Face negotiation theory

4
FACE-NEGOTIATION THEORY Oleh : 1. Fransiska Wuri Nugrahani (0906492032) 2. Lodelvi (0906492064) 3. Indra Bayu (0906524601) Face-Negotiation Theory ini dikemukakan oleh Stella Ting-Toomey yang mana didasarkan atas pemikiran mengenai face dan facework. Face sendiri diartikan sebagai suatu metafora dari gambaran diri seseorang yang ditampilkan dalam suatu kehidupan sosial. Ting- Toomey membagi face ke dalam dua bagian, yaitu face concern dan face need. Face concern merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kepedulian terhadap pribadi sendiri ataupun pribadi orang lain. Face concern ada untuk menjawab pertanyaan seperti, “Apakah saya menginginkan perhatian dari diri saya sendiri atau dari orang lain?” Sedangkan face need menunjuk pada suatu dikotomi inklusi- otonomi, serta hadir untuk menjawab pertanyaan, “Apakah saya butuh berhubungan dengan orang lain (inklusi) atau saya tidak perlu berhubungan dengan orang lain (otonomi)?” Adapun konsep kunci dalam teori ini adalah face, konflik, dan budaya. Teori ini dipengaruhi oleh penelitian tentang kesopanan. Disebutkan bahwa ada dua kebutuhan universal dari berbagai macam kebudayaan di dunia, yaitu positive face needs dan negative face needs. Positive face merupakan keinginan yang kuat untuk disukai dan dipuja oleh significant others dalam hidupnya, sedangkan negative face merupakan suatu keinginan yang kuat untuk memiliki suatu otonomi dan kebebasan dari paksaan orang lain. Oleh karena itulah mengapa orang cenderung memperhatikan sopan santun ketika berhubungan dengan orang lain, hal ini dikarenakan adanya perhatian terhadap negative face orang lain. Dalam teori ini disebutkan juga tentang konsep facework, yang merupakan suatu sikap yang digunakan dalam menghadapi face needs terhadap diri sendiri maupun orang lain. Ada tiga tipe dari facework, yaitu (1) tact facework, menunjuk pada suatu tahapan di mana seseorang peduli terhadap otonomi orang lain. Pada tipe ini seseorang diberi kebebasan dalam bertindak atau meminimalisir segala sesuatu yang dapat menghalangi kebebasan seseorang; (2) solidarity facework, menunjuk pada suatu bentuk penerimaan seseorang sebagai anggota

Transcript of Face negotiation theory

Page 1: Face negotiation theory

FACE-NEGOTIATION THEORY

Oleh : 1. Fransiska Wuri Nugrahani (0906492032)

2. Lodelvi (0906492064)

3. Indra Bayu (0906524601)

Face-Negotiation Theory ini dikemukakan oleh Stella Ting-Toomey yang mana didasarkan atas pemikiran mengenai face dan facework. Face sendiri diartikan sebagai suatu metafora dari gambaran diri seseorang yang ditampilkan dalam suatu kehidupan sosial. Ting-Toomey membagi face ke dalam dua bagian, yaitu face concern dan face need. Face concern merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kepedulian terhadap pribadi sendiri ataupun pribadi orang lain. Face concern ada untuk menjawab pertanyaan seperti, “Apakah saya menginginkan perhatian dari diri saya sendiri atau dari orang lain?” Sedangkan face need menunjuk pada suatu dikotomi inklusi-otonomi, serta hadir untuk menjawab pertanyaan, “Apakah saya butuh berhubungan dengan orang lain (inklusi) atau saya tidak perlu berhubungan dengan orang lain (otonomi)?” Adapun konsep kunci dalam teori ini adalah face, konflik, dan budaya.

Teori ini dipengaruhi oleh penelitian tentang kesopanan. Disebutkan bahwa ada dua kebutuhan universal dari berbagai macam kebudayaan di dunia, yaitu positive face needs dan negative face needs. Positive face merupakan keinginan yang kuat untuk disukai dan dipuja oleh significant others dalam hidupnya, sedangkan negative face merupakan suatu keinginan yang kuat untuk memiliki suatu otonomi dan kebebasan dari paksaan orang lain. Oleh karena itulah mengapa orang cenderung memperhatikan sopan santun ketika berhubungan dengan orang lain, hal ini dikarenakan adanya perhatian terhadap negative face orang lain.

Dalam teori ini disebutkan juga tentang konsep facework, yang merupakan suatu sikap yang digunakan dalam menghadapi face needs terhadap diri sendiri maupun orang lain. Ada tiga tipe dari facework, yaitu (1) tact facework, menunjuk pada suatu tahapan di mana seseorang peduli terhadap otonomi orang lain. Pada tipe ini seseorang diberi kebebasan dalam bertindak atau meminimalisir segala sesuatu yang dapat menghalangi kebebasan seseorang; (2) solidarity facework, menunjuk pada suatu bentuk penerimaan seseorang sebagai anggota dari suatu in-group. Hubungan antar anggotanya didasarkan pada suatu rasa solidaritas, sehingga meminimalisir perbedaan dan meningkatkan kebersamaan melalui gaya bahasa informal dan berbagi pengalaman sesama anggota, contohnya seorang dosen yang menyukai gaya belajar-mengajar informal dengan menggunakan sapaan ‘loe’,’gue’ dengan mahasiswanya, agar muncul suatu rasa kebersamaan di dalam diri dosen dan mahasiwa tersebut; (3) approbation facework, menunjuk pada suatu sikap meminimalisir tindakan menyalahkan orang lain dan meningkatkan pujian kepada orang lain. Tipe ini muncul ketika seseorang lebih menaruh perhatian kepada aspek positif orang lain dibanding aspek negatifnya. Contohnya, seorang ibu yang menghibur anaknya dengan mengatakan bahwa ia adalah anak yang mau berusaha, rajin, dan tidak gampang menyerah.

1

Asumsi yang terdapat dalam teori ini adalah :

1. Identitas diri sangat penting dalam interaksi interpersonal, dengan negosiasi antar individu, maka identitas mereka dapat melintasi budaya secara berbeda. Asumsi ini menekankan pada identitas diri, atau suatu karakter personal yang melekat pada diri individu. Disebutkan bahwa

Page 2: Face negotiation theory

ketika orang-orang bertemu, mereka akan menunjukkan gambaran mengenai siapa mereka dalam interaksi tersebut. Gambaran inilah yang akan menjadi suatu identitas yang diharap dapat diterima oleh orang lain. Identitas diri ini meliputi pengalaman kolektif individu, pemikiran, ide-ide, ingatan, maupun rencana individu. Identitas diri ini sendiri dipengaruhi oleh waktu dan pengalaman. Dalam asumsi ini diyakini bahwa semua kebudayaan pasti memiliki sejumlah perbedaan dalam melihat gambaran diri dan perbedaan tersebut akan dinegosiasikan terus-menerus.

2. Pengaturan konflik ditengahi oleh face dan budaya. Disebutkan bahwa konflik dapat merusak social face individu dan dapat mengurangi kedekatan di antara dua orang. Ketika seseorang bersosialisasi ke dalam budayanya akan mempengaruhi cara mereka mengatur suatu konflik.

3. Tindakan tertentu dapat menghambat gambaran diri seseorang. Ada dua tindakan yang dalam proses face-threatening, yaitu face-saving dan face restoration. Face-saving merupakan suatu usaha untuk menghindari kerapuhan dan hal-hal yang memalukan, contohnya Mirna adalah orang Jawa, ia sangat fasih berbahasa Jawa, namun karena ia tinggal di Jakarta, maka ia meninggalkan bahasa Jawanya dan menggunakan bahasa gaul yang dipakai oleh teman-temannya sehari-hari. Face restoration merupakan cara yang digunakan untuk menjaga otonominya dan menghindari loss of face.

Ada dua bentuk kebudayaan dalam suatu interaksi sosial, yaitu budaya individualisme dan budaya kolektivisme. Budaya individualistik merupakan diri yang tidak bergantung pada orang lain, sedangkan budaya kolektivis merupakan diri yang bergantung dengan orang lain. Individualisme sendiri mengacu pada suatu budaya yang mendahulukan nilai-nilai individu di atas nilai-nilai kelompok. Nilai-nilai individualistik sendiri menekankan pada kebebasan, kejujuran, kenyamanan, dan kesamaan personal, di atas orang lain. Individualisme meliputi motivasi diri, otonomi, dan pemikiran yang mandiri. Di sisi lain, kolektivisme merupakan suatu budaya yang mendahulukan nilai-nilai kelompok di atas nilai-nilai individual. Yang ditekankan dalam kolektivisme antara lain kerjasama dan melihat diri sendiri sebagai bagian dari suatu kelompok. Nilai-nilai kolektivis yang dianut adalah keserasian, memperhatikan keinginan orang tua, dan memenuhi kebutuhan orang lain.

Dalam budaya individualistik, diyakini bahwa ada suatu penawaran untuk melakukan face management untuk melindungi dirinya, bahkan dalam suatu negosiasi sekalipun, sedangkan dalam budaya kolektivis, individu cenderung beradaptasi terhadap gambaran diri yang ditunjukkan. Hal ini mengarah pada suatu bentuk keterikatan terhadap orang lain, maksudnya adalah bahwa tiap anggota dari budaya kolektivis menyadari hubungannya dengan orang lain dan saling berbagi sehingga komunikasi dikendalikan oleh tiap-tiap anggotanya.

Budaya individualistik-kolektivis ini mempengaruhi bentuk-bentuk konflik. Bentuk-bentuk kondlik tersebut antara lain (1) avoiding (AV), yaitu orang cenderung akan menghindari ketidaksetujuan dan ketidaknyamanan dengan orang lain, misalnya dengan menyatakan bahwa

2

‘saya sedang sibuk’ ketika diajak berbicara; (2) obliging (OB), yaitu suatu bentuk kepasifan yang cenderung mencoba untuk memuaskan keinginan orang lain dengan mengikuti saja apa yang ditawarkan oleh orang lain, misalnya dengan menyatakan ‘saya mengikuti saja apa keputusanmu’; (3) compromising (CO), individu cenderung mencari jalan tengah untuk menghasilkan suatu keputusan yang impas dengan menggunakan cara take and give agar suatu kesepakatan terwujud, misalnya ‘saya akan membantu kamu mengerjakan PR itu dan setelahnya kamu harus mentraktir aku makan’; (4) dominating (DO), suatu perilaku yang menggunakan pengaruh, kekuasaan, atau kelebihannya dalam menentukan suatu keputusan, misalnya dengan mengatakan ‘sayalah orang yang paling ahli dalam merancang bangunan tersebut’; (5)

Page 3: Face negotiation theory

integrating (IN), cara yang digunakan seseorang untuk menghasilkan suatu solusi untuk sebuah masalah, misalnya ‘kita perlu bekerja sama untuk menyelesaikan krisis keuangan di kantor kita’

3