Etnis Tionghoa di Era Reformasi

download Etnis Tionghoa di Era Reformasi

of 17

Transcript of Etnis Tionghoa di Era Reformasi

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    1/17

    Peter Kasenda

    Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    Pendekatan Multikulturalisme

    Masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem kontrol politik yang ketat,

    telah mengabaikan kebebasan individu dan kelompok sosial untuk

    mengungkapkan diri secara penuh. Di samping itu, rezim otoriter Orde Baru

    yang represif tidak menghiraukan hak-hak kelompok minoritas atau

    kelompok-kelompok sosial untuk diakui menurut keadaan dan situasi

    mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem politik otoritarianisme

    yang mengagung-agungkan prinsip kekuasaan absolut dan homogen tidakakan bertahan lama.

    Sejak persitiwa Mei 1998 yang ditandai dengan dengan keruntuhan rezim

    Soeharto, arus reformasi mengalir deras ke segala arah dan meresap ke

    semua pelosok tanah air. Arus reformasi itu menyentuh kelompok atau

    orang dari kalangan yang berbeda agama, etnis, budaya, bahasa, adat dan

    sebagainya. Sebagai akibat, terjadilah semacam politik keterbukaan yang

    membawa dampak perubahan politik pada seluruh domain kehidupan.

    Secara umum kita menyaksikan ledakan kuat untuk berpartisipasi dan

    tuntutan dahsyat untuk mendapat pengakuan akan hak-hak serta identitas

    dari kelompok yang berbeda-beda. Sekali lagi, ledakan ini terjadi hampir di

    semua lapisan masyarakat dan di seluruh pelosok tanah air.

    Indonesia sebagai negara yang bertaburan etnik, agama, bahasa, budaya,

    kelompok sosial dan nilai memiliki tantangan tersendiri. Tantangan yang

    paling utama adalah bagaimana meramu segala emtitas perbedaan yang

    incommensurable itu menjadi suatu tatanan masyarakat yang demokratis.

    Tentu, tantangan ini bukan saja tugas yang harus dipikul oleh politik.

    Walaupun kita menyadari bahwa panggilan politik adalah menata kehidupanbersama dan berjuang untuk meramu segala perbedaan menjadi suatu well-

    ordered-society. Tampaknya, kita selalu berhadapan dengan dilemma politik

    bahwa mengakui dan menghormati segala perbedaan dan identitas kelompok

    pada gilirannya memberi atau menciptakan ruang bagi perpecahan atau

    desintegrasi.

    1

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    2/17

    Kita tahu bahwa tuntutan untuk menghormati diversitas kultural sebagai

    bagian dari politik identitas lahir dari reaksi terhadap pengabaian hak-hak

    kelompok minoritas dalam sejarah. Pengabaian seperti ini telah

    menimbulkan ancaman separasi atau pemisahan diri. Apalagi dalam jargon

    politik, kategori minoritas selalu dipertentangkan dengan yang mayoritas,

    dan kelompok minoritas selalu dikonotasikan sebagai yang tidak berdaya,

    yang tidak berpengaruh, yang kalah, yang terpinggir, yang terpencil, yang

    digolongkan sebagai masyarakat kelas dua, dan lain sebagainya. Ekslusifitas

    politik semacam ini berdampak pada politik pengabaian, khususnya

    pengabaian terhadap kelompok-kelompok etnis, agama, budaya dan nilai-

    nilai tertentu. Kecenderungan politik seperti ini juga tampak paling kuat

    dalam tindakan-tindakan untuk menyingkirkan, meminggirkan,

    mengucilkan, mengasingkan dan menendang keluar semua kelompok

    minoritas atau kelompok yang berbeda.

    Pluralitas, perbedaan, diversitas tidak lagi dilihat sebagai kekayaan atau

    sebagai mata rantai yang memperkokoh rasa kesatuan, tetapi malah

    dianggap sebagai ancaman yang dapat mencederai demokrasi dan toleransi.

    Pada hakikatnya, demokrasi mengandung nilai-nilai yang inklusif karena

    demokrasi mempertemukan segala yang berbeda atau yang berlainan melalui

    suatu konsepsi politik yang disebut warga negara. Kita tahu bahwa

    inklusivitas demokrasi ditandai oleh the goverment of all the people.

    Penekanan pada aspek semua rakyat di sini hendaklah dilihat sebagai ciri

    identitas kolektif yang kuat dan demokrasi. Demokrasi menuntut solidaritas

    dan komitmen bersama dari semua rakyat dengan tingkatan toleransi

    multikultural yang tinggi. Tuntutan agar demokrasi menjadi lebih optimal

    hanya mungkin terjadi apabila semua rakyat akan dapat mengenal satu sama

    lain, dan memiliki cita rasa akan komitmen terhadap orang lain. Oleh karena

    itu, nilai-nilai seperti saling pengertian, saling menaruh kepercayaan dan

    komitmen timbal balik harus senantiasa diperbaharui atau dirumuskan secara

    baru. Ini semua bukan hal yang gampang dalam berpolitik. Kita selalu

    tergoda untuk jatuh kermbali kedalam cara-cara yang lama sambil

    menyangkal setiap problem dan situasi politik yang nyata. Ini menyebabkan

    dilemma dalam berdemokrasi.

    Hal yang penting adalah kita harus menyadari dan mengakui dilemma

    berdemokrasi ini agar kita sanggup menemukan pengertian pengertian baru

    yang lebih kreatif sebagai bentuk identitas politik kita. Kita tidak perlu

    memperkokoh identitas kita lewat homogenitas yang artificial belaka

    sebagai dasar untuk hidup bersama dalam damai. Yang kita butuhkan adalah

    2

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    3/17

    adanya pengalaman akan identitas nasional yang berbeda-beda dan memberi

    ruang yang bebas, setara dan fair dalam setiap ekspresi politis. Identitas

    politik harus dibangun, dinegoisasi, dan secara kreatif dirancang bersama

    oleh semua rakyat yang mempunyai kehendak baik demi kehidupan

    bersama. Tentu hal ini hanya mungkin berlangsung di bawah the same

    political roof. Politik demokratis harus sanggung menciptakan satu atap

    kehidupan sebagai tempat bernaung bagi semua orang dan sebagai tempat

    untuksharingidentitas bersama dari segala macam perbedaan.

    Kebijakan politik diversitas di Indonesia telah lama memilih Bhineka

    Tunggal Ika sebagai prinsip dasar. Secara kultural, prinsip kebhinekaan itu

    tidak hanya dimengerti sebagai multiplisitas jumlah, tetapi harus dipahami

    juga menurut kandungan makna diversitas atau yang lain . Penekanan

    pada multilisitas jumlah akan membawa kita kepada pluralisme. Sedangkan

    penekanan pada diversitas akan mengantar kita pada selangkah lebih majudaripada sekadar mencapai pemahaman multiplisitas jumlah atau pluralisme

    itu sendiri, yakni mencapai pengakuan dan menumbuhkan respek terhadap

    perbedaan-perbedaan yang incommensurable. Oleh karena itu, kebhinekaan

    di sini harus kita pahami bukan hanya dalam arti keberagaman, melainkan

    dalam pengertian sebagai perbedaan-perbedaan subtansial yang tidak boleh

    direduksi menjadi satu atau dipaksakan menjadi satu kesatuan.

    Yang menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana kita

    menerjemahkan kebhinekaan dalam ruang demokrasi yang dilandasi oleh

    toleransi. Di tengah perbedaan, kita tidak bisa memaksakan segala

    comprehensive doctrine dari latar belakang moral, agama dan pandangan

    hidup yang berlainan. Yang bisa kita lakukan adalah menerjemahkan semua

    doktrin komprehensif yang berbeda-beda kedalam suatu forum politik publik

    dengan berlandaskan pada prinsip nalar politik yang bisa diterima oleh

    semua pihak. Tentu, prinsip dasar reasonable pluralism pluralisme yang

    waras sangat penting dalam mengembangkan nalar publik untuk suatu

    justifikasi politik yang baik. Ini adalah salah satu bentuk dari kewajiban

    keadaban publik yang kita kembangkan dalam pluralisme dan demokrasi.

    Di jaman globalisasi ini diperlukan kesanggupan untuk mengolah dan

    menata segala bentuk perbedaan itu. Seringkali, perbedaan yang tidak dapat

    ditata secara baik menjadi sumber konflik, apalagi kalau perbedaan itu

    dijadikan sebagai dasar pembedaan segala tindakan, perbuatan, tutur kata,

    keyakinan, dan lain-lain. Kita harus mengakui hak untuk berbeda, tetapi kita

    juga harus memiliki kewajiban untuk berintegrasi.

    3

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    4/17

    Diskursus tentang hak yang muncul pada masa pasca-Orde Baru adalah

    diskursus tentang hak kewatganegaraan. Dan hak kepemilikan budaya. Pada

    masa rezim Orde Baru, negara memegang peranan yang sangat kuat dalam

    penafsiran tentang hak kewarganegaraan. Dalam ruang politik negara, hak

    kewarganegaraan diatur secara ketat dengan menggunakan perangkat

    perundang-undangan yang pada satu sisi menghapuskan perbedaan etnisitas,

    tapi pada sisi lain memperkuat perbedaan agama. Perlu dicatat pula bahwa

    rezim Orde Baru tidak sekadar menciptakan perangkatan peraturan itu,

    dalam banyak hal rezim Orde Baru justru mengulang kebijakan di bidang

    hukum yang telah dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda.

    Dalam undang-undang kewargaan di Indonesia, perdebatan tentang

    komunitas Tionghoa adalah perdebatan yang sarat dengan kepentingan

    politik. Hal ini terjadi tak hanya pada masa pasca kolonial Indonesia, tetapi

    juga saat pemerintah kolonial Belanda masih bercokol di bumi nusantara.Sejak masa itu, posisi komunitas Tionghoa selalu berada pada ruang abu-abu

    yang ada di antara pengusaha dan penduduk pribumi. Pemerintah kolonial

    maupun pemerintah Orde Lama dan Orde Baru memerlukan komunitas

    Tionghoa sebagai pelaku ekonomi, tetapi enggan memberikan atau

    mengakui status kewarganegaraan penuh bagi mereka. Hanya setelah

    Abdurrachman Wahid menjadi presiden, komunitas Tionghoa memperoleh

    kesempatan akses terhadap hak-hak kewarganegaraan, seperti misalnya hak

    pendidikan dan hak kesetaraan dalam urusan birokrasi negara, meskipun

    sampai saat ini, sebagaimana dikatakan Thung Ju Lan, pelaksanan di

    lapangan masih tidak banyak perubahan dari masa sebelumnya.

    Pada Juli 1990 Cornell University, Amerika Serikat mengadakan seminar

    yang bertema The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern

    Indonesian Life. Seminar ini kemudian menghasilkan publikasi jurnal

    Indonesia, terbitan Cornell University, edisi spesial issue Juli 1991.

    Didalamnya terhimpun tulisan-tulisan para Sinolog yang terkemuka, yang

    membahas isu-isu penting terkait keberadaan masyarakat Tionghoa di

    Indonesia, baik pembahasan aspek sejarah, politik, ekonomi, hukum, bahasa,

    maupun kesusasteraan. Meski secara khusus seminar ini tidak dimaksudkanuntuk membahas masalah Cina di Indonesia, namun tulisan-tulisan dalam

    publikasi tersebut jelas memperlihatkan betapa pentingnya peran mereka

    dalam proses pembentukan keindonesiaan.

    Lantaran sedemikian pentingnya peran dan posisi orang-orang Tionghoa

    dalam perjalanan bangsa ini, tidak berlebihan jika dalam kata pengantar

    4

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    5/17

    untuk jurnal tersebut, Profesor Leonard Blusse, mengatakan bahwa

    keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia akan selalu menjadi

    persoalan yang hangat untuk dibicarakan dan merupakan bahan studi

    akademik yang tidak akan pernah habis dikaji. Lantas, faktor apa saja yang

    membuat keberadaan mereka begitu penting bagi bangsa ini? Mengapa

    keberadaan mereka vital ?

    Meskipun secara kualitatif golongan etnis Tionghoa merupakan minoritas

    dibandingkan dengan kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia, namun

    secara kualitatif dampak yang mereka timbulkan begitu serius. Sinolog

    Universitas Indonesia Ignatius Wibowo memperkirakan sekitar 3% dari

    penduduk Indonesia, sementara mantan Menteri Agama Tarmizi Taher yang

    mempunyai perhatian dengan isu-isu Tionghoa, mengajukan taksiran yang

    lebih tinggi, yakni antara 4-5% dari keseluruhan penduduk Indonesia.

    Kendati jumlah etnis Tionghoa di Indonesia relatif kecil, namun peranmereka bisa dibilang begitu besar, terutama di sektor ekonomi.

    Salah satu isu penting yang terkait dengan masalah Cina adalah persoalan

    diskriminasi. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih

    menjadi persoalan serius hingga hari ini. Pelecehan dan kekerasaan terhadap

    mereka sudah menjadi sesuatu yang terlanjur dianggap wajar. Mereka pun

    seolah-olah tidak memiliki cara lain untuk menghadapi situasi tersebut,

    selain menerimanya dengan pasrah dan menganggapnya sebagai takdir

    sosial yang harus ditanggung oleh golongan minoritas asing. Paling-paling

    mereka hanya bisa menggerutu di belakang ketika diperlakukan tidak adil,

    misalnya dijarah harta bendanya, dan mereka tetap tak punya cukup kuasa

    untuk mengubahnya. Meski kehadiran mereka di Nusantara sudah berabad-

    abad lamanya, tidak sedikit masyarakat pribumi yang masih memandang

    mereka sebagai orang asing yang belum mampu melakukan pembauran

    dalam kehidupan masyarakat pribumi.

    Masalah diskriminasi sosial kembali mengemuka ketika tragedi Mei 1998

    meletus, menandai lahirnya Orde Reformasi. Kerusuhan yang terjadi pada

    tanggal 13-15 Mei 1998 ini berlangsung secara sporadik, terutama Jakartadan Solo. Kerusuhan yang menandai pergantian era kekuasaan di Indonesia

    menelan kerugian yang tidak sedikit, khususnya bagi orang-orang Tionghoa.

    Apakah kerusuhan tersebut secara langsung ditujukan kepada mereka, masih

    menjadi pertanyaan yang samar jawabannya, tetapi bahwa mereka pihak

    yang paling menderita dan menjadi korban kerusuhan tersebut adalah

    sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Banyak ditemukan fakta bahwa

    5

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    6/17

    penyerangan dan pembakaran dalam kerusuhan tersebut dimulai dengan

    pengerusakan dan penjarahan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik

    orang-orang keturunan Tionghoa.

    Jika kita menengok ke belakang, sebenarnya tragedi Mei 1998 bukanlah

    satu-satunya tragedi yang menimpa etnis Tionghoa di Indonesia.

    Sebelumnya telah tercatat daftar panjang kekerasaan terhadap mereka di

    negeri ini. Sebut saja peristiwa pembantaian massal orang-orang Tionghoa

    oleh VOC di Batavia tahun 1740 yang menelan korban jiwa mencapai

    10.000 orang. Peristiwa rasialis pada 19 Mei 1963 di Jawa Barat dan

    pembunuhan orang-orang Tionghoa yang diduga terlibat dalam peristiwa

    G30S juga menambah panjang daftar tragedi yang menimpa orang-orang

    Tionghoa di negeri ini. Fakta-fakta sejarah tersebut sebenarnya

    menunjukkan bahwa persoalan-persoalan sosial yang berhubungan dengan

    keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia atau biasa disebut masalah Cinabukanlah persoalan yang sama sekali baru.

    Hingga sekarang, kesenjangan antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi

    dalam hal penguasaan sumber-sumber ekonomi masih menjadi pemicu

    utama munculnya stereotip-stereotip negatif terhadap orang-orang Tionghoa

    di Indonesia. Mereka sering dipersepsikan sebagai golongan yang pelit dan

    serakah oleh masyarakat pribumi. Cara mengindentifikasikan pihak lain

    berdasarkan inisial-inisial khusus, misalnya warna kulit, ciri kelompok, ras,

    dan sebagainya memang cenderung rentan melahirkan prasangka-prasangka

    tertentu. Menurut Araya dan kawan-kawan, prasangka terhadap pihak lain

    mudah muncul ketiika individu-individu memiliki referensi-referensi insial

    yang sudah tertanam kuat dalam skema kognitifnya. Hal ini membentuk

    bank data yang tersusun dari ciri-ciri pihak terkait sehingga sewaktu-waktu

    ada persitiwa yang mengaktifkannya misalnya kerusuhan massa, maka

    dalam seketika semua ciri-ciri itu terlintas dalam kognisi.

    Bila dibandingkan dengan nasib saudara-saudara mereka yang tinggal di

    negara tetangga seperti Filipina atau Thailand, orang-orang Tionghoa di

    Indonesia memang belum menemukan format kehidupan bersama yangtepat. Jika di negara-negara tersebut orang-orang Tionghoa relatif sudah

    diakui sebagai warga pribumi, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya.

    Meskipun sudah ratusan tahun lamanya tinggal di negeri ini, masyarakat

    pribumi tetap saja menganggap mereka sebagai perantau asing yang sekedar

    menumpang hidup.

    6

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    7/17

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    8/17

    Di dalam periode Pasca Reformasi terjadilah aktivisme politik orang

    Tionghoa yang didefinisikan sebagai semua kegiatan untk mengembalikan

    hak-hak warga negara, baik secara terorganisasi maupun yang tidak, baik

    yang bersifat sementara maupun jangka panjang. Hak-hak warga negara

    yang dimaksud adalah hak-hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Selama

    Orde Baru, orang Tionghoa hanya menikmati sebagian kecil dari hak-hak itu

    sedemikian kecil sehingga terasa ada diskriminasi.

    Aktivisme politik itu berbeda dari partisipasi politik dalam hal

    kemunculannya. Aktivisme politik muncul dalam situasi krisis, sementara

    partisipasi politik adalah kegiatan rutin warga negara dalam situasi tidak

    krisis. Aktivisme politik mengandung unsur urgensi dan berisi tuntutan akan

    hak-hak yang hilang. Situasi Reformasi 1998 adalah situasi krisis, yang

    dimanfaatkan oleh semua kelompok yang tertindas selama Orde Baru,

    termasuk orang Tionghoa untuk, untuk memperjuangkan hak-hak warganegara mereka.

    Aktivisme politik orang Tionghoa ini diarahkan untuk memperoleh hak sipil,

    hal politik, dan hak sosial secara penuh. Namun untuk sampai ke situ,

    beberapa antara mereka merasa harus terlebih dahulu menuntut pengakuan

    tempat dalam sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan menuntut kembali

    hak-hak terjadi sesudah atau berbarengan dengan perjuangan pengakuan

    tempat dalam sejarah.

    Karena tiadanya pengakuan itu, demikian analisis mereka, kelompok etnis

    Tionghoa mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan warga negara

    lain. Sebagai indikator terpenting adalah hilangnya nama-nama Tionghoa

    dalam buku sejarah nasional Indonesia. Kelompok etnis Tionghoa dianggap

    sebagai kelompok yang yang tidak mempunyai sumbangan bagi

    pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Padahal, ada lima orang

    Tionghoa yang ikut dalam persiapan kemerdekaan Indonesia dalam Badan

    Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, yaitu Liem Koen Hian,

    Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong How, Tan Eng Hwa, dan Yap Tjwan Bing.

    Kalau di tarik ke belakang lagi, ada empat orang Tionghoa dalampembacaan teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu Kwee Thiam

    Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwiw. Nama-

    nama ini, walaupun tidak dihapus dalam catatan, seakan-akan hilang dalam

    wacana tentang pembangunan negara dan bangsa.

    8

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    9/17

    Ada banyak peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif, baik yang

    dibuat pada masa kolonial maupun yang diciptakan pada masa-masa sesudah

    kemerdekaaan. Pada masa Orde Baru sendiri diterbitkan tidak kurang dari 64

    produk hukum yang berciri diskriminatif. Dengan aneka peraturan dan

    undang-undang yang diskriminatif itu, kelompok etnis Tionghoa benar-

    benar hanya mempunyai ruang kebebasan yang amat sempit. Kehidupan

    mereka yang semestinya ditandai oleh pesta-pesta dari tradisi mereka, tidak

    ada lagi. Merreka yang tak mampu berbahasa Indonesia dan hanya bisa

    berbahasa Mandarin terpaksa tidak mendapatkan akses berita apa pun.

    Anak-anak mereka tidak lagi diajari bahasa Mandarin karena sekolah

    semacam itu harus ditutup. Nama-nama Tiongkok dihilangkan, diganti

    dengan nama Indonesia yang menghilangkan karakteristik sistem nama

    mereka. Yang dirasakan tidak kalah diskriminatif adalah pada kartu

    penduduk yang diberikan tanda khusus.

    Beberapa orang Tionghoa mengambil langkah yang lebih praktis,

    mendirikan organisasi-organisasi yang secara langsung memperjuangkan

    penghapusan produk hukum yang bertentangan dengan konsitusi. Ada

    beberapa organisasi yang jelas-jelas memperjuangkan hak itu. Sebutkan saja

    Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan

    Indonesia Tionghoa (INTI), dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) yang

    muncul tidak lama setelah kerusuhan Mei 1998. Di samping itu dapat

    ditambahkan beberapa organisasi yang muncul di Jakarta, seperti Gerakan

    Anti Diskriminasi Indonesia (Gandhi) yang kini dipimpin Wahyu Effendi

    dan Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia yang diketuai Rebeka Harsono,

    juga sebuah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di

    Indonesia yang dipimpin Edy Sadeli, SH. Perjuangan mereka diarahkan

    kepada penghapusan undang-undang dan peraturan, baik yang dibuat pada

    masa kolonial maupun pada masa pascakemerdekaan, yang memperlakukan

    kelompok etnis Tionghoa secara tidak adil, dan bertentangan dengan

    konsitusi.

    Yang paling panas diperdebatkan adalah masalah SKBRI atau Surat Bukti

    Kewarganegaraan Indonesia, sebuah sistem yang muncul pada tahun 1980.Surat ini dituntut untuk semua urusan dengan birokrasi, tidak cukup dengan

    kartu tanda penduduk, sebagaimana diterapkan pada warga negara lainnya.

    Beberapa aktivis Tionghoa mengambil masalah ini sebagai agenda

    perjuangan mereka, di antaranya adalah Tan Joe Hok pemain bulu tangkis

    Indonesia pertama yang memenangani Piala All England pada tahun 1959.

    Banyak dari pemain bulu tangkis itu yang adalah orang Tionghoa dan

    9

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    10/17

    berjasa membawa nama Indonesia ke dunia internasional, tetapi mengalami

    kesulitan sehubungan dengan SKBRI.

    Yang menarik dari kasus SBKRI ini adalah bahwa jelas-jelas ada undang-

    undang yang tidak mewajibkan SBKRI bagi kelompok etnis Tionghoa,

    tetapi di beberapa tempat di Indonesia, untuk berbagai keperluan

    administratif (surat kelahiran, paspor, dan sebagainya) masih diminta

    SKBRI. Para aktivis itu menyaksikan bagaimana para pejabat kecil di

    tingkat daerah sama sekali tidak memedulihkan undang-undang yang lebih

    tinggi dan menjalankan sendiri kebijakan yang sudah dibatalkan.

    Nama popular Alan Budikusuma dan Susi Susanti ternyata tidak banyak

    berpengaruh di meja kantor imigrasi. Dua orang pertama Indonesia yang

    meraih medali emas Olimpiade ( cabang bulu tangkis di Barcelona 1992 ) itu

    tetap saja ketanggor masalah ketika hendak mengurus paspor bulan Juli2004 yang lalu. Pasangan suami istri itu didaulat Konfederasi Olimpiade

    Internasional untuk membawa obor dalam Olimpiade Yunani di Athena

    yang dibuka pada bulan Agusrus 2004. Itulah pertama kalinya warga negara

    Indonesia menerima penghormatan luar biasa itu. Tapi kehormatan sebagai

    duta bangsa di event paling akabar di dunia itu tidak berarti banyak di mata

    petugas Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Keduanya tetap diminta melampirkan

    surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) persyaratan

    lama yang sudah dicabut pemerintah. Meski sempat diminta menunjukkan

    SBKRI sebuah dokumen identitas berbentuk seperti buku paspor

    urusannya mereka akhirnya beres. Tak semua warga keturunan Tionghoa

    mendapat keistimewaan seperti itu.

    Tapi aturan tinggal aturan. Praktek di lapangan sungguh masih jauh

    panggang dari api. Para petugas imigrasi, misalnya selalu menanyakan

    SBKRI saatwarga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang

    paspor. Perlakukan yang sama masih diterima saat mereka mengurus kartu

    tanda penduduk, akta kelahiran, pembelian sebuah rumah. Dan itulah yang

    terjadi di lapangan. Para petugas imigrasi masih serinmg menanyakan

    SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Presiden Megawati, misalnya,tahun 2002 silam sempat ternganga saat mendapat keluh-kesah Hendrawan

    yang belum juga mendapatkan SBKRI. Tapi tentu saja keluh-kesah seorang

    Hendrawan langsung mendapat reaksi. Dalam hitungan hari, pahlawan Piala

    Thomas tahun 2000 ini memperoleh SBKRI yang telah diidamkanya

    bertahun-tahun.

    10

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    11/17

    Sejak bergulirnya era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-

    orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik

    nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan

    budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Sebut saja,

    Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineeka Tunggal Ika

    (PBI) dan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo). Namun sangat sedikit di

    antara partai-partai politik yang dikomndani oleh orang Tionghoa tersebut

    menunai kesuksan berarti. Kecenderungan tersebut, sebagaimana dikatakan

    Thee Kian Wie, merupakan tanda-tanda postif bagi perbaikan kehidupan dan

    masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya

    nampak kurang begitu nyaman dengan fenomena tersebut adalah terkait

    dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoan dalam

    partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili

    kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya

    kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi.

    Kebijakan diskriminatif yang berlangsung sejak kolonialisme Belanda

    hingga masa pemerintahan Orde Baru masih menyisahkan dampak

    negatifnya hingga hari ini. Namun, kondisi Indonesia pasca-Orde Baru

    sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Keindonesian pasca-

    Orde Baru mencerminkan kondisi yang lebih menghargai perbedaan-

    perbedaan, sebuah Indonesia yang lebih plural dan demokratis. Dampak

    langsung yang bisa dirasakan oleh etnis Tionghoa dalam kondisi Indonesia

    yang seperti ini adalah mereka lebih leluasa untuk mengekspresikan

    identitas kebudayaan mereka. Mereka tidak perlu lagi khawatir akan

    hambatan-hambatan struktural yang dikeluarkan negara dengan dalih

    mempercepat asimilasi, sebab peraturan-peraturan yang selama ini dianggap

    menghambat ekspresi identitas mereka satu persatu telah dihapus, sementara

    secara kultural ada kecenderungan di kalangan masyarakat pribumi untuk

    lebih bisa menerima mereka sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.

    Kondisi ini selanjutnya secara meyakinkan berpengaruh terhadap bagaimana

    cara mereka memandang diri mereka sebagai orang Indnesia di hadapan

    kelompok-kelompok etnik lainnya.

    Jika keindonesian dalam konteks Indonesia Orde Baru selalu berkonotasi

    pada peleburan identitas ketionghoan ke dalam identitas pribumi, maka

    keindonesian pasca Orde Baru telah bergeser pada kondisi yang lebih

    mengakui identitas ketionghoan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari

    keindonesian itu sendiri. Dengan kata lain, menjadi Indonesia sekarang

    ini tidak harus berbeda atau bertentangan dengan menjadi Tionghoa. Kata

    11

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    12/17

    asimilasi tidak lagi mengarah pada pelenyapan identitas ketionghoan,

    sehingga menjadi momok yang menakut bagi masyarakat Tionghoa

    Indonesia, melainkan telah mengalami pergerseran makna menuju

    pemahaman yang lebih sesuai dengan konteks keindonesian pasca Orde

    Baru.

    Proyek asimilasi yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru kepada

    masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari upaya rezim untuk

    menciptakan sebuah identitas nasional yang seragam yang lebih superior

    dibandingkan etnis maupun identitas lokal mana pun. Ketika rezim Orde

    Baru tumbang, apa yang disebut sebagai identitas nasional tersebut

    kemudian menjadi kabur, terkesan begitu muluk dan pada akhirnya

    lahirlah fenomena etnonasionalisme atau menguatnya identitas-identitas

    lokal, sebagai manifestasi-manifestasi dari gugatan terhadap identitas

    nasional yang dipaksakan. Kecenderungan semakin beraninya orang-orang Tionghoa dalam menampilkan identitas kebudayaannya di

    kemudian hari bisa dibilang merupakan bagian dari interupsi terhadap

    kebijakan Orde Baru yang sentralistik. Situasi ini seolah-olah telah

    membuka tabir kepalsuan yang sekian lama dibungkus rapat oleh

    rezim Orde Baru, hingga kemudian, ketika krisis multidimensional

    melanda negeri ini sejak 1997, maka terbukalah semua aib dan

    kebusukan rezim sehingga tampillah wajah Indonesia yang

    sesungguhnya, yang mulai retak-retak, karena bagian-bagian yang

    menyusunnya satu persatu melepaskan diri.

    12

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    13/17

    Dampak positif dari gelombang perubahan di atas adalah terbukanya

    peluang untuk mendefinisikan kembali keindonesian secara lebih multi

    kultural, yang bisa mengakui dan menjamin hak-hak sretiap kelkompok

    untuk mengekspresikan dirinya dalam bungkus spirit keadilan dan

    kesetaraan. Jika pada zaman Orde Baru identitas keindonesian yang

    ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa lebih bernuansa ketakutan

    terhadap tekanan politik asimilasi pemerintah sehingga memunculkan

    fenomena kapok untuk menjadi nonpri, maka di Indonesia Pasca Orde

    Baru kondisinya berubah dratis. Kondisi ini selanjutnya membuat orang-

    orang Tionghoa mencoba merumuskan keindonesian baru yang mampu

    mengakui dan menampung unsur-unsur ketionghoan di dalamnya.

    Ketionghoan dan keindonesian bukan lagi dua ranah yang perlu

    dipertentangkan. Sudah semestinya ia didudukan sebagai salah satu

    khazanah dalam multikulturalisme Indonesia, sebagaimana kejawaan,

    kesundaan, kemingkabauan, kebatakan, dan seterusnya, yang bisa salingmenopang satu dengan yang lainnya. Suara-suara yang disampaikan oleh

    mereka berikut ini munhgkin bisa dilihat sebagai representasi atau

    setidak-tidaknya tanda-tanda dari gejala umum yang sedang

    berlangsung di Indonesia pasca-Orde Baru, yang mengindikasikan

    harapan besar terhadap Indonesia yang multibudaya.

    Dengan memaknai masalah ketionghoan itu bukan lagi sebagai antiresis

    terhadap keindonesian, dengan sendirinya spirit asimilasi total (setidaknya

    secara teoritis, karena secara praktis telah atau masih berlangsung) yang

    pernah gencar digalakkan pemerintah Orde Baru tidak relevan lagi dalam

    iklim Indonesia pasca Orde Baru. Kecenderungan untuk mendudukan

    ketionghoan sebagai bagian dari keindonesian ini secara tidak langsung juga

    telah memulihkan kembali pemahaman ini secara tidak langsung juga telah

    memulihkan kembali pemahaman yang selama ini salah tentang konsep

    nation-state yang justru kembali menjadi kabur ketika dihubungkan dengan

    masalah Cina di Indonesia. Secara teoritis, bangsa Indonesia pada

    dasarnya bukanlah negara berbasis etnis (ethno-nation), karena yang disebut

    sebagai Indonesia merupakan etnitas yang terdiri dari beragam suku bangsa.

    Namun, anehnya, ketika kondisi Indonesia dikaitkan dengan masalah Cina, konsep ini secara otomatis lebih mendekati konsep ethno-nation, yaitu

    lebih dekat dengan konsep negara yang berbasis pada ras atau etnis.

    Mengapa demikian ? Karena orang-orang Tionghoa justru dipaksa untuk

    meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi (untuk mendapat pengakuan

    sebagai warga negara Indonesia) dengan dalih yang tidak konsisten, yaitu

    demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia. Dengan dicabutnya

    13

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    14/17

    peraturan-peraturan yang mendeskriminasi orang Tionghoa oleh

    pemerintahan pasca Orde Baru, konsep Indonesia sebagai negara yang di

    dalamnya bernaung berbagai kelompok suku bangsa menjadi pulih kembali,

    di mana etnis Tionghoa merupakan salah satu di antaranya, bersanding

    dengan etnis-etnis lainnya.

    Dengan diberlakukannya UUD Kewarganegaraan No 12/2006 yang telah

    menghapus kategori asli atau tidak asli untuk menyebut seorang sebagai

    Warga Negara Indonesia. harapan akan lahirnya sebuah politik pengakuan

    ( the politic of recognation ) semakin besar. Dalam UU tersebut pemerintah

    telah mengakui semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai WNI

    yang sah, bahkan ketika status kewarganegaraan kedua orang tua mereka

    tidak jelas ( lihat ayat i pasal 4 ). Jadi, tidak diragukan lagi bahwa sebagian

    besar generasi Tionghoa yang tinggal di Indonesia sekarang telah menjadi

    subyek hukum yang jelas dalam sistem perundang-undangan Indonesia.Mereka sekarang tidak lagi diposisikan sebagai warga negara asing atau

    warga negara Indonesia keturunan, melainkan cukup dengan predikat WNI

    saja. Hal ini merupakan salah satu momen dan pencapaian penting bagi

    orang Tionghoa semenjak Reformasi, sebuah prasyarat bagi lahirnya politik

    kewargaan yang bercorak multikultural yang menjamin tegaknya nilai-nilai

    HAM dan demokrasi.

    Jika dijalankan secara benar. Kebijakan tersebut akan mengurangi secara

    signifikan tindak diskriminasi terhadap orang Tionghoa di negeri ini. Secara

    prosedural, menghapus berbagai bentuk tindak diskriminasi terhadap

    kelompok minoritas memang harus didahului dengan menghapus berbagai

    sumber tindak diskriminasi itu sendiri. Menurut Abrams dan kawan-kawan,

    diskriminasi akan lahir bilamana sebuah hubungan sosial berlangsuing tidak

    adil. Artinya, ada salah satu pihak yang terlalu diuntungkan sementara pihak

    lain dirugikan. Dengan demikian, instrumen yang semestinya digunakan

    untuk mengatasi kondisi tersebut adalah strategi penguatan keadilan sosial

    itu sendiri, baik yang bersifat distributif maupun prosedural.

    Mengapa demikian? Karena setiap diskriminasi sosial hampir bisadipastikan akan melahirkan pihak yang dirugikan, sesuatu yang sering kali

    sulit di atasi karena sistem sosial yang ada kurang memberi peluang bagi

    terdistribusikannya sumber-sumber keadilan secara lebih merata atau kurang

    tersedianya prosedur sosial yang mampu menjamin terwujudnya kedailan

    sosial itu sendiri. Pengauatan keadilan sosial tersebut dapat berlangsung

    lebih mulus dan mampu bertahan lebih dalam jangka waktu yang lama jika

    14

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    15/17

    didukung juga oleh pola hubungan sosial yang berorientasi pada keadilan,

    misalnya adanya toleransi dan pengakuan terhadap eksistensi masing-

    masing kelompok. Karena bagaimanapun juga, hanya dalam suasana

    hubungan sosial yang dijiwai semangat toleransi, identitas kelompok akan

    mampu berkembang menjadi lebih inklusif, sementara dalam hubungan

    sosial yang penuh prasangka, identitas kelompok cenderung menjadi lebih

    ekslusif.

    Pengakuan dan penghargaan pada yang lain dan berbeda adalah dasar utama

    pluralisme kewargaan. Dalam tataran hidup keseharian, ukuran rekognisi

    dilihat dari sejauhmana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat

    menghormati dan mengakui perbedaan dan keragaman. Pengakuan ini tak

    terbatas pada toleransi, yang sekadar membiarkan liyan hidup sendiri,

    melainkan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda dalam relasi

    antarkelompok. Dalam tataran politik formal, rekognisi dilihat darisejauhmana negara (pada tingkat nasional maupun lokal) menghormati dan

    mengakui perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Sejauh mana

    konsitusi mengekpresikan pengakuan itu, dan sejauh mana kebijakan-

    kebijakan negara menegaskan jaminan konsitusi tersebut ? Pengakuan ini

    tentu bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil dan politik, melainkan pada

    hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural. Kebijakan yang bersifat

    menyeragamkan dan diskriminatif adalah bentuk pelanggaran prinsip ini

    oleh negara (sekali lagi, dalam tingkat nasional maupun lokal).

    15

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    16/17

    Makalah ini dipresentasikan dalam Acara Diseminasi Hak-hak Sipil dan

    Kewajiban Warga Negara, yang diselenggarakan oleh Subdit Pembauran danKewarganegaraan Direktorat Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan

    Kementerian Dalam Negeri di Hotel Arya Duta, 19 Juli 2012.

    Bibliografi

    Afit, Athonul . 2012.Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Pergulatan

    Mencari Jati Diri. Depok : Kepik.

    Baghi SVD, Felix (Ed)Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere :

    Penerbit Ledalero.

    Budiardjo, Miriam. 2008.Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia

    Pustaka Utama.

    Prasetyadji. 2011. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis. Merintis

    Jalan menuju kesetaraan dan penyelesaian kewarganegaraan etnis

    Tionghoa sejak tahun 1945. Jakarta : Forum Kesatuan Bangsa.

    Tempo Edis Khusus 17 Agustus.Etnis Cina di Zaman yang Berubah.Edisis 16 22 Agustus 2004.

    Tim ICCE UIN Jakarta. 2003 Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan

    Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media.

    Wibowo,I (Ed)Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis

    16

  • 7/21/2019 Etnis Tionghoa di Era Reformasi

    17/17

    Cina di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

    Wibowo, I dan Thung Ju Lan ( Ed). 2010 . Setelah Air Mata Kering.

    Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta :

    Penerbit Buku Kompas

    17