Essay Tentang Runtuhnya Bangunan

24

Click here to load reader

Transcript of Essay Tentang Runtuhnya Bangunan

Manajemen Risiko Bangunan Runtuh

Tugas Mata KuliahPemulihan Infrastruktur Fisik

Dosen : Teuku Faishal Fathani, S.T., M.T., Ph.D.

Oleh :

Masturido(13/353711/PMU/07783)

MAGISTER MANAJEMEN BENCANASEKOLAH PASACASARJANAUNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA2014

Peristiwa bangunan yang runtuh (ambruk atau runtuh) merupakan fenomena yang sering terjadi baik di negara maju bahkan negara terbelakang. Fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor, baik disebabkan oleh faktor manusia (human eror), dan juga faktor alam. Menurut pandangan aspek keteknikan, bangunan yang runtuh dapat disebut sebagai kegagalan bangunan, yakni kerusakan yang sedang atau seesai dibangun bahkan sudah digunakan (Sulistijo, 2014). Salah satu contohnya yang terjadi pada bangunan Rana Plaza, Savar. Pada tahun 2013, gedung pabrik garmen di Savar, Dhaka, runtuh dan menewaskan 1.045 orang (Kompas, 11/05/2013). Pembangunan gedung Rana Plaza dilaksanakan secara ilegal tanpa perizinan yang tepat dan secara struktur tidak aman. Selain iu peringatan dari pihak berwenang akan adanya retakan pada bangunan yang disusul dengan adanya larangan penggunaan gedung tersebut tidak diindahkan oleh pemilik bangunan tersebut, sehingga ketika terjadi bencana (runtuh) menimbulkan banyak korban jiwa.Pada tahun 2011, Selandia Baru juga dikejutkan dengan adanya gempa sedang yang menyebabkan runtuhnya gedung Catenbury Television (CTV). Runtuhnya gedung ini juga disertai dengan kebakaran yang menghanguskan gedung. Kejadian tersebut menyebabkan 115 orang tewas bahkan empat diantaranya tidak dapat diidentifikasi karena tingginya suhu kebakaran gedung. Hasil penyelidikan mengemukakan bahwa ditemukan bukti bahwa bangunan tersebut dirancang dengan sangat buruk yang dirancang oleh insinyur yang tidak berpengalaman tentang struktur gedung bertingkat serta besinya tidak dikonstruksikan dengan benar (Wikipedia.com). Di Indonesia sendiri telah berkali-kali terjadi kejadian semacam itu, misalnya yang yang terjadi pada jembatan Kutai Kartanegara pada tahun 2011, runtuhnya jembatan penghubung pusat perbelanjaan grosir Tanah Abang pada tahun 2009 serta yang baru-baru ini terjadi yaitu amblasnya proyek Hambalang. Masih banyak sekali kejadian runtuhnya bangunan di dunia ini dan penyebabnya bermacama-macam.Banyak faktor yang menyebabkan kegagalan bangunan hingga roboh atau runtuh. Secara garis besar penyebab kegagalan bangunan dapat dibagi dalam dua hal, yaitu yang dapat diprediksi (predictable) dan yang tidak dapat diprediksi (unpredictable). Yang dapat diprediksi kebanyakan disebabkan oleh kesalahan manusia (human eror), sedangkan yang tidak dapat diprediksikan merupakan kehendak Tuhan (Sulistijo, 2014).Walaupun demikian, para ahli teknik biasanya dalam menyelidiki sebuah bangunan roboh akan mempelajari keseluruhan sistem dan lingkungannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta pemeliharaan. Bahkan selain itu terdapat faktor lain yang tidak mungkin dikendalikan oleh manusia (force majeure) juga sering dapat menyebabkan bangunan menjadi runtuh. Biasanya runtuhnya bangunan ditengarai oleh beberapa kesalahan. Sulistijo (2014) menyebutkan ada beberapa kesalahan yang mungkin menyebabkan keruntuhan sebuah bangunan seperti di bawah ini.1. Kesalahan dalam perencanaanPendirian sebuah bangunan memerlukan sebuah perencanaan. Perencanaan tersebut dimulai dari studi kelayakan, desain arsitektur, hingga desain engineering. Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh konsultan yang berkompeten di bidangnya. Penggunaan konsultan yang kurang atau tidak kompeten dapat menyebabkan konsep yang dibuat tidak baik, sehingga dapat terjadi kesalahan yang fatal dalam rancangannya. Selanjutnya di kemudian hari desain dan struktur bangunan tidak dapat bertahan sebagaimana mestinya. Jadi dapat dikatakan bahwa perencanaan yang lemah daoat menjadi awal penyebab keruntuhan sebuah bangunan. 2. Kesalahan dalam pelaksanaan bangunanPada tahap pelaksanaan proyek pembangunan, kegiatannya meliputi tender dan pembelian, pelaksanaan konstruksi oleh kontraktor atau subkontraktor, serta pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan fisik oleh konsultan pengawas atau konsultan manajemen konstruksi. Bisa saja banyak kesalahan atau penyimpangan dalam tahap ini, contohnya kasus amblesnya salah satu bangunan dalam pelaksanaan proyek Hambalang (Bogor). Terlepas dari faktor fisik tanah, memang sudah ada indikasi kuat terjadinya penyimpangan dengan unsur KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme). Penyimpangan ini membuat pelaksanaan dan spesifikasi bangunan menjadi rendah dari sebagaimana mestinya (under-spesification), yang terakumulasi menjadikan kualitas dan struktur bangunan menjadi rendah dan tidak kuat.3. Kesalahan dalam PemakaianKesalahan dalam pemakaian diakibatkan oleh penggunaan yang tidak sesuai fungsi gedung tersebut (malfungsi) atau pemakaian yang melebihi kapasitas beban dan struktur bangunan.

4. Kesalahan dalam perawatanPerawatan bangunan merupakan proses panjang dan melelahkan. Namun tahap ini merupakan hal yang sangat penting agar gedung dapat berusia panjang dan tetap mempunyai nilai ekonomis. Sebaliknya perawatan yang tidak benar dapat menyebabkan rusak atau runtuhnya bangunan. 5. Kesalahan dalam pemilihan lokasiKesalahan dalam pemilihan lokasi bisa timbul karena dua hal. Pertama, daerah tersebut rawan bencana seperti rawan gempa, gunung api, angin kencang, longsor, banjir dan kerawanan yang lain. Kedua, secara fisik tanah, lokasi tersebut memiliki lapisan tanah yang labil (ekspansif), sifat kelistrikan tanah yang tinggi, perbedaan kontur yang ekstrem. Dalam hal ini sebenarnya daat diantisipasi melalui penyelidikan tanah (soil investigation) yang cermat dan akurat. 6. Kesalahan dalam pemilihan bahan atau materialKesalahan dalam pemilihan bahan atau material yang sering terjadi adalah penggunaan material murah dan tidak bermutu. Misalnya, pemakaian baja ringan dan besi yang tidak sesuai dengan perhitungan beban, atau beton atau semen yang tidak memenuhi standar minimal tes beton.7. Kesalahan dalam penggunaan teknologiPerkembangan dalam industri konstruksi juga dipengaruhi oleh perkembangan dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi. Menggunakan teknologi yang tepat guna dapat mempercepat proses pembangunan sebuah bangunan sekaligus mengefisienkan dan mengefektifkan biaya-biaya pengeluaran. Sebaliknya penggunaan teknologi yang salah dan tidak tepat guna justru bisa membuat bangunan menjadi berisiko fatal. 8. Faktor force majeureDalam konteks manajemen properti biasanya ada klausul yang disebut keadaan luar biasa (force majeure). Kondisi tersebut terjadi ketika ruang dan segala fasilitasnya rusak total dan hancur diserang angin topan, kebakaran, gempa, perang, huru haradan kejadian lain yang tidak dapat diduga.

Membuka Tabir Kegagalan Bangunan1. Tinjauan yuridisTerdapat dua peranti yuridis yang mendefinisikan kegagalan bangunan, yakni Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa Konstruksi dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Pada Undang-undang no 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi pada Bab I Pasal I Ayat 6, dinyatakan, bahwa kegagalan bangunan adalah keadaan bangunan, yang setelah diserahterimakan oleh penyedia jasa kepada pengusaha jasa, menjadi tidak berfungsi baik secara keseluruhan maupun sebagian dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan yang terantum dalam kontrak kerja konstruksi atau pemanfaatannya yang menyimpang sebagai akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa.Yang dimaksud penyedia jasa, menurut undang-undang tersebut, adalah perorangan atau badan usaha yang mendapatkan pekerjaan jasa konstruksi berkaitan dengan kemampuannya untuk menyediakan jasa kepada pengguna jasa. Penyedia jasa terdiri dari jasa perencanaan konstruksi (konsultan perencana), jasa pengawasan konstruksi (konsultan pengawas), dan jasa pelaksanaan konstruksi (kontraktor).Sedangkan pengguna jasa adalah perorangan atau instansi pemerintah atau badan usaha swasta yang menyerahkan pekerjaan jasa kepada pihak lain, yaitu penyedia jasa. Umumnya pengguna jasa disebut sebagai pemberi tugas atau pemilik (owner).Menyangkut pertanggungjawaban (responsibilities) atau kegagalan bangunan telah diatur dalam pasal 25, 26, 27, 37, dan 43. Berdasarkan pasal-pasal ini maka skema alur kegagalan bangunan dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Kegagalan Bangunan Menurut UU No. 18/1999

MulaiBerindikasi Gagal BangunanTim PenilaiBangunan atau Bentuk Fisik LainnyaKontrakFungsiKEGAGALAN BANGUNANPemanfaatan(Sumber: Tolok Ukur Kegagalan Bangunan, 2007)

TIDAK

YAYAYA

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2009 skema alur kegagalan bangunan dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Gambar 2. Skema Kegagalan Bangunan Menurut PP. Nomor 29/2009

TeknisManfaatKEGAGALAN BANGUNANKeselamatan an kesehatan kerjaPemanfaatanMulaiBerindikasi Gagal BangunanTim PenilaiBangunan atau Bentuk Fisik Lainnya(Sumber: Tolok Ukur Kegagalan Bangunan, 2007)

TIDAK

YAYAYAYA

Berdasarkan tinjauan yuridis tersebut maka sudah jelas bahwa Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam hal pencegahan dan antisipasi dan solusi atas terjadinya kegagalan bangunan di kemudian hari. Ditambah lagi dengan adanya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan sejumlah undang-undang lain sesuai bidang pekerjaan, serta peraturan daerah (Perda) masing-masing provinsi yang terkait dengan pelaksanaan dan persyaratan pembangunan gedung.2. Kriteria bangunan gagalKriteria kegagalan bangunan dapat disebabkan oleh banyak faktor. Hampir sama dengan penyebab keruntuhan bangunan yang telah diutarakan sebelumnya, maka kriteria di sini lebih bersifat normatif dan prosedural. Sulistijo (2014) mengemukakan bahwa terdapat 5 kriteria kegagalan bangunan secara umum, yaitu:A. Kriteria Kegagalan Dalam/Disebabkan Perencanaana. Data hasil pengukuran (survey) dan penelitian (investigation) tidak akurat.b. Norma Standar Pedoman dan Manual (NSPM, yang diterbitkan oleh instansi nasional dan lembaga internasional terkait) yang dipergunakan dalam analisis perencanaan tidak tepat.B. Kriteria Kegagalan Dalam/Disebabkan Pelaksanaan Pembangunana. Persiapan pembangunan fondasi (clearing, grubbing, grouting, anchoring) tidak sempurna.b. Bahan atau material bangunan tidak memenuhi spesifikasi dan kualitas yang telah ditetapkan.c. Pemasangan tulangan dan kuantitas-kualitas cara penyusunan tidak sesuai dengan gambar perencanaan.d. Peralatan dan fasilitas yang digunakan dalam pelaksanaan tidak memadai.e. Urutan kegiatan pelaksanaan (sequence of activities) dari bagian bangunan yang tidak tepat.C. Kriteria Kegagalan Dalam/Disebabkan Operasi dan Peliharaana. Gaya atau beban melebihi gaya atau beban yang ditetap kandalam perencanaan (design).b. Pengoperasian bangunan tidak sesuai dengan standard operational procedure (SOP) yang ditetapkan.c. Pengoperasian bangunan tidak sesuai dengna SOP pemeliharaan yang ditetapkan.D. Kriteria Kegagalan Disebabkan StrukturYang termasuk dalam kegagalan struktur ini adalah kegagalan kuat geser (shear failure), dimana tegangan geser yang timbul karena beban internal maupun eksternal melebihi kekuatan geser dari konstruksi atau tubuh fondasi dan bangunan atasnya (upper structure).E. Kriteria Kegagalan Disebabkan Hal Laina. Kejadian yang tidak dapat diperkirakan atau diprediksi sebelumnya akibat ulah manusia.b. Terjadi kondisi kahar (force majeure) seperti bencana alam, kebakaran, peperangan, huru-hara dan lain sebagainya.

3. Tolok ukur kegagalan bangunanLembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) selaku organisasi yang bertujuan untuk membina dan mengembangkan jasa konstruksi di tanah air, telah mengadakan konvensi penyusunan tolok ukur kegagalan bangunan pada tanggal 27 Juni 2006 di Jakarta. Setahun kemudian, tepatnya 30 Mei 2007, lembaga resmi ini menerbitkan sebuah peraturan Nomor 02/LPJK Tahun 2007 tentang Penetapan dan Pemberlakuan Tolok Ukur Kegagalan Bangunan. Dalam peraturan tersebut tersebut telah ditetapkan enam bidang pekerjaan di lingkungan jasa konstruksi sebagai standar wajib terkait tolok ukur kegagalan bangunan, yaitu;a. Bidang pekerjaan arsitektur, yaitu yang meliputi arsitektur, desain interior,arsitektur lansekap, dan teknik iluminasi.b. Bidang pekerjaan sipil, yang meliputi teknik sipil, struktur, transportasi, sumber daya air, bendungan besar, dan geoteknik.c. Bidang pekerjaan mekanikal, yang meliputi teknik mesin, sistem tata udara dan fragmentasi, sistem plambing, serta sistem transportasi dalam gedung.d. Bidang pekerjaan tata lingkungan, yang meliputi teknik lingkungan, serta wilayah dan perkotaan.e. Bidang pekerjaan lain-lain, yang meliputi manajemen dan perawatan bangunan.Bangunan yang telah diserahterimakan akan mengalami penurunan kondisi bangunan, baik fungsi maupun manfaatnya. Untuk memudahkan penilainnya terhadap derajat penurunan kondisi bangunan, maka angka yang ditetapkan adalah sebagai berikut: Angka 1, menunjukkan kondisi bangunan saat serah-terima akhir antara penyedia jasa dan pengguna jasa, dimana pada saat ini kondisi bangunan memenuhi persyaratan kontrak pekerjaan, fungsi bangunan, dan manfaat bangunan. Angka 2, telah terjadi penurunan derajat kondisi bangunan sehingga perlu penanganan pengembalian kondisi bangunan. Angka 3, merupakan tolok ukur kegagalan bagunan, dimana kondisi bangunan sudah tidak bisa berfungsi dan tidak bermanfaat.Apabila terjadi penurunan fungsi dan manfaat bangunan secara dini (di luar rencana), maka bisa terjadi kemungkinan adanya kesalahan prosedur dalam operasi dan pemeliharaan, kesalahan perencanaan, pelaksanaan, dan/atau kesalahan pengawasan, sehingga perlu investigasi dari Tim Penilai Ahli.4. Bakuan kompetensiBakuan kompetansi wajib, sebagaimana ditetapkan dalam peraturan LPJK, meliputi enam bidang pekerjaan, yaitu:a. Bidang pekerjaan arsitektur, yang meliputi ahli arsitek, ahli arsitek lansekap, ahli desain interior, dan ahli teknik iluminasi.b. Bidang pekerjaan sipil, yang meliputi ahli teknik sipil, ahli struktur, ahli transportasi, ahli sumber daya air, ahli bendungan besar, dan ahli geoteknik.c. Bidang pekerjaan mekanikal, yang meiputi ahli teknik mesin, ahli sistem tata udara dan fragmentasi, ahli sistem plambing, serta ahli sistem transportasi dalam gedung.d. Bidang pekerjaan elektrikal, yang meliputi ahli teknik tenaga listrik.e. Bidang pekerjaan tata lingkungan, yang meliputi ahli teknik lingkungan, serta ahli perencanaan wilayah dan perkotaan.f. Bidang pekerjaan lain-lain, yang meliputi ahli manajemen proyek konstruksi dan quantity suveyor.Manajemen RisikoRisiko, menurut kamus Indonesia yang disusun A. Abas Salim, diartikan sebagai ketidakpatian (uncertanty) yang mungkin melahirkan peristiwa kerugian (loss). Sementara project management istitute Amerika Srikat mendefinikan rrisiko sebagai sesuatu kejadian (event) dari suatu proses bisnis atau proyek, dimana manusia yang mengelolanya tidak dapat memperhitungkan dengan pasti dampak maupun besaran yang ditimbulkannya.Wideman R. Max mendefinisikannya lebih spesifik lagi, dalam bukunya project and program risk management (1992) menyebutkan, bahwa dalam konteks manajemen proyek, risiko adalah efek akumulatif dari terjadinya kejadian yang ridak pasti yang bersifat merugikan dan mempengaruhi tujuan proyek. Jadi, pada dasarnya risiko merupakan suatu potensi kejadian yang merugikan. Namun demikian, ada dua perkiraan yang seharusnya dijadikan pertimbangan terhadap risiko tersebut.Pertama, tingkat kemungkinan risiko tersebut yang dapat terjadi, dimana rentangnya dari hampir pasti terjadi sampai dengan sangat jarang terjadi. Hal ini sering disebut sebagai frekuensi kejadian (probability/likely). Kedua, tingkat dampaknya jika risiko tersebut terjadi, dimana rentangnya dari fatal sampai tidak berarti. Hal ini sering disebut sebagai impact atau consequencies.Secara umu manajemen risiko terdiri dari empat tahapan proses, yaitu identifikasi risiko, analisis risiko, respons risiko, dan monitoring.Gambar 3. Skema Manajemen Risiko Secara Umum

Identifikasi Risiko (konsep)Analisis Risiko (konsep)Respon Risiko (konsep)Monitoring/kontrol (konsep)Manajemen Risiko Umum(sumber: Asyanto, 2009)

Identifikasi risiko merupakan sesuatu yang dapat dilihat dari sumber atau dari dampaknya secara umum. Sumber tersebut bisa muncul dari eksternal yang terpredisikan seperti bencana, atau eksternal yang terpredisikan seperti kondisi pasa dan inflasi, atau internal non-teknis seperti jadwal dan arus-kas, atau masalah teknis seperti rancangan dan penggunaan teknologi, atau legal seperti kontrak. Sedangkan identifikasi berdasarkan dampaknya menyangkut kecelakaan kerja, biaya, mutu pekerjaan, atau waktu pekerjaan.Analisis risiko, yakni menilai level risiko yang telah diidentifikasi, yang kemudian dijadikan ranking risiko (risk ranking) seperti high, significant, medium, dan low, atau melalui metode analisis kuantitatif atau kualitatif tertentu.Respons atau tanggapan risiko terbagi atas beberapa jenis yang dapat dipilih terhadap risiko yang telah ditetapkan rankingnya. Monitoring risiko, yaitu mengamati berlangsungnya proses dan mengontrol sejauh mana risiko dapat dikendalikan. Sementara untuk manajemen risiko khusus, biasanya hanya berlaku untuk bidang tertentu saja. Bagian atau tahapan ini bisa bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan.Implementasi manajemen risiko bagi setiap perusahaan tentu tidaklah sama, sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang mempengaruhinya. Begitu juga pada perkembangan dan jenis risiko serta kemampuan menanganinya. Namun yang terpenting adalah perusahaan kini memandang akan pentingnya penggunaan manajemen risiko sebagai bagian tak terpisahkan dalam pengambilan keputusan penting, guna menghindari dampak negatif dan mencapai hasil yang positif.Pentingnya PerawatanSulistijo (2014) mengtakan bahwa kegagalan bangunan sering kali terjadi pada saat pemeliharaan, dimana pekerjaan konstruksi telah selesai dan tidak ditemukan kecacatan, tetapi kemudian bermasalah karena tidak dirawat dengan benar. Misalnya kasus runtuhnya Jembatan Mahakam II pada akhir november 2011dan kebakaran Gedung Sekretariat Negara di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Maret 2013 merupakan contoh buruknya pengelolaan bangunan, serta belum dianggap pentingnya perawatan atau pemeiharaan bangunan.Padahal UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengamanatkan, bahwa pemilik dan pengguna bangunan mempunyai kewajiban sebagai berikut:a. Memanfaatkan bangunan gedung sesuai fungsinya.b. Memelihara dan/atau merawat bangunan gedung secara berkala.c. Melengkapi pedoman/petunjuk pelaksanaan pemanfaatan dan pemeliharaan bangunan gedung.d. Melaksanakan pemeriksaan secara berkala atas kelaikan fungsi bangunan gedung.e. Memperbaiki bangunan gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi.f. Membongkar bangunan gedung yang telah ditetapkan tidak laik fungsi dan tidak diperbaiki, yang dapat menimbulkan bahaya dalam pemanfaatannya, atau tidak memiliki izin mendirikan bangunan, dengan tidak mengganggu keselamatan dan ketertiban umum (Pasal 41 Ayat 2).Sulistijo (2014), juga mengtakan bahwa hakikat perawatan/pemeliharaan bangunan dimaksudkan sebagai gabungan dari tindakan teknis dan administratif guna mempertahankan dan memulihkan fungsi bangunan seperti telah direncakanan sebelumnya. Keberhasilan perawatan ini dipengaruhi oleh empat persyaratan.Pertama, persyaratan fungsional. Yakni persyaratan yang terkait dengan fungsi bangunan. Kedua, persyaratan kinerja (performance). Masing-masing bangunan memiliki persyaratan kinerja bangunan yang sangat spesifik. Kinerja bangunan mencakup banyak aspek, mulai dari kinerja fisik luar bangunan hingga pada elemen-elemen makanikal dan elektrik. Ketiga, persyaratan menurut pengguna (user). Biasanya hal ini berkaitan dengan kenyamanan sebagai ukuran keberhasilan suatu bangunan. Keempat, persyaratan menurut undang-undang/peraturan. Persyaratan ini sebagai persyaratan yang tidak bisa diabaikan, karena menyangkut regulasi dan legalitas.Pekerjaan perawatan meliputi perbaikan dan/atau penggantian bagian bangunan, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana berdasarkan dokumen secara teknis perawatan bangunan gedung. Dalam hal ini terdapat tiga jenis pekerjaan, yaitu; rehabilitasi, renovasi, dan restorasi (rekonstruksi).Rehabilitasi adalah memperbaiki bangunan yang telah rusak sebagian dengan maksud menggunakan sesuai fungsi tertentu yang tetap, abik arsitektur maupun struktur bangunan gedung tetap dipertahankan seperti semula, sedang utilitasnya dapat berubah.Renovasi adalah memperbaiki bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan maskud menggunakan sesuai fungsi tertentu yang dapat tetap atau berubah, baik arsitektur, struktur maupun utilitas bangunannya.Restorasi adalah memperbaiki bangunan yang telah rusak berat sebagian dengan maksud menggunakan untuk fungsi tertentu yang dapat tetap atau berubah dengan tetap mempertahanan arsitektur bangunannya sedangkan struktur dan utilitas bangunannya dapat berubah.Tingkat kerusakan pada bangunan terbagi pada tiga tingkatan, yaitu: ringan, sedang, dan berat. Kerusakan ini dapat diakibatkan oleh penyusunan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebihan, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lainnya yang sejenis (Sulistijo, 2014).Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai, dan dinding pengisi. Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan, biaya maksimum yang dapat dikeluarkan adalah 35% dari harga satuan tertinggi pembangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/kelas dan lokasi yang sama.Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen non-struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai dan lain-lain. Biaya untuk perawatan kerusakan tingkat sedang adalah maksimum sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/kelas dan lokasi yang sama.Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen banguan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.Sehingga dengan adanya pedoman tersebut dimaksudkan sebagai acuan yang diperlakukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung dalam rangka proses pemanfaatan bangunan.Structural Health Monitoring System (SHMS)Dewasa ini perawatan konstruksi mengalami kemudahan dengan adanya kemajuan teknologi yang mampu mengantisipasi suatu kerusakan dan dampaknya yang tak tentu tidak diharapkan. Misalnya, pada struktur gedung dan infrastruktur lainnya seperti jembatan, bendungan dan terowongan, saat ini dipakai teknologi bernama structural health monitoring system (SHMS). SHMS dapat didefinisikan sebagai penggunaan teknologi secara in-situ penginderaan yang tidak merusak, dan menganalisis karakter struktur termasuk respons struktur untuk mendeteksi perubahan yang mengindikasikan adanya kerusakan atau penurunan kualitas struktur (Sulistijo, 2014). Secara umum, penggunaan teknologi SHMS bertujuan untuk menyediakan data-data yang berkaitan dengan performa bangunan yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berguna untuk membuat suatu infrastruktur tetap berfungsi dengna baik sesuai umur manfaatnya. Tujuan lainnya adalah untuk menyediakan data untuk melakukan verifikasi asumsi-asumsi desain, terutama dalam hal pembebanan, guna memberikan masukan dalam perbaikan serta pembuatan desain jembatan ke depannya.SHMS terdiri dari bebebrapa komponen, yaitu: Data AcquisitionMerupakan suatu teknologi penginderaan yang berfungsi untuk mendeteksi adanya perubahan kondisi pada suatu bangunan dalam bentuk sinyal. Terdiri dari teknologi sensor dan teknologi instrumentasi. Power SupplyBerfungsi sebagai penyedia daya (listrik) untuk SHMS agar dapat bekerja. Data TransmissionBerfungsi untuk mengirimkan informasi melalui pemrosesan data dalam berbagai format. Data Storage and MiningMerupakan suatu bentuk manajemen data yang didapat dari kondisi bangunan. Data Processing-Signal Processing AlgorithmTerdiri dari signal de-noising yang berfungsi untuk menyaring sinyal-sinyal yang memang diperlukan dan membuang sinyal yang tidak diinginkan. Data Interpretation-Damage Detection AlgorithmBerfungsi untuk mendeteksi kerusakan dan menyediakan interpretasi dan penjelasan kesehatan struktur.Parameter yang diukur oleh teknologi SHMS bergantung pada komponen infrastruktur bangunan yang dimonitor. Sebagai contoh untuk jembatan, yang diukur adalah regangan, tegangan, retakan, penurunan, pertressing losses, dan tegangan kabel. Untuk bendungan, parameter yang diukur adalah tegangna, temperatur, deformasi struktur, gaya angkat air, aliran air, dan lainnya.Selain perilaku struktur, parameter lain yang diukur pula adalah pengaruh dari luar, yang antara lain load effect (seperti angin, gempa bumi, temperatur struktur, beban hidup) an environmental effect (seperti suhu udara, dan curah hujan).Cara kerja alat ini dapat dijelaskan seperti di bawah ini:Struktur dari suatu bangunan akan merespons beban yang diterima dan juga respons terhadap pengaruh lingkungan, seperti suhu, angin, dan lainnya. Apabila terjadi deformasi struktur atau suatu perilaku yang berbeda dari kondisi awal yang melebihi ambang batas, maka akan terjadi peringatan.Sementaa apabila perilaku suatu bangunan tidak melebihi ambang batas, maka akan dilakukan perbandingan antara mode awal dengan kondisi yang terjadi saat ini. Perbandingan tersebut menunjukkan kesehatan bangunan. Jika hasil perbandingan kondisi yang melewatu indeks tertentu, maka ini mengindikasikan adanya suatu kerusakan. Apabila kerusakannya melewati batas, maka akan terjadi peringatan.Selanjutnya, inspeksi manual dapat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kerusakannya, serta lokasinya yang telah ditunjukkan oleh sistem SHMS. Berdasarkan hasil inspeksi dan evaluasi, maka bisa diputuskan, apakah bangunan tersebut akan diperbaiki atau dimodifikasi atau direkonstruksi sebagai tindakan pemeliharaan.Dengan demikian tidak ada alasan lagi untuk tidak melakukan pemeliharaan terhadap bangunan terutama yang memiliki fungsi publik secara massif. Hal tersebut sudah diamanatkan oleh undang-undang dan juga sudah diberi kemudahan dengan adanya teknologi yang khusus memfasilitasi para pemilik untuk melakukan pemeliharaan berupa SHMS.

Daftar PustakaAsiyanto. 2009. Manajemen Risiko untuk Kontraktor. Jakarta: PT Pradnya Paramita.Harian Kompas, Sabtu, 11 Mei 2013._________. 2006. Bakuan Kompetensi. Jakarta: Lemabaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK)._________. 2007. Tolok Ukur Kegagalan Bangunan/Building failure. Jakarta: Lemabaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). Max Widemant. R. 1992. Project and Program Risk Management. Washington.Sulistijo S.M. 2014. Bangunan yang Runtuh; Kegagalan Bangunan Suatu Konstruksi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.Undang-undang No. 18 Tahun 1999. Tentang Jasa Konstruksi .Undang-undang No. 28 Tahun 2002. Tentang Bangunan Gedung.Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000. Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

16