat dalam keadaan gembira, cemas, atau sewaktu melakukan aktifitas

fisik, setelah situasi ini berlalu, tekanan darah akan kembali normal. Apabila

tekanan darah tetap tinggi maka disebut tekanan darah tinggi atau hipertensi

(Hull, 1996).

Penyakit hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah

penyakit kronik akibat desakan darah yang berlebihan dan hampir tidak

konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika

memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan meningkatnya tekanan pada

arterial sistemik, baik diastolik maupun sistolik, atau kedua-duanya secara

terus menerus (Hull, 1996). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana

10

Page 12: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

tekanan darah seseorang adalah ≥ 140 mmHg (tekanan sistolik) dan atau ≥ 90

mmHg (tekanan diastolik) (Joint National Committee on Prevention

Detection, Evaluation, dan Treatment of High Pressure VII, 2003) sedangkan

menurut Smeltzer dan Bare, 2002 mendefinisikan hipertensi adalah tekanan

darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan

diastolik di atas 90 mmHg. Tekanan sistolik menunjukan fase darah yang

dipompa oleh jantung dan tekanan diastolik menunjukan fase darah kembali

ke dalam jantung (Depkes, 2006).

2. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi adalah suatu gangguan pada sistem peredaran darah yang

mengganggu kesehatan masyarakat. Umumnya, terjadi pada manusia yang

berusia (< 40 tahun). Namun banyak yang tidak menyadari bahwa mereka

menderita hipertensi akibat yang tidak nyata dan sering disebut silent killer.

Pada awal terkena penyakit hipertensi belum menimbulkan gangguan yang

serius. Sekitar 1,8% - 26,6% penduduk dewasa menderita penyakit hipertensi.

Berdasarkan penelitian Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001

menunjukkan proporsi hipertensi pada pria 27% dan perempuan 29%.

Sedangkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2004, hipertensi

pada pria 12,2% dan perempuan 15,5%.

Pada usia setengah baya dan muda, hipertensi ini lebih banyak menyerang

pria dari pada perempuan. Pada golongan usia 55-64 tahun, pasien hipertensi

pada pria dan perempuan sama banyak. Pada usia 65 tahun ke atas, pasien

hipertensi perempuan lebih banyak daripada pria (Depkes, 2008).

Page 13: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

3. Klasifikasi Hipertensi

Tekanan sistolik dan diastolik dapat bervariasi pada tingkat individu.

Namun disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah sama atau lebih

besar dari 140/90 mmHg adalah hipertensi. Hipertensi menurut WHO-ISH

tahun 1999 dan JNC, 2003 dapat dilihat pada tabel:

Tabel 2.1.

Klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH tahun 1999

Kategori Tekanan Sistolik

(mmHg)

Tekanan diastolik

(mmHg)

Optimal < 120 < 80

Normal < 130 < 85

Normal tinggi 130 – 139 85 – 89

Grade 1 hipertensi 140 – 159 90 – 99

Sub group:

borderline

140 – 149 90 – 94

Grade 2 hipertensi 160 – 179 100 – 109

Grade 3 hipertensi >180 ≥ 110

Isolated sistolik

hipertensi

≥ 140 < 90

Sub group:

Borderline

140 – 149 < 90

Tabel 2.2.

Klasifikasi menurut The joint National Committee on Detection,

Evaluation, and Treatment og High Blood Preassure (JNC-VI) 2003.

Kategori Tekanan Sistolik

(mmHg)

Tekanan diastolic

(mmHg)

Normal < 130 < 85

Normal tinggi 130 – 139 85 – 89

Hipertensi

Tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Tingkat 2 160 – 179 100 – 109

Tingkat 3 ≥ 180 ≥ 110

Page 14: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

4. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu :

a. Hipertensi primer.

Hipertensi primer merupakan tipe yang paling umum, yaitu hipertensi

yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopati (hipertensi tanpa kelainan

dasar patologi yang jelas). Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi

primer. Penyebabnya multifaktorial meliputi faktor genetik dan

lingkungan.

b. Hipertensi sekunder.

Jenis hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, antara lain

kelainan pada pembuluh darah ginjal, gangguan kelenjar tiroid

(Arif, 2005).

5. Faktor risiko Hipertensi dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Umur

Umur mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan

bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar

sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi,

yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di atas 65 tahun pada

usia lanjut. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan diastolik

sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan

ada tidaknya hipertensi. (Depkes, 2008).

Prevalensi hipertensi di Indonesia pada golongan umur di

bawah 40 tahun masih berada di bawah 10%, tetapi diatas umur 50

Page 15: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

tahun angka tersebut terus meningkat mencapai 20% hingga 30%,

sehingga ini sudah menjadi masalah serius untuk diperhatikan

(Depkes, 2002). Penelitian yang dilakukan di 6 Kota besar seperti

Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar

terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatakan prevalensi

hipertensi sebesar 52.5% (Kamso, 2000). (Depkes, 2008)

2) Jenis kelamin

Faktor jenis kelamin berpengaruh pada terjadinya hipertensi,

dimana pria lebih banyak menderita hipertensi di bandingkan

dengan perempuan, dengan rasio sekitar 2,29% untuk peningkatan

tekanan darah sistolik. Pria di duga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibandingkan

dengan perempuan. Namun, setelah memasuki menopause,

prevalensi hipertensi pada perempuan meningkat. Bahkan setelah

usia 65 tahun, terjadinya hipertensi pada perempuan lebih tinggi

dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal

karena pada wanita yang belum mengalami menopause dilindungi

hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar HDL.

Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung

dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Penelitian di

Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita

(Depkes, 2008)

Page 16: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

3) Keturunan (genetik)

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi

(faktor keturunan) yang mempertinggi risiko (esensial). Tentunya

faktor genetik ini juga dipengaruhi faktor-faktor lingkungan lain,

yang kemudian menyebabkan seseorang menderita hipertensi.

Faktor genetik juga berkaitan dengan metabolisme pengaturan

garam dan renin membran sel. Menurut Davidson bila kedua orang

tuanya menderita hipertensi maka sekitar 45% akan turun ke

anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya yang menderita

hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya.

(Depkes, 2008)

b. Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor risiko yang diakibatkan perilaku tidak sehat dari pasien

hipertensi antara lain:

1) Obesitas

Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak

yang di nyatakan dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu

perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan kuadrat

dalam meter (Caplan dan stamle, 1991) berkaitan erat antara

kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan

oleh beberapa studi. Berat badan dan indeks masa tubuh (IMT)

berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan

darah sistolik. Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi

Page 17: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

prevalaensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif

untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih

tinggi dibandingkan dengan orang yang badannya normal,

sedangkan pada pasien hipertensi ditemukan sekitar 20-33%

memiliki berat badan lebih (over weight). Penentuan obesitas pada

orang dewasa dapat dilakukan pengukuran berat badan ideal,

pengukuran persentase lemak tubuh dan pengukuran IMT.

Tabel 2.3

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Menurut WHO

Klasifikasi IMT ( kg/m2 )

Kurus tingkat berat < 16

Kurus tingkat ringan 16,00 - 16,99

Kurus ringan 17,00 - 18,40

Normal 18,50 – 24,99

Obesitas tingkat I 25,00 – 29,99

Obesitas tingkat II 30,00 - 39,99

Obesitas tingkat III 40

Sumber: WHO Exper Committee, 1996

2) Merokok

Merokok merupakan salah satu faktor risiko yang kuat untuk

terjadinya kematian akibat kardiovaskuler, dan penelitian telah

menunjukan bahwa penghentian merokok dapat mencegah

terjadinya penyakit kardiovaskuler seperti stroke dan infrak

miokard. Telah terbukti bahwa dengan mengkonsumsi satu batang

rokok dapat terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah

selama 15 menit. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar

Page 18: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

katekolamin dalam plasma, yang kemudian menstimulasi sistem

syaraf simpatik. (Sani, 2008)

3) Stress

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,

dendam, rasa takut, rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak

ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung

berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah

akan meningkat. Jika stress berlangsung lama, tubuh akan

berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul perubahan

patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau

penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi

pada kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan

dengan orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas

orang kulit hitam. Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan

oleh adanya transaksi antara individu dengan lingkungannya yang

mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan

antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologi, dan

sosial) yang ada pada diri seseorang (Damayanti, 2003)

Peningkatan darah akan lebih besar pada individu yang

mempunyai kecenderungan stress emosional yang tinggi

(Pinzon, 1999). Sedangkan dalam penelitian Framingham dalam

Yusida tahun 2001 bahwa bagi perempuan berusia 45-64 tahun,

sejumlah faktor psikososial seperti ketegangan, ketidakcocokan

Page 19: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, gejala ansietas dan

kemarahan yang terpendam didapatkan bahwa hal tersebut

berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. (Depkes, 2008)

4) Konsumsi Alkohol berlebihan

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah

dibuktikan. Peningkatan kadar kortisol, dan peningkatan volume

sel darah merah serta kekentalan darah berperan dalam menaikan

tekanan darah. Beberapa studi menunjukan hubungan langsung

antara tekanan darah dan asupan alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran

standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika, konsumsi

alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya

hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh

asupan alkohol yang berlebihan dikalangan pria separuh baya.

Akibatnya, kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan

hipertensi sekunder di kelompok ini. (Depkes, 2008).

5) Konsumsi garam berlebihan

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena

menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan

meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus

hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan tekanan darah

dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang

mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan

darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam

Page 20: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

sekitar 7-8 gram tekanan darah rata-rata lebih tinggi

(Depkes, 2008).

6. Manisfestasi Klinis

Tingginya tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala.

Bila demikian gejala baru muncul setelah terjadinya komplikasi pada ginjal,

mata, otak dan jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala,

marah, telinga berdengung, rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata

berkunang-kunang dan pusing (Arif, 2005).

7. Diagnosa hipertensi

Diagnosis hipertensi ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan yang sering

dialami, lama hipertensi, ukuran tekanan darah selama ini, riwayat pengobatan

dan kepatuhan berobat, gaya hidup, riwayat penyakit penyerta dan riwayat

keluarga. Pemeriksan fisik terdiri atas pengukuran tekanan darah dan

pemeriksaan umum sedangkan pemeriksaan penunjang seperti EKG. EKG

dilakukan untuk mengukur aktivitas elektronik jantung. Pengukuran tersebut

bermanfaat untuk memantau waktu yang diperlukan oleh gelombang

elektronik pada saat jantung bekerja dan memberikan informasi mengenai

beban kerja pada jantung (Arif, 2005, Depkes, 2006, Sani, 2008).

8. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE

memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah

Page 21: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh

hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.

Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi

angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam

menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah

meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH

diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk

mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat

sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi

pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi

aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang

memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan

ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

merabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan

diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler

yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

9. Komplikasi hipertensi

a. Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat

embolus yang terlepas dari pembuluh non-otak yang terkena tekanan

darah. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang

Page 22: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran

darah ke daerah-daerah yang dipendarahinya berkurang. Arteri-arteri otak

yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan

kemungkinan terbentuknya aneurisma (suatu dilatasi dinding arteri, akibat

kongenital atau perkembangan yang lemah pada dinding pembuluh).

b. Dapat terjadi infrak miokardium apabila arteri koroner yang aterosklerotik

tidak menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk

thrombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh tersebut.

c. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi

pada kapiler-kapiler ginjal, glomelurus. Dengan rusaknya glomelurus,

darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu

dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya

membran glomelurus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan

osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema.

d. Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi

maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi

pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan

mendorong cairan ke dalam ruang interstisium di seluruh susunan saraf

pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta

kematian (Corwin, 2001).

Page 23: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

10. Penatalaksanaan Hipertensi

a. Terapi Farmakologi

1) Diuretik

Obat-obatan jenis diuretik dengan cara mengeluarkan cairan tubuh

(lewat kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang

mengakibtkan daya pompa jantung menjadi ringan. Contoh

obat-obatan yang termasuk golongan diuretik adalah Hidroklorotiazid.

2) Penghambat simpatis

Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas saraf

simpatis (saraf yang bekerja pada saat kita beraktivitas). Contoh obat

yang termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah:

Metildopa, Klonidin dan Reserpin).

3) Betabloker

Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan

daya pompa jantung. Jenis beta bloker tidak dianjurkan pada pasien

yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma

bronkial. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan beta

bloker adalah: Metoprolol, Propanolol dan Atenolol.

4) Vasodilator

Obat golongn ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan

relaksasi otot polos (otot pembuluh darah). Yang termasuk dalam

golongan ini adala: Prasosion, Hidralasin.

5) Penghambat enzim konversi Angiotension

Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan

Angiotnsion II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah Catopril.

Page 24: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

6) Angiotension Kalsium

Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara

menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk

golongan obat ini adalah Nifedipin, Diltiasem, dan Verapamil.

7) Penghambat Reseptor Angiotension II

Cara kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat

angiotension II pada reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya

pompa jantung. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah

Valsartan (Diovan). (Depkes, 2008)

b. Terapi Non Farmakologi

1) Mengubah gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah dengan

menghindari faktor hipertensi yang berkaitan dengan mengurangi

makan-makan yang mengandung garam, makan buah-buahan segar

dan perilaku sehat dengan cara olahraga.

2) Penurunan berat badan karena kenaikan tekanan darah berkaitan

dengan peningkatan berat badan. Akumulasi lemak dalam tubuh dan

perut berkaitan erat dengan hipertensi, hiperipidemia, dan diabetes.

Berdasarkan penelitian dengan menurunkan berat badan terbukti dapat

menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi sampai tekanan

darahnya normal setelah 18 bulan, penurunan berat badan rata-rata pria

dan perempuan 4,7 kg dan 1,6 kg. Penurunan tekanan darah sistolik

dan diastolik ialah 3,2/2,8 mmhg.

3) Pengurangi asupan alkohol. Minum-minuman keras secara teratur

dapat meningkatkan tekanan darah, pengurangan asupan alkohol

Page 25: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

selama 1-4 minggu dapat menurunka tekanan darah sistolik dan

diastolik sebesar 5,0/3,0 mmHg (Depkes, 2008)

4) Peningkatan gerakan tubuh. Olahraga secara teratur dapat bermanfaat

untuk mencegah dan menanggualangi hipertensi. Orang yang tekanan

darahnya normal tetapi tdak melakukan aktivitas atau olahraga

mempunyai risiko 20-50% lebih tinggi terkena hipertensi dari pada

orang yang aktif. Olahraga dapat menurunkan tekanan darah sistolik

dan diastolik 5-10 mmHg (ITB-WHO, 2001).

5) Berhenti merokok karena berdasarkan penelitian menunjukan bahwa

penghentian merokok dapat mencegah terjadinya penyakit

kardiovaskuler seperti stroke dan infrak miokard. Telah terbukti bahwa

dengan mengkonsumsi satu batang rokok dapat terjadi peningkatan

denyut jantung dan tekanan darah selama 15 menit. Hal ini disebabkan

oleh peningkatan kadar katekolamin dalam plasma yang kemudian

menstimulasi saraf simpatik (aulia, 2008)

B. KEPATUHAN

1. Pengertian

Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari

dokter yang mengobatinya (Caplan dkk, 1997). Kepatuhan berasal dari kata

patuh yaitu suka menurut perintah, taat kepada perintah/aturan dan disiplin

yaitu ketaatan melakukan sesuatu yang dianjurkan atau yang ditetapkan

(kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Haynes (1997), kepatuhan adalah

secara sederhana sebagai perluasan perilaku individu yang berhubungan

Page 26: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

dengan minum obat, mengikuti diet dan merubah gaya hidup yang sesuai

dengan petunjuk medis.

Dalam beberapa penelitian (Dimatteo dan Dinicola, 1986; Thorne, 1990;

Kyngas, 1995 dalam Cameron 1999) di diskusikan bahwa faktor-faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor internal

dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi karakteristik penderita seperti

usia, latar belakang sosial, nilai, sikap dan emosi yang disebabkan oleh

penyakit. Faktor eksternal meliputi dampak pendidikan kesehatan, hubungan

antara penderita dengan petugas kesehatan dan dukungan dari keluarga,

petugas kesehatan dan teman sedangkan menurut Niven (2002) Faktor-faktor

yang berhubungan antara ketidakpatuhan dikelompokan menjadi 4 bagian

yaitu: pemahaman tentang instruksi; kualitas interaski; antara professional

kesehatan dan pasien; isolasi sosial dan keluarga serta keyakinan, sikap dan

kepribadian. Kepatuhan akan meningkat secara umum bila instruksi

pengobatan jelas, hubungan obat terhadap penyakit jelas, pengobatan yang

teratur serta adanya keyakinan bahwa kesehatannya akan pulih, petugas

kesehatan yang menyenangkan dan berwibawa, dukungan sosial pasien, efek

obat minimum, pengobatan sederhana, harga terjangkau, serta hubungan baik

antara petugas kesehatan dengan pasien (Dudley, D.L dalam Mardiana, 2004)

Shea et al. (1992) dalam Kyngas (1999) yang melakukan penelitian

tentang kepatuhan pasien dengan pengobatan melaporkan bahwa, kepatuhan

laki-laki lebih buruk dibandingkan perempuan. Penelitian juga melaporkan

Page 27: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

bahwa orang yang tidak bekerja kepatuhannya lebih buruk dari yang bekerja

(Carlberg, 1993, dan Lindquist ey al. 1997 dalam Kyngas).

Hubungan status ekonomi yang rendah terhadap ketidakpatuhan

dilaporkan dalam penelitian. Dua faktor yang memperlihatkan penurunan

kepatuhan akibat status ekonomi (Hellenbrandt, 1983). Pertama, seseorang

yang status ekonomi rendah memerlukan waktu yang lama untuk menunggu

sebelum dan selama ketetapan/pengobatan di klinik. Kedua, adanya kurang

konsisten dan berkelanjutan hubungan pasien dan dokter.

2. Cara Mengukur Kepatuhan

Beberapa ahli mengemukakan cara mengukur kepatuhan berobat antara

lain pengukuran kepatuhan berobat yang dinyatakan oleh Sacket, dkk (1985)

dan Sarafino (1990). Sacket, dkk (1985) menyatakan bahwa kepatuhan

berobat dapat diketahui melalui 7 cara yaitu: keputusan dokter yang

didasarkan pada hasil pemeriksaan, pengamatan terhadap jadwal pengobatan,

penilaian pada tujuan pengobatan, perhitungan jumlah tablet/pil pada akhir

pengobatan, pengukuran kadar obat dalam darah dan urin, wawancara pada

pasien dan pengisian formulir khusus.

Pernyataan Sarafino (1990) hampir sama dengan Sacket yaitu kepatuhan

berobat pasien dapat diketahui melalui tiga cara yaitu perhitungan sisa obat

secara manual, perhitungan sisa obat berdasarkan suatu alat elektronik serta

pengukuran berdasarkan biokimia (kadar obat) dalam darah/urin).

Page 28: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

C. Perilaku

1. Perilaku Kesehatan

Perilaku pada hakekatnya adalah suatu aktivitas manusia itu sendiri.

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap

stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, system pelayanan

kesehatan, makanan, serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia dapat

bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) dan sifat aktif yaitu tindakan

nyata (practice). Sedangkan stimulus terdiri dari 4 unsur pokok yaitu sakit

dan penyakit, system pelayanan kesehatan dan lingkungan (Notoatmodjo,

2003).

Karl dan Cobbs dalam Niven (2002) membuat perbedaan diantara tiga

macam perilaku kesehatan yaitu:

a. Perilaku kesehatan adalah suatu aktivitas dilakukan oleh individu yang

meyakini dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau

mendeteksinya dalam tahap asimptmatik.

b. Perlaku sakit adalah aktivitas apapun yang dilakukan oleh individu yang

merasa sakit untuk mendefinisikan keadaan kesehatannya dan untuk

menemukan pengobatan mandiri yang tepat.

c. Perilaku peran sakit adalah aktivitas yang dilakukan untuk tujuan

mendapatkan kesejahteraan oleh individu yang mempertimbangkan diri

mereka sendiri sakit. Hal ini mencakup seluruh rentang perilaku mandiri

dan menimbulkan beberapa derajat penyimpangan terhadap tugas

kebiasaan seseorang.

Page 29: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Menurut Green (1980), masalah kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor

yaitu faktor perilaku (Behavior cause) dan faktor nin perilaku (Non behavior

cause). Perilaku sendiri ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:

a. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing faktors), merupakan faktor

yang mendahului sebelum terjadinya suatu perilaku, yang menjelaskan

alasan dan motivasi untuk berperilaku tertentu. Yang termasuk dalam

faktor predisposisi adalah pengetahuan, keyakinan, nilai sikap dan

demografi.

b. Faktor-faktor Pemungkin (enabling faktors), agar terjadi suatu perilaku

tertentu diperlukan perilaku pemungkin suatu motivasi. Ketersediaan

sumber daya kesehatan, keterjangkauan sumber daya kesehatan,

keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan

c. Faktor-faktor Penguat (reinforcing faktors), merupakan faktor penyerta

perilaku yang memberiakan peran bagi menetapnya suatu perilaku.

keluarga, teman sebaya, guru, dan petugas kesehatan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku

a. Sikap

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek

tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang

bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik,

dan sebagainya.(Notoadmojo, 2005)

Menurut Niven (2002) sikap seseorang adalah komponen yang sangat

penting dalam perilaku kesehatannya, yang kemudian diasumsikan

Page 30: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

bahwa ada hubungan langsung antara sikap dan perilaku seseorang, Sikap

terbentuk dari tiga komponen utama yaitu:

1) Komponen afektif

Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu

pemilik sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang

dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan

(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang

kontroversial.

2) Komponen kongnitif

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek

emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai

komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap

pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang

komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki

seseorang terhadap sesuatu.

3) Komponen perilaku

Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai

dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau

kecenderungan untuk bertindak/bereaksi terhadap sesuatu dengan

cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan objek yang dihadapinya

adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah

dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.

Page 31: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

b. Persepsi

Menurut David Krech dalam Rugoyah (2003) persepsi adalah suatu

proses kognitif yang konkrit, yang menghasilkan suatu gambaran unik

tentang sesuatu yang barang kali sangat berbeda dengan kenyataan.

Persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh:

1) Frame of reference yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki, yang

diperoleh dari pendidikan, pengamatan, atau bacaan.

2) Filed of experience yaitu pengamalan yang telah dialami yang tidak

terlepas dari lingkungan sekitarnya

c. Pengetahuan

1) Pengertian Pengetahuan

Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu

dan terjadi melalui panca indera seseorang (penginderaan)

terhadap suatu obyek tertentu, yaitu melalui indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Oleh

karena itu pengetahuan merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya perilaku seseorang.

Page 32: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

2) Tingkat Pengetahuan

Ada 6 tingkatan pengetahuan yang dicakup dalam domain

kognitif, yakni:

a) Tahu (know)

Diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari

sebelumnya. Seperti mengingat kembali (recall) terhadap

sesuatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang telah

dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b) Memahami (comprehension)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c) Menerapkan (application)

Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah di pelajari pada kondisi yang sebenarnya.

d) Analysis (analisa)

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di

dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu

sama lainnya.

e) Sintesa (Synthesis)

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

Page 33: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis adalah

kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang ada.

f) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemempuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu obyek atau materi.

3) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a) Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun

orang lain.

b) Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan

seseorang.

c) Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan

tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini

bias mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan

itu sifatnya positif maupun negatif.

d) Fasilitas

Fasilitas-fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat

mempengaruhi pengetahuann seseorang, misalnya radio,

televisi, majalah, koran, dan buku.

Page 34: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

e) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap

pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan

cukup besar maka dia akan mampu untuk menyediakan atau

membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi.

f) Sosial Budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat

mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang

terhadap sesuatu.

4) Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan (Notoatmodjo, 2003) dapat dilakukan

dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi

materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.

Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur

dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas.

d. Dukungan Keluarga

Keluarga menurut Friedman (1998) merupakan kesatuan dari orang-

orang yang terkait dalam perkawinan, ada hubungan darah, atau adopsi

dan tinggal dalam satu rumah. Sedangkan menurut Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1992, keluarga adalah yang dibentuk berdasarkan atas

perkawinan yang syah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spriritual dan

material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki

Page 35: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

hubungan yang serasi, selaras dan seimbang antara anggota dan anatara

keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga

menemukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima

(Niven, 2002).

e. Keterjangkauan Tempat Pelayanan Kesehatan

Modifikasi perilaku sering kali memerlukan frekuensi kontak yang

sering antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan, dan ini akan

mengakibatkan mahalnya biaya dari segi waktu dan uang (Niven, 2002).

Pemanfaatan pelayanan sarana kesehatan berhubungan dengan tinggi

rendahnya pendapatan, besarnya permintaan akan pelayanan kesehatan

khususnya pada pelayanan kesehatan modern, biaya pelayanan berperan

dalam permintaan akan kebutuhan kesehatan, pada kelompok masyarakat

yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan masyarakat yang

berpendapatan tinggi, sulitnya pelayanan kesehatan yang dicapai secara

fisik sehingga menuntut banyak pengorbanan waktu yang akan berakibat

menurunkan permintaan (Mill dan Gilson dalam Saimi, 2006).

f. Dukungan Petugas Kesehatan

Penelitian DiNicola dan DiMatteo dalam Niven, 2002 tentang faktor-

faktor interpersonal yang mempengaruhi kepatuhan terhadap pengobatan

menunjukan sensitifitas dokter terhadap komunikasi verbal dan

Page 36: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

non verbal pasien akan menghasilkan suatu kepatuhan sehingga akan

menghasilkan kepuasan.

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga

masyarakat tidak sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan bias

melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan

(Azrul Anwar dalam Effendi, 1998).

Penyuluhan kesehatan adalah gabungan berbagai kegiatan dan

kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai

suatu keadaan, di mana individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat

secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya melakukan

apa yang keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya

melakukan apa bias dilakukan, secara perseorangan maupun secara

berkelompok dan meminta pertolongan bila perlu ( Depkes dalam

Effendi, Nasrul, 1998)

Pendidikan kesehatan adalah sejumlah pengalaman yang erpengaruh

secara menguntungkan terhadap kebiasaan, sikap, dan pengetahuan yang

ada hubungannya dengan kesehatan peroranga, masyarakat dan bangsa.

Kesemuanya ini dipersiapkan dalam rangka mempermudah diterimanya

secara sukarela perilaku yang akan meningkatkan atau memelihara

kesehatan (Wood dalam Effendi, 1998)

Page 37: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

g. Pendidikan

Pendidikan menurut kamus besar bahasa Indonesia bahwa pendidikan

merupakan proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang dalam

usaha mendewasakan diri manusia melalui upaya pengajaran dan latihan

sedangkan pendidikan secara umum adalah segala upaya yang

direncanakan untuk berhubungan antara orang lain, baik individu,

kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang

diharapkan oleh perilaku pendidikan.

Menurut Slamet tahun 1999, menyebutkan semakin tinggi tingkat

pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan

pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan

keluarganya. Dengan berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan

semakin bertambah dan semakin menyadari bahwa begitu penting

kesehatan bagi kehidupan sehingga termotivasi untuk melakukan

kunjungan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan

seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin

mudah pula mereka menerima informasi yang pada akhirnya makin

banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. sebaliknya jika pendidikan

rendah maka akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap

penerimaan, informasi, dan nilai-nilai yang baru di perkenalkan.

Page 38: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

h. Transfortasi dan Jarak

Semakin jauh jarak dari rumah pasien dari tempat pelayanan

kesehatan dan sulitnya transportasi maka, akan berhubungan antara

dengan keteraturan berobat (Sujudi 1996). Kurangnya sarana transportasi

merupakan kendala dalam mencapai pelayanan kesehatan

(Hartono, dkk 1999). Hal ini sependapat dengan Philipus (1997) yang

dikutip dari wahyu tahun 2003 bahwa transportasi merupakan salah satu

faktor yang berhubungan antara keteraturan berobat.

Goni (1981) yang dikutip dari wahyu 2002 menyebutkan bahwa faktor

jarak adalah suatu faktor penghambat untuk pemanfaatan pelayanan

kesehatan. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Green dan

Andersen dalam teori yang menyatakan bahwa transportasi termasuk

faktor pendukung untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, tersedianya

sarana transportasi akan memberi kemudahan dalam mendapatkan

pelayanan kesehatan. Hal ini menimbulkan bahwa adanya kemauan

memanfaatkan pelayanan kesehatan karena faktor kebutuhan terhadap

pelayanan kesehatan yang ditujukan oleh adanya rasa sakit baik secara

fisik maupun psikis yang dirasakan untuk upaya penyembuhan. Rapport

(1982) dalam Ismawati berpendapat bahwa pemanfaatan terhadap

pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh kebutuhan, pemanfaatanm yang

didapat bila memanfaatkan pelayanan kesehatan serta akses

keterjangkauan terhadap pelayanan tersebut.(Sorkin, 1997).

Page 39: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

I. Lansia

Angka harapan hidup manusia Indonesia semakin meningkat sejalan

dengan meningkatnya taraf hidup dan pelayanan kesehatan. Kondisi ini

membuat populasi orang berusia lanjut di Indonesia semakin tinggi.

Menurut laporan WHO tahun 1998 (Life in the 21 th

Century, A Vission

for All), angka harapan hidup Indonesia meningkat dari 65 tahun (1997)

menjadi 73 tahun (2025). Kondisi ini akan menempatkan Indonesia pada

urutan ke-3 yang memiliki populasi lanjut usia terbanyak di dunia pada

tahun 2020, setelah Cina dan India.

Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya yang

mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini

akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan termasuk

kesehatan. Oleh karena itu kesehatan lansia perlu mendapatkan perhatian

khusus dengan dapat dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin

dapat hidup produktif sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut

serta berperan aktif dalam pembangunan (Depkes RI, 1992 & UU No. 23

tahun.

Umumnya seseorang dianggap memasuki kelompok lanjut usia di

Indonesia terjadi pada usia 55 tahun, saat seseorang memasuki masa

pensiun sedangkan di Amerika Serikat, lansia diklasifikasikan sebagai

orang yang berusia 77 tahun, pra lansia antara 69-76 tahun dan dewasa

madya pada usia di bawah 68 tahun (Watkin, 1982). Sementara menurut

WHO 2002 diklasifikan sebagai usia pertengahan (middle age) antara

Page 40: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

45-59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old age)

antara 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) >90 tahun.

(Wirakusuma, 2000 & Nugraha, 2000).

D. Motivasi

1. Pengertian Motivasi

Motivasi adalah suatu konsep yang kita gunakan dalam diri kita

muncul keinginan atau merubah perilaku. Semakin tinggi motivasi semakin

tinggi intensitas perilaku. Motivasi tumbuh dari adanya suatu sumber yang

telah ada dalam diri manusia berupa energi itu harus di bangkitkan dan

diarahkan pada sasaran yang dituju (Asmawi,S 2000). Motivasi sebagai

interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan,

menurunkan dan mempertahankan perilaku (Notoatmodjo, 2005).

Fungsi Motivasi menurut Sardiman (2007), dibagi 3

a. Mendorong manusia untuk berbuat, dalam hal ini merupakan

penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

b. Menentukan arah perbuatan, yaitu ke arah tujuan yang hendak

dicapai, sehingga motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan

yang harus dikerjakan sesuai dengan tujuannya.

c. Menyeleksi perbuatan, yaitu menentukan perbuatan-perbuatan

apa yang harus dikerjakan untuk mencapai tujuan, dengan

menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi

tujuan tersebut.

Page 41: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

2. Teori Kebutuhan menurut Maslow

Lima tingkat kebutuhan Maslow :

a. Kebutuhan yang bersifat fisiologis

b. Kebutuhan akan rasa aman

c. Kebutuhan cinta dan memiliki dimiliki

d. Kebutuhan penghargaan

e. Kebutuhan aktualisasi diri (Alex, 2009).

E. KEPERAWATAN KOMUNITAS

1. Pengertian

Keperawatan komunitas adalah pelayanan keperawatan professional

yang ditunjukan pada masyarakat dengan penekanan kelompok risiko

tinggi dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal melalui

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemeliharaan dan

rehabilitasi dengan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang

dibutuhkan dan melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi (Community Health Nursing, 1999).

2. Peran perawat komunitas

a. Pemberi pelayanan kesehatan

Perawat Puskesmas dapat memberikan pelayanan kesehatan

kepada individu, keluarga, kelompok/masyarakat berupa asuhan

keperawatan secara utuh (holistic) dan komprehensif.

Page 42: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

b. Penemu kasus

Perawat Puskesmas berperan dalam mendeteksi dan menemukan

kasus serta melakukan penelusuran terjadi penyakit. Temuan kasus

dapat dilakukan dengan mencari langsung di masyarakat

(active case finding) atau pada saat pasien berkunjung ke pelayanan

kesehatan (passive case finding).

c. Pendidik/Penyuluhan Keperawatan

Sebagai pendidik kesehatan, perawat Puskesmas mampu: mengkaji

kebutuhan pasien; mengajarkan agar peningkatan kesehatan pasien,

kepada individu, keluarga, masyarakat, pemulihan kesehatan dari

suatu penyakit, menyusun program penyuluhan/pendidikan. Perawat

komunitas dapat memberikan pendidikan kesehatan tentang

pengendalian tekanan darah serta bahaya tidak minum obat

antihipertensi kepada pasien yang mempuyai penyakit hipertensi.

d. Koordinator, Kolaborator, Penghubung

Perawat komunitas melakukan koordinasi dengan semua

pelayanan kesehatan yang diterima oleh keluarga dari berbagai

program, dan bekerja sama (kolaborasi) dengan tenaga kesehatan lain

dan atau keluarga dalam perencanaan pelayanan keperawatan serta

sebagai penghubung dengan institusi pelayanan kesehatan lainnya.

Perawat komunitas dapat bekerja sama dengan instansi lain.

Page 43: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

e. Konselor

Sebagai konselor perawat melaksanakan konseling keperawatan

untuk pemecahan masalah secara efektif. Pemberian konseling dapat

dilakukan di klinik Puskesmas, Puskesmas pembantu, rumah pasien,

posyandu dan tatanana pelayanan kesehatan lainnya dengan

melibatkan individu, keluarga, kelompok, masyarakat. Kegiatan yang

dapat dilakukan perawat Puskesmas antara lain menyediakan

informasi, menjadi pendengar yang baik, memberi dukungan, memberi

asuhan dan menolong pasien mengindentifikasi masalah.

f. Model Peran (role Model)

Role model yang dimaksudkan bahwa perilaku hidupnya dalam

bidang kesehatan, baik dalam tingkat pencegahan primer, sekunder

dan tersier dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menjadi

contoh bagi masyarakat seperti perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS) diantaranya menjaga tubuh yang sehat baik fisik maupun

mental seperti makanan bergizi, menjaga berat badan ideal, olahraga

secara secara teratur, tidak merokok dan lain-lain. (Depkes, 2006)

F. PENELITIAN TERKAIT

Peneliti sampai saat ini belum menemukan penelitian yang sama dengan topik

penelitian yang dilakukan tetapi peneliti menemukan penelitian yang berkaitan

dengan topik yang akan diteliti.

Safrudin (2009) melakukan penelitian yang berjudul “ Faktor- faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan lansia hipertensi dalam melanjutkan pengobatan

Page 44: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

hipertensi secara rutin di PTSW Budhi mulya 03 Ciracas Jakarta Timur” dengan

jumlah sample 42 responden berdasarkan penelitian menunjukan tingkat

kepatuhan melanjutkan pengobatan hipertensi secara rutin sebanyak 22 lansia

(78,6%). Pengetahuan yang kurang baik dan patuh melanjutkan pengobatan

hipertensi secara rutin sebanyak 6 lansia (21,4%) dan responden dengan

pengetahuan baik dan patuh melanjutkan pengobatan secara rutin sebanyak 8

lanisa (57,1%). Berdasarkan pengujian menggunakan statistik Chi-Square

membuktikan perbedaan proporsi tersebut bermakna atau ada hubungan antara

pengetahuan dengan kepatuhan lansia dalam melanjutkan pengobatan secara

rutin/teratur.

Nunik K, dkk (2005) melakukan penelitian yang berjudul “ kepatuhan pasien

berobat hipertensi Hypertension Patien‟s Therapy Obidience di depok” dengan

jumlah sample 277 responden berdasarkan penelitian menunjukan keteraturan

berobat pada pasien hipertensi menunjukan bahwa yang teratur minum obat

sebesar (0.3%), cukup teratur minum obat (0,068 %), kurang teratur minum obat

(0,198) dan tidak teratur minum obat antihipertensi (0,435%). Desain yang

digunakan pada penelitian adalah cros sectional dan jenis penelitian dilakuan

secara kuantitatif dan kualitatif.

Page 45: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

G. KERANGKA TEORI

Berdasarkan modifikasi teori Lawrence W. Green, W. Kreuter (2005), dan

Departemen Kesehatan (2008) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi, maka

terbentuklah kerangka teori seperti gambar 2.5

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Modifikasi Teori Lawrence W. Green, W. Kreuter (2005), dan

Departemn kesehatan (2008)

Umur, jenis kelamin,

sosioekonomi, pendidikan,

Faktor predisposisi

- Pengetahuan

- Nilai

- Sikap

- kepercayaan

Faktor pemungkin

- Ketersediaan sumber

daya kesehaan

- Keterjangkauan sumber

daya kesehatan

- Keterampilan petugas

kesehatan

Tingkat kepatuhan

pasien dalam minum

obat antihipertensi

Faktor pendorong

- Sikap dan perilaku

petugas kesehatan

- Kelompok atau teman

sebaya

- Orang tua, pekerja, dll

Page 46: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel dependen

Gambar 3.1. Kerangka Konsep

Faktor predisposisi:

- Pendidikan

- Pekerjaan

- Sosial ekonomi

(pendapatan)

- Jenis kelamin

- Umur

- Pengetahuan

Tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat

antihipertensi

Faktor pemungkin:

- Transportasi

- Persepsi jarak

44

Page 47: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Berdasarkan kerangka konsep tersebut, Setiap konsep mempunyai variabel

sebagai indikasi pengukuran digambarkan pada 3 konsep utama, yaitu faktor

predisposisi yang terdiri dari; pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi

(pendapatan), jenis kelamin usia, pengetahuan; faktor pemungkin: transportasi,

persepsi jarak dan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi

sebagai variabel dependen (variabel tergantung).

B. HIPOTESIS

1. Ada hubungan antara pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

2. Ada hubungan antara pekerjaan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

3. Ada hubungan antara sosial ekonomi (pendapatan) dengan tingkat kepatuhan

pasien dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

4. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

5. Ada hubungan antara usia dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum

obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

6. Ada hubungan antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

7. Ada hubungan antara transportasi dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

8. Ada hubungan antara persepsi jarak dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang.

Page 48: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

C. Definisi Operasional

Tabel 3.2. Definisi operasional

No Variabel Definisi operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

pengukuran

1.

Tingkat

Kepatuhan

minum obat

antihipertensi

Derajat dimana pasien

hipertensi mengikuti

anjuran klinis dari dokter

yang mengobatinya untuk

mengkonsumsi obat

hipertensi

(Caplan, 1997)

Derajat kepatuhan adalah

tingkat kepatuhan dimana

pasien hipertensi patuh

minum obat antihipertensi

dikatakan patuh bila

disiplin minum obat

sesuai anjuran

petugas kesehatan dan

tidak minum obat lain

selain obat dr PK dan

sebaliknya.

Kepatuhan yang di ukur

dengan observasi nama

obat, dosis obat, jumlah

obat, instruksi dokter dan

sisa obat.

observasi

Lembar

Observasi

1. Patuh

Jika pasien disiplin

minum obat sesuai

anjuran tenaga

kesehatan

2. Tidak patuh

Jika pasien tidak

disiplin minum obat

sesuai anjuran

tenaga kesehatan

.

Ordinal

2. Pendidikan Pendidikan adalah tingkat

pendidikan formal yang

telah diselesaikan oleh

responden.

Angket Kuesioner

No.: A 5

1. Dasar

(tidak sekolah

SD- SMP)

2. Menengah Atas

(SMA – PT)

(Depdiknas 2008)

Ordinal

No Variabel Definisi operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil ukur Skala

pengukuran

3. Pekerjaan Pekerjaan responden Angket Kuesioner 1. Bekerja Nominal

Page 49: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

dalam kegiatan setiap hari

dalam kehidupannya

untuk mendapatkan

uang/mencari nafkah.

No.: A 6 2. Tidak bekerja

4. Sosial

ekonomi

(pendapatan)

Pendapatan responden

atau keluarga secara rutin

dalam satu bulan baik

diperoleh dari pekerjaan,

pensiunan, pemberian

keluarga dan tinggal

dengan anggota keluarga

Angket Kuesioner

No.: A 7

1. Ekonomi

menengah ke atas:

≥ Rp. 1.500.000,-

per bulan

2. Ekonomi

menengah ke bawah

≤ Rp. 1.500.000,-

per bulan.

(BPS, 2007)

Ordinal

5. Usia Usia responden dengan

ulang tahun terakhir

Angket Kuesioner

No.: A 2

1. Lansia

(> 60 tahun)

2. Tidak Lansia

(< 60 tahun)

(WHO, 2002)

Ordinal

6. Jenis

kelamin

Pengakuan responden

berdasarkan jenis kelamin

Angket

Kuesioner

No : A 3

1. Laki-laki

2. Perempuan

Nominal

7. Transportasi Adanya sarana

transportasi dari rumah

tempat tinggal ke

Puskesmas.

Angket Kuesioner

No : B 1-3

1. Ada

2. Tidak ada

Ordinal

No Variabel Definisi operasional Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala

8. Persepsi

Jarak

Persepsi jarak dari rumah

ke tempat pelayanan

kesehatan yang

menggambarkan jarak ke

Puskesmas.

Angket No : C 1-2 1. Dekat

2. Jauh

Ordinal

Page 50: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

9.

Pengetahuan Merupakan suatu

pemahaman pasien

dengan informasi

mengenai hipertensi

tentang pengertian, gejala,

komplikasi, faktor risiko,

diit hipertensi, dan minum

obat hipertensi.

Angket Kuesioner

Petunjuk 2

No.: 1-10.

0. Kurang =

bila didapat

score ≤ 55%

1. Cukup = bila

didapat score

56-75%

2. Baik =

didapat score

76-100 %

(Arikunto, 1998)

Ordinal

Page 51: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang akan digunakan

dalam melakukan prosedur penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif, dalam penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan

rancangan deskriftif dengan metode penelitian cross-sectional. Penelitian

cross-sectional adalah jenis penelitian yang menekankan pada waktu

pengukuran/observasi data variabel independent dan dependent hanya satu

kali, pada satu saat. Pada jenis ini variabel independent dan dependent dinilai

secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada follow up. Tentunya tidak semua

subjek penelitian harus di observasi pada hari atau pada waktu yang sama,

akan tetapi baik variabel independent maupun variabel dependent di nilai

hanya satu kali saja. Dengan studi ini akan diperoleh prevalensi atau efek

suatu fenomena (variabel dependent) dihubungkan dengan penyebab (variabel

independent) (Nursalam,2003).

B. Lokasi dan waktu penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Pamulang jalan Surya Kencana

no 1 kecamatan Pamulang Kota Tangerang selatan propinsi Banten 2009.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 10 Agustus – 10 Oktober 2009

49

Page 52: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik yang di tetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan.

Peneliti menggunakan beberapa kriteria inklusi pada populasi yang

menjadi responden dalam penelitian ini:

Kriteria inklusi:

a. Bersedia menjadi responden

b. Mempunyai penyakit hipertensi

c. Responden yang diberikan obat antihipertensi oleh petugas

kesehatan Puskesmas Pamulang

d. Responden yang berobat di Puskesmas Pamulang

2. Sampel

Penentuan sampel menggunakan metode probability sampling

yaitu setiap individu, populasi memiliki kesempatan yang sama, untuk

terpilih menjadi sampel yang bertujuan untuk generalisasi

(Notoatmodjo, 2008). Perhitungan besar sampel dilakukan dengan

menggunakan uji hipotesis beda dua proporsi. Penelitian menggunakan

rumus berdasarkan perhitungan simplesize Lameshow WHO:

Page 53: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

n =

2

21

221111 11122/

ZaZ

Keterangan :

n = Besar sampel minimum

Z1- a/2 = kepercayaan 95% (1,96) dan tingkat kesalahan (α) 5%

Z1-β = 0, 84 (kekuatan uji sebesar 80 %)

P1 = 0,3 (Proporsi distribusi hipertensi menurut keteraturan berobat

Menurut Nunik, dkk)

P2 = P1 + 30% (0,3 + 0,3) = 0,6.

P = (P1 + P2) / 2

N = 42 Orang

Penelitian ini menggunakan uji beda dua proporsi maka jumlah sampel

dikalikan dua, sehingga sampel yang terpilih sebanyak 84 orang. Untuk

menghindari terjadinya non respon, maka sampel yang diambil sebanyak

84 orang ditambah 10% sehingga jumlah sampel penelitian menjadi 92

orang.

D. Teknik pengambilan sampel

Teknik sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang

dibutuhkan dalam penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel

akan mewakili keseluruhan populasi yang ada (Hidayat 2008). Teknik

pengambilan sampel menggunakan sistematik sampling dengan cara

pemberian nomor urut ganjil pada pasien yang datang untuk berobat ke

Page 54: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Puskesmas Pamulang. Pemberian nomor ganjil diperoleh dari jumlah pasien

hipertensi yang datang berobat ke Puskesmas dari bulan Januari-Agustus 2009

didapat data terbanyak pada bulan Februari sebanyak 137 orang sehingga

perhitungannya 137 : 92 = 1,48 jadi peneliti membulatkan jadi 1.

E. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada skripsi ini dilakukan dengan beberapa teknik.

Teknik yang peneliti pakai dalam pengumpulan data menggunakan angket

(kuesioner) dan observasi.

1. Angket (kuesioner) pengetahuan yang digunakan berupa pertanyaan

dengan menjawab Benar Salah yang dibuat sesuai tujuan penelitian,

sehingga responden hanya tinggal memilih pada jawaban yang sudah ada

dengan memberikan tanda silang ( X ) pada kolom yang tersedia.

2. Observasi dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan langsung dengan

datang ke rumah responden pada pasien hipertensi dengan melihat nama

obat, dosis obat, jumlah obat, instruksi dokter, dan sisa obat.

3. Penilaian kuesioner tentang pengetahuan menggunakan Skala Guttman.

Apabila skor „benar‟ nilainya 1 dan jika „salah‟ nilainya 0.

F. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Pengumpulan data primer dilakukan wawancara langsung oleh peneliti di

Puskesmas dan di tempat pasien hipertensi dengan menggunakan kuesioner

dan lembar observasi yang terstruktur berdasarkan varibel yang meliputi

identitas responden sebanyak 8 pertanyaan, jarak dari rumah ke tempat

Page 55: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

pelayanan kesehatan 1 pertanyaan, transportasi 2 pertanyaan, pengetahuan

sebanyak 10 pertanyaan dan kepatuhan minum obat antihipertensi

menggunakan lembar observasi yang terdiri dari identitas pasien (nama, umur,

jenis kelamin, tanggal berobat dan tgl kunjungan responden). Tabel observasi

yang terdiri dari no, nama obat, dosis obat, jumlah obat, instruksi dokter dan

sisa obat. Sedangkan data sekunder di dapatkan dari Puskesmas melalui buku

register pasien hipertensi sebagai data dasar dalam menentukan sasaran pasien

yang diwawancara. Namun seiring peneliti mendapatkan hambatan tidak

lengkapnya alamat pasien dan ketidaksesuaian antara alamat yang ditulis

dengan tempat tinggal pasien

1. Uji validitas dan reliabilitas

Sebelum dipergunakan dalam penelitian dilakukan uji coba instrument

pada tanggal 28 Juli – 8 Agustus 2009 pada 30 responden yang diberikan

obat antihipertensi oleh petugas kesehatan dan berobat di Puskesmas

Ciputat. Alasan pemilihan tempat tersebut adalah Puskesmas Ciputat

memiliki karakteristik yang sama dengan Puskesmas Pamulang, lokasi

antara puskemas tidak jauh dan dekat dengan rumah peneliti. Hasil uji

validitas dan reliabilitas instrument pengetahuan diperoleh alpha = 0,265

(r tabel 0,367) dari 10 pertanyaan pengetahuan tidak ada yang valid karena

hasil r hitung < r tabel dan reliabel nilai alpha < 0,7 (Djemari, 2003).

Pertanyaan yang tidak valid dilakukan validitas isi dengan cara:

memperbaiki pertanyaan yang tidak jelas dengan membuat kalimat yang

singkat dan jelas sesuai dengan isi atau makna pertanyaan, validitas isi

Page 56: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

dengan berkonsultasi kepada pembimbing dan membaca

literature/kepustakaan.

2. Tahapan Penelitian

a. Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti meliputi mengajukan

surat permohonan ijin penelitian kepada institusi pendidikan sebagai

landasan permohonan mengadakan penelitian di Puskesmas Pamulang

yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan penelitian

b. Selanjutnya penelitian dilanjutkan di Puskesmas, setelah peneliti

memperoleh ijin dari pihak Puskesmas Pamulang.

c. Peneliti melakukan pendekatan pada masing-masing responden yang

memenuhi kriteria sampel dan untuk memperoleh kesediaannya

menjadi responden penelitian.

d. Responden memberikan kesediaannya menjadi subyek penelitian

setelah mendapat penjelasan mengenai tujuan penelitian, keuntungan

penelitian, dan cara pengisian kuesioner.

e. Jika calon responden setuju untuk ikut serta dalam penelitian ini harus

menandatangani lembar persetujuan (informed consent) dengan tanpa

paksaan. Peneliti akan menunggu responden sampai responden selesai

mengisi lembar kuesioner.

f. Sebelum kuesioner dikumpulkan, responden dipersilahkan untuk

memeriksa kembali apakah lembar kuesioner yang sudah diisi sesuai

dengan petunjuk. Jika ada pertanyaan yang sulit dipahami, maka

peneliti akan menjelaskan kembali maksud pertanyaan tersebut.

Page 57: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

G. Pengolahan Data

Proses pengolahan data penelitian menggunakan langkah-langkah sebagai

berikut:

1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) dengan data

yang terdiri atas beberapa kategorik. Pemberian kode ini sangat penting

bila pengolahan dan analisa data menggunakan komputer.

3. Entry Data

Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan

kedalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat

distribusi frekuensi sederhana.

4. Cleaning Data

Cleaning data merupakan kegiatan memeriksa kembali data yang sudah

dientri, apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan mungkin terjadi pada

saat meng-entry data ke komputer.

Page 58: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

H. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan mengunakan computer, meliputi :

1. Analisa univariat

Analisa univariat dilakukan secara diskripsi secara deskriftif, yaitu

menampilkan tabel frekuensi tentang faktor predisposisi sebagai variabel

dalam penelitian ini berdasarkan faktor predisposisi; pendidikan,

pekerjaan, sosial ekonomi (pendapatan), jenis kelamin, usia dan

pengetahuan, Pemungkin yang meliputi transportasi, dan persepsi jarak.

2. Analisa bivariat

Analisa bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen

dan independen yaitu faktor predisposisi; pendidikan, pekerjaan, sosial

ekonomi, jenis kelamin, usia dan pengetahuan, pemungkin yang meliputi

transportasi, dan persepsi jarak di Puskesmas Pamulang kota Tangerang

Selatan. Teknik analisis yang dilakukan yaitu dengan Chi-Squre dengan

menggunakan derajat kepercayaan 95% dengan α 5%, sehingga jika nilai

P (p value) < 0.05 berarti hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan)

atau menunjukan ada hubungan antara variabel dependen dengan variabel

independen, dan apabila nilai p value > 0,05 berarti hasil perhitungan

statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel dependen

dengan variabel independen.

Page 59: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

I. ETIKA PENELITIAN

1. Prinsip-prinsip Etika Penelitian

Penelitian yang dilakukan khususnya jika yang menjadi subyek

penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar

manusia. Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya,

sehingga peneliti yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi

kebebasan manusia. Beberapa prinsip penelitian pada manusia yang harus

dipahami antara lain:

a. Prinsip Manfaat

Prinsip aspek maka segala bentuk manfaat adalah segala bantuk

penelitian yang dilakukan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan manusia. Prinsip ini dapat ditegakkan dengan

membebaskan, tidak memberikan atau menimbulkan kekerasan pada

manusia, tidak menjadikan manusia untuk dieksploitasi. Penelitian

yang dihasilkan dapat memberikan manfaat dan mempertimbangkan

antara aspek risiko dengan aspek manfaat, bila penelitian yang

dilakukan dapat mengalami dilema etik.

b. Prinsip Menghormati Manusia

Manusia mempunyai hak dan merupakan makhluk yang mulia

yang harus di hormati, karena manusia berhak untuk menentukan

pilihan antara mau dan tidak menjadi subyek penelitian.

Page 60: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

c. Prinsip Keadilan

Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia

dengan menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak

menjaga privasi manusia dan tidak berpihak dalam perlakuan dengan

manusia.

2. Masalah Etika Penelitian

Masalah etika penelitian merupakan masalah yang sangat penting

dalam penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan

manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Masalah etika

yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut:

a. Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan

dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Tujuan informed consent adalah agar subyek mengerti maksud dan

tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden

tidak bersedia, maka peneliti harus ada dalam informed consent

tersebut antara lain: partisipasi anak, tujuan dilakukan tindakan, jenis

data yang dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial

masalah yang akan terjadi, kerahasiaan, informasi yang mudah

dihubungi, dan lain-lain.

Page 61: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

b. Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah etika kepeJurangtan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat

ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau

hasil penelitian yang akan disajikan.

c. Confidentiality (Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainya. Informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh

peneliti, hanya kelompok data tersusun yang akan dilaporkan pada

hasil riset.

Page 62: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB V

HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan menyajikan data hasil penelitian faktor predisposisi

(pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi (pendapatan), usia, jenis kelamin,

pengetahuan) dan faktor pemungkin (transportasi dan persepsi jarak) pasien yang

minum obat anthipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan propinsi

Banten tahun 2009, yang berjumlah 92 orang. Penelitian ini dengan menyebarkan

kuesioner kepada responden. Hasil dari pengumpulan data ini disajikan dalam bentuk

tabel yang terdiri dari hasil univariat dan bivariat, analisis univariat akan dilakukan

untuk mendeskripsikan masing-masing variabel dengan menggunakan distribusi

frekuensi dengan ukuran presentase sedangkan bivariat akan dilakukan untuk melihat

adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel terkait.

A. Analisis Univariat

1. Faktor predisposisi

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh mengenai faktor predisposisi

(pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi (pendapatan), usia, jenis kelamin

dan pengetahuan) tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi.

Page 63: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

a. Tingkat Pendidikan

Tabel 5.1.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat

Pendidikan di Puskesmas Pamulang KotaTangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n= 92)

No Pendidikan Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Dasar 53 57,6

2 Menengah atas 39 42,4

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.1, terlihat bahwa sebagian besar responden

berpendidikan rendah lebih banyak (57,6%) dibandingkan yang

berpendidikan menengah atas (42,4%).

b. Jenis Pekerjaan

Tabel 5.2.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n= 92)

No Pekerjaan Jumlah

(n)

Persentase

(%)

1 Bekerja 36 39,1

2 Tidak Bekerja 56 60,9

Total 92 100

60

Page 64: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Berdasarkan tabel 5.2, terlihat bahwa sebagian besar responden

tidak Bekerja lebih banyak (60,9%) dibandingkan yang bekerja

(39,1%).

c. Sosial ekonomi (Pendapatan)

Tabel 5.3.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi

(Pendapatan) di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n= 92)

No Pendapatan per Bulan Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 > 1.500.000 18 19,6

2 < 1.500.000 74 80.4

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.3, terlihat bahwa sebagian besar responden

memiliki pendapatan kurang dari Rp 1.500.000,- lebih banyak (80,4%)

dibandingkan pendapatan lebih dari Rp 1.500.000,- (19,6%).

d. Usia

Tabel 5.4.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n=92)

No Usia Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Tidak Lansia (< 60 tahun) 60 65,2

Page 65: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

2 Lansia (> 60 tahun) 32 34,8

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.4, terlihat bahwa sebagian besar usia

responden tidak lansia ( < 60 tahun) lebih banyak (65,2%)

dibandingkan dengan usia lansia (34,8%).

e. Jenis Kelamin

Tabel 5.5.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n = 92)

No Jenis Kelamin Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Laki-laki 40 43,5

2 Perempuan 52 56,5

Total 92 100

Tabel 5.5, terlihat bahwa sebagian besar responden berjenis

kelamin perempuan lebih banyak (56.5%) dibandingkan Laki-laki

(43,5%).

f. Pengetahuan tentang Hipertensi

Tabel .5.6.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Bantentahun 2009 (n = 92)

No Pengetahuan Jumlah Presentase

Page 66: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

(n) (%)

1 Kurang 8 8,7

2 Cukup 25 27,2

3 Baik 59 64,1

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.6, terlihat bahwa sebagian besar responden

dengan pengetahuan baik (64,1%).

2. Faktor Pemungkin

a. Transportasi

Tabel 5.7.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Transportasi

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n =92)

No Transportasi Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Tersedia 81 88

2 Tidak tersedia 11 12

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.7, terlihat bahwa sebagian besar responden

tersedia alat transportasi (81%) dibandingkan dengan responden yang

tidak tersedia transportasi (12%).

b. Persepsi Jarak Rumah ke Puskesmas

Page 67: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Tabel 5.8.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Jarak

di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan

Propinsi Banten tahun 2009 (n =92)

No Persepsi Jarak rumah

ke Puskesmas

Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Jauh 16 17,4

2 Dekat 76 82,6

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.8, terlihat bahwa sebagian besar responden

berpersepsi jarak rumah ke Puskesmas dekat lebih banyak (82,6%)

dibandingkan dengan persepsi jarak rumah ke Puskesmas jauh

(17,4%).

3. Tingkat Kepatuhan

Tabel 5.9.

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Kepatuhan di

Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan Propinsi Banten

tahun 2009 (n= 92)

No Tingkat Kepatuhan Jumlah

(n)

Presentase

(%)

1 Patuh 77 83,7

2 Tidak Patuh 15 16,3

Total 92 100

Berdasarkan tabel 5.9, terlihat sebagian besar responden patuh

minum obat antihipertensi lebih banyak (83,7%) dibandingkan dengan

yang tidak patuh (16,3%).

B. Analisis Bivariat

Page 68: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Analisa bivariat dalam penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan tingkat kepatuhan yaitu faktor predisposisi (pendidikan,

pekerjaan, sosial ekonomi (pendapatan), usia, jenis kelamin dan pengetahuan) dan

faktor pemungkin (transportasi dan persepsi jarak) dengan tingkat kepatuhan

dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang selatan

Banten 2009, analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chi Square,

diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Hubungan pendidikan dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.10.

Analisis Hubungan Antara Pendidikan Dengan Tingkat Kepatuhan

Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan Propinsi Banten

Tahun 2009 (n= 92)

Pendidikan Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

Rendah

Menengah

atas

46

31

86,8

79,5

7

8

13,2

20,5

53

39

100

100

0,515

1,696

(0,558 -5,156)

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Page 69: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Berdasarkan tabel 5.10, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi berpendidikan rendah (86,8%) dan

berpendidikan menengah atas (79,5%) sedangkan dari 15 responden yang

tidak patuh minum obat antihipertensi berpendidikan rendah (13,2%) dan

berpendidikan tinggi (20,5%).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,515 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima.

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan.

2. Hubungan pekerjaan dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.11.

Analisis Hubungan Antara Pekerjaan DenganTingkat Kepatuhan

Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Pekerjaan Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

Bekerja 33 91,7 3 8,3 36 100 0,171

3,000 Tidak 44 78,6 12 21,4 56 100

Page 70: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Bekerja (0,783-11.494)

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Pada tabel 5.11, menunjukkan bahwa dari 77 responden patuh

minum obat antihipertensi adalah pekerja (91,7%) sedangkan yang tidak

bekerja (78,6%). Dari 15 responden yang tidak patuh minum obat

antihipertensi terdiri dari pekerja (8,3%) dan tidak bekerja (21,4%)

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,171 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima.

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara pekerjaan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan.

3. Hubungan sosial ekonomi (Pendapaan) dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.12.

Analisis Hubungan Antara Pendapatan DenganTingkat Kepatuhan

Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi BantenTahun 2009 (n= 92)

Pendapatan Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

> 1.500.000 16 88,9 2 11,1 18 100

0,757

1,705

(0,349-8,337) < 1.500.000 61 82,4 13 17,6 74 100

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.12, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi adalah pendapatan lebih dari

1.500.000 (88,9%) dan pendapatan kurang dari 1.500.000 (82,4%)

sedangkan dari 15 responden yang tidak patuh minum obat

Page 71: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

antihipertensi berpendapatan lebih dari 1.500.000 (11,1%) dan

pendapatan kurang dari 1.500.000 (17,6 %).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,757 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dari alpha sehingga Ho diterima.

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara sosial ekonomi (pendapatan) dengan tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota

Tangerang Selatan.

4. Hubungan usia dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.13.

Analisis Hubungan Antara Usia DenganTingkat Kepatuhan

Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Usia Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

Lansia 23 71,9 9 28,1 32 100

0,05

3,522

(1,124 – 11,039) Tidak

Lansia 54 90,0 6 10,0 60 100

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.13, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi adalah berusia ≥ 60 tahun (lansia)

(71,9%) dan berusia ≤ 60 tahun (tidak lansia) sebanyak (90,0%)

sedangkan dari 15 responden yang tidak patuh minum obat

antihipertensi berusia ≥ 60 (28,1%) tahun dan responden yang berusia ≤

60 tahun (10,0%).

Page 72: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,05 (α = 0,05), dengan

demikian p value sama dengan alpha sehingga Ho ditolak. Maka dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia

dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Dari

hasil analisa diperoleh nilai OR 3,522 (95% CI: 1,124-11,167), artinya

usia lansia mempunyai peluang untuk tidak patuh 3,5 kali dibandingkan

usia tidak lansia.

5. Hubungan jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.14

Analisis Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Tingkat

Kepatuhan Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Jenis

Kelamin

Patuh Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % N %

Laki-laki 32 80,0 8 20,0 40 100

1.000

0,622

(0,205 – 1,890) perempuan 45 86,5 7 13,5 52 100

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.14, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi berjenis kelamin laki-laki (80,0%)

dan berjenis kelamin perempuan (86,5%) sedangkan dari 15 responden

tidak patuh minum obat antihipertensi berjenis kelamin laki-laki (20,0%)

dan berjenis kelamin perempuan (13,5%).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 1.000 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dengan alpha sehingga Ho

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

Page 73: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

bermakna antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang

Selatan.

6. Hubungan pengetahuan dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.15.

Analisis Hubungan Antara Pengetahuan DenganTingkat

Kepatuhan Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Pengetahuan Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

Kurang 8 8,7 0 0 8 8,7

0,773 0,831

(0,237-2.913)

cukup 21 22,8 4 4,3 25 27,1

Baik 48 52,2 11 12 59 64,2

total 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.15, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi memiliki pengetahuan kurang

(8,7%), memiliki pengetahuan cukup (22,8%) dan memiliki pengetahuan

baik (52,2%) sedangkan dari 15 responden yang tidak patuh minum obat

antihipertensi memiliki tingkat pengetahuan kurang (0%), memiliki

pengetahuan cukup (4,3%), dan memiliki pengetahuan baik (12%).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,773 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dengan alpha sehingga Ho

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

Page 74: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang

Selatan.

7. Hubungan transportasi dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.16.

Analisis Hubungan Antara Transportsi Dengan Tingkat

Kepatuhan Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Trans

portasi

Patuh Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % n %

Ada 69 85,2 12 14,8 81 100

0,378 2.156

(0,500 – 9,300) Tidak ada 8 72,7 3 27,3 11 100

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.16, menunjukan bahwa dari 77 responden

yang patuh minum obat antihipertensi tersedia alat transportasi (85,2%)

dan tidak tersedia alat transportasi (72,7%%) sedangkan dari 15

responden yang tidak patuh minum obat antihipertensi tersedia alat

transportasi (14,8%), dan tidak tersedia alat transportasi (27,3%).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,378 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dengan alpha sehingga Ho

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara transportasi dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

Page 75: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

minum obat antihipertensi di Puskesmas Pamulang kabupaten

Tangerang.

8. Hubungan persepsi jarak dengan tingkat kepatuhan

Tabel 5.17.

Analisis Hubungan Antara Persepsi Jarak Dengan Tingkat

Kepatuhan Di Puskesmas Pamulang Kota Tanngerang Selatan

Propinsi Banten Tahun 2009 (n= 92)

Jarak Patuh

Tidak

Patuh Total P.

Value

OR

(95% CI) n % n % N %

Jauh 15 93,8 1 6,2 16 100

0,409 3,387

(0,412 – 27,817) Dekat 62 81,6 14 18,4 76 100

Jumlah 77 83,7 15 16,3 92 100

Berdasarkan tabel 5.17, menunjukan bahwa dari 77 responden yang

patuh minum obat antihipertensi adalah persepsi jarak jauh (93,8%) dan

persepsi jarak dekat (81,6%%) sedangkan dari 15 responden yang tidak

patuh untuk minum obat antihipertensi mempersepsikan jarak jauh (6,2%),

dan mempersepsikan jarak dekat (18,4%).

Dari hasil uji statistik didapatkan P value = 0,409 (α = 0,05),

dengan demikian p value lebih besar dengan alpha sehingga Ho diterima.

Page 76: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna

antara jarak dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi di Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan.

Page 77: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada uraian dibawah ini, penulis akan menjelaskan beberapa variabel meliputi

pembahasan hasil penelitian tentang hubungan faktor predisposisi, dan faktor

pemungkin pada tingkat kepatuhan pasien dengan minum obat antihipertensi di

Puskesmas Pamulang Kota Tangerang Selatan proponsi Banten tahun 2009.

A. Faktor predisposisi

1. Pendidikan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar responden

berpendidikan rendah 57,6% dan berpendidikan menengah atas 42,4%.

Bila dihubungkan dengan kepatuhan dalam minum obat antihipertensi

menunjukan bahwa pada umumnya responden pendidikan dasar 86,8%

akan lebih patuh dibandingkan responden yang berpendidikan menengah

ke atas 79,5%. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Slamet tahun 1999,

menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan

seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan

sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya. Dengan

berpendidikan tinggi, maka wawasan pengetahuan semakin bertambah

dan semakin menyadari bahwa begitu penting kesehatan bagi kehidupan

sehingga termotivasi untuk melakukan kunjungan ke pusat-pusat

pelayanan kesehatan yang lebih baik. Pendidikan merupakan faktor yang

74

Page 78: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

mempengaruhi pengetahuan seseorang, semakin tinggi pendidikan

seseorang maka akan semakin mudah pula mereka menerima informasi

yang pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki.

sebaliknya jika pendidikan rendah maka akan menghambat

perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan, informasi, dan

nilai-nilai yang baru di perkenalkan.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square didapatkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dengan tingkat

kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Hal ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Hilda tahun 2007 dengan sampel

yang diteliti berjumlah 94 orang menunjukan tidak ada hubungan yang

bermakna antara pendidikan rendah dan menengah atas dengan kepatuhan

dalam melaksanakan diit hipertensi P valuenya = 1,000. Penelitian yang

dilakukan oleh Yuliarti (2007) memperkuat bahwa tingkat pendidikan

dengan hipertensi tidak ada hubungan antara pendidikan dengan

hipertensi pada usia lanjut dengan nilai p=1,000. Hal ini disebabkan tidak

selamanya pasien yang berpendidikan dasar tingkat pengetahuannya

tentang penyakit hipertensi rendah dan juga tidak semuanya pasien yang

berpendidikan menengah keatas tingkat pengetahuannya tentang penyakit

hipertensi tinggi. Faktor informasi yang diperoleh dari penyuluhan atau

media dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tanpa latar belakang

pendidikan hal ini sesuai dengan teori Azrul dalam Effendi, 1998

menyatakan sering terpapar informasi baik berupa leflet, atau penyuluhan

Page 79: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

kesehatan seseorang dapat meningkatkan pengetahuan sehingga tahu,

mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada

hubungannya dengan kesehatan. Dengan demikian dapat mempengaruhi

hasil penelitian sehingga tidak berhubungan.

2. Pekerjaan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar responden

tidak bekerja 60,9% dan yang bekerja 39,1%. Namun bila dilihat

hubungan pekerjaan dengan kepatuhan dalam minum obat antihipertensi,

bahwa responden yang bekerja 91,7% lebih patuh dibandingkan yang

tidak bekerja 78,6%. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang

dikemukakan Shea (1997) dalam Kyngas (1999) bahwa pasien yang tidak

bekerja kepatuhannya lebih buruk dari yang bekerja.

Berdasarkan dari hasil uji statistik Chi square didapatkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan tingkat

kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Hal ini di karenakan

bahwa pekerjaan bukan penghalang seseorang untuk datang dan

memeriksakan kesehatan ke pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan

penelitian Jefri tahun 2002 dengan sampel diteliti berjumlah 310 orang

menujukan tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan

hipertensi pada lansia dengan p value 0,720 dan penelitian yang dilakukan

oleh Yuliarti (2007) yang menyatakan tidak ada hubungan antara

pekerjaan dengan hipertensi pada usia lanjut dengan nilai p=1,000.

Page 80: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Menurut Notoatmodjo, 2005 menyatakan ada beberapa aspek sosial

yang mempengaruhi status kesehatan seseorang, antara lain adalah:

umur, jenis kelamin, pekerjaan dan sosial ekonomi. Artinya keempat

aspek sosial tersebut dapat mempengaruhi status kesehatan responden

salah satunya adalah kepatuhan minum obat antihipertensi.

3. Sosial ekonomi (Pendapatan)

Hasil penelitian menunjukan responden sebagian besar memiliki

pendapatan <1.500.000,- 80,4% dan yang memiliki pendapatan

>1.500.000,- sebanyak 19,6%. Bila dilihat hubungan pendapatan dengan

kepatuhan minum obat antihipertensi, bahwa responden yang memiliki

pendapatan >1.500.000,- 88,9% lebih banyak patuh dibandingkan dengan

pendapatan <1.500.000,- 82,4%. Hasil Penelitian ini sesuai dengan

pendapat Cavalcante (1995), didapatkan sebagian besar individu dengan

hipertensi, ternyata memiliki pendapatan keluarga yang rendah.

Berdasarkan hasil uji statistik Chi square didapatkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara sosial ekonomi (pendapatan)

dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Hal

ini sejalan dengan penelitian Yuliarti tahun 2007 dengan sampel diteliti

berjumlah 104 orang menujukan tidak ada hubungan yang signifikan

antara penghasilan keluarga dengan hipertensi pada lansia dengan p value

0, 286. Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Pujiyanto (2007) di Puskesmas Beji Kota Depok yang menyatakan faktor

sosio ekonomi mempengaruhi kepatuhan minum obat antihpertensi. Hal

Page 81: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

ini disebabkan hubungan status sosio ekonomi yang rendah terhadap

ketidakpatuhan dilaporkan dalam beberapa penelitian. Penurunan

kepatuhan akibat sosial ekonomi dikarenakan Seseorang yang status

ekonomi rendah memerlukan waktu yang lama untuk menunggu sebelum

dan selama pengobatan di klinik sedangakan dengan sosial ekonomi

tinggi tidak perlu menunggu lama dalam pengobatan (Hellenbrandt, 1983

dikutip dari Wahyu, 2003)

Adanya perbedaan hasil pada kedua penelitian ini, mungkin

dikarenakan perbedaan metode penelitian (peneliti menggunakan metode

cross-sectional sedangkan Pujiyanto menggunakan metode kualitatif

dengan jumlah informan 8 orang yang terdiri dari laki-laki dan

perempuan yang berusia lansia dan tidak lansia (< 60 tahun); tempat dan

waktu penelitian yang berbeda

4. Usia

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar responden

berusia < 60 tahun 65,2% dan yang usia > 60 tahun 34,8%. Namun bila

dilihat hubungan usia dengan kepatuhan dalam minum obat

antihipertensi, bahwa responden yang berusia < 60 tahun 90,0% lebih

patuh dibandingkan yang usia > 60 tahun 71,9%.

Semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin banyak

permasalahan yang di alaminya terutama terkait kondisi kesehatannya hal

ini di sebabkan terjadinya kemunduran fungsi seluruh tubuh secara

progresif. Lansia yang tidak dapat beradaptasi dengan kemundurannya

Page 82: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

tersebut akan frustasi dan akan muncul sikap penolakan dengan kondisi

yang dialaminya bila kondisi ini berlanjut maka lansia akan bersikap

tidak peduli dengan kondisinya dan tidak patuh dengan anjuran kesehatan

terkait dengan minum obat. Hal ini diperkuat oleh pendapat Misnadiarly

(2006) bahwa umur tua atau lansia mempunyai peluang untuk tidak patuh

sehubungan dengan fungsi organ dan daya ingat dan penelitian yang

dilakukan oleh Van Der Wal Jaarisma dan Van Veldhuisen (2005)

menyatakan bahwa faktor usia terkait dengan kepatuhan dan penelitian

yang dilakukan oleh

Dari hasil uji statistik Chi Square didapatkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara usia dengan tingkat kepatuhan pasien

dalam minum obat antihipertensi. Penelitian ini tidak sesuai dengan hasil

penelitian yang dilakukan Hilda tahun 2007 dengan sampel yang diteliti

berjumlah 94 orang menunjukan tidak ada hubungan antara usia dengan

status kepatuhan diit hipertensi pada lansia p value = 0,357 dan penelitian

yang dilakukan oleh Yuliarti tahun 2007 dengan jumlah sampel 104 orang,

menunjukan tidak ada hubungan antara usia dengan hipertensi pada usia

lanjut p value = 1.000.

5. Jenis kelamin

Hasil penelitian menunjukan bahwa terlihat bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin perempuan lebih banyak 56.5%. dibandingkan

Laki-laki 43,5%. Bila dihubungkan dengan kepatuhan minum obat

antihipertensi menunjukan responden perempuan yang banyak patuh lebih

Page 83: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

banyak 86,5% dibandingkan dengan responden laki-laki 80,0%. Hal ini

tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dimana kondisi

kejadian hipertensi biasaanya lebih banyak laki-laki memilki gaya hidup

yang cenderung meningkat tekanan darah, namun perempuan dewasa

mempunyai prevalensi hipertensi yang lebih tinggi dari pada laki-laki hal

ini umumnya disebabkan karena perempuan mengalami kehamilan dan

menggunakan alat kontrasepsi hormonal (Karyadi, 2002).

Dari hasil uji statistik Chi square bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara usia dengan tingkat kepatuhan pasien dalam minum obat

antihipertensi. Hasil penelitian ini sesuai dengan Hilda tahun 2007, yang

menyatakan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhaan

diit pada lansia dengan sampel yang diteliti berjumlah 94 orang dengan

nilai P value 0,245. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Yuliarti tahun 2007 yang menyatakan ada hubungan antara jenis

kelamin dengan hipertensi pada usia lanjut dengan sampel berjumlah 104

orang dengan P value 0,018 dalam penelitian ini didapatkan bahwa laki-

laki lebih banyak menderita hipertensi dan berpeluang 3,9 kali lebih besar

untuk menderita hipertensi dibandingkan perempuan. Hal ini dapat

dikaitkan dengan ketersediaan waktu dan kesempatan bagi perempuan

untuk datang berobat ke Puskesmas lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Selain itu wanita akan lebih taat untuk minum obat sesuai petunjuk yang

diberikan mengingat ketersediaan waktu di rumah lebih banyak di

bandingkan laki-laki. Pernyataan di atas diperkuat dan dibenarkan dengan

Page 84: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

penelitian yang dilakukan dari Shea et. Al (1992) dalam Kyngas (1999)

bahwa kepatuhan pasien laki-laki lebih buruk dibandingkan perempuan.

6. Pengetahuan

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pengetahuan tentang penyakit

hipertensi responden pada umumnya baik 64,1%, pengetahuan cukup

27,2%, dan pengetahuan kurang 8,7%. Bila dihubungkan dengan

kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi terlihat sebagaian

besar responden berpengetahuan kurang 0% akan lebih patuh

dibandingkan yang pengetahuan baik 52,2%. Berdasarkan hasil

uji statistik Chi square didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi. Hasil penenlitian tersebut tidak sesuai dengan

hasil penelitian yang dilakukan Safrudin di Jakarta Timur tahun 2009

dengan sampel yang diteliti berjumlah 42 orang yang menunjukan ada

hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kepatuhan lansia

hipertensi melanjutkan pengobatan hipertensi dengan p value 0.049.

begitu juga pendapat dari Ansry (1997) yang menyatakan dalam

penelitiannya bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepatuhan

adalah pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialami.

Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini karena kepatuhan pasien

dalam pengobatan atau minum obat bukan hanya refleksi dari pengetahuan

saja tetapi faktor lain, seperti sikap, keyakinan, kehendak dan motivasi.

Pengetahuan merupakan domain yang paling mudah untuk dirubah pada

Page 85: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

seseorang melalui pendidikan kesehatan. Namun belum tentu seseorang

yang berpengetahuan yang baik akan melaksanakan apa yang dianjurkan,

hal ini dapat dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, sarana fisik dan

sosial budaya.

B. Faktor Pemungkin

1. Transportasi

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian responden menyatakan

tersedia alat transportasi untuk ke Puskesmas 88% dan sebagian kecil

menyatakan tidak tersedia alat transportasi 12%. Bila dilihat kepatuhan

pasien dalam minum obat antihipertensi memperlihatkan bahwa pasien

yang tersedia alat transportasi 85,2% lebih patuh dibandingkan pasien

yang menyatakan tidak tersedia alat transportasi 72,7%. Hal ini

disebabkan mudahnya mendapat alat transportasi didaerah perkotaan dan

seluruh Puskesmas pada umumnya dilalui oleh angkutan umum.

Dari hasil uji statistik Chi squre didapatkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara transportasi dengan tingkat kepatuhan

pasien dalam minum obat antihipertensi. Hal ini tidak sejalan dengan

pendapat yang dikemukakan oleh Green dan Andersen dalam teori yang

menyatakan bahwa transportasi termasuk faktor pendukung untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan, tersedianya sarana transportasi akan

memberi kemudahan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Hal ini

menimbulkan bahwa adanya kemauan memanfaatkan pelayanan

kesehatan karena faktor kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan yang

Page 86: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

ditujukan oleh adanya rasa sakit baik secara fisik maupun psikis yang

dirasakan untuk upaya penyembuhan. Rapport (1982) dalam Ismawati

berpendapat bahwa pemanfaatan terhadap pelayanan kesehatan

dipengaruhi oleh kebutuhan, pemanfaatanm yang didapat bila

memanfaatkan pelayanan kesehatan serta akses keterjangkauan terhadap

pelayanan tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Lucky aziza,

dkk tahun 1999 transportasi tidak berpengaruh dengan keteraturan

berobat pada pasien yang dibiayai ansuransi kesehatan dengan jumlah

sampel 326 orang. Hal ini tidak sependapat dengan Philipus tahun 1997

yang dikutip dari wahyu tahun 2003 bahwa transportasi merupakan salah

satu faktor yang berhubungan antara keteraturan berobat.

2. Persepsi Jarak

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian responden berpersepsi

jarak dekat 82,6% dari rumah ke Puskesmas dan sebagian kecil

berpersepsi jarak jauh 17,4% dari rumah ke Puskesmas. Bila dilihat dari

kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi menunjukan bahwa

sebagian besar responden yang patuh minum obat antihipertensi adalah

berpersepsi jarak jauh 93,8% dibandingkan dengan persepsi jarak dekat

81,6% dari rumah ke Puskesmas.

Dari hasil uji statistik Chi square bahwa tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara persepsi jarak dengan tingkat kepatuhan pasien dalam

minum obat antihipertensi. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat Gani

tahun 1981 yang dikutip dari wahyu tahun 2002 `yang menyatakan bahwa

Page 87: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

jarak tempat tinggal dengan tempat pelayanan kesehatan merupakan

faktor penghambat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan dan Anto

Raharjo tahun 1997 yang menyatakan bahwa semakin jauh jarak rumah

kepala keluarga ke tempat pelayanan kesehatan formal semakin sedikit

penggunaan pelayanan kesehatan. Suatu kemudahan mengakses suatu

fasilitas pelayanan kesehatan memungkinan seseorang untuk

memanfaatkan pelayanan kesehatan. hal Ini dapat dijelaskan dari persepsi

sehat dan sakit, dimana pada seseorang merasa sakit dia akan akan

mencari pengobatan sampai ketempat yang dianggap dapat memberikan

kesembuhan atas sakitnya. Perilaku ini hampir berlaku pada setiap

individu. (Notoatmodjo, 1993)

C. Keterbatasan Penelitian

1. Desain penelitian yang digunakan yaitu desain cross sectional.

Keunggulan rancangan penelitian ini ialah mudah dilaksanakan karena

ekonomis dari segi waktu, hasil yang diperoleh dengan cepat. Adapun

keterebatasan atau kelemahan cros sectional dibutuhkan subjek

penelitian yang besar.

2. Instrumen penelitian: belum ada standar instrumen yang terkait dengan

pengetahuan, sehingga kuesioner yang dibuat peneliti memungkinkan

banyak ditemukan kelemahan.

3. Dari 15 responden yang tidak patuh minum obat antihipertensi

dikarenakan takut terhadap efek samping obat, lupa untuk minum obat,

takut ketergantungan dengan obat, dan responden lebih memilih obat

Page 88: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

tradisional dari pada obat dari puskesmas sehingga peneliti tidak dapat

mengontrol dan tidak melihat langsung responden meminum obat.

Peneliti mengukur tingkat kepatuhan berdasarkan lembar observasi.

4. Tempat tinggal responden yang tidak menetap, khususnya untuk

penduduk pendatang di wilayah kecamatan Pamulang dan alamat yang

diberikan pada Puskesmas tidak jelas atau tidak lengkap sehingga hal ini

peneliti menemui kesulitan untuk menemui responden untuk dating

kerumahnya.

Page 89: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Faktor predisposisi diperoleh data terbanyak yaitu pendidikan rendah

(57,6%), tidak bekerja (60,9%), pendapatan < 1.500.00,- (80,4%), berusia

< 60 tahun (tidak lansia), dan berjenis kelamin Perempuan (56,5%).

2. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik mengenai

hipertensi (64,1%).

3. Berdasarkan faktor pemungkin responden tersedia alat transportasi (88%)

dan persepsi jarak dekat dari rumah ke Puskesmas (82,6%).

4. Responden yang patuh minum obat antihipertensi lebih banyak (83,7%)

dibandingkan dengan yang tidak patuh (16,3%).

5. Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan tingkat kepatuhan pasien

minum obat antihipertensi P. Value sebesar 0,515

6. Tidak ada hubungan antara pekerjaan dengan tingkat kepatuhan pasien

minum obat antihipertensi dengan P. Value sebesar 0,171

7. Tidak ada hubungan antara sosial ekonomi (pendapatan) dengan tingkat

kepatuhan pasien minum obat antihipertensi dengan P. Value sebesar

0,757

8. Ada hubungan antara usia dengan tingkat kepatuhan pasien minum obat

antihipertensi dengan P. Value sebesar 0,052

9. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan

pasien minum obat antihipertensi dengan P. Value sebesar 0,578

86

Page 90: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

10. Tidak ada hubungan antara Pengetahuan dengan tingkat kepatuhan pasien

minum obat antihipertensi P. Value sebesar 1.000

11. Tidak ada hubungan antara transportasi dengan tingkat kepatuhan pasien

minum obat antihipertensi dengan P. Value sebesar 0,539

12. Tidak ada hubungan antara jarak dengan tingkat kepatuhan pasien minum

obat antihipertensi dengan P. Value sebesar 0,409.

B. SARAN

1. Puskesmas Pamulang

a. Untuk menjamin kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi

perlu adanya pengawasan minum obat harus dilakukan khususnya

untuk pasien lansia karena pada lansia adanya penurunan fungsi organ

terutama pada daya ingat sehingga dikuatirkan pasien lupa untuk

minum obat.

b. Perlunya kegiatan kunjungan rumah bagi perawat Puskesmas untuk

pengobatan tindak lanjut pasien hipertensi, khususnya pasien-pasien

yang terkena stroke.

2. Profesi Keperawatan

Sebaiknya meningkatkan kemampuan tenaga perawat komunitas

melalui pendidikan dan pelatihan sehingga dapat melaksanakan peran

perawat secara optimal khususnya dalam pencegahan hipertensi sehingga

dapat meningkatkan angka harapan hidup pada pasien hipertensi.

Page 91: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

3. Saran Untuk Peneliti Lain

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti merasa

masih banyak kekurangan untuk mengetahui lebih jauh tentang faktor-

faktor yang Berhubungan antara tingkat kepatuhan pasien minum Obat

antihipertensi pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian

lanjutan dengan metode yang berbeda dengan menambahkan variabel

dukungan keluarga, sikap, interaksi obat atau dengan pendekatan

kualitatif.

Page 92: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian ( Suatu Pendekatan dan Praktik ).

Jakarta: Rieneka Cipta. 1998.

Asnawi, s. Teori motivasi dalam pendekatan psikologi dan organisasi. Jakarta:

Studian press, 2002

Caplan NM. clinical hypertension, 8 Ed. Lippincott: williamas dan Wilkins, 1997.

Cavalcante, JWS, et al. Prevalence and sociocultural and economic aspects of

hypertension in a health center of the nort hern area a manau. Arq-bras-

cardio, 1995

Cameron, H. Patient compliance recognition of factor involved and suggestion

for promoting compliance with therapeutic regimen, journal of advance

nursing, 1999

Data Puskesmas. tidak dipublikasikan, tahun 2009.

Depkes RI. Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) provinsi Jawa barat

tahun 2007. Jakarta: CV Metronusa prima, 2008.

------------. Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2007.

Jakarta: CV Metronusa prima, 2008.

------------. Laporan hasil Riset kesehatan dasar (Riskesdas) provinsi Banten

tahun 2007. Jakarta: CV Metronusa prima, 2008.

------------. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana Hipertensi. Jakarta:

Direktorat P2PL, 2008.

------------. Pharmaceutical Care untuk penyakit hipertensi. Jakarta: Direktorat

jendral bina kefarmasi dan alat kesehatan, 2008.

------------. Pedoman peningkatan kinerja perawat di Puskesmas panduan bagi

kabupaten/Kota. Jakarta: Direktorat keperwatan dan teknisian medik, 2006.

------------. Pedoman teknis penemuan dan tatalaksana penyakit hipertensi.

Jakarta: Direktorat P2PL, 2006.

Page 93: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

------------. Survai kesehatan rumah tangga volume 2. Jakarta: Badan penelitian

dan pengembangan kesehatan Depkes RI, 2004

Depdiknas. Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai pustaka, 2000.

Feninda. faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi tidak terkendali pada

pasien hipertensi ringan dan sedang yang berobat di poli ginjal-hipertensi

tahun 2000, tesis Pasca FKM UI, Jakarta, 2002.

Green, Lawrance W. perencanaan pendidikan kesehatan: sebuah pendekatan

pendidikan, diterjemahkan oleh Maudy, dkk, FKM-UI.

Green, Lawrance W, Kreuter, Marshall. Health program planning an educational

and ecological approach. New York: The McGraw Hill Companies, 1998.

Hitchcock, J.E. Schubert, P.E., & Thomas, S.A, Community Health Nursing:

Caring in Action, New York : Delmar Publishers, 1999.

Hull, Alison. Penyakit jantung, hipertensi dan nutrsi. Bumi Aksara. Jakarta, 1996.

Hidayat, A. Aziz Alimul. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis

Data. Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Isgiyanto Awal. (2009).Teknik Pengambilan Sampel. Jogjakarta, Mitra Cedikia

Offeset, 2009.

Ismawati. factor-faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan rawat

jalan di RSU batang Jawa tengah, tesis FKM UI, 1998.

ITB-WHO. Pengendalian Hipertensi-laporan komisi pakar WHO. Bandung;

Penerbit ITB: 1-28, 61-90, 2001.

Jurnal penelitian: Nunik K, dkk. Kepatuhan pasien berobat hipertensi

Hypertension Patien’s Therapy Obidience di depok, 2005

Jurnal penelitian: Pujianto, faktor sosio ekonomi yang mempengaruhi kepatuhan

minum obat Antihipertensi di Kota depok, 2009

Kartikawati, anggi. Prevalensi dan determinan hipertensi pada pasien

Puskesmas di Jakarta utara, Program studi epidemiologi, FKM UI, 2007

Karyadi. Hidup bersama penyakit hipertensi, asam urat dan penyakit

jantung.Jakarta: Intisari Mediatama, 2005

86

Page 94: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Kazier. B, Erb.G, and Blais. K. Profesional Nursing Practic Concepts and

Perspectives, California, Addison Wesley Longman, 1997

Mansjoer, A. kapta selekta kedokteran jilid I1 edisi 3. Jakarta: Media

Aesculapius, 2005

Muzaham, Fauzi. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Universitas Indonesia press, 1995

Niven, Neil. Psikologi kesehatan pengantar untuk perawat dan professional

kesehatan lain. Jakarta: EGC, 2002

Notoatmodjo, Soekidjo. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta, 2003

Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta, 1997

Nugraha, Wahyudi. Keperawatan gerontik edisi 2. Jakarta: EGC, 2000

Nursalam, A dkk. pendekatan metodologi riset keperawatan. Jakarta: Sagung

seto, 2001

Nurul. health news patuh minum obat kendali utama hipertensi.

http://nurulfm01.blogspot.com/2008_10_01_archive.html 2008. diakses

tanggal 24 maret 2009.

Purwanti. Hipertensi patuh minum obat cegah cegah komplikasi.

http://warnalangitku.blogspot.com/2008/09/hipertensi-patuh-minum-obat-

cegah.html 2008. diakses tanggal 24 maret 2009.

Safrudin. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan lansia Hipertensi

dalam melanjutkan pengobatan hipertensi secara rutin Di PTSW Budhi mulya

03 Ciracas Jakarta Timur tahun 2009. PSIK UMJ, 2009.

Sani, Aulia. Hypertension Current Perspective, Jakarta; Medya Crea, 2008.

Saryono. Metodologi penelitian Kesehatan penuntun praktis bagi pemula.

Yogyakarta; mitra cendikia, 2008.

Smeltzer S dan Bare B. Buku ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth edisi 8 Volume 2. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran Indonesia

EGC, 2002.

Smeltzer S dan Bare B. Buku ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth edisi 8 Volume 1. Jakarta: penerbit Buku Kedokteran Indonesia

EGC, 2002.

Page 95: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien

Soeparman. Buku ajar penyakit dalam jili II edisi, Jakarta: Balai pustaka, 2005

Sobur, Alex. Psikologi Umum dalam lintas sejarah. Bandung: CV Pustaka setia,

2009.

Soeharto, imam. Penyakit jantung krorner: panduan bagi masyarakat umum.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka utama, 2002.

Wahyuni, tri. hipertensi tak terkontrol merusak organ.

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=209253.2008.

diakses tanggal 23 maret 2009

Wirakusuma, Emma. Tetap bugar di usia lanjut. Jakarta: Trubus Agriwidya, 2000

Wolff, Hanns. Hipertensi cara mendeteksi dan mencegah tekanan darah tinggi

sejak dini. Jakarta: PT Bhuana ilmu popular (BIP), 2006

Widagdo,wahyu, analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan

pasien mengenai pengobatan Tuberkulosis dalam konteks keperawatan

komunitas di wilayah Puskesmas kecamatan pasar minggu jakarta selatan

tahun 2002.tesis Pasca FIK-UI, 2003

Yetti, hilda, Hubungan karakteristik dukungan keluarga dan hasil pendidikan

kesehatan dengan kepatuhan diit hipertensi pada lansia di kelurahan Paseban

kecamatan senen Jakarta pusat. Tesis Pasca FIK UI, 2007.

Yuliarti, dwiretno, Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada usia

lanjut di posbindu Kota Bogor tahun 2007. tesis Pasca FKM UI, 2007

(http://hypert.ahajornal.org/). Tanggal 25 maret 2009 jam 19.30 wib

http://www.who.int/topics/chronic_diseases/en/ 2002. 19 maret 2009 jam 19.30

wib

Page 96: FAKTOR Kepatuhan Pada Pasien