F06yaz-kemasan.pdf

69
“Pandanglah kepada orang yang keadaannya lebih rendah dari dirimu, dan janganlah memandang orang yang lebih tinggi (keadaannya) dari dirimu. Karena (cara) ini lebih layak bagimu, agar tidak memandang remeh nikmat Allah yang telah dianugerahkan untukmu.” (HR. Muslim) “Kupesembahkan karya kecil ini untuk Mam dan Pap serta kakak dan adik tersayang”

Transcript of F06yaz-kemasan.pdf

  • Pandanglah kepada orang yang keadaannya lebih rendah dari dirimu, dan janganlah memandang orang yang lebih tinggi (keadaannya) dari dirimu. Karena (cara) ini lebih layak bagimu, agar tidak memandang remeh nikmat Allah yang telah dianugerahkan untukmu. (HR. Muslim)

    Kupesembahkan karya kecil ini untuk Mam dan Pap serta kakak dan adik tersayang

  • PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN

    KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

    MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

    Oleh

    YULNIA AZRIANI

    F34101086

    2006

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • Yulnia Azriani. F34101086. Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan Evi Savitri Iriani. 2006.

    RINGKASAN

    Indonesia adalah salah satu pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini dikenal dengan nama mi gleser, mi golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu merupakan makanan khas daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.

    Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu. Selama ini, sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi sagu yang ada di pasaran kurang lebih selama 13 hari dengan kondisi penyimpanan pada suhu ruang (Yuniar, 2004).

    Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan tekstur yang dikehendaki dan tumbuhnya jamur. Salah satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air, misalnya lembaran plastik. Permeabilitas plastik memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan. Udara yang terdapat di dalam kemasan dapat menimbulkan kerusakan pada mi antara lain adanya proses oksidasi. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan, sehingga kemasannya menjadi kemasan yang kedap udara (vakum).

    Pada penelitian ini digunakan dua perlakuan yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Jenis kemasan yang digunakan yaitu plastik laminasi OPP/PE/LLDPE, Polipropilen dan Low Density Polyethylene (LDPE). Kondisi pengemasan yang digunakan yaitu pengemasan vakum dan non vakum. Penyimpanan dilakukan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC) dan dilakukan pengamatan setiap 5 hari sekali. Selama penyimpanan pengamatan yang dilakukan yaitu sineresis, cooking loss, pH, ketengikan (nilai TBA), warna, total kapang dan total bakteri.

    Selama penyimpanan, nilai sineresis, ketengikan (nilai TBA) dan cooking loss mi sagu mengalami peningkatan. Derajat keasaman (pH) cenderung tidak mengalami perubahan selama penyimpanan, sedangkan nilai kecerahan (L) mi sagu mengalami penurunan.

    Pengemasan terbaik untuk mengemas mi sagu adalah dengan menggunakan kemasan polipropilen vakum. Penentuan perlakuan ini diperoleh berdasarkan hasil analisa dan biaya pengemasan masing-masing sampel yang kemudian dilakukan pembobotan. Kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi sagu lebih dari 50 hari pada suhu lemari es dengan rata-rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan (nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.

  • Yulnia Azriani. F34101086. Effect of Different Flexible Package and Packaging Condition to Sago Starch Noodle Quality during Storage. Under Supervision of Ade Iskandar and Evi Savitri Iriani. 2006

    SUMMARY Indonesia is one of largest owner areas sago, broadly the large of sago

    areas about 1.128 million ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). As carbohydrate source, sago represent potential commodity upon which the raw material and food substitution to industrial. One of product that processed from sago flour is sago starch noodle. This noodle is recognized by the name of mi gleser, mi golosor, mi leor, or mi pentil. Sago starch noodle represent typical food at Bogor, Sukabumi and Cianjur. Currently, sago starch noodle only sold at traditional market and do not packaged properly, so that less vies with wet wheat noodle. Nowadays, mostly produce sago starch noodle is conducted by small scale industry. Shelf life of commercial sago starch noodle is between 1-3 days at room temperature (Yuniar, 2004).

    Sago starch noodle is inclusive of wet food, so that during storage noodle will occurring degradation of quality, like loss of desirable texture and growth of mould. One of way of to prevent or pursue the damage is with using hermetically sealed package, such as plastic film. Plastic permeability described about effortless of the gas, aqueous vapors, dilution, ion, and the dissolve molecule penetrating food substance. Air, which in package, can generate damage of noodle, such as existence of oxidation. To prevent it, can be conduct by remove air from the package, so that the package becomes airtight (vacuum).

    This research was used two factors that are different of flexible package and packaging condition. Package films that used are plastic laminate OPP/PE/LLDPE, Polypropylene and Low Density Polyethylene (LDPE). Conditions of packaging that used are vacuum and non-vacuum packaging. Samples were storage for 50 days at refrigerator temperature (5oC) and evaluated every 5 days. The analyses that conducted are syneresis, cooking loss, pH, rancidity (TBA value), color, total of mold and total of bacteria.

    Results indicated that most of quality changes during storage were affected by different flexible package and packaging condition. Some quality changes (syneresis, cooking loss, rancidity, total of bacteria and total of mould) were increase during storage, but color of noodle was decrease. Degree of acidity (pH) leans not change during storage. Different permeability of flexible package and absence of oxygen at vacuum packaging were estimated the major cause of different value each parameter.

    The best packaging technique for sago starch noodle was using polypropylene which under vacuum packaging condition, this technique decided by considering value of parameter that measured and packaging cost of each samples. Polypropylene able to maintain shelf life of sago starch noodle more than 50 days at low temperature (5 oC) with mean of syneresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, rancidity (TBA value) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, brightness value ( L) 47,40, total of bacteria 36,33 x 102 colony/g, total of mould 10,67 x 102 colony/g and pH 4,804.

  • PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN

    KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

    MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    YULNIA AZRIANI

    F34101086

    2006

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN KONDISI

    PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

    MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh

    YULNIA AZRIANI

    F34101086

    Tanggal lulus : Februari 2006

    Disetujui oleh :

    Bogor, Februari 2006

    Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Evi Savitri Iriani, MSi

    Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

  • Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

    Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi

    Sagu Selama Penyimpanan adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen

    pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

    Bogor, Februari 2006

    Nama : Yulnia Azriani

    NRP : F34101086

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama lengkap Yulnia Azriani. Dilahirkan di Bogor pada

    tanggal 24 Juli 1983 di Bogor, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari

    pasangan Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc dan Hj. Lilis Nurhayati. Penulis

    menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor pada tahun 1995.

    Kemudian penulis memasuki sekolah lanjutan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor

    dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2001

    di SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun 2001 melalui jalur USMI penulis diterima

    sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor, pada Departemen Teknologi Industri

    Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.

  • i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan

    rahmah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

    Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan semua

    pihak maka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis

    mengucapkan terima kasih kepada :

    1. Ir. Ade Iskandar, MSi, sebagai dosen pembimbing utama, yang telah

    banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

    2. Ir. Evi Savitri Iriani, MSi, sebagai dosen pembimbing kedua, yang

    telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan

    skripsi ini.

    3. Farah Fahma, STP, MT sebagai dosen penguji, yang telah memberikan

    saran-saran demi kesempurnaan skripsi ini.

    4. Bapak Ridwan Thaher atas kesediaannya memberikan izin penelitian.

    5. Ibu Endang Yuli Purwani dari BB Penelitian dan Pengembangan

    Pascapanen Pertanian, yang telah banyak memberikan bantuan dan

    saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

    6. Bapak Falik dari PT. Interkemas Flexipack, Tangerang atas

    kesediaannya membantu penulis selama penelitian.

    7. Papah, mamah, kakak, adik, keponakan dan nenek penulis yang selalu

    mendukung dan mengiringi langkah penulis dengan doa yang tak

    pernah putus.

    8. Bapak Ato, Teh Ika, Ibu Ning, Pak Yudi, Mba Meli, dan staf lainnya

    dari BB Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang

    telah banyak membantu penulis selama penelitian.

    9. Teman-teman satu bimbingan (Ani, Agus, dan Hendra) atas dukungan

    dan bantuannya.

    10. Teman-teman selama penelitian (Kiki, Nugie, Rizka, Wini, Iyus, Tria,

    Mas Ando, Alice, Neni, Jhon dan lain-lain) yang telah berbagi suka

    dan duka selama penelitian.

  • ii

    11. Teman smp (Widi, Aya, Mimil), teman sma (Ara, Windy dan Ali),

    Nisa, Uchi, Heni, Oo, Arya dan teman kuliah lainnya atas

    dukungannya.

    Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,

    sehingga penulis sangat berbesar hati menerima tanggapan, saran dan kritik untuk

    perbaikan di masa datang. Semoga apa yang penulis lakukan ini mendapat ridlo

    Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

    Bogor, Februari 2006

    Penulis

  • iii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

    DAFTAR TABEL ............................................................................................ v

    DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii

    I. PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1

    B. TUJUAN PENELITIAN ..................................................................... 2

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. SAGU .................................................................................................. 3

    B. MI

    1. Mi Berdasarkan Bahan Baku ......................................................... 4

    2. Mi Berdasarkan Proses Pengolahannya ........................................ 5

    C. MI SAGU ............................................................................................. 7

    D. PENGEMASAN

    1. Kemasan Plastik ............................................................................. 10

    a. Polietilen ................................................................................. 10

    b. Polipropilen ............................................................................. 11

    2. Pengemasan Vakum ....................................................................... 12

    D. PENYIMPANAN MI SAGU ............................................................... 13

    III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. BAHAN DAN ALAT

    1. Bahan .............................................................................................. 14

    2. Alat .................................................................................................. 14

    B. TEMPAT ............................................................................................. 14

    C. METODE PENELITIAN

    1. Penentuan Waktu Pasteurisasi ...................................................... 15

    2. Penelitian Utama ........................................................................... 15

  • iv

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI ........................................ 19

    B. PENELITIAN UTAMA ...................................................................... 20

    1. Sineresis ........................................................................................ 22

    2. Cooking loss .................................................................................. 25

    3. Derajat Keasaman (pH) ................................................................. 26

    4. Ketengikan .................................................................................... 27

    5. Warna ............................................................................................ 28

    6. Total Mikroba ............................................................................... 31

    C. BIAYA PENGEMASAN ..................................................................... 33

    D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK .......................................... 34

    IV. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 36

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38

    LAMPIRAN .................................................................................................... 42

  • v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu ................................................ 4

    Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 ............................ 6

    Tabel 3. Komposisi gizi mi basah ...................................................................... 7

    Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g ........... 8

    Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003 ................................... 9

    Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml /cm2 hari atm) pada 10oC ......... 12

    Tabel 7. Total mikroba (koloni/g) ..................................................................... 20

    Tabel 8. Analisa awal mi sagu .......................................................................... 21

    Tabel.9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan ........................... 33

    Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu .............................. 34

    Tabel 11. Skor hasil pembobotan dari tiap perlakuan ....................................... 35

  • vi

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Diagram alir penelitian ..................................................................... 17

    Gambar 2. Produk mi sagu ................................................................................. 22

    Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan................ 24

    Gambar 4. Diagram rata-rata cooking loss mi sagu selama penyimpanan ........ 25

    Gambar 5. Diagram pH rata-rata mi sagu selama penyimpanan ....................... 26

    Gambar 6. Diagram rata-rata nilai TBA mi sagu selama penyimpanan ............ 28

    Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan .................. 30

    Gambar 8. Diagram rata-rata derajat hue mi sagu selama penyimpanan ........... 30

    Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu

    selama penyimpanan ........................................................................ 31

    Gambar 10. Diagram Warna .............................................................................. 47

  • vii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Prosedur Analisis ........................................................................... 42

    Lampiran 2. Rekapitulasi data analisa sineresis mi sagu (%) ............................ 48

    Lampiran 3. Rekapitulasi data cooking loss mi sagu (%) .................................. 48

    Lampiran 4. Rekapitulasi data derajat keasaman (pH) mi sagu ......................... 49

    Lampiran 5. Rekapitulasi data ketengikan (mg malonaldehid/kg sampel)

    mi sagu .......................................................................................... 49

    Lampiran 6. Rekapitulasi data warna mi sagu .................................................... 50

    Lampiran 7. Rekapitulasi data derajat hue mi sagu ........................................... 51

    Lampiran 8. Rekapitulasi data nilai chroma mi sagu ......................................... 51

    Lampiran 9. Rekapitulasi total bakteri ............................................................... 52

    Lampiran 10. Rekapitulasi total kapang ............................................................. 52

    Lampiran 11. Pemilihan perlakuan terbaik dengan pembobotan ....................... 53

  • I. PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman asli Asia Tenggara dimana

    Indonesia memiliki areal tanaman sagu terbesar di dunia yaitu 1.128 juta ha

    atau 51,3 % areal sagu dunia (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/, 2004).

    Sentra penanaman tanaman sagu di Indonesia adalah Papua, Maluku, Riau,

    Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Tanaman ini merupakan salah satu

    penghasil karbohidrat terbesar selain beras, gandum dan umbi-umbian.

    Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial

    sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu

    produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini banyak dijual di daerah

    Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan dikenal dengan nama mi gleser, mi

    golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu dijual di pasaran dalam bentuk basah

    dan memiliki harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan mi yang

    terbuat dari tepung terigu.

    Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas

    dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu.

    Sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi

    golosor yang ada di pasaran saat ini kurang lebih selama 13 hari dengan

    kondisi penyimpanan pada suhu ruang.

    Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi

    akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan rasa dan flavour,

    perubahan tekstur serta tumbuhnya jamur atau mikroorganisme lain. Salah

    satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain

    dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air,

    seperti lembaran plastik. Plastik mempunyai nilai permeabilitas tertentu yang

    memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-

    ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan.

    Udara yang terperangkap di dalam kemasan dapat menimbulkan

    kerusakan pada mi antara lain mendorong terjadinya proses oksidasi. Untuk

  • 2

    mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan,

    sehingga kemasannya menjadi kemasan yang vakum. Kemasan yang divakum

    dapat membatasi atau menghambat faktor-faktor penyebab rusaknya makanan

    yang dikemas.

    Melalui pengemasan yang efektif diharapkan daya simpan mi sagu

    akan meningkat. Selain itu dengan penggunaan kemasan yang sesuai,

    diharapkan dapat meningkatkan penampilan dan daya saing mi sagu terhadap

    mi basah lain yang ada di pasaran saat ini.

    B. TUJUAN PENELITIAN

    Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kemasan dan

    kondisi pengemasan terhadap kualitas mi sagu, sehingga dapat diperoleh

    pengemasan yang dapat memperpanjang umur simpan mi sagu.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. SAGU

    Sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan

    dan bahan baku untuk industri. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar,

    dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha atau 51,3% dari 2.201 juta ha areal sagu

    dunia, disusul oleh Papua New Guinea 43,3%. Namun dari segi

    pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan

    Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas

    1,5% dan 0,2%. Daerah potensial penghasil sagu antara lain Riau, Sulawesi

    Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Diperkirakan

    90% areal sagu di Indonesia berada di Papua

    (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/).

    Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang

    biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya.

    Haryanto et al. (1992) menyatakan bahwa pohon sagu termasuk :

    Divisio : Spermathophyta Ordo : Spadiciflorae Klas : Angiospermae Subklas : Monocotyledoneae Famili : Palmae Genus : Metroxylon

    Batang tanaman sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan

    tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan aci dalam empulur

    batang sagu berbeda-beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat

    sagu itu tumbuh. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan aci dalam

    empulur makin besar, dan pada umur tertentu kandungan aci tersebut akan

    menurun (Haryanto et al., 1992).

    Ada beberapa spesies sagu yang memiliki kandungan aci yang tinggi

    yaitu Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni), Metroxylon sagus Rottbol (sagu

  • 4

    molat) dan Metroxylon sylvester Martius (sagu ihur). Karakteristik dari jenis

    sagu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu

    No Jenis sagu Kadar empulur (%) Kandungan

    aci (%) Warna

    aci 1 M. rumphii Martius 82 20 putih 2 M. sagus Rottbol 80 18 putih 3 M. sylvester Martius 81 17-18 kemerah-

    merahan Sumber : Haryanto et al., 1992

    Jenis lain yang memiliki kandungan aci tinggi adalah genus Arenga

    terutama tanaman aren (Arenga pinnata). Sagu jenis ini banyak ditemukan di

    Filipina dan Indonesia, seperti Jawa, Sumatra dan Kalimantan. (Sastrapraja

    dan Mogea, 1977). Pati yang dihasilkan tanaman aren relatif lebih sedikit

    dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pati aren memiliki kadar pati rata-

    rata sekitar 75,18 %, kadar amilosa 24,08 %, kadar air 18,38 % dan derajat

    putih 86,25 (Hendrarsono, 1984).

    B. MI

    Mi merupakan salah satu bentuk pangan yang cukup populer dan disukai

    oleh berbagai kalangan masyarakat. Mi merupakan salah satu jenis produk

    pasta yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok 5000 tahun SM, lalu

    berkembang ke daerah Asia yang lain, sampai akhirnya terkenal di seluruh

    dunia.

    Mi dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 kategori yaitu berdasarkan

    bahan baku dan proses pengolahannya.

    1. Mi berdasarkan bahan baku

    Berdasarkan bahan bakunya, mi dapat dibagi menjadi 2 jenis mi yaitu

    mi terigu dan mi non-terigu. Mi terigu yaitu mi yang bahan baku utamanya

    menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain (buckwheat

    flour). Yang termasuk ke dalam mi terigu ini yaitu mi Jepang dan China.

    Mi Jepang biasanya berwarna putih dan memiliki tekstur yang lebih lunak.

    Mi ini terbuat dari tepung terigu soft dan medium yang memiliki kandungan

  • 5

    protein 8-10 % dan kadar abu sekitar 0.33-0.45, air dan garam. Mi China

    biasanya berwarna kuning dan memiliki tekstur yang lebih keras. Tepung

    terigu yang digunakan untuk membuat mi ini biasanya tepung terigu jenis

    hard. Tepung terigu jenis hard memiliki kandungan protein 10.5 -12.0 %

    dan kadar abu 0.33-0.38 % (Virtucio, 2004).

    Ada jenis lain yang tergolong ke dalam mi terigu yaitu soba. Mi jenis

    ini memiliki warna coklat muda atau abu-abu dengan rasa dan flavour yang

    unik. Mi ini campuran antara tepung terigu dan buckwheat flour, dengan

    berbagai variasi sesuai dengan produk yang diinginkan. Kelebihan dari

    buckwheat flour yaitu memiliki nutrisi yang sangat bagus seperti daya cerna

    tinggi, kandungan lisin dan lesitin tinggi, dan kadar mineral tinggi

    (Virtucio, 2004).

    Di benua Eropa terdapat jenis mi yang biasa disebut dengan pasta.

    Pasta berbentuk helaian dikenal dengan nama spaghetti, fettucine dan

    vermicelli. Perbedaan antara pasta dengan mi terigu antara lain pasta

    terbuat dari durum (Triticum durum) semolina dan air, sedangkan mi terigu

    terbuat dari tepung gandum (Triticum aestivum), air dan alkali (Kruger et

    al., 1996).

    Mi non-terigu terkadang disebut juga dengan mi berbasis pati. Yang

    tergolong ke dalam mi non terigu antara lain bihun dan soun. Bihun

    merupakan makanan yang terbuat dari beras, sedangkan soun terbuat dari

    kacang hijau atau kentang dan terkadang juga terbuat dari pati ubi jalar (di

    Korea disebut dangmyun atau tangmyon) (Virtucio, 2004). Yang termasuk

    ke dalam mi non-terigu yang lain yaitu mi sagu. Mi sagu adalah mi yang

    terbuat dari pati sagu.

    2. Mi berdasarkan proses pengolahannya

    Berdasarkan proses pengolahannya, mi yang dipasarkan di Indonesia

    terdiri dari mi mentah (Raw Chinese Noodles), mi basah (Boiled Noodle),

    mi kering (Steamed and dried Noodles) dan mi instant (Steamed and Fried

    Noodle/instant noodle) (Haryanto et al., 1992).

    Proses pembuatan mi yaitu semua bahan dicampur dan diaduk dalam

    mixer sampai terbentuk adonan seperti dalam pembuatan roti. Kemudian

  • 6

    ditekan-tekan sampai permukaan adonan halus. Adonan digiling

    membentuk lembaran, lalu dilipat dua kali dan digiling kembali. Proses ini

    dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran adonan betul-betul

    halus, bintik-bintik tepung atau aci tidak kelihatan lagi. Lembaran adonan

    diistirahatkan selama kurang lebih 15 menit supaya semua bahan

    tercampur secara sempurna, lalu diroll sampai mencapai ketebalan kurang

    lebih 0,5 mm. Akhirnya pada tahap ini jenis mi yang dihasilkan adalah mi

    mentah (raw noodle) (Haryanto et al., 1992).

    Mi mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk

    menghasilkan jenis atau bentuk-bentuk mi lainnya. Untuk memproduksi

    mi basah, mi mentah tersebut dibiarkan dulu kurang lebih 30 menit lalu

    direbus dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Kemudian dicuci

    dengan air dingin sampai semua pati yang tidak tergelatinisasi terbuang.

    Setelah ditiriskan, mi diolesi minyak goreng supaya lembaran-lembaran mi

    tidak lengket (Haryanto et al., 1992).

    Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992

    No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

    1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna

    -

    Normal Normal Normal

    2. Air % b/b 20-35 3. Abu (basis kering) % b/b Maks. 3 4. Protein ((N x 6.25) basis

    kering) % b/b Min. 3

    5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin

    -

    Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men/Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada

    6. Cemaran logam 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

    mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

    Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05

    7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05 8. Cemaran mikroba

    8.1 Angka lempeng total 8.2 E.coli 8.3 Kapang

    Koloni/g APM/g

    Koloni/g

    Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104

  • 7

    Tabel 3. Komposisi gizi mi basah

    Zat Gizi Mi Basah Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air

    86 0,6 3,3 14 14 13 0,8 0 0 0 80

    Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979)

    Proses pengolahan mi kering (steam and dried noodle) hampir sama

    dengan pengolahan mi instant. Untuk menghasilkan mi kering, mi mentah

    yang telah didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus lalu

    dikeringkan pada suhu kurang lebih 40 oC. Sedangkan untuk mi instant,

    setelah proses pengukusan (steam) dilanjutkan dengan proses

    penggorengan (fried) (Haryanto et al., 1992).

    C. MI SAGU

    Jenis mi ini banyak ditemukan di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yang

    dikenal dengan nama mi golosor. Mi sagu memiliki harga yang lebih murah

    bila dibandingkan dengan mi yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat

    secara sekilas, penampakan mi ini tidak berbeda jauh dengan mi terigu, namun

    bila dilihat lebih seksama mi ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan

    keras. Hasil pengolahan dari mi sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tapi

    tidak elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat

    menyebutnya mi golosor (Hendrasari, 2000).

    Sebagian besar bahan baku mi sagu adalah pati sagu. Pati sagu

    mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin

    (Wirakartakusumah et al., 1986). Rasio amilosa dan amilopektin akan

    mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka

  • 8

    pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih

    banyak (higroskopis).

    Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g

    Komponen Tapioka Aci Garut Aci Sagu

    Kalori (kal) 362 355 353 Protein (g) 0,5 0,7 0,7 Lemak (g) 0,3 0,2 0,2 Karbohidrat (g) 86,9 85,2 84,7 Air (g) 12,0 13,6 14,0 Fosfor (mg) - 22 13 Kalsium (mg) - 8 11 Besi (mg) - 1,5 1,5

    Sumber : Direktorat Gizi DepKes R.I (1979)

    Mi berbasis pati sangat berbeda dengan mi dari bahan terigu. Kekhasan

    mi berbasis pati adalah dibuatnya adonan dari campuran binder (berupa pati

    tergelatinisasi) dengan pati mentah (native). Binder berfungsi seperti halnya

    gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah ditangani

    (Purwani et al., 2004).

    Pati sagu sesuai untuk diolah menjadi produk mi, namun memiliki

    keterbatasan yang dapat diatasi dengan menambahkan aditif atau

    memodifikasi pati yang bersangkutan. Aditif yang digunakan untuk

    memperbaiki kualitas mi berbasis pati adalah alum potas (Anonim, 2003).

    Alkali dalam pembuatan mi berfungsi untuk menguatkan adonan supaya

    dapat mengembang dengan baik, mempercepat proses gelatinisasi pati dan

    meningkatkan viskositas adonan yang akan memperbaiki kekenyalan mi.

    Fungsi alkali ini terutama diperlukan dalam pembuatan mi dari tepung non-

    terigu yang tidak mengandung gluten. Jenis alkali yang digunakan dalam

    pembuatan mi terutama Sodium atau Kalium Karbonat dan biasanya di

    pasaran dikenal dengan nama air abu (Haryanto et al., 1992).

    Mi sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi sangat

    rendah kandungan protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari, 2000).

  • 9

    Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003

    Sifat Min. Maks. Rata-rata Standar Deviasi

    Tes Laboratorium : Warna : Nilai L Nilai a Nilai b Kekerasan (Kg) Kelengketan (g.cm) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Tes Panelis : Warna Tekstur Aroma

    69,98 4,03

    -38,12 10,20 202,43 72,86 0,38 0,31 3,13

    3,9 5,1 3,8

    81,83 16,63 -22,73 45,1

    272,80 81,09 0,71 0,74 5,18

    7,0 6,2 5,3

    77,33 11,29 -30,17 24,63 233,21 79,00 0,51 0,74 5,18

    4,9 5,2 4,5

    4,09 4,80 5,54 11,92 233,21 5,22 0,11 0,74 5,18

    1,3 0,8 0,5

    Sumber : Purwani et al. (2004)

    Mi sagu termasuk ke dalam mi berbasis pati, oleh karenanya

    terdapat resistant starch (pati resisten). Mi sagu mengandung pati resisten

    sekitar 45 mg/g. Kadar resistant starch di dalam mi sagu 4-5 kali lebih

    besar dibanding kadar resistant starch mi instant terigu (Purwani et al.,

    2005).

    Menurut Munarso (2004) manfaat kesehatan yang dapat

    ditimbulkan oleh pati resisten, antara lain meliputi:

    - Kesehatan saluran pencernaan

    Pati resisten dapat memperbaiki kesehatan kolon dengan cara

    mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat.

    - Manfaat prebiotik

    Pati resisten menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri

    menguntungkan (seperti bifidobacteria), serta menurunkan

    konsentrasi bakteri patogen (misal Escherichia coli dan Clostridia).

    - Pengelolaan energi dan respon glisemik

    Penambahan pati resisten dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat

    tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glisemik yang rendah.

    Sehingga pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada

  • 10

    pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk

    mereka yang melakukan diet.

    C. PENGEMASAN

    1. Kemasan Plastik

    Pengemasan merupakan salah satu cara memberikan kondisi yang

    tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya dalam jangka waktu

    yang diinginkan (Buckle et al., 1987).

    Penggunaan plastik sebagai pengemas untuk adalah melindungi

    produk terhadap cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas,

    kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Plastik juga dapat

    mengurangi kecenderungan bahan pangan kehilangan sejumlah air dan

    lemak, serta mengurangi kecenderungan bahan pangan mengeras. Menurut

    Syarief et al. (1989) penggunaan plastik untuk makanan cukup menarik

    karena sifat-sifatnya yang menguntungkan seperti luwes mudah dibentuk,

    mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti

    wadah logam, serta mudah dalam penanganannya.

    a. Polietilen

    Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen

    yang diperoleh sebagai hasil samping industri arang dan minyak.

    Polietilen merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan

    dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan

    terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah

    digunakan sebagai laminasi (Syarief et al., 1989).

    Polietilen diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu High Density

    Polyethylene (HDPE), Low Density Polyethylene (LDPE), dan Linear

    Low Density Polyethylene (LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap

    daya rentang, kekuatan retak, ketahanan putus, dan mampu

    mempertahankan kestabilannya hingga di bawah suhu -60 oC. Jenis

    plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air,

    namun kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston et al. (1974)

  • 11

    menyatakan titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87 oC. Menurut

    Harrington et al. (1991) kemasan yang terbuat dari LDPE memiliki

    ciri khas lembut, fleksibel dan mudah direntangkan, jernih, penahan

    uap air yang baik namun bukan penahan oksigen yang baik, tidak

    menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah di-seal.

    LLDPE mempunyai struktur yang sebanding dengan LDPE dan

    dibuat pada tekanan rendah, perbedaannya tidak mempunyai rantai

    bercabang yang panjang. Kelebihan LLDPE dibandingkan dengan

    LDPE adalah lebih tahan terhadap bahan kimia, permukaan yang

    mengkilat, memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan tahan pecah

    karena tekanan (Robertson, 1993). Harington et al. (1991)

    menjelaskan bahwa plastik LLDPE memiliki kekuatan seal yang sama

    dengan plastik LDPE dan memiliki kekuatan dan kekerasan yang

    sama dengan plastik HDPE.

    Polietilene dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah)

    (HDPE) memberi pelindungan yang baik terhadap air dan

    meningkatkan stabilitas terhadap panas (Buckle et al., 1987). Titik

    leleh plastik jenis ini yaitu 120-130 oC (Briston et al., 1974). Menurut

    Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat kimia dibandingkan

    dengan LDPE, dan memiliki ketahanan yang baik terhadap minyak

    dan lemak

    b. Polipropilen Polipropilen termasuk jenis olefin dan merupakan polimer dari

    propilen dengan sifat utama ringan dan mudah dibentuk, kekuatan

    tarik lebih mudah daripada polietilen, tidak mudah sobek sehingga

    mudah untuk penanganan dan distribusi, tahan terhadap asam kuat,

    basa dan minyak serta pada suhu tingi akan bereaksi dengan benzene,

    tolen, terpentin dan asam nitrat (Syarief et al., 1989). Menurut

    Robertson (1993), polipropilen memiliki densitas yang lebih rendah

    (900 kg m-3) dan memiliki titik lunak lebih tinggi (140o-150 oC)

    dibandingkan polietilen, transmisi uap air rendah, permeabilitas gas

    sedang, tahan terhadap lemak dan bahan kimia, tahan gores, dan stabil

  • 12

    pada suhu tinggi, serta memiliki kilap yang bagus dan kecerahan

    tinggi.

    Polipropilen lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen,

    serta stabil terhadap suhu tinggi. Plastik polipropilen yang tidak

    mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu

    tetapi bukan penahan gas yang baik (Buckle et al.,1987).

    Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat

    dimodifikasi menjadi OPP (oriented polypropylene) jika dalam

    pembuatannya ditarik satu arah (Syarief et al., 1989). Dijelaskan oleh

    Brown (1992) bahwa orientasi menghasilkan kemasan yang lebih

    kuat, lebih cerah dan meningkatkan ketahanan terhadap uap air.

    OPP film sering digunakan untuk kemasan keripik kentang,

    dimana membutuhkan ketahanan yang baik terhadap oksigen dan

    cahaya (untuk mencegah kerusakan oksidatif), dan tahan terhadap uap

    air (untuk mencegah peningkatan kelembaban dan menjaga

    kerenyahannya) (Eskin et al., 2001). Pada penggunaannya, plastik

    OPP sering diaplikasikan untuk multi-layer laminasi, coated films,

    dan metallized film.

    Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml /cm2 hari atm) pada 10oC

    Plastik tipis Permeablitas

    terhadap O2

    Linear low density polyethylene (LLDPE) 15,7

    High density polyethylene (HDPE) 0,1

    Low density polyethylene (LDPE) 6,7

    Polypropylene (PP) 3,2

    Oriented polypropylene (OPP) 2,1

    Sumber : Yam et al. (1995)

    2. Pengemasan Vakum

    Salah satu usaha untuk mencegah kerusakan oksidatif adalah dengan

    menurunkan kandungan oksigen di sekitar bahan yaitu dengan

    menggunakan gas atau vakum dan kemudian mengemasnya. Menurut

    Sacharow et al. (1978) pengemasan vakum adalah sistem pengemasan

  • 13

    dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan O2

    dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Plastik yang

    digunakan untuk pengemasan vakum adalah plastik yang memiliki

    permeabilitas O2 rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas.

    Menurut Brown (1992) dengan pengemasan vakum membuang udara

    dari head space dalam kemasan dan dari produk itu sendiri, untuk

    mengurangi kerusakan oksidatif pada makanan. Pengemasan vakum dapat

    menghindari pertumbuhan organisme aerobik pada makanan yang

    merupakan media yang potensial untuk pertumbuhannya.

    Bureau et al. (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya pengemasan

    vakum dapat mengurangi kontaminasi bakteri. Akan tetapi teknik ini dapat

    mengakibatkan warna produk menjadi lebih gelap, namun tidak

    menyebabkan penurunan kualitas produk.

    D. PENYIMPANAN MI SAGU

    Mi sagu merupakan salah satu produk mi basah, sehingga memiliki

    umur simpan yang relatif pendek. Menurut Yuniar (2004) kerusakan yang

    terjadi pada mi basah yaitu perubahan warna menjadi gelap, aroma

    berubah menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir, dan tumbuhnya

    kapang. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat dijadikan parameter

    menentukan umur simpan mi basah.

    Yuniar (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyimpanan

    mi pada suhu lemari es dapat memperpanjang umur simpan mi basah.

    Parameter kerusakan untuk mi basah yang disimpan di lemari es adalah

    mulai terlihat tumbuhnya kapang. Pada suhu kamar mi dinyatakan rusak

    pada jam ke-30 sedangkan pada mi penyimpanan suhu lemari es mi

    dinyatakan rusak pada jam ke-288.

  • III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. BAHAN DAN ALAT

    1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan

    baku pembuatan mi sagu berupa tepung sagu dari tanaman Metroxylon

    yang diperoleh dari industri mi sagu di daerah Pancasan (Bogor), tawas

    diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan minyak goreng merk

    Tropical diperoleh dari supermarket di Bogor. Bahan kemasan yang

    digunakan yaitu kemasan laminasi LLDPE (Linier Low Density

    Polyethylene), PE (polyethylene) dan OPP (Oriented Polypropylene) yang

    diperoleh dari PT. Alcan Packaging (Tangerang), dan plastik polipropilen

    (PP) serta plastik Low Density Polyethylene (LDPE) diperoleh dari toko

    plastik di Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu TBA, asam asetat

    glasial, HCL 4 N, PDA, NA, NaCl 0,85 %, air destilata dan bahan untuk

    analisa proksimat.

    2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat

    pembuatan mi dan alat untuk analisa. Alat yang digunakan dalam

    pembuatan mi yaitu panci, kompor gas, pencetak mi, pengaduk kayu,

    saringan plastik, sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu

    waring blender, saringan, pemanas listrik, cawan petri, desikator, oven,

    tanur, timbangan, spektrofotometer, pH meter, thermometer,

    chromameter Minolta CR-300, alat destilasi, soxlet, dan rotavapor.

    B. TEMPAT

    Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2005

    di Laboratorium Pengemasan IPB dan Laboratorium Balai Besar (BB)

    Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor.

  • 15

    C. METODE PENELITIAN

    Penelitian dilakukan dalam dua tahap dengan tahap pertama yaitu

    penentuan waktu pasteurisasi dan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu

    penelitian utama. Penentuan waktu pasteurisasi bertujuan untuk mengurangi

    total mikroba yang ada pada mi, sehingga dapat mengurangi kerusakan pada

    mi akibat aktivitas mikroba.

    1. Penentuan Waktu Pasteurisasi

    Pemilihan waktu pasteurisasi diperoleh berdasarkan Kruger et al.

    (1996), menurutnya kombinasi suhu dan waktu untuk membunuh

    Staphilococcus pada pasta segar, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC;

    10 menit pada suhu 65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC. Dengan

    mengasumsikan kontaminasi mikroba pada produk mi sagu sama dengan

    pasta, maka waktu pasteurisasi yang digunakan adalah 3 menit, 5 menit, 7

    menit dan 9 menit pada suhu 70-75 oC.

    Pasteurisasi dilakukan dengan mengukusnya di dalam panci. Pada

    penentuan waktu pasteurisasi ini akan diamati efek lama pasteurisasi

    terhadap jumlah bakteri dan kapang pada mi sagu setelah pasteurisasi.

    Lama pasteurisasi yang dapat membunuh bakteri dan kapang lebih banyak

    dengan tekstur mi yang tidak terlampau lembek akan digunakan pada

    penelitian selanjutnya.

    2. Penelitian Utama

    Sebelum melakukan penyimpanan mi sagu, dilakukan pembuatan

    mi sagu. Dalam pembuatan mi diawali dengan pembuatan binder.

    Campuran binder yaitu tepung sagu, air, dan tawas. Mula-mula air panas

    dicampurkan ke dalam tawas, lalu ditambahkan tepung sagu dan diaduk

    hingga campuran merata. Selanjutnya ditambahkan tepung sagu sedikit

    demi sedikit hingga adonan menjadi kalis. Setelah adonan kalis, dilakukan

    pencetakan mi. Mi yang telah dicetak kemudian direbus di dalam air

    mendidih hingga mi mengapung, lalu dimasukkan ke dalam air dingin.

    Setelah mi dingin, selanjutnya ditiriskan dan dilumuri minyak sayur agar

  • 16

    tidak lengket. Mi yang telah diberi penambahan minyak kemudian

    dikemas dalam tiga jenis kemasan plastik yaitu kemasan laminasi

    OPP/PE/LLDPE, PP (Polipropilen), dan LDPE (Low Density

    Polyethylene). Selain kemasan tanpa vakum, mi juga dikemas dengan

    kondisi pengemasan vakum. Mi sagu yang telah dikemas, kemudian

    dipasteurisasi dengan waktu pasterurisasi diperoleh dari penelitian

    sebelumnya.

    Setelah dilakukan pasteurisasi, kemudian diakukan analisa

    proksimat dan penghitungan total bakteri dan kapang. Setelah itu mi

    disimpan selama 50 hari di dalam refrigerator (5 oC) dan setiap lima hari

    sekali dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan adalah

    sineresis, cooking loss, ketengikan (nilai TBA), pH, dan warna. Analisa

    yang pertama kali dilakukan setiap pengambilan sampel dari lemari es

    adalah sineresis. Selanjutnya, dilakukan persiapan sampel untuk analisa

    berikutnya. Persiapan sampel yang dilakukan yaitu membilas sampel

    dengan air panas hingga setiap helai mi saling terpisah. Selain analisa-

    analisa terebut, juga dilakukan penentuan total bakteri dan total kapang

    pada awal penyimpanan, penyimpanan hari ke-25 dan akhir penyimpanan

    (hari ke-50). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

    Perlakuan yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah :

    A = Jenis kemasan

    A1 = Kemasan OPP/PE/LLDPE

    A2 = Kemasan Poliprolilen (PP)

    A3 = Kemasan LDPE

    B = Kondisi pengemasan

    B1 = vakum

    B2 = non vakum

  • 17

    Tepung sagu Tawas Air panas

    Pencampuran

    Binder

    Tepung sagu Pencampuran hingga adonan kalis

    Pencetakan mi

    Perebusan

    Perendaman

    Penirisan

    Pelumuran

    Pengemasan

    Minyak goreng

    Jenis kemasan : A1 : OPP/PE/LLDPE A2 : Polipropilen A3 : LDPE

    Kondisi pengemasan : B1 : Vakum B2 : Non vakum

    Pasteurisasi

    A

    Penirisan

  • 18

    Gambar 1. Diagram alir penelitian

    A

    Penyimpanan selama 50 hari (5oC) dengan pengamatan : - Sineresis - Cooking loss - Ketengikan (nilai TBA) - pH - Warna - Total bakteri dan kapang

    Analisa proksimat : - Kadar air - Kadar lemak - Kadar protein - Kadar abu

    Analisa awal : - Cooking loss - pH - Ketengikan (nilai TBA) - Warna - Total bakteri dan kapang

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI

    Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan

    adalah dengan proses pasteurisasi. Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada

    suhu dan waktu tertentu dimana semua patogen yang berbahaya bagi manusia

    akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberkulosis dan bruselosis

    (Fardiaz, 1992). Menurut Labuza (1982) pasteurisasi adalah perlakuan

    pemanasan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme hidup

    pada makanan sehingga dapat memperpanjang daya simpannya dan

    membunuh mikroorganisme patogen.

    Dari sekian banyak bakteri patogen, Staphilococcus aureus merupakan

    bakteri yang paling berbahaya, karena memproduksi enterotoksin.

    Enterotoksin adalah toksin yang spesifik terhadap sel intestin, dan

    menimbulkan gejala keracunan makanan (Fardiaz, 1992). Pada pasta (seperti

    spaghetti dan fettuccini), toksin ini tidak dapat dihancurkan dengan

    pengeringan HT (high temperature) maupun pemasakan, dan terus hidup

    hingga di dalam kemasan hingga lebih dari satu tahun. Oleh karena itu, salah

    satu cara untuk mencegah kontaminasi pada pasta dari enterotoksin adalah

    dengan mencegah kontaminasi bakteri terhadap bahan baku dan menjaga

    proses produksi untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Lama pertumbuhan

    dan perkembangbiakan bakteri S. aureus tidak konstan, namun cepat, sekitar

    20-25 menit. Kombinasi suhu dan waktu penting untuk membunuh

    Staphilococcus, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC; 10 menit pada suhu

    65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC (Kruger et al., 1996).

    Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mencari waktu pasteurisasi

    yang paling efektif. Waktu pasteurisasi yang digunakan sebagai perlakuan

    adalah 3 menit, 5 menit, 7 menit dan 9 menit. Suhu pasteurisasi yang

    digunakan 70-75 oC.

  • 20

    Tabel 7. Total mikroba (koloni/g)

    Jumlah

    (koloni/g)

    Mikroba

    Bakteri Kapang

    T1 53,5x103 5,5x102

    T2 41x103 6,5x102

    T3 2,5x103 1,5x102

    T4 2x103 4x102

    Keterangan : T1: Waktu pasteurisasi 3 menit T2 : Waktu pasteurisasi 5 menit T3 : Waktu pasteurisasi 7 menit T4 : Waktu pasteurisasi 9 menit

    Hasil pengamatan diperoleh dengan menghitung total bakteri dan kapang

    pada mi setelah mengalami proses pasteurisasi. Dari hasil pengamatan, bakteri

    dan kapang masih terdapat pada sebagian besar perlakuan. Semakin lama

    waktu pasteurisasi, bakteri yang terdapat pada mi semakin sedikit. Total

    bakteri pada mi dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit dan 5

    menit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mi dengan perlakuan waktu

    pasteurisasi selama 7 menit dan 9 menit, sedangkan total kapang pada mi

    dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 7 menit lebih rendah

    dibandingkan dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit, 5 menit

    dan 9 menit. Data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7. Secara visual mi

    yang dipasteurisasi selama 7 menit memiliki tesktur yang tidak terlalu lembek

    dibandingkan dengan mi yang dipasteurisasi selama 9 menit. Oleh karena itu

    ditentukan waktu pasteurisasi untuk penelitian ini yaitu selama 7 menit.

    B. PENELITIAN UTAMA

    Pengemasan mi sagu pada penelitian ini dilakukan dengan dua faktor

    yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Setelah dilakukan pembuatan mi

    sagu, selanjutnya mi dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu kemasan

    laminasi OPP/PE/LLDPE, polipropilen dan LDPE. Ketiga jenis kemasan

    tersebut dikemas dengan dua kondisi pengemasan, yaitu vakum dan non

  • 21

    vakum. Setelah dilakukan pengemasan, selanjutnya mi dipasteurisasi dengan

    waktu pasteurisasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan kemudian

    disimpan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC). Perubahan karakteristik

    mi diamati setiap 5 hari sekali yang meliputi sineresis, cooking loss, derajat

    keasaman (pH), ketengikan (nilai TBA) dan warna.

    Mi sagu sebelum penyimpanan perlu dianalisa untuk mengetahui

    perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal mi

    sagu dapat dilihat pada Tabel 8.

    Tabel 8. Analisa awal mi sagu

    No. Analisa Nilai

    1 Cooking loss (%) 0,68

    2 Derajat keasaman (pH) 4,695

    3 Ketengikan (mg malonaldehid/kg

    sampel) 0,559

    4 Warna :

    - L (kecerahan)

    - Derajat Hue

    - Nilai Chroma

    51,32

    86,02

    6,20

    5 Kadar Air (% bb) 69,08

    6 Kadar Abu (%) 0,18

    7 Kadar Lemak (% bk) 5,64

    8 Kadar Protein (% bb) 0,97

    9 Kadar Karbohidrat, by difference (%) 25,86

    Mi sagu merupakan produk yang mengandung kadar air yang tinggi.

    Tingginya kadar air pada produk akan menyebabkan produk mudah rusak,

    baik karena pertumbuhan mikroba maupun terjadinya penguapan air. Kadar

    air mi sagu berada di atas standar mutu mi basah (SNI 01-2987-1992),

    sedangkan kadar abu masih memenuhi standar. Kadar abu menunjukkan

    banyaknya abu atau kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pangan.

  • 22

    Kadar abu yang tinggi berarti kandungan mineral yang tinggi pula (Winarno,

    1984).

    Adanya air dalam mi dapat mempengaruhi kadar lemaknya karena dapat

    terjadi hidrolisis. Widjajanti (1993) menyatakan bahwa terhidrolisanya lemak

    dapat mengurangi jumlah kandungan lemak. Hidrolisa lemak dapat terurai

    menjadi gliserol dan asam lemak bebas.

    Mi sagu memiliki kadar protein yang rendah namun kadar

    karbohidratnya tinggi yaitu di bawah satu persen. Rata-rata derajat hue mi

    sagu yang diperoleh yaitu sebesar 86,02 dan rata-rata nilai chroma yaitu

    sebesar 6,02. Berdasarkan derajat hue dan nilai chroma tersebut maka dapat

    dilihat warna mi sagu pada diagram warna pada Gambar 10. Warna mi sagu

    ditunjukkan dengan titik berwarna kuning pada diagram. Mi sagu yang dibuat

    dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2..

    Gambar 2. Produk mi sagu

    1. Sineresis

    Sineresis adalah perbandingan banyaknya air yang keluar dari mi per

    volume mi-nya. Sineresis merupakan fenomena yang menggambarkan

    retrogradasi gel dan melibatkan peristiwa penyusunan kembali molekul

    amilosa dan amilopektin. Sineresis akan meningkat sejalan dengan

    penyusunan kembali amilosa. (Dufour et al., 1996). Semakin lama

    penyimpanan, terjadi peningkatan interaksi antar rantai pati dan pada

  • 23

    akhirnya terjadi pembentukan kristal. Peristiwa ini disebut dengan

    retrogradation, yaitu kristalinasi dari rantai pati dalam gel (Christensen,

    1974).

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa sineresis mi cenderung

    meningkat selama penyimpanan. Dari Gambar 3 terlihat pada hari ke-15

    mulai terjadi peningkatan nilai sineresis, hal ini diduga mulai hari ke-15

    pati mulai rapuh. Pada saat pati berada pada suhu rendah, struktur rantai

    pati menjadi rapuh dan ikatan hidrogennya semakin kuat, sehingga

    membentuk gel yang rapat. Semakin lama penyimpanan, rantai pati akan

    mengalami kecenderungan untuk memperkuat ikatannya, sehingga

    memaksa air yang berada dalam gel untuk keluar (Hoseney, 1998).

    Sineresis sangat erat kaitannya dengan tekstur dari mi. Semakin lama

    penyimpanan, tekstur mi semakin keras dan keelastisannya menurun.

    Kemasan polipropilen cenderung memiliki nilai sineresis yang tinggi

    selama penyimpana terutama dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal

    ini menunjukkan perlakuan kemasan polipropilen non vakum memberikan

    nilai sineresis yang lebih tinggi pada penyimpanan suhu rendah.

    Nilai sineresis terendah yaitu terdapat pada perlakuan kemasan

    LDPE. Permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi dibandingkan kemasan

    polipropilen, namun memiliki nilai sineresis yang rendah. Nilai sineresis

    yang rendah untuk kemasan LDPE ini diduga karena terjadi penguapan air

    ke luar kemasan akibat perbedaan kelembaban antara produk dengan

    sistem (refrigerator). LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap

    uap air, maka penguapan air sineresis ke luar bahan kemasan juga menjadi

    lebih tinggi.

    Kondisi pengemasan vakum memberikan rata-rata nilai sineresis

    terendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini

    menunjukkan bahwa kondisi pengemasan vakum mampu menghambat

    terjadinya sineresis. Rendahnya nilai sineresis pada perlakuan vakum

    diduga karena proses pemvakuman menyebabkan kemasan menjadi rapat

    dengan memperkecil ruang kosong di dalam kemasan. Sehingga pada saat

  • 24

    terjadi sineresis, air yang terdesak ke luar produk menjadi sulit untuk

    mengisi sisa ruang antara mi dan kemasan.

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    7

    8

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Nila

    i Sin

    eres

    is (%

    )

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan

    Jenis kemasan tidak mempengaruhi sineresis mi sagu secara

    langsung akan tetapi akan mempengaruhi perpindahan massa uap air dari

    luar ke dalam kemasan maupun dari dalam ke luar kemasan. Pada

    kemasan OPP/PE/LLDPE terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis,

    terutama untuk perlakuan non vakum. Pada kemasan polipropilen terlihat

    terjadi peningkatan nilai sineresis hingga hari ke-40, selanjutnya hingga

    hari ke-50 terjadi penurunan nilai sineresis. Hal ini juga terjadi pada

    kemasan LDPE yang mengalami penurunan nilai sineresis lebih cepat

    daripada kemasan polipropilen. Penurunan nilai sineresis diduga karena air

    sineresis dalam kemasan dikonsumsi oleh kapang yang mulai tumbuh pada

    mi dalam kemasan tersebut.

  • 25

    2. Cooking loss

    Pada saat tahap pemasakan, sebagian kecil dari mi akan terpisah dari

    mi dan tersuspensi ke dalam air. Mi kemudian menjadi lembek dan licin,

    dan air rebusan menjadi keruh dan kental. Peristiwa ini disebut sebagai

    cooking loss (Chen et al., 2002).

    Cooking loss menunjukkan jumlah padatan yang hilang selama

    pemasakan. Mi yang bermutu baik adalah mi yang memiliki integritas

    yang baik selama perebusan, antara lain memiliki jumlah padatan yang

    hilang yang terdapat pada air rebusannya sangat rendah.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cooking loss cenderung

    mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena

    selama penyimpanan struktur pati semakin rapuh. Cooking loss tertinggi

    yaitu pada kemasan polipropilen non vakum di hari ke-50, sedangkan

    cooking loss terendah yaitu pada kemasan LDPE non vakum di hari ke-25.

    Rata-rata cooking loss cenderung tinggi untuk kemasan dengan

    kondisi pengemasan non vakum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

    Luchsinger et al.(1996) mengenai pastel daging sapi, bahwa pastel daging

    sapi yang dikemas vakum memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah

    dibandingkan dengan yang non vakum.

    0.20

    0.40

    0.60

    0.80

    1.00

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari Ke-

    Coo

    king

    loss

    (%

    )

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 4. Diagram rata-rata cooking loss mi sagu selama penyimpanan

  • 26

    3. Derajat Keasaman (pH)

    Dari hasil pengamatan, pH rata-rata mengalami penurunan pada hari

    ke-5, kemudian cenderung meningkat hingga hari ke-50, namun masih

    berkisar antara pH 4-5,5. Menurut Winarno (1980), keaktifan enzim

    terletak di antara pH 4-8. Beberapa mikroorganisme seperti kapang dan

    khamir dapat memecah asam sehingga akan meningkatkan pH. Kapang

    akan mengisolasi asam dan menghasilkan produk akhir yang bersifat basa

    karena reaksi proteolisis. Selain itu kenaikan pH terjadi karena

    terbentuknya senyawa-senyawa hasil peruraian protein oleh

    mikroorganisme yang bersifat basa seperti amoniak.

    Rata-rata nilai pH untuk kemasan LDPE cenderung lebih rendah

    dibandingkan dengan kemasan OPP/PE/LLDPE. Hal ini menunjukkan

    bahwa permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi daripada kemasan

    OPP/PE/LLDPE. Rendahnya derajat keasaman mi sagu pada kemasan

    LDPE karena jenis kemasan LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi,

    sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat

    mempercepat laju pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan

    mikroorganisme yang cepat dapat menaikkan pH karena jumlah amoniak

    yang terbentuk sebagai hasil metabolisme mikroorganisme meningkat.

    4.00

    4.50

    5.00

    5.50

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Nila

    i pH

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 5. Diagram pH rata-rata mi sagu selama penyimpanan

  • 27

    4. Ketengikan

    Pada tahap akhir pembuatan mi sagu, dilakukan penambahan minyak

    sayur ke permukaan mi agar setiap helai mi tidak saling lengket. Adanya

    minyak sayur tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketengikan pada mi.

    Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai

    malonaldehid. Malonaldehid bila direaksikan dengan thiobarbiturat akan

    membentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai

    dengan jumlah malonaldehid yang ada dan absorbansinya dapat ditentukan

    dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Tarladgis et

    al., 1960).

    Ketengikan mi selama penyimpanan mula-mula meningkat hingga

    hari ke-5, namun kemudian menurun tajam di hari berikutnya. Hal ini

    diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang

    teroksidasi dan kemudian bereaksi dengan TBA (Thiobarbituric acid)

    sehingga ikut memberikan warna merah (Kohne et al., 1944, Bernheim et

    al., 1947, dan Buttkus et al., 1972).

    Dahle et al. (1962) mengemukakan bahwa kemungkinan adanya

    aldehide lain yang ikut bereaksi dengan TBA juga dapat memberikan

    warna merah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya

    hidrolisis pada lemak yang menghasilkan asam-asam lemak jenuh dan

    tidak jenuh. Degradasi asam-asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan

    terbentuknya aldehide, yang ditandai dengan bilangan TBA yang tinggi.

    Zat lain yang mungkin berpengaruh besar ikut teroksidasi pada awal

    penyimpanan, sehingga memberikan warna merah adalah hasil degradasi

    pati. Nawar (1985) menyatakan bahwa sukrosa telah diketahui

    memberikan warna merah ketika bereaksi dengan TBA.

    Setelah hari ke-20, nilai TBA mengalami penurunan dan cenderung

    tidak mengalami peningkatan yang signifikan hingga pengamatan hari ke-

    50. Hal ini diperkirakan karena komponen gula hasil degradasi dari pati mi

    sagu telah menghambat ketengikan dan tidak ikut bereaksi lagi dengan

    TBA. Oleh karena itu penyimpangan nilai TBA akibat adanya gula diduga

    tidak terjadi lagi. Menurut Janero (1990) penurunan nilai TBA selama

  • 28

    penyimpanan dapat terjadi akibat adanya reaksi antara malonaldehid

    dengan protein dan gula.

    0

    1

    2

    3

    4

    5

    6

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Nila

    i TB

    A (m

    g m

    alon

    alde

    hide

    /kg

    sam

    pel)

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 6. Diagram rata-rata Nilai TBA mi sagu selama

    penyimpanan

    Selama penyimpanan, mi sagu tidak mengalami perubahan aroma

    karena kerusakan oksidasi pada minyak. Hal ini dapat saja terjadi karena

    hasil oksidasi masih merupakan senyawa-senyawa antara seperti peroksida

    dan hidroperoksida dan belum terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa

    penyebab bau tengik seperti aldehid, keton, dan asam lemak bebas.

    (Ketaren, 1986). Mi dengan penambahan alkali termasuk ke dalam

    makanan daerah tropis, dimana selama penyimpanan tidak beraroma

    (Kruger et al., 1996).

    5. Warna

    Menurut Hoseney (1998) selain timbulnya kapang, kerusakan pada

    mi basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah

  • 29

    disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es (5oC). Mi yang bermutu

    baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna

    yang terjadi selama penyimpanan ini diperkirakan karena adanya aktivitas

    enzim polifenoloksidase. Enzim polifenol mengkatalisis polifenol menjadi

    kuinon dan selanjutnya terpolimerisasi menjadi warna merah.

    Dari hasil pengamatan, tingkat kecerahan mi yang diperoleh dari

    nilai L, menunjukkan terjadi penurunan selama penyimpanan. Perubahan

    warna ini dapat diamati secara visual yaitu warna mi berubah menjadi

    agak lebih gelap, terutama untuk mi yang dikemas secara vakum,

    walaupun perubahannya tidak signifikan. Perubahan yang tidak signifikan

    ini diduga karena mi sebelumnya mengalami proses pasteurisasi sehingga

    enzim polifenoloksidase telah rusak. Proses pasteurisasi yang

    mempengaruhi enzim polifenoloksidase, mengakibatkan proses browning

    pada mi menjadi lambat.

    Rata-rata nilai L untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non

    vakum lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal

    ini menunjukkan bahwa kondisi vakum memberikan kecerahan yang lebih

    rendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum.

    Kemasan polipropilen non vakum memiliki rata-rata nilai hue yang

    tinggi. Hal ini disebabkan karena kemasan polipropilen memiliki

    permeabilitas yang rendah sehingga penguapan uap air dari dalam ke luar

    kemasan rendah. Migrasi uap air yang tinggi mengakibatkan warna produk

    menjadi lebih gelap.

  • 30

    40.00

    45.00

    50.00

    55.00

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Nila

    i L

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan

    Dari hasil pengamatan, derajat hue mi sagu termasuk ke dalam

    kelompok warna Yellow red atau kuning kemerahan. Selama penyimpanan

    warna mi sagu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perlakuan

    vakum cenderung memiliki derajat hue yang lebih rendah dibandingkan

    dengan perlakuan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan

    vakum berwarna lebih merah dibandingkan dengan perlakuan non vakum.

    80.00

    82.00

    84.00

    86.00

    88.00

    90.00

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Der

    ajat

    Hue

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 8. Diagram rata-rata derajat hue mi sagu selama penyimpanan

  • 31

    Nilai chroma menunjukkan ketajaman warna dari produk. Nilai

    chroma mi sagu selama penyimpanan cenderung menurun, hal ini berarti

    berkurangnya intensitas warna kuning pada mi.

    Kondisi pengemasan non vakum memiliki rata-rata nilai chroma

    tertinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini berarti

    kondisi pengemasan non vakum memberikan warna yang lebih cerah

    dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum.

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-

    Nila

    i Chr

    oma

    A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

    Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu selama

    penyimpanan

    6. Total Mikroba

    Setelah terjadinya perubahan warna, perubahan yang timbul pada mi

    adalah aroma mi menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir.

    Pembentukan lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan

    diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang

    ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mi.

    Pertumbuhan kapang pada mi ditandai dengan munculnya bercak-

    bercak berwarna kuning kemerahan pada permukaan mi. Mi yang dikemas

  • 32

    dengan kemasan LDPE non vakum mengalami pertumbuhan kapang lebih

    cepat dibandingkan dengan kemasan lainnya. Pada pengamatan hari ke-25,

    jamur sudah tumbuh pada kemasan LDPE non vakum. Selanjutnya pada

    pengamatan hari-35, mi yang dikemas dengan plastik LDPE yang divakum

    ditumbuhi jamur. Mi yang dikemas dengan plastik polipropilen non vakum

    telah ditumbuhi jamur pada pengamatan hari ke-40, sedangkan yang

    vakum hingga pengamatan hari ke-50 masih terlihat baik.

    Hingga hari ke-25 terjadi laju penurunan total kapang, namun hari

    berikutnya terjadi peningkatan laju pertumbuhan kapang. Hal ini diduga

    pada kurun waktu awal penyimpanan hingga hari ke-25 terjadi tahapan

    dimana kapang mengalami tahap tumbuh reda, dimana nutrisi yang

    tersedia menurun atau karena racun metabolisme sendiri. Jumlah kapang

    akan meningkat selama penyimpanan mi sagu. Pada pengamatan hari ke-

    50, total rata-rata kapang untuk kemasan LDPE non vakum sudah

    melebihi batas maksimal cemaran mikroba dalam syarat mutu mi basah

    menurut SNI 01-2987-1992.

    Mikroba yang terdapat pada mi diduga berasal dari bahan baku mi

    yaitu tepung sagu. Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang

    terdapat pada tepung yaitu kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa

    terdapat pada tepung yaitu Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus

    serta beberapa spesies Achromobacterium, sedangkan kapang yang

    ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus,

    Rhizopus, Mucor, Fusarium, Penicillium.

    Jenis kemasan dengan permeabilitas rendah dan dikemas secara

    vakum yaitu kemasan OPP/PE/LLDPE dan PP vakum memiliki total

    mikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan LDPE. Hal ini

    menunjukkan bahwa permeabilitas yang rendah dapat menekan laju

    pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat pada mi yang sebagian besar

    bersifat aerobik.

  • 33

    C. BIAYA PENGEMASAN

    Biaya pengemasan merupakan salah satu elemen dari biaya produksi,

    dimana nantinya dapat menentukan harga produk. Salah satu cara untuk

    memperoleh keuntungan yang tinggi adalah dengan menekan biaya produksi.

    Oleh karenanya biaya untuk pengemasan diusahakan agar serendah mungkin,

    namun tetap memberikan perlindungan yang baik terhadap produk. Unsur-

    unsur yang dimasukkan dalam biaya pengemasan adalah biaya bahan

    kemasan, biaya mesin pengemas, dan biaya proses pengemasan.

    Berdasarkan Tabel 9 biaya pengemasan tertinggi adalah perlakuan

    kemasan OPP/PE/LLDPE, sedangkan. biaya pengemasan yang terendah

    adalah perlakuan kemasan polipropilen non vakum dan kemasan LDPE non

    vakum. Oleh karena itu, dari segi biaya pengemasan maka pengemasan yang

    murah namun dapat mempertahankan umur simpan mi sagu yaitu kemasan

    polipropilen dengan kondisi pengemasan non vakum.

    Tabel 9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan

    Jenis kemasan

    Kondisi pengemasan

    Harga kemasan

    /unit

    Biaya pengemasan

    /unit

    Total biaya pengemasan

    /unit OPP/PE/LLDPE Vakum 121 1,55 122,55

    Non vakum 121 1,46 122,46 Polipropilen Vakum 60 1,55 61,55

    Non vakum 60 1,46 61,46 LDPE Vakum 60 1,55 61,55

    Non vakum 60 1,46 61,46

    Keterangan :

    Ukuran plastik : 20,5 cm x 11,8 cm

    Harga kemasan : OPP/PE/LLDPE = Rp. 2.500,00/m2

    Polipropilen = Rp. 24.000,00/kg

    LDPE = Rp. 24.000,00/kg

    Sealer : 300 watt

    Penerangan : 25 watt

  • 34

    Pengemas vakum : 750 watt

    Listrik : Rp. 450/kwh

    Tenaga kerja : 1 orang (Rp. 25.000,00/hari)

    D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK

    Penentuan perlakuan terbaik diperoleh dari hasil pembobotan

    secara subjektif. Jumlah pembobotan tersebut diperoleh berdasarkan

    penilaian 3 peneliti sagu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

    Pascapanen Pertanian, Bogor. Untuk menentukan perlakuan terbaik, setiap

    parameter yang diuji diberikan bobot dari 0,01 hingga 1 berdasarkan

    penilaian kepentingannya. Semakin besar jumlah bobotnya maka semakin

    tinggi nilai kepentingannya.

    Nilai rata-rata hasil analisa dari setiap parameter selama

    penyimpanan kemudian diurutkan berdasarkan ranking. Peringkat pertama

    diberi nilai 6, peringkat kedua diberi nilai 5, peringkat ketiga diberi nilai 4

    dan seterusnya hingga peringkat yang terendah bernilai 1. Secara umum

    semakin rendah nilai hasil analisa maka nilai peringkatnya semakin tinggi.

    Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai

    peringkat dikalikan dengan bobot setiap parameter pengujian. Nilai total

    kemudian diranking hingga diperoleh perlakuan terbaik. Perlakuan terbaik

    ditunjukkan dengan ranking terbesar (nilai 6). Tabel perhitungan

    penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada

    Lampiran 11. Dari hasil pembobotan secara subjektif diperoleh kemasan

    polipropilen yang dikemas dengan cara vakum sebagai cara pengemasan

    terbaik untuk mengemas mi sagu.

    Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu

    Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot (W)

    Sineresis Mi yang berair dapat mengurangi daya tarik konsumen

    0,16

    Biaya pengemasan Biaya pengemasan berpengaruh terhadap harga produk

    0,14

    Cooking loss Kualitas pemasakan mi dipengaruhi cooking loss

    0,13

  • 35

    Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu (lanjutan)

    Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot (W)

    Derajat keasaman Mi yang asam menunjukkan adanya aktivitas mikroba

    0,07

    Ketengikan Lemak yang tengik menyebabkan perubahan aroma

    0,10

    Total kapang Menentukan umur simpan produk 0,17 Total bakteri 0,12 Kecerahan Mempengaruhi tingkat kesukaan warna 0,11 Total 1,00

    Tabel 11. Skor hasil pembobotan dari tiap perlakuan

    Ranking Perlakuan Skor

    1 A3B2 3,01 2 A2B2 3,07 3 A3B1 3,23 4 A1B2 3,72 5 A1B1 3,83 6 A2B1 4,14

    Keterangan : A1 = Jenis kemasan OPP/PE/LLDPE A2 = Jenis kemasan Polipropilen A3 = Jenis kemasan LPDE B1 = Kondisi pengemasan vakum B2 = Kondisi pengemasan non vakum

  • V. KESIMPULAN DAN SARAN

    A. KESIMPULAN

    1. Nilai sineresis mengalami kenaikan selama penyimpanan. Perubahan nilai

    sineresis dipengaruhi oleh jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Dari

    hasil penelitian diperoleh bahwa kemasan LDPE vakum memiliki nilai

    sineresis terendah. Permeabilitas kemasan yang tinggi menyebabkan air

    sineresis mudah menguap ke luar bahan kemasan.

    2. Selama penyimpanan, cooking loss mi sagu cenderung mengalami

    peningkatan. Peningkatan cooking loss mi sagu dapat dihambat dengan

    mengemasnya secara vakum.

    3. Nilai TBA mengalami peningkatan pada awal penyimpanan namun

    kemudian menurun tajam setelah hari ke-20. Peningkatan nilai TBA ini

    diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang teroksidasi

    dan kemudian bereaksi dengan TBA sehingga memberikan warna merah

    yang terukur sebagai malonaldehid. Selama penyimpanan, secara

    keseluruhan ketengikan mi sagu cenderung tidak berubah namun pada akhir

    penyimpanan terjadi peningkatan. Hal yang sama juga terjadi pada derajat

    keasaman (pH). pH mi sagu selama penyimpanan cenderung tidak

    mengalami perubahan yaitu berkisar antara 4,7-4,8.

    4. Selama penyimpanan warna yang dihasilkan dari mi sagu berkisar antara

    yellow red dan yellow. Kecerahan (L) dan nilai chroma mengalami

    penurunan, sedangkan derajat hue tidak mengalami perubahan secara nyata.

    Kecerahan mi sagu dapat dipertahankan dengan menggunakan kemasan

    polipropilen non vakum. Rata-rata kecerahan (nilai L) mi sagu yaitu 48,68,

    derajat hue 84,92 dan nilai chroma 3,85.

    5. Total bakteri dan kapang mengalami peningkatan selama penyimpanan.

    Secara visual, kemasan OPP/PE/LLPDE baik vakum maupun non vakum

  • 37

    dan kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi

    sagu hingga akhir penyimpanan (hari ke-50).

    6. Perlakuan terbaik yang diperoleh untuk mengemas mi sagu yaitu

    menggunakan kemasan polipropilen dengan kondisi pengemasan vakum

    dengan rata- rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan

    (nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40,

    derajat hue 86,03, nilai chroma 3,29, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total

    kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.

    B. SARAN

    1. Perlu dilakukan penelitian penerimaan konsumen terhadap mi sagu secara

    umum dan jenis kemasan serta kondisi pengemasan terhadap mi sagu secara

    khusus.

    2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur simpan mi

    sagu yang dikemas dengan kemasan plastik polipropilen vakum, dengan

    menambah waktu penyimpanan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2003. Dietary Fiber and Resistant Starch Analysis.

    http://www.fao/deocrep/w8079e/8079e0i.html. Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni luh Puspitasari, Sedarnawati, dan Slamet

    Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI. SNI 01-2987-1992. Mi Basah. BSN,

    Jakarta. Briston, John H., dan Leonard L. Katan. 1974. Plastic in Contact With Food. The

    Anchor Press Ltd., Great Britain. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and Wooton. 1987. Ilmu Pangan.

    Terjemahan UI-Press, Jakarta. Buttkus, H. dan R.J. Rose. 1972. JAOCS 50: 387. Chen, Z, L. Sagis, A. Ledder, J.P.H. Linssen, H. A. Schols dan A. G. J. Voragen.

    2002. Phsycochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Journal of Food Science 67 : 3342-3347.

    Collado, L. S., L. B. Mabesa, C. G. Oates dan H. Corke. 2001. Bihon-Types

    Noodles From Heat-Moisture Treated Sweet Potato Starch. Journal of Food Science 66(4):604-609.

    Christensen, C. M. 1974. Storage of Cereal Grains and Their Products. American

    Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Dahle, L. K., E. G. Hill dan R.T. Holman. 1962. Arch. Biochem. Biophys 98 :

    253. Dennis, Colin dan Michael Stringer. 1992. Chilled Foods a Comprehensive Guide.

    Ellis Horwood Limited, England. Dick, J. W., Shelke, K., Holm, Y. dan K. S. Loo. 1986. The Effect of Wheat Flour

    Quality, Formulation and Processing on Chinese Wet Noodle Quality. Research report, Dept. of Cereal Science and Food Technology, North Dakota State University, Fargo, ND.

    Direktorat Gizi Dep Kes R.I .1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata

    Karya Aksara, Jakarta.

  • 39

    Dufour, D., Amani, N. G., Tetchi, F. A.., dan Kamenan, A. A Comparative Study of the Syneresis of Yam Starches and Other Modified Starches. 2002. The Journal of Food Technology in Africa 7 : 4-8.

    Eskin, N.A. Michael dan David S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability.

    CRC Press LLC., Florida. Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta. Gracecia, Daniel. 2005. Profil Mie Basah Yang Diperdagangkan di Bogor dan

    Jakarta. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins. 1991. Packaging Foods with

    Plastics. Technomic Publishing Co., Inc., Lancaster, USA. Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu.

    Kanisius, Yogyakarta. Hendrasari, R. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai terhadap Sifat Fisik,

    Kimia, dan Daya Terima Bihun dan Mie Golosor. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.

    Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition.

    American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Hutchings, John B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen

    Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland. Janero, D. R. 1990. Malonaldehyde and Thiobarbituric Acid Reactivity as

    Diagnostic Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury. Free Radicals and Biological Medicine 9 : 515-540.

    Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press,

    Jakarta. Kohne, H. I., dan M. Liversedge, 1944. J. Pharmacol. and Exp. Therap. 82 : 292. Kruger, James E., Robert B. Matsuo dan Joel W. Dick. 1996. Pasta and Noodle

    Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.

    Labuza, 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc.,

    Westport, Connecticut.

  • 40

    Luchsinger, S. E, D. H. Kropf, C. M. Garca Zepeda, J. L. Marsden, S. L. Stroda, M. C. Hunt, E. Chambers IV ,M. E. Hollingsworth, dan C. L. Kastner.1996. Sensory Traits, Color, and Shelf Life of Low-Dose Irradiated, Raw, Ground Beef Patties. http://www.oznet.ksu.edu/ANSI/CatlDay/luc3.pdf.

    Munarso, S Joni. 2004. Pati Resistan dan Peluang Perbaikan Mutu Pangan

    Tradisional. Prosiding Seminar Nasional. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional.

    Nawar, W. 1985. Lipids. Fennema, O. R (ed.). Food Chemistry. Marcel Dekker,

    Inc., New York. Nova, Andi. 2002. Studi Umur Simpan Tepung Cincau Hitam dalam Kemasan

    Plastik. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Purwani, E. Y., Y. Setiawati, H. Setianto, S. J. Munarso, N. Richana dan

    Widaningrum. 2004. Utilization of Sago Starch For Transparent Noodle in Indonesia. Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor.

    Robertson, Gordon. L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel

    Dekker, Inc., New York.

    Sacharow, S., and R.C. Griffin. 1978. Food Packaging. AVI Publ. Inc., Westport. Sastrapraja, S. dan J.P. Mogea. 1977. Present Uses en Future Development of

    Metroxylon Sago in Indonesia. Sago-76 : Papers of the First International Sago Symposium.

    Syarief, R., S. Santausa dan St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.

    Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

    Tarladgis, B. G., Watts, B. M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr. 1960. A

    Distillation Method for the Quantitative Determination of Malonaldehyde in Rancid Foods. Journal of American Oil Chemistry Society. 37 : 44-48.

    Virtucio, L. 2004. Oriental Noodles. http//www.pavan.com Walpole, Ronald E. 1982. Pengantar Statistika. Terjemahan. PT Gramedia

    Pustaka Utama, Jakarta. Widjajanti, Ratih. 1993. Mempelajari Pengaruh Minyak Goreng, Kemasan

    Plastik, dan Atmosfer Termofidikasi terhadap Umur Simpan Kacang Telur. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.

  • 41

    Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.

    Wirakartakusumah, M. A., A. Apriantono, M. S., Maarif , Suliantari, D.

    Muchtadi dan K. Otaka. 1985. Isolation and Characterization of Sago Starch and its Utilization for Production of Liquid Sugar. The Development of the Sago Palm and its Products. Report of the FAO/BPP Teknologi Consultation, Jakarta, January 16-21, 1984.

    K.L. Yam, D.S. Lee. 1995. Design of Modified Atmosphere Packaging for Fresh

    Produce. Active Food Packaging. Chapman & Hall.

    Yuniar, Kiki. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan serta Aplikasi Penggunaan Pewarna dan Pengawet Pada Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB, Bogor.

  • LAMPIRAN

  • 42

    Lampiran 1. Prosedur Analisis

    1. Kadar Air Dengan Metode Oven (AOAC, 1995)

    Cawan aluminium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC

    selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan

    ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapatkan bobot

    tetap.

    Contoh sebanyak 2-10 g ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian

    dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3-5 jam. Setelah itu cawan

    dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulangi sampai didapatkan bobot

    tetap bahan.

    Untuk menghitung persentase kadar air, digunakan rumus sebagai

    berikut :

    % Air (b/b) = A-B x 100 %

    C

    Keterangan :

    A : bobot cawan berisi contoh sebelum dioven, dalam g

    B : bobot cawan berisi contoh setelah dioven, dalam g

    C : bobot contoh, dalam g

    2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

    Contoh bahan sebanyak 2 gram dihitung dalam cawan yang bobotnya

    konstan. Dibakar sampai berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian

    dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan yang

    berisi abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.

    Persentae abu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

    % Abu (b/b) = A-B x 100 %

    C

    Keterangan :

    A : bobot cawan berisi abu, dalam g

    B : bobot cawan, dalam g

    C : bobot contoh, dalam g

  • 43

    3. Kadar Protein (AOAC, 1995)

    Contoh sebanyak 0,1 gram ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam

    labu kjehdahl dan ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat serta katalis dan batu

    didih. Setelah itu didestruksi pada suhu 450 oC selama 2 jam atau lebih atau

    sampai didapat cairan jernih tidak berwarna atau berwarna hijau muda.

    Labu beserta isinya didinginkan sampai suhu kamar, kemudian isinya

    dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 50 ml aquades dan

    larutan NaOH 15 ml. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer dalam

    labu Erlenmeyer yang berisi 25 ml HCL 0.02 N sampai diperoleh destilat

    sebanyak + 50 ml. Destilat dititrasi dengan NaOH 0.02 N dengan indikator

    metil merah.

    Kadar Protein = a x N x 14.006 x 6.25 x 100 %

    M

    Keterangan :

    A = selisih ml NaOH yang digunakan untuk titrasi blanko dengan contoh

    N = normalitas larutan NaOH

    M = berat contoh (mg)

    4. Kadar lemak (AOAC, 1995)

    Bahan ditimbang seberat 5 gram, dibungkus dalam kertas saring tahan

    minyak, kemudian dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet. Bahan diekstraksi

    dengan larutan heksan selama 4-6 jam. Bahan dikeluarkan dan dikeringkan

    dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap.

    Kadar lemak = M1-M2 x 100 %

    M0

    Keterangan :

    M1 = Berat contoh sebelum ekstraksi (g)

    M2 = Berat contoh setelah ekstraksi (g)

    M0 = Berat contoh awal (g)

  • 44

    5. Kadar Karbohidrat, by difference (Winarno, 1995)

    Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus :

    Kadar karbohidrat = 100% - (%air - %abu -%lemak - %protein)

    6. pH (Kruger et al., 1996)

    Pengukuran dilakukan menggunakan pH meter. Mi sagu sebanyak 10

    gram yang akan diukur pH-nya, dihancurkan dengan blender kemudian

    dilarutkan dalam 100 ml aquades sampai homogen, contoh didiamkan dan

    diukur pH-nya.

    7. Sineresis (Chen, 2003 dengan modifikasi)

    Pengujian sineresis dilakukan dengan menyimpan mi yang telah dikemas

    dan disimpan di dalam refrigerator dan kemudian dihitung jumlah air yang

    keluar dari mi.

    Sineresis (%) = volume air yang keluar / volume mi x 100%

    8. Ketengikan (Tarladgis et al. , 1960)

    Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke

    dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2

    menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi dambil

    dicuci dengan 47,5 ml aquades. Ditambahkan + 2,5 ml HCL 4M sampai pH

    menjadi 1,5. Kemudian ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti

    foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.

    Destilasi dijalankan dengan pemanas