Etika-Administrasi-Negara4
Transcript of Etika-Administrasi-Negara4
Etika Administrasi NegaraOleh :
Sri Yuliani Prodi Administrasi Negara Fisip UNS
Etika merupakan dimensi yang penting dalam administrasi negara . Keban (2004)
menyatakan dimensi etika dapat dianalogikan dengan sistem sensor dalam administrasi
negara. Etika mempunyai peran yang sangat strategis karena etika dapat menentukan
keberhasilan atau pun kegagalan dalam tujuan organisasi, struktur organisasi, serta
manajemen publik. Apabila moralitas dan etika para penyusun kebijakan publik dan struktur
organisasi serta para pelaksana manajemen publik sangat rendah , maka akan berpengaruh
pada kinerja pencapaian tujuan birokrasi publik.
Etika menjadi isu penting dalam administrasi negara terkait erat dengan kedudukan
birokrasi sebagai pelayan dan pelindung masyarakat. Sebagai simbol dari kepercayaan publik
(public trust) , birokrasi memiliki kewenangan untuk menafsirkan apa yang terbaik bagi
masyarakat. Keleluasaan untuk menginterpretasikan bagaimana suatu aturan hendak
dijalankan atau kekuasaan diskresi administrasi harus senantiasa dikontrol agar
penggunaannya semata-mata demi kepentingan dan kebaikan bersama, bukan kepentingan
pribadi atau golongan. Sehubungan dengan ini John A. Rohr menyatakan alasan pentingnya
etika sebagai berikut :
“Through administrative discretion, bureaucrats participate in the governing process of our society; but to govern in a democratic society without being responsible to the electorate raises a serious ethical question for bureaucrats”.
Jadi inti dasar perlunya etika dalam administrasi negara adalah agar administrator
publik dapat mempertanggungjawabkan cara kerjanya berdasarkan pada nilai-nilai dalam
masyarakat demokratis.
Etika dan Administrasi Negara
Etika menurut Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary diartikan sebagai ” a set of
moral principles or values a guiding philosophy”. Sedang Kamus Besar Bahasa Indonesia
merumuskan etika sebagai :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Bertens (dalam Keban,2004) menyebutkan tiga arti penting etika , yaitu sebagai :
1. Nilai dan norma moral sebagai pedoman tingkah laku seseorang atau kelompok atau
disebut sebagai sistem nilai
2. Kumpulan asas atau nilai moral yang disebut sebagai kode etik
3. Ilmu tentang yang baik atau buruk atau dikenal sebagai filsafat moral
Etika pada prinsipnya berkenaan dengan nilai atau norma moral yang menjadi
pedoman tingkah laku seseorang atau kelompok. Etika dalam administrasi negara adalah
aplikasi dari prinsip-prinsip moral dalam perilaku pejabat pada sebuah organisasi publik atau
birokrasi. Pejabat negara menjalankan mandat kepentingan publik sehingga dalam bertindak,
membuat pernyataan, membuat keputusan, semuanya harus mencerminkan nilai-nilai
kepentingan publik bukan kepentingan pribadi atau golongan. Karena itu, Cooper (dalam
Frederickson,1997:160) menyebut nilai-nilai etika adalah jiwa atau nyawa dari administrasi
negara (values are the soul of public administration).
Dalam lingkup administrasi negara atau pelayanan publik , etika diartikan sebagai
filsafat dan profesional standard (kode etik) atau ’right rules of conduct” (aturan berperilaku
yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik (Dernhart dalam Keban
2004:148). Lewis dan Gilman (2005) menyebutkan tiga prinsip atau nilai yang menjadi
pedoman manajer publik antara lain : (1) demokrasi, (2) profesionalisme, dan (3) etika.
Ketiga nilai ini bersama-sama akan menentukan integritas individu maupun institusi. Nilai-
nilai tersebut tergambar dalam bagan berikut :
DEMOKRASIKeadilan, imparsialitas, kebenaran (akuntabilitas,disclosure) kemerdekaan,keadilan,kewarganegaraan (citizenship), responsivitas, transparansi,aksesibilitas
PROFESIONALISMEMerit (system), imparsialitas, kompetensi,kualitas, sadar diri (self-awareness),tahu diri, harga diri (kehormatan,reputasi), responsibilitas.
ETIKANilai dan kebajikan, prinsip dan tugas, penilaian dan pertanggungjawaban
+
+
Sumber : Lewis dan Gilman (2005 : 38)
Paradigma Etika
Chadler & Plano (dalam Keban,2004:149) menyebutkan ada empat aliran utama
dalam etika yaitu :
1. Empirical theory :
Aliran ini berpendapat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan
persetujuan umum.
2. Rational theory :
Berpendapat bahwa baik atau buruk tergantung reasoning atau alasan dan logika yang
melandasi suatu perbuatan bukan pengalaman. Dalam paradigma ini, setiap situasi
INTEGRITY (individual and institutional)Autentik, tulus, ikhlas/sungguh-sungguh, rasa sebagai pribadi yang utuh dan lengkap
dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika
manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik dan buruk.
3. Intuitive theory :
Teori ini berpendapat bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman atau logika,
tetapi dari intuisi atau nurani. Manusia secara alamiah memiliki pemahaman tentang
apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang buruk. Teori ini menggunakan
hukum moral alamiah atau ”natural moral law”
4. Revelation theory :
Teori berpendapat yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia atau
dari Tuhan sendiri. Apa yang dikatakan Tuhan (dalam berbagai kitab suci) menjadi
rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
Dalam pelayanan publik juga dikenal adanya pergeseran paradigma etika. Dernhart
dalam bukunya The Ethics of Public Service menggambarkan sejarah etika pelayanan publik
ke dalam lima model (dalam Keban 2004 : 152-156).
Model I – 1940an :
Model ini dimulai oleh tulisan Wayne A.R Leys tahun 1944. Leys memberi saran
kepada pemerintah AS bagaimana menghasilkan kebijakan publik yang baik. Agar suatu
kebijakan publik dapat dipertanggungjawabkan secara etis, menurut Leys , administrator
harus senantiasa menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan
keputusan bukan sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada.
Kebiasaan dan tradisi harus dipertanyakan dengan standard etika dimana etika harus dilihat
sebagai ”source of doubt”
Model II – 1950an :
Model ini diilhami oleh pidato Hurst A. Anderson yang berjudul Ethical Values in
Administration. Anderson berpendapat masalah etika sangat penting dalam keputusan
administratif. Etika harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menjadi penuntun hidup
individu maupun sosial (philosophy of personal and social living). Agar dapat dianggap etis ,
seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standard atau asumsi-asumsi
yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan. Standard tersebut harus mencerminkan
nilai-nilai dasar masyarakat, tidak sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan tradisi.
Yang dimaksud nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan,
kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Model III – 1960an :
Pada tahun 1960an mulai muncul kritik terhadap teori organisasi tradisional. Robert T.
Golembiewski dalam bukunya Men, Management, and Morality menyatakan praktek
organisasi yang mendasarkan pada prinsip-prinsip organisasi tradisional telah membawa
dampak negatif bagi individu yang bekerja di dalam organisasi itu sendiri. Individu merasa
tertekan dan frustasi. Standard yang ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu
cocok sepanjang masa. Dalam hal ini, Golembiewski melihat etika sebagai ”contemporary
standards of right conduct” yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Untuk itu, agar
menjadi etis seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standard atau
asumsi yang merefleksikan nilai-nilai masyarakat dan semata tidak bergantung pada
kebiasaan atau tradisi. Standard etika bisa berubah ketika tercapai suatu pemahaman yang
lebih baik terhadap standard-standard moral yang absolut.
Model IV – 1970an :
Lahirnya Paradigma New Public Administration di tahun 1970an melahirkan tuntutan agar
administrator memperhatikan ”administrative responsibility”. David K.Hart menyarankan
agar ”social equity” menjadi pegangan pokok administrasi negara , sebagaimana disarankan
John Rawls dalam Teori Keadilan. Nilai keadilan sosial sesungguhnya merupakan bagian dari
core values dalam nilai-nilai masyarakat. Model ini merupakan penyempurnaan dari model-
model sebelumnya. Intinya agar etis, administrator harus senantiasa menguji dan
mempertanyakan standard yang melandasi pembuatan keputusan administratif dan standard
ini harus selalu disesuaikan dengan tantangan dan tuntutan perubahan lingkungan.
Model V – After Rohr
Tokoh [penting yang memberi kontribusi pada Model V adalah John Rohr dalam karyanya
Ethics for Bureaucrats yang ditulis tahun 1978. John Rohr dalam tulisannya berpendapat
bahwa dalam menguji dan mempertanyakan standard dan asumsi dalam pembuatan
keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung pada pemikiran pihak luar
seperti Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri,dsb. Untuk dapat disebut etis , seorang
administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mepertanyakan
standard-standard pembuatan keputusan. Administrator harus memahami bahwa ia akan
bertanggungjawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan yang dibuat
dan terhadap standard etika yang dijadikan dasar suatu keputusan.
Model VI – After Cooper
Tokoh penting pada model ini adalah Terry L. Cooper penulis buku The Responsible
Administrator terbit tahun 1986. Model ini menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara
administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para
administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Agar dapat
dikatakan etis , seorang administrator harus mampu mengatur secara independen proses
menguji dan mempertanyakan standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan . Isi dan
standard bisa berubah dari waktu ke waktu bila nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik
dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator harus siap menyesuaikan
standard-standard tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa merefleksikan
komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan
bertanggungjawab secara perorangan dan profesional, dan bertanggungjawab dalam
organisasi terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standard etika yang digunakan dalam
keputusan itu.
Kode Etik Aparatur Pelayanan Publik
Setiap negara memiliki sistem nilai atau kode etik sebagai acuan bagi aparat publik
untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sehari-hari. Nilai-nilai yang menginspirasi
kode etik aparatur atau pegawai negeri umumnya berasal dari nilai atau norma sosial, prinsip-
prinsip demokrasi dan etos profesionalisme. Berikut ini nilai-nilai etika aparatur publik yang
dirumuskan oleh Independent Sector pada Januari 2004 (dalam Lewis dan Gilman, 2005;37) :
Komitmen pada kebaikan publik
Akuntabilitas publik
Komitmen pada hukum
Hormat pada martabat individu
Inklusivitas dan keadilan sosial
Menghargai pluralisme dan keberagaman
Transparansi , integritas, dan kejujuran
Bertanggungjawab atas pemanfaatan sumber daya
Komitmen pada keunggulan dan menjaga kepercayaan publik
Kode Etik Adminitrator Publik Amerika Serikat sebagaimana dinyatakan oleh
American Society for Public Administration (ASPA) meliputi (dalam Keban, 2004):
Menjaga integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, beri perhatian,
keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan
lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka,
kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunan kekuasaan untuk kepentingan publik,
beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan
terhadap informasi yg sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem “merit” dan
program “affirmative action”
Etika administrasi negara di Indonesia yang paling mendasar adalah janji PNS yang
diucapkan saat diangkat sebagai pegawai negeri dan sumpah jabatan bagi mereka yang
menduduki jabatan struktural di birokrasi.
Inilah bunyi sumpah atau janji yang diucapkan saat seseorang diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil :
” Demi Allah, saya bersumpah/berjanji .
Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah;
bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri seseorang atau golongan;
bahwa saya, akan memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.
Inilah bunyi sumpah atau janji saat seorang PNS memegang jabatan :
“Demi Allah ! Saya bersumpah/berjanji,
Bahwa saya, untuk diangkat dalam jabatan ini, baik langsung maupun tidak langsung, dengan rupa atau dalih apapun juga, tidak memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun juga;
Bahwa saya akan setia dan taat kepada Negara Republik Indonesia;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus saya rahasiakan;
Bahwa saya tidak akan menenma hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya;
Bahwa saya dalam menjalankan jabatan atau pekerjaan saya, saya senantiasa akan lebih mementingkan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri atau golongan;
Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan Pegawai Negeri;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara
Kode etik pegawai negeri di Indonesia secara lebih detail diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) No. 42 Th. 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai
Negeri. Kode etik Pegawai Negeri Sipil dalam peraturan ini diartikan sebagai pedoman
sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan
pergaulan hidup sehari-hari. Dalam PP ini dirumuskan etika pegawai baik etika profesional,
etika organisasi, etika sosial, maupun etika personal.
Etika profesional pegawai negeri diatur dalam pasal Pasal 6 yang menyatakan nilai-
nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh Pegawai Negeri Sipil meliputi:
a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. semangat nasionalisme;
d. mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan;
e. ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;
f. penghormatan terhadap hak asasi manusia;
g. tidak diskriminatif;
h. profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi;
i. semangat jiwa korps.
Etika penyelenggaraan negara diatur dalam Pasal 8 yang menyatakan etika dalam
bernegara meliputi:
a. melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara;
c. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
d. menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan
tugas;
e. akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
dan berwibawa;
f. tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap
kebijakan dan program Pemerintah;
g. menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya Negara secara efisien dan
efektif;
h. tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang tidak benar.
Etika berorganisasi diatur dalam Pasal 9 yang menyatakan etika dalam bernegara
meliputi:
a. melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan yang berlaku;
b. menjaga informasi yang bersitat rahasia;
c. melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang;
d. membangun etos kerja untnk meningkatkan kinerja organisasi;
e. menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam
rangka pencapaian tujuan;
f. memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;
g. patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata kerja;
h. mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan
kinerja organisasi;
i. berorientasi pada upaya peningkatan kualias kerja.
Etika dalam bermasyarakat ( sosial) diatur dalam Pasal 10 yang meliputi:
a. mewujudkan pola hidup sederhana;
b. memberikan pelayanan dengan empati hormat dan santun tanpa pamrih dan tanpa
unsur pemaksaan;
c. memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak
diskriminatif;
d. tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat;
e. berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam melaksanakan
tugas.
Etika terhadap diri sendiri (personal ethics) diatur dalam Pasal 11yang meliputi :
a. jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar.
b. bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan;
c. menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan;
d. berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan, kemampuan, keterampilan,
dan sikap;
e. memiliki daya juang yang tinggi;
f. memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
g. menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;
h. berpenampilan sederhana, rapih, dan sopan
Adanya kode etik tidak menjamin bahwa birokrasi pelayanan publik di Indonesia
menjadi birokrasi yang efisien, bersih dan akuntabel. Yang penting bukan sekedar adanya
aturan yang merumuskan dengan terperinci apa nilai-nilai etika PNS tapi bagaimana nilai-
nilai itu diimplementasikan. Dua hal yang sangat penting dalam mengimplementasikan etika
adalah : adanya standard (aturan atau norma) yang harus dipatuhi dan kehendak kuat untuk
menjalankannya. Kode etik atau kesepakatan nilai bersama yang sering dilanggar akan
menjadi budaya etika yang buruk. Budaya etika yang buruk akan membuat pegawai
berpribadi buruk mempunyai lisensi untuk menjadi semakin buruk, pegawai yang pada
dasarnya berpribadi baik menjadi terdorong atau terpengaruh untuk ikut buruk, akibatnya
penyimpangan etika publik diterima sebagai hal yang lumrah. Inilah yang berkontribusi pada
pembusukan birokrasi.
Sumber :
Carol W.Lewis dan Stuart C.Gilman. 2005. The Ethics Challenge in Public Service ; A Problem-Solving Guide. Jossey-Bass. San Fransisco.
H. George Frederickson. 1997. The Spirit of Public Administration. Jossey-Bass Publishers. San Fransisco
Yeremias T.Keban. 2003. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Penerbit Gaya Media. Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah No. 42 Th. 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri