Euthanasia 2

13
EUTHANASIA Oleh Aris Wibudi [email protected] I. Pendahuluan Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat kompleks. Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan

description

buku ini

Transcript of Euthanasia 2

Page 1: Euthanasia 2

EUTHANASIA

Oleh

Aris [email protected]

I.        Pendahuluan          Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus

kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia

dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari

berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih

mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai

dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan

proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah

inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan,

tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan

proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat

kompleks. Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia

dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan

sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar

penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat

disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia

mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi

kesulitan ataupun gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan

kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda proses akhir dari seluruh

rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian.

Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan

ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia

di dalam ajaran agama.          Kematian sebagai akhir dari rangkaian

kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun

yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk

mempercepat waktu kematiannya.

Page 2: Euthanasia 2

II.       Kematian.

Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak

pernah diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang

kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan

dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2

fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death

(Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak

didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan,

suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada

rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase

kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam

diantaranya dikenal sebagai fase mati suri. Dengan adanya kemajuan ilmu

pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang

dikatakan mati batang otak yang ditandai  dengan rekaman EEG yang datar,

masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat,

fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana

mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut.  Tanda tanda

kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat

respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda

kematian somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah

ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai

macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur

sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus,

walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat perawatan

yang memadai. Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik

menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik

secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau

cukup  bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti kematian

batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat

dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan

penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik

Page 3: Euthanasia 2

oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah

pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa

hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan

pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini

merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.

III.            Euthanasia.

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:

1.                          Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.

2.                          Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.

3.                          Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau

tidak dengan pertolongan dokter.

Dalam kesempatan ini, hanya euthanasia sajalah yang akan dibahas.

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah,

bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti

mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan

baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai

suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut

Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan

Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum

mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5).

Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit

dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian

dengan pertolongan dokter.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam

tiga arti, yaitu:

1.                                      Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa

penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.

2.                                      Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit

dengan memberikan obat penenang.

3.                                      Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan

sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Page 4: Euthanasia 2

Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur unsur sebagai berikut:

1.                          Berbuat sesuatu atau tidfak berbuat sesuatu.

2.                          Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak

memperpanjang hidup pasien

3.                          Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.

4.                          Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.

5.                          Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Dari berbagai penggolongan euthanasia, yang paling praktis dan mudah

dimengerti adalah:

A.                         Euthanasia pasif, di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau

melanjutkan bantuan medik.

B.                         Euthanasia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, di

mana dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri

hidup pasien.

IV.         Beberapa aspek euthanasia.

A.                       Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana

hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia,

khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu

pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa

seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak

yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar

belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah

tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau

keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan

sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui

pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati

bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin

hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang

sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam

undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

Page 5: Euthanasia 2

B.                       Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak

hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas

adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan

dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek

hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam

euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan

sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak

untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala

ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang

hebat.

C.                      Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat

memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis

untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.

Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk

mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah

seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang

lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan

sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping

tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret

dalam pengurasan dana.

D.                      Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan

sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk

memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini

menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,

apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar

dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang

menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan

bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan

putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi

putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar,

dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan

Page 6: Euthanasia 2

apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang

satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya

bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.

Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi

penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum

waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati

penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang

umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat

dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal

seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang

menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada,

atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya,

tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok

dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk

menopangnya.

V. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmuwan dan Praktisi Ilmu          Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin

mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial

maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk

mendapatkan ilmu.

          Ilmu yang oleh banyak  orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus

berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial.  Karenanya

kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun  etika itu sendiri

tidak termasuk dalam kawasan ilmu.  Hal-hal seperti ini akan sangat jelas

terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan

kebutuhan manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat

dengan kebutuhan “primer” manusia.

          Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk

memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu

dalam kehidupan keseharian.  Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning

merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena

Page 7: Euthanasia 2

menyangkut secara langsung  kehidupannya.  Ketika ditemukan teknologi

operasi  plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi

sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun kontra nampak  nyata

terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu

sendiri.  Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan 

dengan ilmu itu sendiri.  Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan

teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya.  Apalagi ilmu

yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya manusia

yaitu Euthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja

menyangkut dimensi etis, tetapi telah  melibatkan dimensi-dimensi lain yang

masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.

          Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam

pengembangan  ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap

ilmu harus dinilai dengan standarnya sendiri.  Selanjutnya dalam rangka

situasi sosial yang ada maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya

bersifat relatif.

          Dalam euthanasia, setidaknya terdapat  empat  macam ilmu yang

terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama,

yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda. 

Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus  diambil

untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk

itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.

          Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu,

dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri.  Profesi-profesi seperti

ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering

dituntut secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya.  Pertanyaannya

adalah etika yang mana yang harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu. 

Lebih lanjut apabila beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama,

maka etika yang harus digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi

masyarakat pengguna ilmu tersebut.

Page 8: Euthanasia 2

          Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih

efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai 

manusia, bahkan dapat secara nyata menghancurkan kehidupan. 

Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam

kasus Hiroshima ; kemajuan teknologi industri di satu pihak dan polusi yang

ditimbulkannya merupakan contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi

yang saling kontradiktif.  Demikian pula penemuan-penemuan dibidang

kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti 

penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas,

euthanasia dan sebagainya.  Kenyataan tersebut  menunjukkan semakin jelas

bahwa ilmu bersifat bebas nilai.  Disinilah pentingnya norma dan etika dalam

penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. 

Klaim-klaim hukum terhadap tindakan dokter dalam euthanasia merupakan

bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali

tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan.

          Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat berupa manfaat dan atau bencana.  Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana

         

Ringkasan1.              Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak

azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.

2.              Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.

3.              Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.

4.              Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi

belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran

pada aspek lainnya.

Rujukan.

Page 9: Euthanasia 2

1.              Huston Smith. The Religion of Man (Agama agama Manusia).

Diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia. 1995.

2.              What happens after death?. 

http://folk.uio.no/mostarke/forens_ent/afterdeath.shtml. 21 April 2002

3.              Glossary of Terms Concerning “End of Life” issues.  

http://www.finalexit.org/glossframe.html  21 April 2002

4.              Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia

dan Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. 1984.

5.              Petrus Yoyo Karyadi. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manuisa.

Penerbit Media Prssindo. 2001.