Evaluasi Dan Persiapan Preoperatif

44
EVALUASI dan PERSIAPAN PREOPERATIF ANESTESI dan PEMBEDAHAN PENDAHULUAN Perioperatif adalah suatu disiplin ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/ pembedahan (preoperatif), selama anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan. Pemeriksaan rutin pre anestesi, baik atas dasar indikasi sesuai gambaran klinis pasien ataupun tidak, telah menjadi bagian praktek klinik selama bertahun- tahun. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif; menilai penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif; memperkirakan komplikasi pascabedah; sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya; pemeriksaan skrining. Pada akhirnya tujuan utama dari penilaian medis pre operatif adalah untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perioperatif dari pembedahan dan anestesi pada pasien. Penting halnya untuk menyadari bahwa resiko perioperatif adalah multifaktorial dan manfaat dari kondisi medis preoperatif dari pasien, tingkat invasi dari prosedur pembedahan dan tipe anestesi yang diberikan. Riwayat dan pemeriksaan fisis berfokus pada faktor-faktor resiko dari komplikasi kardial dan pulmoner dan serta penentuan kapasitas 1

description

anestesi

Transcript of Evaluasi Dan Persiapan Preoperatif

EVALUASI dan PERSIAPAN PREOPERATIFANESTESI dan PEMBEDAHAN

PENDAHULUANPerioperatif adalah suatu disiplin ilmu kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/ pembedahan (preoperatif), selama anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan. Pemeriksaan rutin pre anestesi, baik atas dasar indikasi sesuai gambaran klinis pasien ataupun tidak, telah menjadi bagian praktek klinik selama bertahun-tahun. Tujuan pemeriksaan tersebut adalah melakukan identifikasi kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif; menilai penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif; memperkirakan komplikasi pascabedah; sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya; pemeriksaan skrining. Pada akhirnya tujuan utama dari penilaian medis pre operatif adalah untuk mengurangi morbiditas serta mortalitas perioperatif dari pembedahan dan anestesi pada pasien. Penting halnya untuk menyadari bahwa resiko perioperatif adalah multifaktorial dan manfaat dari kondisi medis preoperatif dari pasien, tingkat invasi dari prosedur pembedahan dan tipe anestesi yang diberikan. Riwayat dan pemeriksaan fisis berfokus pada faktor-faktor resiko dari komplikasi kardial dan pulmoner dan serta penentuan kapasitas fungsional dari pasien adalah sangat esensial dalam setiap evaluasi preoperatif. Evaluasi mengenai risiko preoperatif berfokus pada dua hal :1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesi ?2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari resiko anestesi dan pembedahan akibat penyakit yang ada ?Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki (misalnya penyakit paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda dan diberikan terapi yang sesuai.Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan mortalitas pasca bedah. Pada studi mortalitas skala besar, umumnya, faktor-faktor yang memberikan kontribusi pada mortalitas anestesi meliputi :1. Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperative2. Supervisi dan pemantauan yang tidak adekuat selama periode intraoperatif3. Penatalaksanaan dan supervisi paska bedah yang tidak adekuatProsedur pembedahan dan anestesi dihubungkan dengan sebuah respon stress kompleks yang sebanding dengan besarnya cedera, total waktu operasi, jumlah darah yang hilang intraoperatif dan derajat nyeri postoperatif. Efek samping metabolik dan hemodinamik dari respon stres ini dapat menimbulkan banyak masalah dalam perioperatif. Mengurangi respon stres pada pembedahan dan trauma adalah faktor kunci untuk meningkat hasil dan mengurangi waktu perawatan di rumah sakit serta tentu saja biaya total perawatan pasien. Sehingga persiapan anestesi umumnya menitikberatkan pada persiapan psikologis/mental pasien yang akan dianestesi dan pemberian obat tertentu sebelum induksi dimulai atau yang biasa disebut sebagai premedikasi. Gunanya adalah membuat pasien bebas dari rasa cemas pra bedah, tersedasi tetapi mudah dibangunkan dan kooperatif. Hal ini cukup berperan dalam menentukan keberhasilan pembiusan dan pembedahan.PEMBAHASANEvaluasi Pra Bedah (Pre-Operatif Visite) adalah semua pemeriksaan (anamnesa, pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi dll) sebelum penderita diberikan anestesi/ dilakukan operasi. Pre-operatif visite dilakukan pada : Operasi elektif (terencana) minimal 1-2 hari sebelum operasi Operasi emergency (darurat) beberapa jam sebelum operasi atau pada saat dikonsulkan oleh dokter bedah (waktu terbatas dan resiko besar)Empat hal penting yang dievaluasi pada pre-op visite :1. Surgical Disease yaitu penyakit yang menyebabkan penderita di operasi2. Internal Disease yaitu penyakit lain yang menyertai surgical disease, misal : penderita hernia dengan penyakit DM 3. Kesulitan pemberian anestesi, misalnya kesulitan intubasi atau kesulitan penyuntikan pada analgesia regional4. Komplikasi anestesi yang mungkin terjadi baik selama dan sesudah operasiAdapun tujuan dari evaluasi pra bedah (pre-op visite) antara lain :I. Pengumpulan Data Pasien1. Data Subjektif : AnamnesisAnamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis :1. Identifikasi pasien , misalnya : nama,umur, alamat, pekerjaan, dll.2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anesthesia, antara lain : Penyakit alergi. Diabetes mellitus Penyakit paru kronik : asma bronchial, pneumonia, bronchitis. Penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis) Penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll) Penyakit hati. Penyakit ginjal. Penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang)3. Riwayat penggunaan obat, hal ini harus diperoleh pada semua pasien terutama populasi geriatri yang yang mengkonsumsi obat-obatan sistemik lebih banyak dibanding kelompok lain. Beberapa interaksi obat dan komplikasi timbul pada populasi ini dan perhatian khusus harus diberikan pada mereka yang termasuk dalam kelompok tersebut. Umumnya, pemberian kebanyakan obat harus dilanjutkan sampai dengan pagi hari sebelum operasi, meskipun dibutuhkan beberapa penyesuaian dosis (misalnya antihipertesi dan insulin). Beberapa jenis obat harus dihentikan sebelum operasi. Inhibitor monamine oxidase harus dihentikan 2-3 minggu sebelum operasi karea resiko dari interaksi dengan obat yang digunakan selama anestesi. Pil kontrasepsi oral harus dihentikan setidaknya 6 minggu sebelum operasi elektif karena resiko trombosis vena. Baru-baru ini, American Society of Anestheseiologist (ASA) meneliti penggunaan suplemen herbal dan potensi bahaya interaksi obat yang mungkin terjadi pada pemakaian produk-produk tersebut sebelum operasi. Penggunaan obat-obatan yang yang mempotensiasi pendarahan harus dievaluasi secara ketat, dengan sebuah analisa resiko-keuntungan pada setiap obat dan dengan batas waktu yang direkomendasikan untuk penghentian penggunaan obat berdasarkan pada karakteristik waktu luruh dan waktu paruh. Aspirin harus dihentikan 7-10 hari sebelum operasi untuk menghindari perdarahan yang berlebihan dan Thienopyridines (seperti : Clopidogrel) 2 minggu sebelum operasi. Selektif cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor tidak mempotensiasi perdarahan dan dapat dilanjutkan sampai waktu operasi. Antikoagulan oral harus dihentikan 4-5 hari sebelum prosedur invasif, sehingga INR dapat mencapai level 1,5 sebelum operasi4. Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai. Beratnya berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik yang mengancam kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya karena intoleransi obat-obatan, . Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan terjadinya respon alergi yang serius., termasuk reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi tanpa tes imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.5. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu , berapa kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplilkasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, serta bagaimana perawatan intensif pasca bedah.6. Riwayat keluarga. seperti riwayat dalam keluarga terdapat hipertermi maligna atau kematian akibat penyakit jantung. Riwayat anestesi yang merugikan atau membahayakan pada keluarga yang lain sebaiknya juga dieveluasi. Wanita pada usia produktif sebaiknya ditanyakan tentang kemungkinan mengandung. Pada kasus yang meragukan , pemeriksaan kehamilan preoperative merupakan suatu indikasi.7. Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti: Perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi karena merangasang batuk , sekresi jalan napas yang banyak, memicu atelektasis dan pneumenia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah. Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat- obat anestesi khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic. Meminum obat-obat penenang atau narkotik.8. Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi)b. Data Objektif : Pemeriksaan FisikPerhatian khusus dilakukan untuk evaluasi jalan napas, jantung, paru-paru dan pemeriksaan neurologik. Jika ingin melaksanakan teknik anestesi regional maka perlu dilakukan pemeriksaan extremitas dan punggung. Pemeriksaan fisik sebaiknya terdiri dari :1. Evaluasi Keadaan Umum Penderita Keadaan fisik meliputi : status gizi (malnutrisi atau obesitas). Keadaan psikis : gelisah, takut, depresi, kesakitan. Tanda-tanda penyakit saluran napas : batuk berdahak, sputum kental atau encer, wheezing dll. Tanda-tanda penyakit jantung : dipsnea, ortopnea, sianosis,clubbing finger, nyeri dada, hipertensi, dll. Kelainan GIT : mual,muntah, diare, hematemesis, melena, ileus, dll. Kelainan Hepatobilier : ikterus obstruktif, hepatitis. Kelainan urogenital : gagal ginjal kronik Kelainan endokrin : diabetes melitus, hipertiroid, dll. Kelainan neuromuskuler : hemiparesis, neuropati, dll.2. Tanda-Tanda Vital Tinggi dan berat badan perlu untuk penentuan dosis obat terapeutik dan pengeluaran urine yang adekuat selama operasi . Tekanan darah sebaiknya diukur dari kedua lengan dan tungkai (perbedaan bermakna mungkin memberikan gambaran mengenai penyakit aorta thoracic atau cabang-cabang besarnya). Denyut nadi pada saat istirahat dicatat ritmenya, perfusinya (berisi) dan jumlah denyutnya. Denyutan ini mungkin lambat pada pasien dengan pemberian beta blok dan cepat pada pasien dengan demam, regurgitasi aorta atau sepsis. Pasien yang cemas dan dehidrasi sering mempunyai denyut nadi yang cepat tetapi lemah. Respirasi diobservasi mengenai frekwensi pernapasannya , dalamnya dan pola pernapasannya selama istirahat. Suhu tubuh (Febris/ hipotermi). Visual Aanalog Scale (VAS). Skala untuk menilai tingkat nyeri3. Kepala dan leher Mata : anemis, ikteric, pupil (ukuran, isokor/anisokor, reflek cahaya) Hidung : polip, septum deviasi, perdarahan Gigi : gigi palsu, gigi goyang, gigi menonjol, lapisan tambahan pada gigi, kelainan ortodontik lainnya Mulut : Lidah pendek/besar, TMJ (buka mulut jari), Pergerakan (baik/kurang baik), sikatrik, fraktur, trismus, dagu kecil Tonsil : ukuran (T1-T3), hiperemis, perdarahan Leher : ukuran (panjang/pendek), sikatrik, masa tumor, pergerakan leher (mobilitas sendi servical) pada fleksi ektensi dan ritasi, TMD, trakea (deviasi), karotik bruit, kelenjar getah bening.4. Thoraksa. Prekordium. Auskultasi jantung mungkin ditemukan murmurs (bising katup), irama gallop atau perikardial rub.b. Paru-paru. Inspeksi : Bentuk dada (Barrel chest, pigeon chest, pectus excavatum, kifosis, skoliosis) Frekuensi (bradipnue/takipnue) Sifat pernafasan (torakal, torako abdominal/abdominal torako), irama pernafasan (reguler/ireguler, cheyne stokes, biot), Sputum (purulen, pink frothy), Kelainan lain (stridor, hoarseness/serak, sindroma pancoas) Palpasi : Premitus (normal, mengeras, melemah) Auskultasi : Bunyi nafas pokok (vesikuler, bronchial, bronkovesikuler, amporik), bunyi nafas tambahan (ronchi kering/ wheezing, ronchi basah/rales, bunyi gesekan pleura, hippocrates succussion) Perkusi : sonor, hipersonor, pekak, redup 5. Abdomen.Peristaltik (kesan normal/meningkat/meenurun), Hati dan limpa (teraba/tidak, batas, ukuran, per-mukaan), distensi, massa atau asites (dapat menjadi predisposisi untuk regurgitasi).6. Urogenitalia.Kateter (terpasang/tidak), urin [volume : cukup (0,5-1 cc/jam), anuria (< 20 cc/24 jam), oliguria (25 cc/jam atau 400 cc/24jam), Poliuria (> 2500 cc/24 jam)], kualitas (BJ, sedimen), tanda tanda sumbatan saluran kemih (seperti kolik renal).7. Muskulo Skletal - Extremitas. Edema tungkai, fraktur, gangguan neurologik /kelemahan otot (parese, paralisis, neuropati perifer, distropi otot), perfusi ke distal (perabaan hangat/dingin, capillary refill time, keringat) , Clubbing fingger, sianosis, anemia, dan deformitas, infeksi kutaneus (terutama rencana canulasi vaskuler atau blok saraf regional)Evaluasi Sistematis Pemeriksaan Fisik1. B1 (Breathe) Frekuensi napas, tipe napas, regularitas, ada tidaknya retraksi, suara napas: vesikuler, ronkhi, wheezing. Keadaan jalan napas, bentuk hidung, lubang hidung, bentuk pipi & dagu, mulut & gigi. Bagaimana keadaan lidah & tonsil Pemeriksaan radiologi (foto thoraks)2. B2 (Blood/Sistem Kardiovaskuler) Nadi (Regularitas, frekuensi, isi nadi) Tekanan darah Perfusi perifer (Hangat,kering, kemerahan) Apakah ada syok, perdarahan Keadaan jantung penderita (murmur, BJ I II) Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan radiologi (foto thorax)3. B3 (Brain/susunan saraf) Apakah penderita takut dan gelisah Tingkat kesadaran penderita (GCS) Apakah ada kelumpuhan saraf Tanda-tanda TIK 4. B4 (Bladder) Produksi urin !! Apakah ada penyumbatan saluran kencing / darah pada kencing Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal Pemeriksaan radiologi5. B5 (Bowel) Apakah ada muntah, diare, kembung, nyeri tekan Bising usus, peristltik usus Flatus Apakah ada cairan bebas di perut (ascites) Meraba hati, lien (Ukuran, konsistensi, permukaan) BNO Pemeriksan laboratorium (liver function test)6. B6 (Bone) Kaku kuduk Patah tulang Bentuk leher Bentuk tubuh (astenicus, atletik, picnic) Kelainan tulang belakang : skoliosis, kifosis, lordosisPemeriksaan Penunjang ( Laboratorium dan Radiologi)Pemeriksaan penunjang pre operatif pada anestesi terbagi atas 2 yaitu : pemeriksaan penunjang rutin dan khusus.1. Pemeriksaan penunjang rutin : Darah rutin (laboratorium) : Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, masa pembekuan, masa perdarahan. Foto toraks (radiologi) : terutama untuk bedah mayor, pasien diatas 60 tahun, atau sesuai klinis (gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru, penyakit jantung) EKG : terutama untuk pasien berumur diatas 40 tahun atau sesuai klinis (Hipertensi, penyakit jantung atau penyakit paru kronik, Diabetes Melitus)

2. Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi, misalnya : Spirometri dan bronkospirometri (faal paru) pada pasien tumor paru. Analisa gas darah, elektrolit pada pasien ileus obstruksi atau bedah mayor. Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan pada pasien dengan rencana dilakukan thorakotomy elektif. Pemeriksaan darah lengkap pada : anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainya, gangguan ginjal dan pasien dalam kemoterapi Ureum, kreatinin, dan elektrolit pada : gangguan/penyakit hati dan ginjal, gangguan metabolik seperti diabetes mellitus, riwayat diare dan muntah, kondisi nutrisi buruk, persiapan usus prabedah, riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretik, antihipertensi, steroid, obat anti diabetes. Gula darah pada : Diabetes mellitus dan penyakit hati berat Analisa gas darah arteri pada : obesitas, pasien dengan gangguan nafas, penyakit paru sedang sampai berat, sakit kritis atau sepsis, bedah toraks Uji fungsi paru pada : bedah toraks, penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasis, penyakit paru retraksi. Uji Fungsi hati pada : penyakit hepatobilier, riwayat peminum alkohol, tumor dengan kemungkinan metastase ke hati Uji fungsi tiroid pada : Riwayat penyakit tiroid, gangguan endokrin seperti tumor hipofise, bedah tiroid Uji fungsi jantung (Echocardiography) pada : penyakit jantung dan kelainan EKG yang bermakna Status SicklePasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan haemoglobinopathy sebaiknya dilakukan pengukuran kadar haemoglobin dan elektroforesis haemoglobin.

Tabel 2. Indikasi untuk pemeriksaan preoperatif spesifikPemeriksaan Tambahan Lainnya1. Penilaian kesulitan intubasi :Terdapat beberapa metode saat ini untuk menilai secara cepat keberhasilan proses intubasi. Satu metode penilaian yang cepat adalah metode LEMON. L: Look externallyMenilai kesulitan jalan napas berdasarkan pengamatan dari luar adalah cara yang tidak sensitive (tidak semua pasien yang memiliki kesulitan jalan napas nampak dari tampilan fisik orang tersebut), tetapi cara ini ternyata cukup spesifik (semua orang yang terlihat memiliki kesulitan jalan napas dari luar, ternyata benar memiliki kesulitan tersebut). Tampakan fisik seperti mandibula yang kecil, lidah besar, dan E: Evaluate the 3-3-2 rulePeluang keberhasilan intubasi meningkat jika pasien mampu untuk memasukkan 3 jarinya secara vertical diantara kedua baris giginya, dapat memposisikan 3 jarinya di antara tulang hyoid dan mentum, dan dapat memposisikan 2 jarinya di antara tulang hyoid dan kartilago thyroid.

Gambar. Evaluasi 3-3-2M: Mallampati ClassificationSkor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang digunakan di bidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses pembedahan. Hasil : menentukan tingkat yang dibedakan dari I sampai IV. Kelas I mengindikasikan seorang pasien yang seharusnya lebih mudah diintubasi (tingkat tertinggi) sedang kelas IV ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi (komplikasi).Klasifikasi Mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari rongga mulut. Tes untuk membentuk skor Mallampati dilakukan dengan pasien dalam posisi duduk tegak, dengan kepala terangkat dalam posisi netral. Pasien memegang mulutnya terbuka lebar dan meluaskan lidah, memeriksa visibilitas dari struktur faring.

Skor Kelas I Mallampati diberikan jika palatum molle, amandel anterior dan posterior pila dan seluruh uvula (potongan jaringan lunak yang menggantung dari atap mulut dekat bagian belakang lidah) yang mudah terlihat. Skor Kelas II diberikan jika palatum molle, amandel, dan sebagian besar uvula dapat dilihat. Dalam kasus di mana hanya palatum molle dan uvula dasar terlihat, pasien diberikan rating Kelas III. Skor Kelas IV Mallampati diperuntukkan bagi mereka kasus di mana palatum molle tidak terlihat sama sekali. Pasien yang memiliki hasil kelas III atau Kelas IV cenderung sulit untuk intubasi, dan persiapan lainnya harus dibuat untuk manajemen jalan nafas alternatif, seperti penggunaan masker respirator. Grade 1 : Tampak pilar faring, palatum molle dan uvula Grade 2 : Tampak hanya palatum molle dan uvula Grade 3 : Tampak hanya palatum molle Grade 4 : Palatum molle tidak tampakGrade 3 dan 4 diperkirakan akan menyulitkan intubasi trakeaPenilaian skor Mallampati idealnya dinilai saat pasien membuka mulutnya dan lidah dijulurkan keluar. Penilaian ini sulit dilakukan pada pasien yang akan diintubasi dalam kondisi emergensi. O: ObstructionObstruksi pada jalan napas atas adalah tanda kesulitan jalan napas. Tiga tanda adanya kesulitan menelan sekret, stridor, dan suara meredam. N: Neck mobilityKesulitan untuk menggerakkan leher berdampak terhadap visualisasi glottis saat laringoskopi. Leher masih bisa bergerak secara normal walaupun memakai C-collar pada imobilisasi servikal, begitu juga pada kasus-kasus medis lain seperti spondilitis ankilosing atau arthritis rheumatoid. Metode lainnya dari penilaian kesulitan intubasi adalah dengan evaluasi 8 T.

Cek 8 T T1 = teeth = gigiApakah gigi atas goyang atau menonjol, atau ada tidaknya gigi palsu T2 = Tongue = lidahApakah lidah besar? Karena lidah yang besar menyulitkan intubasi T3 = temporomandibular joint =TMJApakah kaku sehingga terjadi trismus? Jika sulit membuka mulut lebih dari 2 jari prediksi kesulitan intubasi T4 = tonsilApakah ada hipertrofi tonsil yang dapat menyulitkan jalan napas. T5 = torticolisApakah ada torticolis yang akan menyulitkan dalam fleksi dan ekstensi kepala. T6 = Thyroid notchApakah jarak antara tiroid dan simfisis mandibula < 3 jari dengan ekstensi kepala yang maksimal, jika < 3 jari akan menyulitkan intubasi T7 = trakeaApakah trakea mengalami deviasi, yang biasanya disebabkan karena adanya tumor di leher. T8 = tumorApakah ada tumor atau polip dalam faring atau laring.2. Tes-tes yang tidak memerlukan peralatanTes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fugsi pernafasan dan terkadang direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana yang dapat dilakukan dalam klinik adalah : Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30 detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15 detik mengidentifikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi. Tes snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inchi dari depan mulut.Ketidakmampuan melakukan tes snidert mengindikasikan forced ekspiratory volume dalam satu detik kurang dari satu liter.II. Menentukan Masalah yang AdaLangkah selanjutnya adalah menentukan masalah berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan. Masalah Medis : asma bronchiale, DM, infark miokard, syok, peningkatan TIK, hipertensi, gangguan hati atau gangguan fungsi ginjal. Masalah Bedah : tumor besar yang dapat menyebabkan banyak perdarahan durante operasi, operator, lokasi operasi. Masalah Anestesi : kesulitan intubasi karena leher pendek, pasien obese, atau dengan gigi ompong dan adanya penyakit penyerta.III. Meramalkan Penyulit yang Mungkin Terjadi (Penilaian resiko perioperatif) dan Mempersiapkan PenanganannyaResiko perioperatif dapat dinilai dari evaluasi kondisi medis preoparatif dari pasien, invasifitas dari prosedur operasi dan jenis anestesi yang diberikan. Sistem penilaian ASA awalnya diperkenalkan sebagai gambaran singkat dari status fisik pasien. Meskipun tampaknya sederhana, namun sistem penilaian ini tetaplah salah satu gambaran prospektif dari keadaan umum pasien yang berkorelasi dengan resiko anestesi dan pembedahan. Hal ini sangat berguna untuk diterapkan pada semua pasien yang akan menjalani operasi. Peningkatan status fisik dikaitkan dengan peningkatan mortalitas. Operasi emergensi meningkatkan resiko secara dramatis terutama pada pasien di ASA kelas 4 dan 5.Komplikasi bedah seringkali terjadi. Dari dokumentasi sebuah studi luas menyatakan setidaknya satu komplikasi pada 17% dari pasien bedah. Morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan operasi umumnya terbagi pada tiga kategori : kardial, respiratori,dan komplikasi infeksi. Resiko keselruhan dari komplikasi yang berkaitan dengan operasi bedah tergantung pada faktor individual dan jenis prosedur pembedahan. Misalnya, usia lanjut menempatkan pasien pada peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas bedah. Alasan untuk peningkatan yang berhubungan dengan usia pada komplikasi bedah tampaknya bekorelasi dengan kemungkinan penyakit yang mendasari pada pasien yang lebih tua tersebut. Penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan meningkatnya resiko komplikasi bedah termasuk penyakit respiratori dan kardial, malnutri dan diabetes mellitus.Penilaian Resiko KardiovaskulerACC (American College of Cardiology) dan American Heart Association (AHA) meneribitkan sebuah pedoman acuan Guidelines For Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery. Tujuannya adalah menyediakan kerangka kerja untuk mempertimbangkan resiko kardiak dari operasi noncardiac pada berbagai pasien dan situasi operasi.

Tabel 3. Patient-Related Predictor for Risk of Perioperative Cardiac Complication

Tabel 4. Surgery-Related Predictors for Risk of Perioperative Cardiac Complications

Faktor resiko pasien biasanya dibagi menjadi tiga kategori : mayor, intermediat dan minor. Periode 6 minggu diperlukan oleh myocardium untuk sembuh setelah terjadinya infark dan perbaikan pada trombosis. Pasien dengan revaskularisasi koroner yang berlangsung selama 40 hari juga diklasifikasikan sebagai pasien beresiko tinggi. Karena stimulasi simpatis dan hiperkoabilitas selama dan sesudah operasi, pasien dengan predisposisi mayor memiliki lima kali resiko perioperatif lebih besar. Hanya prosedur bedah yang penting atau emergensi yang dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien dengan kondisi tersebut. Semua operasi elektif harus ditunda dan pasien diperiksa serta diterapi dengan lebih teliti.Faktor resiko intermediet adalah bukti kuat dari adanya penyakit arteri koroner tapi terkontrol. Diabetes mellitus termasuk dalam kategori ini karena sering dikaitkan dengan silent iskemia dan merupakan faktor resiko independen untuk mortalitas perioperatif.Faktor resiko minor adalah penanda peningkatan probabilitas penyakit arteri koroner, tetapi tidak meningkatkan resiko perioperatif. Toleransi latihan adalah penentu utama dari resiko perioperatif. Hal ini biasanya dievaluasi dengan estimasi kebutuhan energi untuk berbagai kegiatan dan dinilai dengan metabolic equivalent (MET) pada skala yang ditetapkan oleh Duke Activity Status Index. Satu MET merupakan konsumsi oksigen dari orang dewasa pada saat istirahat (3,5 ml/kg/min)

Table 5. Examples of Functional Capacity

Riwayat Infark MiokardBeberapa hasil studi secara umum menyatakan bahwa infark miokard dalam waktu 6 bulan dari operasi yang direncakanan merupakan sebuah kontraindikasi dari anestesi elektif dan pembedahan. Tampaknya sekarang resiko setelah infark sebelumnya memiliki hubungan lebih kurang dengan umur dari infark dibandingkan dengan status fungsional dari ventrikel dan ukuran miokardium pada resiko iskemia lebih lanjut. Sebuah infark kecil tanpa angina residual dalam konteks status fungsional yang baik memungkinkan operasi non-cardiac penting secepatnya 6 minggu setelah episode iskemik. Sebaliknya, pasien dengan infark besar, gejala residual dan fraksi ejeksi < 0,35 memiliki probabilitas tinggi mengarah pada kelainan jantung lebih lanjut., bahkan 6 bulan setelah infark terjadi. Pedoman praktek biasa mempertimbangkan periode dalam waktu 6 minggu dari proses infark sebagai sebuah waktu dari resiko tinggi untuk perioperatif masalah cardiac, sebab periode tersebut adalah waktu penyembuhan rata-rata dari lesi terkait infark. Masa waktu dari 6 minggu hingga 3 bulan adalah resiko intermediet; periode ini akan memanjang sebanyak 3 bulan lagi pada kasus dengan komplikasi seperti aritmia, disfungsi ventricular atau terapi medis berkelanjutan. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi, tidak ada manfaat yang ditunjukkan pada penundaan operasi lebih dari 3 bulan setelah sebuah serangan iskemik.Data terbaru menunjukkan bahwa setiap masalah pada sirkulasi koroner, (iskemia, infark atau revaskularisasi) mengawali sebuah resiko tinggi pada periode 6 minggu dan resiko intermediet pada periode 3 bulan. Sebuah penundaan minimal 3 bulan diindikasi sebelum melakukan operasi non-cardiac setelah terjadi infark miokar atau revaskularisasi. Namun, penundaan ini dapat saja terlalu lama jika sebuah prosedur pembedahan urgen dibutuhkan, seperti misalanya pada tumor yang menyebar dengan cepat, impending ruptur aneurisma, infeksi yang membutuhkan drainase atau fraktur tulang. Pada situasiseperti ini, studi terbaru telah menunjukkan manfaat nyata dari operasi dengan menggunakan proteksi 1-adrenergic antagonis, yang mengurangi tingkat komplikasi cardiac dari pasien tersebut. Bila mungkin, beta-blocker harus dimulai beberapa hari atau beberapa minggu sebelum operasi elektif dengan target heart rate antara 50 sampa 60 denyut per menit. Keadaan-keadaan apa yang didefinisikan sebagai komplikasi cardiac perioperatif ?Infark miokard, edema paru, fibrilasi ventrikel, cardiac arrest primer atau heart block komplet didefinisikan sebagai komplikasi cardiac perioperatif mayor. Perioperatif infark miokard : biasanya menyajikan atypically (tanpa nyeri dada), terjadi dalam 2 hari pertama operasi dan menimbulkan mortalitas yang tinggi. Tingkat dari infak miokard postoperatif adalah 0,7% setelah operasi umum pada populasi laki-laki di atas 50 tahun tetapi meningkat menjadi 3,1% setelah operasi vaskuler dimana prevalensi dari penyakit arteri koroner asymptomatic sangat tinggi. Saat infark miokard terjadi, tingkat mortalitas menetap pada 40% hingga 70%. Pedoman Evaluasi Kardiovaskuler Perioperatif pada Operasi Noncardiac dari ACC/AHA menawarkan rekomendasi pada pasien yang mengalami infark miokard perioperatif. Hal ini termasuk pertimbangan pada angioplasti, aspirin, beta-blockade dan kemungkinan ACE inhibitor terapi.Evaluasi Resiko PulmonerAnamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat adalah bagian paling penting dari penilaian resiko pulmoner preoperatif. Peran dari pengujian fungsi pulmoner preoperatif masih belum jelas. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa spirometri dapat mengidentifikasi sebuah grup resiko tinggi yang tidak dapat diprediksi lewat anamnesis dan pemeriksaan fisis. Spirometri mungkin dapat berguna ketika ada ketidakpastian tentang terjadinya gangguan dari paru-paru. Spirometri harus digunakan secara selektif sebab informasi yang tersedia akan mengubah metode penanganan atau menaikkan tingkat resiko.Komplikasi pulmoner post operatif seperti pneumonia, atelektasis, bronkitis, bronkospasme, hipoksemia, gagal napas dengan ventilasi mekanik yang berkepanjangan atau eksaserbasi dari penyakit paru-paru kronis yang mendasarinya, meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang durasi lama perawatan di rumah sakit setelah pembedahan. Komplikasi pulmoner pasca operasi terjadi sekitar 20-30 % dari pasien bedah non thoracic mayor.Faktor-faktor resiko terjadinya komplikasi pulmoner post operasi meliputi : Faktor resiko terkait prosedur, terutama didasarkan pada seberapa dekat tindakan operasi dengan letak diafragma (operasi pada abdominal bagian atas dan thorax adalah prosedur dengan resiko tertinggi) Lama operasi (>3 jam) dan anestesi umum (vs epidural atau spinal) Operasi emergensi Penyakit paru kronis yang mendasari dan gejala infeksi saluran napas Merokok Usia >60 tahun Obesitas Adanya apnea obstruktif tidur Toleransi latihan atau status kesehatan umum yang buruk Yang paling signifikan dari faktor-faktor resiko ini adalah letak dari pembedahan, dengan operasi abdominal dan thoracic memiliki tingkat komplikasi pulmoner 10 hingga 40 %. Sebagai aturan, semakin dekat operasi dari diafragma maka semakin tinggi resiko komplikasi pulmoner. Faktor resiko paling penting yang dapat termodifikasi adalah merokok. Resiko yang berhubungan dengan komplikasi pulmoner di kalangan perokok dibandingkan dengan bukan perokok berkisar antara 1,4 sampai 4,3. Sayangnya, resiko dapat menurun hanya bila penghentian merokok untuk kepentingan preoperatif telah dilakukan selama delapan minggu. Interval tersebut memungkinkan mekanisme transportasi mukosiliar untuk memulih, sekresi berkurang dan level karbonmonoksida dalam darah menurun.Adanya penyakit pulmoner baik obstruktif ataupun restriktif menempatkan pasien pada peningkatan resiko dari komplikasi pulmoner perioperatif. Apabila penyakit pulmoner signifikan dicurigai melalu anamnesis atau pemeriksaan fisis, penentuan dari kapasitas fungsional, respon terhadap bronchodilator dan atau evaluasi untuk adanya retensi karbondioksida maka dapat dilakukan analisis gas darah arterial.Untuk anestesi dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat asma, status asmaticus harus terkontron dan pasien bebas dari wheezing (mengi) dengan peak flow lebih besar 80% dari prediksi. Jika perlu, pasien harus menerima terapi singkat steroid (60 mg prednison per hari atau yang setara) sebelum operasi untuk mencapai target tersebut di atas. Jika pasien berobat secara rutin dan teratur, pengobatan tidak boleh dihentikan. Setiap pasien yang sebelumnya telah dirawat di rumah sakit dengan serangan asma harus dievaluasi dengan hati-hati dan teliti sebab reaktivitas saluran napas berlangsung selama beberapa minggu setelah episode asmaticus.Meningkatnya frekuensi dari komplikasi pulmoner perioperatif pada pasien dengan penyakit pulmoner obstruktif (PPOK) dapat dijelaskan lewat co-morbiditas (misalnya penyakit jantung) bukan dengan obstruksi jalan napas. Pasien dengan PPOK mungkin memiliki kelelahan otot-otot pernapasan kronis, nutrisi terganggu, gangguan elektrolit dan endokrin dapat berkontribusi pada kelemahan otot pernapasan dan harus dikoreksi sebelum operasi. Pasien dengan PPOK harus dievaluasi untuk mengantisipasi cor pulmonale, bila ada harus diterapi sebelum pembedahan. Umumnya, semua pasien dengan PPOK/asma yang membutuhkan terapi oksigen di rumah atau memerlukan rawat inap akibat masalah-masalah respiratoris dalam 6 bulan terakhir diasumsikan berada pada kategori resiko yang lebih besar.Pasien dengan obstruktif sleep apnea (OSA) rentan terhadap hipoksemia post operatif sesaat setelah menerima anestesi umum. Efek sedatif dan depresi saluran napas dari anestesi umum menempatkan pasien dengan OSA pada peningkatan resiko yang signifikan terhadap obstruksi jalan napas dan gangguan respiratoris selama periode perioperatif. Adalah bijak untuk mendiagnosa OSA pada preoperatif dengan penanganan khusus yang tepat.Diabetes MellitusMorbiditas dan mortalitas perioperatif lebih besar pada pasien diabetik dibandingkan non-diabetik. Ketika seorang pasien diabetik memerlukan operasi, penting untuk diingat bahwa dia lebih cenderung dirugikan oleh pengabaian dari komplikasi jangka panjang diabetes dibandingkan dari kelalaian kontrol jangka pendek level glukosa darah. Mayoritas penderita diabetes lama mengalami compromise pada satu atau beberapa organ. Pasien diabetik yang memerlukan operasi elektif harus dievaluasi pre operatif secara hati-hati terutama tentang tanda dan gejala vaskuler perifer, cerebrovaskuler dan penyakit koroner. Keadaan-keadaan patologis penyerta harus diidentifikasi dan membutuhkan penanganan perioperatif yang lebih hati-hati.Penderita diabetes memiliki insidensi kematian setelah terjadinya infark miokard lebih tinggi dibandingkan non-diabetes. Iskemia miokardial atau proses infark mungkin saja secara klinis silent jika penderita diabetes tersebut memiliki neuropati autonom. Oleh karena itu, indeks kecurigaan yang tinggi untuk iskemia miokard atau infark harus dipertahankan selama periode perioperatif jika terjadi keadaan-keadaan seperti hipotensi, disritmia, hipoksemia dan perubahan EKG yang tidak daapt dijelaskan. Delapan hingga 31% dari diabetes tipe 2 dilaporkan memiliki penyakit arteri koroner asimptomatik pada pemeriksaan. Pemberian beta-blocker perioperatif harus dipertimbangkan pada pasien diabetes dengan penyakit arteri koroner untuk mengurangi resko iskemia perioperatif. Meskipun kontroversi sebelumnya mengenai penggunaan beta blockade pada pasien diabetes (karena kekhawatiran intoleransi glukosa memburuk dan masking symptom dari hipoglikemia), ditekankan bahwa pada pasien diabetik memiliki keuntungan sama atau lebih banyak dibanding populasi non diabetik pada pemberian beta-blocker post-MI.Kontrol yang memadai dari konsentrasi glukosa darah (< 180 mg/dL) harus dicapai sebelum operasi dan dipertahankan sampai pasien dibolehkan makan setelah operasi. Agen hipoglikemik oral dihentikan pemberiannya pada hari operasi untuk agen dengan waktu paruh singkat dan dihentikan lebih dari 48 jam preoperatif untuk agen dengan waktu kerja panjang seperti Chlorpramide. Kombinasi dari glukosa dan insulin adalah metode paling memuaskan untuk mengatasi konsekuensi metabolik yang merusak dari kelaparan dan stress pembedahan pada pasien diabetik. Umumnya, tidak diperlukan infus insulin pada penderita diabetes dengan diet terkontrol terlepas dari jenis operasinya atau penderita diabetes yang menjalani terapi agen oral dan sedang menjalani operasi minor.Komplikasi hiperglikemia perioperatif termasuk dehidrasi, gangguan penyembuhan luka, penghambatan fungsi (berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi) dan kemotaksis sel darah, gangguan SSP dan cedera tulang belakang dalam kondisi iskemik atau hipoksia da hiperosmolaritas menyebabkan hiperviskositas dan trombogenesis. Level glukosa > 180 mg/dL (10 mmol/L) menyebabkan diuresis osmotik, glikosuria dapat mengakibatkan dehidrasi dan peningkatan resiko infeksi saluran kencing. Sebagai aturan umum pada pasien dengan berat badan 70 kg, 1 unit/jam dari insulin reguler menurunkan kadar glukosa sekitar 2530mg/dL (1,5 mmol/L).Hipoglikemia (glukosa < 50 mg/dL / 2,8 mmol/L pada dewasa dan < 40 mg/dL/2,2 mmol/L pada anak-anak) dapat memburuk pada periode post operatif karena efek residual dari agen hipoglikemik oral long-acting atau preparat insulin yang diberikan preoperatif, selain juga efek dari puasa preoperatif. Penemuan kasus hipoglikemia selama perioperatif mungkin saja terlambat karena efek agen anestesi, analgesik, sedatif dan simpatolitik dapat mengubah gejala yang biasanya timbul pada keadaan hipoglikemia. Selain itu, penderita diabetes dengan neuropati otonom dapat mengaburkan gejala adrenergic yang biasanya terkait dengan hipoglikemia. Gejala-gejala ini umumnya diawali dengan konfusi, iritabilitas, sakit kepala dan somnolen serta dapat berkembang menjadi kejang, defisit neurologis fokal, koma hingga kematian.

Manajemen Perioperatif pada Pasien AntikoagulasiDalam melakukan operasi noncardiac pada pasien dengan riwayat terapi jangka panjang antikoagulan oral, perhatian utama adalah kapan waktu yang aman untuk melakukan operasi tanpa meningkatkan resiko perdarahan atau meningkatkan resiko tromboemboli (vena, arteri) setelah menghentikan terapi antikoagulan oral. Tidak ada kesepakatan tentang bagaimana penatalaksanaan perioperatif pada pasien dengan terapi antikoagulan. Di bawah ini ada beberapa rekomendasi bermanfaat yang dapat digunakan bersama dengan penilaian klinis dengan tujuan memberi solusi pada masing-masing pasien.1. Sebagian besar pasien dapat menjalani pencabutan gigi, arthrocentesis, biopsi, operasi mata dan endoskopi diagnostik tidak mengalami perubahan dari regimen mereka. Untuk prosedur invasif dan bedah lainnya, antikoagulan oral perlu dihentikan dan keputusan apakah menggunakan heparin intravenous (IV) atau subcutaneous (SC) low-molecular-weight heparin (LMWH) adalah tergantung masing-masing individu.2. Operasi invasif umumnya aman (dari komplikasi hemoragik besar) ketika INR~ 1,5.3. Diperlukan waktu sekitar 4 hari bagi INR untuk mencapai 1,5 saat antikoagulan oral dihentikan preoperatif.4. Diperlukan waktu sekitar 3 hari bagi INR untuk mencapai 2,0 saat antikoagulan oral diberikan kembali post operatif5. Jika antikoagulan oral diberikan 4 hari pre-op dan dimulai secepatnya post-op, maka pasien berada pada waktu rata-rata, tanpa antikoagulan selama 2 hari (24 jam pre-op dan 24 jam post-op)Rekomendasi Penanganan1. Jika INR pre-op adalah 2-3, hentikan antikoagulan oral 4 hari sebelum operasi (atau lebih lama jika INR >3,0)2. Ukur INR satu hari sebelum operasi ; jika > 1,7, berikan 1 mg vitamin K sub cutaneus (SC)3. Jika pada hari operasi INR adalah 1,3-1,7 maka berikan 1 unit fresh frozen plasma dan siapkan 2 unit jika INR 1,7-2,0 .4. Pendekatan berikut dapat digunakan : berikan antikoagulan dosis penuh dengan unfractioned heparin (UFH) secara IV ; berikan antikogulan dosis penuh bersama LMWH atau berikan UFH atau LMWH dosis profilaksis.Anestesi Regional pada Pasien dengan Riwayat Penggunaan AntikoagulanAnestesi regional telah menjadi tehnik anestei pilihan untuk banyak prosedur pembedahan. Namun, antusiasme dalam memilih anestesi regional dirusak olek ketakukan pada hematoma spinal ataupun hematoma epidural. Ketakutan ini muncul karena pasien yang ada untuk prosedur dimana tehnik regional akan lebih bermanfaat seringkali memiliki gangguan pada sistem hemostatik mereka (misalnya pasien hamil dengan pre eklamsia dan trombositopenia, pasien ortopedi yang menerima tromboprofilaksis atau pasien bedah vaskuler yang seringkali dalam status ter-antikoagulasi intraoperatif).Anestesi regional dapat dilakukan dengan aman pada pasien yang menerima terapi antikoagulan atau anti platelet asalkan penatalaksanaan pasien didasarkan pada timing yang tepat dari penempatan jarum dan pelepasan kateter relatif pada timing dari pemberian obat antikoagulan. Status koagulan pasien harus dioptimalkan pada saat insersi penempatan jarum/kateter spinal atau epidural dan level dari antikoagulasi harus dimonitor secara seksama selama periode kateterisasi epidural. Kateter boleh dilepas dengan adanya terapi antikoagulasi, karena hal ini tampaknya secara signifikan meningkatkan resiko hematoma tulang belakang. Kewaspadaan dalam pemantauan sangat penting untuk memungkinkan evaluasi awal disfungsi neurologis dan intervensi yang cepat.Pasien yang Menerima Terapi TrombolitikPasien yang menerima obat fibrinolitik/trombolitik beresiko mengalami perdarahan yang serius.1. Obat-obatan trombolitik harus dihindari selama 10 hari setelah pungsi lumbal, anestesi spinal/epidural atau injeksi steroid epidural.2. Anestesi spinal atau epidural adalah kontraindikasi pada pasien yang menerima obat fibrinolitik dan trombolitik. Data tidak tersedia untuk secara jelas menguraikan panjang waktu neuraksial pungsi yang harus dihindari setelah penghentian jenis obat ini.

Pasien yang Menerima Unfractionated Heparin (UFH)1. Pemantauan terapi antikoagulasi dari pasien yang menerima UFH dicapai melalui evaluasi nilai aPTT (activated Partial Thromboplastin Time). Nilai normal dari aPTT berkisar dari 24 sampai 35 detik.2. Pada penggunaan profilaksis mini-dose subcutaneous (5000 unit 2 jam sebelum operasi) tidak ada kontra indikasi untuk penggunaan spinal/epidural anestesi.3. Ketika antikoagulasi intraoperatif dengan heparin selama operasi vaskuler yang dikombinasikan dengan tehnik neuraxial maka peringatan di bawah ini sangatlah penting : Tehnik harus dihindari pada pasien-pasien dengan koagulopati lainnya Pemberian heparin harus ditunda 1 jam setelah penempatan jarum Kateter epidural harus dilepaskan 2-4 jam setelah dosis terakhir heparin, sementara reheparinisasi harus terjadi 1 jam setelah pelepasan kateter.4. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang mempengaruhi komponen lain dari mekanisme pembekuan (obat antiplatelet, LMWH dan antikoagulan oral) dapat meningkatkan resiko komplikasi perdarahan pada pasien yang menerima hepari standar.Pasien Menerima LMWH (Low Molecular Weight Heparin)Di Amerika Serikat (AS) regimen dosis profilaksis biasa untuk pasca pembedahan deep vein thrombosis (DVT) adalah 30 mg SC, setiap 12 jam, dengan dosis awal diberikan 12-24 jam postoperatif. Protokon dosis enoxaparin Eropa terdiri dari 40 mg SC/hari. Namun, regimen Eropa dihubungkan dengan insidensi yang jauh lebih rendah dari formasi epidural hematoma.1. Profilaksis LMWH dengan regimen eropa (40 mg enoxaparin setiap harinya) tampaknya tidak meningkatkan resiko perdarahan spinal, memberi interval minimal 10-12 jam selisih waktu antara pemberian obat dan pungsi (penusukan).2. Dosis berikut LMWH tidak boleh diberikan kurang dari 4 jam setelah pungsi.3. Kateter spinal atau epidural tidak boleh dilepas hingga paling tidak 12 jam setelah dosis akhir dari LMWH. Dosis lanjutan LMWH diberikan setidaknya 2 jam setelah pelepasan kateter.4. Pemberian terapi Antiplatelet atau antikoagulan oral pada kombinasi dengan LMWH dan interaksi dari LMWH dengan dextran dapat meningkatkan resiko dari formati spinal hematoma.5. Pada pasien yang dijadwalkan untuk blok spinal atau epidural, profilaksis tromboemboli dengan LMWH seharusnya dimulai pada malam hari sebelum operasi dan dilanjutkan pada malam hari operasi. Dosis ini memiliki efek tromboemboli yang sama dengan memulai pada pagi hari operasi.6. Jika ada yang memilih untuk menggunakan dosis dua kali sehari sesuai protokol AS (30 mg setiap 12 jam), dosis pertama LMWH harus diberikan tidak lebih cepat dari 24 jam pasca operasi, terlepas dari tehnik anestesi dan hanya dengan syarat adanya hemostatis yang adekuat.Pasien Menerima Antikoagulan Oral (Antagonis Vitamin K)1. Blok spinal atau epidural merupakan kontraindikasi pada pasien yang sepenuhnya ter-antikoagulasi dengan antagonis vitamin K seperti warfarin atau acenocumarol (Sintrom)2. Jika bedah IV. Menentukan Status Fisik PasienDari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang ada kemudian ditentukan status fisik pasien dan prognosis/resiko terhadap anestesi. Pada kesimpulan evaluasi pre anestesi setiap pasien ditentukan kalsifikasi status fisik menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut : ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi. ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi ringan ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan.Untuk operasi darurat, di belakang angka diberi huruf E (emergency) atau D (darurat), misal : operasi apendiks diberi kode ASA 1 EV. Menentukan Obat dan Tehnik AnestesiBerdasarkan data-data pra bedah yang diperoleh, masalah yang ditemukan, jenis operasi dan status fisik pasien kemudian ditentukan jenis tehnik anestesi dan obat anestesi yang akan digunakan.Anestesi Umum : Anestesi Inhalasi : 1. Gaseous anesthetic : nitrous oxide, cyclopropan2. Cyclopropane anesthetic : Halogenated (Halotan, enflurane, isoflurane, sevoflurane, desflurane) dan Non halogenated (ether, chloroform) Anestesi Intravena : Barbiturat, Benzodiazepin, Ketamne HCl, Propofol.Anestesi Regional : Nerve block Spinal atau intratechal injeksi Epidural CaudalAnestesi Lokal : Topikal Infiltrasi lokalPada anestesi regional dan lokal, obat-obatan yang biasa digunakan antara lain : Esters : Cocaine, procaine, chloroprocaine, tetracaine Amides : Lidocaine, bupivacaine, mepivacaine, dibucaine, prilocaine, etidocaine.VI. Menentukan premedikasiSetelah evaluasi prabedah selesai, langkah berikutnya adalah menentukan macam obat premedikasi yang akan digunakan (premedikasi dalam arti sempit).Cara Pemberian : Intravena (iv) 5-10 menit sebelum anestesi/operasi Intramuskuler (im) - 1 jam sebelum anestesi/operasi Peroral malam sebelum operasi

Tujuan pemberian obat premedikasi : Menghilangkan kecemasan Mendapatkan sedasi Mendapatkan analgesi Mendapatkan amnesi Mendapatkan efek antisialogoquePada keadaan tertentu juga : Menaikkan pH cairan lambung Mengurangi volume cairan lambung Mencegah terjadinya reaksi alergiJenis premedikasi yang umum digunakan antara lain : Memberikan ketenangan Sedatif Sebagai analgetik Narkotikanalgetik Sebagai amnestik Diazepam, tiosin Mengurangi sekresi saluran pernapasan Sulfas atropin, tiosin Menurunkan pH dan produksi saluran cerna antasida, ranitidin Mencegah refleks vagal Sulfas Atropin Mencegah reaksi alergi Antihistamin,kortikosteroid Memudahkan induksi Pethidin, morfin Mengurangi dosis dan hasil ikutan anestesi Narkotik-hipnotik Mencegah mual muntah Metoklopropamid, ondancentron, dllVII. Informed ConsentEdukasi pasien secara singkat tentang jenis operasi dan rencana anestesi yang akan digunakan, manajemen intraoperatif dan penanganan nyeri post operatif dengan harapan mengurangi kecemasan pasien dan membangun hubungan timbal balik dokter-pasien kemudian meminta persetujuan prosedur anestesi.

27