F06yaz-kemasan.pdf
Transcript of F06yaz-kemasan.pdf
-
Pandanglah kepada orang yang keadaannya lebih rendah dari dirimu, dan janganlah memandang orang yang lebih tinggi (keadaannya) dari dirimu. Karena (cara) ini lebih layak bagimu, agar tidak memandang remeh nikmat Allah yang telah dianugerahkan untukmu. (HR. Muslim)
Kupesembahkan karya kecil ini untuk Mam dan Pap serta kakak dan adik tersayang
-
PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN
KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS
MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN
Oleh
YULNIA AZRIANI
F34101086
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
-
Yulnia Azriani. F34101086. Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan Evi Savitri Iriani. 2006.
RINGKASAN
Indonesia adalah salah satu pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini dikenal dengan nama mi gleser, mi golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu merupakan makanan khas daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.
Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu. Selama ini, sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi sagu yang ada di pasaran kurang lebih selama 13 hari dengan kondisi penyimpanan pada suhu ruang (Yuniar, 2004).
Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan tekstur yang dikehendaki dan tumbuhnya jamur. Salah satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air, misalnya lembaran plastik. Permeabilitas plastik memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan. Udara yang terdapat di dalam kemasan dapat menimbulkan kerusakan pada mi antara lain adanya proses oksidasi. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan, sehingga kemasannya menjadi kemasan yang kedap udara (vakum).
Pada penelitian ini digunakan dua perlakuan yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Jenis kemasan yang digunakan yaitu plastik laminasi OPP/PE/LLDPE, Polipropilen dan Low Density Polyethylene (LDPE). Kondisi pengemasan yang digunakan yaitu pengemasan vakum dan non vakum. Penyimpanan dilakukan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC) dan dilakukan pengamatan setiap 5 hari sekali. Selama penyimpanan pengamatan yang dilakukan yaitu sineresis, cooking loss, pH, ketengikan (nilai TBA), warna, total kapang dan total bakteri.
Selama penyimpanan, nilai sineresis, ketengikan (nilai TBA) dan cooking loss mi sagu mengalami peningkatan. Derajat keasaman (pH) cenderung tidak mengalami perubahan selama penyimpanan, sedangkan nilai kecerahan (L) mi sagu mengalami penurunan.
Pengemasan terbaik untuk mengemas mi sagu adalah dengan menggunakan kemasan polipropilen vakum. Penentuan perlakuan ini diperoleh berdasarkan hasil analisa dan biaya pengemasan masing-masing sampel yang kemudian dilakukan pembobotan. Kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi sagu lebih dari 50 hari pada suhu lemari es dengan rata-rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan (nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.
-
Yulnia Azriani. F34101086. Effect of Different Flexible Package and Packaging Condition to Sago Starch Noodle Quality during Storage. Under Supervision of Ade Iskandar and Evi Savitri Iriani. 2006
SUMMARY Indonesia is one of largest owner areas sago, broadly the large of sago
areas about 1.128 million ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). As carbohydrate source, sago represent potential commodity upon which the raw material and food substitution to industrial. One of product that processed from sago flour is sago starch noodle. This noodle is recognized by the name of mi gleser, mi golosor, mi leor, or mi pentil. Sago starch noodle represent typical food at Bogor, Sukabumi and Cianjur. Currently, sago starch noodle only sold at traditional market and do not packaged properly, so that less vies with wet wheat noodle. Nowadays, mostly produce sago starch noodle is conducted by small scale industry. Shelf life of commercial sago starch noodle is between 1-3 days at room temperature (Yuniar, 2004).
Sago starch noodle is inclusive of wet food, so that during storage noodle will occurring degradation of quality, like loss of desirable texture and growth of mould. One of way of to prevent or pursue the damage is with using hermetically sealed package, such as plastic film. Plastic permeability described about effortless of the gas, aqueous vapors, dilution, ion, and the dissolve molecule penetrating food substance. Air, which in package, can generate damage of noodle, such as existence of oxidation. To prevent it, can be conduct by remove air from the package, so that the package becomes airtight (vacuum).
This research was used two factors that are different of flexible package and packaging condition. Package films that used are plastic laminate OPP/PE/LLDPE, Polypropylene and Low Density Polyethylene (LDPE). Conditions of packaging that used are vacuum and non-vacuum packaging. Samples were storage for 50 days at refrigerator temperature (5oC) and evaluated every 5 days. The analyses that conducted are syneresis, cooking loss, pH, rancidity (TBA value), color, total of mold and total of bacteria.
Results indicated that most of quality changes during storage were affected by different flexible package and packaging condition. Some quality changes (syneresis, cooking loss, rancidity, total of bacteria and total of mould) were increase during storage, but color of noodle was decrease. Degree of acidity (pH) leans not change during storage. Different permeability of flexible package and absence of oxygen at vacuum packaging were estimated the major cause of different value each parameter.
The best packaging technique for sago starch noodle was using polypropylene which under vacuum packaging condition, this technique decided by considering value of parameter that measured and packaging cost of each samples. Polypropylene able to maintain shelf life of sago starch noodle more than 50 days at low temperature (5 oC) with mean of syneresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, rancidity (TBA value) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, brightness value ( L) 47,40, total of bacteria 36,33 x 102 colony/g, total of mould 10,67 x 102 colony/g and pH 4,804.
-
PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN
KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS
MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
YULNIA AZRIANI
F34101086
2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
-
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN KONDISI
PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS
MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
YULNIA AZRIANI
F34101086
Tanggal lulus : Februari 2006
Disetujui oleh :
Bogor, Februari 2006
Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Evi Savitri Iriani, MSi
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
-
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi
Sagu Selama Penyimpanan adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen
pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Februari 2006
Nama : Yulnia Azriani
NRP : F34101086
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Yulnia Azriani. Dilahirkan di Bogor pada
tanggal 24 Juli 1983 di Bogor, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari
pasangan Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc dan Hj. Lilis Nurhayati. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor pada tahun 1995.
Kemudian penulis memasuki sekolah lanjutan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor
dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2001
di SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun 2001 melalui jalur USMI penulis diterima
sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor, pada Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
-
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan
rahmah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan semua
pihak maka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Ade Iskandar, MSi, sebagai dosen pembimbing utama, yang telah
banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.
2. Ir. Evi Savitri Iriani, MSi, sebagai dosen pembimbing kedua, yang
telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan
skripsi ini.
3. Farah Fahma, STP, MT sebagai dosen penguji, yang telah memberikan
saran-saran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Bapak Ridwan Thaher atas kesediaannya memberikan izin penelitian.
5. Ibu Endang Yuli Purwani dari BB Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, yang telah banyak memberikan bantuan dan
saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Falik dari PT. Interkemas Flexipack, Tangerang atas
kesediaannya membantu penulis selama penelitian.
7. Papah, mamah, kakak, adik, keponakan dan nenek penulis yang selalu
mendukung dan mengiringi langkah penulis dengan doa yang tak
pernah putus.
8. Bapak Ato, Teh Ika, Ibu Ning, Pak Yudi, Mba Meli, dan staf lainnya
dari BB Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang
telah banyak membantu penulis selama penelitian.
9. Teman-teman satu bimbingan (Ani, Agus, dan Hendra) atas dukungan
dan bantuannya.
10. Teman-teman selama penelitian (Kiki, Nugie, Rizka, Wini, Iyus, Tria,
Mas Ando, Alice, Neni, Jhon dan lain-lain) yang telah berbagi suka
dan duka selama penelitian.
-
ii
11. Teman smp (Widi, Aya, Mimil), teman sma (Ara, Windy dan Ali),
Nisa, Uchi, Heni, Oo, Arya dan teman kuliah lainnya atas
dukungannya.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
sehingga penulis sangat berbesar hati menerima tanggapan, saran dan kritik untuk
perbaikan di masa datang. Semoga apa yang penulis lakukan ini mendapat ridlo
Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Februari 2006
Penulis
-
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
B. TUJUAN PENELITIAN ..................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU .................................................................................................. 3
B. MI
1. Mi Berdasarkan Bahan Baku ......................................................... 4
2. Mi Berdasarkan Proses Pengolahannya ........................................ 5
C. MI SAGU ............................................................................................. 7
D. PENGEMASAN
1. Kemasan Plastik ............................................................................. 10
a. Polietilen ................................................................................. 10
b. Polipropilen ............................................................................. 11
2. Pengemasan Vakum ....................................................................... 12
D. PENYIMPANAN MI SAGU ............................................................... 13
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan .............................................................................................. 14
2. Alat .................................................................................................. 14
B. TEMPAT ............................................................................................. 14
C. METODE PENELITIAN
1. Penentuan Waktu Pasteurisasi ...................................................... 15
2. Penelitian Utama ........................................................................... 15
-
iv
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI ........................................ 19
B. PENELITIAN UTAMA ...................................................................... 20
1. Sineresis ........................................................................................ 22
2. Cooking loss .................................................................................. 25
3. Derajat Keasaman (pH) ................................................................. 26
4. Ketengikan .................................................................................... 27
5. Warna ............................................................................................ 28
6. Total Mikroba ............................................................................... 31
C. BIAYA PENGEMASAN ..................................................................... 33
D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK .......................................... 34
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 38
LAMPIRAN .................................................................................................... 42
-
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu ................................................ 4
Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 ............................ 6
Tabel 3. Komposisi gizi mi basah ...................................................................... 7
Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g ........... 8
Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003 ................................... 9
Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml /cm2 hari atm) pada 10oC ......... 12
Tabel 7. Total mikroba (koloni/g) ..................................................................... 20
Tabel 8. Analisa awal mi sagu .......................................................................... 21
Tabel.9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan ........................... 33
Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu .............................. 34
Tabel 11. Skor hasil pembobotan dari tiap perlakuan ....................................... 35
-
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram alir penelitian ..................................................................... 17
Gambar 2. Produk mi sagu ................................................................................. 22
Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan................ 24
Gambar 4. Diagram rata-rata cooking loss mi sagu selama penyimpanan ........ 25
Gambar 5. Diagram pH rata-rata mi sagu selama penyimpanan ....................... 26
Gambar 6. Diagram rata-rata nilai TBA mi sagu selama penyimpanan ............ 28
Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan .................. 30
Gambar 8. Diagram rata-rata derajat hue mi sagu selama penyimpanan ........... 30
Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu
selama penyimpanan ........................................................................ 31
Gambar 10. Diagram Warna .............................................................................. 47
-
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis ........................................................................... 42
Lampiran 2. Rekapitulasi data analisa sineresis mi sagu (%) ............................ 48
Lampiran 3. Rekapitulasi data cooking loss mi sagu (%) .................................. 48
Lampiran 4. Rekapitulasi data derajat keasaman (pH) mi sagu ......................... 49
Lampiran 5. Rekapitulasi data ketengikan (mg malonaldehid/kg sampel)
mi sagu .......................................................................................... 49
Lampiran 6. Rekapitulasi data warna mi sagu .................................................... 50
Lampiran 7. Rekapitulasi data derajat hue mi sagu ........................................... 51
Lampiran 8. Rekapitulasi data nilai chroma mi sagu ......................................... 51
Lampiran 9. Rekapitulasi total bakteri ............................................................... 52
Lampiran 10. Rekapitulasi total kapang ............................................................. 52
Lampiran 11. Pemilihan perlakuan terbaik dengan pembobotan ....................... 53
-
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman asli Asia Tenggara dimana
Indonesia memiliki areal tanaman sagu terbesar di dunia yaitu 1.128 juta ha
atau 51,3 % areal sagu dunia (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/, 2004).
Sentra penanaman tanaman sagu di Indonesia adalah Papua, Maluku, Riau,
Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Tanaman ini merupakan salah satu
penghasil karbohidrat terbesar selain beras, gandum dan umbi-umbian.
Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial
sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu
produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini banyak dijual di daerah
Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan dikenal dengan nama mi gleser, mi
golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu dijual di pasaran dalam bentuk basah
dan memiliki harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan mi yang
terbuat dari tepung terigu.
Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas
dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu.
Sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi
golosor yang ada di pasaran saat ini kurang lebih selama 13 hari dengan
kondisi penyimpanan pada suhu ruang.
Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi
akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan rasa dan flavour,
perubahan tekstur serta tumbuhnya jamur atau mikroorganisme lain. Salah
satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain
dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air,
seperti lembaran plastik. Plastik mempunyai nilai permeabilitas tertentu yang
memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-
ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan.
Udara yang terperangkap di dalam kemasan dapat menimbulkan
kerusakan pada mi antara lain mendorong terjadinya proses oksidasi. Untuk
-
2
mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan,
sehingga kemasannya menjadi kemasan yang vakum. Kemasan yang divakum
dapat membatasi atau menghambat faktor-faktor penyebab rusaknya makanan
yang dikemas.
Melalui pengemasan yang efektif diharapkan daya simpan mi sagu
akan meningkat. Selain itu dengan penggunaan kemasan yang sesuai,
diharapkan dapat meningkatkan penampilan dan daya saing mi sagu terhadap
mi basah lain yang ada di pasaran saat ini.
B. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kemasan dan
kondisi pengemasan terhadap kualitas mi sagu, sehingga dapat diperoleh
pengemasan yang dapat memperpanjang umur simpan mi sagu.
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. SAGU
Sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan
dan bahan baku untuk industri. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar,
dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha atau 51,3% dari 2.201 juta ha areal sagu
dunia, disusul oleh Papua New Guinea 43,3%. Namun dari segi
pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan
Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas
1,5% dan 0,2%. Daerah potensial penghasil sagu antara lain Riau, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Diperkirakan
90% areal sagu di Indonesia berada di Papua
(http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/).
Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang
biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya.
Haryanto et al. (1992) menyatakan bahwa pohon sagu termasuk :
Divisio : Spermathophyta Ordo : Spadiciflorae Klas : Angiospermae Subklas : Monocotyledoneae Famili : Palmae Genus : Metroxylon
Batang tanaman sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan
tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan aci dalam empulur
batang sagu berbeda-beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat
sagu itu tumbuh. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan aci dalam
empulur makin besar, dan pada umur tertentu kandungan aci tersebut akan
menurun (Haryanto et al., 1992).
Ada beberapa spesies sagu yang memiliki kandungan aci yang tinggi
yaitu Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni), Metroxylon sagus Rottbol (sagu
-
4
molat) dan Metroxylon sylvester Martius (sagu ihur). Karakteristik dari jenis
sagu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu
No Jenis sagu Kadar empulur (%) Kandungan
aci (%) Warna
aci 1 M. rumphii Martius 82 20 putih 2 M. sagus Rottbol 80 18 putih 3 M. sylvester Martius 81 17-18 kemerah-
merahan Sumber : Haryanto et al., 1992
Jenis lain yang memiliki kandungan aci tinggi adalah genus Arenga
terutama tanaman aren (Arenga pinnata). Sagu jenis ini banyak ditemukan di
Filipina dan Indonesia, seperti Jawa, Sumatra dan Kalimantan. (Sastrapraja
dan Mogea, 1977). Pati yang dihasilkan tanaman aren relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pati aren memiliki kadar pati rata-
rata sekitar 75,18 %, kadar amilosa 24,08 %, kadar air 18,38 % dan derajat
putih 86,25 (Hendrarsono, 1984).
B. MI
Mi merupakan salah satu bentuk pangan yang cukup populer dan disukai
oleh berbagai kalangan masyarakat. Mi merupakan salah satu jenis produk
pasta yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok 5000 tahun SM, lalu
berkembang ke daerah Asia yang lain, sampai akhirnya terkenal di seluruh
dunia.
Mi dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 kategori yaitu berdasarkan
bahan baku dan proses pengolahannya.
1. Mi berdasarkan bahan baku
Berdasarkan bahan bakunya, mi dapat dibagi menjadi 2 jenis mi yaitu
mi terigu dan mi non-terigu. Mi terigu yaitu mi yang bahan baku utamanya
menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain (buckwheat
flour). Yang termasuk ke dalam mi terigu ini yaitu mi Jepang dan China.
Mi Jepang biasanya berwarna putih dan memiliki tekstur yang lebih lunak.
Mi ini terbuat dari tepung terigu soft dan medium yang memiliki kandungan
-
5
protein 8-10 % dan kadar abu sekitar 0.33-0.45, air dan garam. Mi China
biasanya berwarna kuning dan memiliki tekstur yang lebih keras. Tepung
terigu yang digunakan untuk membuat mi ini biasanya tepung terigu jenis
hard. Tepung terigu jenis hard memiliki kandungan protein 10.5 -12.0 %
dan kadar abu 0.33-0.38 % (Virtucio, 2004).
Ada jenis lain yang tergolong ke dalam mi terigu yaitu soba. Mi jenis
ini memiliki warna coklat muda atau abu-abu dengan rasa dan flavour yang
unik. Mi ini campuran antara tepung terigu dan buckwheat flour, dengan
berbagai variasi sesuai dengan produk yang diinginkan. Kelebihan dari
buckwheat flour yaitu memiliki nutrisi yang sangat bagus seperti daya cerna
tinggi, kandungan lisin dan lesitin tinggi, dan kadar mineral tinggi
(Virtucio, 2004).
Di benua Eropa terdapat jenis mi yang biasa disebut dengan pasta.
Pasta berbentuk helaian dikenal dengan nama spaghetti, fettucine dan
vermicelli. Perbedaan antara pasta dengan mi terigu antara lain pasta
terbuat dari durum (Triticum durum) semolina dan air, sedangkan mi terigu
terbuat dari tepung gandum (Triticum aestivum), air dan alkali (Kruger et
al., 1996).
Mi non-terigu terkadang disebut juga dengan mi berbasis pati. Yang
tergolong ke dalam mi non terigu antara lain bihun dan soun. Bihun
merupakan makanan yang terbuat dari beras, sedangkan soun terbuat dari
kacang hijau atau kentang dan terkadang juga terbuat dari pati ubi jalar (di
Korea disebut dangmyun atau tangmyon) (Virtucio, 2004). Yang termasuk
ke dalam mi non-terigu yang lain yaitu mi sagu. Mi sagu adalah mi yang
terbuat dari pati sagu.
2. Mi berdasarkan proses pengolahannya
Berdasarkan proses pengolahannya, mi yang dipasarkan di Indonesia
terdiri dari mi mentah (Raw Chinese Noodles), mi basah (Boiled Noodle),
mi kering (Steamed and dried Noodles) dan mi instant (Steamed and Fried
Noodle/instant noodle) (Haryanto et al., 1992).
Proses pembuatan mi yaitu semua bahan dicampur dan diaduk dalam
mixer sampai terbentuk adonan seperti dalam pembuatan roti. Kemudian
-
6
ditekan-tekan sampai permukaan adonan halus. Adonan digiling
membentuk lembaran, lalu dilipat dua kali dan digiling kembali. Proses ini
dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran adonan betul-betul
halus, bintik-bintik tepung atau aci tidak kelihatan lagi. Lembaran adonan
diistirahatkan selama kurang lebih 15 menit supaya semua bahan
tercampur secara sempurna, lalu diroll sampai mencapai ketebalan kurang
lebih 0,5 mm. Akhirnya pada tahap ini jenis mi yang dihasilkan adalah mi
mentah (raw noodle) (Haryanto et al., 1992).
Mi mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk
menghasilkan jenis atau bentuk-bentuk mi lainnya. Untuk memproduksi
mi basah, mi mentah tersebut dibiarkan dulu kurang lebih 30 menit lalu
direbus dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Kemudian dicuci
dengan air dingin sampai semua pati yang tidak tergelatinisasi terbuang.
Setelah ditiriskan, mi diolesi minyak goreng supaya lembaran-lembaran mi
tidak lengket (Haryanto et al., 1992).
Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa 1.3 Warna
-
Normal Normal Normal
2. Air % b/b 20-35 3. Abu (basis kering) % b/b Maks. 3 4. Protein ((N x 6.25) basis
kering) % b/b Min. 3
5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna 5.3 Formalin
-
Tidak boleh ada Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men/Kes/Per/IX/88 Tidak boleh ada
6. Cemaran logam 6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05
7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05 8. Cemaran mikroba
8.1 Angka lempeng total 8.2 E.coli 8.3 Kapang
Koloni/g APM/g
Koloni/g
Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104
-
7
Tabel 3. Komposisi gizi mi basah
Zat Gizi Mi Basah Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air
86 0,6 3,3 14 14 13 0,8 0 0 0 80
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979)
Proses pengolahan mi kering (steam and dried noodle) hampir sama
dengan pengolahan mi instant. Untuk menghasilkan mi kering, mi mentah
yang telah didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus lalu
dikeringkan pada suhu kurang lebih 40 oC. Sedangkan untuk mi instant,
setelah proses pengukusan (steam) dilanjutkan dengan proses
penggorengan (fried) (Haryanto et al., 1992).
C. MI SAGU
Jenis mi ini banyak ditemukan di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yang
dikenal dengan nama mi golosor. Mi sagu memiliki harga yang lebih murah
bila dibandingkan dengan mi yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat
secara sekilas, penampakan mi ini tidak berbeda jauh dengan mi terigu, namun
bila dilihat lebih seksama mi ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan
keras. Hasil pengolahan dari mi sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tapi
tidak elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat
menyebutnya mi golosor (Hendrasari, 2000).
Sebagian besar bahan baku mi sagu adalah pati sagu. Pati sagu
mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin
(Wirakartakusumah et al., 1986). Rasio amilosa dan amilopektin akan
mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka
-
8
pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih
banyak (higroskopis).
Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g
Komponen Tapioka Aci Garut Aci Sagu
Kalori (kal) 362 355 353 Protein (g) 0,5 0,7 0,7 Lemak (g) 0,3 0,2 0,2 Karbohidrat (g) 86,9 85,2 84,7 Air (g) 12,0 13,6 14,0 Fosfor (mg) - 22 13 Kalsium (mg) - 8 11 Besi (mg) - 1,5 1,5
Sumber : Direktorat Gizi DepKes R.I (1979)
Mi berbasis pati sangat berbeda dengan mi dari bahan terigu. Kekhasan
mi berbasis pati adalah dibuatnya adonan dari campuran binder (berupa pati
tergelatinisasi) dengan pati mentah (native). Binder berfungsi seperti halnya
gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah ditangani
(Purwani et al., 2004).
Pati sagu sesuai untuk diolah menjadi produk mi, namun memiliki
keterbatasan yang dapat diatasi dengan menambahkan aditif atau
memodifikasi pati yang bersangkutan. Aditif yang digunakan untuk
memperbaiki kualitas mi berbasis pati adalah alum potas (Anonim, 2003).
Alkali dalam pembuatan mi berfungsi untuk menguatkan adonan supaya
dapat mengembang dengan baik, mempercepat proses gelatinisasi pati dan
meningkatkan viskositas adonan yang akan memperbaiki kekenyalan mi.
Fungsi alkali ini terutama diperlukan dalam pembuatan mi dari tepung non-
terigu yang tidak mengandung gluten. Jenis alkali yang digunakan dalam
pembuatan mi terutama Sodium atau Kalium Karbonat dan biasanya di
pasaran dikenal dengan nama air abu (Haryanto et al., 1992).
Mi sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi sangat
rendah kandungan protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari, 2000).
-
9
Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003
Sifat Min. Maks. Rata-rata Standar Deviasi
Tes Laboratorium : Warna : Nilai L Nilai a Nilai b Kekerasan (Kg) Kelengketan (g.cm) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Tes Panelis : Warna Tekstur Aroma
69,98 4,03
-38,12 10,20 202,43 72,86 0,38 0,31 3,13
3,9 5,1 3,8
81,83 16,63 -22,73 45,1
272,80 81,09 0,71 0,74 5,18
7,0 6,2 5,3
77,33 11,29 -30,17 24,63 233,21 79,00 0,51 0,74 5,18
4,9 5,2 4,5
4,09 4,80 5,54 11,92 233,21 5,22 0,11 0,74 5,18
1,3 0,8 0,5
Sumber : Purwani et al. (2004)
Mi sagu termasuk ke dalam mi berbasis pati, oleh karenanya
terdapat resistant starch (pati resisten). Mi sagu mengandung pati resisten
sekitar 45 mg/g. Kadar resistant starch di dalam mi sagu 4-5 kali lebih
besar dibanding kadar resistant starch mi instant terigu (Purwani et al.,
2005).
Menurut Munarso (2004) manfaat kesehatan yang dapat
ditimbulkan oleh pati resisten, antara lain meliputi:
- Kesehatan saluran pencernaan
Pati resisten dapat memperbaiki kesehatan kolon dengan cara
mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat.
- Manfaat prebiotik
Pati resisten menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri
menguntungkan (seperti bifidobacteria), serta menurunkan
konsentrasi bakteri patogen (misal Escherichia coli dan Clostridia).
- Pengelolaan energi dan respon glisemik
Penambahan pati resisten dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat
tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glisemik yang rendah.
Sehingga pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada
-
10
pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk
mereka yang melakukan diet.
C. PENGEMASAN
1. Kemasan Plastik
Pengemasan merupakan salah satu cara memberikan kondisi yang
tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya dalam jangka waktu
yang diinginkan (Buckle et al., 1987).
Penggunaan plastik sebagai pengemas untuk adalah melindungi
produk terhadap cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas,
kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Plastik juga dapat
mengurangi kecenderungan bahan pangan kehilangan sejumlah air dan
lemak, serta mengurangi kecenderungan bahan pangan mengeras. Menurut
Syarief et al. (1989) penggunaan plastik untuk makanan cukup menarik
karena sifat-sifatnya yang menguntungkan seperti luwes mudah dibentuk,
mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti
wadah logam, serta mudah dalam penanganannya.
a. Polietilen
Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen
yang diperoleh sebagai hasil samping industri arang dan minyak.
Polietilen merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan
dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan
terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah
digunakan sebagai laminasi (Syarief et al., 1989).
Polietilen diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu High Density
Polyethylene (HDPE), Low Density Polyethylene (LDPE), dan Linear
Low Density Polyethylene (LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap
daya rentang, kekuatan retak, ketahanan putus, dan mampu
mempertahankan kestabilannya hingga di bawah suhu -60 oC. Jenis
plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air,
namun kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston et al. (1974)
-
11
menyatakan titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87 oC. Menurut
Harrington et al. (1991) kemasan yang terbuat dari LDPE memiliki
ciri khas lembut, fleksibel dan mudah direntangkan, jernih, penahan
uap air yang baik namun bukan penahan oksigen yang baik, tidak
menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah di-seal.
LLDPE mempunyai struktur yang sebanding dengan LDPE dan
dibuat pada tekanan rendah, perbedaannya tidak mempunyai rantai
bercabang yang panjang. Kelebihan LLDPE dibandingkan dengan
LDPE adalah lebih tahan terhadap bahan kimia, permukaan yang
mengkilat, memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan tahan pecah
karena tekanan (Robertson, 1993). Harington et al. (1991)
menjelaskan bahwa plastik LLDPE memiliki kekuatan seal yang sama
dengan plastik LDPE dan memiliki kekuatan dan kekerasan yang
sama dengan plastik HDPE.
Polietilene dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah)
(HDPE) memberi pelindungan yang baik terhadap air dan
meningkatkan stabilitas terhadap panas (Buckle et al., 1987). Titik
leleh plastik jenis ini yaitu 120-130 oC (Briston et al., 1974). Menurut
Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat kimia dibandingkan
dengan LDPE, dan memiliki ketahanan yang baik terhadap minyak
dan lemak
b. Polipropilen Polipropilen termasuk jenis olefin dan merupakan polimer dari
propilen dengan sifat utama ringan dan mudah dibentuk, kekuatan
tarik lebih mudah daripada polietilen, tidak mudah sobek sehingga
mudah untuk penanganan dan distribusi, tahan terhadap asam kuat,
basa dan minyak serta pada suhu tingi akan bereaksi dengan benzene,
tolen, terpentin dan asam nitrat (Syarief et al., 1989). Menurut
Robertson (1993), polipropilen memiliki densitas yang lebih rendah
(900 kg m-3) dan memiliki titik lunak lebih tinggi (140o-150 oC)
dibandingkan polietilen, transmisi uap air rendah, permeabilitas gas
sedang, tahan terhadap lemak dan bahan kimia, tahan gores, dan stabil
-
12
pada suhu tinggi, serta memiliki kilap yang bagus dan kecerahan
tinggi.
Polipropilen lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen,
serta stabil terhadap suhu tinggi. Plastik polipropilen yang tidak
mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu
tetapi bukan penahan gas yang baik (Buckle et al.,1987).
Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat
dimodifikasi menjadi OPP (oriented polypropylene) jika dalam
pembuatannya ditarik satu arah (Syarief et al., 1989). Dijelaskan oleh
Brown (1992) bahwa orientasi menghasilkan kemasan yang lebih
kuat, lebih cerah dan meningkatkan ketahanan terhadap uap air.
OPP film sering digunakan untuk kemasan keripik kentang,
dimana membutuhkan ketahanan yang baik terhadap oksigen dan
cahaya (untuk mencegah kerusakan oksidatif), dan tahan terhadap uap
air (untuk mencegah peningkatan kelembaban dan menjaga
kerenyahannya) (Eskin et al., 2001). Pada penggunaannya, plastik
OPP sering diaplikasikan untuk multi-layer laminasi, coated films,
dan metallized film.
Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml /cm2 hari atm) pada 10oC
Plastik tipis Permeablitas
terhadap O2
Linear low density polyethylene (LLDPE) 15,7
High density polyethylene (HDPE) 0,1
Low density polyethylene (LDPE) 6,7
Polypropylene (PP) 3,2
Oriented polypropylene (OPP) 2,1
Sumber : Yam et al. (1995)
2. Pengemasan Vakum
Salah satu usaha untuk mencegah kerusakan oksidatif adalah dengan
menurunkan kandungan oksigen di sekitar bahan yaitu dengan
menggunakan gas atau vakum dan kemudian mengemasnya. Menurut
Sacharow et al. (1978) pengemasan vakum adalah sistem pengemasan
-
13
dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan O2
dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Plastik yang
digunakan untuk pengemasan vakum adalah plastik yang memiliki
permeabilitas O2 rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas.
Menurut Brown (1992) dengan pengemasan vakum membuang udara
dari head space dalam kemasan dan dari produk itu sendiri, untuk
mengurangi kerusakan oksidatif pada makanan. Pengemasan vakum dapat
menghindari pertumbuhan organisme aerobik pada makanan yang
merupakan media yang potensial untuk pertumbuhannya.
Bureau et al. (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya pengemasan
vakum dapat mengurangi kontaminasi bakteri. Akan tetapi teknik ini dapat
mengakibatkan warna produk menjadi lebih gelap, namun tidak
menyebabkan penurunan kualitas produk.
D. PENYIMPANAN MI SAGU
Mi sagu merupakan salah satu produk mi basah, sehingga memiliki
umur simpan yang relatif pendek. Menurut Yuniar (2004) kerusakan yang
terjadi pada mi basah yaitu perubahan warna menjadi gelap, aroma
berubah menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir, dan tumbuhnya
kapang. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat dijadikan parameter
menentukan umur simpan mi basah.
Yuniar (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyimpanan
mi pada suhu lemari es dapat memperpanjang umur simpan mi basah.
Parameter kerusakan untuk mi basah yang disimpan di lemari es adalah
mulai terlihat tumbuhnya kapang. Pada suhu kamar mi dinyatakan rusak
pada jam ke-30 sedangkan pada mi penyimpanan suhu lemari es mi
dinyatakan rusak pada jam ke-288.
-
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
baku pembuatan mi sagu berupa tepung sagu dari tanaman Metroxylon
yang diperoleh dari industri mi sagu di daerah Pancasan (Bogor), tawas
diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan minyak goreng merk
Tropical diperoleh dari supermarket di Bogor. Bahan kemasan yang
digunakan yaitu kemasan laminasi LLDPE (Linier Low Density
Polyethylene), PE (polyethylene) dan OPP (Oriented Polypropylene) yang
diperoleh dari PT. Alcan Packaging (Tangerang), dan plastik polipropilen
(PP) serta plastik Low Density Polyethylene (LDPE) diperoleh dari toko
plastik di Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu TBA, asam asetat
glasial, HCL 4 N, PDA, NA, NaCl 0,85 %, air destilata dan bahan untuk
analisa proksimat.
2. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat
pembuatan mi dan alat untuk analisa. Alat yang digunakan dalam
pembuatan mi yaitu panci, kompor gas, pencetak mi, pengaduk kayu,
saringan plastik, sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu
waring blender, saringan, pemanas listrik, cawan petri, desikator, oven,
tanur, timbangan, spektrofotometer, pH meter, thermometer,
chromameter Minolta CR-300, alat destilasi, soxlet, dan rotavapor.
B. TEMPAT
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2005
di Laboratorium Pengemasan IPB dan Laboratorium Balai Besar (BB)
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor.
-
15
C. METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dalam dua tahap dengan tahap pertama yaitu
penentuan waktu pasteurisasi dan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu
penelitian utama. Penentuan waktu pasteurisasi bertujuan untuk mengurangi
total mikroba yang ada pada mi, sehingga dapat mengurangi kerusakan pada
mi akibat aktivitas mikroba.
1. Penentuan Waktu Pasteurisasi
Pemilihan waktu pasteurisasi diperoleh berdasarkan Kruger et al.
(1996), menurutnya kombinasi suhu dan waktu untuk membunuh
Staphilococcus pada pasta segar, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC;
10 menit pada suhu 65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC. Dengan
mengasumsikan kontaminasi mikroba pada produk mi sagu sama dengan
pasta, maka waktu pasteurisasi yang digunakan adalah 3 menit, 5 menit, 7
menit dan 9 menit pada suhu 70-75 oC.
Pasteurisasi dilakukan dengan mengukusnya di dalam panci. Pada
penentuan waktu pasteurisasi ini akan diamati efek lama pasteurisasi
terhadap jumlah bakteri dan kapang pada mi sagu setelah pasteurisasi.
Lama pasteurisasi yang dapat membunuh bakteri dan kapang lebih banyak
dengan tekstur mi yang tidak terlampau lembek akan digunakan pada
penelitian selanjutnya.
2. Penelitian Utama
Sebelum melakukan penyimpanan mi sagu, dilakukan pembuatan
mi sagu. Dalam pembuatan mi diawali dengan pembuatan binder.
Campuran binder yaitu tepung sagu, air, dan tawas. Mula-mula air panas
dicampurkan ke dalam tawas, lalu ditambahkan tepung sagu dan diaduk
hingga campuran merata. Selanjutnya ditambahkan tepung sagu sedikit
demi sedikit hingga adonan menjadi kalis. Setelah adonan kalis, dilakukan
pencetakan mi. Mi yang telah dicetak kemudian direbus di dalam air
mendidih hingga mi mengapung, lalu dimasukkan ke dalam air dingin.
Setelah mi dingin, selanjutnya ditiriskan dan dilumuri minyak sayur agar
-
16
tidak lengket. Mi yang telah diberi penambahan minyak kemudian
dikemas dalam tiga jenis kemasan plastik yaitu kemasan laminasi
OPP/PE/LLDPE, PP (Polipropilen), dan LDPE (Low Density
Polyethylene). Selain kemasan tanpa vakum, mi juga dikemas dengan
kondisi pengemasan vakum. Mi sagu yang telah dikemas, kemudian
dipasteurisasi dengan waktu pasterurisasi diperoleh dari penelitian
sebelumnya.
Setelah dilakukan pasteurisasi, kemudian diakukan analisa
proksimat dan penghitungan total bakteri dan kapang. Setelah itu mi
disimpan selama 50 hari di dalam refrigerator (5 oC) dan setiap lima hari
sekali dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan adalah
sineresis, cooking loss, ketengikan (nilai TBA), pH, dan warna. Analisa
yang pertama kali dilakukan setiap pengambilan sampel dari lemari es
adalah sineresis. Selanjutnya, dilakukan persiapan sampel untuk analisa
berikutnya. Persiapan sampel yang dilakukan yaitu membilas sampel
dengan air panas hingga setiap helai mi saling terpisah. Selain analisa-
analisa terebut, juga dilakukan penentuan total bakteri dan total kapang
pada awal penyimpanan, penyimpanan hari ke-25 dan akhir penyimpanan
(hari ke-50). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Perlakuan yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah :
A = Jenis kemasan
A1 = Kemasan OPP/PE/LLDPE
A2 = Kemasan Poliprolilen (PP)
A3 = Kemasan LDPE
B = Kondisi pengemasan
B1 = vakum
B2 = non vakum
-
17
Tepung sagu Tawas Air panas
Pencampuran
Binder
Tepung sagu Pencampuran hingga adonan kalis
Pencetakan mi
Perebusan
Perendaman
Penirisan
Pelumuran
Pengemasan
Minyak goreng
Jenis kemasan : A1 : OPP/PE/LLDPE A2 : Polipropilen A3 : LDPE
Kondisi pengemasan : B1 : Vakum B2 : Non vakum
Pasteurisasi
A
Penirisan
-
18
Gambar 1. Diagram alir penelitian
A
Penyimpanan selama 50 hari (5oC) dengan pengamatan : - Sineresis - Cooking loss - Ketengikan (nilai TBA) - pH - Warna - Total bakteri dan kapang
Analisa proksimat : - Kadar air - Kadar lemak - Kadar protein - Kadar abu
Analisa awal : - Cooking loss - pH - Ketengikan (nilai TBA) - Warna - Total bakteri dan kapang
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI
Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan
adalah dengan proses pasteurisasi. Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada
suhu dan waktu tertentu dimana semua patogen yang berbahaya bagi manusia
akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberkulosis dan bruselosis
(Fardiaz, 1992). Menurut Labuza (1982) pasteurisasi adalah perlakuan
pemanasan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme hidup
pada makanan sehingga dapat memperpanjang daya simpannya dan
membunuh mikroorganisme patogen.
Dari sekian banyak bakteri patogen, Staphilococcus aureus merupakan
bakteri yang paling berbahaya, karena memproduksi enterotoksin.
Enterotoksin adalah toksin yang spesifik terhadap sel intestin, dan
menimbulkan gejala keracunan makanan (Fardiaz, 1992). Pada pasta (seperti
spaghetti dan fettuccini), toksin ini tidak dapat dihancurkan dengan
pengeringan HT (high temperature) maupun pemasakan, dan terus hidup
hingga di dalam kemasan hingga lebih dari satu tahun. Oleh karena itu, salah
satu cara untuk mencegah kontaminasi pada pasta dari enterotoksin adalah
dengan mencegah kontaminasi bakteri terhadap bahan baku dan menjaga
proses produksi untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Lama pertumbuhan
dan perkembangbiakan bakteri S. aureus tidak konstan, namun cepat, sekitar
20-25 menit. Kombinasi suhu dan waktu penting untuk membunuh
Staphilococcus, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC; 10 menit pada suhu
65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC (Kruger et al., 1996).
Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mencari waktu pasteurisasi
yang paling efektif. Waktu pasteurisasi yang digunakan sebagai perlakuan
adalah 3 menit, 5 menit, 7 menit dan 9 menit. Suhu pasteurisasi yang
digunakan 70-75 oC.
-
20
Tabel 7. Total mikroba (koloni/g)
Jumlah
(koloni/g)
Mikroba
Bakteri Kapang
T1 53,5x103 5,5x102
T2 41x103 6,5x102
T3 2,5x103 1,5x102
T4 2x103 4x102
Keterangan : T1: Waktu pasteurisasi 3 menit T2 : Waktu pasteurisasi 5 menit T3 : Waktu pasteurisasi 7 menit T4 : Waktu pasteurisasi 9 menit
Hasil pengamatan diperoleh dengan menghitung total bakteri dan kapang
pada mi setelah mengalami proses pasteurisasi. Dari hasil pengamatan, bakteri
dan kapang masih terdapat pada sebagian besar perlakuan. Semakin lama
waktu pasteurisasi, bakteri yang terdapat pada mi semakin sedikit. Total
bakteri pada mi dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit dan 5
menit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mi dengan perlakuan waktu
pasteurisasi selama 7 menit dan 9 menit, sedangkan total kapang pada mi
dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 7 menit lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit, 5 menit
dan 9 menit. Data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7. Secara visual mi
yang dipasteurisasi selama 7 menit memiliki tesktur yang tidak terlalu lembek
dibandingkan dengan mi yang dipasteurisasi selama 9 menit. Oleh karena itu
ditentukan waktu pasteurisasi untuk penelitian ini yaitu selama 7 menit.
B. PENELITIAN UTAMA
Pengemasan mi sagu pada penelitian ini dilakukan dengan dua faktor
yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Setelah dilakukan pembuatan mi
sagu, selanjutnya mi dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu kemasan
laminasi OPP/PE/LLDPE, polipropilen dan LDPE. Ketiga jenis kemasan
tersebut dikemas dengan dua kondisi pengemasan, yaitu vakum dan non
-
21
vakum. Setelah dilakukan pengemasan, selanjutnya mi dipasteurisasi dengan
waktu pasteurisasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan kemudian
disimpan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC). Perubahan karakteristik
mi diamati setiap 5 hari sekali yang meliputi sineresis, cooking loss, derajat
keasaman (pH), ketengikan (nilai TBA) dan warna.
Mi sagu sebelum penyimpanan perlu dianalisa untuk mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal mi
sagu dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Analisa awal mi sagu
No. Analisa Nilai
1 Cooking loss (%) 0,68
2 Derajat keasaman (pH) 4,695
3 Ketengikan (mg malonaldehid/kg
sampel) 0,559
4 Warna :
- L (kecerahan)
- Derajat Hue
- Nilai Chroma
51,32
86,02
6,20
5 Kadar Air (% bb) 69,08
6 Kadar Abu (%) 0,18
7 Kadar Lemak (% bk) 5,64
8 Kadar Protein (% bb) 0,97
9 Kadar Karbohidrat, by difference (%) 25,86
Mi sagu merupakan produk yang mengandung kadar air yang tinggi.
Tingginya kadar air pada produk akan menyebabkan produk mudah rusak,
baik karena pertumbuhan mikroba maupun terjadinya penguapan air. Kadar
air mi sagu berada di atas standar mutu mi basah (SNI 01-2987-1992),
sedangkan kadar abu masih memenuhi standar. Kadar abu menunjukkan
banyaknya abu atau kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pangan.
-
22
Kadar abu yang tinggi berarti kandungan mineral yang tinggi pula (Winarno,
1984).
Adanya air dalam mi dapat mempengaruhi kadar lemaknya karena dapat
terjadi hidrolisis. Widjajanti (1993) menyatakan bahwa terhidrolisanya lemak
dapat mengurangi jumlah kandungan lemak. Hidrolisa lemak dapat terurai
menjadi gliserol dan asam lemak bebas.
Mi sagu memiliki kadar protein yang rendah namun kadar
karbohidratnya tinggi yaitu di bawah satu persen. Rata-rata derajat hue mi
sagu yang diperoleh yaitu sebesar 86,02 dan rata-rata nilai chroma yaitu
sebesar 6,02. Berdasarkan derajat hue dan nilai chroma tersebut maka dapat
dilihat warna mi sagu pada diagram warna pada Gambar 10. Warna mi sagu
ditunjukkan dengan titik berwarna kuning pada diagram. Mi sagu yang dibuat
dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2..
Gambar 2. Produk mi sagu
1. Sineresis
Sineresis adalah perbandingan banyaknya air yang keluar dari mi per
volume mi-nya. Sineresis merupakan fenomena yang menggambarkan
retrogradasi gel dan melibatkan peristiwa penyusunan kembali molekul
amilosa dan amilopektin. Sineresis akan meningkat sejalan dengan
penyusunan kembali amilosa. (Dufour et al., 1996). Semakin lama
penyimpanan, terjadi peningkatan interaksi antar rantai pati dan pada
-
23
akhirnya terjadi pembentukan kristal. Peristiwa ini disebut dengan
retrogradation, yaitu kristalinasi dari rantai pati dalam gel (Christensen,
1974).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sineresis mi cenderung
meningkat selama penyimpanan. Dari Gambar 3 terlihat pada hari ke-15
mulai terjadi peningkatan nilai sineresis, hal ini diduga mulai hari ke-15
pati mulai rapuh. Pada saat pati berada pada suhu rendah, struktur rantai
pati menjadi rapuh dan ikatan hidrogennya semakin kuat, sehingga
membentuk gel yang rapat. Semakin lama penyimpanan, rantai pati akan
mengalami kecenderungan untuk memperkuat ikatannya, sehingga
memaksa air yang berada dalam gel untuk keluar (Hoseney, 1998).
Sineresis sangat erat kaitannya dengan tekstur dari mi. Semakin lama
penyimpanan, tekstur mi semakin keras dan keelastisannya menurun.
Kemasan polipropilen cenderung memiliki nilai sineresis yang tinggi
selama penyimpana terutama dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal
ini menunjukkan perlakuan kemasan polipropilen non vakum memberikan
nilai sineresis yang lebih tinggi pada penyimpanan suhu rendah.
Nilai sineresis terendah yaitu terdapat pada perlakuan kemasan
LDPE. Permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi dibandingkan kemasan
polipropilen, namun memiliki nilai sineresis yang rendah. Nilai sineresis
yang rendah untuk kemasan LDPE ini diduga karena terjadi penguapan air
ke luar kemasan akibat perbedaan kelembaban antara produk dengan
sistem (refrigerator). LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap
uap air, maka penguapan air sineresis ke luar bahan kemasan juga menjadi
lebih tinggi.
Kondisi pengemasan vakum memberikan rata-rata nilai sineresis
terendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi pengemasan vakum mampu menghambat
terjadinya sineresis. Rendahnya nilai sineresis pada perlakuan vakum
diduga karena proses pemvakuman menyebabkan kemasan menjadi rapat
dengan memperkecil ruang kosong di dalam kemasan. Sehingga pada saat
-
24
terjadi sineresis, air yang terdesak ke luar produk menjadi sulit untuk
mengisi sisa ruang antara mi dan kemasan.
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Nila
i Sin
eres
is (%
)
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan
Jenis kemasan tidak mempengaruhi sineresis mi sagu secara
langsung akan tetapi akan mempengaruhi perpindahan massa uap air dari
luar ke dalam kemasan maupun dari dalam ke luar kemasan. Pada
kemasan OPP/PE/LLDPE terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis,
terutama untuk perlakuan non vakum. Pada kemasan polipropilen terlihat
terjadi peningkatan nilai sineresis hingga hari ke-40, selanjutnya hingga
hari ke-50 terjadi penurunan nilai sineresis. Hal ini juga terjadi pada
kemasan LDPE yang mengalami penurunan nilai sineresis lebih cepat
daripada kemasan polipropilen. Penurunan nilai sineresis diduga karena air
sineresis dalam kemasan dikonsumsi oleh kapang yang mulai tumbuh pada
mi dalam kemasan tersebut.
-
25
2. Cooking loss
Pada saat tahap pemasakan, sebagian kecil dari mi akan terpisah dari
mi dan tersuspensi ke dalam air. Mi kemudian menjadi lembek dan licin,
dan air rebusan menjadi keruh dan kental. Peristiwa ini disebut sebagai
cooking loss (Chen et al., 2002).
Cooking loss menunjukkan jumlah padatan yang hilang selama
pemasakan. Mi yang bermutu baik adalah mi yang memiliki integritas
yang baik selama perebusan, antara lain memiliki jumlah padatan yang
hilang yang terdapat pada air rebusannya sangat rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cooking loss cenderung
mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena
selama penyimpanan struktur pati semakin rapuh. Cooking loss tertinggi
yaitu pada kemasan polipropilen non vakum di hari ke-50, sedangkan
cooking loss terendah yaitu pada kemasan LDPE non vakum di hari ke-25.
Rata-rata cooking loss cenderung tinggi untuk kemasan dengan
kondisi pengemasan non vakum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Luchsinger et al.(1996) mengenai pastel daging sapi, bahwa pastel daging
sapi yang dikemas vakum memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang non vakum.
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari Ke-
Coo
king
loss
(%
)
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 4. Diagram rata-rata cooking loss mi sagu selama penyimpanan
-
26
3. Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil pengamatan, pH rata-rata mengalami penurunan pada hari
ke-5, kemudian cenderung meningkat hingga hari ke-50, namun masih
berkisar antara pH 4-5,5. Menurut Winarno (1980), keaktifan enzim
terletak di antara pH 4-8. Beberapa mikroorganisme seperti kapang dan
khamir dapat memecah asam sehingga akan meningkatkan pH. Kapang
akan mengisolasi asam dan menghasilkan produk akhir yang bersifat basa
karena reaksi proteolisis. Selain itu kenaikan pH terjadi karena
terbentuknya senyawa-senyawa hasil peruraian protein oleh
mikroorganisme yang bersifat basa seperti amoniak.
Rata-rata nilai pH untuk kemasan LDPE cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan kemasan OPP/PE/LLDPE. Hal ini menunjukkan
bahwa permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi daripada kemasan
OPP/PE/LLDPE. Rendahnya derajat keasaman mi sagu pada kemasan
LDPE karena jenis kemasan LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi,
sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat
mempercepat laju pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme yang cepat dapat menaikkan pH karena jumlah amoniak
yang terbentuk sebagai hasil metabolisme mikroorganisme meningkat.
4.00
4.50
5.00
5.50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Nila
i pH
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 5. Diagram pH rata-rata mi sagu selama penyimpanan
-
27
4. Ketengikan
Pada tahap akhir pembuatan mi sagu, dilakukan penambahan minyak
sayur ke permukaan mi agar setiap helai mi tidak saling lengket. Adanya
minyak sayur tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketengikan pada mi.
Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai
malonaldehid. Malonaldehid bila direaksikan dengan thiobarbiturat akan
membentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai
dengan jumlah malonaldehid yang ada dan absorbansinya dapat ditentukan
dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Tarladgis et
al., 1960).
Ketengikan mi selama penyimpanan mula-mula meningkat hingga
hari ke-5, namun kemudian menurun tajam di hari berikutnya. Hal ini
diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang
teroksidasi dan kemudian bereaksi dengan TBA (Thiobarbituric acid)
sehingga ikut memberikan warna merah (Kohne et al., 1944, Bernheim et
al., 1947, dan Buttkus et al., 1972).
Dahle et al. (1962) mengemukakan bahwa kemungkinan adanya
aldehide lain yang ikut bereaksi dengan TBA juga dapat memberikan
warna merah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
hidrolisis pada lemak yang menghasilkan asam-asam lemak jenuh dan
tidak jenuh. Degradasi asam-asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan
terbentuknya aldehide, yang ditandai dengan bilangan TBA yang tinggi.
Zat lain yang mungkin berpengaruh besar ikut teroksidasi pada awal
penyimpanan, sehingga memberikan warna merah adalah hasil degradasi
pati. Nawar (1985) menyatakan bahwa sukrosa telah diketahui
memberikan warna merah ketika bereaksi dengan TBA.
Setelah hari ke-20, nilai TBA mengalami penurunan dan cenderung
tidak mengalami peningkatan yang signifikan hingga pengamatan hari ke-
50. Hal ini diperkirakan karena komponen gula hasil degradasi dari pati mi
sagu telah menghambat ketengikan dan tidak ikut bereaksi lagi dengan
TBA. Oleh karena itu penyimpangan nilai TBA akibat adanya gula diduga
tidak terjadi lagi. Menurut Janero (1990) penurunan nilai TBA selama
-
28
penyimpanan dapat terjadi akibat adanya reaksi antara malonaldehid
dengan protein dan gula.
0
1
2
3
4
5
6
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Nila
i TB
A (m
g m
alon
alde
hide
/kg
sam
pel)
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 6. Diagram rata-rata Nilai TBA mi sagu selama
penyimpanan
Selama penyimpanan, mi sagu tidak mengalami perubahan aroma
karena kerusakan oksidasi pada minyak. Hal ini dapat saja terjadi karena
hasil oksidasi masih merupakan senyawa-senyawa antara seperti peroksida
dan hidroperoksida dan belum terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa
penyebab bau tengik seperti aldehid, keton, dan asam lemak bebas.
(Ketaren, 1986). Mi dengan penambahan alkali termasuk ke dalam
makanan daerah tropis, dimana selama penyimpanan tidak beraroma
(Kruger et al., 1996).
5. Warna
Menurut Hoseney (1998) selain timbulnya kapang, kerusakan pada
mi basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah
-
29
disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es (5oC). Mi yang bermutu
baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna
yang terjadi selama penyimpanan ini diperkirakan karena adanya aktivitas
enzim polifenoloksidase. Enzim polifenol mengkatalisis polifenol menjadi
kuinon dan selanjutnya terpolimerisasi menjadi warna merah.
Dari hasil pengamatan, tingkat kecerahan mi yang diperoleh dari
nilai L, menunjukkan terjadi penurunan selama penyimpanan. Perubahan
warna ini dapat diamati secara visual yaitu warna mi berubah menjadi
agak lebih gelap, terutama untuk mi yang dikemas secara vakum,
walaupun perubahannya tidak signifikan. Perubahan yang tidak signifikan
ini diduga karena mi sebelumnya mengalami proses pasteurisasi sehingga
enzim polifenoloksidase telah rusak. Proses pasteurisasi yang
mempengaruhi enzim polifenoloksidase, mengakibatkan proses browning
pada mi menjadi lambat.
Rata-rata nilai L untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non
vakum lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal
ini menunjukkan bahwa kondisi vakum memberikan kecerahan yang lebih
rendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum.
Kemasan polipropilen non vakum memiliki rata-rata nilai hue yang
tinggi. Hal ini disebabkan karena kemasan polipropilen memiliki
permeabilitas yang rendah sehingga penguapan uap air dari dalam ke luar
kemasan rendah. Migrasi uap air yang tinggi mengakibatkan warna produk
menjadi lebih gelap.
-
30
40.00
45.00
50.00
55.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Nila
i L
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan
Dari hasil pengamatan, derajat hue mi sagu termasuk ke dalam
kelompok warna Yellow red atau kuning kemerahan. Selama penyimpanan
warna mi sagu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perlakuan
vakum cenderung memiliki derajat hue yang lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan
vakum berwarna lebih merah dibandingkan dengan perlakuan non vakum.
80.00
82.00
84.00
86.00
88.00
90.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Der
ajat
Hue
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 8. Diagram rata-rata derajat hue mi sagu selama penyimpanan
-
31
Nilai chroma menunjukkan ketajaman warna dari produk. Nilai
chroma mi sagu selama penyimpanan cenderung menurun, hal ini berarti
berkurangnya intensitas warna kuning pada mi.
Kondisi pengemasan non vakum memiliki rata-rata nilai chroma
tertinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini berarti
kondisi pengemasan non vakum memberikan warna yang lebih cerah
dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum.
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50Hari ke-
Nila
i Chr
oma
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu selama
penyimpanan
6. Total Mikroba
Setelah terjadinya perubahan warna, perubahan yang timbul pada mi
adalah aroma mi menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir.
Pembentukan lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan
diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang
ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mi.
Pertumbuhan kapang pada mi ditandai dengan munculnya bercak-
bercak berwarna kuning kemerahan pada permukaan mi. Mi yang dikemas
-
32
dengan kemasan LDPE non vakum mengalami pertumbuhan kapang lebih
cepat dibandingkan dengan kemasan lainnya. Pada pengamatan hari ke-25,
jamur sudah tumbuh pada kemasan LDPE non vakum. Selanjutnya pada
pengamatan hari-35, mi yang dikemas dengan plastik LDPE yang divakum
ditumbuhi jamur. Mi yang dikemas dengan plastik polipropilen non vakum
telah ditumbuhi jamur pada pengamatan hari ke-40, sedangkan yang
vakum hingga pengamatan hari ke-50 masih terlihat baik.
Hingga hari ke-25 terjadi laju penurunan total kapang, namun hari
berikutnya terjadi peningkatan laju pertumbuhan kapang. Hal ini diduga
pada kurun waktu awal penyimpanan hingga hari ke-25 terjadi tahapan
dimana kapang mengalami tahap tumbuh reda, dimana nutrisi yang
tersedia menurun atau karena racun metabolisme sendiri. Jumlah kapang
akan meningkat selama penyimpanan mi sagu. Pada pengamatan hari ke-
50, total rata-rata kapang untuk kemasan LDPE non vakum sudah
melebihi batas maksimal cemaran mikroba dalam syarat mutu mi basah
menurut SNI 01-2987-1992.
Mikroba yang terdapat pada mi diduga berasal dari bahan baku mi
yaitu tepung sagu. Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang
terdapat pada tepung yaitu kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa
terdapat pada tepung yaitu Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus
serta beberapa spesies Achromobacterium, sedangkan kapang yang
ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus,
Rhizopus, Mucor, Fusarium, Penicillium.
Jenis kemasan dengan permeabilitas rendah dan dikemas secara
vakum yaitu kemasan OPP/PE/LLDPE dan PP vakum memiliki total
mikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan LDPE. Hal ini
menunjukkan bahwa permeabilitas yang rendah dapat menekan laju
pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat pada mi yang sebagian besar
bersifat aerobik.
-
33
C. BIAYA PENGEMASAN
Biaya pengemasan merupakan salah satu elemen dari biaya produksi,
dimana nantinya dapat menentukan harga produk. Salah satu cara untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi adalah dengan menekan biaya produksi.
Oleh karenanya biaya untuk pengemasan diusahakan agar serendah mungkin,
namun tetap memberikan perlindungan yang baik terhadap produk. Unsur-
unsur yang dimasukkan dalam biaya pengemasan adalah biaya bahan
kemasan, biaya mesin pengemas, dan biaya proses pengemasan.
Berdasarkan Tabel 9 biaya pengemasan tertinggi adalah perlakuan
kemasan OPP/PE/LLDPE, sedangkan. biaya pengemasan yang terendah
adalah perlakuan kemasan polipropilen non vakum dan kemasan LDPE non
vakum. Oleh karena itu, dari segi biaya pengemasan maka pengemasan yang
murah namun dapat mempertahankan umur simpan mi sagu yaitu kemasan
polipropilen dengan kondisi pengemasan non vakum.
Tabel 9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan
Jenis kemasan
Kondisi pengemasan
Harga kemasan
/unit
Biaya pengemasan
/unit
Total biaya pengemasan
/unit OPP/PE/LLDPE Vakum 121 1,55 122,55
Non vakum 121 1,46 122,46 Polipropilen Vakum 60 1,55 61,55
Non vakum 60 1,46 61,46 LDPE Vakum 60 1,55 61,55
Non vakum 60 1,46 61,46
Keterangan :
Ukuran plastik : 20,5 cm x 11,8 cm
Harga kemasan : OPP/PE/LLDPE = Rp. 2.500,00/m2
Polipropilen = Rp. 24.000,00/kg
LDPE = Rp. 24.000,00/kg
Sealer : 300 watt
Penerangan : 25 watt
-
34
Pengemas vakum : 750 watt
Listrik : Rp. 450/kwh
Tenaga kerja : 1 orang (Rp. 25.000,00/hari)
D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK
Penentuan perlakuan terbaik diperoleh dari hasil pembobotan
secara subjektif. Jumlah pembobotan tersebut diperoleh berdasarkan
penilaian 3 peneliti sagu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian, Bogor. Untuk menentukan perlakuan terbaik, setiap
parameter yang diuji diberikan bobot dari 0,01 hingga 1 berdasarkan
penilaian kepentingannya. Semakin besar jumlah bobotnya maka semakin
tinggi nilai kepentingannya.
Nilai rata-rata hasil analisa dari setiap parameter selama
penyimpanan kemudian diurutkan berdasarkan ranking. Peringkat pertama
diberi nilai 6, peringkat kedua diberi nilai 5, peringkat ketiga diberi nilai 4
dan seterusnya hingga peringkat yang terendah bernilai 1. Secara umum
semakin rendah nilai hasil analisa maka nilai peringkatnya semakin tinggi.
Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai
peringkat dikalikan dengan bobot setiap parameter pengujian. Nilai total
kemudian diranking hingga diperoleh perlakuan terbaik. Perlakuan terbaik
ditunjukkan dengan ranking terbesar (nilai 6). Tabel perhitungan
penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada
Lampiran 11. Dari hasil pembobotan secara subjektif diperoleh kemasan
polipropilen yang dikemas dengan cara vakum sebagai cara pengemasan
terbaik untuk mengemas mi sagu.
Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu
Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot (W)
Sineresis Mi yang berair dapat mengurangi daya tarik konsumen
0,16
Biaya pengemasan Biaya pengemasan berpengaruh terhadap harga produk
0,14
Cooking loss Kualitas pemasakan mi dipengaruhi cooking loss
0,13
-
35
Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu (lanjutan)
Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot (W)
Derajat keasaman Mi yang asam menunjukkan adanya aktivitas mikroba
0,07
Ketengikan Lemak yang tengik menyebabkan perubahan aroma
0,10
Total kapang Menentukan umur simpan produk 0,17 Total bakteri 0,12 Kecerahan Mempengaruhi tingkat kesukaan warna 0,11 Total 1,00
Tabel 11. Skor hasil pembobotan dari tiap perlakuan
Ranking Perlakuan Skor
1 A3B2 3,01 2 A2B2 3,07 3 A3B1 3,23 4 A1B2 3,72 5 A1B1 3,83 6 A2B1 4,14
Keterangan : A1 = Jenis kemasan OPP/PE/LLDPE A2 = Jenis kemasan Polipropilen A3 = Jenis kemasan LPDE B1 = Kondisi pengemasan vakum B2 = Kondisi pengemasan non vakum
-
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Nilai sineresis mengalami kenaikan selama penyimpanan. Perubahan nilai
sineresis dipengaruhi oleh jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Dari
hasil penelitian diperoleh bahwa kemasan LDPE vakum memiliki nilai
sineresis terendah. Permeabilitas kemasan yang tinggi menyebabkan air
sineresis mudah menguap ke luar bahan kemasan.
2. Selama penyimpanan, cooking loss mi sagu cenderung mengalami
peningkatan. Peningkatan cooking loss mi sagu dapat dihambat dengan
mengemasnya secara vakum.
3. Nilai TBA mengalami peningkatan pada awal penyimpanan namun
kemudian menurun tajam setelah hari ke-20. Peningkatan nilai TBA ini
diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang teroksidasi
dan kemudian bereaksi dengan TBA sehingga memberikan warna merah
yang terukur sebagai malonaldehid. Selama penyimpanan, secara
keseluruhan ketengikan mi sagu cenderung tidak berubah namun pada akhir
penyimpanan terjadi peningkatan. Hal yang sama juga terjadi pada derajat
keasaman (pH). pH mi sagu selama penyimpanan cenderung tidak
mengalami perubahan yaitu berkisar antara 4,7-4,8.
4. Selama penyimpanan warna yang dihasilkan dari mi sagu berkisar antara
yellow red dan yellow. Kecerahan (L) dan nilai chroma mengalami
penurunan, sedangkan derajat hue tidak mengalami perubahan secara nyata.
Kecerahan mi sagu dapat dipertahankan dengan menggunakan kemasan
polipropilen non vakum. Rata-rata kecerahan (nilai L) mi sagu yaitu 48,68,
derajat hue 84,92 dan nilai chroma 3,85.
5. Total bakteri dan kapang mengalami peningkatan selama penyimpanan.
Secara visual, kemasan OPP/PE/LLPDE baik vakum maupun non vakum
-
37
dan kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi
sagu hingga akhir penyimpanan (hari ke-50).
6. Perlakuan terbaik yang diperoleh untuk mengemas mi sagu yaitu
menggunakan kemasan polipropilen dengan kondisi pengemasan vakum
dengan rata- rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan
(nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40,
derajat hue 86,03, nilai chroma 3,29, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total
kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.
B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian penerimaan konsumen terhadap mi sagu secara
umum dan jenis kemasan serta kondisi pengemasan terhadap mi sagu secara
khusus.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur simpan mi
sagu yang dikemas dengan kemasan plastik polipropilen vakum, dengan
menambah waktu penyimpanan.
-
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Dietary Fiber and Resistant Starch Analysis.
http://www.fao/deocrep/w8079e/8079e0i.html. Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni luh Puspitasari, Sedarnawati, dan Slamet
Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor. Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI. SNI 01-2987-1992. Mi Basah. BSN,
Jakarta. Briston, John H., dan Leonard L. Katan. 1974. Plastic in Contact With Food. The
Anchor Press Ltd., Great Britain. Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and Wooton. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan UI-Press, Jakarta. Buttkus, H. dan R.J. Rose. 1972. JAOCS 50: 387. Chen, Z, L. Sagis, A. Ledder, J.P.H. Linssen, H. A. Schols dan A. G. J. Voragen.
2002. Phsycochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Journal of Food Science 67 : 3342-3347.
Collado, L. S., L. B. Mabesa, C. G. Oates dan H. Corke. 2001. Bihon-Types
Noodles From Heat-Moisture Treated Sweet Potato Starch. Journal of Food Science 66(4):604-609.
Christensen, C. M. 1974. Storage of Cereal Grains and Their Products. American
Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Dahle, L. K., E. G. Hill dan R.T. Holman. 1962. Arch. Biochem. Biophys 98 :
253. Dennis, Colin dan Michael Stringer. 1992. Chilled Foods a Comprehensive Guide.
Ellis Horwood Limited, England. Dick, J. W., Shelke, K., Holm, Y. dan K. S. Loo. 1986. The Effect of Wheat Flour
Quality, Formulation and Processing on Chinese Wet Noodle Quality. Research report, Dept. of Cereal Science and Food Technology, North Dakota State University, Fargo, ND.
Direktorat Gizi Dep Kes R.I .1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata
Karya Aksara, Jakarta.
-
39
Dufour, D., Amani, N. G., Tetchi, F. A.., dan Kamenan, A. A Comparative Study of the Syneresis of Yam Starches and Other Modified Starches. 2002. The Journal of Food Technology in Africa 7 : 4-8.
Eskin, N.A. Michael dan David S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability.
CRC Press LLC., Florida. Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta. Gracecia, Daniel. 2005. Profil Mie Basah Yang Diperdagangkan di Bogor dan
Jakarta. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins. 1991. Packaging Foods with
Plastics. Technomic Publishing Co., Inc., Lancaster, USA. Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu.
Kanisius, Yogyakarta. Hendrasari, R. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai terhadap Sifat Fisik,
Kimia, dan Daya Terima Bihun dan Mie Golosor. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.
Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Hutchings, John B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen
Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland. Janero, D. R. 1990. Malonaldehyde and Thiobarbituric Acid Reactivity as
Diagnostic Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury. Free Radicals and Biological Medicine 9 : 515-540.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press,
Jakarta. Kohne, H. I., dan M. Liversedge, 1944. J. Pharmacol. and Exp. Therap. 82 : 292. Kruger, James E., Robert B. Matsuo dan Joel W. Dick. 1996. Pasta and Noodle
Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.
Labuza, 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc.,
Westport, Connecticut.
-
40
Luchsinger, S. E, D. H. Kropf, C. M. Garca Zepeda, J. L. Marsden, S. L. Stroda, M. C. Hunt, E. Chambers IV ,M. E. Hollingsworth, dan C. L. Kastner.1996. Sensory Traits, Color, and Shelf Life of Low-Dose Irradiated, Raw, Ground Beef Patties. http://www.oznet.ksu.edu/ANSI/CatlDay/luc3.pdf.
Munarso, S Joni. 2004. Pati Resistan dan Peluang Perbaikan Mutu Pangan
Tradisional. Prosiding Seminar Nasional. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional.
Nawar, W. 1985. Lipids. Fennema, O. R (ed.). Food Chemistry. Marcel Dekker,
Inc., New York. Nova, Andi. 2002. Studi Umur Simpan Tepung Cincau Hitam dalam Kemasan
Plastik. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor. Purwani, E. Y., Y. Setiawati, H. Setianto, S. J. Munarso, N. Richana dan
Widaningrum. 2004. Utilization of Sago Starch For Transparent Noodle in Indonesia. Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu Bogor.
Robertson, Gordon. L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel
Dekker, Inc., New York.
Sacharow, S., and R.C. Griffin. 1978. Food Packaging. AVI Publ. Inc., Westport. Sastrapraja, S. dan J.P. Mogea. 1977. Present Uses en Future Development of
Metroxylon Sago in Indonesia. Sago-76 : Papers of the First International Sago Symposium.
Syarief, R., S. Santausa dan St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan.
Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
Tarladgis, B. G., Watts, B. M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr. 1960. A
Distillation Method for the Quantitative Determination of Malonaldehyde in Rancid Foods. Journal of American Oil Chemistry Society. 37 : 44-48.
Virtucio, L. 2004. Oriental Noodles. http//www.pavan.com Walpole, Ronald E. 1982. Pengantar Statistika. Terjemahan. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta. Widjajanti, Ratih. 1993. Mempelajari Pengaruh Minyak Goreng, Kemasan
Plastik, dan Atmosfer Termofidikasi terhadap Umur Simpan Kacang Telur. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.
-
41
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.
Wirakartakusumah, M. A., A. Apriantono, M. S., Maarif , Suliantari, D.
Muchtadi dan K. Otaka. 1985. Isolation and Characterization of Sago Starch and its Utilization for Production of Liquid Sugar. The Development of the Sago Palm and its Products. Report of the FAO/BPP Teknologi Consultation, Jakarta, January 16-21, 1984.
K.L. Yam, D.S. Lee. 1995. Design of Modified Atmosphere Packaging for Fresh
Produce. Active Food Packaging. Chapman & Hall.
Yuniar, Kiki. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan serta Aplikasi Penggunaan Pewarna dan Pengawet Pada Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB, Bogor.
-
LAMPIRAN
-
42
Lampiran 1. Prosedur Analisis
1. Kadar Air Dengan Metode Oven (AOAC, 1995)
Cawan aluminium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC
selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapatkan bobot
tetap.
Contoh sebanyak 2-10 g ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian
dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3-5 jam. Setelah itu cawan
dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulangi sampai didapatkan bobot
tetap bahan.
Untuk menghitung persentase kadar air, digunakan rumus sebagai
berikut :
% Air (b/b) = A-B x 100 %
C
Keterangan :
A : bobot cawan berisi contoh sebelum dioven, dalam g
B : bobot cawan berisi contoh setelah dioven, dalam g
C : bobot contoh, dalam g
2. Kadar Abu (AOAC, 1995)
Contoh bahan sebanyak 2 gram dihitung dalam cawan yang bobotnya
konstan. Dibakar sampai berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian
dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan yang
berisi abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang.
Persentae abu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
% Abu (b/b) = A-B x 100 %
C
Keterangan :
A : bobot cawan berisi abu, dalam g
B : bobot cawan, dalam g
C : bobot contoh, dalam g
-
43
3. Kadar Protein (AOAC, 1995)
Contoh sebanyak 0,1 gram ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam
labu kjehdahl dan ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat serta katalis dan batu
didih. Setelah itu didestruksi pada suhu 450 oC selama 2 jam atau lebih atau
sampai didapat cairan jernih tidak berwarna atau berwarna hijau muda.
Labu beserta isinya didinginkan sampai suhu kamar, kemudian isinya
dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 50 ml aquades dan
larutan NaOH 15 ml. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer dalam
labu Erlenmeyer yang berisi 25 ml HCL 0.02 N sampai diperoleh destilat
sebanyak + 50 ml. Destilat dititrasi dengan NaOH 0.02 N dengan indikator
metil merah.
Kadar Protein = a x N x 14.006 x 6.25 x 100 %
M
Keterangan :
A = selisih ml NaOH yang digunakan untuk titrasi blanko dengan contoh
N = normalitas larutan NaOH
M = berat contoh (mg)
4. Kadar lemak (AOAC, 1995)
Bahan ditimbang seberat 5 gram, dibungkus dalam kertas saring tahan
minyak, kemudian dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet. Bahan diekstraksi
dengan larutan heksan selama 4-6 jam. Bahan dikeluarkan dan dikeringkan
dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap.
Kadar lemak = M1-M2 x 100 %
M0
Keterangan :
M1 = Berat contoh sebelum ekstraksi (g)
M2 = Berat contoh setelah ekstraksi (g)
M0 = Berat contoh awal (g)
-
44
5. Kadar Karbohidrat, by difference (Winarno, 1995)
Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar karbohidrat = 100% - (%air - %abu -%lemak - %protein)
6. pH (Kruger et al., 1996)
Pengukuran dilakukan menggunakan pH meter. Mi sagu sebanyak 10
gram yang akan diukur pH-nya, dihancurkan dengan blender kemudian
dilarutkan dalam 100 ml aquades sampai homogen, contoh didiamkan dan
diukur pH-nya.
7. Sineresis (Chen, 2003 dengan modifikasi)
Pengujian sineresis dilakukan dengan menyimpan mi yang telah dikemas
dan disimpan di dalam refrigerator dan kemudian dihitung jumlah air yang
keluar dari mi.
Sineresis (%) = volume air yang keluar / volume mi x 100%
8. Ketengikan (Tarladgis et al. , 1960)
Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke
dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2
menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi dambil
dicuci dengan 47,5 ml aquades. Ditambahkan + 2,5 ml HCL 4M sampai pH
menjadi 1,5. Kemudian ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti
foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.
Destilasi dijalankan dengan pemanas