Evaluasi atas Implementasi Whistleblowing System sebagai ...
Transcript of Evaluasi atas Implementasi Whistleblowing System sebagai ...
Evaluasi atas Implementasi Whistleblowing System sebagai Mekanisme Penerapan Good Public Governance:
Studi Kasus di Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2012
Gita Lastika dan Purwatiningsih
Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya No.4, Jakarta, 10430, Indonesia
Abstrak
Dalam APBN-P 2013, penerimaan pajak ditargetkan mencapai sekitar 76% dari penerimaan negara, sehingga peran Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadi penting. DJP harus selalu melakukan perbaikan diantaranya dilakukan dengan reformasi birokrasi dan menerapkan prinsip-prinsip Good Public Governance. Langkah nyata DJP adalah dengan kebijakan Whistleblowing System (WBS) pada Tahun 2012. Penelitian dilakukan untuk mengetahui bagaimana kebijakan dan penerapan WBS di DJP melalui metode kualitatif dengan memanfaatkan data primer (wawancara) dan data sekunder dari DJP serta sumber lainnya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hampir seluruh aspek kebijakan telah sesuai dengan pedoman dan literatur. Pelaksanaannya berjalan cukup baik, tetapi beberapa kendala masih terjadi seperti pemahaman atas Whistleblowing System yang belum merata dan kurang optimalnya sarana pengaduan. Oleh karena itu sosialisasi kepada pegawai dan Wajib Pajak serta penanganan dan tindak lanjut yang nyata dan efektif menjadi kunci atas penyelesaian kendala tersebut.
The Evaluation of Whistleblowing System Implementation as Good Public Governance Mechanism: Case Study in Directorate General of Taxes Year 2012
Abstract
In the year of 2013 State Budget-Revised, tax revenue is expected to reach approximately 76% of state revenues, so the role of the Directorate General of Taxes (DGT) becomes important. DGT needs to make continuous improvements which can be done through bureaucracy reform and applying the principles of Good Public Governance. DGT established Whistleblowing System (WBS) policy in the year 2012. The study was conducted to determine how the policy and the application of the WBS in the DGT through a qualitative method utilizing primary data (interviews) and secondary data from the DGT and other sources. The research concluded that almost all aspects of the policy has been in accordance with the guidelines and literature. Implementation went pretty well, but some obstacles still occur like the understanding of whistleblowing system which is not evenly distributed yet and the channel of complaint which is not quite optimal. Therefore socialization to employees and taxpayers as well as complaint management and effective follow-up are the key to handle the obstacles.
Keywords: Good Public Governance, Whistleblowing System, bureaucratic reform, Directorate General of Taxes
Pendahuluan
Suatu pemerintahan memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
terlebih bagi Indonesia yang diprediksi Buiter dan Rahbari (2011) akan menjadi negara
dengan perekonomian terbesar peringkat empat di dunia, di bawah Cina, India dan Amerika
Serikat pada tahun 2040. Untuk dapat merealisasikan hal tersebut diperlukan infrastruktur dan
berbagai faktor pendukung lain, yang hanya akan tercapai jika pemerintah memiliki
pendapatan yang cukup. Selama tujuh tahun terakhir, penerimaan pajak merupakan andalan di
Indonesia, karena memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Bahkan dalam APBN-P 2013, penerimaan negara dari pajak
ditargetkan mencapai sebesar 76% dari rencana penerimaan negara. Oleh karena itu, DJP
sebagai institusi pemerintah yang mengelola administrasi dan pengawasan pajak akan
semakin penting peranannya.
DJP perlu untuk menerapkan Good Public Governance. Salah satu bentuk
penerapannya adalah dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-
22/PJ/2011 tentang Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan Penanganan Pelaporan
Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan PER-21/PJ/2011
tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan oleh Direktorat KITSDA yang mulai berlaku tahun
2012. DJP merupakan institusi publik tingkat Eselon I pertama yang merealisasikan
Whistleblowing System tidak hanya sebagai sebuah kebijakan, tetapi juga sebagai suatu
peraturan tertulis.
Hal-hal yang melatarbelakangi diterbitkannya peraturan terkait Whistleblowing System
di DJP adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu jenis pelanggaran yang termasuk
extraordinary crime sehingga harus ditangani secara extraordinary
2. Pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak berdampak negatif
bagi Direktorat Jenderal Pajak dan/atau keuangan negara
3. Kondisi DJP sebelum penerbitan peraturan tersebut tidak menguntungkan bagi pelapor
namun merupakan kondisi ‘nyaman’ bagi pelaku pelanggaran
4. DJP memerlukan sistem pencegahan, deteksi dini dan penindakan yang efektif dan
konsisten terhadap pelanggaran
Menurut Direktur Jenderal Pajak, Whistleblowing System DJP adalah bentuk
kepedulian yang dipaksakan yang terlahir dari upaya untuk membangun public trust, juga
membangun sistem yang mewajibkan individu untuk saling peduli, koreksi dan
mengingatkan. Hal ini pada akhirnya diharapkan akan mendukung pencapaian sasaran
penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak yang optimal.
Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dijelaskan, maka berikut merupakan
rumusan masalah dalam penelitian ini:
1. Bagaimana peraturan dan pelaksanaan Whistleblowing System di Direktorat Jenderal
Pajak?
2. Bagaimana peran Whistleblowing System sebagai upaya penerapan Good Public
Governance di Direktorat Jenderal Pajak?
Tujuan penelitian ini terkait dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan
sebelumnya yaitu:
1. Mengetahui peraturan dan pelaksanaan Whistleblowing System di Direktorat Jenderal
Pajak.
2. Mengevaluasi kesesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan Whistleblowing System di
DJP dengan berbagai panduan Whistleblowing System dan Good Public Governance.
Tinjauan Teoritis Good Public Governance
United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisiksan Good
Public Governance sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih, demokratis, dan efektif sesuai dengan cita-cita terbentuknya suatu masyarakat madani.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2006) menyatakan Good Public
Governance harus dilaksanakan dalam rangka:
1. Mendorong efektivitas penyelenggaraan negara sesuai asas Good Public Governance.
2. Mendorong terlaksananya fungsi legislatif dan pengawasan, eksekutif, yudikatif dan
lembaga-lembaga non struktural sesuai dengan tugas dan wewenangnya dengan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
3. Mendorong penyelenggara negara untuk meningkatkan kompetensi dan integritas yang
diperlukan untuk melaksanakan fungsi, tugas dan kewenangannya.
4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggungjawab untuk memajukan dan
mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan mempertimbangkan hak asasi dan kewajiban
warga negara.
5. Meningkatkan daya saing yang sehat dan tinggi bagi Indonesia baik secara regional
maupun internasional, dengan cara menciptakan pasar bagi Indonesia yang inovatif dan
efisien sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi
dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan.
Untuk mencapai cita-cita terbentuknya masyarakat madani, maka dalam
pelaksanaannya perlu didasari pada asas-asas Good Public Governance yaitu demokrasi,
transparansi, akuntabilitas, budaya hukum, kewajaran dan kesetaraan (KNKG, 2010).
Sementara menurut Bappenas (2007) indikator pelaksanaan Good Public Governance terdiri
dari visionary, openness and transparency, participation, accountability, rule of law,
democracy, profesionalism and competency, responsiveness, efficiency and effectiveness,
decentralization, private sector & civil society partnership, commitment to reduce inequality,
commitment to environmental protection, commitment to fair market.
Sebagai perwujudan asas-asas Good Public Governance terutama asas transparansi
dan akuntabilitas, serta sebagai salah satu perwujudan indikator responsiveness maka salah
satu kebijakan yang dapat diterapkan adalah Whistleblowing System.
Whistleblowing System
Whistleblowing didefinisikan sebagai sutu tindakan melaporkan pelanggaran dalam
suatu organisasi kepada pihak lain baik di dalam maupun di luar organisasi (Eaton and Akers,
2007). Teen (2005) menjelaskan beberapa unsur dan isu penting dalam penerapan
Whistleblowing System, yaitu membangun budaya amanah dan keterbukaan, metode dan
saluran yang disediakan, pengaduan dengan atau tanpa identitas, ketidakwajaran atau
penyimpangan yang dapat dilaporkan, investigasi, tindaklanjut dan prosedur pelaporan, jenis
pembalasan yang dilarang dan kebijakan terkait imunitas Whistleblower dari penegakan
disiplin dan tuntutan hukum.
Sementara KNKG (2009), menyampaikan bahwa Whistleblowing System yang ideal
harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Definisi yang jelas mengenai pihak-pihak yang tercakup dalam sistem
2. Dilengkapi aturan yang tidak memungkinkan adanya pengaduan balas dendam
3. Kerahasiaan data pihak pengadu
4. Dilengkapi ketentuan yang jelas mengenai bagaimana proses pengaduan
5. Mengkomunikasikan dengan baik kepada seluruh pihak terkait mengenai sistem yang
diterapkan
LPSK (2011) juga menjelaskan unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah
Whistleblowing System adalah komitmen organisasi dan karyawan, komitmen perlindungan
dan tindak lanjut atas pengaduan serta mekanisme penyampaian pengaduan.
Metode Penelitian
Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode kualitatif untuk mengetahui bagaimana implementasi
Whistlebowing System di DJP baik dalam kebijakan maupun pelaksanaannya, juga
mengetahui hubungan antara penerapan Whistleblowing System dengan dengan pelaksanaan
Good Public Governance.
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi data primer
dan sekunder sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan
pegawai Direktorat Jenderal Pajak tepatnya pada Direktorat KITSDA untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan Whistleblowing System. Data primer ini diperoleh secara
langsung dari narasumber yang dapat dipercaya dan terkait langsung dengan
Whistleblowing System DJP untuk memberikan gambaran secara lebih mendalam
mengenai proses serta kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan
Whistleblowing System. Selain itu data primer juga diperoleh melalui observasi langsung
ke beberapa unit kerja Direktorat Jenderal Pajak untuk mengetahui mengenai pelaksanaan
sosialisasi Whistleblowing System.
2. Data Sekunder
Data-data sekunder yang digunakan oleh penulis adalah data statistik terkait penerimaan
dan tindak lanjut pengaduan dari Direktorat KITSDA serta data statistik hukuman disiplin
dari Bagian Kepegawaian DJP. Selain itu penulis juga menggunakan data sekunder
berupa peraturan-peraturan terkait Whistleblowing System baik di lingkungan
Kementerian Keuangan maupun DJP serta dasar hukum atas regulasi tersebut.
Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh data yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data
yang digunakan oleh penulis sebagai berikut:
1. Studi Literatur
Studi Literatur merupakan kegiatan pengumpulan data dengan menggunakan literatur,
buku, dan sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti melalui
membaca, mengumpulkan, dan mencatat serta menganalisanya.
2. Riset Lapangan (Observasi)
Melakukan pengumpulan data primer baik melalui wawancara maupun metode lainnya.
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perumusan dan
pelaksanaan Whistleblowing System di DJP, meliputi:
• Seorang perumus PER-22/PJ/2011 dan PER-21/PJ/2011 (regulasi Whistleblowing
System di DJP)
• Seorang analis dan investigator atas pengaduan yang dikelola melalui Whistleblowing
System.
• Seorang petugas help desk pengaduan Whistleblowing System di Direktorat KITSDA.
Objek Penelitian
Direktorat Jenderal Pajak merupakan suatu organisasi tingkat Eselon I di bawah
Kementerian Keuangan yang memiliki tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan
standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penanganan Pengaduan Sebelum Whistleblowing System
Whistleblowing System yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor
PER-22/PJ/2011 dan PER-21/PJ/2011 mulai berlaku pada 1 Januari 2012. Sebelum
berlakunya peraturan tersebut hanya terdapat Standard Operating Procedure (SOP) atas tata
cara penanganan pengaduan oleh Direktorat KITSDA.
Peraturan yang berlaku sebelum diterapkannya Whistleblowing System hanya
mengatur mengenai prosedur penanganan pengaduan dan penjatuhan hukuman disiplin. Tidak
ada aturan yang jelas mengenai kewajiban melaporkan pelanggaran, jenis pelanggaran yang
dapat dilaporkan, tidak diatur dengan jelas prosedur tindak lanjut yang harus dilakukan karena
tidak didahului analisis bertahap, tidak ada jaminan bahwa hak-hak pelapor terpenuhi, tidak
ada mekanisme perlindungan dan pemberian penghargaan bagi pelapor, kurangnya
dokumentasi atas proses penanganan pengaduan, serta kurang jelasnya wewenang
investigator. Selain itu sarana pengaduan pun masih terbatas jumlahnya.
Kemudian menurut salah satu analis dan investigastor, Teresa Roma Sinta Situngkir,
S.H., Standard Operating Procedure atas penanganan pengaduan pada saat itu tidak mengatur
secara jelas kriteria pengaduan seperti apa yang harus ditindaklanjuti dan seperti apa yang
dapat diarsipkan seperti pada PER-21/PJ/2011. Hal ini menyebabkan kurang efektifnya
penanganan pengaduan karena hampir semua pengaduan ditindaklanjuti dengan prosedur
investigasi, sehingga cukup banyak pengaduan yang tidak terselesaikan di tahun yang sama
seperti dalam Tabel 1. Tabel 1 Statistik Pengaduan Tahun 2007-2011
Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 Pengaduan Tahun Sebelumnya 0 51 67 54 70
Pengaduan Diterima 126 139 103 141 123 Jumlah Pengaduan 126 190 170 195 193
Pengaduan Ditindaklanjuti 75 123 116 125 144 Belum Selesai Ditindaklanjuti 51 67 54 70 49
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Sosialisasi Whistleblowing System
Sebagai sebuah kebijakan baru, maka perlu dilakukan sosilalisasi atas Whistleblowing
System. Kegiatan sosialisasi dilaksanakan melalui berbagai metode sebagai berikut:
1. Diseminasi langsung kepada perwakilan pegawai DJP. Sosialisasi dilaksanakan di
beberapa kota, sebanyak lima belas kali, sejak 20 September 2011 sampai dengan 13
Desember 2011. Perwakilan pegawai DJP yang telah mengikuti kegiatan tersebut
kemudian harus melakukan sosialisasi di unit kerja mereka.
2. Sosialisasi melalui internet dan intranet DJP serta media sosialisasi lainnya.
Sosialisasi dilakukan dengan penyebarluasan materi PER-22/PJ/2011 melalui
http://www.pajak.go.id/ dan melalui intranet melalui http://kepegawaian-djp/. Untuk
lebih mengoptimalkan kesadaran dan pemahaman para pegawai DJP, telah dilakukan
pula pencetakan buku saku Whistleblowing System DJP.
Dari informasi di atas dan observasi yang dilakukan oleh penulis di beberapa Unit
Vertikal DJP, diketahui bahwa sosialisasi yang dilakukan kurang optimal karena tidak banyak
informasi mengenai Whistleblowing System dalam bentuk banner maupun spanduk. Selain itu
sosialisasi melalui diseminasi langsung pun hanya dilakukan pada tahun 2011, padahal LPSK
(2011) menyebutkan bahwa dalam penerapan kebijakan baru ada beberapa tahapan transisi
yang pasti akan dihadapi sebelum kebijakan tersebut efektif, yaitu tahap penolakan,
perlawanan, eksplorasi dan kemudian pada akhirnya baru tercapai tahap komitmen.
Sementara DJP dengan sosialisasi yang dilakukannya, mungkin saja baru mencapai
tahapan awal, karena belum memperkenalkan dengan baik kepada masyarakat maupun
pegawai tentang Whistleblowing System DJP.
Kebijakan dan Pelaksanaan Whistleblowing System di DJP
Dalam PER-22/PJ/2011 tentang Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan
Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) DJP, diatur hal-hal sebagai berikut:
• Kewajiban Melaporkan Pelanggaran. Setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
mendengar, melihat dan/atau mengalami terjadinya pelanggaran atau dugaan terjadinya
pelanggaran, wajib melaporkannya kepada DJP. Sementara tidak ada kewajiban yang
mengikat bagi masyarakat di luar lingkungan DJP untuk melaporkan pelanggaran, tetapi
mereka diberikan kesempatan untuk menyampaikan pengaduan atas pelanggaran.
• Jenis-Jenis Pelanggaran yang Wajib atau Dapat Dilaporkan. Contoh perbuatan yang
merupakan pelanggaran disebutkan dengan rinci dalam Lampiran I PER-22/PJ/2011. Hal
ini menunjukkan bahwa DJP cukup baik dalam membuat regulasi, karena menjelaskan
sangat detail. Walaupun sebenarnya ada kekhawatiran apabila diatur secara detail maka
pelanggaran lain yang tidak tercantum dalam lampiran dianggap tidak perlu dilaporkan.
Tetapi hal ini telah dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2), disebutkan bahwa pelanggaran
yang dapat dilaporkan tidak terbatas pada lampiran PER-22/PJ/2011.
• Saluran Pengaduan. Pengaduan dapat dilakukan secara langsung dengan melaporkan
melalui Help Desk Direktorat KITSDA dan berbagai sarana pengaduan tidak langsung
seperti surat, email, telpon, melalui website DJP dan melalui SIKKA (website internal
pegawai DJP). Dari penjelasan terkait dengan saluran pengaduan diketahui bahwa DJP
telah menyediakan cukup banyak saluran. Hal ini menunjukkan komitmen DJP untuk
memberikan kesempatan yang besar bagi semua pihak dalam menyampaikan pengaduan
atas pelanggaran. Selain itu, kepada pihak internal disediakan sarana khusus seperti
pelaporan melalui SIKKA, hal ini sejalan dengan LPSK (2011) yang menyatakan bahwa
salah satu kriteria whistleblower adalah “orang dalam”, pihak internal dianggap
merupakan calon pelapor yang potensial karena sangat mengenali lingkungan kerjanya.
Hal yang juga perlu menjadi perhatian adalah mekanisme pelaporan langsung yang hanya
dapat dilakukan di Kantor Pusat DJP. Menurut wawancara dengan petugas Help Desk,
biasanya pengaduan yang masuk melalui Help Desk telah cukup lengkap informasinya.
Dikhawatirkan karena hanya terdapat di Kantor Pusat DJP, maka calon pelapor kesulitan
karena kendala jarak. Kemudian terkait tata letaknya, walaupun Help Desk yang sudah
ada cukup tertutup tetapi aksesnya cukup terbuka dan kerahasiaan kurang terjaga.
• Pengelolaan Pengaduan. Pengelolaan pengaduan yang diterima melalui Whistleblowing
System DJP mengacu pada PER-21/PJ/2011 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan
oleh Direktorat KITSDA. Secara garis besar, seluruh mekanisme pengaduan dari
penerimaan pengaduan sampai dengan tindak lanjutnya dapat dilihat dalam Gambar 1.
Selain itu DJP juga telah menyiapkan Sistem Informasi Pengaduan Pajak untuk
mempermudah proses administrasi.
Gambar 1 Prosedur Whistleblowing System DJP
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan analisis penulis, DJP telah melakukan hal positif dengan mengatur secara
rinci mengenai prosedur dan dokumentasi yang harus disiapkan dalam mengelola
pengaduan, yang merupakan standar bagi pegawai yang bertugas, sehingga menghindari
subjektivitas dalam pelaksanaannya. Walalupun demikian, dalam Whistleblowing System
DJP tidak ada pemisahan fungsi antara bagian yang melakukan analisis dan investigasi,
padahal menurut KNKG (2008) perlu dilakukan pemisahan untuk tetap menjaga
objektivitas dan kerahasiaan identitas pelapor.
• Hak-Hak Pelapor. Pelapor memiliki hak-hak yang harus dilindungi meliputi :
ü Dirahasiakan Identitasnya
ü Mendapatkan Upaya Perlindungan, berupa perlindungan dari tindakan balasan yang
bersifat administratif kepegawaian, pemindahtugasan/mutasi, bantuan hukum,
bantuan permintaan perlindungan kepada POLRI dan LPSK
ü Mendapatkan Informasi terkait Tindak Lanjut Pengaduan
ü Mendapatkan Penghargaan Dalam Hal Pengaduan Terbukti Benar
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa DJP berupaya untuk menjamin hak-hak pelapor,
dan upaya perlindungan yang dilakukan DJP telah sesuai dengan UU Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
• Penghentian Investigasi/Penelitian Pendahuluan/ Pemeriksaan. Apabila tidak
ditemukan cukup bukti terjadinya pelanggaran, maka investigasi/penelitian
pendahuluan/pemeriksaan dapat dihentikan. Hal ini merupakan suatu hal positif karena
DJP memberikan kepastian hukum dan juga berupaya memenuhi hak-hak terlapor.
• Konsekuensi Pegawai Tidak Melaporkan Pelanggaran atau Membuat Pengaduan
Palsu. Pegawai yang berdasarkan hasil pemeriksaan terbukti dengan sengaja tidak
melaporkan suatu pelanggaran, dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Selain itu, pegawai yang terbukti dengan sengaja membuat pengaduan palsu
dan/atau fitnah, dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kedua
hal ini penting untuk diatur sebagai wujud komitmen DJP dalam melakukan perbaikan
dan mewujudkan Good Public Governance dengan meningkatkan kepedulian pegawai
terhadap DJP yang lebih baik.
• Pertimbangan dalam Penjatuhan Hukuman Disiplin Ketika Pelapor Terlibat dalam
Pelanggaran. Jika dalam suatu kasus, pelapor juga terlibat dalam pelanggaran yang
dilaporkannya, maka itikad baik dapat dijadikan pertimbangan yang meringankan
penjatuhan hukuman. Berdasarkan wawancara dengan I Gede Jana, S.E., MBA, hal ini
diatur untuk memicu kesadaran pelaku pelanggaran atau paling tidak diharapkan
pengaduan disampaikan oleh pihak yang benar-benar mengetahui pelanggaran tersebut.
Hal ini telah sesuai dengan LPSK (2011) yang menyatakan bahwa penghargaan berupa
pengurangan tuntutan dapat diberikan kepada pelapor yang terlibat pelanggaran.
Selama tahun 2012, sejak Whistleblowing System diterapkan, diterima sebanyak 205
pengaduan. Jumlah ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya seperti pada Gambar 2.
126 139103
141 123
205
0
50
100
150
200
250
2007 2008 2009 2010 2011 2012
2007 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 2 Penerimaan Pengaduan Sebelum dan Sesudah Whistleblowing System
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
Peningkatan ini merupakan salah satu indikator paling dasar yang dapat
menunjukkan adanya respon positif atau antusiasme terhadap penerapan Whistleblowing
System. Peningkatan yang cukup signifikan ini juga merupakan wujud nyata kepedulian
pegawai DJP dalam mewujudkan Good Public Governance di DJP.
Tren pengaduan yang diterima pada tahun 2012, dari bulan Januari sampai dengan
Desember 2012 dapat dilihat dalam Gambar 3.
30
1823
12 13
21
1410
18 1611
19
05
101520253035
Janu
ari
Februari
Maret
April
Mei
Juni Juli
Agustus
Septem
ber
Oktobe
r
Novembe
r
Desembe
r
Pengaduan Diterima
Gambar 3 Pengaduan Januari s.d. Desember 2012
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
Pengaduan yang masuk jumlahnya tidak menunjukkan tren tertentu, tetapi cenderung
merata sepanjang tahun kecuali pada bulan Januari 2012. Menurut I Gede Jana, S.E., MBA
dan Teresa Roma Sinta Situngkir, S.H. hal ini dipengaruhi oleh pelaksanaan sosialisasi yang
telah dilakukan pada bulan September-Desember 2011, sehingga jumlah pengaduan yang
masuk pada akhir 2011 dan Januari 2012 jumlahnya meningkat karena pada saat itu
antusiasme akan penerapan Whistleblowing System masih sangat terasa. Hal ini menunjukkan
bahwa ternyata pelaksanaan sosialisasi selain meningkatkan pemahaman juga menimbulkan
antusiasme dalam melaporkan pelanggaran.
Setelah adanya regulasi mengenai Whistleblowing System, sarana pengaduan pun
jumlahnya meningkat. Dari sejumlah sarana yang telah disediakan oleh DJP, ternyata sarana
pengaduan yang paling diminati adalah melalui surat, Kring Pajak 500200, dan email seperti
terlihat dalam Gambar 4. Pengaduan melalui surat tetap paling diminati walaupun
Whistleblowing System sudah menjanjikan kerahasiaan dan keamanan data pelaporan. Saluran
telepon khusus pengaduan juga tidak terlalu banyak dimanfaatkan, hal ini disebabkan
pengaduan melalui telepon juga dapat dilakukan melalui Kring Pajak 500200 yang sudah
lebih populer. Menurut I Gede Jana, S.E., MBA, masih banyaknya pelapor yang
menyampaikan pengaduan melalui surat karena lebih nyaman dan bisa lebih rinci
penjelasannya. Selain itu mungkin juga karena pelapor belum mengetahui sarana lain yang
telah disediakan untuk menyampaikan pelaporan.
4%
52%
10%4%
13%
2%
5%8% 2%
Langsung Surat Email
Website Kring Pajak 500200 Telepon Pengaduan
SIKKA -‐ WBS WiSe Kemenkeu Lainnya
Gambar 4 Pengaduan Berdasarkan Sarana Pengaduan
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
Selaian peningkatan jumlah pengaduan diterima sebagai indikator berjalannya sistem
ini, juga terjadi peningkatan persentase penyelesaian pengaduan pada tahun 2012 seperti
dapat dilihat dalam Gambar 5.
60%65% 68% 64%
75% 77%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
2007 2008 2009 2010 2011 2012
PersentasePenyelesaian
Gambar 5 Penyelesaian Pengaduan
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak
Hal ini menunjukkan adanya perbaikan dalam proses tidak lanjut pengaduan yang
dilakukan oleh Direktorat KITSDA. Dan hal ini juga diakui oleh Teresa Roma Sinta
Situngkir, S.H. sebagai pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan penanganan
pengaduan disebabkan oleh sudah lebih jelasnya prosedur yang harus mereka lakukan dalam
menindaklanjuti pengaduan. Menurutnya hal yang sangat membantu adalah adanya panduan
mengenai tahapan analisis yang perlu dilakukan sebelum menindaklanjuti sebuah pengaduan.
Tetapi dalam penerapan Whistleblowing System ini ada beberapa kelebihan yang juga
bisa dianggap sebagai kekurangan. Karena sifatnya yang sangat rahasia dan komitmen DJP
yang berupaya untuk menjaga kerahasiaan pelapor dan materi pengaduan, maka tidak ada data
reward dan punishment yang di-publish. Bahkan tidak ada data rekapitulasi tentang berapa
jumlah hukuman yang telah dikenakan dan berapa banyak penghargaan yang telah diberikan
kepada pelapor yang pengaduannya terbukti. Positifnya hal ini berarti menunjukan DJP serius
untuk merahasiakan pengaduan, tetapi berarti akan sulit melakukan kontrol. Walaupun tidak
diperoleh data mengenai reward dan punishment yang terkait langsung dengan pelaksanaan
Whistleblowing System, DJP telah melakukan pembinaan dan penegakan hukuman disiplin
terhadap pegawai yang melakukan pelanggaran seperti terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Pembinaan dan Hukuman Disiplin Tahun 2007-2012
Jenis Hukuman 2007 2008 2009 2010 2011 2012
PP 30 Tahun 1980 jo. PP 53 Tahun 2010 96 200 102 124 161 217 Tingkat Ringan 36 98 42 61 86 94 Tingkat Sedang 37 61 28 33 43 47 Tingkat Berat 23 41 32 30 32 76
PP 32 Tahun 1979 11 24 21 11 9 3 Pemberhentian dengan hormat tidak atas
permintaan sendiri - 2 2 3 - -
Pemberhentian tidak dengan hormat 11 22 19 8 9 3 PP 6 Tahun 1976 38 23 3 0 0 -
Pemberhentian dgn. hormat sbg. PNS 38 23 3 0 0 - PP 4 Tahun 1966 4 4 8 16 4 6
Pemberhentian sementara / Skorsing 4 4 8 16 4 6 Total Pengenaan Hukuman 149 251 134 151 174 226
Sumber: Direktorat Jenderal Pajak
Peningkatan jumlah penjatuhan hukuman disiplin setelah penerapan Whistleblowing
System secara tidak langsung dapat menunjukkan bahwa sebagai suatu sistem yang baru
diterapkan, sistem tersebut berjalan cukup efektif. Hal ini sejalan dengan meningkatnya
jumlah pengaduan yang diterima pada tahun 2012. Walaupun demikian, dalam jangka
panjang sistem ini diharapkan mampu mengurangi jumlah pelanggaran. Whistleblowing
System diharapkan mampu menimbulkan deterrent effect. KNKG (2008) menyatakan bahwa
Whistleblowing System dapat dikatakan efektif bila dapat menurunkan jumlah pelanggaran.
Kendala dalam Pelaksanaan Whistleblowing System
Dalam penerapan suatu kebijakan baru tentu saja berbagai tantangan dihadapi oleh
organisasi. Terjadi pro kontra dari pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut, baik
dari masyarakat, pegawai maupun pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya.
Tetapi sistem ini tetap harus dijalankan, dan tidak dapat ditawar-tawar karena sudah menjadi
komitmen DJP untuk berupaya menjadi organisasi yang bersih dan bebas KKN.
Sejak diterapkan pada tahun 2012, berdasarkan wawancara dengan I Gede Jana, S.E.,
MBA, Teresa Roma Sinta Situngkir, S.H. dan Rd. Bagus J. Ganda Kusumaningprang, S.S.T.
diketahui beberapa kendala memang terjadi, sebagai berikut:
1. Kendala Teknis dalam Pelaksanaan. Petugas/investigator mengalami kesulitan dalam
menggali informasi karena ketidakjelasan identitas pelapor atau terlapor. Selain itu di
masalah lainnya adalah cukup banyaknya pengaduan yang ditangani. Dalam pembagian
tugas penanganan pengaduan, pegawai di bagi atas kompetensinya. Sehingga yang biasa
menangani kasus suap akan mendapatkan kasus-kasus yang tidak jauh berbeda. Sehingga
jika pengaduan dengan materi serupa cukup banyak, akan menumpuk pada satu orang.
2. Kurangnya Pemahaman atas Whistleblowing System. Kegiatan sosialisasi
Whistleblowing System DJP masih dirasakan belum optimal dikarenakan banyaknya
jumlah Wajib Pajak dan pegawai DJP, sehingga masih banyak pegawai dan Wajib Pajak
yang tidak memahami esensi dari Whistleblowing System.
3. Budaya Permisif. Budaya permisif tidak hanya terjadi di DJP tetapi merupakan budaya
kebanyakan masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi kendala dalam pelaksanaan
Whistleblowing System karena orang yang melihat terjadi pelanggaran tidak merasa
memiliki kepentingan untuk melapor, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan.
4. Khawatir akan Kerahasiaan Pelapor. Masih cukup banyak yang mengkhawatirkan
kerahasiaan identitasnya tidak terjamin. Padahal Whistleblowing System sendiri telah
memfasilitasi pelapor dengan berbagai sarana pengaduan seperti telepon, surat, email,
SIKKA dan sebagainya yang sudah dijamin kerahasiaannya.
Evaluasi dan Analisis atas Kebijakan Whistleblowing System
LPSK (2011) menjelaskan mengenai beberapa unsur yang harus ada dalam
merumuskan kebijakan Whistleblowing System, antara lain komitmen organisasi dan
karyawan serta komitmen untuk melindungi dan menindaklanjuti laporan pengaduan. Pada
dasarnya komitmen DJP telah kuat dalam pelaksanaan Whistleblowing System karena
kebijakan telah dibuat secara jelas dan tegas, serta menyiapkan sistem pendukung dan sumber
daya manusia yang terpilih. Tetapi bagaimana komitmen karyawan masih harus diteliti lebih
lanjut karena DJP belum pernah melakukan riset atas komitmen maupun pemahaman pegawai
atas kebijakan tersebut.
Evaluasi dan Analisis atas Pelaksanaan Whistleblowing System
Teen (2005) menjelaskan mengenai beberapa isu penting dalam pelaksanaan
Whistleblowing System sebagai berikut :
1. Metode dan saluran. DJP telah menyediakan berbagai sarana pengaduan yang dikelola
secara internal. Terkait kepercayaan pada integritas metode, pelapor masih mengandalkan
surat tertulis akibat kekhawatiran akan kerahasiaan identitas mereka. Sehingga sarana
pengaduan lainnya menjadi kurang optimal.
2. Pengaduan dengan atau tanpa identitas. Beberapa organisasi menetapkan bahwa
pengaduan tanpa nama tidak akan ditindaklanjuti, karena dapat dilakukan secara tidak
bertanggung jawab. Di sisi lain DJP tetap menindaklanjuti pengaduan tanpa identitas
karena yang tepenting adalah materi pengaduan, bukan siapa yang mengadukan.
3. Ketidakwajaran atau penyimpangan yang dapat dilaporkan. Whistleblowing System
di DJP menangani pengaduan terkait dengan indikasi tindak pidana korupsi, pelanggaran
peraturan perpajakan oleh pegawai dan peraturan kepegawaian. Dan dalam lampiran
PER-22/PJ/2011 telah dijelaskan berbagai contoh pelanggaran.
4. Investigasi, tindaklanjut dan prosedur pelaporan. DJP telah mengatur secara
mendalam di PER-21/PJ/2011, sementara terkait pelaporan atas hasil Whistleblowing
System akan disampaikan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan
evaluasi dilakukan oleh UKP4 untuk kemudian disampaikan kepada Presiden RI.
PSOJ (2005) menyatakan bahwa internal whistleblowing merupakan sistem yang
lebih ideal, harus dipastikan bahwa isu pelanggaran telah diproses secara internal sebelum
pengungkapan lebih luas dilakukan. Hal ini telah dilakukan oleh DJP, setiap pengaduan yang
diterima akan diproses terlebih dahulu secara internal.
Berdasarkan hasil evaluasi penerapan Whistleblowing System DJP pada tahun 2012,
secara umum penanganan pengaduan yang berjalan selama ini telah sesuai dengan peraturan
yang terkait. Evaluasi tahunan pun telah dilakukan walaupun masih dilakukan oleh pihak
internal. Sampai dengan saat ini belum pernah dilakukan evaluasi oleh pihak ketiga.
DJP juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan triwulanan yang
disampaikan kepada Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4) atas capaian kinerja/output atas pelaksanaan Whistleblowing System di
DJP. Selama empat triwulan dalam tahun 2012, DJP selalu memenuhi target penyelesaian
pengaduan yang telah ditetapkan dan mendapat apresiasi Kuntoro Mangkusubroto sebagai
Ketua UKP4. DJP juga memiliki target capaian kinerja yang disebut dengan Indikator Kinerja
Utama. Penanganan pengaduan telah melebihi target yang ditetapkan yaitu 70% .
Whistleblowing System dan Pemberantasan Korupsi
Whistleblowing System di DJP telah menunjukkan hasil dan memberikan kontribusi
yang cukup baik dalam penerapan Good Public Governance di DJP, terutama terkait dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bukti paling konkret adalah kerjasama
antara DJP dengan KPK beberapa kali berhasil mengungkap kasus tindak pidana korupsi.
Whistleblowing System dan Penyelenggaraan Good Public Governance
Whistleblowing System merupakan perwujudan asas Good Public Governance sesuai
yang dijelaskan KNKG (2009) sebagai berikut:
1. Demokrasi. Penyelenggara negara harus mampu mendengar, memilah, memilih dan
menyalurkan aspirasi rakyat dengan berpegang pada kepentingan negara dan masyarakat.
Hal ini tercermin dari penerimaan pengaduan, kemudian menganalisisnya dan kemudian
menindaklanjuti sesuai dengan kriteria pengaduan yang telah diatur secara jelas dalam
peraturan Whistleblowing System DJP.
2. Transparansi. Transparansi diperlukan agar pengawasan oleh masyarakat dan dunia
usaha terhadap penyelenggaraan negara dapat dilakukan secara obyektif. Hal ini secara
nyata telah dilakukan dalam Whistleblowing System, dimana DJP berusaha untuk
melakukan tindakan “bersih-bersih” di lingkungannya dan bekerja sama denga KPK dan
kemudian mengungkap berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pihak internal DJP.
3. Akuntabilitas. Beberapa langkah mewujudkan akuntabilitas yang terkait dengan
Whistleblowing System di DJP yaitu (1) Lembaga negara harus menindaklanjuti setiap
keluhan atau pengaduan yang disampaikan oleh pemangku kepentingan dan (2)
pertanggungjawaban lembaga negara dan penyelenggara negara diawasi oleh masyarakat
dan lembaga yang diberikan kewenangan melakukan pengawasan.
4. Budaya Hukum. Dengan adanya Whistleblowing System, DJP mengharapkan pada
akhirnya tidak ada lagi praktek kolusi, korupsi dan nepotisme karena budaya malu untuk
melakukan pelanggaran telah menjadi bagian dari prinsip masing-masing pegawai.
5. Kewajaran dan Kesetaraan. Salah satu tindakan yang harus dilakukan dalam
menerapkan prinsip kewajaran dan kesetaraan adalah pelaksanaan standar pelayanan
yang berkualitas oleh lembaga negara dan penyelenggara negara diawasi masyarakat
serta lembaga yang diberikan kewenangan melakukan pengawasan. Hal ini terwujud
nyata dalam penerapan Whistleblowing System DJP dimana pelaksanaan tugas oleh DJP
diharapkan akan selalu diawasi oleh masyarakat.
Bappenas (2007) juga telah menetapkan empat belas indikator pelaksanaan Good
Public Governance, salah satunya adalah indikator daya tanggap (responsiveness), yang dapat
terwujud dengan adanya layanan pengaduan dengan prosedur yang mudah dipahami oleh
masyarakat dan adanya tindak lanjut yang cepat dari laporan dan pengaduan. Hal ini dipenuhi
DJP dengan penerapan Whistleblowing System.
Kesimpulan
DJP telah melakukan langkah positif dengan menerbitkan PER-22/PJ/2011 tentang
Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan Penanganan Pelaporan Pelanggaran
(Whistleblowing) di Lingkungan DJP dan PER-21/PJ/2011 tentang Tata Cara Penanganan
Pengaduan oleh Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur. DJP
merupakan instansi publik tingkat Eselon I pertama yang merealisasikan kebijakan
Whistleblowing System menjadi sebuah regulasi.
Whistleblowing System yang telah diterapkan DJP, hampir memenuhi semua unsur
dalam pedoman dan literatur Whistleblowing System yang dijelaskan oleh Teen (2005),
KNKG (2008) dan LPSK (2011). Unsur-unsur tersebut terpenuhi dalam segi regulasi melalui
PER-22/PJ/2011 dan PER-21/PJ/2011 maupun dalam pelaksanaannya.
Whistleblowing System merupakan salah satu bentuk implementasi dari asas-asas
Good Public Governance, terutama asas transparansi dan akuntabilitas. Selain itu sistem
tersebut juga merupakan pelaksanaan atas salah satu indikator Good Public Governance, yaitu
daya tanggap (responsiveness).
Dalam pelaksanaannya, Whistleblowing System memiliki beberapa kelebihan yang
juga bisa dianggap sebagai kekurangan. Karena adanya jaminan kerahasiaan data, maka pada
tahun 2012 tidak diketahui jumlah pelanggaran yang terbukti. Selain data mengenai
pengaduan terbukti, karena sifatnya yang juga sangat rahasia dan adanya komitmen DJP
untuk menjaga kerahasiaan pelapor dan materi pengaduan, maka data reward dan punishment
atas Whistleblowing System pun tidak di-publish. Hal ini menunjukan DJP serius
merahasiakan pengaduan, tetapi juga berarti akan sulit melakukan kontrol atas pelaksanaan
Whistleblowing System. Walaupun demikian, jika dilihat dari jumlah penjatuhan hukuman
disiplin secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem ini berjalan cukup efektif, karena pada
tahun 2012 terjadi peningkatan penjatuhan hukuman disiplin seiring dengan peningkatan
jumlah pengaduan yang diterima serta ditindaklanjuti. Dalam jangka panjang memang bukan
hasil ini yang diharapkan, karena KNKG (2008) menyatakan suatu kebijakan Whistleblowing
System dianggap efektif apabila mampu menurunkan jumlah pelanggaran dalam suatu
organisasi.
Penerapan Whistleblowing System di Direktorat Jenderal Pajak mendapatkan apresiasi
dari Kepala UKP4. Dan hasil evaluasi atas Indikator Kinerja Utama juga menunjukkan bahwa
target yang telah ditetapkan terhadap kinerja pengelolaan pengaduan telah terpenuhi. Hal ini
terkait erat dengan penerapan Good Public Governance yang salah satu contoh konkretnya
adalah penerapan manajemen organisasi modern melalui tahapan perencanaan, implementasi,
dan evaluasi, yang disertai alat ukur yang jelas untuk menilai keberhasilan program tersebut.
Dalam hal ini alat ukur tersebut adalah Indikator Kinerja Utama yang digunakan sebagai salah
satu cara untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan Whistleblowing System.
Saran
Saran yang penulis usulkan terkait simpulan yang telah dijelaskan sebelumnya adalah sebagai
berikut:
1. Memperkuat Koordinasi Dengan Instansi Lainnya. Koordinasi dapat dilakukan
dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga sejenis lainnya yang
juga menyelenggarakan kebijakan Whistleblowing System.
2. Sosialisasi Massive Terkait Kebijakan Whistleblowing System. Sosialisasi atas sistem
ini perlu dilakukan tidak hanya bagi pegawai tetapi juga bagi masyarakat atau Wajib
Pajak. Untuk sosialisasi kepada pegawai, perlu dibuat instruksi yang jelas mengenai
kewajiban menyampaikan kembali materi yang diterima dalam sosialisasi langsung
kepada unit kerjanya. Sosialisasi kepada Wajib Pajak juga dapat dilakukan melalui iklan
layanan masyarakat maupun melalui website www. pajak.go.id.
3. Mengadakan Internalisasi Corporate Value (ICV). Internalisasi Corporate Value
(ICV) dilaksanakan untuk meningkatkan kerjasama dan hubungan tiap pegawai, serta
meningkatkan rasa memiliki kepada organisasi DJP. Jika kegiatan ini dilakukan secara
rutin maka pegawai DJP dapat menghayati nilai-nilai organisasinya sehingga terhindar
dari perbuatan yang merugikan organisasi.
4. Menambah Jumlah Help Desk dan Memperbaiki Tata Letaknya. Sebagai salah satu
sarana pengaduan yang dianggap memberikan kontribusi cukup baik, sebaiknya help desk
Whistleblowing System diperbanyak jumlahnya, selain itu tata letaknya juga harus
diperhatikan sehingga kerahasiaan pelapor lebih terjaga.
5. Menambah Jumlah Pelaksana pada Sub Direktorat Investigasi Internal. Sebaiknya
dilakukan penambahan jumlah pelaksana yang bertugas sebagai analis dan investigator
pada Sub Direktorat Investigasi Internal agar kualitas investigasi lebih baik. Hal ini perlu
dilakukan, mengingat terdapat jangka waktu investigasi yang harus dipenuhi yaitu 60 hari
kerja, jika jumlah pegawai terbatas maka akan sulit untuk mendapatkan bukti atau
informasi yang cukup atas terjadinya pelanggaran.
6. Pemisahan Fungsi Perlindungan Pelapor dan Investigasi. Sebaiknya dilakukan
pemisahan fungsi seperti dijelaskan KNKG (2008) antara perlindungan pelapor dan
investigasi. Sub-unit perlindungan pelapor akan melakukan fungsi penerimaan pengaduan
sampai dengan analisisnya dan menjaga identitas pelapor. Sementara Sub-unit investigasi
hanya akan melaksanakan fungsi investigasi tanpa perlu mengetahui identitas pelapor.
7. Penegakan Hukuman Disiplin Yang Lebih Tegas. Sesuai dengan peraturan yang sudah
ada, penegakan hukuman disiplin harus lebih tegas, tidak pandang bulu. Reward akan
diberikan sebagai penghargaan pengungkapan, dan hukuman disiplin mulai dari teguran
sampai dengan pemecatan dengan tidak hormat dikenakan kepada pegawai yang terbukti
bersalah.
8. Evaluasi oleh Pihak Independen
Walaupun telah dilakukan evaluasi oleh pihak internal yang dilakukan secara self
assessment, tetapi untuk meningkatkan objektivitas atas penilaiannya sebaiknya juga
dilakukan evaluasi oleh pihak ketiga yang independen.
Daftar Referensi
Buku: Semendawai, Abdul Haris dkk. (2011). Memahami Whistleblowers. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang Baik. (2007). Penerapan Tata
Kepemerintahan yang Baik. Bappenas: 2-15 Komite Nasional Kebijakan Governance. (2010). Pedoman Umum Good Public Governance. Pedoman Umum
Good Public Governance. KNKG Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemrintahan yang Baik. (2007). Indikator Good
Public Governance-Penerapan Tata Kepemerintahan yang Baik. Bappenas: 1-29 Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance. KNKG Komite Nasional Kebijakan Governance. (2009). Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) Whistleblowing
System. Pedoman Umum Good Public Governance. KNKG. Direktorat Jenderal Pajak. (2008). Silent Revolution. DJP.
The Corporate Governance Committee of The Private Sector Organisation of Jamaica. (2005). Corporate
Governance and Whistleblowing. PSOJ. Jurnal: Eaton, Tim V. & Akers, Michael D. (2002). Whistleblowing and Good Governance: Policies for Universities,
Government Entities and Nonprofit Organization. The CPA Journal; Jun 2007; 77, 6; ProQuest pg. 66 Buiter, Willem. and Rahbari, Ebrahim (2011). Global Growth Generators: Moving beyond .‘Emerging Markets.’
and .‘BRIC.’, Citi Global Markets. Teen, Mak Yuan. (2005). Whistleblowing: Recent Developments And Implementation Issues. International
Financial Corporation World Bank Grou: 3-17 Laporan: Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat. 2012. Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak
Tahun 2011. DJP Peraturan: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat Dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.09/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut
Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 149/KMK.09/2010 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut
Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) serta Tata Cara Pelaporan Pelanggaran di Lingkungan Kementerian Keuangan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai DJP Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2011 tentang Kewajiban Melaporkan Pelanggaran dan
Penanganan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblower) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ/2011 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan oleh
Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur Keputusan Kepala PPATK nomor KEP- 1.01/PPATK/04/09 tentang Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran
(Whistleblowing System).