Euthanasia 2
description
Transcript of Euthanasia 2
EUTHANASIA
Oleh
Aris [email protected]
I. Pendahuluan Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari
berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih
mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai
dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan
proses pembuahan buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah
inseminasi buatan, yang tidak menimbulkan masalah etika pada dunia hewan,
tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia manusia. Cloning merupakan
proses pembuahan buatan yang menimbulkan kontradiksi yang sangat
kompleks. Berbagai macam penyulit dalam kurun waktu kehidupan di dunia
dalam bentuk berbagai penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan
sebagian besar penyakit infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar
penyakit non infeksipun sudah dapat dikendalikan, walaupun belum dapat
disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, yang dikerjakan oleh manusia
mempunyai hakekat untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi
kesulitan ataupun gangguan dalam proses pembuahan, kelahiran dan
kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda proses akhir dari seluruh
rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian.
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan
ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Satu satunya jawaban tersedia
di dalam ajaran agama. Kematian sebagai akhir dari rangkaian
kehidupan di dunia ini, merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun
yang berhak untuk menunda sedetikpun waktu kematiannya, termasuk
mempercepat waktu kematiannya.
II. Kematian.
Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak
pernah diketahui dengan tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang
kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2
fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death
(Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak
didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan,
suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada
rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase
kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam
diantaranya dikenal sebagai fase mati suri. Dengan adanya kemajuan ilmu
pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang
dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar,
masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat,
fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana
mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut. Tanda tanda
kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat
respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda
kematian somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah
ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai
macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur
sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus,
walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat perawatan
yang memadai. Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik
menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik
secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau
cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti kematian
batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat
dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan
penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik
oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah
pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa
hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan
pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini
merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
III. Euthanasia.
Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau
tidak dengan pertolongan dokter.
Dalam kesempatan ini, hanya euthanasia sajalah yang akan dibahas.
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah,
bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti
mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan
baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai
suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut
Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum
mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5).
Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit
dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian
dengan pertolongan dokter.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam
tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa
penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit
dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan
sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur unsur sebagai berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidfak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak
memperpanjang hidup pasien
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Dari berbagai penggolongan euthanasia, yang paling praktis dan mudah
dimengerti adalah:
A. Euthanasia pasif, di mana tenaga medis tidak lagi memberikan atau
melanjutkan bantuan medik.
B. Euthanasia aktif, baik secara langsung maupun tidak langsung, di
mana dokter dengan sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri
hidup pasien.
IV. Beberapa aspek euthanasia.
A. Aspek Hukum. Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana
hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia,
khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak
yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah
tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin
hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang
sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam
undang undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.
B. Aspek Hak Asasi. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak
hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas
adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek
hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan
sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak
untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala
ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang
hebat.
C. Aspek Ilmu Pengetahuan. Pengetahuan kedokteran dapat
memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis
untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien.
Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah
seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang
lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan
sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping
tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret
dalam pengurasan dana.
D. Aspek Agama. Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan
sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini
menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia,
apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar
dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang
menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan
bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan
putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi
putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar,
dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang
satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya
bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.
Mengapa orang harus kedokter dan berobat untuk mengatasi
penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum
waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati
penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang
umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat
dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal
seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang
menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada,
atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya,
tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok
dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk
menopangnya.
V. Batas-batas Tanggung Jawab Ilmuwan dan Praktisi Ilmu Mengapa manusia harus berilmu karena manusia pada dasarnya ingin
mewujudkan “makna” hidupnya baik yang menyangkut material, imaterial
maupun suasana batinnya, karena segala macam upaya dilakukan untuk
mendapatkan ilmu.
Ilmu yang oleh banyak orang dikatakan bebas nilai, seringkali harus
berhadapan dengan kenyataan hidup dalam konteks relasi sosial. Karenanya
kemudian timbul istilah etika ilmu pengetahuan, walaupun etika itu sendiri
tidak termasuk dalam kawasan ilmu. Hal-hal seperti ini akan sangat jelas
terasa pada ilmu-ilmu yang secara langsung dan segera berhubungan dengan
kebutuhan manusia, seperti ilmu biologi, kedokteran dan lainnya yang dekat
dengan kebutuhan “primer” manusia.
Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk
memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu
dalam kehidupan keseharian. Sebagai contoh teknologi transgenik, cloning
merupakan isu yang banyak menyita perhatian umat manusia karena
menyangkut secara langsung kehidupannya. Ketika ditemukan teknologi
operasi plastik untuk merubah bentuk bagian-bagian tubuh serta teknologi
sejenisnya, perdebatan diantara pihak yang pro maupun kontra nampak nyata
terletak pada perdebatan dimensi etika dan bukan pada ilmu/teknologinya itu
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan
dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya. Apalagi ilmu
yang menyangkut langsung kepada keputusan tentang hidup matinya manusia
yaitu Euthanasia dapat dipastikan menjadi bahan perdebatan yang tidak saja
menyangkut dimensi etis, tetapi telah melibatkan dimensi-dimensi lain yang
masing-masing memiliki standar/ukuran kebenaran.
Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam
pengembangan ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap
ilmu harus dinilai dengan standarnya sendiri. Selanjutnya dalam rangka
situasi sosial yang ada maka penilaian tersebut akan dengan sendirinya
bersifat relatif.
Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang
terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama,
yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda.
Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil
untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk
itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.
Etika, sering lebih terasa digunakan sebagai pijakan oleh praktisi ilmu,
dibanding pihak yang mengembangkan ilmu itu sendiri. Profesi-profesi seperti
ahli hukum, dokter dan sebagainya merupakan praktisi ilmu yang sering
dituntut secara kuat etikanya dalam menerapkan ilmunya. Pertanyaannya
adalah etika yang mana yang harus digunakan oleh seorang praktisi ilmu.
Lebih lanjut apabila beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama,
maka etika yang harus digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi
masyarakat pengguna ilmu tersebut.
Ilmu yang seharusnya menjadikan hidup lebih mudah, lebih nikmat, lebih
efisien dan sebagainya, seringkali justru membelenggu hakekat sebagai
manusia, bahkan dapat secara nyata menghancurkan kehidupan.
Kekecewaan Einstein terhadap penggunaan hukum fisika modern dalam
kasus Hiroshima ; kemajuan teknologi industri di satu pihak dan polusi yang
ditimbulkannya merupakan contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi
yang saling kontradiktif. Demikian pula penemuan-penemuan dibidang
kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti
penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas,
euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas
bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam
penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia.
Klaim-klaim hukum terhadap tindakan dokter dalam euthanasia merupakan
bentuk lain dari sisi negatif dalam penerapan ilmu, yang terkadang sama sekali
tidak terbayangkan oleh dokter yang bersangkutan.
Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana
Ringkasan1. Euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak
azasi manusia, hukum, ilmu pengetahuan dan agama.
2. Euthanasia tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja.
3. Euthanasia tidak bisa disamakan dengan pembunuhan berencana.
4. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi
belum tentu merupakan kebenaran, bahkan pelanggaran kebenaran
pada aspek lainnya.
Rujukan.
1. Huston Smith. The Religion of Man (Agama agama Manusia).
Diterjemahkan oleh Yayasan Obor Indonesia. 1995.
2. What happens after death?.
http://folk.uio.no/mostarke/forens_ent/afterdeath.shtml. 21 April 2002
3. Glossary of Terms Concerning “End of Life” issues.
http://www.finalexit.org/glossframe.html 21 April 2002
4. Djoko Prakoso, Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia Hak Asasi Manusia
dan Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. 1984.
5. Petrus Yoyo Karyadi. Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manuisa.
Penerbit Media Prssindo. 2001.