Etika

22
1. Code of Corporate and Business Conduct Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct )” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek- praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum. 2. Nilai Etika Perusahaan Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest). a. Informasi rahasia Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh

description

 

Transcript of Etika

1. Code of Corporate and Business Conduct

Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.

2. Nilai Etika Perusahaan

Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest).

a. Informasi rahasia

Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.

b. Conflict of interrest

Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung

kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :

1). Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).

2) Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.

3) Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.

4) Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga .

5) Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.

6) Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.

7) Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan.

8). Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public, yang merugikan pihak lain.

c. Sanksi

Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan / peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap

karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.

http://fahmibasyar.blogspot.com/2010/11/peranan-etika-bismis-dalam-penerapan.html\\

GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

Tahukah anda tentang Good Corporate Governance (GCG) ? jika belum tau, Good

Corporate Governance Secara umum yaitu merupakan sistem pengendalian dan

pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara

berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari

"nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft

definition).

 

Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang mengarahkan dan

mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta

kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada

para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal

ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang saham,

dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di

lingkungan tertentu. 

Jadi, menurut saya Good Corporate Governance adalah sebagai prinsip yang

mengarahkan dan mengendalikan suatu perusahaan yang dapat dilihat dilihat

berdasarkan hard definition maupun soft definition untuk mempertanggung jawabkan

kepada shareholders dan stakeholders demi perkembangan perusahaan tersebut. 

Akhir-akhir ini masalah Good Corporate Governance (GCG) dan Etika Bisnis banyak

mendapat sorotan. GCG dan Etika Bisnis merupakan dua hal yang tidak dapat

dipisahkan satu dengan lainnya. GCG lebih memfokuskan pada penciptaan nilai

( value creation) dan penambahan nilai (value added ) bagi para pemegang

saham, sedangkan etika bisnis lebih menekankan pada pengaturan hubungan

(relationship) dengan para stakeholders. Saat ini, ternyata masih banyak

perusahaan yang belum menyadari arti pentingnya implementasi GCG dan

praktik etika bisnis yang baik bagi peningkatan kinerja perusahaan. Sebagai

contoh, banyak praktek bisnis di berbagai perusahaan yang cenderung

mengabaikan etika. Pelanggaran etika memang bisa terjadi di mana saja, termasuk

dalam dunia bisnis. Untuk meraih keuntungan,masih banyak perusahaan yang

melakukan berbagai pelanggaran moral yang tidak etis,seperti praktik curang,

monopoli, persekongkolan (kolusi), dan nepotisme seperti yang telah diatur

dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan

usaha tidak sehat.

Adapun tujuan dari GCG diperlukan dalam rangka:

1. Mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran.

2. Mendorong pemberdayaan fungsi dan menadirian masing-masing organ perusahaan, yaitu Dewan Komosaris, Direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham. 

3. Mendorong pemegang saham, anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuahn terhadap peraturan perundang-undangan.

4. Mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab social perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.

5. Mengoptimalkan niali perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperjatikan pemangku kepentingan lainnya. 

6. Meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun inetrnasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. 

Ada dua faktor dalam GCG yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

Faktor Internal

Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang

berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:

 Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.

Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG. 

  Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.

Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi. 

 Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.

Faktor Eksternal

 Pelaku dan lingkungan bisnis

Meliputi seluruh entitas yang mempengaruhi pengelolaan perusahaan, seperti business

community atau kelompok-kelompok yang signifikan mempengaruhi kelangsungan

hidup perusahaan, serikat pekerja, mitra kerja, supplier dan pelanggan yang menuntut

perusahaan mempraktekkan bisnis yang beretika. Kelompok-kelompok di atas dapat

mempengaruhi jalannya perusahaan dengan derajat intensitas yang berbeda-beda.

Pemerintah dan regulator

Pemerintah dan badan regulasi berkepentingan untuk memastikan bahwa Perusahaan

mengelola keuangan dengan benar dan mematuhi semua peraturan dan undang-

undang agar memperoleh kepercayaan pasar dan investor.

  Investor

Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan pemegang saham dan pelaku

perdagangan saham termasuk perusahaan investasi. Investor menuntut ditegakkannya

atau dijaminnya pengelolaan perusahaan sesuai standar dan prinsip-prinsip etika

bisnis.

  Komunitas Keuangan

Meliputi semua pihak yang berkaitan dengan persyaratan pengelolaan keuangan

perusahaan termasuk persyaratan pengelolaan perusahaan terbuka, seperti komunitas

bursa efek, Bapepam-LK, US SEC dan Departemen Keuangan RI. Setiap komunitas di

atas mengeluarkan standar pengelolaan keuangan perusahaan dan menuntut untuk

dipatuhi/dipenuhi oleh Perusahaan.

Contoh kasus yang masih menyinpang pada Good Corporate Governance:

    Para PNS yang masih malas-malasan dalam menjalani tugas. Pernah ada berita tentang pegawai PNS yang masih malas-malasan dalam menjalani tugasnya sehari-hari. Contohnya mereka berangkat kerja siang hari dan pulang kerja sebelum jam pulang kerja, pernah juga ditemui para pegawai PNS yang berkeliaran di tempat-tempat umum pada jam kerja. Bahkan ketika apel upacara ada pegawai PNS yang tidak menghadiri apel upacara dan datang tidak tepat pada waktunya. 

Ada juga kasus tentang pelanggaran disiplin masuk kerja di salah satu kelurahan di

kota Probolinggo. Ada seorang pegawai PNS yang bernama BS, yang tidak masuk

kerja dalam jangka waktu yang lama. Dalam peraturan yang lama (PP 30 Th. 1980),

apabila BS tersebut tidak masuk lebih dari 2 bulan secara berturut-turut, baru dilakukan

penghentian gaji. Apabila pegawai yang bersangkutan tidak masuk berturut-turut

selama 4 bulan ke depannya (total 6 bulan), baru bisa diproses pemberhentian BS

secara tidak hormat dari PNS. Kalau Peraturan yang baru, malah lebih tegas dan jelas

lagi. Di sini tidak perlu menunggu hingga 2 bulan, atau bahkan 6 bulan. Cukup bagi

yang bersangkutan tersebut tidak masuk lebih dari 46 hari, dan menghitungnya tidak

perlu berturut-turut alias bisa akumulasi, maka si BS tadi bisa diproses untuk hukuman

berat.

Kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan kalangan dunia usaha yaitu kasus Enron, Worldcom & Tycogate. Hal tersebut terjadi karena terdapat pelanggaran etika dalam berbisnis (unethical business practices), padahal Amerika termasuk negara yang sangat mengagungkan prinsip GCG dan etika bisnis. Penyebab kebangkrutan beberapa perusahaan tersebut, karena diabaikannya etika bisnis serta prinsip GCG, terutama prinsip keterbukaan, pengungkapan dan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan. Implementasi GCG memang tidakbisa hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan etika. Seperti kita ketahui, sebagus apapun sistem yang berlaku diperusahaan, apabila manusia sebagai pelaksana sistem berperilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat menimbulkan fraud  yang sangat merugikan perusahaan.Beberapa saat setelah krisis ekonomi melanda negeri kita sekitar tahun 1997 yang lalu,banyak terdapat bank-bank yang berguguran alias ditutup usahanya, sehingga termasuk kategori Bank Beku Operasi, Bank Belu Kegiatan Usaha dan Bank dalam Likuidasi. Salah satu penyebab kebangkrutan bank-bank tersebut karena perbankan Indonesia pada saat itu belum menerapkan prinsip-prinsip GCG serta etika bisnis secara konsisten. Semoga kasus kebangkrutan perusahaan di Amerika serikat serta perbankan di Indonesia tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk diambil hikmahnya, sehingga dalam pengelolaanperusahaan tetap berpedoman pada etika bisnis yang baik serta menerapkan prinsip GCG.

ANALISIS:

1. Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan Good Corporate

Governance sangat penting bagi perusahaan baik dari pihak internal maupun pihak

eksternal untuk meningkatkan etika dalam suatu perusahaan tersebut.

2. Perusahaan harus lebih meningkatkan disiplin kerja bagi para pegawainya agar

perusahaan tersebut dapat berkembang maju kedepan apabila menggunakan prinsip

GCG dan lebih meningkatkan etika-etika yang baik agar tidak melalaikan suatu

pekerjaan bahkan melanggar peraturan yang tidak sesuai dengan GCG.

3.   Secara moral perusahaan yang menyimpang dari Good Corporate Governance tidak

mencerminkan tanggung jawab kepada para pemegang saham dan akan merugikan

pihak-pihak terkait, dan citra perusahaan akan di kenal buruk oleh berbagai kalangan.

4. Perusahaan yang melanggar seperti kasus diatas harus ditangani agar tidak melanggar

etika dan tidak merugikan pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan.

Seharusnya perusahaan atau instansi tersebut memberikan contoh etika yang baik

kepada kalangan masyarakat.

http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/10/good-corporate-governance-gcg.html

PENGARUH PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DALAM BISNIS DAN IMPLIKASINYA TERHADAP AKUNTABILITAS PEMERINTAH

Oleh :

Hj. Rinda Asytuti, M.Si.

Dosen Ekonomi Islam STAIN Pekalongan & Kandidat Doktor Ekonomi Islam

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendahuluan

Keberlangsungan eksistensi perusahaan tidak hanya diukur oleh performa keuangan, peningkatan keuntungan akan tetapi  juga performa internal perusahaan (etika dan Good Corporate Governance [GCG] ) dan performa kepedulian sosial perusahaan.

Kasus kebocoran gas MIC di Bhopal India tahun 1984, Union Carbide Amerika yang menyebabkan kematian 2000 orang meninggal dan 200.000 orang luka parah, merupakan salah satu kejahatan sosial sebuah korporasi terbesar pada tahun itu yang menyebabkan kerugian jiwa dan cacat seumur hidup bagi penderitanya. Akibat kasus ini Union Carbide mengalami kerugian yang sangat besar yang mengguncangkan keberadaan perusahaan tersebut. Kejahatan korporasi dibidang lain berupa kecurangan bisnis seperti kasus ENRON Corporation, World Com dan Merrill Lynch pada kurun tahun 2002. Pada tahun 1990 an kasus kejahatan bisnis juga dilakukan oleh Prudential Securities dan Nasdaq .

Kejahatan bisnis tidak hanya terjadi di Amerika, Indonesia kasus ini sering terjadi dan bahkan tidak dapat menyeret pelakunya ke meja hijau. Pengucuran kredit fiktif dan illegal, kasus money loundring, monopoli, suap dan kolusi adalah hal yang amat lumprah terjadi dalam bisnis.

Benarkan bisnis jauh dari etika dan selalu mengedepankan keserakahan? Benarkah bisnis hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan faktor moral, etika, kepedulian pada orang lain dan lingkungan?.Agaknya kita dapat sangat mafhum bila bisnis juga tak pandang teman.  Bisnis hanya mengejar keuntungan materi semaksimal mungkin untuk menyenangkan pemilik modal (shareholder) yang sering mengesampingkan kepentingan stakeholder di lingkungan bisnis tersebut.

Kejahatan bisnis seperti menghindari pajak, memberikan sumbangan kampaye politik, membuang limbah sembarangan, tidak melaporkan keuntungan, kolusi dengan pejabat terkait dalam berbagai hal untuk memuluskan tujuan, acap kali terjadi dan kadang melibatkan pihak eksekutif maupun legeslatif. Sehingga tindakan hukum tidak dapat diperlakukan dengan baik bagi mereka. Contoh tergamblang adalah kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Illegang loging terbaru di Ketapang yang merugikan Negara ratusan triliun rupiah.

Tulisan ini ingin mengupas tentang peranan etika dan Good Corporate Governance (GCG) perusahaan sebagai langkah awal peningkatan akuntabilitas institusi yang berkaitan.

Etika dalam Bisnis

Etika sering dikaitkan dengan moral. Dalam bahasa latin Yunani Etika berasal dari kata A thikos yang diterjemahkan dengan” mores” yang berati kebiasaan. Aristoteles menyebutkan etika ini dalam bukunya “Ethique A nicomaque” sebagai “mores” yang juga berarti kebiasaan. Kata moral ini mengacu pada baik dan buruknya manusia terkait dengan tindakan, sikap dan ucapannya.

Etika  bisnis adalah aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi,  teknologi, transaksi , aktivitas dan usaha yang di sebut dengan bisnis. Etika bisnis berarrti bertumpu pada kesetiaan sikap etis dan komitmen moral untuk tidak berbuat curang, merugikan orang lain, Negara dan masyarakat, mengancam lingkungan serta kebudayaan  yang telah ada.

Etika bisnis merupakan elemen yang wajib dimunculkan dalam kegiatan transaksi yang disebut bisnis. Seiring dengan peningkatan peradaban manusia dan semakin ketatnya persaingan, terkadang bahkan tidak jarang pengusaha melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Praktik kecurangan seperti insider trading, windsows dressing, penipuan, manipulasi data keuangan, penyuapan terhadap birokrasi, monopoli, serta kolusi dan nepotisme sering dilakukan.

Runtuhnya ekonomi Indonesia pada tahun 1997 merupakan ledakan dari penyakit ekonomi yang mengabaikan etika dan good corporate governance dalam perekonomian. Sebelum krisis, perekonomian Indonesia dibangun Soeharto dengan konsep trickle down effect (menetes ke bawah) artinya  hanya membuka lebar akses kredit bagi pengusaha besar dan meneteskan segelintir kue untuk rakkyat (UKM). Kenyataan ini tidak memberikan keadilan kepada seluruh masyarakat. Kekayaan hanya bertumpu pada segelintir orang yakni keluarga cendana dan kroninya. Rakyat merasa ditindas dan diacuhkan hak-haknya. Maka tak heran ketika  krisis moneter melanda Indonesia lah yang terhempas paling keras dan hingga saat ini belum bisa bangkit.

Kebutuhan akan kondisi perekonomian yang stabil dan pro rakyat kecil merupakan dambaan dan impian bagi kebanyakan rakyat kini. Akan tetapi hingga saat ini kondisi itu baru dalam mimpi. Masyarakat Indonesia masih harus membenahi banyak lubang dari baju yang disebut reformasi. Pemerintah sebagai kekuatan yang mengatur sudah seharusnya memberikan keadilan dan pemerataan pendapatan bagi rakyatnya. Memberikan akses ekonomi bagi rakyat kecil untuk berusaha bukan hanya kepada korporat yang telah nyata-nyata merugikan Negara hingga saat ini tidak ada satu pun yang di adili.

Ada tiga keadilan dalam etika bisnis, menurut John Piers dna Nizam Jim (2007 :  53), yaitu :

Pertama, Distributive justice yakni adanya distribusi yang memadai dan adil dalam masyarakat. Artinya sumber daya yang ada di Negara ini adalah sepenuhnya milik rakyat Indonesia bukan milik segelintir orang. Maka tugas pemerintah untuk melakukan pemeratan, baik pendapatan, kesempatan berusaha, makanan , perumahan dan jaminan sosial.

Kedua, Retributive Justice. Keadilan ini adalah keadilan pada sisi hukum Artinya semua orang memiliki hak dan posisi yang sama di mata hukum. Siapapun yang melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada.

Ketiga, Compensatory Justice. Keadilan ini dimaksudkan bahwasannya semua orang berhak dihormati atas harta benda yang dimilikinya. Bila seseorang telah merugikan orang lain secara materi, maka orang tersebut wajib membayar kerugian tersebut.

Dalam bisnis etika dan moral mutlak diperlukan. Pemerintah merupakan institusi yang dapat menekankan dan mempresure pelaksanaan etika dan moral dalam bisnis. Pemerintah hingga saat ini belum memberikan prestasi yang membanggakan dalam pelaksanaan etika dan moral dalam bisnis. Kebiasaan korupsi, suap, kolusi dan manipulasi masih mengakar kuat di semua eleman masyarakat dan birokrasi merupakan penghambat besar bagi tercitanya kegiatan bisnis yang fair dan adil.

Kebutuhan besar atas modal asing(Foreign Invesment Direct) juga mendorong pemerintah tidak tegas menyikapi persoalan pelanggaran hukum oleh perusahaan asing maupun dalam negeri seperti pencemaran lingkungan, pembalakan liar (illegal loging), kebocoran gas dan bahkan rendaman Lumpur Lapindo. Perusahaan asing sering melaksanakan standar etika yang longgar di Negara berkembang dibandingkan dengan di negaranya sendiri.

Pelanggaran etika bisnis di negara ini masih dipandang sebagai hal yang wajar dilakukan karena didukung oleh mental-mental korup. Walaupun saat ini terdapat komisi persaingan usaha akan tetapi keberadaannya belum memberikan dampak positif yang signifikan untuk mengurangi kecurangan, tindak  penipuan, dan bahkan penyuapan.

Menyoal tentang penyuaapan konferensi Malta (1994) menegaskan bahwa yang dianggap dengan penyuapan adalah semua tindakan yang bersifat improbity atau dishonesty. Batasan itu tidak hanya melanggar hukum namun juga kepantasan atau improper.

Di Amerika, penyuapan dilarang didasarkan perundang-undangan “ Foreign Corrupt Practices Act/FCPA ” yang ditanda tangani oleh presiden Jimmy Carter ada tanggal 20 Desember 1977 dan menjatuhkan perkara ini sebagai perkara pidana. UU ini diterapkan pada kasus Lockhead Aircraft Corporation tahun 1972 yang melibatkan perdana menteri Jepang Tanaka.  Gambaran ini jarang kita jumpai di Indonesia.

Korupsi dana BLBI yang menghilangkan uang Negara ratusan triliun rupiah, kasus bank mandiri, KPU , kasus jamsostek dan lain-lain hingga detik ini belum ada yang mendapatkan hukuman. Belum lagi kasus korupsi yang ada di dalam pemerintahan atau BUMN. Harian Kompas tanggal 27 Juli 2005 mencatatkan berdasarkan temuan Tim Investigasi Korupsi, korupsi yang terjadi di BUMN sebesar 2,2 triliun.

Saat ini pemerintah,  perusahaan swasta menyadari perlunya perbaikan nilai-nilai moral dan etika dalam organisasi dan praktik bisnis yang disebut dengan Good Corporate Governance. Good Corporate Governance mutlak diperlukan guna pembenahan secara internal dan structural untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, manipulasi dan nepotisme.Sedangkan pada sector bisnis Good Corporate Governance juga dapat menimalkan pelanggaran etika dan moral, peningkatan kinerja organisasi baik eksternal maupun internal.

Good Corporate Governance sebagai implikasi pelaksanaan etika dan moral

Good Corporate Governance dipahami sebagai kepemerintahan atau penyelenggaraan kepemerintahan atau organisasi yang bersih dan efektif sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Good Corporate Governance meliputi political governance, economic governance seperti peningkatan dan pemerataan pendapatan, penciptaan kesejahteraan, penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance meliputi tahapan admistrasi pemerintahan yang efisien, efektif dan bersih.

Menurut Umer M. Chapra  dan Habib Ahmed (2002), Good Corporate Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai  berikut :

1. Landasan hukum, berarti keputusan pemerintah dituangkan sebagai peraturan atau hukum

1. partisispasi maksimal dari semua stakeholder memberikan hak keterlibatan dan peran semua stakeholder dalam proses pengambilan keputusan

2. prinsip hukum dan aturan, diartikan semua keputusan pemerintahan dituangkan dalam bentuk peraturan yang adil dan mampu memayungi semua lapisan masyarakat

3. prinsip transparansi, semua. penyelenggaran Negara / organisasi harus terbuka baik dalam kebijakkan dan pembuatan keputusan

4. prinsip responsitivitas bahwa aparatur harus bertindak responsive terhadap tututan dan keluhan dari masyarakat baik langsung mapun tidak langsung

5. orientasi konsensus yaitu pengambilan keputusan secara musyawarah untuk mufakat yang menyangkut kepentingan rakyat

6. keadilan dan kewajaran dimaknai distribusi tugas dan hak harus dilakukan secara adil dan wajar sesuai dengan peraturan yang ada

7. efisiensi dan efektivitas, diartikan sebagai keharusan untuk pemerintah berjalan seefisien mungkin dan bekerja secara efektif sehingga didapatkan hasil yang maksimal

8. Prinsip akuntabilitas berarti setiap pelaksanaan tugas dan penggunaan sumber-sumber dana, pelaksanaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan terbuka kepada rakyat

9. Prinsip visi strategis, berarti semua pelaksanaan tugas pemerintahan harus selalu mengacu pada visi misi yang ditetapkan.

Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) ini tidak hanya berlaku dalam organisasi kepemerintahan tetapi dalam bidang industri dan bisnis juga mesti dilakukan. Prinsip–prinsip GCG dalam bidang bisnis telah banyak diterapkan. Sebuah organisasi internasional the organization for economic Cooperation and Developmet (OECD) menetapkan beberapa prinsip GCG untuk dunia bisnis agar dapat menembuhkan iklim investasi yang kondusif .

Prinsip-prinsip GCG yang ditetapkan oleh OECD mencakup hal-hal yaitu landasan hukum, hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan, perlakuan adil terhadap pemilik saham, peranan stakeholder dalam penerapan GCG, prinsip transparansi dalam pengungkapan informasi mengenai perusahaan dan tanggungjawab managemen perusahaan.

Dari definisi atas pada prinsipnya Good Corporate Governance meliputi empat aspek yaitu akuntability, fairness (kewajaran), transparency dan responsibility. Penerapan etika dan GCG di dalam dunia bisnis dapat meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap menjalankan kewajaran dan tanggungjawab sosial, lingkungan dan hukum. Karena eksistensi perusahaan tidak hanya terkait dengan performa financial akan tetapi tak dapat dipungkiri responsibility social dan lingkungan hidup juga menambah value of the firm.

Corporate Sosial Responsibility Sebagai Implimentasi Good Corporate Governance Dalam Bisnis

Nilai sebuah perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja keuangan sebagai tanggungjawab kepada shareholder (pemilik saham) sebagai mana konsep manajemen keuangan  pada umumnya, akan tetapi kosistensi kepedulian kepada stakeholder dari perusahaan seperti karyawan, lingkungan dan masyarakat, merupakan sebuah keharusan yang mesti dijalankan.

Sebagai bentuk penerapan etika dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosialnya mapun lingkungan hidup disekitar perusahaan, digalakkan gerakan community development sebagai bagian dari Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab social perusahaan.

Definisi CSR perusahaan adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan, dan masyarakat setempat untuk meningkatkan kualitas kehidupan (Abdullah, tt. : 12). Di sisi lain CSR dapat juga diartikan sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis bergenerasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan kualitas hidup karyawan, komunitas lokal dan masyarakat umum secara luas (M. Syifaullah, tt. : 8).

Corporate Social Responsibility (CSR) biasa dikenal sebagai tangggung jawab social perusahaan adalah bagian yang sangat penting selain good corporate Government (GCG) dalam perusahaan. Salah satu dari empat prinsip GCG adalah responsibility selain fairness, transparency, accountability (www. fcgi.or.id).

Responsibilitly pada CSR lebih menekankan pada stakeholders-driven concept yakni memberikan penekanan signifikan pada stakeholders perusahaan dan memelihara nilai tambah yang ditumbuhkan yang berkesinambungan.

Stakeholders perusahaan dapat didefinisiskan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan termasuk didalamnya adalah karyawan, pelanggan, konsumen, pemasok, masyarakat dan lingkungan sekitar termasuk pemerintah sebagai regulator.

Dalam CSR perusahaan tidak hanya dihadapkan pada tanggungjawab yang bersifat single bottom line yakni nilai perusahaan (corporate value)  yang direfleksikan dalam neraca laporan keuangan saja. Tanggung jawab perusahaan lebih berpijak triple bottom lines yakni finansial, masyarakat dan lingkungan sosial.

Lebih lanjut tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR memiliki bentuk yang beraneka ragam. Berbagai macam kegiatan dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mengimplementasikan CSRnya, mulai dari pemberian beasiswa, pendidikan gratis, kepedulian lingkungan, community development dan lain-lain

Menurut Tursiana Setyohapsari dalam wawancaranya dengan majalah “MIX Marketing” mengatakan bahwasannya CSR bukan hanya sekedar kegiatan charity saja, akan tetapi akan lebih efektif bisa CSR perusahaan mempunyai program jelas dan berkesinambungan (Dyah Hasto Palupi, Majalah MIX, Edisi 16, 30 Oktober 2006 : 24).

Terdapat lima kriteria penting dalam menjalankan program CSR bagi perusahaaan. Pertama, Sustainable empowerment artinya perusahaan harus mampu melakukan program CSR yang bersifat empowerment yang bertujuan memberdayakan beneficiary self-reliant secara ekonomis maupun sosial. Kedua strategic alliance dengan organisasi nirlaba. Kemitraan adalah faktor penting dalam membangun obyektifitas misi dan visi sebuah program CSR. Ketiga employee participation. Program CSR perusahaan dapat berjalan dengan baik bila berhasil menggalang partisipasi aktif karyawan perusahaan yang bersangkutan. Keempat, sebuah program CSR harus mampu membangun buffer sosial dan politik bagi perusahaan. Artinya perusahaan harus mampu membangun jaringan kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan bisnis perusahaan. Kelima, program CSR yang dibangun harus high-profile, artinya program CSR yang dibangun harus stand out, yang mudah dilihat, didengar dan diingat orang. Hal ini berarti program CSR juga wajib didukung oleh kemampuan PR yang kuat.

Phlip Kotler dan Lee lebih lanjut mengidentisikasi enam pilihan program yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mewujudkan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu:

Pertama, Couse Promotion dalam bentuk memberikan kontribusi dan atau penggalangan dana untuk meningkatkan kesadaran akan masalah-masalah sosial tertentu seperti , HIV, Narkoba (Pikiran rakyat, 2006)

Kedua, Couse related marketing yakni bentuk kontribusi perusahaan dengan cara menyisihkan seperkian persen dari keuntungan perusahaan untuk donasi sosial, untuk masalah , waktu atau produk tertentu

Ketiga, Corporate social marketing, disini perusahaan membantu pengembangan maupun implementasi dari kampaye dengan focus untuk merubah prilaku tertentu yang negatif

Keempat, Corporate Philanftrophy adalah inisiatif perusahaan dengan memberikan kontribusi secara langsung atau disebut amal.

Kelima, Community Volunteering. Dimana perusahaan dalam aktivitas CSRnya mendorong karyawannya atau partner bisnisnya dengan sukarela bergabung ikut untuk membantu masyarakat setempat.

Keenam, Socially practice, responsible business dimana perusahaan mengadopsi dan melakukan praktik bisnis tertentu yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas komunitas dan melindungi lingkungan.

Kesadaran perusahaan untuk melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR)nya sudah mulai diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia. Para praktisi bisnis mulai menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kwantitas produk yang terjual, indahnya laporan keuangan, tingginya harga saham perusahaan, akan tetapi indahnya hubungan kerja antar karyawan dan perusahaan, dukungan masyarakat terhadap eksistensi perusahaan menjadi faktor yang perlu diperhatikan.

Tercatat sejumlah perusahaan besar mulai merancang program CSR nya tidak sebatas charity atau sumbangan insedental ketika terdapat bencana, tetapi lebih terkootdinir dengan baik dan didukung oleh komitmen dana yang memadai.

Kuky Permana Direktur Eksekutif PT Indocement Tunggal Perkasa menyatakn bahwa hanya perusahaan yang melaksanakan CSR dengan baik yang dapat bertahan dalam jangka panjang. Terlebih program CSR harus didukung oleh setiap bagian dari perusahaan yang terlibat, dan dilakukan disetiap tahapan produksi sehingga lingkungan dan masyarakat tidak terganggu (Republika, 28 April 2007 : 22).

Disisi lain program CSR tidak hanya dilakukan untuk memberikan  keuntungan satu sisi yakni lingkungan sosial dan masyarakat, akan tetapi program CSR oleh beberapa perusahaan juga dijadikan sarana untuk mendongkrak Citra perusahaan  yang merupakan bagian dari strategi bisnis.

PENUTUP

Penguatan struktur ekonomi Negara dan praktek bisnis seharusnya memegang teguh etika bisnis. Implementasi etika dapat terwujud dengan pelaksanaan Good Corporate Governance dan Corporate Social Responsibility (CSR). Karena value of the firm tidak hanya bergantung pada kinerja keuangan akan tetapi kepedulian terhadap kepentingan stakeholder akan memeberikan nilai tambah bagi perusahaan tersebut dalam menjalankan bisnisnya. Pelaksanaan GCG di dalam bisnis, dengan sendirinya akan mendukung akuntabilitas pemerintahan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Dyah Hasto Palupi, Bagaimana Seharusnya CSR? , majalah MIX edisi 16, 30 Oktober 2006

Frans Magnis Suseno,Etika Umum, Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius , 1979 h. 12-13.

John Piers, Nizam Jim, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Jakarta, Pelangi Cendikia, 2007

Lies Hendiani, CSR untuk kemaslahatan Perusahaan, Majakah MIX, edisi 16, 30 oktober 2006

Mahmud Ali Abdul halim, Fiqih Responsibility Tanggung Jawab Muslim dalam Islam,Jakarta: Gema Insani Press, 1998

Miranty Abidin, CSR di Indonesia, Majalah MIX, edisi 16  30 Oktober

M. Syifaullah, Corporate Social Responsibility PT Antam tbk, 2006

Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: AMP YKPN, 2004

Philip Kotler, Manajemen Pemasaran, Jakarta; Indeks, 2004

Republika, Liputan Khusus CSR, Jakarta. sabtu, 28 April 007

Sumardy, Branded CSR, majalah Mix, edisi 16, 30 Oktober 2006

Tom Morris, If Aristotle Ran General Motor: The New Soul Business (terj)., Bandung: Mizan , 2003

Umer M. Chapra  dan Habib Ahmed, Corporate Governance in Islamic Instituition, Occasional Paper No 6 Jaddah 2002

http://www.stain-pekalongan.ac.id/id/artikel/176-penerapan-gcg-dalam-bisnis.html