eterlibatan Militerdalam% Konflik Agrariadi Indonesia...
Transcript of eterlibatan Militerdalam% Konflik Agrariadi Indonesia...
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru No. 01/WP-‐KAPPOB/II/2019
Suhendra Abd. Kader
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di
Indonesia Pasca Reformasi
Kasus Kebun Ramunia dan PLTU Batang
Agrarian Resources Center
2019
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Kader, Suhendra Abd. Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca Reformasi: Kasus Kebun Ramunia dan PLTU Batang Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru, Vol. 2, No. 01/WP-KAPPOB/II/2019 Cetakan 1, Bandung: ARC, 2019 35 hlm; 21 x 29,5 cm ISSN 2541-0121
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru (KAPPOB) Vol. 2 editor seri, Dianto Bachriadi Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru (KAPPOB) menyajikan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh ARC terkait dengan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru. Seri ini menampilkan tulisan-tulisan hasil penelitian yang terbaru maupun tulisan lama dalam tema terkait yang belum pernah diterbitkan maupun yang sudah pernah dipublikasi di tempat lain – khususnya yang diterbitkan dalam bahasa asing. Tulisan-tulisan ‘lama’ diterbitkan menjadi bagian dari seri working paper ini jika dianggap relevan dan untuk tujuan perluasan penyebaran. Seri working paper ini dipersembahkan untuk mengenang (Alm.) Tri Agung Sujiwo (1975-2015) – anggota Perkumpulan ARC (2005-2015) – yang menjadi penggagas utama dari penerbitan seri working paper KAPPOB. Penerbitan seri working paper KAPPOB didukung oleh CCFD – Terre Solidaire, Perancis
editor bahasa: Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi
layout & setting: penkee
disain sampul: Akbar Habibie
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA +62 – 22 – 7237799 [email protected] www.arc.or.id
Suhendra Abd. Kader
Keterlibatan Militer dalam Konflik
Agraria di Indonesia Pasca Reformasi
Kasus Kebun Ramunia dan PLTU Batang
Working Paper ARC 01/WP-‐KAPPOB/II/2019
Agrarian Resources Center 2019
Daftar Isi
Pengantar 1
Akumulasi Modal dan Kekuatan Militer 3
Kodam Bukit Barisan dan Konflik Agraria di Desa Perkebunan Ramunia 5
Sejarah Tanah dan Munculnya Konflik Agraria 5
Perjuangan Forum Masyarakat Tani Maju (FORMAT) 11
Perjuangan Badan Perjuangan Masyarakat Anggrek Baru (BPMAB) 15
Bandara Kualanamu dengan Konsep Aerotropolis di Sumatera Utara 17
Komodifikasi dan Privatisasi Tanah oleh TNI AD Kodam Bukit Barisan 20
Rencana Pembangunan PLTU di Batang dan Konflik Agraria 22
Keterlibatan Kodim Batang dalam konflik agraria untuk PLTU Batang 24
Karakteristik Keterlibatan Militer Di Kasus Ramunia dan Batang 27
Daftar Pustaka 33
Gambar dan Tabel
Gambar 1. Lokasi Kebun Ramunia dan Bandara Kualanamu 6
Gambar 2. Liputan Media Pembubaran Aksi Warga oleh Pangdam I Bukit Barisan 14
Gambar 3. Konsep Disain ‘Airport City’ Bandara Kualanamu 17
Gambar 4. Master Plan Bandara Internasional Kualanamu dengan Konsep Aerotropolis 18
Gambar 5. Papan Pemberitahuan Tanah Milik Puskopar “A” Dam I/Bukit Barisan di Tengah Pemukiman dan Lahan Garapan Warga 21
Gambar 6. Stiker, Coret-‐coretan dan Patok Penolakan terhadap PLTU Batang 26
Tabel 1. Karakteristik Keterlibatan Militer di Ramunia dan Batang 28
= Kader
1
Pengantar
"TNI tidak pernah mengambil tanah rakyat" (Mayjen Edy Rahmayadi, Panglima Kodam I Bukit Barisan,
17 April 2015, news.detik.com)
Pembahasan kembali tentang keterlibatan militer dalam sejumlah konflik agraria di
Indonesia pasca reformasi 1998 tetap relevan meskipun salah satu tuntutan reformasi adalah
militer ditarik mundur sepenuhnya dari berbagai aktivitas sosial-‐politik kecuali urusan
keamanan negara. Hal ini karena keterlibatan kelompok militer atau Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dalam berbagai konflik agraria bertentangan dengan peran dan fungsi TNI
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Peran dan fungsi TNI di dalam peraturan perundang-‐undangan tersebut ‘dikembalikan’
sepenuhnya hanya menjadi alat pertahanan negara terhadap setiap bentuk ancaman militer
dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri (pasal 5 dan 6). Pada tahun 2009 juga
diatur agar seluruh anggota TNI tidak terlibat dalam bidang politik, kegiatan bisnis dan
pemerintah Indonesia mengambil-‐alih semua bisnis militer yang dimiliki dan dikelola oleh
TNI baik secara langsung maupun tidak langsung (Peraturan Presiden No. 43 tahun 2009
tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis Tentara Nasional Indonesia).
Namun kecenderungan yang ada saat ini tidak ubahnya dengan tindak tanduk TNI di
masa pemerintahan Orde Baru. Selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru, melalui Dwi Fungsi
ABRI peran dan fungsi militer tidak sebatas sebagai alat pertahanan dan keamanan negara,
juga sebagai suatu kekuatan sosial, ekonomi dan politik.1 Sebagai kekuatan sosial politik
semasa pemerintahan Orde Baru, kelompok militer (TNI) sangat aktif terlibat dalam
kehidupan masyarakat. Kelompok militer seringkali menjadi alat represi Negara yang efektif
untuk memaksa masyarakat menerima kebijakan-‐kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Orde
Baru. Dalam banyak kasus agraria, keterlibatan kelompok militer dipakai oleh pemerintah
untuk merampas tanah yang dikuasai masyarakat baik untuk kepentingan pembangunan
1 Ketetapan MPRS No. XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertanahan/Keamanan, disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Lalu ada Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara, UU No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara, dan UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
2
ekonomi tertentu maupun secara langsung untuk kegiatan bisnis kelompok militer yang
bersangkutan (Hardiyanto et al. 1995; Harman et al. 1995; Samego et al. 1998: 45).
Konflik agraria yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah konflik yang terjadi antara
sekelompok orang atau masyarakat dengan kelompok lainnya – yakni negara dan korporat –
dalam bentuk yang “ekstrim” atau keras dalam memperebutkan objek yang sama berupa tanah
dan benda lain yang berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, mineral atau tambang dan
juga udara yang berada di atas tanah sehingga mempunyai dampak yang luas dalam dimensi
sosial ekonomi dan politik (Wiradi 2009: 55-‐56). Di banyak kasus, jika dikaji lebih dalam, baik
secara langsung maupun tidak langsung akan tampak bagaimana kelompok militer terlibat di
dalamnya. Sehingga dalam pengelompokkan kasus konflik agraria, termasuk banyak kasus di
Indonesia, hal ini menjadi sangat khas.
Berangkat dari persoalan tersebut, tulisan ini berusaha untuk menelusuri apa yang
melatarbelakangi kelompok militer, dalam hal ini TNI, terlibat dalam konflik-‐konflik agraria di
era pasca reformasi 1998. Lebih jauh, tulisan ini akan mengangkat kasus keterlibatan Komando
Daerah Militer (Kodam) Angkatan Darat (AD) Bukit Barisan (BB), di Sumatera Utara dalam
konflik agraria. Kasus yang dimulai dari sengketa lahan antara Pusat Koperasi Angkatan Darat
(puskopad) Dam II/Bukit Barisan (BB) dan masyarakat setempat di Ramunia, Kecamatan
Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Kasus ini memperlihatkan keterlibatan
kelompok militer, khususnya Puskopad (BB), di kasus konflik agraria dilatarelakangi oleh
kegiatan bisnis mereka dengan dalih pembangunan. Kasus lainnya yang akan diangkat dalam
tulisan ini adalah keterlibatan TNI AD Kodim Batang dalam konflik antara masyarakat
setempat di sekitar proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang
dengan PT Bimasena Power Indonesia (PT BPI) selaku pemilik pembangkit listrik tersebut.
Tulisan ini hendak mengungkap “bagaimana karakteristik keterlibatan kelompok militer
dengan melihat tindakan-‐tindakannya di dua kasus yang dikaji dan meninjau persamaan-‐
persamaan dan perbedaan yang terjadi pada kedua kasus tersebut”. Kedua kasus ini juga
menjadi pintu masuk untuk membahas fenomena khaki capitalism di Indonesia yang bekerja
melalui serangkaian kebijakan, tindakan dan aktivitas ekonomi politik yang dimainkan oleh
kelompok militer untuk mengontrol akses atas sumber-‐sumber ekonomi dan politik di balik
keterlibatannya dalam konflik agraria pasca refromasi.
Kedua kasus ini layak dikaji untuk menemukan persamaan-‐persamaan dan perbedaan
motif dan tindakan kelompok militer untuk melibatkan diri dalam konflik agraria. Di kedua
kasus, keterlibatan militer sama-‐sama didorong oleh kepentingan ekonomi baik secara
= Kader
3
langsung maupun tidak langsung. Perbedaannya, militer di Ramunia, Sumatera Utara,
dipergunakan sepenuhnya sebagai alat pemaksa yang represif untuk mempertahankan dan
melanjutkan bisnis yang secara langsung dimiliki oleh kelompok militer melalui Puskopad
Dam II/BB. Sedangkan di kasus PLTU Batang, keterlibatan militer dalam konflik agraria
didorong oleh kepentingan ‘bisnis’ mereka dalam kegiatan pengamanan proyek dengan dalih
kelancaran pembangunan ‘proyek strategis nasional’.
Akumulasi Modal dan Kekuatan Militer
Pendekatan ekonomi politik yang diuraikan oleh David Harvey melalui konsepsi
accumulation by dispossesion (AdB) akan menjadi alat periksa terhadap dua kasus yang
disajikan di sini. Menurut Harvey, accumulation by dispossesion (AdB) memiliki empat fitur,
yaitu: privatisasi dan komodifikasi, finansialisasi, manajemen dan manipulasi krisis, dan
redistribusi negara (Harvey 2009: 269). Keempatnya bekerja dalam melipatgandakan (:
akumulasi) nilai lebih dan reproduksi modal dengan karakter yang berbeda namun saling
terkait satu dengan lainnya. Konsep “AdB” dikembangkan oleh Harvey untuk menjelaskan
adanya sejumlah mekanisme mutakhir dalam sejarah perkembangan yang tidak dapat
terjelaskan melalui konsep “akumulasi primitif” (primitive accumulation) sebagaimana yang
digagas oleh Marx (Harvey 2010: 162-‐164).
Komodifikasi dan privatisasi merupakan tahap awal dari “AdB” yang bekerja melalui
transformasi segala hal menjadi komoditas, terutama komodifikasi atas tanah dan tenaga kerja
– sebagaimana juga dijelaskan oleh Marx melalui konsep “akumulasi primitif”. Bentuk-‐bentuk
awal dari komodifikasi atas tanah dan tenaga kerja dilakukan melalui pendakuan hak milik
pribadi atas tanah. Terjadi individualisasi atas tanah-‐tanah hak bersama (the commons), tanah-‐
tanah komunal, tanah-‐tanah publik, dan Tanah Negara yang penguasaan bahkan
kepemilikannya diaku sebagai tanah-‐tanah pribadi lalu diabdikan untuk kepentingan investasi;
pada saat yang sama golongan baru pekerja upahan tercipta (: proletariasiasi) melalui
penggusuran – yang seringkali dilakukan dengan cara paksa – terhadap penduduk petani
setempat sebagai basis bagi penciptaan kelas pekerja upahan tersebut. Proses tersebut
seringkali berlangsung dengan kekerasaan, kolonisasi, dan melibatkan kekuasaan negara
dimana kekuatan militer menjadi alat represif yang berperan penting memuluskan jalannya
proses-‐proses tersebut. Syarat tersebut menjadi dasar dalam proses akumulasi kapital
termasuk yang terjadi melalui mekanisme finansialisasi, managemen dan manipulasi krisis
hingga redistribusi negara. Sedangkan privatisasi sarana-‐sarana publik, infrastruktur,
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
4
telekomunikasi, air, juga tanah merupakan tahapan lanjut dalam mekanisme akumulasi ini,
sehingga “AdB” dapat dikatakan menjadi mekanisme pembukaan medan-‐medan baru
pencarian laba dan reproduksi modal.
Finansialisasi merupakan tahap berikutnya yang penting dalam proses “AdB”, yakni
suatu proses akumulasi kapital di sektor finansial yang bekerja melalui skema pemberian
kredit untuk korporat maupun masyarakat yang semakin masif dilakukan oleh institusi
keuangan. Dalam kasus agraria, proses pencaplokan tanah masyarakat (land grabs) juga
dilakukan oleh insitusi keuangan seperti bank yang berkolaborasi dengan pemerintah dalam
menciptakan pasar tanah untuk kegiatan invetasi. Negara dengan hak monopolinya
memainkan peran penting dalam proses komodifikasi tanah, khususnya melalui sertifikasi
tanah, yang dapat perdagangkan dan atau menjadi asset sebagai jaminan untuk mengakses
kredit. Dalam banyak kasus, masyarakat terutama petani yang menerima kredit dari bank,
kehilangan tanahnya akibat ketidakmampuan untuk membayar kembali pinjaman plus bunga
kepada bank pemberi pinjaman.
Manajemen dan manipulasi krisis bekerja melalui perangkap hutang yang semakin
mencengkram kehidupan masyarakat kelas bawah akibat proses penggusuran, proletarisasi
dan finansialisasi. Aktifitas tersebut dipandu oleh institusi keuangan global yang mendikte
kebijakan suatu Negara – salah satunya melalui skema SAP (Structural Adjustment Program
atau Program Penyesuaian Struktural) – melalui pinjaman dana berupa hutang kepada negara
penerima pinjaman untuk mendanai proyek pembangunan. Liberalisasi kebijakan
pembangunan yang menjadi syarat yang ditentukan oleh pemberi pinjaman membuat negara
peminjam semakin terjebak ke dalam hutang yang semakin dalam. Dampak dari kebijakan
tersebut seringkali mamaksa pemerintah untuk melakukan privatisasi dan melepaskan asset-‐
aset negara yang bersifat strategis ke investor dengan harga yang sangat murah, salah satunya
untuk melunasi hutang negara. Hal ini selanjutnya semakin berdampak pada kehidupan
masyarakat kelas bawah, karena mereka tidak dapat mengakses sarana-‐sarana publik dan
tunjangan-‐tunjangan sosial dari negara yang dipangkas dan dialokasikan untuk melunasi
hutang.
Ketika suatu negara telah memiliki karakter neoliberal, negara tersebut menjadi agen
utama untuk menjalankan agenda akumulasi modal tingkat lanjut melalui mekanisme “AdB”.
Sejumlah kebijakan, seperti perundang-‐undangan dan aturan operasional turunannya
diciptakan untuk mendukung agenda tersebut. Sehingga kelompok pemodal bisa menikmati
skema bebas pajak, kebijakan pengupahan yang meringankannya, skema pemangkasan
= Kader
5
pengeluaran negara agar sistim kapital bisa berjalan, hingga kondisi yang paling ekstrim
dimana Negara dipaksa untuk memberikan subsidi kepada korporasi sementara subsidi untuk
rakyat dihilangkan.
Tulisan ini walaupun lebih berfokus menggunakan fitur komodifikasi dan privatisasi
untuk menjelaskan kedua kasus keterlibatan militer dalam konflik agraria, fitur-‐fitur lainnya
juga dipakai untuk menjelaskan keberadaan militer sebagai suatu kekuatan ekonomi atau
entitas khaki capitalism yang terlibat dalam proses akumulasi modal di era pasca reformasi.
Khaki capitalism merupakan suatu terminologi dalam ilmu sosial yang merujuk pada
serangkaian kebijakan, tindakan dan aktivitas ekonomi-‐politik dari militer dalam
mempertahankan aksesnya atas sumber pendapatan (Chambers dan Waitoolkiat 2017). Khaki
adalah istilah yang merujuk pada warna coklat-‐kehijauan yang pada umumnya digunakan oleh
banyak negara sebagai warna dari seragam kelompok militer. Dengan kata lain, segala aktifitas,
tindakan, dan atau cara-‐cara yang digunakan oleh kelompok militer untuk mempertahankan
aksesnya atas sumber-‐sumber ekonomi pada hakekatnya juga menggambarkan bekerjanya
fitur-‐fitur “AdB” sebagaimana yang diuraikan oleh Harvey (2010).
Kodam Bukit Barisan dalam Konflik Agraria di Desa Perkebunan Ramunia
Sejarah Tanah dan Munculnya Konflik Agraria
Ramunia adalah nama sebuah desa yang berada di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten
Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Dahulu desa ini dikenal sebagai Desa Paluh Panjang,
dimana ada sebuah pohon Ramunia – sejenis tanaman Gandaria (Bouea macrophylla) – yang
cukup besar yang terletak di dekat tanah pemakaman warga. Tanah pemakaman dan pohon
Ramunia itu berada di tengah-‐tengah perkebunan kelapa, sehingga masyarakat menyebut desa
tersebut dengan nama desa “Perkebunan Ramunia”. Saat ini di Kecamatan Pantai Labu ada tiga
desa yang menggunakan nama Ramunia, yakni Desa Ramunia I, Desa Ramunia II dan Desa
Perkebunan Ramunia. Sedangkan di kecamatan tetangga – Kecamatan Beringin – ada 2 desa
yang juga menggunakan nama “Ramunia”, yakni Desa Sidoarjo II Ramunia dan Desa Sidodadi
Ramunia. Di Desa Perkebunan Ramunia sendiri terdiri dari 4 dusun, yaitu Dusun Kenanga,
Dusun Mawar Baru, Dusun Angrek Baru, dan Dusun Kanti. Lokasi dusun-‐dusun dan desa-‐desa
tersebut seluruhnya berdekatan dengan lokasi Bandara Internasional Kualanamu (lihat
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
6
Gambar 1 di bawah) yang mulai direncanakan pembangunannya sejak tahun 19912, dan
semakin intensif dibangun sejak dijadikan proyek yang menjadi bagian dari MP3EI
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia)3.
Gambar 1. Lokasi Kebun Ramunia dan Bandara Kualanamu
Sumber: Purba 2016: 102.
Konflik agraria di Desa Perkebunan Ramunia berawal dari masuknya perusahan N.V
Senembah Maatschappij – sebuah perusahaan perkebunan kolonial Belanda – pada tahun 1865.
2 Pembangunan fisik bandara dimulai pada tahun 1997, dan sejak Juli 2013 Bandara Kualanamu dibuka untuk melayani penerbangan umum menggantikan Bandara Internasional Polonia yang terletak di tengah Kota Medan. 3 MP3EI adalah program ekonomi yang rancangannya sudah disusun sejak akhir dekade pertama tahun 2000-an oleh ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia). Elemen pokok dalam rancangan program ini adalah pembangunan Koridor Ekonomi Indonesia. Tahun 2010, Presiden SBY meluncurkan rencana pengembangan Koridor Ekonomi Indonesia yang kemudian dikemas menjadi MP3EI 2011-2025 dalam bentuk Keputusan Presiden No. 32 Tahun 2011. Tujuan dari program ini adalah mendorong Indonesia menjadi “negara maju” dan bagian dari 12 besar kekuatan ekonomi dunia di tahun 2025. Rincian detail mengenai program ini termasuk strategi-strategi pencapaiannya dapat dilihat pada Keppres No. 32 Tahun 2011 juga Safitri 2014.
= Kader
7
Berdasarkan konsesi yang diberikan oleh Kesultanan Serdang, N.V Senembah Maatschappij
menguasai lahan seluas 40.340 bahu4 atau kurang lebih 2.862,7 hektar. Sedangkan total
keseluruhan lahan yang dikuasai oleh N.V Senembah Maatschappij adalah 50.994 bahu atau
3.618, 79 hektar. Selain yang berada di wilayah Serdang, lahan lainnya – seluas 10.654 bahu atau
756,1 hektar – berada di wilayah Deli Serdang. Perkebunan ini selain menanam tembakau juga
mengusahakan komoditas karet dan kelapa nyiur. Di desa Perkebunan Ramunia mereka
menanam kelapa nyiur.
Perkebunan tersebut ditinggalkan oleh pemiliknya dan dinyatakan ditutup pada tahun
1955. Pada saat itu, Staf Pembangunan dan Penampungan Dam II/BB (Pempendam II/BB)
langsung mengambil alih penguasaan perusahaan tersebut termasuk aset tanahnya. Itu
sebabnya ketika ada kebijakan nasionalisasi perusahaan asing pada tahun 1958, yang tertuang
dalam UU No. 86/1958,5 perkebunan yang semula milik N.V Senembah Maatschappij ini tidak
termasuk di dalam daftar perusahaan Belanda yang dinasionalisasi. Staf Pempendam II/BB
kemudian mendirikan PT Karya Bumi pada tahun 19616 sebagai badan usaha untuk
melanjutkan usaha perkebunan besar eks Perkebunan N.V. Senembah. Perkebunan “baru”
yang terletak di Deli Serdang kemudian dikenal dengan nama Perkebunan Ramunia.
Berdasarkan HGU yang dikeluarkan pemerintah pada tahun 19637 luasnya menjadi 768 hektar.
Peruntukannya untuk tanaman kelapa nyiur selama 25 tahun. Sebulan setelah mendapatkan
HGU, PT Karya Bumi berubah nama menjadi PT Glorata.8 Tetapi perusahaan baru tersebut
tidak pernah didaftarkan sebagai pemegang HGU yang baru, namun tetap beroperasi hingga
saat ini.
Sejalan dengan makin meluasnya perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara, PT Glorata
pun mengubah komoditasnya dari kelapa nyiur menjadi kelapa sawit dan mengajukan
perubahan konversi lahan kepada Menteri Pertanian. Berdasarkan Surat Menteri Pertanian
Republik Indonesia No.HK.350/EC.99 tanggal 6 Juni 1984 PT Glorata diizinkan melakukan
konversi lahan dan mengubah komoditas yang diusahakan di lahan Kebun Ramunia dari
tanaman kelapa nyiur menjadi kelapa sawit yang diusahakan melalui skema Nucleus Estate
Smallholder (NES) yang dibiayai dengan pinjaman dari Bank Dunia kepada pemerintah
4 Istilah aslinya adalah bouws (bahasa Belanda), yang oleh masyarakat Indonesia dibanyak tempat dilafalkan menjadi “bahu”. Luas 1 bahu/bouws kira-kira setara dengan 7.096,5 m2 atau sekitar 0,7 hektar. 5 UU No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 29/1960 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi. 6 Sesuai akta notaris Marah Nasution, SH No. 50 tanggal 12 Juli 1961. 7 Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.SK/II/26/Ka/63 tanggal 30 September 1963. 8 Sesuai dengan akta perubahan Nomor 30 pada tanggal 11 Oktober 1963.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
8
Indonesia. Untuk kepentingan produksi kelapa sawit Pangdam II/BB mengirimkan 250
keluarga anggota Kodim II/BB yang aktif jelang masa penantian pensiun (MPP) dan sejumlah
pensiunan militer untuk menjadi petani plasma (smallholder) atau peserta Proyek NES di
perkebunan Ramunia.9 Sebagai “pemukim” (di proyek) smallholder, masing-‐masing keluarga
berhak atas satu unit rumah semi permanen ukuran 10 x 9 meter di atas tanah ukuran 25 x 70
meter atau 20 x 80 meter sebagai hak milik, dan tanah untuk kebun kelapa sawit seluas 2
hektar.
Namun pasca konversi menjadi perkebunan kelapa sawit keuangan PT Glorata “collaps”.
Atas alasan tersebut PT Glorata dibubarkan oleh pimpinan militer setempat – berdasarkan
Surat Perintah Pangdam II/BB Nomor Sprin/830/IX/1984 tanggal 11 September 1984.
Selanjutnya pengelolaan Kebun Ramunia dialihkan langsung kepada Pusat Koperasi Angkatan
Darat Kodam II Bukit Barisan (Puskopad Dam II/BB). Puskopad Dam II/BB sendiri sejak akhir
1984 berubah namanya menjadi Puskopad Dam I/BB – mengikuti peringkasan jumlah Kodam
di Sumatera Tengah dan Utara dari 3 Kodam menjadi 1 Kodam10 – adalah salah satu dari
cabang dari koperasi TNI AD. Koperasi tersebut dibentuk secara berjenjang mengikuti struktur
organisasi ABRI (: TNI AD). Di markas besar ABRI/TNI AD koperasi ini disebut ‘Induk
Koperasi’, sedangkan di tingkat Kodam disebut ‘Pusat Koperasi’ dan di tingkat Korem disebut
‘Primer Koperasi’ (Samego at al. 1998: 78-‐79). Di kemudian hari Puskopad Dam I/BB berubah
nama lagi menjadi Pusat Koperasi Kartika “A” Bukit Barisan (Puskopar “A” Dam I/BB)
Pengelolaan kebun kelapa sawit Ramunia oleh Puskopad Dam II/BB – yang kemudian
berubah jadi Puskopad Dam I/BB lalu jadi Puskopar “A” Dam I/BB) menarik untuk
diperhatikan karena pada 1974 ada upaya dari pemerintah Orde Baru yang melarang anggota
ABRI khususnya yang berpangkat Letnan hingga Jendral untuk memiliki saham dalam
perusahaan (PP. No 6 Tahun 1974). PT Glorata – yang menjadi pemegang HGU Perkebunan
Ramunia – sebelum dibubarkan merupakan perusahaan yang saham-‐sahamnya dimiliki oleh
perwira Kodam Bukit Barisan. Oleh sebab itu upaya pengalihan pengelolaan perkebunan
kelapa sawit ke Puskopad Dam II/BB tersebut dapat dipandang sebagai upaya Kodam Bukit
Barisan – dan para perwiranya – untuk tetap menjalankan usaha perkebunan kelapa sawit di
Ramunia.
9 Surat Perintah Pangdam II/BB Sprin No. Sprin/632/VII/1984 tanggal 6 Juli 1984. 10 Peringkasan jumlah Kodam dari 3 menjadi 1 menggabungkan Kodam I/Iskandar Muda, Kodam II/Bukit Barisan, dan Kodam III/17 Agustus menjadi Kodam I/Bukit Barisan terjadi pada akhir 1984 seturut kebijakan reorganisasi TNI-AD pada waktu itu. Peringkasan itu didasarkan pada Perintah Operasi KASAD No. 011/1984 (tertanggal 22 April 1984) tentang Reorganisasi TNI-AD dan Surat Telegram KASAD No. STR/430/1984 (tertanggal 21 Oktober 1984) serta Surat Telegram KASAD No. STR/603/1984 (tertanggal 28 Desember 1984).
= Kader
9
Pada tanggal 6 Desember 1987 Puskopad Dam II/BB yang telah berubah nama menjadi
Puskopad Dam I/BB mengajukan perpanjangan HGU Perkebunan Ramunia.11 Untuk itu Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Prov. Sumatera Utara melakukan
pengukuran ulang secara Kadastral. Hasilnya sebagaimana tertuang dalam Peta Situasi
No.17/04/V/1989 luas lahan yang dipetakan hanya sekitar 638 hektar, dan sisanya – sekitar 130
hektar – tidak dipetakan dikarenakan telah digarap oleh masyarakat setempat. Walaupun
demikian, BPN ketika mengeluarkan HGU perpanjangan Kebun Ramunia untuk Puskopad
Dam I/BB menyatakan luas Kebun Ramunia hanya sekitar 575 hektar.12 Sekitar 63 hektar yang
sebelumnya turut dipetakan tidak dimasukan sebagai areal HGU karena telah menjadi areal
perumahan ‘pemukim’ proyek smallholder seluas 60 hektar dan lahan kuburan seluas 3 hektar.
Tiga tahun kemudian, di sertifikat HGU Kepala Kantor BPN Deli Serdang
No.02.04.32.09.2.000001 tanggal 25 Januari 1996 luas lahan HGU kebun ini kembali berkurang
menjadi 569,32 hektar karena ada lahan seluas 5,68 hektar di Dusun Anggrek yang kembali
dikeluarkan dari sertifikat HGU Puskopad Dam I/BB.
Pada tahun 1995, sebagian areal HGU Puskopad Dam I/BB masuk ke dalam rencana
pembangunan Bandara Kualanamu yang akan mengambil lahan HGU sekitar 351,03 hektar.13
Setelah dialihkan untuk pembangunan bandara, lahan HGU Kebun Ramunia yang tersisa
adalah seluas 218,29 hektar dan terpisah-‐pisah di tiga lokasi. Semestinya BPN mengeluarkan
sertifikat baru terhadap 3 areal HGU Puskopad yang mengalami perubahan luas lahan dan
perubahan posisi lahan (: dari satu hamparan/persil menjadi 3 hamparan/persil yang terpisah).
Lokasi HGU Puskopad Dam I/BB yang terpisah di tiga lokasi ini dikemudian hari akan menjadi
bagian pokok persoalan yang mendasari konfik klaim antara masyarakat dengan Puskopad.
Berdasarkan peta administrasi Desa Perkebunan Ramunia, setelah adanya rencana
pembangunan Bandara Kualanamu, areal HGU Puskopad yang tidak terkena pembangunan
bandara yang luasnya sekitar 218,28 hektar dan telah terpecah menjadi 3 persil tadi letaknya
terpisah dari Desa Perkebunan Ramunia. Posisi Desa Perkebunan Ramunia letaknya di bagian
utara Bandara Kualanamu; sedangkan areal HGU yang 218,28 hektar tadi berlokasi di sebelah
utara, timur dan barat Bandara Kualanamu.
Atas pengambilalihan lahan untuk bandara tersebut, pada bulan Mei 1997 terjadi
pembayaran ganti rugi yang diberikan kepada 250 keluarga “Pemukim smallholder”. Untuk
11 Surat nomor B/1247/XII/1987 Puskopad, Berdasarkan Izin Prinsip Bupati Deli Serdang No.503/4/4739 tanggal 30 Nopember 1987. 12 Keputusan Kepala BPN RI No.3/HGU/BPN/93 tanggal 1 Maret 1993. 13 Sesuai SK Bupati Deli Serdang No.550.21/987/ds/1995 tanggal 30 Nopember 1995.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
10
ganti rugi tanaman kelapa sawit warga yang luasnya masing-‐masing seluas 2 hektar sebesar
50% dari harga lahan. Total ganti rugi diberikan untuk lahan seluas 351,03 hektar yang terdiri
dari kebun plasma berikut fasilitas umum yang dibangun secara swadaya oleh pemukim.
Setelah proses ganti rugi selesai, pada 1997 Pangdam I BB membubarkan proyek
NES/smallholder.14 Sementara, sisa lahan HGU Perkebunan Ramunia yang tidak terkena
proyek pembangunan Bandara Kualanamu – seluas 218,29 hektar – yang berupa kebun kelapa
sawit yang masih produktif dan lokasinya terpisah-‐pisah di tiga lokasi, pengelolaannya
dikerjasamakan dengan pihak ketiga, yaitu UD Sinar Sahabat milik Seng Hok.
Sejak Pangdam I Bukit Barisan membubarkan proyek smallholder kelapa sawit, maka
kedudukan Kebun Ramunia menjadi tidak jelas peruntukannya karena pada saat pengajuan
ijin perubahan/konversi penggunaan lahan pada tahun 1984 penggunaannya disertai dengan
pelaksanaan program smallholder. Kenyataannya, setelah proyek smallholder dibubarkan oleh
Pangdam I/BB, lahan kebun yang tersisa justru diserahkan/dikerjasamakan kepada pihak
ketiga (UD Sinar Sahabat). Menurut Komnas HAM, hal ini menunjukkan Puskopad sudah
tidak memiliki kemampuan untuk mengelola/menggarap lahan tersebut dan kerjasama
dengan pihak ketiga (UD Sinar Sahabat) tidak memiliki dasar hukum yang jelas – tidak sesuai
dengan ketentuan pemberian HGU (Surat Komnas HAM kepada Menteri Agraria, April 2015).
Sejak saat itu lahan tersebut praktis sudah tidak diusahakan oleh Puskopad “A” Bukit Barisan,
atau dapat dikatakan sebagai lahan terlantar.
Tak lama setelah reformasi Mei 1998 terjadi penguasaan atas sisa lahan HGU dan
pemanenan hasil kebun sawit yang sudah dikerjasamakan dengan UD Sinar Sahabat, tetapi
pada kenyataannya juga tidak dikerjakan secara produktif. Penguasaan lahan dan pemanenan
dilakukan oleh sejumlah warga eks “pemukim smallholder” yang merasa kurang puas dengan
ganti rugi sebesar 50% atas lahan dan tanaman sawit mereka ketika diambilalih untuk
pembangunan Bandara. Tindakan warga eks “pemukim smallholder” yang menduduki lahan
kemudian diikuti oleh masyarakat di sekitar Kebun Ramunia. Proses jual-‐beli lahan garapan
antara eks “pemukim smallholder” dan warga sekitar yang turut menduduki lahan dengan
warga pendatang juga terjadi di sana.15 Penguasaan dan penggarapan lahan oleh warga
semakin intensif terjadi pada tahun-‐tahun berikutnya setelah beredar ‘rumor’ di tengah
masyarakat bahwa tanah eks HGU Kebun Ramunia yang tersisa memang sengaja tidak
diusahakan secara optimal oleh pengelola baru karena mereka hanya akan mengambil
14 Surat Keputusan Pangdam I/BB Nomor: Skep/190/VIII/1997 tanggal 8 Agustus 1997. 15 Personal communication (1 Juni 2018) dengan Mantan Komisioner Komnas HAM RI yang melakukan penyelidikan atas sengketa lahan dan konflik yang terjadi di Perkebunan Ramunia.
= Kader
11
keuntungan atas Puskopad yang hendak menjual tanah tersebut kepada pihak lainnya untuk
tujuan non-‐pertanian/perkebunan, menyusul adanya rencana pembangunan Kota Baru
“Kualanamu Aerotropolis” di sekitar Bandara.16
Warga yang telah menguasai lahan di areal eks Kebun Ramunia kemudian mendirikan
rumah tinggal dan mengusahakan lahan tersebut menjadi lahan pertanian produktif. Mereka
mengganti tanaman kelapa sawit yang tersisa dengan tanaman pangan (jagung, ketela, dan
padi). Areal yang semula adalah kebun sawit tidak produktif dengan segera berubah menjadi
kantong pangan yang penting di Deli Serdang, dan oleh Pemerintah Sumatra Utara malah
dianggap telah turut menopang program katahanan pangan di sana.17 Setelah berbagai proses
politik baik di Kabupaten maupun di tingkat Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten Dei
Serdang pada sekitar tahun 2000-‐2001 memperbolehkan warga menggarap lahan. Bahkan pada
tahun 2002 sebanyak 44 keluarga warga yang mengungsi dari Aceh akibat konflik di Aceh juga
diperbolehkan menempati lahan tersebut dan menjadi warga desa setempat. Para penggarap
lahan – baik warga setempat maupun warga pendatang – secara administratif diakui sebagai
penduduk resmi Desa Perkebunan Ramunia.
Selama kurang lebih 16 tahun masyarakat menggarap lahan tersebut dan hidup dengan
aman hingga Puskopar “A” Dam I/BB yang dibantu langsung oleh pasukan/tentara aktif dari
Kodam Bukit Barisan pada tahun 2014 berupaya merebut dan menguasai kembali tanah yang
telah ditinggalkan. Upaya tersebut melahirkan konflik antara masyarakat setempat dengan
Puskopar “A” dan Kodam BB. Masyarakat menolak menyerahkan tanah dan mengorganisir diri
di dalam wadah perjuangan bernama Forum Masyarakat Tani Maju (FORMAT). Selain
FORMAT, terdapat juga kelompok masyarakat yang terlibat konflik dengan Puskopar “A” Dam
I/BB. Mereka adalah masyarakat yang tergabung dalam Badan Perjuangan Masyarakat Angrek
Baru (BPMAB). Keduanya mempertahankan tanah pemukiman dan garapan mereka di lokasi
yang berbeda di hamparan eks Perkebunan Ramunia.
Perjuangan Forum Masyarakat Tani Maju (FORMAT)
Kelompok masyarakat yang tergabung dalam FORMAT adalah mereka yang menggarap
tanah di perkebunan kelapa sawit Desa Ramunia dan harus mengungsi ke desa sekitarnya
16 Idem. 17 Berdasarkan informasi dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara dalam bahan presentasinya tanggal 26 November 2014 lahan-lahan “eks” HGU Puskopad A Bukit Barisan yang telah digarap oleh masyarakat berubah menjadi salah satu lahan pertanian pangan yang produktif yang menopang program ketahanan pangan di Sumatera Utara.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
12
ketika pemerintah setempat mengambil alih lahan tersebut untuk pembangunan Bandara
Kualanamu pada tahun 1996/1997. Sebagian dari mereka juga yang ikut melakukan
pendudukan tanah eks-‐HGU Puskopar “A” Dam I/BB ketika Reformasi tahun 1998. Sehingga,
warga yang tergabung di FORMAT merasa berhak dan menuntut agar hak atas tanah
garapannya yang sekarang tidak diambil alih oleh Puskopar “A” DAM I/BB.
FORMAT menolak ganti rugi yang ditawarkan dan berjuang mempertahankan tanah
dari upaya pengusuran dan pengosongan lahan yang dilakukan oleh Puskopar “A” DAM I/BB.
Strategi yang mereka lakukan adalah tidak beranjak dari lahan pemukiman dan pertaniannya
dan melakukan aksi masa menghadang aparat TNI Kodam BB yang melakukan eksekusi atas
lahan mereka. Pada awal bulan Desember 2014 masyarakat menghadang proses eksekusi atas
lahan pertanian mereka yang dilakukan oleh tim gabungan aparat kepolisian dan TNI.
Dilanjutkan sebulan kemudian (Januari 2015) dimana masyarakat menghentikan pemagaran
yang dilakukan oleh TNI Kodam BB di lahan yang hendak dijadikan areal perluasan bandara.
Demikian seterusnya, pada bulan Februari 2015 masyarakat melakukan aksi massa untuk
menghentikan eskavator yang sedang melakukan pembuatan parit di areal lahan mereka yang
statusnya masih sengketa.
Selain berjuang mempertahankan tanah melalui aksi masa, FORMAT juga berjuang
melalui jalur hukum. Bersama dengan Komite Revolusi Agraria (KRA) masyarakat melakukan
pengaduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dengan aktivitas
pembongkaran bangunan di atas tanah warga yang dilakukan oleh aparat militer dari Kodam
Bukit Barisan. Atas pengaduan masyarakat tersebut, tanggal 17 Maret 2015, Tim Komnas HAM
meninjau secara langsung lahan sengketa dan menghadiri undangan masyarakat dalam rangka
mendengarkan secara langsung pengaduan masyarakat yang berkonflik. Dalam peninjauan
tersebut Komnas HAM berpendapat bahwa, terdapat pelangaran HAM yang dilakukan oleh
aparat TNI terhadap warga Ramunia. Komisioner Komnas HAM – Dianto Bachriadi – menilai
Negara telah abai terhadap warga Ramunia untuk memberi perlindungan atas hak-‐hak asasi
mereka (Republika.co.id 18 Maret 2015).
Menindaklanjuti laporan masyarakat, Komnas HAM mengadakan pertemuan dengan
berbagai pihak, diantaranya Panglima Kodam BB, Kanwil BPN Sumatra Utara dan Pemkab Deli
Serdang untuk meminta penjelasan dan informasi atas tanah yang berkonflik dan ijin
pendirian bangunan di lokasi tersebut. Sebelumnya, pada tanggal 13 Februari 2015 Komnas
HAM, sudah mengeluarkan surat kepada Panglima Kodam I Bukit Barisan yang isinya
meminta Kodam I Bukit Barisan untuk menunda eksekusi atas lahan garapan warga Ramunia
dan menghindari bentrokan antara warga dengan TNI AD hingga dicapai jalan keluar atas
= Kader
13
sengketa yang lebih berkeadilan.18 Dalam surat tersebut Komnas HAM juga meminta kepada
Pangdam I BB untuk memeriksa oknum TNI yang melakukan intimidasi terhadap tim Komnas
HAM saat menghadiri pertemuan dengan masyarakat pada tanggal 12 Maret 2015.
Selain mengeluarkan surat kepada panglima Kodam I BB, Komnas HAM juga menyurati
Panglima TNI dan Menteri Pertahanan perihal tindak lanjut pengaduan sengketa lahan
sengketa perkebunan Ramunia untuk memeriksa keterlibatan anggota-‐anggota TNI-‐AD
reguler di jajaran Kodam I Bukit Barisan, termasuk Panglima Kodam I Bukit Barisan, dalam
sengketa lahan Kebun Ramunia – yang pada dasarnya adalah usaha ekonomi yang pernah
dilakukan oleh badan usaha koperasi TNI-‐AD, bukan bagian langsung dari struktur organisasi
kerja dan operasi Kodam Bukit Barisan. Komnas HAM juga meminta Panglima Kodam I Bukit
Barisan untuk menarik anggota-‐anggota TNI AD yang berada di lokasi konflik/sengketa tanah.
Hal itu perlu dilakukan karena menurut Komnas HAM, pengerahan kekuatan TNI AD oleh
Kodam Bukit Barisan untuk melakukan pemagaran, pembebasan lahan adalah tidak tepat,
karena bukan bagian dari tugas dan fungsi TNI. Surat dari Komnas HAM juga ditujukan
kepada Menteri Agraria, untuk meninjau ulang keberadaan HGU Kebun Ramunia, apalagi
telah bisa ditunjukkan bahwa pihak pemegang hak (Puskopad Dam I/BB atau Puskopar “A”
Dam I/BB) telah menunjukkan ketidakmampuannya mengelola lahan sejak tahun 1997.
Namun selama proses penyelesaian konflik sengketa atas tanah tersebut berlangsung, proses
pemagaran atas tanah masyarakat di lapangan terus dilakukan oleh aparat TNI-‐AD yang
berasal dari Kodam I/Bukit Barisan.
Masyarakat juga melakukan aksi demonstrasi ke berbagai institusi pemerintah di
Sumatera Utara. Aksi menginap di DPRD Sumut dilakukan pada bulan April 2015. Aksi
menginap ini dilatarbelakangi oleh rasa tidak nyaman warga, karena di desa mereka tinggal
terjadi berbagai tindakan intimidasi dan teror yang dilakukan oleh pasukan TNI dari Kodam
BB yang ditempatkan di dalam lokasi dan di sekitar eks Kebun Ramunia. Aksi menginap yang
dilakukan oleh sebagian masyarakat yang merasa terancam ini mendapat reaksi keras dari
Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Edy Rahmayadi. Sementara pihak parlemen daerah relatif
‘membiarkan’ aksi unjuk rasa menginap di pelataran pinggir jalan depan gedung DPRD
Propinsi sebagai bentuk penghormatan meraka atas hak warga untuk menyatakan pendapat,
pihak Kodam I Bukit Barisan yang diwakili oleh Panglima-‐nya menganggap aksi tersebut
menggangu ketertiban umum. Aparat militer yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam
Bukit Barisan Mayjen Edy Rahmayadi membubarkan aksi menginap tersebut dengan cara yang
18 Surat Komnas HAM No. 0.822/K/PMT/II/2015 perihal pengaduan warga Ramunia, yang ditandatangani oleh Komisioner Dianto Bachriadi, tertanggal 13 Fberuari 2015.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
14
kasar. Aksi kasar anggota TNI ini diberitakan di berbagai surat kabar lokal dan nasional (lihat
Gambar 2 di bawah).
Pada Gambar 2 di bawah terlihat jelas Panglima TNI Bukit Barisan, Edy Rahmayadi,
memarahi dan menarik baju salah satu warga yang ikut dalam aksi tersebut. Dalam peristiwa
tersebut juga turut hadir Kapolda Sumut Irjen Pol Eko Hadi Sutedjo, Gubernur Sumut Gatot
Pujo Nugroho dan Walikota Medan Dzulmi Eldin. Menurut penuturan warga yang juga
dilansir di surat kabar, pejabat lain yang hadir tak berusaha melerai.
Gambar 2. Liputan Media Pembubaran Aksi Warga oleh Pangdam I Bukit Barisan
Sumber: Detiknews (17 april 2015)
Peristiwa lain adalah ketika warga yang tergabung dalam FORMAT bersama dengan
kelompok mahasiswa melakukan aksi ke markas TNI Bukit Barisan. Mereka bergabung dan
menamakan dirinya Aliansi Perjuangan Tani Perkebunan Ramunia. Tetapi sebelum sampai ke
markas TNI Bukit Barisan mereka dihadang oleh aparat TNI dan orang-‐orang berpakaian
preman yang tidak menghendaki massa mendatangi markas TNI (beritasumut.com 2015).
Mereka dibubarkan dengan disertai kekerasan. Padahal aksi dirancang sebagai aksi damai
untuk berdialog dan menuntut keadilan kepada salah satu institusi yang tugas utamanya
adalah pertahanan negara, bukan mengusahakan perkebunan.
Sejumlah aksi, protes dan upaya lainnya tidak mengurangi tindakan intimidasi dan
kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Kodam BB terhadap warga di desa. Hingga akhirnya
sebagian warga dengan sangat terpaksa menerima ganti rugi yang ditawarkan oleh Puskopar
= Kader
15
“A” Dam I/BB. Ini perlu untuk disoroti: Mengapa Puskopar “A” Dam I/BB memberikan ganti
rugi, jika mereka sebagai pemegang HGU merasa memiliki hak atas tanah tersebut? Pemberian
ganti rugi yang dilakukan secara paksa, bukan kah menunjukan pihak TNI ingin “menyerobot”
kembali tanah eks Perkebunan Raimuna?
Pemaksaan ganti rugi dilakukan bersamaan dengan pemagaran lahan-‐lahan masyarakat
yang diikuti dengan pembongkaran seluruh bangunan dan tanaman pertanian. Padahal,
tanaman warga dalam kondisi siap panen, sebagaimana yang diceritakan oleh pak Tukimin:
“Kacang seminggu lagi mau kutip, di doser. Padahal gak pala di doser bakalan mati sendiri
(Kacang seminggu lagi siap dipanen, malah dibongkar dengan buldoser. Padahal tidak perlu
dibongkar dengan buldozer pun tanaman itu akan mati dengan sendirinya).
Perjuangan Badan Perjuangan Masyarakat Anggrek Baru (BPMAB)
Badan Perjuangan Masyarakat Anggrek Baru (BPMAB) adalah organisasi yang dibentuk
oleh para pemukim perkebunan Ramunia di tahun 1992. Para pemukim adalah keturunan
buruh kontrak asal pulau Jawa yang didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk
bekerja di perkebunan N.V Senembah. Mereka juga melanjutkan pekerjaan menjadi buruh
kebun saat perkebunan nyiur berpindah pengelolaannya kepada PT Glorata di tahun 1963.
Anggota BPMAB umumnya mengalami penggusuran ketika perkebunan melakukan konversi
tanaman dari kelapa nyiur menjadi kelapa sawit di tahun 1984. Skema Proyek NES
mensyaratkan hamparan perkebunan yang luas, sehingga pondok-‐pondok warga yang
sebelumnya tersebar di dalam areal kebun harus digusur. Sebanyak 130 Kepala Keluarga (KK)
harus direlokasi dan dikonsentrasikan di areal lahan seluas 5 hektar, yang terletak di daerah
yang dinamakan Pondok Tengah, tanpa ganti rugi (Suhartono, Hidayat & Swaldi 2015: 10).
BPMAB berjuang menuntut tanah yang berlokasi di Dusun Anggrek atau di Blok 18-‐25,
26, dan 27 seluas 91 hektar yang terletak di Desa Perkebunan Ramunia (lihat Gambar 1 di atas).
Stretegi perjuangannya adalah aksi-‐aksi demonstrasi hingga pendudukan tanah. Peristiwa
penggusuran dan relokasi yang dilakukan oleh Puskopad Dam II/BB pada tahun 1984 pada
waktu itu disikapi oleh masyarakat dengan pasrah dan menerima saja. Mereka tidak bisa
berbuat apa-‐apa mengingat militer di rejim Orde Baru adalah kekuatan represi yang sangat
tidak mungkin ditentang. Namun mereka tetap mengupayakan agar hak atas tanahnya dapat
kembali. Untuk itu mereka mulai mengorganisir diri dengan membentuk kelompok
perjuangan yang bernama Badan Perjuangan Masyarakat Angrek Baru (BPMAB) di tahun 1992.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
16
Di awal perjuangannya – di tahun 1992 – masyarakat mengirim surat ke Pemerintah
Kabupaten Deli Serdang dan DPRD Sumatera Utara. Mereka mengadukan nasibnya dan
menuntut untuk diberikan hak atas tanahnya di Blok 18, 25, 26, dan 27 seluas 91 hektar di
Dusun Anggrek Baru. Pada saat Komisi A DPRD Sumut mengundang untuk berdialog, baru
dijelaskan oleh sejumlah anggoa DPRD bahwa tanah yang diperjuangkan di Blok 18, 25, 26, dan
27 sesungguhnya bukan bagian dari areal HGU Puskopad Dam I/BB (Sebelumnya bernama
Puskopad Dam II/BB). Mengetahui hal tersebut masyarakat mendatangi Markas Kodam I BB di
Jl. Gatot Subroto di Kota Medan: Menuntut Kodam Bukit Barisan untuk menunjukkan bukti
hak atas tanah dan mempertanyakan mengapa di areal yang sebelumnya adalah lahan
pertanian dan pondokan warga sekarang terdapat papan (plang) yang menyatakan areal
tersebut dikuasai oleh Kodam I BB. Saat itu perwakilan warga diterima oleh Letkol Agus Utara
yang menanggapi pertanyaan dan tuntutan warga secara emosional. Ia mengatakan bahwa TNI
tidak ‘punya’ tanah di Desa Perkebunan Ramunia. “Kodam tidak punya tanah, kodam
urusannya perang, untuk melindungi Negara,” kata pak Tukiran menirukan ucapan Letkol Agus
Utara (Suhartono, Hidayat dan Swaldi 2015: 10). Sekembalinya ke kampung, warga berbekal
pernyataan Letkol Agus Utara, kemudian mencabut semua plang dan patok yang dipasang
oleh Puskopad Dam I/BB.
Setahun kemudian, tahun 1993, lahan tersebut ditetapkan sebagai lahan HGU untuk
Puskopar “A” Dam I/BB.19 Menyikapi hal ini, masyarakat kembali melakukan aksi demontrasi
dan mengadukan hal tersebut ke kantor DPRD Deli Serdang serta Kantor Wilayah BPN Sumut.
Di Kanwil BPN Sumu mereka minta ditunjukkan peta wilayah HGU yang diberikan kepada
Puskopar “A” Dam I/BB. Penjelasan dari pihak Kanwil BPN menunjukkan bahwa tanah yang
dituntut masyarakat berada di luar areal HGU yang diberikan kepada Puskopar “A” Dam I/BB.
Kejelasan informasi tersebut meyakinkan BPMAB untuk kembali menduduki lahan dan
mengusir para pemukim smallholder yang juga pensiunan TNI.
Pada bulan Desember 1994 masyarakat kembali melakukan aksi demonstrasi menuntut
kepastian atas tanah yang mereka duduki. Aksi kali ini di laksanakan di tiga tempat secara
bersamaan, yakni di DPRD Kabupaten Deli Serdang, DPRD Provinsi Sumatera Utara dan
sejumlah institusi di Jakarta seperti DPR RI, BPN RI, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan
Komnas HAM. Masing-‐masing diikuti oleh peserta aksi yang berjumlah 200 hingga 250 warga,
dan 10 orang delegasi yang berangkat ke Jakarta. Pada aksi yang bersamaan kali ini, DPRD
Sumatera Utara mengeluarkan surat yang memerintahkan Gubernur Sumatera Utara untuk
19 Keputusan Kepala BPN RI No.3/HGU/BPN/93 tanggal 1 Maret 1993 ditetapkan lahan HGU Puskopar “A” Dam I/BB Perkebunan Ramunia di Kab. Deli Serdang seluas 575 Hektar.
= Kader
17
segera menyelesaikan sengketa tanah antara masyarakat dengan Puskopar “A” Dam I/BB. Tiga
bulan kemudian Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri
RI mengeluarkan surat yang memerintahkan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumut untuk
segera melakukan penelitian dan penyelesaian penyerobotan tanah di blok 18, 25, 26, dan 27
seluas 91 hektar.20 Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintahan desa dan kecamatan yang
mengeluarkan surat kepada masyarakat yang menegaskan hak mereka atas tanah yang
diduduki. Namun hingga saat ini masyarakat belum memperoleh surat pelepasan tanah
tersebut dari Puskopar “A” Dam I/BB.
Bandara Kualanamu dengan Konsep Aerotropolis di Sumatera Utara
Upaya Kodam Bukit Barisan untuk merebut kembali tanah seluas 203,94 hektar ternyata
terkait dengan posisinya yang sangat strategis setelah adanya pembangunan dan rencana
rencana pengembangan Bandara Kualanamu. Bandara Kualanamu sendiri mulai dioperasikan
pada tahun 2013, dan baru diresmikan pada tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Berselang 3 bulan setelah diresmikan, PT Angkasa Pura II mulai
mempersiapkan realisasi pengembangan Bandara Kualanamu tahap II dan tahap III.
Pembangunan tahap II ditargetkan untuk menampung 17 juta penumpang dan tahap 3
direncakan akan menampung 24 juta penumpang per-‐tahun.21
Gambar 3. Konsep Disain ‘Airport City’ Bandara Kualanamu
Sumber : Skyscrapercity.com
20 Surat Nomor: 593/747/PUOD, tanggal 7 Maret 1995. 21 Lihat pemberitaan media yang dapat diakses di http://id.beritasatu.com/home/ap-2-siapkan-disain-bandara-kualanamu-tahap-dua/81200
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
18
Untuk menjalankan rencana Tahap II dan III, pemerintah dan PT Angkasa Pura II
mengajak pengusaha swasta untuk berpartisipasi. PT Angkasa Pura II menawarkan dua paket
investasi ke pengusaha swasta untuk menjalankan rencana tahap II senilai 11 triliun rupiah.
Investasi Paket 1 senilai Rp. 7 triliun mencakup pengembangan runway untuk melayani
penerbangan pesawat berbadan lebar – seperti Airbus 380-‐800 – dan perluasan areal cargo
yang luasnya hampir dua kali lipat (dari 13.450 meter persegi menjadi 24.715 meter persegi).
Sementara Paket II senilai Rp 4 triliun untuk pengelolaan lahan sekitar 200 hektar guna
pengembangan area komersial yang berada di luar terminal penumpang. Pengembangan areal
komersial tersebut dibangun dengan konsep Airport City termasuk di dalamnya pembangunan
hotel bintang 3, 4, dan 5, hypermarket, gedung perkantoran, taman-‐taman (theme parks),
lapangan golf, rumah makan dan restoran, gedung pertemuan, rumah sakit, bioskop, dan lain
sebagainya. Hingga Januari 2018 sudah ada lima investor yang berminat dalam pengembangan
Bandara Kualanamu.22
Gambar 4. Master Plan Bandara Internasional Kualanamu dengan Konsep Aerotropolis
Sumber : Skyscrapercity.com
Dengan konsep Airport City, Bandara Kualanamu selain menyediakan jasa penerbangan
konvensional bagi maskapai penerbangan dan penumpangnya juga menjalankan fungsi bisnis
secara menyeluruh melalui pengembangan fasilitas dan jasa komersial non-‐penerbangan yang
22 Lihat pemberitaan media yang dapat diakses di https://www.liputan6.com/bisnis/read/3221804/5-investor-minati-pengembangan-bandara-kualanamu
= Kader
19
bertujuan untuk mengenjot pendapatan non-‐aero. Dalam konsep pengembangan kota terkini,
rencana pengembangan Bandar Kualanamu ini sejalan dengan konsep aerotropolis. Dalam
aerotropolis bandara akan menjadi pusat kegiatan yang dikelilingi oleh berbagai fasilitas
pendukung yang terletak di dalam pagar maupun di luar pagar bandara yang didorong menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi baru. Konsep ini membuka kesempatan besar bagi para pebisnis
untuk bertemu dan membuka peluang bisnis baru yang lebih besar di lokasi-‐lokasi lain. Suatu
kombinasi antara pembangunan proyek infrastruktur bandara jangka panjang dan pembukaan
kapasitas-‐kapasitas produksi baru bagi jalannya sirkulasi kapital (Harvey 2010).
Radius pengembangan wilayah aerotropolis Kualanamu direncanakan berjarak sejauh 30
km dari lokasi bandara. Tujuan utamanya adalah menciptakan super koridor ekonomi yang
dapat mengintegrasikan simpul-‐simpul jalur transportasi di Sumatera Utara seperti pelabuhan
Belawan -‐ Bandara Kualanamu -‐ Pelabuhan Kuala Tanjung untuk mendukung pengembangan
kawasan strategis nasional (KSN). KSN di propinsi ini menghubungkan titik-‐titik lokasi
penting yang dikenal dengan istilah ‘Mebidangro’ atau Medan-‐Binjai-‐Deli Serdang-‐Karo dan
wilayah industri terpadu di Sumatra Utara, yaitu Kawasan Industri Sei Mangke (Kawasan
Ekonomi Khusus [KEK] Sei Mangke), KEK Sei Tanjung, dan kawasan industri lainnya yang
dikembangkan oleh BUMN, BUMD dan swasta (Beritatrans.com 16 Oktober 2014). Pada
dasarnya konsep ini ditujukan untuk mengakomodir kepentingan bisnis dengan Bandara
Kualanamu sebagai infrastruktur penting di Sumatera Utara dalam pasar global bagi
pergerakan dan sirkulasi kapital, barang, jasa, dan manusia berdasarkan konsep efisiensi dan
efektivitas dalam kegiatan bisnis dan ekonomi.
Skema pengembangan aerotropolis Kualanamu membutuhkan ketersediaan lahan yang
cukup besar. Sebuah iklan juga telah dibuat untuk mengundang investor berinvestasi di atas
tanah seluas 100 km2 yang bertuliskan 'tersedia untuk pembangunan' di luar areal bandara
Kualanamu. Pemerintah Kabupaten Deli Serdang sudah menyesuaikan rencana tata ruang
wilayah dengan menyusun draft Perubahan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Kabupaten Deli Serdang tahun 2007-‐2027 yang juga diintegrasikan dengan Rancangan
Peraturan Daerah tentang RTRW Sumatera Utara tahun 2012-‐2032. Dalam RTRW Kabupaten
Deli Serdang dinyatakan bahwa Kecamatan Pantai Labu dan Kecamatan Beringin adalah
kawasan strategis untuk rencana pengembangan Bandara Kualanamu, sejalan dengan
Rancangan Perda RTRW Sumatera Utara yang menyatakan bahwa wilayah tersebut adalah
wilayah utama pembangunan transportasi udara.
Perubahan tata ruang untuk pengembangan Bandara Kualanamu secara langsung
mengancam kehidupan masyarakat di Desa Ramunia dan masyarakat di sekitarnya. Desa
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
20
Ramunia sendiri berdasarkan disain konsep aerotropolis Kualanamu (Gambar 3 dan 4 di atas)
akan diubah menjadi bagian dari areal business park (wilayah bisnis dan perkantoran). Karena
itu, lokasi tanah yang berbatasan langsung dengan areal Bandara Kualanamu dan rencana
pengembangannya dipastikan menjadi rebutan para pihak terutama kelompok pemilik modal,
tidak terkecuali kelompok militer Kodam Bukit Barisan yang pernah menguasai lahan disana.
Karena alasan ini, maka Kodam Bukit Barisan melalui Puskopar “A” Dam I/BB mengklaim
kembali tanah eks HGU yang sejak tahun 1998 tidak lagi diusahakan atau ditelantarkan dan
telah digarap secara produktif oleh masyarakat Desa Ramunia.
Komodifikasi dan Privatisasi Tanah oleh TNI AD Kodam Bukit Barisan
Upaya Puskopar “A” Dam I/BB untuk menguasai tanah eks Kebun Ramunia telah
dilakukan sejak Bandara Kualanamu sedang dibangun – sekitar tahun 2012. Pada saat itu,
Pangdam I Bukit Barisan Edy Rahmayadi membentuk Tim Penyelesaian Pembebasan dan
Ganti Rugi Tanah Perkebunan Ramunia, yang kemudian membuat kesepakatan bersama
(Memorandum of Understanding/MoU) dengan dua orang perwakilan masyarakat penggarap –
Sdr. Ponirin dan Sdr. Prasojo. Kesepakatannya tertuang dalam Nomor MoA/01/VII/2011-‐
Puskopkar “A” BB tanggal 19 Juli 2011 dengan Eks Pemukim Smallholder dan Perwakilan
Masyarakat Penggarap, yang isinya Puskopar “A” DAM I/BB akan memberikan dana
kompensasi lahan kepada sejumlah penggarap sebesar Rp. 10.000/m2. Harga tersebut berlaku
bagi penggarap yang di atas tanahnya terdapat rumah atau bangunan lainnya berdasarkan
penilaian Tim Terpadu yang ditunjuk. Selain dana kompensasi, penggarap yang memilki
rumah/bangunan akan menerima lahan pengganti, masing-‐masing lahan seluas 400 m2 di
lokasi yang telah disiapkan.
Kesepakatan ini berlanjut dengan proses pengukuran ulang di sisa lahan eks HGU seluas
203,94 hektar pada pertengahan tahun 2013. Prosesnya berlangsung hampir dua tahun, hingga
pada tanggal 13 Januari 2015 Tim Terpadu mendirikan posko untuk melayani pembayaran ganti
rugi di Desa Perkebunan Ramunia. Pada saat yang sama, alat berat untuk meratakan areal
lahan pertanian dan pemukiman juga hadir di desa, sehingga masyarakat merasa dipaksa
untuk menerima ganti rugi. Warga pada saat itu tidak punya pilihan lain karena prosesnya
juga bersamaan dengan pembangunan pagar tembok pembatas yang mengelilingi lahan eks
HGU yang diambil alih. Kesatuan militer dari Yon Armed 2/Tarik dan Yonif 121/MK juga turut
mengawal keseluruhan prosesnya. Selain itu, di sekitar desa telah tersebar puluhan pasukan
TNI AD Kodam Bukit Barisan yang bersenjata lengkap (Surat Komnas HAM No
= Kader
21
0.822/K/PMT/II/2015 tanggal 13 Februari 2015 kepada Pangdam I BB). Untuk mempertegas
wilayah akuisisinya, seperti dapat dilihat di Gambar 5 di bawah, juga dipasang papan yang
bertuliskan bahwa tanah sudah dimiliki oleh Puskopar “A” Dam I/BB. Papan pengumuman
ditancapkan di tengah-‐tengah perkampungan masyarakat di Desa Ramunia.
Gambar 5. Papan Pemberitahuan Tanah Milik Puskopar “A” Dam I/Bukit Barisan
di Tengah Pemukiman dan Lahan Garapan Warga
Sumber: beritasumut.com (11 Januari 2015)
Untuk memperlancar proses pembayaran ganti rugi, Puskopar “A” Dam I/BB juga
membentuk Tim lain untuk membujuk sejumlah penggarap agar mau menerima ganti rugi
dengan segera. Tim ini terdiri dari beberapa anggota masyarakat yang ditugasi untuk
mempengaruhi masyarakat lainya agar mau menerima ganti rugi. Prasojo, yang sebelumnya
adalah warga masyarakat yang tergabung dalam BPMAB, diduga digunakan oleh Puskopar “A”
Dam I/BB untuk mengajak masyarakat yang tergabung dalam BPMAB di Dusun Anggrek Baru,
khususnya yang tinggal di Blok 18, agar menerima ganti rugi. Ada 11 orang yang terlibat
membantu Prasojo untuk mempengaruhi masyarakat agar bersedia menerima ganti rugi,
karena itu tim ini di kalangan masyarakat dikenal dengan sebutan Tim 11. Setiap anggota tim
akan menerima imbalan sebesar Rp. 1 juta jika berhasil mengajak satu anggota masyarakat
untuk menerima ganti rugi yang ditawarkan oleh Puskopar “A” Dam I/BB.
Di saat yang sama, berdasarkan penjelasan dari Kantor Pertanahan (Kantah) Kab. Deli
Serdang, di atas tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah dikuasai warga tersebut sedang
diproses perubahan status lahan dari HGU ke Hak Guna Bangunan (HGB).23 Perubahan status
23 Informasi berdasarkan laporan investigasi Komnas HAM sebagaimana yang dimuat dalam surat rekomendasi untuk Menteri Agraria perihal Tindak Lanjut Pengaduan Sengketa Lahan Perkebunan Ramunia Deli Serdang.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
22
lahan ini dimaksudkan untuk mempermudah proses transasksi jual beli di masa mendatang,
sebagaimana yang disampaikan oleh Pangdam I Bukit Barisan kepada pihak Komnas HAM
dalam pertemuan tanggal 16 Maret 2015.24 Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan hak-‐
hak warga selama ini, khususnya ketika Puskopar “A” Dam I/BB tidak lagi mengusahakan
tanah tersebut, diabaikan oleh Negara. Sebaliknya, kelompok militer – dalam hal ini aparat
militer dari Kodam I Bukit Barisan – justru menggunakan kekuatan dan posisinya sebagai
apparatus Negara untuk mengusir warga dengan dalih penguasaan lahan yang pernah dimiliki
sebelumnya, yang tujuan sesungguhnya hanyalah untuk kepentingan ekonomi dari bisnis
pertanahan akibat rencana perubahan fungsi kawasan – sebagaimana layaknya para calo atau
spekulan tanah.
Rencana Pembangunan PLTU di Batang dan Konflik Agraria
Kebutuhan listrik sebesar 35 ribu MW salah satunya akan dipenuhi dari Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dibangun di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Rencana
pembangunannya berada di pesisir pantai utara kabupaten Batang, di atas tanah-‐tanah
pertanian warga yang ada di desa Ujung Negoro, Karang Geneng, Ponowareng, Wonorekso,
dan Roban Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang dengan total luas wilayah 350-‐700 Ha
(Kontan.co.id 10 Januari 2013). Secara formal dikatakan pembangunan PLTU Batang
berkapasitas 2x1000 MW ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan industri di Pulau Jawa,
dengan dalih untuk pemenuhan kebutuhan energi rumah tangga di Indonesia (Safitri 2014: 31).
Sementara, warga yang akan terdampak akibat pembangunan PLTU tersebut – khususnya yang
berada di lima desa di atas – tidak hanya mereka yang kehilangan tanah pertaniannya saja,
melainkan juga mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Bagi nelayan, mereka akan
kehilangan wilayah tangkapannya akibat dari limbah PLTU yang akan dialirkan ke wilayah
perairan selain karena ekosistemnya terganggu akibat pembangunan fisik di sekitar wilayah
daratannya.
Akar dari konflik agraria tersebut disebabkan oleh kebijakan negara yang cenderung
menempatkan pembangunan listrik untuk pemenuhan kebutuhan Industri lebih penting
ketimbang pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan untuk mendukung penghidupan
(livelihood) masyarakat setempat. Konfliknya diawali dengan penetapan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kabupaten Batang tentang lokasi kawasan pantai Ujung Negoro Kecamatan
24 Surat rekomendasi Komnas Ham perihal Tindak Lanjut Pengaduan Sengketa Lahan Perkebunan Ramunia Deli Serdang kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang.
= Kader
23
Kandemen sebagai lokasi pembangunan PLTU Batang.25 Penetapan juga mengabaikan
keberadaan lokasi tersebut yang masuk dalam kawasan konservasi laut.26 Pihak pemerintah
kabupaten lebih memilih lokasi tersebut dibanding lokasi lainnya meskipun konsekuensinya
adalah mengubah sejumlah aturan agar daerah konservasi tersebut menjadi “layak” (uraian
lebih lengkap bisa dilihat di Safitri 2014 dan 2017).
Proyek PLTU Batang diberikan kepada Konsorsium Perusahaan yang bernama PT
Bimasena Power Indonesia (BPI). PT BPI adalah konsorsium atau gabungan dari 3 perusahaan
– yakni Itochu Corp dan J-‐Power Corp dari Jepang dan PT Adaro dari Indonesia. Itochu atau
Itochu Corporations adalah perusahaan Jepang yang bergerak di berbagai jenis bidang industri,
seperti tekstil, mesin, metal, mineral, energi, kimia, pangan, teknologi informasi dan
komunikasi, keuangan dan bisnis investasi lainnya – yang operasinya di berbagai Negara
termasuk di Indonesia (www.itochu.co.jp/en/about/). Sementara J-‐Power adalah perusahaan
Jepang yang menyediakan teknologi penyediaan energi dengan biaya murah
(www.jpower.co.jp/english/company_info/jpower/aisatu/index.html). Sementara pasokan
batubara untuk operasi PLTU ini akan diperoleh dari pasokan dari PT Adaro. Tambang batu
bara adalah bisnis utama dari PT Adaro. Jadi, Konsorsium PT BPI adalah pemilik PLTU yang
akan memproduksi listrik yang kan disalurkan ke gardu-‐gardu induk milik ini PLN sebelum
disalurkan ke konsumer.
Proyek PLTU Batang akan dibangun dan dioperasikan oleh PT BPI selama 25 tahun.
Dengan skema Public Private Partnership (PPP), setelah 25 tahun akan diserahkan kepada
Negara, dikuasakan ke PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk pengelolaan lebih lanjut.
Hal itu mengikuti kesepakatan dalam Power Purchase Agreement (PPA) dimana PT BPI
mengikatkan diri ke Negara, khususnya PT PLN, sebagai konsumen hasil produksinya, yaitu
listrik.
Proyek ini mulai dikerjakan pada tahun 2011 tetapi tersendat-‐sendat, tidak sebagaimana
direncanakan. Direncanakan pembangunan fisik instalasi PLTU bisa segera dilangsungkan
setahun pembebasan lahan diselesaikan yang direncanakan tidak akan memakan waktu lebih
dari setahun. Tetapi penolakan warga untuk menyerahkan lahannya membuat rencana
pembangunan fisik instalasi jadi molor lebih dari 2 tahun. Selain itu, pada kenyataannya juga
25 Keputusan Bupati Batang No, 523/283/2005, PP. No tahun 2008 tentang RTRWN, Perda RTRW Jateng No. 6 tahun 2010 tentang RTRW Jateng 2009-2029. 26Keputusan Bupati Batang Nomor 523/306/2011 tentang perubahan atas keputusan Bupati Batang No, 523/283/2005 tentang penetapan kawasan konservasi laut daerah pantai Ujung Negoro-Roban Kabupaten Batang.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
24
masih ada hambatan yang berkaitan dengan pencairan kredit dari Bank Kerjasama
Internasional Jepang (JBIC, Japan Bank International Cooperation).27
Keterlibatan Kodim Batang dalam Konflik Agraria untuk PLTU Batang
Akibat penolakan-‐penolakan warga, proses pembebasan lahan di lokasi pembangunan
PLTU Batang melibatkan Kodim Batang. Ada dua faktor yang mempengaruhi keterlibatan TNI
dalam konflik agraria ini. Pertama, proyek PLTU Batang merupakan salah satu megaproyek
strategis nasional yang masuk dalam kebijakan MP3EI di era pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) (sekarang dituangkan dalam RPJMN Pemerintahan Jokowi).28 Sebagai salah
satu proyek strategis nasional, maka TNI dapat dilibatkan untuk upaya pengamanan di setiap
proses pembangunannya. Proyek strategis nasional ini juga terkait dengan konsep “objek vital
nasional” sebagaimana tertuang di dalam Keppres No. 63/2004 tentang Pengamanan Objek
Vital Nasional.29 Di dalam Keppres ini ditegaskan bahwa dibutuhkan keterlibatan kelompok
militer dalam pengamanan objek vital nasional yang ditunjuk. Selain itu, TNI, pada tahun 2015,
sudah menandatangani nota kesepahaman dengan PT PLN untuk proses pengujian batubara
dan pengamanan jalur transmisi. Nota kesepahaman ini saling mendukung dengan
pembangunan PLTU Batang. Selain itu PP No. 2 Tahun 2015 mengindikasikan dapat
dikerahannya kesatuan TNI dalam upaya penanganan konflik sosial yang sesungguhnya
menjadi tugas dari kepolisian.
Kedua, faktor kepentingan ekonomi kelompok militer dengan dalih memuluskan proses
pembangunan PLTU Batang untuk mendapatkan peluang ekonomi selanjutnya setelah PLTU
beroperasi. Kepentingan ekonomi ini dibangun melalui relasi antara Bupati Batang Yoyok Puji
Sudibyo (Bupati Batang periode 2012-‐2017) selaku mantan prajurit aktif TNI sebelum menjadi
Bupati dan Komandan Kodim Batang Letkol Aminton Manurung. Pada masa pendidikan 27 Personal communication (1 Juni 2018) dengan Mantan Komisioner Komnas HAM RI yang menangani kasus pelanggaran HAM di Proyek PLTU Batang. 28 Proyek PLTU Batang sendiri berada di urutan pertama di antara daftar proyek MP3EI berdasarkan pada nilai investasinya. Diperkirakan Proyek PLTU Batang bernilai sekitar Rp 37 trilyun (USD 4 milyar). Selain itu Proyek PLTU Batang juga menjadi proyek percontohan pertama penggunaan Skema PPP (Publik-Private-pertnersihip) dalam desain Masterplan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Jika skema (PPP) tersebut berhasil dibangun di PLTU Batang maka akan menjadi preseden yang baik bagi pemerintah di mata swasta sekaligus akan menjadi tolak ukur bagi penggunaan Skema PPP dalam proyek MP3EI lainnya. Untuk merelalisasikan pembangunan PLTU Batang, Pemerintah Indonesia memberikan perlakuan khusus bagi PT BPI berupa pemberian instentif berupa jaminan resiko bagi perusahaan, dan pemberian kemudahan bagi perusahaan untuk menentukan sendiri lokasi pembangunan (Safitri 2014: 58-59). 29 Di dalam kepres No. 63 Tahun 2004 walaupun tidak secara ekplisit menyebutkan listrik sebagai objek vital nasional namun undang tersebut memberi ketentuan bahwa yang disebut objek vital nasional adalah proyek yang menghasilkan produksi yang ditujukan untuk kebutuhan pokok sehari-hari (pasal 2 ayat 1).
= Kader
25
kemiliteran pada tahun 1994, keduanya adalah taruna satu angkatan di Akademi Militer
(AKMIL) di Magelang. Yoyok, panggilan Bupati Batang, pada tahun 2006 memutuskan untuk
pensiun dini dan memilih fokus untuk membesarkan usaha garmen yang sudah dirintisnya
saat masih bertugas sebagai prajurit TNI AD di Papua. Hingga tahun 2012 ia menjabat sebagai
Direktur Utama di PT Smile Papua dan PT Papua Maju Sejahtera. Hubungan-‐hubungan
pertemanan yang dibangun sejak lama dalam unit kemiliteran menjadi faktor penting
dilibatkannya Kodim Batang dalam proses pembebasan tanah untuk pembangunan PLTU
Batang.
Di dalam kampanye saat Pilkada Bupati di Kabupaten Batang, Yoyok Puji Sudibyo
bersama dengan sejumlah aktivis lingkungan di Batang (Go-‐gren, Green Peace) dan
masyarakat yang menolak pembangunan PLTU Batang berjanji akan menghentikan proyek
PLTU Batang jika terpilih sebagai Bupati Batang. Karena itu, Yoyok memenangkan suara
mutlak di desa-‐desa yang akan terdampak dari pembangunan PLTU yang membantunya
memangkan Pilkada. Namun, dinamika politik di tingkat kabupaten dan tekanan-‐tekanan
yang datang dari pemerintah propinsi dan terutama dari pemerintah pusat – khususnya
Kementrian Koordinator Ekonomi dan Industri yang bertanggung jawab ‘mengamankan’
proyek-‐proyek MP3EI – membuat Bupati Batang terpilih tidak memenuhi janjinya. Bahkan
kemudian berbalik menjadi pendukung pembangunan PLTU. Penuturannya kepada Komnas
HAM mengatakan bahwa proyek ini penting karena sejumlah investasi telah mengantri untuk
masuk ke Batang, yang dampaknya adalah pembangunan ekonomi yang lebih untuk
kabupaten yang dipimpinnya. Selain tekanan-‐tekanan politik, latar belakangnya sebagai
pengusaha tampaknya berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk mendukung proyek
ini.
Untuk itu, Bupati Yoyok membentuk Tim Gabungan untuk pembebasan lahn yang
disahkan dengan SK Bupati. Dalam SK Bupati tersebut Kodim Batang sebagai bagian dari
Muspida dilibatkan untuk melancarkan proses pembebasan lahan. Secara kebetulan
Komandan Kodim Batang saat itu adalah teman seangkatannya di Magelang, sehingga
memudahkan proses ‘koordinasi’ jika terjadi masalah. Bahkan pelibatan aparat dari Kodim
Batang tidak menunggu adanya masalah “yang tidak bisa ditangani oleh Kepolisian”. Kodim
Batang bertindak proaktif untuk memaksa warga menerima rencana proyek, dan menekan
para pemilik tanah untuk menerima ganti rugi yang disiapkan oleh PT BPI.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
26
Menurut Salim – perwakilan dari organisasi perlawanan warga, yakni Forum UKPWR,30
pada 5 Maret 2013 Tim Gabungan mendatangi warga pemilik lahan di rumahnya masing-‐
masing dan meminta agar mereka menyerahkan tanahnya. Pada saat itu perlawanan warga
sudah cukup masif dan diikuti dengan pemasangan ‘stiker’ dan corat-‐coret penolakan di setiap
rumah – tidak hanya rumah-‐rumah para pemilik tanah – dan patok-‐patok kayu untuk
mengumumkan tanah tidak hendak dijual. Stiker penolakan bertuliskan “Tolak PLTU
Selamatkan Konservasi” dan corat-‐coret “Tolak PLTU Harga Mati” terpasang dan tertulis di
hampir seluruh pintu dan jendela-‐jendela rumah warga. Sementara patok-‐patok penolakan
lahan untuk dijual terpasang di sejumlah sudut lahan pertanian yang menjadi milik warga dan
menjadi sumber penghidupan banyak keluarga di desa terdampak proyek (lihat Gambar 6 di
bawah).
Gambar 6. Stiker, Coret-‐coretan dan Patok Penolakan terhadap PLTU Batang
Sumber: Foto-‐foto koleksi pribadi Dianto Bachriadi (foto diambil pada 5 April 2013)
Atas aksi pemasangan stiker dan corat-‐coret serta pemasangan patok ini sejumlah aparat
tentara yang menyatakan diri sebagai Tim Gabungan melakukan pencopotan stiker secara
paksa, memaksa warga untuk menghapus coretan-‐coretan yang mereka buat pada rumah
mereka sendiri, dan melakukan pencabutan-‐pencabutan paksa atas patok-‐patok yang
menegaskan penolakan untk menjual tanah. Mereka masuk ke halaman-‐halaman rumah tanpa
ijin, mencopoti stiker-‐stiker yang terpasang di pintu dan jendela rumah, bahkan masuk ke
dalam rumah untuk memeriksa dan mencopot stiker-‐stiker yang dipasang di dalam rumah 30 UKPWR adalah forum warga yang dibentuk untuk wadah perjuangan bersama. UKPWR adalah singkatan dari nama desa-desa yang warganya terdampak pembangunan PLTU, yaitu: Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonorekso dan Roban.
= Kader
27
oleh warga. Mendesak dengan paksaan agar warga menghapus corat-‐coretan yang
memperlihatkan penolakan terhadap PLTU. Memaksa warga untuk mencabut patok-‐patok
penolakn menjual tanah yang terpasang di areal pertanian milik mereka. Jika warga tidak mau
mencabutnya, maka pihak TNI yang melakukannya.
Sesungguhnya keterlibatan aparat militer telah dimulai sejak proses sosialisasi proyek
berlangsung. Dalam setiap proses sosialisasi, kehadiran warga yang jumlahnya hanya sekitar
15-‐25 orang di tempat pertemuan selalu “dikepung” oleh puluhan aparat kepolisian dan
sejumlah aparat tentara berjaga-‐berjaga di sekitar arena pertemuan. Tidak hanya itu, ketika
penolakan warga semakin kuat, warga tidak diperbolehkan untuk berkumpul lebih dari 5
orang di satu tempat. Aparat akan membubarkan kumpulan warga jika mereka melanggar
“aturan” tersebut.31 Aparat juga melarang warga untuk memasuki areal yang akan menjadi
areal proyek PLTU, meskipun di areal tersebut mereka masih mengusahakan kegiatan
pertanian dan belum menyerahkan tanah-‐tanahnya (belum bersedia menerima ganti rugi).
Tim Gabungan secara atraktif juga melakukan pengawalan terhadap beroperasinya alat
berat yang hendak meratakan tanah. Tetapi ketika alat berat memasuki lahan-‐lahan yang
masih dalam sengketa atau pemiliknya belum menyerahkannya kepada PT BPI karena mereka
belum bersetuju dengan pengalihan haknya, aparat keamanan (kepolisian dan militer)
membiarkannya meskipun pemilik lahan melakukan protes karena alat-‐alat berat tersebut
merusak tanaman. Kegiatan keluar-‐masuk alat-‐alat berat ini bahkan telah mengakibatkan
putusnya akses jaringan irigasi ke sawah-‐sawah warga dan rusaknya akses jalan menuju ke
areal pertanian.32
Karakteristik Keterlibatan Militer Di Ramunia dan Batang
Karakteristik pokok keterlibatan militer dalam konflik agraria, baik di Ramunia dan di
Batang, adalah kekuatan militer sepenuh-‐penuhnya dipakai menjadi alat pemaksa yang
represif untuk mengambil tanah-‐tanah yang dikuasai bahkan dimiliki secara sah oleh
masyarakat untuk tujuan kepentingan ekonomi dan akumulasi modal – baik dari bisnis
langsung kelompok militer tertentu maupun bisnis korporasi dimana militer menjadi
pengamannya. Keterlibatan TNI AD Kodam BB di Sumatera Utara adalah untuk
31 Berdasarkan laporan warga yang ditulis di Laporan Akhir Komnas HAM untuk pemantauan, perlindungan dan pemenuhan HAM Petani dan Nelayan terkait dengan proyek PLTU Batang, Jawa Tengah (laporan tertanggal 15 Maret 2015). 32 Diuraikan dalam Surat Komnas HAM kepada Pangdam IV/Diponegoro perihal Permintaan Penjelasan dan Tindak Lanjut Atas Keberadaan dan Aktivitas TNI AD di Lokasi Tapak PLTU Batang.
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
28
mempertahankan dan melanjutkan bisnis militer yang secara langsung dimiliki oleh para
perwira Kodam BB. Telah diuraikan di atas, bahwa bisnis di sektor perkebunan kelapa sawit,
baik perorangan maupun secara kelembagaan, telah dibangun sejak lama oleh unit usaha yang
terkait erat dengan Kodam Bukit Barisan. Walaupun sempat dihentikan secara formal, ketika
proyek smallholder ditutup pada tahun 1997, tetapi penguasaan dan pengusahaan lahan
dilanjutkan melalui kerjasama dengan pihak ketiga, dan “dihidupkan” kembali ketika areal eks
HGU telah jelas masuk ke dalam rencana pembangunan Kota Baru (Aerotropolis) Kualanamu
di tahun 2014.
Sementara di Kabupaten Batang, keterlibatan militer dalam konflik antara masyarakat
dan perusahan PT BPI dipakai oleh Dandim Batang atas legitimasi Bupati Batang untuk
‘berbisnis’. Kesatuan Kodim Batang dikerahkan dalam ‘jasa keamanan’ bagi perusahan – atas
nama proyek strategis nasional – agar pembangunan PLTU milik swasta dan bisnis produksi
dan penjualan energi listrik selanjutnya dari PLTU tersebut bisa berlangsung lancar.
Tabel 1. Karakteristik Keterlibatan Militer di Ramunia dan Batang
No. Karakteristik Kasus Bandara Kualanamu-‐Ramunia Kasus PLTU-‐Batang
1. Keterlibatan dalam proyek pembangunan
Puskopar “A” Dam I/BB mengklaim kembali sisa tanah HGU yang sudah ditinggalkan.
Ditunjuk oleh Bupati Batang sebagai kepala Tim Gabungan untuk proses pelepasan lahan rakyat kepada PT BPI
2. Institusi yang terlibat Puskopar “A” Dam I/BB Kodam Bukit Barisan
Kodim Batang
3. Tugas Identifikasi untuk proses ganti rugi dan penyelesaian pembebasan tanah, dan pengusiran warga dari tanah garapan
Menbantu proses pembebasan tanah dan pembersihan lahan warga, menekan warga untuk menerima proyek dan ganti rugi
4. Riwayat Institusi yang terlibat dengan tanah yang disengketakan
Merupakan pemegang HGU hingga pembangunan Bandara Kualanamu dilakukan
Tidak ada
5. Misi Keterlibatan Menjual tanah kepada investor di dalam kerangka pengembangan Bandara Kualanamu menjadi aerotropolis
Melihat peluang bisnis yang bisa dijalankan oleh pebisnis lokal, termasuk Bupati yang latar belakangnya adalah pebisnis
6. Klaim yang Dipergunakan
Tanah eks HGU yang sudah tidak berlaku lagi
Pembangunan wilayah untuk kesejahteraan rakyat
7. Pelibatan kelompok lain di lingkaran institusi militer
Mengerahkan pensiunan TNI untuk kembali menduduki wilayah eks HGU
Memaksimalkan relasi pertemanan Bupati dengan Komandan Kodim untuk melancarkan proses pelepasan lahan
= Kader
29
Dalam kasus Batang, walaupun institusi militer (Kodim Batang) tidak memiliki sejarah
dengan tanah yang menjadi objek sengketa antara masyarakat dengan PT BPI, keterlibatannya
dalam konflik agraria tidak terhindarkan. Kehadiran mega proyek PLTU Batang sebagai salah
satu dari proyek strategis nasional memberi ruang bagi kelompok militer untuk terlibat dalam
setiap proses pembangunan untuk pengamanan. Keterlibatan kelompok militer tersebut
berkaitan dengan tugas pokok TNI dalam operasi militer selain perang (UU. No 34/2004 pasal
7 ayat 2 poin 5 tentang TNI) tentang pengamanan objek vital nasional yang selanjutnya diatur
lebih lanjut dalam Keppres No. 63/2004 tentang Pengamanan Objek Vital Nasional. Aturan
tersebut memberi legitimasi dan membuka ruang bagi kodim Batang untuk terlibat dalam
konflik agraria di Batang.
Keterlibatan Kodim Batang dalam konflik tersebut semakin mendapat legitimasinya
setelah Bupati Batang yang juga berlatarbelakang prajurit menunjuk Kodim Batang selaku
Kepala Tim Gabungan untuk pembebasan dan pembersihan lahan masyarakat yang akan
menjadi areal proyek PLTU. Melihat peluang bisnis dari konflik yang bisa dimaksimalkan oleh
kelompok militer dan potensi bisnis – yang dibahasakan dengan “pembangunan ekonomi” – di
wilayah Batang jika pembangunan PLTU terealisasi, Bupati bersama dengan Kodim Batang
dengan dalih pembanguann wilayah untuk kesejahteraan rakyat (kepentingan umum)
mengarahkan pasukan dari kesatuan Kodim Batang untuk terlibat dalam proses pembebasan
lahan.
Sementara di kasus Ramunia, keterlibatan Kodam BB dalam konflik antara masyarakat
dengan Puskopar “A” Dam I/BB sepenuhnya untuk membela kepentingan ekonominya sendiri
secara langsung. Sekalipun secara kelembagaan Puskopar “A” Dam I/BB adalah badan usaha
yang secara organisasional terpisah dari struktur organisasi TNI AD Kodam BB, Pangdam I
Kodam BB Letjend Edy Rahmayadi membentuk tim pembebasan tanah dan menggunakan
wewenangnya untuk mengerahkan anggota aktif TNI Kodam BB – termasuk memaksimalkan
kembali sekelompok pensiunan TNI – untuk mensukseskan agenda perebutan kembali tanah
yang telah digarap oleh warga Ramunia.
Intervensi kelompok militer Kodam BB termasuk dengan mengerahkan kembali
sekelompok pensiunan TNI untuk menduduki kembali tanah yang telah dikelola oleh
masyarakat dapat terjadi karena kelompok militer baik yang masih menjabat sebagai anggota
aktif dan pensiunan militer masih sangat patuh pada pemimpinnya dan cenderung untuk
membela kepentingan korpsnya. Doktrin kemiliteran yang dibangun dalam ketentaraan
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
30
berdasarkan semangat “l’espirit de corps” sangat menentukan kelompok militer untuk
mengutamakan membela kepentingan korpsnya ketimbang masyarakat, sekalipun utnk itu
mereka harus merampas tanah warga Ramunia.
Sementara itu persamaan yang bisa ditarik dari kedua kasus keterlibatan kelompok
militer dalam konflik agraria di atas adalah keterkaitan mereka dengan aktivitas bisnis. Baik
bisnis yang secara langsung dimiliki oleh kelompok militer (dalam kasus Ramunia) maupun
korporasi swasta dimana militer ambil bagian sebagai regu pengamanannya (dalam kasus
PLTU Batang). Untuk kedua tujuan yang berbeda itu, di kedua kasus dapat dilihat bagaimana
kesatuan-‐kesatuan militer menggunakan semua fasilitas negara – yang dibiayai oleh anggaran
publik – untuk tujuan mendapatkan keuntungan yang sesunguhnya bukan bahkan
bertentangan dengan peran dan fungsi militer. Aset-‐aset negara yang sifatnya untuk melayani
kepentingan publik dan seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat dimanfaatkan
oleh kelompok militer untuk meraih keuntungan ekonomi secara langsung maupun tidak
langsung, bahkan digunakan untuk merampas tanah dan melanggar hak-‐hak asasi warga
setempat.
Studi kasus keterlibatan militer dalam konflik agraria pasca reformasi dengan melihat
karakteristik keterlibatan militer di dua tempat ini memperlihatkan lenyapnya fungsi asli
satuan-‐satuan militer sebagai alat pengamanan negara. Di kedua tempat terlihat jelas institusi
militer justru terlibat dalam pengamanan kepentingan ekonomi. Unit-‐unit militer dan tentara
aktif dipakai sebagai alat pemaksa yang represif untuk tujuan ekonomi dan keuntungan
sekelompok orang yang dikemas dalam retorika “pembangunan”.
Sekalipun sudah ada Undang-‐undang No. 34/2004 tentang TNI yang mengatur kembali
peran dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan PP No. 43/2009 yang melarang setiap
anggota TNI untuk terlibat dalam kegiatan bisnis pasca reformasi, hal itu tidak lantas
menghentikan keterlibatan kelompok militer dalam konflik-‐konflik agraria pasca reformasi.
Dengan kata lain praktek khaki capitalism33 yang biasanya merupakan ciri masyarakat politik
yang tidak demokratik (: yang dikuasai oleh rejim otoritarian), masih berlanjut di Indonesia
pasca reformasi. Reformasi yang salah tujuannya adalah mengembangkan demokrasi dan
supremasi sipil dengan cara “memulangkan” TNI sepenuhnya kembali ke barak-‐barak mereka
33 Khaki capitalism adalah praktek ekonomi dan bisnis – atau akumulasi kapital – yang dikuasai oleh kelompok-kelompok militer baik secara resmi maupun tidak resmi (melalui para perwira atau anggota-anggota kesatuan militer lainnya). Militer menggunakan semua kekuatannya dan posisi istimewanya dalam tubuh Negara untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi dan akumulasi tersebut. Untuk penjelasan lebih lanjut dari hal ini dapat dilihat pada Chambers dan Waitoolkiat (ed.) (2017); untuk kasus Indonesia dapat dilihat misalnya tulisan Honna (2017).
= Kader
31
(Harifin 2013), terlihat gagal di Ramunia dan Batang. Reformasi justru semakin membuka
ruang bagi kelompok militer terlibat lebih jauh dalam konflik agraria terutama menyangkut
proyek-‐proyek “pembangunan” pasca reformasi. Kebijakan pembangunan seperti MP3EI (2011-‐
2025) yang dibuat di era presiden SBY dan dilanjutkan oleh Pemerintah Jokowi dalam RPJMN
2015-‐2019, yang memuat berbagai daftar megaproyek pembangunan infrastruktur dan investasi
di bidang ekstraksi sumberdaya alam untuk mempercepat perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia, mendorong banyak pihak – termasuk militer – untuk terlibat mensukseskan agenda
“pembangunan” tersebut, khususnya pada proyek-‐proyek yang dinyatakan sebagai “proyek
strategis nasional”.34
Peran militer dibutuhkan untuk mengawal jalannya proses pembebasan tanah.
Pelaksanaan sejumlah megaproyek dalam MP3EI mensyaratkan ketersediaan lahan yang luas
yang melahirkan keberatan-‐keberatan, protes dan penolakan dari warga yang akan tergusur.
Penolakan-‐penolakan dapat berujung pada beragam konflik agraria, yang dari sisi kepentingan
invstasi akan dinyatakan sebagai hambatan. Untuk itu dibutuhkan peran unit-‐unit dan
aparatus negara yang memiliki kewenangan dan tugas untuk menjaga ketertiban masyarakat
(kepolisian) dan keamanan Negara (TNI). Kedua lembaga ini dapat dioptimalkan menjadi alat
pemaksa demi kelancaran proyek, khususnya pada tahap krusial pembebasan tanah.
Sejumlah peraturan seperti UU No. 24/2004 tentang TNI, Keppres No. 63/2004 tentang
Pengamanan Objek Vital Nasional, PP No. 2 tahun 2015 tentang Penanggulangan Konflik Sosial
dan berbagai MoU (Nota kesepahaman) yang dibangun antara TNI dengan berbagai
kementerian dibuat untuk mengikutsertakan peran TNI dalam mengawal dan mensukseskan
agenda-‐agenda “pembangunan”, yang dalam hal ini adalah akumulasi kapital, pasca
reformasi.35 Hal itu kemudian semakin memberi ruang bagi kelompok militer untuk terlibat
lebih jauh khususnya dalam konflik-‐konflik agraria. Keterlibatan mereka pada konflik agraria
seperti di Batang dalam pembangunan PLTU secara langsung dilegitimasi oleh aturan tentang
pengamanan objek vital nasional. Atas dasar aturan-‐aturan tersebut, Kodim Batang dan Bupati
Batang dengan dalih tugas pengamanan, pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat,
pembangunan untuk kepentingan umum, menjadi alasan untuk pengerahan kekuatan militer 34 Untuk mendukung pelaksanaan MP3EI pemerintah membentuk tim KP3EI (Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indoensia) sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan MP3EI yang dibentuk bersamaan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden No. 31 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Anggota dari KP3EI terdiri dari hampir semua kementrian termasuk juga menteri Pertahanan dan beberapa lembaga negara seperti BKPM, BPN, Komite Inovasi Nasional, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). 35 Lihat MoU (Nota Kesemapahaman) antara TNI dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terkait pelibatan kelompok militer dalam pembangunan infrastruktur yang bernilai strategis (dapat ditemukan di pu.go.id).
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
32
untuk mengawal proses pembebasan dan pembersihan lahan masyarakat dalam konflik antara
masyarakat dengan perusahaan.
Hal ini secara langsung memperlihatkan perubahan rezim dari Orde Baru ke rejim baru
paska reformasi tidak membatasi peran keterlibatan kelompok militer khususnya dalam
konflik-‐konflik agraria. Peran mereka yang pada masa Orde Baru dipakai oleh pemerintah
sebagai alat pamaksa yang represif untuk merampas tanah masyarakat demi kepentingan
“pembangunan”, maka peran yang sama berlanjut di alam reformasi. Jika pada masa Orde
Baru, stigma sebagai PKI dan anti pembangunan terhadap masyarakat yang menolak
menyerahkan tanahnya menjadi pembenaran bagi pengerahan kekuatan militer untuk
merampas tanah masyarakat. Kini – pasca reformasi – atas nama pembangunan untuk
kesejahteraan umum, pengamanan objek vital nasional, pembangunan untuk kepentingan
umum, menjadi pembenaran bagi kelompok militer untuk terlibat lagi merampas tanah
masyarakat.
Ф
= Kader
33
Daftar Pustaka
Chambers, Paul dan Napisa Waitoolkiat (ed.) (2017). Khaki Capital: The Political Economy of the Military in Southeast Asia. Copenhagen: NIAS Press
Harifin, Muhamad (2013). Reformasi Sektor Keamanan Orde Baru: Melacak Pandangan dan Komunikasi Advokasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta: Marjin Kiri.
Hardiyanto, Andik et al. (ed.) (1995). Insiden Nipah: Sengkok Cinta Tang Disa Ma’e Tembak. Surabaya: LBH Surabaya dan Direktorat Operasional YLBHI.
Harman, Benny K. et al. (ed.) (1995). Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Jakarta: YLBHI.
Harvey, David (2010). Imprealisme Baru Geneologi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.
Harvey, David (2009). Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Yogyakarta: Resist Book.
Honna, Jun (2017). “The Politics of Securing Khaki Capitalism in Democratizing Indonesia”, dalam Khaki Capital: The Political Economy of the Military in Southeast Asia, P. Chambers dan N. Waitoolkiat (ed.), hal. 305-‐327. Copenhagen: NIAS Press.
Murjatmodjo, Djoko (2015). Angkasa Pura II: Airport Future Concept, bahan presentasi untuk APEN Bandung Symposium 2015, dapat diakses di https://multisite.itb.ac.id/ftsl/wp-‐content/uploads/sites/8/2015/12/11-‐1a-‐AP2-‐APEN-‐Presentation_11Nov-‐15_rev1.pdf
Purba, Rianda (2016). Petani dan Lahan: Studi Etnografi tentang Perjuangan Lahan yang Dilakukan oleh Masyarakat Dusun Anggrek Baru Desa Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Skripsi Sarjana Departemen Antropologi Sosial, FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan.
Safitri, Hilma (2014). Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Bandung: ARC Books.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐ (2017). Pencaplokan Lahan Masyyarakat untuk ‘Pabrik Listrik’: Studi Kasus Skema PPP di Proyek PLTU Batang, Working Paper ARC No. 13/WP-‐KAPPOB/I/2017. Bandung: Agrarian Resources Center.
Samego, Indria et al. (1998). Bila ABRI Berbisnis – Buku Pertama yang Menyingkap Data dan Kasus Penyimpangan dalam Praktik Bisnis Kalangan Militer. Bandung: Mizan.
Suhartono, Edy, Fahmi Hidayat dan Swaldi (2015). Sengketa Agraria di Desa Perkebunan Ramunia, Persoalan yang Tak Pernah Selesai, naskah yang disiapkan untuk “Lokakarya Pemetaan Pelanggaran Berat HAM pada Kasus-‐kasus Konflik Agraria di Sumatra Utara” yang diselenggarakan oleh ARC dan HaRI, Medan 27-‐29 Juni 2015.
Wiradi, Gunawan (2009). Seluk Beluk Masalah Agraria. Yogyakarta: STPN Press dan Sajogyo Institute.
Pemberitaan Media
BeritaTRANS.com (2014). ‘Bapak Aerotropolis Indonesia – Tri Sunoko Kembangkan Tiga Bandara Aerotropolis di Indonesia’, BeritaTRANS.com 16 Oktober 2014, http://beritatrans.com/2014/10/16/tri-‐sunoko-‐kembangkan-‐tiga-‐bandara-‐aetropolis-‐di-‐indonesia/
Keterlibatan Militer dalam Konflik Agraria di Indonesia Pasca reformasi = Working Paper ARC No. 01/WP-KAPPOB/II/2019
34
beritasumut.com (2015a). ‘Puskopkar A BB Berikan Dana Kompensasi Kepada 800 KK Penggarap Ramunia’, beritasumut.com 11 Januari 2015, http://beritasumut.com/peristiwa/Puskopkar-‐A-‐BB-‐Berikan-‐Dana-‐Kompensasi-‐Kepada-‐800-‐KK-‐Penggarap-‐Ramunia
beritasumut.com (2015b) ‘Dihadang TNI, Petani Batal Demo Kodam I/BB’, beritasumut.com Rabu 1 Februari 2015, http://beritasumut.com/peristiwa/Dihadang-‐TNI-‐-‐Petani-‐Batal-‐Demo-‐Kodam-‐I-‐BB
DetikNews (2015). ‘Pangdam I Bukit Barisan Marahi Pendemo di Medan’, News.Detik.com Jum’at 17 April 2015, https://news.detik.com/berita/2890912/pangdam-‐i-‐bukit-‐barisan-‐marahi-‐pendemo-‐di-‐medan
Kontan.co.id (2013). ‘Pembangunan PLTU Batang tetap jalan walau ditolak’, Kontan.co.id 10 Januari 2013, https://industri.kontan.co.id/news/pembangunan-‐pltu-‐batang-‐tetap-‐jalan-‐walau-‐ditolak
Republika.co.id (2015). ‘Komnas HAM: Ada Pelanggaran HAM Terhadap Warga Ramunia’, Republika.co.id Rabu 18 Maret 2015, https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/03/18/nle24w-‐komnas-‐ham-‐ada-‐pelanggaran-‐ham-‐terhadap-‐warga-‐ramunia
Peraturan dan Dokumen
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-‐garis Besar Haluan Negara.
Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan dalam Bidang Pertahanan/Keamanan.
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta.
Peraturan Pemerintah No. 29/1960 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi
Peraturan Presiden No. 43 tahun 2009 tentang Pengambilalihan Aktivitas Bisnis Tentara Nasional Indonesia.
Undang-‐undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Undang-‐undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Undang-‐undang no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.
Undang-‐undang No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-‐perusahaan Milik Belanda.
Undang-‐undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-‐ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara.
Laporan Akhir Komnas HAM, Pemantauan Perlindungan dan Pemenuhan HAM Petani dan Nelayan terkait dengan proyek PLTU Batang Jawa Tengah.
= Kader
35
Surat Komnas HAM ke Kepala Puskopad Bukit Barisan A perihal Permintaan Penjelasan atas Sengketa Lahan Warga Ramunia dengan Puskopad A Bukit Barisan.
Surat Komnas HAM ke Menteri Agraria dan Tata Ruang perihal Tindak Lanjut Pengaduan Sengketa Lahan Perkebunan Ramunia Deli Serdang.
Surat Komnas HAM kepada Bupati Batang perihal Permintaan Penjelasan dan Tindak Lanjut atas Perbedaan Harga Pembebasan Tanah untuk Lokasi PLTU Batang.
Surat Komnas HAM kepada Mentri Pertahanan RI perihal Tindak Lanjut Pengaduan Sengketa Lahan Perkebunan Ramunia Deli Serdang.
Surat Rekomendasi Homnas HAM ke Panglima Kodam IV/Diponegoro perihal Permintaan Penjelasan dan Tindak Lanjut atas Keberadaan dan Aktivitas TNI AD di Lokasi Tapak PLTU Batang.
Penulis Suhendra Abd. Kader
Peserta Program Peneliti Tamu Agrarian Resource Center (ARC), April-Juni 2018.
Lulusan FISIP Universitas Muhammadyah Yogyakarta, Jurusan Hubungan Internasional tahun 2018. Pada tahun 2016-2018 menjadi Ketua Forum Sekolah Bersama (SEKBER) di Yogyakarta. Pernah mengikuti Sekolah Politik Agraria (SPORA) yang dilesenggarakan oleh SEKBER bersama ARC, Mei 2017, dan Pelatihan CASI (Critical Agrarian Studies of Indonesia) yang diselenggarakan oleh ARC pada 2017. Tahun 2018 mengikuti Program Peneliti Tamu ARC 2018 dengan topik penelitian “Militerisme: Hubungan Militer-Sipil di Bawah Rezim Jokowi-Jusuf Kalla”.Tahun 2019 menggagas penyelenggaraan Sekolah Politik Agraria yang diselenggarakan bersama oleh sejumlah organ gerakan sosial. Di Yogyakarta. Saat ini sedang melanjutkan studi S2 di Program Pasca Sarjana HI, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis dapat dihubungi di [email protected]
Program Peneliti Tamu ARC (ARC Visiting Researcher)
Sejak tahun 2017 Agrarian Resources Centre (ARC) membuka kesempatan khususnya bagi para peneliti muda, yang telah menyelesaikan pendidikan S1 (sarjana), dari berbagai latar belakang ilmu-ilmu sosial atau aktivis gerakan sosial untuk menjadi Peneliti Tamu (Visiting Researcher) selama 1-3 bulan. Bagi para peneliti muda, kesempatan ini dapat dimanfaatkan untuk menyusun makalah/paper atau menyelesaikan tesis dan disertasi. Bagi aktivis gerakan sosial, kesempatan ini dapat digunakan menuliskan pengalaman reflektif keterlibatannya dalam gerakan sosial. Peneliti tamu diharuskan membawa gagasan/rencana kerja penelitian/penulisan yang hendak dilakukan selama masa tinggal sebagai Peneliti Tamu di ARC. Selama mengikuti program para peneliti tamu didorong dan dibimbing oleh para peneliti senior maupun fellow researchers ARC untuk menghasilkan satu tulisan, yang jika disepakati bersama dapat dipublikasi sebagai working paper ARC.
Informasi lebih lengkap tentang Program Peneliti Tamu ARC dapat dilihat di www.arc.or.id
Agrarian Resources Center (ARC)
Lembaga kajian sosial independen yang dibentuk tahun 2005 oleh sejumlah aktivis-‐pemikir agraria di Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-‐kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan oleh peneliti-‐peneliti muda. Juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bagi aktivis-‐aktivis gerakan sosial melakukan refleksi atas kerja-‐kerja mereka dalam mendorong perubahan sosial. Hasil kajian ARC terutama didedikasikan sebagai masukan kritis untuk kelompok-‐kelompok gerakan sosial baik di pedesaan maupun perkotaan, selain untuk memberikan sumbangan kepada kajian-‐kajian agraria kritis. Publikasi hasil-‐hasil kajian ARC disebarkan dalam berbagai bentuk, seperti: working paper, position paper, fact sheet, buku, dan artikel-‐artikel lepas untuk tujuan publikasi di jurnal-‐jurnal ilmiah maupun untuk diskusi, seminar dan konferensi. Selain melakukan sejumlah kajian dan refleksi, ARC juga menyelenggarakan pelatihan penelitian sosial dan kajian agraria kritis secara reguler yang dikhususkan untuk mahasiswa dan peneliti-‐peneliti muda. Program-‐program pelatihan ini dinamakan “Training Penelitian Sosial dan Agraria” (TPSA) dan “Pelatihan Kajian Agraria Kritis Indonesia” atau “Critical Agrarian Studies of Indonesia” (CASI). Pelatihan dilakukan secara intensif dengan skema dukungan penuh lembaga dalam bentuk fellowship dan disusun berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di luar pelatihan reguler, ARC bekerjasama dengan lembaga-‐lembaga lain juga menyelenggarakan pelatihan dalam tema-‐tema yang disepakati dan dirancang bersama, seperti “(Anti) Militerisme”, “Politik Agraria”, “Etnografi”, dan sebagainya. Selain itu, ada program Peneliti Tamu (visiting researcher) ARC yang diselenggarakan untuk memberi kesempatan khususnya kepada para aktivis gerakan sosial untuk melakukan refleksi dan menuliskan pengalamannya, serta memberi kesempatan kepada peneliti muda dari berbagai latar belakang ilmu sosial untuk mengembangkan minat dan memperluas pengalamannya dalam mengkaji masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Peneliti tamu akan bekerja bersama peneliti-‐peneliti ARC untuk mendalami gagasan-‐gagasan dan ide-‐ide penelitian dan penulisan yang akan digarapnya selama berada di ARC. ARC memiliki perpustakaan yang menyimpan koleksi ribuan buku dan jurnal-‐jurnal ilmiah dalam bidang agraria, gerakan sosial, antropologi, sosiologi, politik, geografi, ekologi, ekonomi-‐politik, hukum, hak asasi manusia, sejarah, filsafat dan lainnya yang terbuka untuk umum. Perpustakaan ini juga menyimpan koleksi data-‐data hasil penelitian serta dokumen-‐dokumen yang sesuai dengan perhatian dan minat lembaga. Di perpustakaan ARC secara rutin juga dilakukan diskusi-‐diskusi dalam tema-‐tema tertentu, baik untuk menyikapi dinamika sosial-‐ekonomi-‐dan politik yang terkait dengan pembangunan dan masalah-‐masalah agraria maupun untuk mendalami isu-‐isu ekonomi-‐politik lainnya. Secara regular ARC juga memberi kesempatan bagi peneliti-‐peneliti dan mahasiswa paska sarjana dari dalam dan luar negeri untuk terlibat dalam program “internship”. Program ini memberi kesempatan bagi peneliti-‐peneliti maupun mahasiswa paska sarjana untuk tinggal di ARC dam jangka waktu tertentu sementara mereka menyelesaikan tugas-‐tugas risetnya. ARC terbuka untuk kerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, selama dapat berpegang pada prinsip-‐prinsip bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, pembebasan, anti penindasan, independensi, dan kesetaraan. Alamat:
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA Telepon/fax.: +62 – 22 – 7237799 Email: [email protected] www.arc.or.id
Buku (Buku-‐buku ARC diterbitkan oleh Penerbit ARC-‐Books)
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto (editor). Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia . 2012.
Safitri, Hilma. Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) . 2014.
Bachriadi, Dianto dan Henry Bernstein. Kedaulatan Pangan: Pandangan Skeptikal . 2014.
Yatmaka, Yayak et al. Sejarah Gerakan Kir i Indonesia untuk Pemula . 2016 (Diterbitkan secara kolektif oleh Ultimus, Komunitas Beranda Rakyat Garuda, ARC dan lain-lain).
Bachriadi, Dianto. Menjadikan Hak atas Tanah sebagai Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara. 2017.
Zakaria, R. Yando. Etnografi Tanah Adat: Konsep-konsep Dasar dan Pedoman Kajian Lapangan . 2018.
Working Paper dan Kertas Posisi Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama. Dijual Tanah! yang Berminat Si lahkan Hubungi
Pemil ik, Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Krit ik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia , Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2006.
Sujiwo, Tri Agung. Perubahan Penguasaan Tanah di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) , Working Paper ARC No. 1/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Suryana, Erwin. Struktur Agraria dan Dinamika Gerakan Sosial Pedesaan di Karawang , Working Paper ARC No. 2/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
ARC, Tim. Kecenderungan Advokasi Gerakan dan Kebijakan Agraria Nasional Pasca Reformasi , Working Paper ARC No. 3/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Baihaqi. Redistr ibusi Lahan di Cipari Kabupaten Cilacap , Working Paper ARC No. 4/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Publikasi-‐publikasi ARC (terbaru)
Rohman, Lina M. dan Rahmi Indriyani. Pembangunan DAM Jatigede: Beberapa Catatan Awal , Working Paper ARC No. 001 – Agustus 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016
Qoriah, Sityi M. Masyarakat Dusun Bonto, Desa Kompang, Kec. Sinjai Tengah, Sulawesi Selatan: Catatan Awal , Working Paper ARC No. 002 – September 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016.
Bachrioktora, Yudi, Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi. Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Safitri, Hilma, Dianto Bachriadi dan Yudi Bachrioktora. Belok Kanan Demi Kapital: Sistem Hukum dan Kebijakan Agraria di Indonesia sejak Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.b/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Tanah untuk Petani Tak Bertanah: Ketunakismaan dan Polit ik di Indonesia , Working Paper ARC No. 02/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Melihat Kembali ke Belakang: Upaya-upaya Mendorong Terbitnya TAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria , Working Paper ARC No. 03/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Jalan Lain Penyelesaian Konfl ik Agraria: KNuPKA , Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Keruk Terus: Tambang di Hutan Lindung , Working Paper ARC No. 05/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Intervensi Asing: Legislasi Agraria paska Orba , Working Paper ARC No. 06/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Reforma Agraria untuk Indonesia: Krit ik atas Reforma Agraria à la SBY , Working Paper ARC No. 07/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. Trees, Money, Livelihood and Power: The Polit ics of Conservation in Decentralisation Era in Bengkulu , Working Paper ARC No. 08/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Penantian Panjang yang Belum Berakhir: Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria , Working Paper ARC No. 09/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Basya, Baihaqi. Berebut Kesempatan Dalam Program Legalisasi Aset:’Redistr ibusi’ dan Sertif ikasi Lahan di Cipari , Working Paper ARC No. 10/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Marina, Lina, Rahmi Indriyani dan Hilma Safitri. Tenggelamkan Kampung dan Sawah demi Infrastruktur: Pembangunan Waduk Jatigede dan Dalih Kesejahteraan Rakyat , Working Paper ARC No. 11/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Qoriah, Sityi M. dan Hilma Safitri. Komodifikasi Komodo dan Penyingkiran Masyarakat: Sebuah Catatan Awal , Working Paper ARC No. 12/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Safitri, Hilma. Pencaplokan Lahan Masyarakat untuk ‘Pabrik Listr ik’: Studi Kasus Skema PPP di Proyek PLTU Batang , Working Paper ARC No. 13/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Siapa Pemilik dan Pengguna Tanah? Akar-akar Konfl ik Agraria dan Pelanggaran HAM pada Pertambangan Besar di Indonesia , Working Paper ARC No. 14/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Suryana, Erwin. Sertif ikasi di Lahan Pendudukan: Praktek Reforma Agraria Jokowi di Garut Selatan, Jawa Barat , Working Paper ARC No. 15/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
01/WP-‐KAPPOB/II/2019
ISSN: 2541-‐0121
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA
+62 – 22 – 7237799 [email protected]
www.arc.or.id