EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT … · Bungkil Inti Sawit TerfermentasiOleh Koktail...
Transcript of EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT … · Bungkil Inti Sawit TerfermentasiOleh Koktail...
EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT TERFERMENTASI OLEH KOKTAIL MIKROBA
TIURMA PASARIBU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOBOR
B O G O R 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi Oleh Koktail Mikroba” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan bukan hasil jiplakan atau tiruan serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi lain manapun.Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2010
Tiurma Pasaribu
D152080071
ABSTRACT
TIURMA PASARIBU. Physicochemical Evaluation of Palm Kernel Meal Fermented by Microbes Cocktail. Under direction by Erika B. Laconi and I.P. Kompiang.
Utilization of palm kernel meal as a feed ingredient is limited by the high fiber and low protein. The aim of this research is to improve the nutritive value of palm kernel meal with fermentation technology by using Bacillus amyloliquefacien, Trichoderma harzianum, and cocktail microbes (combination of Bacillus amyloliquefacien and Trichoderma harzianum). Bacillus amyloliquefaciens was produced as Wizna et al. (2005). The source of Trichoderma harzianum was from Balitnak. Three kinds of microbes were used with 3 replicates, i.e. T1 (Bacillus amyloliqueyfacien), T2 (Trichoderma harzianum), T3 (cocktail mikrobes) as a treatment and incubation period as a second factor i.e P1 (0 day), P2 (3 days), P3 (5 days), and P4 (7 days). Parameter were crude protein and crude fiber for all treatment, and the lowest fiber analysis would continue with NDF, ADF, crude fat, organic matter, amino acid, and cellulase, mannanase activity. Result showed that the three of microbes grew on palm kernel meal in third incubation and grew on and in the substrat at 7 days. Cocktail microbes better enhanced protein and reduced crude fiber than Bacillus amyloliqueyfacien andTrichoderma harzianum. Cocktail microbes enhanced amino acid such as methionin, arginin and glutamic acid, also neutral detergent fiber, but reduced acid detergent fiber,and hemicellulase. Cellulase and mannanase activity were increasing after fermentation. It is concluded that cocktail microbes decreased crude fiber and improved crude protein in 7 days incubation.
Key words: fermentation, palm kernel meal, crude protein, crude fiber, cocktail microbes
RINGKASAN
TIURMA PASARIBU. 2010. Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba. Dibimbing oleh ERIKA B. LACONI dan I. P. KOMPIANG.
Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi atau dengan proses fisik. Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein 15,73-17,19% lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18 %. (Chong et al., 1998) lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar protein kasar bungkil kedele yang memiliki: 42 – 50 % serta bungkil kacang tanah mengandung 45 – 50 %. Dengan komposisi nutrien tersebut BIS berpotensi sebagai bahan pakan, baik untuk non-ruminan maupun ruminansia. Pemberian BIS pada ruminansia tidak menjadi masalah namun pada non-ruminan seperti ayam menjadi suatu masalah karena kandungan seratnya yang tinggi. Tingginya kandungan serat kasar dan kandungan protein menengah menyebabkan nilai nutrisinya menjadi rendah karena ternak non ruminan tidak mampu mencerna bahan pakan dengan kandungan serat yang tinggi. Untuk memperbaiki nilai nutrisi bungkil inti sawit tersebut dilakukan suatu upaya yaitu dengan teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba (kombinasi antara bakteri Bacillus amyloliquifacien dan kapang Trichoderma harzianum). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fisikokimia bahan pakan bungkil inti sawit melalui teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail Penelitian Ternak Ciawi Bogor mulai Desember 2009 hingga Mei 2010. Mikroba yang digunakan adalah Bacillus amyloliquefaciens diperoleh dari kultur pemurnian yang diambil dari serasah hutan, dengan CFU 18,7x1016 dan Trichoderma harzianum siap pakai yang diperoleh dari Balitnak dengan CFU 3,3x102
Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens dilakukan menurut Kompiang. Teknik fermentasi dilakukan dengan mencampurkan Bacillus amyloliquefaciens atau Trichoderma harzianum ke dalam bungkil inti sawit dengan perbandingan 1:1. Koktail mikroba dilakukan dengan mencampurkan B. amyloliquefaciens dan T. harzianum ke dalam bungkil inti sawit dengan perbandingan 1:1:2 (L/kg), yang diinkubasi selama 7 hari pada suhu +30
. Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count (standard plate count/SPC), didasarkan pada asumsi bahwa setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni setelah diinkubasi dalam media biakan. Setelah inkubasi, semua koloni yang terbentuk dihitung pada kisaran 30-300 koloni dan dicatat pada tiap dilusi yang berbeda.
oC, dengan pengamatan pada hari ke 0, 3, 5, dan 7. Peubah yang diukur adalah pertumbuhan mikroba secara visualisasi secara deskriptif selama fermentasi, dan kualitas nutrien (bahan kering, kehilangan bahan kering, dan kehilangan bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, ADF (acid detergent fiber), NDF (neutral detergent fiber), abu, asam amino esensial (AAE) dan uji aktivitas enzim selulase, dan mananase. Analisis lemak, abu, ADF, NDF, AAE serta uji aktivitas enzim dilakukan berdasarkan hasil analisis serat kasar terendah pada inkubasi 3, 5, dan 7 hari. Data dianalisis dengan menggunakan
Rancangan acak lengkap pola faktorial dengan 3 macam mikroba (T1=Bacillus amyloliquefacien T2= Trichoderma harzianum; T3= koktail mikroba (kombinasi Bacillus amyloliquefacien dan Trichoderma harzianum) dan 4 jenis lama inkubasi (P1 = 0 hari; P2= 3 hari; P3=5 hari;P4=7 hari) sebanyak 3 ulangan. Bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang nyata maka analisis dilanjutkan dengan uji lanjut orthogonal comparison (Steel dan Torrie, 1995). Analisis regresi dilakukan pada masing-masing mikroba..
Hasil penelitian menunjukkan pada inkubasi ke tujuh pertumbuhan B. amyloliquifacien, T. harzianum, dan koktail mikroba mencapai 100% di permukaan hingga tumbuh ke dalam substrat. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi, pada perlakuan B. amyloliquifacien tertinggi (16,28 +3.79%), kedua T. harzianum (11.85+ 4.27%) dan perlakuan terendah diantara ketiganya ditunjukkan oleh koktail mikroba (8,90+2.83%). Selama fermentasi menunjukkan penurunan kadar serat kasar, dan tidak terdapat interaksi antara perlakuan mikroba dengan lama inkubasi. Perlakuan dengan T. harzianum menunjukkan penurunan lebih kecil (12.85 ± 0.43) dibandingkan B. amyloliquifacien (12.81 ± 0.40) dan koktail mikroba (11.64 ± 0.72). Analisis statistik regresi untuk kadar serat kasar yang difermentasi oleh ketiga perlakuan nyata (P<0,05) menunjukkan penurunan yang bersifat linear, masing-masing B. amyloliquifacien dengan persamaan Y=14,28-0,21X dan koefisien korelasi 0.99, T. harzianum dengan persamaan Y=14,15-0,18X dengan koefisien korelasi 0.94, dan koktail mikroba dengan persamaan Y=14,18-0,32X dengan koefisien korelasi 0.93.
Secara statistik dengan rancangan acak lengkap pola faktorial inkubasi 7 hari tidak ada perbedaan diantara perlakuan mikroba. Namun lamanya fermentasi (0-7 hari) mempunyai pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap peningkatan protein dari 21,95 menjadi 28,54 % pada B. amyloliquefaciens, dari 23,00 menjadi 28,54 % pada T. harzianum, serta dari 21,66 % menjadi 28,68 % pada koktail mikroba.
Komposisi kimia bungkil inti sawit setelah difermentasi dengan koktail mikroba menunjukkan peningkatan protein kasar (21,66 menjadi 28,68 %) dan serat deterjen asam (ADF) (42,21 menjadi 45,95 g/100g), sedangkan kadar serat menurun dari 13,98 menjadi 11,64%, serat deterjen netral (NDF) (dari 62,99 menjadi 56,39 g/100g), hemiselulosa (dari 20,78 menjadi 10,44 g/100g), serta lemak kasar (12,23 menjadi 11,46 g/100g) dan abu menurun dari 6,81 menjadi 4,34 g/100g. Demikian juga kandungan asam amino terjadi peningkatan pada methionin (dari 0,71 menjadi 0,73 %), asam glutamat (dari 2,62 menjadi 3,08), dan arginin dari (1,88 menjadi 2,41 %), sedangkan asam amino lainnya tidak mengalami peningkatan. Selama fermentasi terjadi kenaikan aktivitas enzim selulase (dari 0,025 menjadi 0,468 BK (µ/ml) dan mananase (dari 0,027 menjadi BK (µ/ml). Disimpulkan bahwa fermentasi dengan koktail mikroba (kombinasi
pertumbuhan B. Amyloliquefaciens dan T. harzianum) dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan kadar protein bungkil inti sawit.
Kata kunci: fermentasi, B. amyloliquefaciens, T. harzianum, koktail mikroba, serat kasar, dan protein
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EVALUASI FISIKOKIMIA BUNGKIL INTI SAWIT TERFERMENTASI OLEH KOKTAIL MIKROBA
TIURMA PASARIBU
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOBOR
B O G O R 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc
Judul Tesis : Evaluasi Fisikokimia Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba
Nama : Tiurma Pasaribu
NRP : D152080071
Program Studi/Mayor : Ilmu Nutrisi dan Pakan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Erika B. Laconi, M.S. Ketua Anggota
Prof. Ris. Dr. I. Putu Kompiang
Diketahui
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 23 Agustus 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Terima kasih dan kemuliaan bagi Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang atas
segala berkat yang diberikan-Nya selama proses pelaksanaan mulai dari pembuatan
proposal, penelitian hingga penulis dapat menyelesaikan karya tesis ini. Tesis
disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi
Bogor mulai Desember 2009 hingga Mei 2010 dengan judul “Evaluasi Fisikokimia
Bungkil Inti Sawit Terfermentasi oleh Koktail Mikroba”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan
setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Erika B. Laconi MS dan Prof. Dr. I.P. Kompiang
selaku pembimbing atas kesabaran, penyediaan waktu dan masukan selama proses
pembimbingan. Ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Ahmad Darobin Lubis, M.Sc.
selaku dosen penguji dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A. MS. M.Sc. yang telah banyak
memberikan masukan dan saran untuk kesempurnaan tesis ini. Terima kasih kepada
Dr. Luki Abdullah, M.Sc selaku Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
serta Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. selaku Ketua Departemen yang telah
memberi saran pada saat pembuatan proposal. Terima kasih kepada Dr. Sofjan
Iskandar yang telah memberi peluang dan Bapak kepala Balai Penelitian Ternak Prof.
Ir. Bambang Sudaryanto MS yang selalu mendukung pendidikan. Kepada para
peneliti, Dr. A.P. Sinurat, Ir. I.A.K. Bintang, MS, Dr. T. Purwadaria, yang telah
memberikan masukan dalam penulisan ini. Kepada Helmi Hamid, Emi Sujatmika,
Emma Frederick, dan rekan lainnya yang telah meluangkan waktunya untuk
membantu pelaksanaan penelitian di laboratorim Balai Penelitian Ternak. Kepada
Dr.Wizna yang telah memberikan inokulum B. amyloliquefacien. Terimakasih untuk
E. Tobing yang mungkin terabaikan selama penelitian. Ucapan kasih sayang yang tak
pernah berhenti untuk anakku Samantha J. Blandina dan Rachel Daniella, serta
keluarga besarku, Tuhan memberkati kita semua. Amin
Bogor, Agustus 2010 Tiurma Pasaribu
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Parsoburan (TAPUT) pada tanggal 11 Desember 1962
dari Bapak D. Pasaribu dan Ibu T.K. Pardosi (almarhum). Penulis merupakan anak
kelima dari sepuluh bersaudara.
Penulis lulus dari Universitas Pakuan tahun 1993, dan melanjutkan
pendidikan di Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor 2008. Pada tahun 1980 sampai dengan 1981
bekerja di CV. PRIMATES. Pada tahun 1981 sampai dengan 1982 bekerja di Dinas
Peternakan DKI Jakarta. Pada tahun 1982 sampai dengan tahun 1983 bekerja di Balai
Penelitian Veteriner Bogor. Kemudian pada tahun 1983 hingga sekarang penulis
bekerja di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, sebagai staf peneliti sejak tahun
1994 hingga sekarang.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xvi
1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1 Potensi Bungkil Inti Sawit sebagai Bahan Pakan Unggas2.2 Fermentasi ........................................................................................................ 5
............................... 3
2.2.1 Media Fermentasi .................................................................................... 6 2.2.2 Fermentasi Media Padat .......................................................................... 7 2. 3 Koktail Mikroba ............................................................................................... 7 2.3.1 B. amyloliquefaciens ............................................................................... 7 2.3.2 Trichoderma harzianum .......................................................................... 9 2.4 Selulosa sebagai Komponen Serat Kasar Tanaman ........................................ 12 2.5 Enzin Selulase ................................................................................................. 13 2.6 Manan ............................................................................................................ 14 2.7 Enzim Mananase
3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................. 17
............................................................................................ 15
3.1 3.2 Mikroba ........................................................................................................... 17
Tempat dan Waktu .......................................................................................... 17
3.2.1 Bacillus amyloliquefaciens .................................................................... 17 3.2.2 Trichoderma harzianum ......................................................................... 17 3.2.3 Penghitungan Jumlah Mikroorganisme ................................................. 17 3.2.4 Perbanyakan B. amyloliquefaciens ........................................................ 20 3.2.5 Fermentasi .............................................................................................. 20 3.3 Pertumbuhan Mikroba .................................................................................... 22 3.4 Bahan Kering .................................................................................................. 22 3.5 Kehilangan Bahan Kering ............................................................................... 22 3.6 Kehilangan Bahan Organik ............................................................................. 23
Halaman
3.7 Penentuan Protein Kasar ................................................................................. 24 3.8 Penentuan Serat Kasar ..................................................................................... 23 3.9 Penentuan Serat Deterjen Netral (NDF) ...................................................... 23 3.10 Penentuan Serat Deterjen Asam (ADF) ....................................................... 25 3.11 Penentuan Asam Amino Esensial ................................................................ 26 3.12 Uji Aktivitas Enzim Selulase ....................................................................... 27 3.13 Uji Aktivitas Enzim Mananase .................................................................... 28 3.14 Rancangan Percobaan .................................................................................. 29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 31
4.1 Pertumbuhan 4.2
B. amyloliquifacien pada Substrat Bungkil Inti Sawit ............. 31 Kehilangan Bahan Kering Selama Proses Fermentasi Bungkil Inti Sawit
4.3 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil .............................................................................................................. 34
Inti Sawit ........................................................................................................ 36 4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat
Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien .............................. 37 4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat Kasar
Bungkil Inti Sawit oleh T. harzianum ................................................... 39 4.3.3 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Serat Kasar
Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh Koktail Mikroba ............... 40 4.4 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti
Inti Sawit ........................................................................................................ 41 4.4.1
Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien............................... 43 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein
4.4.2 Kasar Bungkil Inti Sawit oleh T. harzianum ........................................ 44
Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein
4.4.3 Kasar Bungkil Inti Sawit oleh Koktail Mikroba .................................. 45
Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein
4.5 Perubahan Komposisi Kimia Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi dengan Koktail Mikroba ................................................................................ 46
4.6 Perubahan Asam Amino Setelah Fermentasi dengan Koktail Mikroba ........ 48 4.7 Aktivitas Selulase dan Mananase Setelah Fermentasi ................................... 49
5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 52 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 53
LAMPIRAN ................................................................................................................ 59
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan inti sawit (palm kernel) perkebunan besar di Indonesia Tahun 2004-2008 .................................................... 4
2. Pertumbuhan selama fermentasi aerobik (7 hari) ................................................... 31
3. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi (%) ...................... 34
4. Kandungan kadar serat kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi ............... 36
5. Analisis regresi kadar serat kasar yang difermentasi dengan
mikroba selama masa inkubasi ............................................................................... 37
6. Kandungan kadar protein kasar bungkil inti sawit selama fermentasi .................... 42 7. Analisis regresi kadar protein kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi .............................................................................. 43
8. Komposisi protein, serat kasar, NDF, ADF, lemak, dan abu bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba ................................ 47
9. Komposisi asam Amino esensial (AAE) bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba ................................................................ 48
10. Aktivitas Sselulase dan mananase sebelum dan sesudah fermentasi bungkil inti sawit dengan koktail mikroba
......................................................................... 50
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pohon industri kelapa sawit ..................................................................................... 5
2. Bacillus amyloliquefaciens ...................................................................................... 8
3. Trichoderma harzianum
4. Skema rangkaian selulosa ...................................................................................... 12
......................................................................................... 10
5. Diagram dinding sel tanaman ................................................................................ 12
6. Skema rangkaian selulolisis ................................................................................... 13
7. Cara penghitungan jumlah mikroorganisme hidup ................................................ 18
8. Alur pengenceran pada penghitungan mikroba ..................................................... 19
9. Skema Fermentasi .................................................................................................. 21
10. Pertumbuhan B. amyloliquefaciens pada substrat bungkil inti sawit ................... 32
11. Pertumbuhan T. harzianum pada substrat bungkil inti sawit ............................... 33
12. Pertumbuhan koktail mikroba pada substrat bungkil inti sawit ............................ 33
13. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens ................................................................................ 38
14. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum ............................................................................................. 39
15. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba ......................................................................................... 41
16. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens ................................................................................ 44
17. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum ............................................................................................. 45
18. Analisis regresi kadar protein kasar pada bungkil inti sawit yang dengan koktail mikroba ..................................................................................................... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Analisis ragam kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi ......................... 61
2. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh B. amyloliquefaciens .............................................................................................. 62
3. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh T. harzianum .......................................................................................................... 63
4. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba ...................................................................................................... 64
5. Analisis ragam kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi ..................... 65
6. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh B. amyloliquefaciens .............................................................................................. 66
7. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh T. harzianum ......................................................................................................... 67
8. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba ...................................................................................................... 68
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia, Malaysia, dan Nigeria merupakan 3 negara di dunia yang
memproduksi 84% minyak kelapa sawit. Indonesia merupakan negara terbesar
dalam menghasilkan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada
tahun 2005 sekitar 5.000.000 hektar dengan total produksi crude palm oil (CPO) sekitar
14.500.000 ton (LRPI 2006).
Dari kelapa sawit diperoleh 2 jenis minyak yaitu minyak kelapa sawit
(CPO) dan minyak inti sawit (PKO/palm kernel oil). Pada pengolahan CPO
diperoleh hasil ikutan berupa serat buah sekitar 1,5-3,5 ton/ha tanaman/tahun dan
lumpur minyak sawit sekitar 3-6 ton/ha tanaman/tahun. Pada pengolahan PKO
diperoleh bungkil inti sawit sekitar 0,3-0,6 ton/ha tanaman/tahun, (Sindu 1999)
(Gambar 1).
Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses
pemisahan minyak inti sawit yang diperoleh secara kimiawi (ekstraksi) atau dengan proses
fisik (expeller). Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar protein 15,73-17,19%
lemak 9,5-10,5%, dan serat kasar 12-18 % (Chong et al. 1998; Mathius et al.
2005). Dengan komposisi nutrien tersebut BIS berpotensi sebagai bahan pakan,
baik untuk ruminansia karena mempunyai rumen, sehingga mampu mendegradasi
serat. Sedangkan untuk monogastrik seperti ayam menjadi suatu masalah karena
kandungan serat kasarnya yang tinggi. Bagi monogastrik untuk memperbaiki nilai
nutrisi bungkil inti sawit tersebut kadar serat kasar diturunkan dan kadar protein
ditingkatkan. Fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba (kombinasi antara
bakteri
Fermentasi merupakan proses pemecahan
Bacillus amyloliquefaciens dan kapang Trichoderma harzianum)
merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki nilai nutrisi bungkil inti sawit.
Supriyati et al. (1998) melaporkan peningkatan kadar protein terjadi pada bungkil
inti sawit dari 14,19 menjadi 25,06% setelah difermentasi dengan menggunakan
A. niger NRRL 337.
senyawa organik menjadi
senyawa yang lebih sederhana yang melibatkan mikroorganisme baik kapang
maupun bakteri. Teknologi fermentasi dapat memperbaiki kandungan nutrien
2
pada substrat limbah agroindustri. Pada substrat lumpur sawit protein meningkat
setelah fermentasi dari 11,94 menjadi 22,59% dengan menggunakan Aspergillus
niger sebagai inokulum (Pasaribu et al. 1998). Selain A. niger kemungkinan
penggunaan mikroba lain seperti Bacillus amyloliquifacien dan Trichoderma
harzianum atau koktail mikroba bisa dimanfaatkan untuk mendegradasi dan
meningkatkan protein.
Koktail mikroba adalah campuran beberapa mikroba yang diramu menjadi
satu (Schwan 1998), dalam penelitian ini yang dicampur adalah
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fisikokimia bahan pakan
bungkil inti sawit yang difermentasi dengan menggunakan koktail mikroba
(kombinasi antara Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum).
Bacillus
amyloliquifacien dan Trichoderma harzianum. Penggabungan dua mikroba ini
didasarkan atas peran enzim Ekso-beta-glukanase dari Bacillus amyloliquefaciens
yang memotong rantai luar polisakarida dan enzim Endo-beta-glukanase pada
Trichoderma harzianum yang memotong rantai dalam polisakarida (Wizna et al.
2005). Diharapkan teknologi fermentasi dengan menggunakan koktail mikroba
dapat menurunkan kadar serat kasar dan meningkatkan protein bungkil inti sawit.
Sehingga produknya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan alternatif pada
unggas.
1.2 Tujuan Penelitian
3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi Bungkil Inti Sawit sebagai
Bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) merupakan hasil ikutan pada proses
pemisahan minyak inti sawit dengan biomassa 45-46% dari inti sawit
Bahan Pakan Unggas
Pembangunan perkebunan kelapa sawit, baik yang dilakukan oleh
perkebunan besar maupun oleh masyarakat berkembang dengan sangat pesat.
Awal tahun 1968, areal kelapa sawit hanya terbatas di tiga wilayah (Sumatera
Utara, Aceh dan Lampung) saat ini sudah berkembang di 22 daerah Provinsi. Luas
areal tahun 1968 seluas 105.808 ha dengan produksi 167.669 ton, pada tahun
2007 telah meningkat menjadi 6,6 juta ha dengan produksi sekitar 17,3 juta ton
CPO (Ditjenbun 2008).
Kelapa sawit mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional.
Disamping sebagai bahan baku industri dalam negeri, juga komoditas ekspor
utama. Pada tahun 2007 total ekspor CPO Indonesia sebesar 11,08 juta ton (BPS
2009) dengan nilai US $ 7,8 milyar. Mampu menyerap tenaga kerja langsung
sebesar 3,3 juta kepala keluarga. Pengembangan kelapa sawit juga mendorong
pengembangan wilayah.
Prospek pengembangan kelapa sawit ke depan sangat bagus, tidak saja untuk
bahan baku minyak makan, oleokimia, tapi juga digunakan sebagai bahan baku
energi (bio-fuel) dan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.
Melihat prospek yang bagus tersebut, pemerintah akan terus mendorong
pengembangan kelapa sawit dengan menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan.
Saat ini Indonesia merupakan negara produsen kelapa sawit terbesar di
dunia. Pada tahun 2008 memiliki luas areal perkebunan 6.611 ribu ha dengan
produksi CPO 17.109 ribu ton (Ditjenbun 2008). Produksi minyak kelapa sawit
(CPO) setiap tahunnya meningkat disarikan pada Tabel 2, pada tahun 2004 sekitar 8.479,3
ribu ton dan tahun 2008 menjadi 11.406,5 ribu ton (BPS 2009). Demikian pula produksi inti
sawit menunjukkan peningkatan, dimana pada tahun 2004 sekitar 1.862,0 dan pada tahun
2008 produksinya 2.281,2 ribu-ton masing-masing setara dengan 837,9 dan
1026,5 ribu-ton bungkil inti sawit (BPS 2009).
atau 2,0-2,5%
4
dari bobot tandan sawit.
Bungkil inti sawit mengandung
Bungkil inti sawit yang merupakan bagian dari buah segar
kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan pakan ternak dapat dilihat pada Gambar
1.
air kurang dari 10% dan 60% fraksi
nutrisinya berupa selulosa, lemak, protein, dan mineral (Hartley 1970)
Devendra
1978
yang
diperoleh secara kimiawi (ekstraksi) atau dengan proses fisik (expeller) (
). Chong et al. 1998 melaporkan bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar
protein yang cukup tinggi yaitu antara 14,19% sampai 17,19%, lemak 9,5-10,5%,
dan serat kasar 12-18 %. Variasi ini kemungkinan disebabkan perbedaan cara
proses pengolahan PKO, jenis sawit, kematangan buah dan lokasi tumbuhnya
kelapa sawit.
Tabel 1. Produksi minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan inti sawit (palm kernel) perkebunan besar di Indonesia tahun 2004-2008.
Tahun Minyak kelapa sawit (ribu ton) Inti sawit (ribu ton) 2004 8.479,3 1.862,0 2005 10.119,0 2.139,7r 2006 10.961,8 2.363,1 2007 11.079,6x 2.399,9 2008 11.406,5 2.281,2 Sumber : BPS, 2009 Keterangan: x=Angka sementara r=Angka diperbaiki
Selain kandungan protein yang cukup tinggi, bungkil inti sawit memiliki
kandungan serat kasar yang tinggi pula. Bungkil inti sawit (BIS) mengandung kadar
serat kasar 12-18% (Chong et al. 1998; Mathius et al. (2005), 21,08% (Nuraini &
Trisna, 2006). Walaupun kandungan serat kasarnya tinggi masih dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak unggas karena mempunyai kadar
protein yang cukup tinggi,
Tingginya kandungan serat kasar merupakan kendala sebagai bahan pakan
unggas karena tidak dapat dicerna, sehingga dibutuhkan teknik untuk
mendegradasi serat ke molekul yang lebih sederhana agar bisa dicerna. Salah satu
dan setelah fermentasi pemanfaatan dapat lebih tinggi
menjadi 25,16% (Supriyati et al. 1996).
5
teknik untuk mendegradasi serat adalah teknologi fermentasi dengan
menggunakan mikroba, baik kapang atau bakteri.
Pemanfaatan produk fermentasi untuk unggas menunjukkan pengaruh
yang positif. Bungkil kelapa terfermentasi dapat digunakan dalam ransum anak
itik jantan hingga 20% (Sinurat et al. 1996). Pada itik petelur bungkil kelapa
terfermentasi dapat diberikan hingga 30% tanpa mempengaruhi produksi telur
(Sinurat et al. 1998). Pemberian bungkil inti sawit terfermentasi dengan
Aspergillus niger pada itik sedang tumbuh dapat diberikan hingga hingga 15 %
(Bintang et al. 1999).
Kelapa Sawit
Daging buah Biji sawit Tandan kosong Batang pohon
Makanan ternakPupuk
Minyak sawit Sabut Sludge Inti sawit
Cangkang
PanganMinyak goreng, oleinMargarin, lemak kueVanaspati, cocoa butter substitute
PKO
Bungkilinti sawitOleokimia Stearin,
sabun asam, lemak, deterjen Pelumas, plasticizer Kosmetik, BBM
Particle board
Minyak gorengSalad oil Oleokimia
Makanan ternakSabunPupuk
Arang, karbon aktifBahan pengisi Particle board, Asap cair
Gambar 1. Pohon industri kelapa sawit Sumber: http://politeknikcitrawidyaedukasi.wordpress.com/2008/07/03/pohon- industri-kelapa-sawit/
2.2 Fermentasi
Fermentasi adalah segala macam proses metabolik dengan bantuan enzim
dari mikroba (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi
kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu substrat organik
dengan menghasilkan produk tertentu (Klein et al. 2004). Fermentasi pada
umumnya menyebabkan hilangnya karbohidrat, namun protein terhidrolisis
6
menjadi asam amino, lemak terurai menjadi asam lemak, sehingga mempunyai
daya cerna yang lebih tinggi dan meningkatnya kandungan vitamin, terutama
golongan vitamin B. Disamping menghasilkan hidrolisat siap serap, fermentasi
juga menghasilkan biomasa mikroba yang bernilai tinggi (Buckle et al. 1987;
Muchtadi 1989). Menurut jenis medianya proses fermentasi dibagi menjadi tiga
yaitu fermentasi medium padat, dimana mediumnya tidak larut (bentuk padat),
tapi cukup lembab untuk kebutuhan hidup mikroba dengan kadar air 12 –60%).
Fermentasi medium semi padat merupakan medium yang tidak larut, kelembaban
cukup dengan kadar air 65 –80%. Fermentasi medium cair adalah medium cair
dengan substrat larut dan atau tidak larut dengan kadar air >80% (Stansbury et
al. 1997
Komposisi media dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang sangat
penting untuk proses fermentasi. Jenis media ada yang komplek dan sintetik
(media mineral), dimana sekecil apapun modifikasi media dapat merubah
stabilitas sel, kualitas produk, dan proses fermentasi. Secara umum dalam media
fermentasi mengandung makronutrien berupa karbon (C), hidrogen (H), nitrogen
(N), Sulfur (S), dan Fosfat (P) , dan magnesium (Mg) yang berasal dari air, gula-
gula, lemak, asam amino, dan garam mineral. Sedangkan mikronutrien yang
dibutuhkan adalah trace element (FeSO4.7H2O; CuSO4.5H2O; H3BO3;
MnSO4.4H2O; ZnSO4.7H2O; Na2MoO4; CaCl.2H2O; CoCl2.6H2O) dan vitamin.
Makro dan mikronutrien dibutuhkan mikroorganisme untuk memperoleh energi,
pertumbuhan, perkembangan, dan biosintesa produk-produk metabolisme (
).
2.2.1 Media Fermentasi
Klein
et al. 2004
). Demikian juga bakteri Bacillus amyloliquifacien dan kapang
Trichoderma harzianum membutuhkan media yang mengandung makro dan
mikronutrien. Dilihat dari komposisi kimia, bungkil inti sawit bisa menjadi
substrat untuk Bacillus amyloliquifacien dan Trichoderma harzianum karena
mengandung karbohidrat sebagai sumber karbon dan protein sebagai sumber
nitrogen, kalsium dan fosfor sebagai sumber mineral.
7
2.2.2 Fermentasi Media Padat
Fermentasi media padat merupakan proses fermentasi dimana medium
yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan
mikroorganisme sedangkan fermentasi medium cair adalah proses yang
substratnya larut atau tersuspensi di dalam fase cair (Klein et al. 2004).
Basillus dapat hidup secara obligat aerob atau fakultatif anaerob dan
positif mempunyai enzim katalase (
Dalam
melakukan fermentasi pada prinsipnya adalah pengaturan kondisi pertumbuhan
optimum mikroorganisme, sehingga dapat mencapai dan menghasilkan laju
pertumbuhan yang maksimal. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses
fermentasi adalah jenis substrat, mikroorganisme, dan kondisi fisik pertumbuhan.
Ketiga faktor tersebut berpengaruh terhadap massa dan komposisi sel
(Tannenbaum 1985). Keuntungan penggunaan medium padat antara lain: 1) tidak
memerlukan tambahan lain kecuali air, 2) persiapan inokulum lebih sederhana, 3)
dapat menghasilkan produk dengan kepekatan tinggi; 4) kontrol terhadap
kontaminan lebih mudah, 5) kondisi medium mendekati keadaan tempat tumbuh
alamiah, 6) produktifitas tinggi, 7) aerasi optimum, 8) tidak diperlukan kontrol pH
maupun suhu yang teliti. Dalam menyiapkan proses fermentasi medium padat
perlu memperhatikan beberapa faktor yaitu : sifat substrat terutama yang
berhubungan dengan derajat kristalisarasi dan derajat polimerisasi, sifat
mikroorganisme karena masing-masing mikroorganisme mempunyai kemampuan
yang berbeda dalam memecah komponen substrat untuk keperluan
metabolismenya, kinetika metabolisme dan kinetika enzim. Bungkil inti sawit
termasuk substrat atau media padat yang memiliki partikel dengan permukaan
sempit, sehingga mudah untuk dimasuki air maupun oksigen. Dengan fisik
tersebut maka tidak sulit untuk menjadi media pertumbuhan kapang maupun
bakteri disamping kandungan nutrient bungkil yang sudah tersedia.
2.3 Koktail Mikroba
2.3.1 Bacillus amyloliquefaciens
Chelikani et al. 2004). Genus Basillus dapat
dijumpai dimana saja walaupun kondisi lingkungan kritis, karena sel Basillus bisa
memproduksi endosperm, dimana bisa dorman pada waktu yang lama untuk
8
menghindari lingkungan ekstrim, namun demikian tidak semua spesies Bacillus
bisa memproduksi endosperm (Madigan & Martinko 2005). Basillus terdiri dari
banyak jenis, salah satu jenis basillus yang digunakan dalam dunia industri
adalah
Gambar 2. Bacillus amyloliquefaciens (Sumber: Fukumoto 1943)
Klasifikasi Bacillus amyloliquefaciens Domain: Bacteria
Bacillus amyloliquefaciens. B. amyloliquefaciens diklasifikasikan ke dalam
domain bakteri, devisi firmikutes (kuat dan langsing), kelas basili, ordo basilale,
familii basilaseae, dan genus basilus.
Division: Firmicutes Class: Bacilli Order: Bacillales Famili: Bacillaceae Genus: Bacillus Species: Bacillus amyloliquefaciens Binomial name: Bacillus amyloliquefaciens
B. amyloliquefaciens termasuk genus Basillus Gram-positif berbentuk
batang, kuat dan langsing (Gambar 2), yaitu sejenis bakteri yang ditemukan di
9
dalam tanah oleh peneliti Jepang bernama Fukumoto pada tahun 1943 yang
memberikan nama tersebut karena bakteri tersebut memproduksi cairan amilase,
yaitu enzim yang mendegradasi tepung menjadi gula (Fukumoto 1943). Selain
amilase, B. amyloliquefaciens juga memproduksi lipase, protease, peptidase,
sukrase, dan memproduksi Iturins yang bermanfaat untuk menghambat
pertumbuhan kapang (Antifungal Agent) seperti Fusarium, Collectotricum,
Rhizoctonia, Aspergillus, dan Phytopthera. Enzim yang telah diproduksi dari B.
amyloliquefaciens secara komersil adalah α-amilase, alfa-asetolaktase,
dekarboksilase, beta-glukanase, hemiselulase, maltogenik amilase, protease, dan
xilanase (Gupta et al. 2003); Kandra (2003). Alpha amilase yang digunakan
dalam hidrolisis pati, subtilisin protease digunakan dalam deterjen, dan enzim
restriksi BamH1 digunakan dalam penelitian DNA (
Dalam dunia industri,
Graumann 2007).
Bacillus amyloliquefaciens sebagai sumber
antibiotik alam, berupa barnase. Barnase adalah protein bakteri yang mengandung
110 macam asam amino dan mempunyai aktivitas ribonuklease (Hartley &
Smeaton 1973).
2.3.2 Trichoderma harzianum
Trichoderma adalah salah satu jamur tanah yang tersebar luas yang dapat
ditemui di lahan-lahan pertanian dan perkebunan (Harman 2006). Trichoderma
bersifat saprofit pada tanah, kayu. Beberapa jenis Trichoderma dapat digunakan
sebagai biofungisida, dimana Trichoderma mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman
antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani,
Sclerotium rolfsii, dan lain-lain (Etebarian 2000; Eziashi et al. 2006 ;Harman
2006
Pada proses fermentasi, Trichoderma memproduksi enzim selulase yang
berperan dalam mendegradasi selulosa menjadi glukosa. Beberapa strain
Trichoderma telah dikembangkan sebagai agen biokontrol (Well, 1986)
). Spesies Trichoderma disamping sebagai mikroorganisme pengurai (Beare
et al. 1992) dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan
tanaman.
, seperti T.
harzianum, T. viride, dan T. konigii yang berspektrum luas pada berbagai tanaman
10
pertanian. Biakan jamur Trichoderma dalam media aplikatif seperti dedak dapat
diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, yaitu dapat
mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi
kompos yang berkualitas.
Saat ini, Trichoderma merupakan salah satu mikroorganisme fungsional
yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah. Menurut Ramada (2008) pupuk
biologis Trichoderma dapat dibuat dengan inokulasi biakan murni pada media
aplikatif, misalnya dedak. Sedangkan biakan murni diisolasi dari tanah sekitar
perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada media
PDA (Potato Dextrose Agar).
Gambar 3. Trichoderma harzianum (Sumber: Harman 2006)
Klasifikasi Kingdom:
Trichoderma harzianum: Fungi
Division: Ascomycota Subdivision: Pezizomycotina Class: Sordariomycetes Order: Hypocreales Family: Hypocreaceae Genus: Trichoderma Species: T. harzianum Binomial name: Trichoderma harzianum
11
Trichoderma bersifat saprofit, dimana dapat beradaptasi dengan situasi
yang beragam memproduksi berbagai macam enzim. Kapang ini dapat tumbuh
pada pH 3 – 7 dengan suhu 30o
Beberapa strain tertentu memproduksi enzim utama yang dikultur dalam
suspensi untuk memproduksi enzim pada skala industri. Misalnya
C, dan tumbuh optimal pada pH 5 (Isil & Nulifer
2005).
T. reesei
dimanfaatkan untuk memproduksi selulase dan hemiselulase (Sim & Oh 1993), T.
longibratum digunakan untuk memproduksi xilanase (Azin et al. 2007), dan T.
harzianum digunakan untuk memproduksi kitinase. Kebanyakan agen biokontrol
adalah jenis T. harzianum, T. viride and T. hamatum, dimana pada umumnya
tumbuh disekitar permukaan perakaran. Salah satu fungisida produk bioteknologi
komersil kapang ini adalah 3Tac (berisi 3 jenis Trichoderma dengan tahap
pertumbuhan vegetative yang berbeda) yang digunakan untuk
perlakuan Botrytis, Fusarium dan Penicillium sp.
Taksonomi Trichoderma secara umum dibagi berdasarkan karakter
morfologi seperti konidia, bentuk, warna dan ornamentasi, bentuk percabangan
dengan cabang pendek disamping, short inflated phialides, dan formasi
panjangnya hipa steril atau fertil dari konidia. T. harzianum (Gambar 3) termasuk
jenis agregat, yang dibagi kedalam tiga ,empat, atau lima subspecies, tergantung
dari strainnya (Bissett 1991). Trichoderma harzianum termasuk ke dalam
klasifikasi kerajaan jamur (fungi), devisi ascomycota, subdivisi pezizomycotina,
kelas sordariomycetes, ordo hypocreales, famili hypocreaceae,
genus Trichoderma, species Trichoderma harzianum.
Trichoderma harzianum merupakan salah satu kapang yang digunakan
sebagai fungisida, misalnya untuk perlakuan bibit dan tanah untuk membebaskan
beberapa penyakit yang disebabkan kapang patogen. T.harzianum positif
berasosiasi dengan populasi bakteri (Eastburn & Butler 2002). Misalnya kapang
T.harzianum menyediakan selulase untuk mendegradasi selulosa berasosiasi
dengan bakteri obligat anaerobik Clostridium butyricum yang berperan
menyediakan nitrogenase. Selulosa dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk
fiksasi nitrogen (N2), hal ini meningkatkan laju dekomposisi dibandingkan bila
kapang hanya sendiri mendegradasinya (Veal & Lynch 1994).
12
2.4
Selulosa merupakan komponen struktural utama dari
Selulosa sebagai Komponen Serat Kasar Tanaman
tumbuhan dan tidak
dapat dicerna oleh manusia maupun monogastrik. Selulosa terdiri dari polimer
berantai panjang polisakarida dari β-glukosa. Struktur utama selulosa merupakan
homopolimer linear yang dibangun unit-unit D-glukosa dengan ikatan β-1,4
glikosida dengan rumus molekul (C6H10O5)n dan struktur kimia (gambar 4)
(
Gambar 4. Skema rangkaian selulosa (
Crawford 1981).
Gambar 5. Diagram dinding sel tanaman (http://en.wikipedia.org/wiki/File:Plant_cell_wall_diagram.svg)
Crawford 1981).
Selulosa merupakan susunan umum dinding sel tanaman (Gambar 5),
namun selulosa juga dimiliki beberapa bakteri. Walaupun selulosa cukup stabil
namun rentan bila dihidrolisis dengan asam maupun basa. Hidrolisis dengan pH
tinggi biasanya lebih kuat memotong rantai 1-4-glikosida daripada kondisi pH
rendah. Selain dapat didegradasi secara kimia, selulosa juga bisa di degradasi oleh
enzim, yaitu enzim selulase.
13
2.5 Enzim Selulase
Enzim selulase termasuk ke dalam enzim hidrolase yang dapat
mengkatalisis reaksi hidrolisis pemutusan ikatan beta-1,4 glikosida yang terdapat
dalam molekul selulosa selulosa, sedodekstrin, selobiosa, dan turunan selulosa
lainnya (Dwidjoseputro 1982; Nishiyama et al. 2002).
Selulase tidak dimiliki oleh manusia dan monogastrik, karena itu manusia
tidak dapat menguraikan selulosa (Crawford 1981). Tetapi hal ini dapat dilakukan
oleh beberapa hewan seperti kambing, sapi, dan insekta seperti rayap karena
dalam sistem pencernaannya mengandung bakteri dan protozoa yang
menghasilkan enzim selulase yang akan menghidrolisis (mengurai) ikatan beta-
1,4 glikosida.
Gambar 6. Skema rangkaian selulolisis (Spano 1975)
Selulosa merupakan nama umum atau trivialnya, sedangkan nama
sistematiknya adalah beta-1,4-glukan-4-glukanohidrolase. Enzim selulase
merupakan enzim komplek yang terdiri dari 3 komponen utama, yaitu endo-beta-
glukanase (EC 3.2.1.4), ekso-beta-glukanase (EC 3.2.1.91), dan beta-glukosidase
(EC 3.2.1.21), yang bekerja secara bertahap atau bersama-sama menguraikan
selulosa menjadi unit glukosa (Gerhartz 1990).
14
Spano (1975) melaporkan enzim endo-β-glukanase, 1,4-β-D-glukan
glukanohidrolase, CMCase, Cx memutus secara random rantai selulosa yang
terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida. Sedangkan Ekso-β-glukanase, 1,4- β -
D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1 menyerang bagian luar selulosa
pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai struktur utama. Kemudian β-
glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa (Gambar 6).
2.6 Manan
Manan tersusun dari 1-4 polimer gula manosa. Manan yang dihirolisa
menghasilkan manno-oligosaccharida, namun yang paling sering diproduksi
adalah mannobiose dan mannotriose, dan manosa merupakan produk yang paling
baik. Produksi utama hidrolisis manan adalah manno-oligosaccharida, yang paling
sering digunakan adalah mannotriosa dan mannobiosa (Kensch 2008).
Manan dan heteromanan merupakan bagian dari fraksi hemiselulosa pada
dinding sel tanaman. Struktur dinding sel tanaman sebagian besar terdiri dari
susunan polisakarida berupa selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Dekker 1985)
(Gambar 5). Hemiselulosa merupakan polisakarida linier atau bercabang yang
banyak ditemukan sebagai heteroglikan pada tumbuhan tingkat tinggi. Dua jenis
hemiselulosa yang penting dalam industri ialah hetero-1,4-D-manan dan hetero -
1,4-D-xilan (Hilge et al. 1998).
Manan dan heteromanan tersebar luas di alam sebagai bagian dari fraksi
hemiselulosa dalam kayu keras dan kayu lunak (Capoe et al. 2000), biji tanaman
leguminosa dan kacang-kacangan (Handford et al. 2003). Manan adalah salah satu
bentuk dari polisakarida tanaman yang merupakan polimer dari gula manosa
(Nishiyama et al. 2002). Manan tersusun dari polimer 1 sampai 4 rangkaian gula
sederhana manosa dan banyak dijumpai di alam, misalnya pada biji tanaman
antara lain kelapa sawit, kelapa, kopi, kacang, guar gum, dan locust bean gum.
Manan (polimer manosa) yang diselingi dengan galaktosa, dikenal sebagai
galaktomanan (Lehninger 1982). Galaktomanan umumnya ditemukan pada
tanaman legum sebagai penyusun biji namun juga pada tanaman lain seperti pada
endosperma palem (Magdel-Din et al. 1998). Mannan bisa dihidrolisa menjadi
mannosa maupun manno-oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik oleh
15
enzim endo β-mannanase (1,4-β-D-mannan mannanohydrolase [EC 3.2.1.78]) dan
exoβ-manosidase (β-D-mannanopyranoside hydrolase [EC 3.2.1.25]) (Puls dan
Scuseill, 1993). Produksi utama hidrolisis manan adalah manno-oligosaccharida,
yang paling sering digunakan adalah mannotriosa dan mannobiosa, dan manosa
merupakan produk yang paling baik. (Kensch 2008).
2.7. Enzim Mananase
Mananase adalah enzim yang menghidrolisis manan. Enzim mananase
terutama dimanfaatkan untuk mendegradasi serat dari biomassa tanaman kelapa,
dan bungkil inti sawit. Dalam dunia industri enzim mananase digunakan dalam
prosesing makanan dan pengeboran minyak. Pada bidang pertanian, enzim
mananase digunakan untuk meningkatkan hasil minyak dari kelapa sawit atau
kelapa, dan pada pengolahan limbah kopi digunakan untuk mengekstraksi nilai
komponen yang lebih tinggi. Enzim mananase juga digiunakan untuk
memproduksi manno-oligosakarida sebagai prebiotik dan feed aditif (Kensch
2008).
Mananase berada dimana-mana dialam yang pada umumnya diproduksi
oleh mikroorganisme, namun juga diproduksi dari tumbuhan dan hewan.
Sumbernya beraneka ragam seperti bakteri, aktinomisetes, ragi, dan kapang yang
dikenal pendegradasi manan (Puchart et al. 2004).
Enzim mananase dari bakteri kebanyakan terdapat pada ekstraselluler dan
dapat beraktivitas pada range pH dan temperature yang luas, meskipun pada
umumnya optimal pada kondisi asam dan netral (Dhawan & Kaur 2007).
Penggunaan enzim mananase sebagai feed additive menunjukkan beberapa
keuntungan, hal ini terlihat bila enzim tersebut dicampur ke dalam bahan pakan
ternak seperti bungkil kelapa, bungkil kedelai, dan tanaman laiinya yang dominan
mengandung manan. Robbins et al. (1999) melaporkan, pemberian β-mannanase
yang dicampur dengan pakan jenis jagung, kedelai, dan lemak menunjukkan
peningkatan kecernaan protein, lisin, dan asam amino lainnya dengan
menggunakan babi (45-75 kg) dengan protein kasar pada 16% atau 12% dan 3500
Endo-β-
mannanase adalah enzim yang menghidrolisis manan yang merupakan bagian dari
polisakarida.
16
kcal/kg ME. Tujuan pemberian mananase tersebut untuk memperbaiki nutrien dan
pertambahan bobot badan. Untuk monogastrik seperti unggas dan babi, manan
tersebut sulit dicerna sehingga akan berperan sebagai antinutrisi (Odetallah et al.
2002 ).
17
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor mulai
Desember 2009 hingga Mei 2010.
3.2 Mikroba.
3.2.1 Bacillus amyloliquefaciens
Biakan Bacillus amyloliquefaciens diperoleh dari kultur pemurnian Wizna
et al. (2005), kemudian diperbanyak dengan metode Kompiang (komunikasi
pribadi). Dalam penelitian ini mengandung CFU 18,7x1016.
3.2.2 Trichoderma harzianum
Biakan siap pakai Trichoderma harzianum diperoleh dari Balitnak dengan
CFU 3,3x102
Syarat koloni yang ditentukan untuk dihitung adalah sebagai berikut: satu
koloni dihitung 1 koloni, dua koloni yang bertumpuk dihitung 1 koloni, beberapa
koloni yang berhubungan dihitung 1 koloni, dua koloni yang berhimpitan dan
masih bdapat dibedakan dihitung 2 koloni, koloni yang terlalu besar (lebih besar
.
3.2.3 Penghitungan Jumlah Mikroorganisme
Penghitungan jumlah mikroorganisme dengan cara viable count atau
disebut juga sebagai standard plate count (SPC) didasarkan pada asumsi bahwa
setiap sel mikroorganisme hidup dalam suspensi akan tumbuh menjadi satu koloni
setelah diinkubasi dalam media biakan dan lingkungan yang sesuai. Setelah masa
inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan merupakan perkiraan atau
dugaan dari jumlah mikroorganisme dalam suspensi tersebut. Berdasarkan hal
tersebut digunakan istilah colony forming units (CFU/ ml). Koloni yang tumbuh
berasal dari suspensi yang diperoleh menggunakan pengenceran bertingkat dari
sebuah sampel yang ingin diketahui jumlah mikrobanya.
18
dari setengah luas cawan) tidak dihitung, koloni yang besarnya kurang dari
setengah luas cawan dihitung 1 koloni.
Penghitungan jumlah mikroorganisme hidup (viable count) adalah jumlah
minimum mikroorganisme. Hal ini disebabkan koloni yang tumbuh pada
lempengan agar merupakan gambaran mikroorganisme yang dapat tumbuh dan
berbiak dalam media dan suhu inkubasi tertentu seperti pada gambar dibawah ini.
Gambar 7. Cara penghitungan jumlah mikroorganisme hidup
Teknik dilusi (pengenceran)
Teknik dilusi sangat penting di dalam analisa mikrobiologi. Karena hampir
semua metode perhitungan jumlah sel mikroba mempergunakan teknik ini, seperti
TPC (Total Plate Count). Bahan yang digunakan adalah, PCA (Plate Count
Agar), BPW (Buffer Pepton Water), aquades Steril (NaCl fisiologis), alkohol 70
%, NaCl. Peralatan yang dipakai terdiri dari: Petri Dish, autoclaf, tabung reaksi,
inkubator, erlenmeyer, pipet ukur, bunsen Burner, dan laminar air flow.
Metodenya adalah sebagai berikut: Larutan kultur diambil 1 ml dan
dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis atau larutan buffer pepton untuk
memperoleh pengenceran1/10 bagian. Dari larutan pengenceran 1/10 diambil 1 ml
dan dimasukkan ke dalam 9 ml aquades atau larutan buffer pepton untuk
memperoleh dilusi 1/100 bagian. Dari larutan pengenceran 1/100 diambil 1 ml
dan dimasukkan ke dalam 9 ml NaCl fisiologis atau larutan buffer pepton untuk
memperoleh dilusi 1/1000 bagian. Demikian seterusnya hingga pengenceran yang
diinginkan, kemudian ditanam pada media agar (Potato Dextro Agar) dan
diinkubasi selama 36-48 jam seperti terlihat pada Gambar 8. Mikroba yang dapat
19
dihitung pada kisaran 30-300 koloni. Jumlah sel mikroba dapat diketahui dengan
cara menghitung sel relatif / CFU per ml:
CFU/ ml = jumlah koloni x faktor pengenceran
dimana :
Jumlah koloni = jumlah koloni mikroba yang tumbuh pada media agar
faktor pengenceran= larutan pengenceran (misalnya 1/100)
Gambar 8. Alur pengenceran pada penghitungan mikroba
Setelah inkubasi, dihitung semua koloni yang terbentuk yang berada pada
kisaran 30-300 koloni dan dicatat pada tiap dilusi yang berbeda. Hanya plate yang
berjumlah 30-300 koloni yang countable (dapat dihitung). Hal ini dikarenakan
jumlah koloni yang kurang dari 30 dianggap negatif karena akan memberikan
nilai probabilitias 0, sehingga sampel tidak absah secara statistik untuk digunakan
20
dalam penghitungan. Jumlah koloni yang lebih dari 300 tidak dapat dihitung
karena saling menumpuknya koloni sehingga perhitungan menjadi tidak akurat.
3.2.4 Perbanyakan B. amyloliquefaciens
3.2.4.1 Bahan Perbanyakan B. amyloliquefaciens
Bahan yang digunakan dalam perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens
adalah media nutrien agar, media cair Paul Marjonoff (PM) yang terdiri dari :
{(MgSO4.7H2O 2% 15 ml, ZnSO4.7H2O 0,01% 25 ml, (NH4)2SO4 50 ml, trace
elemens (terdiri dari: FeSO4.7H2O 0,500; CuSO4.5H2O 0,010; H3BO3 0,007;
MnSO4.4H2O 0,050; ZnSO4.7H2O 0,050; Na2MoO4 0,010; CaCl.2H2O 1,324;
CoCl2.6H2O 0,010 dalam g/liter) 10 ml, buffer fosfat pH 7,2 50 ml, yeast extract
0,05% 7,5 mg, dan bactopepton 0,075% 1,875 mg)}, gula pasir, dan garam halus.
Sedangkan peralatan terdiri dari fermentor, Petri dish,dan aerator.
3.2.4.2 Metode Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens
Perbanyakan Bacillus amyloliquefaciens dilakukan menurut Kompiang
(Komunikasi pribadi, 8 Desember 2009). Biakan Bacillus amyloliquefaciens
ditanam pada media nutrien agar, kemudian diinkubasi selama 2 hari. Setelah dua
hari biakan Bacillus amyloliquefaciens diambil 2 plate ditanam ke dalam media
cair Paul Marjonoff (PM) 1 liter, kemudian diinkubasi selama 3 hari dalam
fermentor. Pada hari kedua media PM ditambahkan 100 gram gula pasir dan 10
gram garam halus per liter, dan inkubasi dilanjutkan hingga 3 hari. Adanya
pertumbuhan ditandai dengan berubahnya warna media dari coklat bening
menjadi coklat keruh. Setelah 3 hari B. amyloliquefaciens siap untuk digunakan
dan ditanam ke substrat bungkil inti sawit padat.
3.2.5 Fermentasi
3.2.5.1 Bahan Fermentasi
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian adalah, bungkil inti
sawit (BIS) yang diperoleh dari Bengkulu, mikroba Bacillus amyloliquefaciens
dan Trichoderma harzianum. Sedangkan alat yang digunakan adalah inkubator,
baki besar, ember, sendok (pengaduk), dan fermentor.
21
3.2.5.2 Metode fermentasi
Metode fermentasi secara skematik disarikan pada Gambar 9. Sebanyak
500 ml Bacillus amyloliquefaciens dicampurkan ke dalam 500 gram bungkil inti
sawit, kemudian diaduk hingga homogen dan diinkubasi hingga 7 hari. Demikian
juga untuk Trichoderma harzianum dilakukan hal yang sama sedangkan untuk
koktail mikroba dilakukan dengan mencampurkan 500 g BIS dengan 250 ml
Bacillus amyloliquefaciens dan 250 ml Trichoderma harzianum (2:1:1), kemudian
diaduk sampai rata dan diinkubasi dalam tray plastik selama 7 hari. Inkubasi
Inkubasi0, 3, 5, 7 h
Suhu 30oC
Inkubasi0, 3, 5, 7 h
Suhu 30oC
Inkubasi0, 3, 5, 7 h
Suhu 30oC
BIS : Ba : Th(2:1:1) (kg/l) (diaduk
hingga homogen)
BIS :Th (1:1) (kg/l) (diaduk hingga
homogen)
BIS : Ba (1:1) (kg/l)(diaduk hingga
homogen)
Peubah: Fisik:pertumbuhan mikroba secara visualisasiKimiawi: kehilangan BK, dan kehilangan BO, PK, SK.sedangkan Lemak, ADF, NDF, Abu, AAE, dan uji aktivitasenzim selulase dan mananase dilakukan pada inkubasi 0 dan 7 hari
Gambar 9. Skema Fermentasi
Keterangan: Ba= Bacillus amyloliquefaciens; Th= Trichoderma harzianum BIS=bungkil inti sawit; BK=berat kering; BO=bahan organik; PK=protein kasar; SK=serat kasar; ADF=acid detergent fiber;
NDF=neutral detergent fiber; AAE=asam amino esensial
dilakukan pada suhu +30oC, dengan pengamatan dilakukan pada hari ke 0, 3, 5,
dan 7. Peubah yang diukur adalah pertumbuhan mikroba secara visualisasi secara
deskriptif selama fermentasi, dan kualitas nutrien (Bahan kering, kehilangan
bahan kering, dan kehilangan bahan organik, protein kasar, lemak kasar, serat
kasar, ADF (acid detergent fiber), NDF (neutral detergent fiber), abu, asam
amino esensial (AAE) dan uji aktivitas enzim selulase, dan mananase. Analisis
22
lemak, abu, ADF, NDF, AAE serta uji aktivitas enzim dilakukan berdasarkan
hasil serat kasar terendah pada inkubasi 3, 5, dan 7 hari.
3.3 Pertumbuhan Mikroba
Pertumbuhan mikroba secara visualisasi dilihat secara deskriptif dengan
nilai + (pertumbuhan miselium belum ada); ++ (pertumbuhan miselium sudah
mulai terlihat (25%)); +++ (pertumbuhan miselium sudah merata (50%); ++++
(pertumbuhan miselium merata dipermukaan dan di dalam substrat (100%)),
selama inkubasi (0, 3, 5, dan 7 hari).
3.4 Bahan Kering
Kadar air diukur dengan menimbang sampel 4-5 g kemudian dikeringkan
dalam oven 105 oC selama 4-6 jam (AOAC, 1980). Setelah 6 jam diangkat dan
dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang.
Bobot sampel basah-bobot sampel kering Kadar Air = ----------------------------------------------------- X 100% Bobot sampel basah
3. 5 Kehilangan Bahan Kering
Kehilangan bahan kering merupakan jumlah bahan kering yang hilang
selama proses fermentasi. Besaran kehilangan bahan kering ditentukan dengan
pengurangan berat bahan sebelum fermentasi dengan berat bahan setelah
fermentasi (dalam gram). Sedangkan persentasi kehilangan bahan kering
ditentukan dengan pengurangan berat bahan sebelum fermentasi dikalikan kadar
kering dengan berat bahan setelah fermentasi kali bahan dikalikan kadar kering
(dalam %).
Kehilangan BK (g) = (A x BKs) – (B x BKf)
(A x BKs) – (B x BKf) Kehilangan BK (%) = ---------------------------- x 100% (A x BKs)
23
A = berat sampel sebelum fermentasi (g)
B = berat sampel setelah fermentasi (g)
BKs = bahan kering sebelum fermentasi (%)
BKf = bahan kering setelah fermentasi (%)
3.6 Kehilangan Bahan Organik
Kehilangan bahan organik ditentukan dengan menimbang bahan sebelum
fermentasi dan setelah fermentasi, kemudian nilai bahan organik didapatkan dari
100 - abu (%). Besaran kehilangan bahan organik dihitung dengan formula
sebagai berikut :
Kehilangan BO (g) = (A x BKs x BOs) – (B x BKf x BOf)
(A x BKs x BOs) – (B x BKf x BOf) Kehilangan BO (%) = -------------------------------------------- x 100% (A x BKs x BOs)
A = berat sampel sebelum fermentasi (g)
B = berat sampel setelah fermentasi (g)
BKs = bahan kering sebelum fermentasi (%)
BOs = bahan organik sebelum fermentasi (%)
BKf = bahan kering setelah fermentasi (%)
BOf = bahan organik setelah fermentasi (%)
3.7 Penentuan Protein Kasar
Diukur dengan menggunakan metoda Kjeldahl (AOAC 1980). Sampel ditimbang
0,3 g kemudian ditambahkan katalis selenium 1,5 gram, lalu dimasukkan ke dalam tabung
Kjehdal dan ditambahkan H2SO4 pekat 20 ml. Selanjutnya didestruksi hingga warnanya
hijau kekuningan jernih, dan dinginkan selama 15 menit baru ditambahkan 300 ml
aquadest, dan didinginkan kembali. Setelah dingin ditambahkan NaOH 40% (teknis)
100ml, kemudian didestilasi. Hasil destilasi ditampung dengan 10ml H2SO4 0,1 N yang
sudah ditambahkan 3 tetes indikator campuran Methylen Blue dan Methylen Red.
Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terjadi perubahan dari warna ungu
menjadi biru-kehijauan. Penetapan blanko dengan cara: 10 ml H2SO4 0,1 N ditambah
indikator PP, dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N. Karena protein rata-rata mengandung
24
16% Nitrogen, maka 100% : 16% = 6,25 dipakai untuk mendapatkan nilai protein
kasar (Protein kasar = N% x 6,25).
Perhitungan :
(ml blanko – ml sampel) x N NaOH x 14 x 6,25 % Protein = ----------------------------------------------------- x 100% Berat sampel (mg)
3. 8 Penentuan Serat Kasar
Penentuan serat kasar dilakukan dengan analisis proksimat. Sample ditimbang
sebanyak 1 gram (x), dimasukkan dalam gelas piala, kemudian dimasukkan ke
dalam Heater Extract. Lalu ditambahkan 50 ml H2SO4 0,3 N dan dimasak selama
30 menit, kemudian ditambahkan 25 ml NaOH 15 N dan dimasak kembali selama
30 menit. Selanjutnya kertas saring disiapkan yang telah dipanaskan terlebih
dahulu dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam (a). Kemudian cairan disaring
dengan menggunakan kertas saring (a) yang diletakkan dalam corong Buchner.
Penyaringan dilakukan dengan labu pengisap yang dihubungkan dengan pompa
vacum. Kemudian dicuci berturut-turut menggunakan air panas 50 ml, H2SO4 0,3
N 50 ml, air panas 50 ml, dan terakhir aseton 25 ml. Setelah selesai kertas saring
beserta isi dimasukkan ke dalam cawan porselen selanjutnya dikeringkan dalam
oven 105oC selama 1 jam. Kemudian diangkat dan didinginkan dalam desikator
lalu ditimbang (Y), selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur 600o
Serat Deterjen Netral (NDF) ditentukan dengan Van Soest (1963).
Penetapan ini untuk memisahkan fraksi yang larut dalam pereaksi NDF dan yang
tidak larut. Serat NDF merupakan fraksi yang tidak larut. Fraksi yang tidak larut
tidak dapat dihidrolisis oleh pereaksi NDF, sehingga serat akan terpisah dan dapat
ditentukan kadarnya dengan disaring, dikeringkan, kemudian ditimbang.
C selama 6 jam.
Selanjutnya diangkat dan dinginkan dalam desikator dan ditimbang (Z) .
Perhitungan:
Y – Z – a % Serat Kasar = ---------------- x 100% X
3. 9 Penentuan Serat Deterjen Netral (NDF)
25
Metodenya diuraikan berikut ini, sebanyak 0,5 g sampel ditambah 60 ml
larutan NDF dimasukkan ke dalam gelas piala ukuran 600 ml. Selanjutnya
dipanaskan dalam penangas listrik sampai mendidih. Kemudian didestruksi
selama 60 menit pada suhu 2200C. Campuran dituang ke dalam cawan masir yang
sudah diketahui bobotnya (W1). Sampel disaring dan dicuci dengan air panas
sampai tidak berbusa lagi lalu dibilas dengan aseton. Cawan dikeringkan dalam
oven dengan suhu 1050C selama satu malam. Cawan didinginkan dalam desikator
dan ditimbang sebagai W2.
c-b % NDF = ------- x 100% a
3.10 Penentuan Serat Deterjen Asam (ADF)
Serat Deterjen Asam (ADF) dilakukan dengan menggunakan metode Van
Soest (1963). Bagian dinding sel tanaman atau serat detergen netral yang tidak
dapat larut dalam larutan detergen asam dengan komposit utama CTAB (Cetyl
trimethyl ammonium bromide) pada pemanasan selama satu jam.
Bahan yang digunakan pada analisis ADF terdiri dari: Larutan detergent
asam atau acid detergent solution (ADS) dibuat dengan melarutkan CTAB 20
gram dalam asam sulfat 1 N, Dekalin, Aceton. Sedangkan alat yang dipakai sama
dengan untuk penentuan NDF, yaitu: pendingin yang sesuai dengan mulut gelas
piala, pemanas listrik, pompa vakum, lemari pengirim, tanur, desikator, cawan
kaca masir, corong buchner, dan penjepit
Metode yang digunakan sama dengan penentuan NDF. Kurang lebih satu
gram contoh (a gram) dimasukkan dalam gelas piala 600 ml, kemudian ditambah
100 ml ADS dan 2 ml dekalin. Selanjutnya diekstraksi selama satu jam setelah
mendidih disaring dengan cawan penyaring yang telah diketahui beratnya (b
gram), penyaringan dilakukan dengan pompa vakum. Residu dan kertas saring
dicuci dengan air panas beberapa kali dan akhirnya dengan aceton, lalu
dikeringkan pada 105 0
C dan ditimbang (c gram).
26
Perhitungan:
c-b % ADF = ------- a % hemiselulosa = % NDF - % ADF
3. 11 Penentuan Asam Amino Esensial
Penentuan asam amino dilakukan dengan Amino Acid Analizer. Bahan
yang digunakan pada analisis asam amino adalah : larutan HCl 6 N dan 0,1 N;
larutan penyangga trisodium sitrat 2H2O dengan tiga variasi pH, yaitu pH 3,25
(0,2 N Na+ + 1% propanol), pH 3,95 (0,4 N Na-), dan pH 6,4 (1 N Na-); larutan
lithium asetat terdiri dari 168 g Li(OH3), 600 ml asam asetat glasial, dan 400 mlair
bebas ion; larutan ninhidrin terdiri atas 200 ml larutan ’Dimethyl Sulfokside’,
66,66 ml larutan lithium asetat; 5,32 g larutan ninhidrin, 0,22 g hidridantin, dan
gas N2 murni; larutan standar asam amino buatan Beckman yang mengandung
0,25 umol/ml; contoh bungkil inti sawit tanpa dan sudah fermentasi dikeringkan
dalam freeze dry dan digiling halus, etanol absolut dan es kering. Sedangkan alat
yang digunakan meliputi amino acid analyzer Beckman tipe CL 119, neraca
analitik 5 desimal.
Metode: 1. Hidrolisis protein
Sebanyak 50 gram contoh di masukkan ke dalam tabung pyrex 10 ml yang
bertutup, selanjutnya dimasukkan 5 ml HCl 6 N dan dialiri gas nitrogen murni
(Nitrogen Hp) kemudian tabung ditutup dan diletakkan dalam ovenµ dengan suhu
105 – 110 o
Hasil analisis yang sudah kering dilarutkan kembali dengan HCl 0,1 N hingga
volume 3 ml, diaduk dengan vortex hingga homogen, lalu disaring dengan
penyaring dengan ukuran 0,22 um. Kemudian hasil saringan diambil 100 µm dan
diinjeksikan pada alat spektrofotometri, kemudian pencatatan yang digunakan
C selama 24 jam. Kemudian hasil hidrolisis dikeluarkan dari oven dan
dibiarkan hingga suhu ruang, kemudian disaring dengan ketas saring Whatman no
41. Kemudian diambil 1 ml larutan ke dalam tabung 10 ml, lalu dibekukan dengan
es kering dan selanjutnya dikeringkan dengan pengering vakum.
2.Penetapan asam amino
27
secara manual, sehingga perhitungan dilakukan dengan mengukur tinggi
khromatogram standar dan tinggi khromatogram contoh dalam satuan cm.
Perhitungan:
t spl Asam amino (%) = ------- x(0,250 µmol/ml x BM AA x 3 ml x 10-6 x df x 100%) t std
-------------------------------------------------------------------------- bobot contoh x 10-3 g
Keterangan:
t spl = tinggi puncak khromatogram contoh
t std = tinggi puncak khromatogram standar
0,250 µmol/ml = konsentrasi standar
3 ml = volume akhir contoh
BM AA = bobot molekul masing-masing asam amino
df = faktor pengenceran
Total asam amino adalah total asam amino yang diperoleh dari hasil analisis
contoh.
3.12 Uji Aktivitas Enzim Selulase
Pengujian aktivitas enzim selulase dilakukan dengan metode DNS
(dinitrosalicylic acid) (Miller 1959). Bungkil inti sawit yang telah diinkubasi
dengan isolat dipindahkan ke tabung propylene. Selanjutnya ditambahkan 25ml
buffer sitrat dengan pH 6,0, 50 mM, lalu diaduk dengan menggunakan vortex 15
menit dan disentrifus selama 15 pada 3500 rpm, suhu 4-5oC. Selanjutnya
sebanyak 0,75 ml supernatan enzim dicampur 0,75 ml 1% CMCase (enzim
selulase) dalam buffer sitar dengan pH 6,0. Kemudian diinkubasi pada suhu
kamar selama 30 menit, kemudian ditambahkan 1,5 ml dinitrosalicylic acid.
Selanjutnya dipanaskan selama 15 menit dan didinginkan selama 20 menit dan
dibaca dengan menggunakan spektrofotometer 575 nM. Perhitungan aktivitas
enzim selulase dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut,
kadar glukosa x pengenceran Aktivitas enzim = ------------------------------------------------ Berat molekul glukosa x waktu inkubasi
28
Keterangan:
Satu unit aktivitas selulase adalah jumlah enzim yang melepaskan µmol glukosa
dalam satu menit pada kondisi pengujian.
Faktor pengenceran = 1
Berat molekul glukosa 180
Waktu inkubasi 30 menit.
3.13 Uji Aktivitas Enzim Mananase
Uji aktivitas enzim mananase dilakukan berdasarkan metode Purwadaria et
al. (1988). Aktivitas mananase dianalisis dengan menggunakan gum locust bean
(0,5% dalam buffer asetat dengan pH 4,8 dan suhu optimum 40oC). Filtrat enzim,
buffer dan substrat diinkubasi selama 5 menit pada suhu 40oC. Sampel berisi 1 ml
filtrat enzim ditambah 1 ml substrat di vorteks dan diinkubasi selama 30 menit
pada suhun optimum. Selanjutnya DNS ditambahkan 3 ml, divorteks, dan
dididihkan pada penangas air selama 15 menit. Kontrol dibuat dengan
menambahkan 3 ml DNS (dinitrosalicylic acid) dan 1 ml substrat ke dalam 1 ml
filtrat enzim tanpa inkubasi. Blanko terdiri dari 1 ml buffer, 3 ml DNS dan 1 ml
substrat. Kontrol dan blanko dididihkan selama 15 menit, kemudian aktivitas
mananase ditentukan dengan pengukuran absorban pada panjang gelombang 575
nm. Kemudian standar dibuat dengan 1 ml manosa dengan deret konsentrasi 0-
450 µg/ml dari larutan induk 1000 µg/ml dalam air, diencerkan dengan buffer,
kemudian ditambahkan 1 ml substrat dan 3 ml DNS, selanjutnya dididihkan 15
menit. Setelah absorban dingin, diukur pada panjang gelombang 575 nm. Kurva
standar dibuat dengan menghubungkan konsentrasi manosa dan absorban. Satu
unit aktivitas enzim adalah banyaknya enzim yang dapat memproduksi 1 µmol
manosa per menit pada kondisi percobaan dengan formula sebagai berikut :
Aktivitas Mananase (µ/ml) = [glukosa]sampel – [glukosa] kontrol (µg/ml) x Fp
Waktu inkubasi x BM manosa
Keterangan:
Fp=faktor pengenceran; Waktu inkubasi = 30 menit; Berat molekul manosa = 180
29
3.14 Rancangan Percobaan
Pertama, data dianalisis dengan menggunakan dalam Rancangan Acak
Lengkap pola Faktorial dengan 3 macam mikroba x 4 lama inkubasi x 3 ulangan =
36 unit percobaan. Bila uji ANOVA terdapat perbedaan yang nyata maka analisis
dilanjutkan dengan uji lanjut orthogonal comparison (Steel & Torrie 1995).
Mikroba fermentasi terdiri dari:
T1 = Bacillus amyloliquefaciens
T2 = Trichoderma harzianum
T3 = koktail mikroba (kombinasi Bacillus amyloliquefaciens dan
Trichoderma harzianum
Lama inkubasi (proses fermentasi) terdiri dari:
P1 = 0 hari
P2 = 3 hari
P3 = 5 hari
P4 = 7 hari
Model linier Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial adalah :
Yijk = μ + αi +βj + (αβ) ij + εijk
dimana :
Yijk = nilai pengamatan bungkil inti sawit pada faktor jenis
mikroba taraf ke-i dan lama inkubasi fermentasi taraf ke-j
dan ulangan ke-k
μ = Rataan umum
αi = Pengaruh jenis mikroba faktor α ke-i
βj = Pengaruh lama inkubasi fermentasi bungkil inti sawit
faktor β ke-j
(αβ) ij = Pengaruh interaksi faktor α ke-i dan faktor
β ke-j
εijk = Galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ke-j serta
ulangan ke-n; n = 1, 2, 3
30
Kedua, data dianalisis dengan menggunakan Model Regresi Linier Sederhana, yaitu hubungan antara X dan Y dinyatakan dalam fungsi linier/ordo 1 dan perubahan Y diasumsikan karena adanya perubahan X.
Model Regresi Linier Sederhana adalah :
Y = βo + β1x + ε
dimana :
β0 dan β1 adalah parameter regresi
ε adalah sisaan/galat/eror (peubah acak)
Y adalah jenis mikroba peubah tak bebas (peubah acak)
X adalah lama inkubasi (peubah bebas) yang nilainya diketahui
dan presisinya sangat tinggi (bukan peubah acak)
31
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pertumbuhan Mikroba pada Substrat Bungkil Inti Sawit
Setiap mikroorganisme mempunyai kurva pertumbuhan. Mikroba
memiliki kemampuan untuk menggandakan diri secara eksponensial karena
sistem reproduksinya merupakan pembelahan biner melintang, dimana tiap sel
membelah diri menjadi dua sel. Selang waktu yang dibutuhkan sel untuk
membelah diri disebut dengan waktu generasi.
Selama fermentasi aerobik dilakukan pengamatan secara visual terhadap
pertumbuhan bakteri B. amyloliquefaciens, kapang T. harzianum, dan koktail
mikroba yang disarikan pada Tabel 2. Inkubasi pada 0 hingga 2 hari belum
terlihat ada pertumbuhan, hal ini mengindikasikan pada inkubasi 0-2 hari
merupakan fase lag (lambat). Pada saat fase lag tidak terjadi pertumbuhan
Lama inkubasi
mikroba, sel sedang mengalami perubahan komposisi kimiawi, bertambahnya
ukuran serta substansi intraseluler, sehingga siap untuk membelah diri.
Tabel 2. Pertumbuhan selama fermentasi aerobik (7 hari).
B. amyloliquefaciens Koktail mikroba T. harzianum
0 hari Inokulasi Inokulasi Inokulasi 3 hari Tumbuh baik pada
permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).
Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).
Tumbuh baik pada permukaan media, menunjukkan warna titik-titik putih (miselium) (+++).
5 hari Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
7 hari Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
Pertumbuhan miselium semakin terlihat (++++), warna putih merata
Pada hari ketiga B. amyloliquefaciens, T. harzianum, dan koktail mikroba
sudah menutupi substrat hingga 25%. Hari kelima pertumbuhan mencapai 50%,
dan pada hari ketujuh (inkubasi 7 hari) pertumbuhan B. amyloliquefaciens, T.
32
harzianum, dan koktail mikroba mencapai 100% di permukaan hingga tumbuh ke
dalam substrat, disarikan pada Tabel 2 dan Gambar 10, 11, dan 12. Pada
inkubasi 3, 5 dan 7 hari diindikasikan berada pada kurva pertumbuhan fase
logaritma atau fase eksponensial, karena sel membela diri dengan laju yang
konstan, massa menjadi dua kali lipat. Pada fase ini merupakan fase perbanyakan
jumlah sel yang sangat banyak, aktivitas sel meningkat, dan fase yang penting
bagi kehidupan mikroorganisme. Pertumbuhan ditandai dengan adanya warna
putih di permukaan substrat pada ketiga perlakuan mikroba. Pertumbuhan terjadi
karena tersedianya nutrien pada substrat bungkil inti sawit, air yang cukup, dan
temperatur yang sesuai dengan yang dibutuhkan.
Gambar 10. Pertumbuhan B. amyloliquefaciens pada substrat bungkil inti sawit.
33
Gambar 11. Pertumbuhan T. harzianum pada substrat bungkil inti sawit.
Gambar 12. Pertumbuhan koktail mikroba pada substrat bungkil inti sawit
34
4.2 Kehilangan Bahan Kering Selama Proses Fermentasi Bungkil Inti Sawit
Selama fermentasi terjadi kehilangan bahan kering yang disarikan pada
Tabel 3. Pada saat fermentasi mikroba akan mendegradasi selulosa dan
hemiselulosa serta manan menjadi gula-gula sederhana. Selama fermentasi terjadi
proses respirasi anaerob (pembebasan energi tanpa oksigen), mikroba memecah
komponen substrat untuk keperluan metabolisme, kinetika metabolisme dan
kinetika enzim dan pertumbuhan.yang menyebabkan kehilangan bahan kering. Tabel 3. Kehilangan bahan kering bungkil inti sawit selama fermentasi (%) Jenis Mikroba ________________________________________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba (hari)
3 13,50a + 0,00 9,20b + 3,12 7,40c + 0,00
5 14,53a + 2,68 13,50a + 0,62 6,67b + 0,00
7 20,80a + 1,81 12,82b + 6,81 12,62b
Sementara itu tidak ada interaksi antara jenis mikroba dengan lama
fermentasi terhadap kehilangan bahan kering. Selama pertumbuhan, mikroba akan
menggunakan sumber karbon dan diubah menjadi karbon dioksida, air, dan
energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan. Kehilangan bahan kering
+ 0,72
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Kehilangan bahan kering pada fermentasi 3 hari berbeda nyata (P<0,05)
diantara ketiga perlakuan (Tabel 3), dimana perlakuan koktail mikroba
menunjukkan kehilangan bahan kering terendah (7,40+0,00%), disusul T.
harzianum (9,20+3,12), selanjutnya B. amyloliquefacien (13,50+0,00). Setelah
inkubasi 5 hari kehilangan bahan kering tidak berbeda nyata antara perlakuan
B. amyloliquefaciens dengan T. harzianum, namun berbeda nyata (P<0,05)
dengan perlakuan koktail mikroba (6,67 + 0,00%). Pada inkubasi 7 hari
kehilangan bahan kering pada perlakuan B. amyloliquefaciens nyata (P<0,05)
lebih tinggi (20,80 + 1,81) dari perlakuan T. harzianum (12,82 + 6,81%) dan
koktail mikroba (12,62 + 0,72%).
35
selama proses fermentasi disebabkan oleh mikroorganisme menggunakan substrat
untuk berkembang biak dan menghasilkan air dan karbon dioksida sebagai sisa
metabolisme. Oleh karena itu, kehilangan bahan kering dapat digunakan sebagai
indikator pertumbuhan mikroorganisme dalam substrat. Pada fermentasi bungkil
inti sawit dengan A. niger menunjukkan kehilangan bahan kering sebesar 18,74%
(Mathius 2008). Pada penelitian ini, kehilangan bahan kering tertinggi selama
fermentasi terdapat pada perlakuan B. amyloliquefaciens (20,80%) dan terendah
pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba (12,62%).
Kehilangan bahan organik hanya dianalisis pada fermentasi dengan
perlakuan koktail mikroba yaitu 10,3% setelah inkubasi 7 hari. Seperti diketahui
bahwa pada proses fermentasi terjadi perubahan zat-zat organik sebagai akibat
dari reaksi biokimia yang ditimbulkan oleh kapang maupun bakteri. Enzim-enzim
yang dihasilkan oleh kapang T. harzianum seperti selulase, protease, dan lipase
(Harman 2006) dan Bacillus amyloliquefaciens mempunyai aktivitas enzim
protease dan amilase yang sangat baik dan aktivitas lipase dan selulase yang baik.
Baik kapang maupun bakteri akan merombak zat-zat organik seperti selulosa,
protein dan lemak menjadi molekul yang lebih sederhana, sehingga dalam proses
perombakan tersebut akan terjadi kehilangan sebagian bahan kering karena zat-zat
organik tadi bisa berubah menjadi CO2 dan H2O (Sulaiman 1988; Murray et al.
2000). Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa selama proses fermentasi terjadi
peningkatan kadar air karena perombakan bahan organik oleh enzim-enzim yang
dihasilkan mikroba. Fardiaz (1988) mengemukakan bahwa mikroba
menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi dengan jalan memecahnya
menjadi gula yang lebih sederhana seperti glukosa, dan selanjutnya pemecahan
glukosa menjadi CO2 dan H2O melalui jalur glikolisis dan siklus Krebs untuk
menghasilkan energi. Perubahan yang terjadi pada bahan organik diikuti dengan
perubahan atau kehilangan bahan kering karena bahan kering suatu bahan
makanan terdiri atas bahan organik dan bahan an-organik (McDonald et al. 1981).
Pertumbuhan kapang akan lebih banyak menyesuaikan diri dengan ketersediaan
makronutrien dan mikronutrien dalam substrat. Jumlah mikroba yang banyak akan
menyebabkan produksi enzim-enzim semakin tinggi, sehingga jumlah zat-zat
organik yang dirombak juga semakin banyak. Dengan demikian maka terjadi
36
penurunan yang lebih besar dari bahan organik tersebut dengan semakin
meningkatnya massa mikroba. Sebaliknya, jika kadar bahan organik semakin
turun, maka kadar abu dari substrat semakin meningkat. Pada penelitian bungkil
inti sawit kehilangan bahan organik selama fermentasi dengan koktail mikroba
disebabkan meningkatnya massa mikroba yang menggunakan bahan organik
sebagai sumber energi.
4.3 Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit
Kandungan serat kasar bungkil inti sawit setelah fermentasi disarikan pada
Tabel 4. Secara statistik rancangan acak lengkap pola faktorial, menunjukkan
tidak berbeda nyata diantara ketiga perlakuan mikroba terhadap kandungan serat
kasar. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan mikroba dan lama inkubasi.
Fermentasi selama 7 hari menunjukkan kandungan serat kasar terus
menurun dan yang terendah pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan
koktail mikroba (Gambar 15). Perlakuan dengan T. harzianum menunjukkan
penurunan lebih kecil (12,85%) dibandingkan B. amyloliquefaciens (12,81%) dan
koktail mikroba (11,64%). Hal ini mengindikasikan enzim Ekso-beta-glukanase
yang diperoduksi Bacillus amyloliquifacien memotong rantai luar polisakarida
dan enzim Endo-beta-glukanase yang diperoduksi Trichoderma harzianum
memotong rantai dalam polisakarida (Wizna et al. 2005) dapat bekerja sama
menguraikan serat kasar mulai dari inkubasi 0 hari hingga 7 hari. Ginting &
Krisnan (2006) melaporkan kandungan serat kasar yang difermentasi dengan T.
harzianum sekitar 12,55% pada inkubasi 6 hari dan 12,69% pada inkubasi 9
Tabel 4. Kandungan serat kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi (%) Jenis Mikroba_________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba (hari)
0 14,27 ± 0,33 14,04 ± 0,86 13,98 ± 0,00
3 13,70 ± 0,08 13,82 ± 0,04 13,42 ± 0,50
5 13,13 ± 0,18 13,25 ± 0,41 12,79 ± 0,41
7 12,81 ± 0,40 12,85 ± 0,43 11,64 ± 0,72
37
hari. Sedangkan kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi
dengan koktail mikroba menurun hingga 16,7%. Hal ini mengindikasikan bila
kedua mikroba yaitu bakteri B. amyloliquefaciens dan kapang T. harzianum
dikombinasikan pada teknologi fermentasi maka akan menunjukkan hasil yang
lebih baik daripada yang tidak dikombinasikan.
Berikut ini akan diuraikan pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan
serat kasar oleh masing-masing mikroba secara analisis regresi.
4.3.1 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien
Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang
difermentasi dengan B. amyloliquifacien menunjukkan penurunan yang bersifat
linear dengan persamaan Y=14,28-0,21X dengan koefisien korelasi 0,99 seiring
dengan lama inkubasi (Gambar 13). Turunnya serat kasar merupakan hasil
Tabel 5. Analisis regresi kadar serat kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi 0,3,5, dan 7 hari.
Jenis mikroba r r2 SE P
B. amyloliquefacien 0,995 0,99 0,07 < 0,05
T. harzianum 0,969 0,94 0,17 < 0,05
Koktail mikroba 0,964 0,93 0,33 < 0,05
aktivitas enzim yang terdapat pada B. amyloliquefaciens, kenaikan aktivitas enzim
diikuti dengan penurunan kadar serat hasil aktivitas hidrolisis enzim. Lynd et al.
(2002) melaporkan genus Bacillus mampu mendegradasi selulosa, karena
memiliki enzim selulolitik endo-1,4-ß-glucanase (Hidayat 2005) yang berperan
mendegradasi selulosa tersebut. Pada onggok yang difermentasi dengan B.
amyloliquefaciens diperoleh penurunan kandungan serat kasar sebesar 32% dan
peningkatan kandungan protein kasar sebesar 360% (Wizna et al. 2008b).
38
Gambar 13. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens Keterangan: SKBA=kadar serat kasar dengan perlakuan B. amyloliquefaciens
Fermentasi bungkil inti sawit dengan koktail mikroba menunjukkan
penurunan dari 14,27 menjadi 12,81 % (sekitar 10%). Penurunan serat kasar oleh
B. amyloliquefacien tersebut lebih rendah dibandingkan pada empulur sagu. Hal
ini disebabkan B. amyloliquefacien dicampur dengan isi rumen untuk fermentasi
empulur sagu, sedangkan isi rumen berisi meraneka ragam mikroba yang dapat
berperan mendegradasi serat, sehingga menghasilkan penurunan serat yang lebih
besar dari fermentasi bungkil inti sawit oleh B. amyloliquefacien saja.
Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit diakibatkan enzim selulase
yang diproduksi oleh bakteri B. amyloliquefaciens. Seperti telah diuraikan di atas
serat kasar terhidrolisis oleh enzim endo-β-glukanase, 1,4-β-D-glukan
glukanohidrolase, CMCase, dimana Cx memutus secara random rantai selulosa
yang terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida. Sedangkan Ekso-β-glukanase,
1,4- β -D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1 menyerang bagian luar
selulosa pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai struktur utama.
Kemudian β-glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa menjadi glukosa
(Spano (1975). Dengan demikian enzim yang diproduksi B. amyloliquefaciens
dapat mendegradasi serat kasar menjadi glukosa pada bungkil inti sawit, sehingga
bungkil inti sawit terfermentasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk
bahan pakan unggas.
14,27
13,70
13,13 12,81
12
13
14
15
16
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sera
tkas
ar (%
)
Lama Inkubasi (hari)
SKBAPredicted SKBA
Y = 14,28 - 0,21X
39
4.3.2 Pengaruh Lama Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar Bungkil Inti Sawit oleh T. harzianum
Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang
difermentasi dengan T. harzianum menunjukkan penurunan yang bersifat linear
dengan persamaan Y=14,15-0,18X dengan koefisien korelasi 0,94 (Gambar 14).
Turunnya serat kasar merupakan hasil aktivitas enzim Endo-beta-glukanase pada
Trichoderma harzianum yang memotong rantai dalam polisakarida (Wizna et al.
2005).
Gambar 14. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum Keterangan : SKTRI=kadar serat kasar dengan perlakuan T. harzianum
Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit diakibatkan aktivitas enzim
selulase mendegradasi selulosa yang diproduksi oleh kapang T. harzianum. Proses
penurunan ini telah diuraikan di atas, dimana serat kasar terhidrolisis oleh
enzim endo-β-glukanase, 1,4-β-D-glukan glukanohidrolase, CMCase, dimana Cx
memutus secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo-
oligosakarida. Dengan demikian enzim yang diproduksi T. harzianum dapat
mendegradasi serat kasar menjadi glukosa pada bungkil inti sawit.
14,15 13,62
13,27 12,92
11
12
13
14
15
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sera
t Kas
ar (%
)
Lama Inkubasi (hari)
Y=14,15-0,18X
SKTRIPredicted SKTRI
40
Diantara berbagai spesies Trichoderma terdapat kemiripan satu dengan
yang lain akan tetapi T. harzianum merupakan spesies yang terbaik dalam
merombak selulosa jika dibandingkan dengan spesies lainnya seperti T. viride,
Trichoderma ressei, Trichoderma koningii dan Trichoderma glaukum (Rifai 1969;
Chalal 1985; Well 1986 ). Fati (1997) melaporkan bahwa fermentasi dedak padi
dengan kapang Trichoderma harzianum mampu menurunkan serat kasar dari
18,90 % menjadi 12,81 %. Sedangkan pada bungkil inti sawit T. harzianum
menurunkan serat kasar dari 14,15 menjadi 12,19 %. Rendahnya penurunan serat
kasar oleh T. harzianum pada bungkil inti sawit terfermentasi diindikasikan
perkembangan massa mikroba sedikit, sehingga produksi enzim selulase juga
sedikit, dengan sendirinya selulosa yang terdegradasi rendah.
4.3.3 Pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi oleh koktail mikroba
Hasil perhitungan statistik regresi untuk kadar serat kasar yang
difermentasi dengan koktail mikroba nyata (P<0,05) menunjukkan penurunan
yang bersifat linear dengan persamaan Y=14,18-0,32X dengan koefisien korelasi
0.93 seiring dengan lama inkubasi (Gambar 15).
Turunnya serat kasar pada bungkil inti sawit menunjukkan bahwa bakteri
B. amyloliquefaciens dan kapang T. harzianum memiliki sinergi yang positif
dalam mendegradasi serat kasar pada bungkil inti sawit. Disamping enzim
selulase yang diproduksi oleh bakteri B. amyloliquefaciens juga memproduksi
enzim selulolitik endo-1,4-ß-glukanase (Hidayat 2005).
Pada bungkil inti sawit serat kasar dihidrolisis oleh enzim endo-β-
glukanase, CMCase, yang diproduksi oleh T. harzianum, dimana Cx memutus
secara random rantai selulosa yang terdiri dari glukosa dan selo-oligosakarida
(Spano (1975). Sedangkan Ekso-β-glukanase yang diproduksi B.
amyloliquefaciens, 1,4- β -D-glukan selobiohidrolase, aviselase, dan C1
menyerang bagian luar selulosa pada ujung non-reduksi dengan selobiosa sebagai
struktur utama. Kemudian β-glukosidase, selobiase menghidrolisis selobiosa
menjadi glukosa. Turunnya serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh
41
koktail mikroba menunjukkan adanya assosiasi positif antara B. amyloliquefaciens
dan
Gambar 15. Analisis regresi kadar serat kasar pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba. Keterangan : SKBATRI=kadar serat kasar dengan perlakuan koktail mikroba 4.4 Pengaruh Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Kasar Bungkil Inti Sawit
T. harzianum dalam mendegradasi selulase.
Secara statistik dengan rancangan acak lengkap pola faktorial, kandungan
protein kasar dari bungkil inti sawit setelah fermentasi disajikan pada Tabel 6.
Kenaikan protein bungkil inti sawit pada inkubasi 3 hari tidak berbeda nyata
diantara ketiga perlakuan jenis mikroba. Tapi pada inkubasi 5 hari peningkatan
protein bungkil inti sawit tertinggi pada perlakuan T. harzianum (28,02 ± 0,34%),
disusul koktail mikroba (26,92 ± 1,65%), kemudian B. amyloliquefacien (25,49 ±
0,75%). Namun pada ikubasi 7 hari tidak ada perbedaan diantara perlakuan jenis
mikroba. Lamanya fermentasi (0-7 hari) bungkil inti sawit menunjukkan
peningkatan protein dari 21,95 ± 0,10 menjadi 28,54 ± 0,30 % pada perlakuan B.
Amyloliquefacien, dari 23,00 ± 0,42 menjadi 28,54 ± 0,30 pada perlakuan T.
harzianum, dan pada perlakuan koktail mikroba dari 21,66 menjadi 28,68 %
(Tabel 7). Peningkatan protein pada bungkil inti sawit terfermentasi oleh ketiga
perlakuan jenis mikroba hanya 24-32%, jauh lebih kecil dari penelitian
sebelumnya yaitu (14,19 menjadi 36,43%) (Sinurat et al. 1996; Supriyati et al.
13,98 13,42 12,79
11,64
8
10
12
14
16
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Sera
t Kas
ar (%
)
Lama Inkubasi (hari)
Y=14,18-0,32XSKBATRIPredicted SKBATRI
42
1998). Perbedaan ini disebabkan adanya penambahan mineral pada penelitian
sebelumya. Pada percobaan ini sama sekali tidak menambahkan mineral pada saat
fermentasi, hanya bahan baku dan mikroba saja. Pada percobaan sebelumnya,
proses fermentasi dilakukan dengan menambahkan urea, MgSO4, ZA, KCl,
NaH2PO4, FeSO4 untuk memperoleh pertumbuhan mikroba yang optimal.
Tabel 6. Kandungan kadar protein kasar bungkil inti sawit selama Fermentasi (%).
________________ Jenis Mikroba___________________ Lama fermentasi B. amyloliquefacien T. harzianum Koktail mikroba (hari)
0 21,95 ± 0,10 23,00 ± 0,42 21,66 ± 0,99
3 23,81 ± 0,24 24,17 ± 0,60 24,08 ± 0,40
5 25,49 ± 0,75 28,02 ± 0,34 26,92 ± 1,65
7 28,54 ± 0,30 28,54 ± 0,30 28,68 ± 1,36
Secara statistik setelah fermentasi selama 7 hari tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata antara ketiga perlakuan jenis mikroba. Data menunjukkan
kandungan protein kasar tertinggi terlihat pada BIS yang difermentasi oleh koktail
mikroba (28,68 %) namun tidak berbeda nyata dengan yang difermentasi oleh B.
amyloliquifacien (28,54%) dan T. harzianum (28,54%). Hal ini menunjukkan
aktivitas enzim pemecah protein tidak berbeda antara T. harzianum dengan B.
amyloliquifacien.
Peningkatan protein yang diperoleh berasal dari asimilasi anorgaik N (urea
dan ZA=(NH4)2SO4) menjadi protein oleh mikroba. Pada percobaan ini, unsur
anorganik N tidak ditambahkan, sehingga tidak akan terjadi asimilasi protein.
Peningkatan protein yang terjadi karena menurunnya kadar dari unsur-unsur
lainnya, dan juga disebabkan hilangnya bahan kering selama fermentasi.
Berikut ini akan diuraikan pengaruh lama fermentasi terhadap kandungan
protein kasar secara analisis regresi pada masing-masing mikroba.
43
4.4.1 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit oleh B. amyloliquifacien
Analisis regresi pada perlakuan B. amyloliquefaciens pada fermentasi
bungkil inti sawit menunjukkan peningkatan protein bersifat linear
(Y=21,52+0,91X) mengikuti lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka
kandungan protein semakin meningkat (Gambar 16). Hasil analisis menunjukkan
bahwa lama fermentasi berpengaruh terhadap kandungan protein. Besarnya nilai
pengaruh tersebut dilihat dari koefisien relasi (r2) yaitu 0,95 (Tabel 7).
B. amyloliquefaciens pada fermentasi campuran empulur sagu dan isi
rumen mampu meningkatkan protein 42 % dengan temperature 40oC selama 9
hari (Wizna et al. 2008a). Sedangkan peningkatan protein pada bungkil inti sawit
dengan B. amyloliquefaciens menunjukkan nilai yang lebih kecil yaitu 21,52
menjadi 27,92 % (sekitar 22%). Hal ini diindikasikan fermentasi empulur sagu
dilakukan dengan B. amyloliquefaciens dan isi rumen, dengan demikian jumlah
jenis mikroba yang tersedia lebih banyak, sehingga akan meningkatkan
kandungan protein empulur. Sedangkan fermentasi pada bungkil inti sawit
hanya dilakukan dengan satu jenis mikroba yaitu B. amyloliquefaciens, hal ini
menyebabkan peningkatan protein tidak sebesar pada fermentasi empulur
sagu.
Tabel 7. Analisis regresi kadar protein kasar yang difermentasi dengan mikroba selama masa inkubasi 0,3,5, dan 7 hari. Jenis mikroba r r2 SE P
B. amyloliquifacien 0,97 0,95 0,76 < 0,05
T. harzianum 0,89 0,79 1,34 <0,05
Koktail mikroba 0,99 0,99 0,42 <0,05
Peningkatan protein sesungguhnya berasal dari mikroba, karena secara absolut
protein digunakan oleh mikroba untuk kebutuhan metabolisme dan pertumbuhan,
dan secara relatif meningkat.
44
Gambar 16. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens Keterangan : PRBA=kadar protein kasar dengan perlakuan B. amyloliquefaciens
4.4.2 Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh T. harzianum
Analisis regresi pada perlakuan T. harzianum pada fermentasi bungkil inti
sawit menunjukkan peningkatan protein bersifat linear (Y=22,9+0,7X) mengikuti
lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka kandungan protein semakin
meningkat (Gambar 17). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa lama
fermentasi nyata (P<0,05) berpengaruh nyata terhadap kandungan protein.
Besarnya nilai pengaruh tersebut dilihat dari koefisien relasi (r2) yaitu 0,94 (Tabel
7). Pada analisis regresi menunjukkan, protein kasar pada bungkil inti sawit yang
difermentasi dengan T. harzianum meningkat dari 23,00 menjadi 28,02 %
(21,8%) dengan lama inkubasi 0 hingga 7 hari.
Trichoderma harzianum mempunyai kemampuan meningkatkan protein
bahan pakan dan bahan berselulosa. Fermentasi dedak padi dengan kapang
Trichoderma harzianum meningkatkan protein kasar dari 8,74 menjadi 14,66%
(40,4%) (Fati 1997). Peningkatan protein pada bungkil inti sawit lebih rendah bila
dibandingka dengan dedak padi terfermentasi oleh Trichoderma harzianum.
Perbedaan ini diindikasikan pada saat fermentasi bungkil inti sawit dengan
menggunakan inokulum Trichoderma harzianum tidak ditambahkan mineral,
21,52
24,26
26,09
27,92
20
22
24
26
28
30
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Prot
ein
(%)
Lama inkubasi (hari)
PRBARataan PRBA
Y=21,52 + 0,91X
45
Gambar 17. Analisis regresi kadar protein pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum Keterangan:PRTRI=kadar protein kasar dengan perlakuan
T. harzianum
sedangkan pada fermentasi dedak ditambahkan mineral sebagai sumber protein
dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap kandungan protein bungkil inti
sawit tersebut. Rendahnya peningkatan protein tersebut karena protein hanya
bersumber dari kapang T.harzianum. Hariyum (1986) melaporkan. kapang
mempunyai kandungan rendah protein, dan asam nukleatnya hanya 5%
dibandingkan bakteri dan ragi masing-masing 8-16% and 6-12%.
4.4.3
Analisis regresi pada perlakuan koktail pada fermentasi bungkil inti sawit
menunjukkan peningkatan protein bersifat linear (Y=21,47+1,03X) mengikuti
lama inkubasi, semakin lama inkubasi maka kandungan protein semakin
meningkat (Gambar 18). Hasil analisis menunjukkan bahwa lama fermentasi
nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap kandungan protein. Besarnya nilai pengaruh
tersebut dilihat dari koefisien relasi (r
Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kandungan Protein Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi oleh Koktail Mikroba
2) yaitu 0,99 (Tabel 7). Pada analisis statistik
dengan rancangan acak lengkap pola faktorial, protein kasar menunjukkan
peningkatan dari 0 hingga 7 yaitu dari 21,66 menjadi 28,68 %. Kenaikan protein
pada bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba disarikan pada
23,00 24,17
28,02 27,24
20
22
24
26
28
30
0 1 2 3 4 5 6 7 8
Prot
ein
(%)
Lama inkubasi (hari)
Y=22,9+0,7X
PRTRI
Predicted PRTRI
46
Tabel 6. Peningkatan protein pada substrat padat berasal asam nukleat dari kapang
itu sendiri yang dapat memberikan kontribusi N. Bakteri juga memberi kontribusi
yang sama dimana dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan (glikoprotein).
Dengan demikian koktail mikroba dapat meningkatkan kandungan protein bungkil
inti sawit melalui proses fermentasi.
Gambar 18. Analisis regresi kadar protein kasar pada bungkil inti sawit yang dengan koktail mikroba Keterangan : PRBATRI=kadar protein kasar dengan perlakuan koktail mikroba
Hasil analisis protein tertinggi dan serat kasar terendah pada ketiga
perlakuan jenis mikroba, didapatkan pada fermentasi dengan perlakuan koktail
mikroba. Dengan demikian dilanjutkan dengan analisis lemak, abu, acid detergent
fiber (ADF), neutral detergent fiber (NDF), asam amino, dan aktivitas selulase
serta mananase.
4.5 Perubahan Komposisi Kimia Bungkil Inti Sawit yang Difermentasi dengan Koktail Mikroba Komposisi kimia bungkil inti sawit setelah difermentasi dengan koktail
mikroba menunjukkan kadar protein dan serat deterjen asam (ADF) meningkat.
Sedangkan serat kasar dan serat deterjen netral (NDF), hemiselulosa serta lemak
47
kasar dan abu menurun (Tabel 8). Selama proses fermentasi, mikroba
menurunkan kadar dinding sel (NDF), hal ini diindikasikan selama fermentasi
terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa bungkil inti sawit
sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim
selulase dan lignoselulase. Hal ini terlihat dari menurunnya kandungan serat
kasar dan hemiselulosa (Tabel 8). Lignin merupakan dinding pelindung
Tabel 8. Komposisi protein, serat kasar, NDF, ADF, lemak, dan abu bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba. Komposisi kimia Sebelum fermentasi Setelah fermentasi
Protein kasar, % 21,66 28,68
Serat Kasar, % 13,98 11,64
NDF (g/100 g) 62,99 56,39
ADF (g/100 g) 42,21 45,95
Hemiselulosa (g/100 g) 20,78 10,44
Lemak Kasar (g/100 g) 12,23 11,46
Abu (g/100 g) 6,81 4,34
fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin
berikatan erat dengan hemiselulosa. Selain itu menurunnya kadar NDF
menunjukkan terjadinya pemecahan selulosa dinding sel.
Perombakan ADF lambat, diindikasikan degradasi belum terjadi pada
inkubasi 7 hari, sehingga menunjukkan peningkatan karena belum dimanfaatkan
oleh koktail mikroba. Koktail mikroba juga mempunyai enzim lipase untuk
merombak lemak sehingga kadar lemak menurun (Tabel 8). Pengukuran kadar
abu bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam
bungkil inti sawit baik sebelum dan sesudah fermentasi. Kadar abu menurun
setelah bungkil inti sawit difermentasi, hal ini mengindikasikan bahwa zat
anorganik bungkil inti sawit menurun setelah difermentasi. Abu adalah zat
anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
48
4.6 Perubahan Asam Amino Setelah Fermentasi dengan Koktail Mikroba
Komposisi total asam amino pada bungkil inti sawit sebelum dan sesudah
fermentasi disarikan pada (Tabel 9). Data menunjukkan ada penurunan konposisi
asam amino pada bungkil inti sawit setelah fermentasi (15,99% vs 15,65%).
Secara total terjadi penurunan, namun asam amino asam glutamat , arginin, dan
methionin memperlihatkan peningkatan, masing-masing 2,62 menjadi 3,08 %;
Tabel 9. Komposisi asam amino esensial (AAE) bungkil inti sawit sebelum dan sesudah fermentasi oleh koktail mikroba Parameter Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi (% w/w) (% w/w) Asam aspartat ,54 1,33
Asam glutamat 2,62 3,08
Serin 0,74 0,73
Histidin 0,54 0,52
Glisin 0,82 0,73
Treonin 0,70 0,59
Arginin 1,88 2,41
Alanin 0,85 0,66
Tirosin 0,58 0,52
Methionin 0,71 0,73
Valin 0,91 0,87
Phenilalanin 1,15 1,01
I-leusin 0,67 0,57
Leusin 1,05 0,96
Lisin 1,24 0,92
Total Asam Amino 15,99 15,65
1,88 menjadi 2,41%; dan 0,71 menjadi 0,73%. Selama proses fermentasi oksidasi
berlangsung, terjadi bermacam-macam reaksi pada substrat bungkil inti sawit
secara asimilatif dan disimilatif. Koktail mikroba menggunakan gula yang
sudah terhidrolisis oleh enzim, dan kemudian memproduksi zat-zat
bermanfaat seperti asam amino.
49
Peningkatan asam amino glutamat, arginin, dan methionin setelah
fermentasi mengindikasikan bahwa ketiga asam amino tersebut disintesa oleh
koktail mikroba. Meningkatnya kandungan methionin merupakan nilai tambah
pada bungkil inti sawit bila difermentasi dengan koktail mikroba.
Sementara itu jenis asam amino yang lain tidak meningkat bahkan
menurun. Hal ini diindikasikan bahwa zat yang dibutuhkan koktail mikroba untuk
membentuk asam amino pada bungkil inti sawit tidak tersedia sehingga tidak ada
peningkatan. Pada umumnya, bakteri tidak mensistesis secara degradatif
(katabolik) sampai enzim tersedia pada substrat. Misalnya sintesa enzim
pendegradasi laktosa tidak bekerja apabila laktosa tidak tersedia dalam substrat.
Demikian juga sel bakteri akan menghentikan alur biosintetiknya ketika produk
akhir tidak dibutuhkan lagi atau sudah tersedia dalam substrat tersebut (Todar
2008). Asam amino yang lain yang tidak mengalami peningkatan diindikasikan
zat nutrien dalam bungkil inti sawit tidak tersedia, sehingga koktail mikroba tidak
mensintesisnya.
Pada umumnya ketersediaan asam amino seperti methionin pada bahan
pakan ternak unggas sangat kecil bahkan pada bahan tertentu tidak tersedia.
Peningkatan kandungan asam amino methionin merupakan nilai tambah pada
bungkil inti sawit yang difermentasi dengan inokulum koktail mikroba.
4.7 Aktivitas Selulase dan Mananase Setelah Fermentasi
Selama fermentasi terjadi kenaikan aktivitas enzim selulase dan mananase
(Tabel 11), hal ini sejalan dengan data aktivitas enzim pada fermentasi ketela
(Okolie & Ugochukwu, 1988; Purwadaria et al. 1997). Pada fermentasi 7 hari
aktivitas mananase menunjukkan aktivitas lebih tinggi (9,084BK (µ/ml)
dibandingkan selulase (0,468 BK (µ/ml), hal ini mengindikasikan kondisi pada
saat inkubasi lebih sesuai untuk memproduksi enzim mananase dibandingkan
selulase. Sehingga koktail mikroba lebih efektif mendegradasi manan
dibandingkan selulosa dalam bungkil inti sawit.
Seperti diketahui sel bakteri dapat merubah pola enzim dimana enzim
beradaptasi dengan lingkungannya yang spesipik. Todar (2008) melaporkan
konsentrasi enzim dari sel bakteri tergantung dari keberadaan substrat. Pada
50
Tabel 10. Aktivitas selulase dan mananase sebelum dan sesudah fermentasi bungkil inti sawit dengan koktail mikroba. Fermentasi Sebelum Fermentasi Sesudah Fermentasi BK (µ/ml) BK (µ/ml) Aktivitas Selulase 0,025 0,468
Aktivitas Mananase 0,027 9,084 __________________________________________________________________
prinsipnya enzim selalu diproduksi secara bebas oleh sel mikroba tergantung dari
komposisi medium dimana mereka bertumbuh. Jadi secara umum enzim bekerja
selama terjadinya proses glikolisis dan siklus asam sitrat/siklus Krebs (TCA
cycle). Enzim selalu diproduksi oleh mikroba baik dalam konsentrasi tinggi atau
rendah setiap waktu.
Manan adalah salah satu bentuk dari polisakarida (komponen dari
hemiselulosa) tanaman yang merupakan polimer dari gula manosa (Nishiyama et
al. 2002).
Menurunnya kadar NDF (serat deterjen netral) dan hemiselulosa
merupakan hasil hidrolisis dari enzim selulase dan mananase yang diproduksi
koktail mikroba. Purwadaria et al. (1998) melaporkan, lumpur sawit yang
Mannan dihidrolisa menjadi mannosa maupun manno-oligosakarida
yang berfungsi sebagai prebiotik oleh enzim endo β-mannanase (1,4-β-D-mannan
mannanohydrolase [EC 3.2.1.78]) dan exoβ-manosidase (β-D-mannanopyranoside
hydrolase [EC 3.2.1.25]) (Puls & Scuseill, 1993). Manan yang berperan sebagai
prebiotik dapat dimanfaatkan koktail mikroba untuk pertumbuhannya, dengan
demikian koktail mikroba memproduksi enzim mananase lebih tinggi dari enzim
selulase. Tingginya produksi enzim mananase berpengaruh terhadap aktivitas
mananase.
Dapat disimpulkan selama proses fermentasi pada bungkil inti sawit
koktail mikroba memproduksi enzim mananase dan selulase yang berperan
mendegradasi serat kasar berupa selulosa menjadi gula sederhana, sehingga bisa
digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhan. Koktail mikroba juga memproduksi
enzim protease yang mendegradasi protein bungkil inti sawit selama proses
fermentasi, sehingga dapat meningkatkan kadar protein secara persentatif setelah
difermentasi.
51
difermentasi dengan A. niger ES1, antara enzim mananase dengan hemiselulosa
nyata mempunyai korelasi. Penguraian hemiselulosa pada bungkil inti sawit lebih
ditekankan pada enzim mananase, karena bungkil inti sawit dominan mengandung
komponen manan. Enzim mananase dan selulase yang diproduksi koktail mikroba
dapat menurunkan kadar hemiselulosa dari 20,78 menjadi 10,44 g/100g. Dengan
demikian bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba bisa digunakan
sebagai bahan pakan alternatif pada unggas, yang berperan sebagai sumber energi
dan protein.
52
V KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Pertumbuhan B. Amyloliquefaciens,T. harzianum, dan koktail mikroba
menutupi permukaan dan dalam substrat 100% selama inkubasi 7 hari. Fermentasi
bungkil inti sawit selama 7 hari dengan menggunakan koktail mikroba dapat
menurunkan kandungan serat kasar dari 13,98% menjadi 11,64%, serta
meningkatkan protein kasar dari 21,66% menjadi 26,68%. Kandungan asam
amino metionin meningkat sebesar 2,7%, asam glutamat 14,9%, dan arginin 21,9
%. Aktivitas selulase dan mananase meningkat dari 0,025 menjadi 0,468 µ/ml
dan dari 0,027 menjadi 9,084 µ/ml. Berdasarkan data tersebut, bungkil inti sawit
terfermentasi oleh koktail mikroba dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif
pada unggas.
SARAN
Untuk meningkatkan kualitas bungkil inti sawit terfermentasi yang jauh
lebih baik, disarankan penelitian lanjutan dengan menambahkan mineral pada
proses fermentasi dengan koktail mikroba.
53
DAFTAR PUSTAKA
A.O.A.C. 1980. Methods of Analysis. 13th Ed. Association of Official Agricultural Chemist. Washington D.C.
Azin M, Moravej R, Zareh D. 2007. Self-directing optimization of parameters for extracellular chitinase production by Trichoderma harzianum in batch mode. Process Biochemistry 34: 563–566.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Beare MH, Hendrix PF, Cheng W. 1992. Microbial and faunal interactions and effects on litter nitrogen and decomposition in agroecosystems. Ecological Monographs 62: 569-591.
Bintang IAK, Sinurat AP, Murtisari T, Pasaribu T, Purwadaria T, Haryati T. 1999. Penggunaan bungkil inti sawit dan produk fermentasinya dalam ransum itik sedang bertumbuh. JITV 4:179-184.
Bissett J, 1991. A revision of the genus Trichoderma. III. Sect. Pachybasium. Canadian J. of Botany.69: 2373- 2417.
Buckle KA, Edwards RA, Fleed GR. Wooton M. 1987. Ilmu Pangan Terjemahan Adiono dan Purnomo. UI Press. Jakarta.
Capoe P, Kubackova M, Alfoldi J. 2000. Galactoglucomannan from the secondary cell wall of Picea abies.L.Krast. Carbohydr. Res. 329: 635-645.
Chalal DS. 1983. Solid state fermentation with Trichoderma reesei for cellulase production. Appl. Environ. Microbial, 49 p 205-210.
Chelikani P, Fita I, Loewen PC. 2004. Diversity of structures and properties among catalases. Cell. Mol. Life Sci. 61 (2): 192–208.
Chong CH, Blair R, Zulkifli I, Jelan ZA. 1998. Physical and chemical characteristics of Malaysian palm kernel cake (PKC). Proc. 20th MSAP Conf. 27-28 July. Putrajaya, Malaysia.
Crawford RL. 1981. Lignin biodegradation and transformation. New York: John Wiley and Sons.
Dekker RFH. 1985. Biodegradation of hemicelluloses. In J. Higuchi (ed.), Biosynthesis and Biodegradation of Wood Components, Academic Press Inc., Orlando, FL. p. 505- 533.
54
Devendra C. 1978. Utilization of feedingstuffs from the oil palm. Proceedings of the Conference on Feedingstuffs for Livestock in South East Asia. Serdang Selanggor: p. 116-131.
Dhawan S, Jagdeep Kaur. 2007. Microbial Mannanases: An Overview of Production and Applications. Critical Reviews in Biotechnology. 1549-7801, 27;197 – 216.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2008. Pengembangan kelapa sawit nasional, mewujudkan visi Indonesia 2020. Departemen Pertanian
Dwidjoseputro. Dasar-dasar Mikrobiologi. 1982. Mikrobiologi Dasar. Salatiga, Universitas Kristen Satya Wacana
Eastburn DM, Butler EE. 2002. Microhabitat characterization of Trichoderma harzianum in natural soil: Evaluation of factors affecting distribution. Department of Plant Pathology, University of California, Davis, CA 95616, U.S.A.
Etebarian HR, Scott ES, Wicks TJ. 2000. Trichoderma harzianum T39 and T. virens DAR 74290 as potential biological control agents for phytophathora erythroseptica. Eur. J. Plant Pathol. 106: 329-337.
Eziashi EI, Uma NU, Adekunle AA, Airede CE. 2006. Effect of metabolites produced by Trichoderma species against Ceratocystis paradoxa in culture medium. African J. of Biotech. 5 (9):703-706.
Fardiaz S. 1988. Mikrobiologi Pangan. Depdikbud, Dirjen Dikti. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Fati N. 1997. Pengaruh penggunaan dedak padi yang difermentasi dengan galur Trichoderma terseleksi terhadap performans ayam broiler. Program Pascasarjana Univ. Andalas Padang.
Fukumoto J. 1943. Studies on the production of bacterial amylase. I. Isolation of bacteria secreting potent amylases and their distribution (in Japanese). J. Agr. Chem. Soc. Japan 19: 487-503.
Gehartz W. 1990. Enzymes in industry production and applications. 3rd Ed. Wiley-VCH, USA. p.81-82.
Ginting SP, Krisnan R. 2006. Pengaruh fermentasi menggunakan beberapa strain Trichoderma dan masa inkubasi berbeda terhadap komposisi kimiawi bungkil inti sawit. Semnas. Tekno. Pet. Dan Vet. Hal. 939-944.
Graumann P. 2007. Bacillus: Cellular and Molecular Biology (1st ed.).
55
Gupta R, Gigras P, Mohapatra H, Goswami VK, Chauhan B. 2003. Microbial α-amylases: a biotechnological perspective. Process Biochem 38, 1599 - 1616.
Handford MG, Baldwin TC, Goubet F, Prime TA, Miles J, Yu X, Dupree P. 2003. Localisation and characterisation of cell wall mannan polysaccharides in Arabidopsis thaliana. Planta . 218 (1): 27-36.
Hariyum, A., 1986. The determination of the optimum conditions for consentration of glucouse carbon resource, pH and aerasi for Candida utilis R24 growth as single cell protein produced. Waca Utama Pramesti. Surabaya.
Harman GE. 2006. Overview of mechanisms and uses of Trichoderma spp. Phytopathology. 96 (2): 190–194.
Hartley CWS. 1970. The Oil Palm. London:Longman Group.hlm. 2-11.
Hartley RTV, Smeaton JR. 1973. On the Reaction between the Extracellular Ribonuclease of Bacillus amyloliquefaciens (Barnase) and Its Intracellular Inhibitor (Barstar). The J. of Bio. Chem. 248(16): 5624-5626.
Hidayat I. 2005. Pengaruh pH terhadap Aktivitas Endo-1,4-β-Glucanase Bacillus sp. AR 009. Biodiversitas. 6( 4). hlm. 244-246.
Hilge M, Gloor, SM, Rypniewski W, Sauer O, Heightman TD, Zimmermann W, Winterhalter K, Piontek K. 1998. High-resolution native and complex structures of thermostable β-mannanase from Thermomono-spora fusca: Substrate specificity in glycosyl hydrolase family 5. Struct. Fold. Des. 6:1433–1444.
Isil S, Nulifer A. 2005. Investigation of factors affecting xylanase activity from Trichoderma harzianum 1073 D3. Braz. Arch. Biol. Technol. 48(2): 187-194.
Kandra L. 2003. α-Amylases of medical and industrial importance. Journal of Molecular Structure (Theochem) 666-667, 487-498.
Kensch O. 2008. Mannanase engineering for fibre degradation. (Explains the multi-parameter optimisation of a mannanase by high throughput automated confocal fluorimetric screening at Direvo Industrial Biotech. Speciality Chemicals Magazine Nov. 2008.
Klein Donald W, Lansing M, Harley, John. 2004. Microbiology. 6th ed.. New York: McGraw-Hill.
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Jilid ke-1. Thenawijaya M, penerjemah.
56
Lynd LR, Weimer PJ, Zyl WH van, Pretorius S. 2002. Microbial Cellulose Utilization : Fundamentals and Biotechnology. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 66(3):506-577.
LRPI. 2006. Pemanfaatan oleokimia berbasis minyak sawit. Media Komunikasi Lingkup Unit Kerja LRPI . Vol.2 No. 2, Bogor.
Madigan M, Martinko J. 2005. Brock Biology of Microorganisms.11th ed. Prentice Hall.
Magdel-Din HM, Helmy WA, Salem HM. 1998. Biological activities of some galactomannans and their sulfated derivatives. Phytochemistry. 48:479-484.
Mathius IW, Sinurat AP, Manurung BP, Sitompul DM, Azmi. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Mathius IW. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 206-224.
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD. 1981. Animal Nutrition. Third Ed. Longman. New York.
Muchtadi TR. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Depdikbud. Dirjen. Dikti. Pusat Antar Universitas. Pangan dan Nutrisi. IPB. Bogor.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2000. Harper’s Biochemistry. McGraw- Hill, New York.
Nishiyama,Yoshiharu, Langan, Paul, Chanzy, Henri. 2002. Crystal Structure and Hydrogen-Bonding System in Cellulose Iβ from Synchrotron X-ray and Neutron Fiber Diffraction. J. Am. Chem. Soc 124 (31): 9074–82.
Nuraini dan Trisna, A. 2006. Respon broiler terhadap ransum yang mengandung bungkil inti sawit fermentasi dengan Penicillium sp. J. Agri. Bisnis. Pet 2:45-48.
Odetallah NH, Ferket PR, Grimes JL, McNaughton JL. 2002. Effect of Mannan-Endo-1,4-β-Mannosidase on the Growth Performance of Turkeys Fed Diets Containing 44 and 48% Crude Protein Soybean Meal. Poult. Sci. 81:1322–1331.
Okolie PN, Ugochukwu. 1988. Change in activities of cell wall degrading enzymes during fermentation of cassava (manihot esculenta Crants.) with Citrobacter freundii. J. Sci. Foof. Agric. 44:51-61.
57
Pasaribu T, Sinurat AP, Purwadaria T, Supriyati, Rosida J, Hamid H. 1998. Peningkatan nilai gizi lumpur sawit melalui proses fermentasi:Pengaruh jenis kapang, suhu, dan lama proses enzimatis. JITV 3(4):237-242.
Puchart V, Vrsˇanska M, Svoboda P, Pohl J, Ogel ZB, Biely P. 2004. Purification and characterization of two forms of endo-h-1,4-mannanase from a thermotolerant fungus, Aspergillus fumigatus IMI 385708 (formerly Thermomyces lanuginosus IMI 158749). Biochimica et Biophysica Acta 1674 (2004) 239– 250.
Puls J, Scuseill J. 1993. In hemicelluloses and hemicellulases. Coughlan, M.P.and Hazlewood, G. P., eds. Portland. Press, New York: p. 1-27.
Purwadaria T, Haryati T, Sinurat AP, Kompiang IP, Supriyati, Darma J. 1997. The correlation between amylase and cellulose activities with starch and fiber contents on the fermentation of cassapro (cassava protein) with Aspergillus niger. Proc. Indonesian Biotechnology Conference. Jakarta, juni 17-19, 1997. Vol. pp.379-390.
Purwadaria T, Sinurat AP, Haryati T, Sutikno I, Supriyati, Darma J. 1998. Korelasi antara aktivitas enzim mananase dan selulase terhadap kadar serat lumpur sawit hasil fermentasi dengan Aspergillus niger. JITV 3(4):230-236.
Purwadaria T, Sinurat AP, Haryati T, Sutikno I, Darma J. 1998. Preparasi mannan dan mannanase kasar dari bungkil kelapa sawit. Methods Enzymology, 160: 627-632.
Ramada A., 2008. Pupuk Biologis Trichoderma. http:// organicindonesianvanilla. blogspot.com/2008/01/pupuk-biologis-trichoderma.html
Rifai MA. 1969. A revition of fhe genus Trichoderma. Micrologycal Paper No 116, 56p.
Robbins BC, Rice JP, Radcliffe JS, Pleasant RS, Kornegay ET. 1999. The effects of Hemicell
® on digestibilities of minerals, energy, and amino acids
in pigs fitted with steered ileo-cecal valve cannulas and fed a low and high protein corn-soybean meal diet. Journal of Animal Science 77:197-198; Suppl. 1.
Schwan R.F. 1998. Cocoa Fermentations Conducted with a Defined Microbial Cocktail Inoculum. Appl. Environ .Microbiol. 64(4): 1477–1483.
Sim, TS, Oh JCS. 1993. Application of Trichoderma reesei Cellulases for Degradation of Lignocellulosic Compounds. Proceeding of Mie Bioforum. Genetic, Biochemistry and Ecology of Lignocellulose Degradation. Uni Publishers Co. Ltd. p. 477-481.
58
Sindu A. 1999. Pemanfaatan limbah kelapa sawit sebagai pakan ternak. Jurnal Sains dan Teknologi 1(3):82-86.
Sinurat AP, Setiadi P, Purwadaria T, Setioko AR, Darma J. 1996. Nilai gizi bungkil kelapa yang difermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum itik jantan. JITV. 1(3): 161-168.
Sinurat AP, Purwadaria, Habibie A, Pasaribu T, Hamid H, Rosida J, Haryati T, Sutikno I. 1998. Nilai gizi bungkil kelapa terfermentasi dalam ransum itik petelur dengan kadar fosfor yang berbeda. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 3(1): 15-21.
Spano LA, Medeiros J, Mandels M. 1975. Enzymatic hydrolysis of cellulosic wastes to glucose. Resource Recovery and Conservation 1:279-294.
Stansbury PF, Whitaker A, Hall SJ. 1997. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press, UK. 374 pages.
Steel RGD, Torrie JH, 1995. Principles and Procedures of Statistics Biometric Approach. 2nd Edn., McGraw-Hill. Jakarta.
Sulaiman. 1988. Studi proses pembuatan protein mikroba dengan ragi amilolitik dan ragi simba pada media padat dengan bahan ubi kayu. Tesis Fakultas Tehnik Pertanian IPB, Bogor.
Supriyati, Haryati T Purwadaria
T, Kompiang IP. 1996. Pengaruh jenis kemasan, suhu ruang dan lama penyimpanan limbah sagu terfermentasi terhadap kualitas nutrisi. Pros. Temu Ilmiah Hasil-hasil Penelitian Peternakan 9-11 Jan. 1996. BPT Bogor. hlm. 311-317.
Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat AP. 1998. Fermentasi bungkil inti sawit secara substrat padat dengan menggunakan Aspergillus niger. JITV 3: 165-170.
Tannenbaum. 1985. Non Photosyntetic Single Cell Protein. In. M. Khiberg, N.S. Scrishaw and D.I.C. Wang. Protein Resources and Technology. Status and Research Needs. The Avi. Publ. Co. Westport Connecticut.
Todar K. 2008. http://www.textbookofbacteriology.net/regulation.html).
Van Soest PJ. 1963. Use of detergent in the analysis of fibrous the determination of fiber acid lignin in forages. J. Assoc. Of Agricultural Chem. 46:829-35.
Veal DA, Lynch JM. 1994. Associative cellulolysis and dinitrogen fixation by co-cultures of Trichoderma harzianum and Clostridium butyricum. Agric. and Food Res. Council Letcombe Laboratory, Wantage, Oxon OX12 9JT, UK. Nature 310, 695 – 697.
59
Well HD. 1986. Trichoderma as Biocontrol Agent. In. K.G. Mukerji and K.L. Garg (ed) Biocontrol of Plant Disease. CRC Pres Inc, Boca Raton Florida.
Wizna H. Abbas, Rizal A, Kompiang IP, Dharma J. 2005. The potential of cellulolytic bacteria Bacillus sp. From forest litter in improving the quality of cassava waste as feed and its applications toward improving the productivity of poultry. HB XII Project research report. Faculty of Animal Husbandry. Andalas University. Padang.
Wizna H. Abbas Y, Rizal A, Dharma J, Kompiang IP, 2008a. Improving the quality of sago pith and rumen content mixture as poultry feed through fermentation by Bacillus amyloliquefaciens. Pakistan Journal of Nutrition 7: 249-254.
Wizna H. Abbas Y, Rizal A, Dharma J, Kompiang IP 2008b. Improving the quality of tapioca by product (onggok) as poultry feed through fermentation by Bacillus amyloliquefaciens. Makalah Seminar Internasional Bioteknologi The 4th Indonesian Biotechnology Conference.
60
LAMPIRAN
61
Lampiran 1. Analisis ragam kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi General Linear Models Procedure Dependent Variable: SK Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 11 17.6241 1.6022 8.16 0.0001 Error 24 4.7123 0.1963 Corrected Total 35 22.3364 R-Square C.V. Root MSE SK Mean 0.789029 3.3297 0.443110 13.3078 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Inkubasi 3 14.0866 4.6955 23.91 0.0001 Mikroba 2 2.1885 1.0942 5.57 0.0103 Inkubasi*Mikroba 6 1.3490 0.2248 1.15 0.3673 Level of Level of --------------SK------------- Inkubasi Mikroba N Mean SD 0 B. amyloliquefaciens 3 14.2667 0.33 (1) 0 T. harzianum 3 14.0400 0.88 0 Koktail mikroba 3 13.9800 0.00 3 B. amyloliquefaciens 3 13.6967 0.08 (2) 3 T. harzianum 3 13.8167 0.04 3 Koktail mikroba 3 13.4233 0.50 5 B. amyloliquefaciens 3 13.1333 0.18 (3) 5 T. harzianum I 3 13.2500 0.41 5 Koktail mikroba 3 12.7933 0.41 7 B. amyloliquefaciens 3 12.8067 0.40 (4) 7 T. harzianum 3 12.8467 0.43 7 Koktail mikroba 3 11.6400 0.72
62
Lampiran 2. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh B. amyloliquefaciens SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 1.00 R Square 0.99 Adjusted R Square 0.99 Standard Error 0.07 Observations 4.00
ANOVA df SS MS F Significance F
Regression 1.00 1.23 1.23 243.62 0.00 Residual 2.00 0.01 0.01
Total 3.00 1.24
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 14.28 0.06 228.25 0.00 14.01 14.55 14.01 14.55 inkubasi (0.21) 0.01 (15.61) 0.00 (0.27) (0.16) (0.27) (0.16) RESIDUAL OUTPUT
Observation Predicted SKBA Residuals
Standard Residuals
1.00 14.28 (0.01) (0.22) 2.00 13.64 0.06 1.04 3.00 13.21 (0.07) (1.29) 4.00 12.78 0.03 0.47
Keterangan: SKBA= Kadar serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens
63
Lampiran 3. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh T. harzianum. SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.97 R Square 0.94 Adjusted R Square 0.91 Standard Error 0.17 Observations 4.00
ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 1.00 0.83 0.83 29.75 0.03 Residual 2.00 0.06 0.03
Total 3.00 0.88
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 14.15 0.15 96.45 0.00 13.52 14.78 13.52 14.78 inkubasi (0.18) 0.03 (5.45) 0.03 (0.31) (0.04) (0.31) (0.04)
RESIDUAL OUTPUT
Observation Predicted SKTRI Residuals 1.00 14 (0) 2.00 14 0 3.00 13 (0) 4.00 13 (0)
Keterangan: SKTRI= Kadar serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T.harzianum
64
Lampiran 4. Analisis regresi kadar serat kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba. SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.96 R Square 0.93 Adjusted R Square 0.89 Standard Error 0.33 Observations 4.00
ANOVA
df SS MS F Significance F Regression 1.00 2.82 2.82 26.42 0.04 Residual 2.00 0.21 0.11
Total 3.00 3.03
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 14.18 0.29 49.28 0.00 12.94 15.42 12.94 15.42 inkubasi (0.32) 0.06 (5.14) 0.04 (0.60) (0.05) (0.60) (0.05)
RESIDUAL OUTPUT
Observation Predicted SKBATRI Residuals 1.00 14.18 (0.19) 2.00 13.20 0.22 3.00 12.55 0.24 4.00 11.91 (0.27)
Keterangan: SKBATRI= Kadar serat kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba
65
Lampiran 5. Analisis ragam kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi General Linear Models Procedure Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 11 211.5266 19.2297 15.91 0.0001 Error 24 29.0125 1.2089 Corrected Total 35 240.5391 R-Square C.V. Root MSE PROTEIN Mean 0.879385 4.3465 1.0995 25.2956 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 2 2.6239 1.3119 1.09 0.3538 Inkubasi 3 194.8707 64.9569 53.73 0.0001 Perlakuan * Inkubasi 6 14.0320 2.3387 1.93 0.1160 General Linear Models Procedure T Grouping Mean N PERLK A 25.6067 12 2 A 25.3317 12 3 A 24.9483 12 1 General Linear Models Procedure T Grouping Mean N Inkubasi A 28.1533 9 7 B 26.8078 9 5 C 24.0189 9 3 D 22.2022 9 0 Level of Level of -----------PROTEIN----------- PERLK Inkubasi N Mean SD B. amyloliquefaciens 0 3 21.9500 0.1015 B. amyloliquefaciens 3 3 23.8133 0.2421 B. amyloliquefaciens 5 3 25.4867 0.7454 B. amyloliquefaciens 7 3 28.5433 0.3044 T. harzianum 0 3 23.0000 0.4232 T. harzianum 3 3 24.1667 0.5950 T. harzianum 5 3 28.0200 0.3404 T. harzianum 7 3 27.2400 2.7302 Koktail mikroba 0 3 21.6567 0.9872 Koktail mikroba 3 3 24.0767 0.3970 Koktail mikroba 5 3 26.9167 1.6485 Koktail mikroba 7 3 28.6767 1.3550
66
Lampiran 6. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh B. amyloliquefaciens. SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.98 R Square 0.95 Adjusted R Square 0.93 Standard Error 0.76 Observations 4.00
ANOVA df SS MS F Significance F
Regression 1.00 22.35 22.35 39.17 0.02 Residual 2.00 1.14 0.57
Total 3.00 23.49
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 21.52 0.67 32.35 0.00 18.66 24.38 18.66 24.38 inkubasi 0.91 0.15 6.26 0.02 0.29 1.54 0.29 1.54
RESIDUAL OUTPUT
Observation Predicted PRBA Residuals 1.00 21.52 0.43 2.00 24.26 (0.45) 3.00 26.09 (0.60) 4.00 27.92 0.62
Keterangan: PRBA= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan B. amyloliquefaciens
67
Lampiran 7. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh T. harzianum. SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.89 R Square 0.79 Adjusted R Square 0.69 Standard Error 1.34 Observations 4.00
ANOVA
df SS MS F
Significance F
Regression 1.0 13.8 13.8 7.6 0.1 Residual 2.0 3.6 1.8
Total 3.0 17.4
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 22.9 1.2 19.4 0.0 17.8 28.0 17.8 28.0 inkubasi 0.7 0.3 2.8 0.1 (0.4) 1.8 (0.4) 1.8
RESIDUAL OUTPUT Observation Predicted PRTRI Residuals
1.00 22.9 0.1 2.00 25.1 (0.9) 3.00 26.5 1.5 4.00 27.9 (0.7)
Keterangan: PRTRI= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan T. harzianum
68
Lampiran 8. Analisis regresi kadar protein kasar bungkil inti sawit terfermentasi oleh koktail mikroba. SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics Multiple R 0.99 R Square 0.99 Adjusted R Square 0.98 Standard Error 0.42 Observations 4.00
ANOVA df SS MS F Significance F
Regression 1.00 28.43 28.43 159.49 0.01 Residual 2.00 0.36 0.18
Total 3.00 28.78
Coefficients
Standard Error t Stat
P-value
Lower 95%
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
Intercept 21.47 0.37 57.73 0.00 19.87 23.07 19.87 23.07 inkubasi 1.03 0.08 12.63 0.01 0.68 1.38 0.68 1.38
Keterangan: PRBATRI= Kadar protein kasar bungkil inti sawit yang difermentasi dengan koktail mikroba
RESIDUAL OUTPUT Observation Predicted PRBATRI Residuals
1.00 21.47 0.19 2.00 24.56 (0.48) 3.00 26.62 0.30 4.00 28.68 (0.01)