Expression Meaning
-
Upload
muhammad-adek -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
description
Transcript of Expression Meaning
EXPRESSION MEANING VS UTTERANCE/SPEAKER MEANING
Ketika Mrs Malaprop dalam drama Richard Sheridan The Rivals berkata kepada
keponakannya Lydia Languish ‘Janganlah berusaha untuk membasmi dirimu dari masalah itu,’
dia bermaksud untuk mengatakan kepada keponakannya agar tidak mencoba melarikan dirinya
dari masalah. Hal tersebut sebenarnya bukanlah yang dimaksudkan ‘extirpate’ dalam bahasa
Inggris (paling tidak, itu bukan satu-satunya makna yang terdapat dalam daftar 'extir - pate'
dalam penggunaan kamus bahasa inggris yang baik). Malapropisme semacam ini adalah salah
satu cara di mana makna ekspresi (yaitu, makna kata atau kalimat) bisa datang terpisah dari
makna penutur. Mrs Malaprop memiliki keyakinan yang salah mengenai apa kata-kata yang ia
gunakan untuk memaknai dalam bahasa yang ia gunakan. Keseleo lidah (misalnya, mengatakan
'pig vat' bukan 'big fat') merupakan cara lain di mana ekspresi dan makna penutur bisa datang
terpisah.
Implikatur percakapan Gricean menunjukkan hal yang jauh lebih luas, kelas kasus di mana kedua
jenis makna datang terpisah. Ini adalah kasus-kasus dimana pembicara terlibat dalam beberapa
bentuk tidak secara tidak langsung, di mana, biasanya, poin utama percakapan adalah sesuatu
yang implisit dikomunikasikan daripada eksplisit diungkapkan. Dalam kasus tersebut, kata-kata
penutur berarti satu hal, tapi penutur sedang mencoba untuk menyampaikan makna lain, baik di
samping ekspresi makna harfiah atau di dalam percakapan tersebut.
Sebuah contoh dari jenis sebelumnya adalah ketika Mary menjawab tawaran Peter untuk
menjemputnya ke bioskop pada malam dimana Mary menjadwalkan belajar untuk ujian esok
harinya. Mary dengan tegas mengatakan bahwa dia akan belajar, namun secara tidak lansung hal
tersebut terkomunikasikan bahwa dia menolak undangan Peter. Disini keduanya, pernyataan
yang tegas dan penolakan yang halus sengaja dikomunikasikan. Pernyataan ini dimaksudkan
untuk memberikan alasan Mary untuk penolakannya. Contoh yang sama selanjutnya adalah
ketika Mary menanggapi penolakan Peter untuk membantunya ketika dia dalam kesulitan dengan
mengatakan 'Kamu adalah teman baik!" Disini, Mary secara implisit mengutarakan bahwa Peter
bukanlah seorang teman yang baik. Kata-kata Mary “teman yang baik” digunakan dengan
sarkastis, dan dia tidak bermaksud untuk mengatakan sesuai dengan makna harfiah dari kata-
katanya tersebut.
Perlu disebutkan bahwa beberapa filsuf berpikir bahwa makna yang dikatakan secara eksplisit
(sebagai lawan dari komunikasi yang implisit) bisa datang terpisah dari makna kalimat literal. Ini
adalah kasus-kasus dimana makna ekspresi literal harus menyempit atau diperluas secara
pragmatis dalam rangka untuk sampai pada apa yang secara eksplisit dikomunikasikan. Jadi,
ketika Mary berkata kepada pelayan di restoran bahwa ia harus mengambil steak itu kembali
karena itu masih mentah, Mary tidak bermaksud mengatakan steak tersebut secara harfiah
mentah, tetapi steak tersebut terlalu mentah untuk level seleranya –sebuah kasus perluasan
pragmatis. Atau ketika Mary mengatakan kepada anaknya bahwa ia tidak akan mati ketika dia
datang menangis padanya dengan luka di jarinya, Mary bermaksud untuk mengatakan bahwa ia
tidak akan mati karena luka tersebut, bukan mengatakan bahwa anaknya tidak akan pernah mati
– sebuah kasus penyempitan pragmatis (lihat Pragmatic Determinants of What is Said).
Bagi beberapa orang, makna ucapan hanyalah variasi dari makna penutur. Ini adalah makna dari
ungkapan yang digunakan oleh penutur dalam beberapa konteks percakapan. Pendengar sampai
pada sebuah pemahaman dari makna ucapan dengan menggabungkan makna ekspresi literal
dengan informasi lain yang tersedia secara kontekstual termasuk informasi tentang niat
komunikatif penutur. Namun, setidaknya beberapa filsuf bahasa dan ahli bahasa ingin
menggambarkan sebuah perbandingan antara makna ucapan dan makna penutur.
Levinson (1987, 1995, 2000) berpendapat mengenai tiga tingkatan makna. Ada makna ekspresi,
makna ucapan, dan makna penutur. Makna Ucapan digolongkan kepada sebuah sistem makna
standar terkait dengan jenis-jenis ekspresi tertentu. Makna-makna standar ini dibedakan dari
peng-kodekan makna-makna ekspresi secara literal.
Namun, ketika seorang penutur mengucapkan sebuah ekspresi dari jenis ini dalam konteks
normal, dia akan menyampaikan makna default/standar, kecuali kalau dia baik secara eksplisit
maupun implisit membatalkan makna ini.
Levinson mengidentifikasi makna default ini dengan kelas/golongan implikatur percakapan yang
Grice sebut dengan implikatur percakapan umum. Sebagai contoh, ketika Peter menuduh Mary
telah memakan semua kue coklat dan Mary menjawab bahwa dia telah makan beberapa kue
coklar, Mary secara eksplisit mengatakan bahwa ia telah memakan beberapa dan mungkin semua
kue coklat, ia berimplikasi dengan cara umum bahwa dia tidak makan semua kue coklar, dan ia
berimplikasi secara khusus bahwa dia bukanlah pihak yang bersalah.
Ketiga makna ini sesuai dengan tiga tingkat makna Levinson: makna kalimat, makna ucapan,
dan makna penutur secara berurutan. Perbedaan antara makna ekspresi dan penutur telah
dilibatkan dalam banyak perdebatan filosofis sebagai sebuah cara untuk menghindari postulasi
dari beberapa arti untuk satu tipe ekspresi.
Satu contoh terkenal adalah seruan Kripke (1977) untuk membedakan antara referensi penutur
dan referensi semantik dari uraian tertentu. Kripke menantang perbedaan ini dalam rangka untuk
menolak signifikansi semantik dari apa yang Donnellan (1966) sebut dengan petunjuk
penggunaan dari uraian tersebut.
Andaikata Mary menggunakan deskripsi 'pria di sudut sedang minum segelas Martini, 'berniat
untuk merujuk kepada Peter, tetapi sebenarnya Peter hanyalah meminum air mineral, bukan
Martini. Kripke berpendapat bahwa apa yang disebut penggunaan petunjuk deskripsi dapat
dipertanggungjawabkan dengan menggunakan dalih apa Mary maksudkan untuk disampaikan
dengan menggunakan ungkapan itu, mengingat apa yang dia benar-benar katakan ditentukan
dengan memberikan sebuah analisis Russellian dari uraian tersebut. Karena tidak adanya
peminum Martini yang khas di sudut ruangan (karena, mari kita anggap, tidak ada peminum
Martini disana), apa Mary katakan adalah salah, meskipun apa yang dimaksudkan melalui
penyampaiannya (makna penuturannya) dapat dibenarkan.
Ada beberapa perbedaan pandangan mengenai prioritas relatif berekspresi dan makna penutur.
Beberapa filsuf, seperti Strawson (1950), berpendapat bahwa bukan kata dan kalimat sendiri
yang merujuk atau mengungkapkan proposisi. Sebaliknya, itu adalah penutur yang merujuk atau
mengekspresikan proposisi dengan menggunakan kata-kata mereka dan kalimat, berturut-turut.
Salmon (2004) menyebut konsep yang berpusat pada tindak tutur pada semantik dan berlawanan
dengan pandangan yang ia sukai, yaitu konsep yang berpusat pada ekspresi. Menurut konsep
kedua, kata-kata dan kalimat memiliki sifat-sifat semantik secara intrinsik, dalam artian bahwa
mereka dapat berbicara tentang petunjuk dan kandungan kebenaran kondisional dari ekspresi-
ekspresi tanpa pengetahuan mengenai itu atau membantu niat komunikasi dari pengguna
ekspresi-ekpresi itu.
Meskipun pembela konsep yang berpusat pada tindak tutur berkomitmen untuk menyangkal
bahwa ekspresi-ekspresi memiliki petunjuk atau kandungan kebenaran kondisional secara bebas
dari niat komunikasi penutur, pandangan mereka sesuai dengan dengan klaim bahwa jenis-jenis
ekspresi memiliki aspek makna yang berkonteks tetap.
Ini akan sesuai dengan Fregean ‘sense’ atau ‘mode-of-presentation’ atau (untuk demonstratif dan
index) ke Kaplanian ‘karakter’. Hal-hal seperti aspek makna non-referential atau non-truth
conditional mungkin termasuk dalam Salmon ‘sense’. Dengan kata lain, makna tersebut akan
menjadi milik dari jenis-jenis ekspresi, terlepas dari niat pengguna jenis-jenis ekspresi.
Beberapa filsuf bahasa telah membantah Ide dari makna ekspresi intrinsik independen dari
makna penutur. Misalnya, Grice (1957) berpendapat bahwa makna ekspresi dapat direduksi
menjadi makna penutur. Grice tertarik kepada arti non-natural (MeaningNN), sebagai lawan dari
tipe makna alami yang mana sebuah tanda mungkin memiliki dalam sifat dari penandaan secara
alami atau indikasi dari beberapa keadaan.
Dia menyatakan bahwa makna ucapan yang ‘nonnaturally’ p hanyalah sebuah persoalan dari
sebuah ekpresi ujaran seorang penutur dengan niat percakapan tertentu. Ini akan menjadi
semacam makna ‘one-off’ untuk ekspresi itu. Namun, penutur tersebut mungkin cenderung
untuk mengucapkan sebuah ekspresi dari jenis ini setiap kali dia ingin menyampaikan arti
tertentu.
Dengan demikian, ia bisa saja mengembangkan sebuah kebiasaan dari penggunaan jenis ekspresi
seperti itu. Jika penggunaan ini kemudian menyebar ke anggota lain dari komunitasnya, itu akan
menjadi standar penggunaan, dan jenis ekspresi tersebut akan sampai pada kepemilikan makna
stabil independen dari niat-niat penutur manapun. Akan tetapi, makna tersebut tidak akan
menjadi independen dari kegiatan linguistik dari pengguna jenis ekspresi tersebut secara umum.
Cara lain para pembela dari konsep berpusat pada tindak tutur yang telah menantang gagasan
dari makna ekspresi intrinsik yaitu berdebat dengan Searle (1983) bahwa semua makna
berhubungan dengan sebuah latar belakang nonintentional. Sebuah kalimat hanya memiliki
hubungan kebenaran-kondisi dengan beberapa Latar Belakang yang diasumsikan. Latar belakang
ini tidak akan pernah bisa dibuat sepenuhnya eksplisit, karena pada dasarnya itu terdiri dari satu
set kemampuan, praktek, dan cara bertindak yang nonintentional.
Meskipun Searle, tidak seperti Grice, tidak menyarankan bahwa makna ekspresi sangat
tergantung kepada niat komunikatif penutur, ia berpendapat bahwa makna ekspresi tergantung
pada jenis tertentu dari aktivitas manusia, dan konsep ini bertentangan dengan gagasan dari
makna ekpresi intrinsik.
EXPRESSIVE POWER OF LANGUAGE
Kekuatan ekspresif dari sebuah bahasa adalah kemampuannya untuk menyampaikan makna-
makna dari berbagai jenis. Paling sering, istilah ini digunakan dalam konteks komparatif atau
kontrastif, misalnya, untuk menegaskan bahwa satu bahasa adalah lebih besar kekuatan ekspresif
daripada yang lain dalam bidang semantik tertentu.
Pada suatu waktu, hal tersebut diyakini bahwa bahasa klasik dari peradaban Barat mempunyai
kekuatan ekspresif lebih besar dibanding dengan bahasa primitive Afrika, Asia, Oseania, dan
Amerika. Namun, ketika ahli bahasa mulai mengakrabkan diri mereka dengan bahasa yang lebih
terpencil dan eksotis, semakin jelas bahwa mereka juga patut diperhitungkan namun selama ini
diremehkan dalam kekuatan ekspresif mereka. Belakangan ini, secara umum dapat diterima
bahwa semua bahasa diberkahi kekuatan ekspresif yang sama besarnya.
Namun demikian, dalam domain tertentu, bahasa masih mungkin berbeda secara substansial
sehubungan dengan bekas kekuatan ekspresif mereka. Mungkin contoh yang paling sering
dirujuk dalam variasi lintas bahasa dalam kekuatan ekspresif, kelebihan arti Bahasa Eskimo dari
kata salju, 'baru-baru ini telah dipertanyakan, walaupun beberapa contoh lainnya didukung baik
secara empiris.
Dalam rangka untuk membandingkan kekuatan ekspresif bahasa-bahasa, maka perlu untuk
mempertimbangkan bentuk-bentuk yang mungkin memiliki arti, makna yang mungkin
ditanggung oleh bentuk-bentuk, dan sifat dari hubungan bentuk–makna.
Bentuk-bentuk yang mungkin memiliki arti adalah unit-unit linguistic dari berbagai ukuran:
morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan teks. Di samping ini, kontur intonasi juga dapat
dikaitkan dengan makna. Selain itu, lebih kecil lagi, unit fonologi mungkin memiliki arti dalam
apa yang dikenal sebagai simbolisme-suara.
Makna yang ditanggung oleh bentuk-bentuk linguistik dapat secara luas dicirikan sebagai baik
konseptual atau afektif. Makna konseptual didasarkan pada kepercayaan tradisional dari
semantik, seperti konten proposisional, modalitas, dan referensi, dan dapat lebih diklasifikasikan
dalam berbagai bidang semantik, termasuk peran tematik, tense/aspek, kuantifikasi, istilah
kekeluargaan, istilah warna, istilah cuaca, dan sebagainya. Sebaliknya, makna afektif melibatkan
keadaan seperti ketegangan, kebahagiaan, gairah, dan semacamnya.
Hubungan bentuk-makna, yang mengatakan asosiasi bentuk linguistik dengan makna khusus,
adalah dasar dari kekuatan ekspresif bahasa. Untuk setiap makna yang diberikan M, berikut ini
tiga kasus mungkin, berpotensi, dibedakan: (a) M adalah dapat diekpressikan dalam semua
bahasa, (b) M dapat diungkapkan dalam tanpa bahasa, dan (c) M diungkapkan dalam beberapa
tapi tidak semua bahasa. Namun, taksonomi di atas menghadapi sejumlah masalah serius.
Satu kesulitan yakni empiris: tanpa akses ke masing-masing dan setiap salah satu dari ribuan
bahasa di dunia, itu adalah proposisi sangat berisiko untuk membuat generalisasi universal yang
menyatakan bahwa makna tertentu mungkin dinyatakan dalam semua bahasa, atau tidak sama
sekali. Pada pengganti data base jauh lebih besar daripada saat ini tersedia di pasaran, semua
klaim seperti itu harus diperlakukan sebagai dugaan dari berbagai tingkatan yang masuk akal.
Masalah lainnya berkaitan khusus dengan makna yang dinyatakan tidak ada bahasanya.
Beberapa peneliti melihat bahasa sebagai sistem konvensi sosial, dan makna, khususnya, pada
dasarnya pengikat masyarakat: untuk peneliti tersebut, konsep dari makna tak terungkapkan
adalah sebuah oxymoron. Lebih umum, melalui definisi mereka, makna yang ternyatakan dalam
ketiadaan Bahasa tidak bisa disebut, bahkan secara tidak langsung, seperti dalam ekspresi makna
senyum Mona Lisa: gagasan tentang makna tak terungkapkan kemudian menjadi paradoks.
Namun demikian, para nabi, penyair, dan lain-lain telah digambarkan melewati pengalaman
mistik di luar ranah ekspresi linguistik, klaim-klaim serupa juga diciptakan oleh orang-orang
yang telah memasuki keadaan diluar dari kesadaran, misalnya, dengan halusinasi akibat obat.
Memang, para positivis logis menyatakan bahwa bahasa-bahasa alami tidak mampu
mengekspresikan konsep-konsep ilmiah dengan cukup tepat, postulat ini menjadi motivasi
mereka untuk mengusulkan sebuah ‘bahasa buatan ilmu pengetahuan.’
Menelusuri lebih jauh lagi, ilmuwan-ilmuwan kognitif telah mengindikasikan bahwa pikiran
manusia sejak lahir tidak mampu untuk menangkap beberapa jenis pengetahuan; pengetahuan
tersebut akan, selanjutnya, menjadi tidak terungkapkan dalam bahasa apapun. Dilihat dari klaim-
klaim tersebut, itu seperti akan disarankan untuk, setidaknya, menarik kemungkinan bahwa
mungkin ada makna yang belum dinyatakan dalam bahasa, terlepas dari masalah yang melekat di
dalamnya. Lebih lanjut, masalah yang paling banyak diperdebatkannya adalah sinonim
crosslinguistic/antar bahasa. Beberapa ahli bahasa mempertanyakan apakah bentuk linguistic
(linguistic form) di berbagai bahasa sanggup untuk menyandang arti yang sama persis.
Masing-masing dan setiap bentuk linguistik merupakan bagian dari sistem bahasa; karenanya, ia
diperdebatkan selalu, bentuk-bentuk linguistik termasuk bagian dari sistem bahasa yang berbeda-
beda yang tidak bisa setara. Permasalahan sinonim crosslinguistic (antarbahasa) ini tentu saja
penting untuk proses penerjemahan: jika kesempurnaan sinonim crosslinguistic tidak dapat
dicapai, maka tidak adalah ‘terjemahan yang sempurna.’
Namun demikian, untuk berbagai tujuan, itu tampak akan menguntungkan untuk menghapuskan
kepelikan ini, dalam rangka untuk menempatkan sinonim crosslinguistic, ketika kesetaraan
makna, sampai pada titik tertentu, menjadi mungkin untuk dicapai. Sebuah masalah tertentu
muncul ketika seharusnya sinonim lintaslinguistik dibangun dari bentuk-bentuk linguistik dari
berbagai jenis, atau ‘ukuran’. Pertimbangkan, untuk contoh, ungkapan bahasa Inggris boy (anak
laki-laki) dan sinonim terdekatnya dalam bahasa Ibrani, yeled, dan dalam bahasa Tagalog,
batang lalaki. Sedangkan bahasa Inggris memiliki kata monomorphemic, Ibrani memiliki kata
bimorphemic terdiri dari akar y-l-d 'child 'ditambah infleksi maskulin singular -ee-, sementara
Tagalog menggunakan dua kata, Batang ‘child’ ditambah penghubung gramatikal, and lalaki
‘male’. Ini setidaknya masuk akal untuk menunjukkan bahwa makna yang berhubungan dengan
boy, yeled, dan Batang lalaki merefleksikan struktur mereka yang berbeda. Secara khusus,
mengingat representasi semantis dari boy mungkin melibatkan sebuah konsep primitif Boy, yang
mana yeled mungkin diperoleh dari penerapan fitur maskulin untuk Anak, sedangkan batang
lalaki mungkin dibangun secara komposisinya, dengan memodifikasi Child dengan Male.
Oleh karena itu akan tampak sangat penting untuk membedakan antara berbagai jenis bentuk
linguistik yang mungkin memiliki arti: segmen, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, teks,
intonasi contur, dan sebagainya. Secara khusus, untuk setiap makna M, dan semua jenis dari
bentuk linguistik T, berikut tiga kasus yang mungkin dibedakan: (a) M dapat dinyatakan oleh
bentuk dari tipe T dalam semua bahasa , (b) M adalah dinyatakan oleh bentuk dari tipe T tanpa
bahasa, dan (c) M adalah dapat dinyatakan oleh bentuk dari tipe T dalam beberapa tapi tidak
semua bahasa. Berikut ini adalah beberapa contoh dari masing-masing tiga kasus tersebut.
Ambil T sebagai morfem, dan uji domain semantik dari bilangan-bilangan pokok, ONE (satu)
adalah mungkin dinyatakan oleh sebuah morfem tunggal dalam semua bahasa, sedangkan ONE
HUNDRED and TWENTY THREE (Seratus Dua Puluh Tiga) hampir pasti dapat dinyatakan
oleh morfem tunggal dalam tanpa bahasa-bahasa. Di antara dua perbedaan yang sangat besar ini,
Eleven (sebelas) dapat dinyatakan oleh sebuah morfem tunggal dalam Bahasa Inggris eleven,
tapi tidak dalam bahasa Melayu, dimana seblas terdiri dari se-'satu 'plus -blas lebih dari sepuluh;
sedangkan ONE HUNDRED THOUSAND (Seratus Ribu) dapat dinyatakan oleh sebuah morfem
tunggal dalam Hindi laakh, tapi tidak dalam bahasa Inggris.
Biarkan T berdiri untuk kata dan generalisasikan domain semantis dengan yang kuantifikasi,
ONE (satu) adalah yang mungkin dinyatakan oleh satu kata dalam semua bahasa, sedangkan AT
MOST FOUR OR MORE THAN SEVEN hampir pasti dinyatakan oleh satu kata dalam
ketiadaan bahasa-bahasa. Di antara, quantifier No dapat dinyatakan oleh satu kata dalam Bahasa
Inggris No (seperti dalam tidak adanya bahasa), tapi tidak dalam bahasa Ibrani, di mana ia akan
diparafrasekan dengan penanda polaritas negatif af mendahului kata benda ditambah negasi lo
dalam gabungannya dengan kata kerja, ketika ONLY ONE (Hanya Satu-satunya) dapat
dinyatakan dengan satu kata dalam bahasa Tagalog iisa, tapi tidak dalam bahasa Inggris.
Ambil T untuk menunjukkan klausa, proposisi sederhana seperti John Came mungkin dapat
dinyatakan oleh satu klausa dalam semua bahasa, sedangkan penghubung kondisional dua
peristiwa seperti If John Comes, Bill Will Go adalah yang paling mungkin untuk tidak dapat
dinyatakan dalam klausa tunggal dalam bahasa apapun.Namun, proposisi-preposisi yang
melibatkan penggabungan dua partisipan seperti John and Bill Came, hal itu bisa dinyatakan
oleh klausa tunggal dalam bahasa Inggris, John dan Bill datang, tapi tidak dalam bahasa
Amerindian Yuman Maricopa, dimana sinonim terdekatnya, John-{ Billu@aavkv?aawk,
mengandung klausa tempelan John – S Bill u @ aavk 'John accompanied Bill.
Sebaliknya, preposisi yang melibatkan kausa tidak langsung seperti John Caused Bill To Write a
Letter dapat dinyatakan dalam klausa tunggal dalam bahasa Hindi, seperti dalam John-ne Bill-se
khat likh - waayaa, memanfaatkan kata kerja tunggal likhwaayaa 'menulis' sebagai infleksi untuk
kausa tidak langsung, tapi tidak di Bahasa Inggris, dimana, dalam sinonim terdekat, John caused
Bill to write a letter, dua kata kerja, Cause and write, mengepalai dua klausa yang berbeda.
Biarkan T mewakili intonasi kontur, penekanan mungkin dinyatakan lewat intonasi dalam semua
bahasa, sementara sebuah bilangan pokok seperti Seven hampir pasti dapat dinyatakan melalui
intonasi tanpa bahasa. Namun, pertanyaan ya/tidak dapat dibentuk dengan intonasi dalam bahasa
Inggris, tapi tidak, dalam Bahasa Thailand, dimana ‘sebuah varietas dari pewarna seruan’,
termasuk ‘kurangnya perhatian dari penutur sebagai hasil ucapannya’ dapat dinyatakan dalam
intonasi di Vietnam, tapi tidak dalam bahasa Inggris. Akhirnya, ambil T untuk menunjukkan fitur
fonologi, kekerasan dan agresi yang mungkin dinyatakan, melalui penandaan suara, dengan fitur
[obstruen] dalam semua bahasa, sementara bilangan pokok seperti Tujuh hampir pasti dinyatakan
dengan fitur phonologi tanpa bahasa.
Namun, sejak hubungan dari fitur fonologi dengan makna-makna didasarkan prinsip kognitif
yang universal, sisi yang terpisah dari domain yang terkonvensi dan kemungkinan bahasa-aturan
tata bahasa tertentu, dimana kemungkinan tidak adanya kasus dari makna yang dinyatakan oleh
fitur-fitur fonologi dalam beberapa tapi tidak semua bahasa. Dalam kasus-kasus di mana sebuah
makna M adalah dinyatakan oleh bentuk dari tipe T dalam beberapa tapi tidak semua bahasa,
kemungkinan M sebagai makna dari bentuk dari Tipe T mungkin dikorelasikan dengan berbagai
sifat linguistik lainnya. Korelasi tersebut dapat direpresentasikan sebagai implikasi universal
dalam bentuk seperti berikut : (a) Untuk bahasa apapun L, jika M tersedia sebagai makna dari
tipe T bentuk dalam L, maka L memiliki sifat P , dan (b) Untuk setiap bahasa L, jika L memiliki
sifat P , maka M akan tersedia sebagai makna dari sebuah tipe T dalam bentuk L.
Sekarang ini, bagaimanapun, tidak banyak diketahui mengenai pola variasi crosslinguistic (lintas
bahasa) di bidang kekuatan ekspresif untuk meyakinkan dalam mendukung sebuah tatanan
signifikan dari ke-universalan-nya. Namun demikian, beberapa pekerjaan di tipologi linguistik
telah menunjuk ke arah kemungkinan korelasi antara kekuatan ekspresif dan berbagai sifat
linguistik lainnya. Misalnya, dalam tipologi fonologis, telah disarankan bahwa intonasi dikaitkan
dengan kurangnya kekuatan ekspresif dalam bahasa tonal (yang mempergunakan gaya suara)
dibanding mereka yang non-tonal. Sama halnya, dalam tipologi morfologi, kata umumnya
diberkahi dengan kurangnya kekuatan ekspresif dalam bahasa yang terisolasi daripada yang
synthetic (tiruan), dan kurangnya kekuatan ekspresif di bahasa synthetic daripada yang
polysynthetic, seperti Bahasa Australia Mayali, di mana satu kata gayauganjngunihmiwagecan
bisa berarti ‘anak yang merangkak dan memakan daging’. Sejalan dengan itu, dalam sintaksis
typology, kalimat umumnya kurang dilengkapi dengan kekuatan ekspresif dalam seperti bahasa
Inggris dan bahasa Eropa lainnya dibandingkan dalam beberapa bahasa Papua biasa disebut
klausa tipe berantai, di mana satu kalimat dapat menceritakan serangkaian peristiwa yang, di
sebagian besar bahasa lainnya, akan membutuhkan urutan kalimat yang lebih panjang.
Sementara beberapa fakta dan generalisasi tentang kekuatan ekrepresif dari sebuah bahasa dapat
dipertanggungjawabkan untuk kaidah tipologi linguistik, yang lain tampaknya akan dihasilkan
melalui faktor extralinguistik, sementara yang lain akan menolak terhadap apapun jeni
penjelasan, daripada mencerminkan kesewenang-wenangan dari bahasa dan struktur linguistik.