Essay Kandang Susun Komunal
-
Upload
nararya-wijaya-cdmp -
Category
Documents
-
view
15 -
download
0
Transcript of Essay Kandang Susun Komunal
Kandang Susun Komunal Tahan Gempa Dengan Koneksi Internet Energi
Sebagai Wujud Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan
Dari mata turun ke hati. Melihat sebagian besar peternakan di Indonesia
yang masih menggunakan sistem tradisional, sebagaimana yang kami lihat sendiri
di peternakan sapi potong milik masyarakat di Kabupaten Bondowoso, Jawa
Timur, memunculkan rasa keprihatinan yang mendalam di hati kami. Peternakan
di daerah Bondowoso kala itu menjadi tempat dilaksanakannya kegiatan
pengabdian masyarakat oleh mahasiswa Universitas Airlangga tahun 2010.
Bagaimana tidak, 80% pengusahaan ternak sapi potong tersebut dilakukan oleh
peternak tradisional yang memelihara 1-5 ekor sapi di kandang yang menyatu
dengan rumah tinggalnya. Hal ini dilakukan sebagian besar peternak tradisional
karena alasan keamanan dimana peternak merasa takut sapinya dicuri, menghilang
tanpa sepengetahuan atau dimangsa hewan buas. Untuk itu, peternak merasa perlu
melakukan penjagaan pada sapi sehingga dipelihara pada kandang yang dekat
bahkan menyatu dengan rumah tinggalnya. Hal tersebut tentunya membahayakan
kesehatan baik peternak maupun sapi yang dipelihara. Berdasarkan makalah
Pembinaan Kelompok Tani Ternak Sapi Potong dalam Menerapkan Zooteknik
Sapta Usaha Beternak Sapi Potong oleh tim penyuluh Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro menyebutkan bahwa perkandangan sebaiknya tidak
berada di dalam dan atau berimpit dengan rumah tetapi berada di luar dan terpisah
dengan rumah dengan jarak minimal 10 m sehingga akan meniadakan atau
mengurangi kekotoran dan pencemaran rumah serta lingkungan. Selain itu,
disediakan tempat penampungan kotoran kandang agar kotoran tidak tercecer dan
mencemari lingkungan.
Kondisi tersebut membuat Indonesia yang sejatinya memiliki potensi besar
dan sumber daya alam melimpah untuk pengembangan produk peternakan
menjadi belum mampu untuk memenuhi kebutuhan sapi dalam negeri sendiri.
Padahal bidang peternakan kita memiliki berbagai jenis ternak yang dapat
dibudidayakan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun potensi ekspor. Saat
ini yang terjadi justru tingginya impor sapi potong bakalan dan daging sapi
sehingga menekan pertumbuhan sapi dalam negeri. Menurut Ir. Suswono, MMA
dalam tulisannya yang berjudul Swasembada Daging yang diterbitkan majalah
Trubus edisi 486 tahun 2010 menyatakan bahwa impor serta distribusi sapi potong
bakalan dan daging sapi impor perlu dikendalikan dimana salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah mengarahakan kelompok peternak agar mengusahakan
operasional perternakan sapi potong menjadi lebih efisien melalui penerapan
teknologi tepat guna. Teknologi tersebut tentunya harus dapat mendukung
terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di sektor
peternakan. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan sebagai suatu konsep pembangunan yang
memadukan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup dalam upaya
mensejahterakan masyarakat. Kandang merupakan faktor pendukung produksi
yang sangat penting dalam usaha peternakan. Merujuk dari permasalahan di atas
maka diperlukan penyelesaian berupa inovasi teknologi kandang yang dapat
menjadi solusi pengembangan peternakan menuju pembangunan berkelanjutan
yang dalam hal ini dapat memadukan dua aspek utama yaitu ekonomi dan
lingkungan.
Kandang adalah bangunan sebagai tempat tinggal ternak, bertujuan untuk
melindungi ternak dari gangguan luar yang merugikan seperti terik matahari,
hujan dan angin serta memudahkan dalam pengelolaannya. Berdasarkan buku
berjudul “Kenyamanan Kandang Ternak Pengaruhi Produktivitas Ternak” terbitan
Sinar Tani, pengembangan sistem kandang modern didorong oleh kawanan ternak
yang semakin besar, produksi per sapi yang meningkat, serta mekanisasi dan
otomatisasi dalam cara pemberian pakan. Menurut LIPTAN atau Lembaga
Informasi Pertanian (2000) terdapat beberapa persyaratan kandang, yaitu:
1. Lokasi kandang
Lokasi kandang tidak menjadi satu dengan rumah tinggal dan jaraknya
kurang lebih 10 m. Tidak berdekatan dengan bangunan-bangunan umum atau
lingkungan ramai. Bangunan kandang lebih tinggi dari sekitarnya untuk
mempermudah pengaturan salurannya. Dilengkapi dengan penampungan
kotoran dan tempat untuk bergerak atau berjemur. Air bersih cukup tersedia
serta jalan masuk ke lokasi kandang harus cukup lebar.
2. Bahan kandang
Bahan kandang harus mempertimbangkan segi ekonomis, tahan lama,
mudah didapat dan tidak menimbulkan refleksi panas terhadap ternak yang
dipelihara. Kerangka kandang bisa dari kayu, bambu atau beton. Atap kandang
yang baik adalah genteng karena tahan lama, tidak menimbulkan panas dan
dapat mengalirkan udara melalui celah-celah genteng. Dinding kandang bisa
dari kayu, bambu maupun tembok dengan ketinggian disesuaikan dengan
kondisi setempat. Lantai kandang bisa mengguanakan semen, batu kali ditata,
atau tanah dipadatkan.
3. Arah kandang
Arah bangunan kandang menghadap timur, sedangkan bangunan
kandang sebaiknya membujur dari arah utara ke selatan. Tujuannya agar sinar
matahari masuk ke dalam kandang karena sangat bermanfaat untuk
pembentukan vitamin D dalam tubuh ternak dan berfungsi sebagai pembasmi
penyakit.
4. Kebersihan kandang
Menjaga kesehatan dan kebersihan ternak sangat penting. Caranya yaitu
dengan membersihkan kandang dan lingkungan secara teratur dan menumpuk
kotoran ternak pada tempat tertentu sehingga tidak berbau dan tidak lembab.
5. Ukuran kandang
Pada umumnya ukuran kandang individu 1,5 x 2,5 m untuk sapi.
Selain hal yang tersebut diatas, menurut Takakura (1979) yang dapat
mempengaruhi kesehatan ternak yaitu ventilasi dan arah angin. Ventilasi pada
bangunan peternakan digunakan untuk mengendalikan suhu, kelembaban udara,
kotoran ternak dan pergerakan udara sehingga kondisi lingkungan mikro yang
dibutuhkan ternak dapat terpenuhi. Faktor angin dan termal ini dimanfaatkan
untuk menggerakkan udara dan menentukan laju ventilasi alami yang terjadi. Laju
ventilasi alami memiliki hubungan yang linier dengan kecepatan udara dan
tergantung pada perbedaan tekanan udara yang ditimbulkan oleh perbedaan
temperatur lingkungan.
Inovasi kandang yang dapat menjadi solusi cerdas permasalahan tersebut
yakni kandang susun komunal dengan konstruksi bangunan tahan gempa yang
dilengkapi sistem pengolahan limbah berupa digester biogas (biodigester).
Kandang komunal merupakan kandang yang dibangun atau dididrikan
mengelompok dalam suatu hamparan luasan tertentu yang dikelola secara bersama
dan dikoordinir seorang atau ketua kelompok. Melalui pembangunan kandang
tersebut akan tercipta suatu sistem yang disebut sebagai internet energi dimana
energi dari kandang utama tempat pemeliharaan sapi terkoneksi dalam sebuah
jaringan tertutup (internet) sehingga menghasilkan energi yang diperlukan untuk
operasional kandang. Jaringan energi dimulai dari kotoran sapi yang kemudian
dihubungkan ke luar melalui sebuah pipa menuju biodigester. Gas yang
terperangkap pada biodigester dialirkan ke generator untuk diolah menjadi listrik
yang digunakan untuk penerangan dan kebutuhan lainnya di kandang. Padatan
yang mengendap pada biodigester diolah menjadi pupuk padat begitu pula dengan
cairan yang diolah menjadi pupuk cair. Pupuk-pupuk ini digunakan untuk
keperluan penanaman rumput di lahan gembala dan pakan untuk sapi. Kandang
tersebut tentunya dapat menjadi solusi dalam pengembangan pengusahaan ternak
yang memadukan aspek ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan dalam rangka
pembangunan berkelanjutan.
Kandang susun komunal tahan gempa dengan biodigester ini dapat
dikatakan sebagai kompleks kandang terpadu. Dalam kompleks kandang terdapat
kandang utama, kandang karantina, kandang isolasi, kandang jepit, biodigester,
generator dan lahan penggembalaan. Kandang utama merupakan tempat
pemeliharaan sapi dan penyimpanan pakan. Bentuk kandang utama menyerupai
tabung dengan satu pilar besar di tengah bangunan yang dikelilingi jalan naik
layaknya tempat parkir mobil bertingkat di pusat perbelanjaan (mall) atau
apartemen. Bentuk bangunan bertujuan untuk meminimalisir terjadinya patahan
bilamana terjadi gempa. Kandang utama ini terdiri dari empat lantai dimana ruang
penyimpanan pakan terdapat pada lantai pertama dengan luas seperempat luas
lantai dan selebihnya merupakan ruang pemeliharaan sapi. Apabila diasumsikan
luas bangunan seluas 2.500m2 maka mampu menampung 600 ekor sapi dimana
dengan luas yang sama pada umumnya hanya mampu menampung 300 ekor sapi.
Pada tiap lantai diisi dengan jenis sapi yang berbeda yang ditempatkan dengan
tipe tunggal dan ganda. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan
pada satu baris atau satu jajaran, sedangkan kandang yang bertipe ganda
penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan. Jalur untuk
jalan bagi peternak terdapat diantara kedua jajaran kandang tipe ganda dan di
depan kandang tipe tunggal. Kandang lainnya di sekitar kandang utama, yaitu
kandang karantina, kandang isolasi dan kandang jepit. Sapi yang baru datang
pertama kali akan masuk kandang jepit untuk ditangani seperti ditimbang berat
badanya dan dilihat kondisinya secara umum. Apabila sapi tersebut sakit maka
akan dimasukkan pada kandang karantina terlebih dahulu sebelum ditempatkan
pada kandang utama. Sedangkan kandang jepit berfungsi untuk memudahkan
pemeriksaan sapi yang sakit serta penanganan pada saat kawin suntik dimana
terletak dekat dari kandang utama. Bangunan lainnya yaitu biodigester dan
generator berfungsi untuk pengolahan limbah ternak yang dialirkan melalui dua
buah pipa dari kandang utama. Selain itu terdapat lahan penggembalaan untuk
sapi yang tidak terlalu luas namun cukup representatif untuk menggembalakan
seluruh sapi yang dipelihara di kandang utama secara bergiliran. Perawatan yang
intensif dalam kandang disinergikan dengan penggembalaan akan membuat
pembentukan otot serta pertumbuhan sapi sempurna sehingga pada akhirnya
membuat produksi hewan ternak meningkat.
Pertambahan jumlah penduduk akan menimbulkan berbagai dampak
berantai dan saling berkaitan dengan yang lain. Dampak tersebut, diantaranya
berkurangnya ketersediaan sumberdaya alam, lingkungan dan fasilitas lainnya.
Peningkatan jumlah penduduk tentunya juga akan memberikan peningkatan
terhadap kebutuhan bahan pangan terutama hasil ternak. Peternakan
membutuhkan luasan lahan yang besar untuk penggembalaan. Semakin
bertambahnya pertumbuhan industri peternakan maka semakin banyak pula tanah
hutan tropis yang dialihkan menjadi petak-petak kandang yang sangat besar untuk
menggembala ternak atau petak-petak kecil untuk menanam pakan ternak.
Sementara itu, konversi lahan untuk kawasan permukiman, perkantoran dan
fasilitas hiburan lainnya terjadi secara besar-besaran di berbagai wilayah di
Indonesia. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya lahan untuk keperluan
peternakan. Keberadaan kandang yang dibuat bertingkat (susun) tentunya mampu
menjadi solusi pengembangan peternakan ditengah sempitnya lahan peternakan
akibat konversi lahan untuk pembangunan rumah serta industri. Di sisi lain,
dengan adanya kandang susun ini para peternak tradisional dapat menjadikannya
sebagai kandang komunal dimana hewan ternak dipelihara secara berkelompok
dan dikelola secara bersama oleh peternak-peternak dalam suatu wilayah. Melalui
sistem peternakan yang berkelompok maka peternak akan lebih mudah melakukan
pengawasan terhadap ternaknya selain itu muncul adanya rasa tanggung jawab
dalam kelompok ternak karena pada tiap kelompok akan diberi rute harian
pengerjaan dan pengawasan. Penyebaran penyakit pun dapat dihindari dengan
adanya kandang karantina, kandang isolasi dan kandang jepit yang berfungsi
untuk penanganan sapi yang baru datang, pemeriksaan sapi yang sakit serta
penanganan pada saat kawin suntik. Dengan demikian keberadaan kandang ini
mampu mengefisiensikan waktu yang digunakan oleh peternak sehingga peternak
dapat mengisi waktu senggangnya untuk berproduksi lagi dan memperoleh
penghasilan lebih.
Selain ketersediaan lahan yang semakin sedikit, letak geografis Indonesia
menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan peternakan
karena berkaitan dengan keamanan dan kenyaman pengusahaan ternak.
Berdasarkan buletin penataan ruang mengenai posisi Indonesia dan kerentanan
terhadap bencana, Indonesia dilihat dari kondisi geografisnya merupakan wilayah
dengan ancaman bencana gempa bumi dan tsunami dengan intensitas yang cukup
tinggi. Banyaknya gunung aktif serta bentuknya yang berupa negara kepulauan
adalah sebagian faktor yang mempengaruhi seringnya terjadi bencana di
Indonesia. Tercatat beberapa gempa besar telah terjadi di Indonesia, yaitu gempa
pada tahun 2005 di Pulau Nias dan sekitarnya yang menelan korban sekitar 1000
jiwa, gempa yang terjadi pada akhir 2006 yang menimpa Yogyakarta dan
sebagian Jawa Tengah yang menelan korban sekitar 5000 jiwa serta bencana
Gunung Merapi dan Mentawai pada akhir 2010. Namun selain semua itu, terjadi
banyak sekali gempa-gempa lain di Indonesia pada setiap tahunnya. Hal ini
dikarenakan posisi Indonesia yang dikepung oleh tiga lempeng tektonik dunia
yakni Lempeng Indo-Australian, Eurasia dan Lempeng Pasific yang apabila
bertemu dapat menghasilkan tumpukan energi yang memiliki ambang batas
tertentu. Selain itu, Indonesia juga berada pada Pasific Ring Of Fire yang
merupakan jalur rangkaian gunung api aktif di dunia yang setiap saat dapat
meletus dan mengakibatkan datangnya bencana. Catatan Direktorat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral menunjukan bahwa ada 28 wilayah di Indonesia yang dinyatakan rawan
gempa. Di antaranya Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) bagian selatan, Jawa Timur bagian selatan, Bali, Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), kemudian Sulawesi
Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak,
Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan Kalimantan Timur. Daerah-daerah
tersebut merupakan daerah yang potensial untuk pengembangan peternakan.
Sampai saat ini manusia belum dapat mencegah gempa bumi, tetapi manusia
dapat berusaha untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan melalui perencanaan
dan pendirian bangunan yang tahan gempa. Mengingat bahwa hampir seluruh
wilayah di Indonesia rawan gempa dan bencana tersebut akhir-akhir ini sering
terjadi, maka perlu dibangun bangunan kandang yang tahan gempa. Hal ini sangat
penting untuk memberikan keamanan dalam pengusahaan ternak serta mencegah
kerugian ekonomi yang lebih banyak akibat gempa. Kandang susum komunal ini
dapat dikatakan tahan gempa dilihat dari bentuk, konstruksi dan material
bangunannya. Bentuk tabung yang melingkar meminimalisir terjadinya patahan
bangunan bilamana terjadi gempa. Konstruksi bangunan kandang menggunakan
Sistem Rangka Penahan Momentum (SRPM). SRPM tahan terhadap beban gempa
resiko tinggi dan menengah dengan beban gempa nominal (R) = 8,5 Menurut SNI
Nomor 032847 tahun 2002, SRPM adalah suatu rangka struktur dengan
pendetailan yang secukupnya sehingga dapat terbentuk sendi-sendi plastis di
ujung-ujung balok dan kolom yang akan menyerap energi dan memungkinkan
rangka tetap berdiri pada penyimpangan yang jauh lebih besar dari kemampuan
berdasarkan desain elastis. Material yang digunakan menggunakan campuran
bahan yang sesuai dengan kosntruksi tersebut, misalnya pada semen dan
penggunaan rangka baja. Dengan demikian, rasa aman dan nyaman tidak hanya
sebatas memenuhi ketakutan ternak akan dicuri, hilang tanpa sepengetahuan atau
dimangsa hewan buas, tetapi juga terhindar dari bencana gempa yang dapat terjadi
kapan saja.
Pengelolaan lingkungan perlu menjadi perhatian dalam rangka
pembangunan berkelanjutan di sektor peternakan. Pemanfaatan dan pengolahan
limbah menjadi sangat penting mengingat dampaknya pada lingkungan cukup
besar. Menurut Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yakni Food of Agriculture Organization (FAO) tahun 2006
peternakan merupakan penyumbang gas rumah kaca utama penyebab pemanasan
global. Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata
atmosfer, laut, dan daratan bumi. Riset terbaru World Watch Institute dalam
laporan yang dirintis Watch Magazine Edisi November/Desember 2009 juga
menyebutkan bahwa peternakan bertanggung jawab atas sedikitnya 51 persen
penyebab gas rumah kaca global. Dengan pengurangan gas metana yang
signifikan dari peternakan di seluruh dunia akan mengurangi gas rumah kaca
(GRK) secara lebih cepat dibandingkan penerapan energi terbarukan dan efisiensi
energi. Efek rumah kaca sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup untuk
menjaga suhu tidak dingin, tetapi jika berlebihan akan menyebabkan pemanasan
global. Dampak besar yang dihasilkan membuat peternakan sangat jelas
memenuhi syarat untuk mendapat penanganan khusus dalam perubahan iklim.
Untuk itu tiap peternakan diharapkan dapat mengolah sendiri limbahnya terutama
limbah feses dan manure. Salah satu caranya adalah dengan biodigester. Dengan
adanya pengolahan limbah ternak berupa biodigester, selain meningkatkan
kehidupan sosial dan ekonomi peternak juga dapat mengendalikan polusi yang
terjadi pada udara dan air.
Biogas merupakan gas campuran metana (CH4), karbondioksida (CO2) dan
gas lainnya yang didapat dari hasil penguraian material organik seperti kotoran
hewan, kotoran manusia, tumbuhan oleh bakteri pengurai metanogen pada sebuah
biodigester. Jadi, untuk menghasilkan biogas dibutuhkan pembangkit biogas yang
disebut biodigester. Proses penguraian material organik terjadi secara anaerob
(tanpa oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke 4-5 sesudah biodigester terisi
penuh dan mencapai puncak pada hari ke 20-25. Biogas yang dihasilkan oleh
biodigester sebagian besar terdiri dari 50-70% metana (CH4), 30-40%
karbondioksida (CO2) dan gas lainnya dalam jumlah kecil. Terdapat tiga
kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu
kelompok bakteri fermentatif (Steptococcus, Bacteriodes dan beberapa
jenis Enterobactericeae), kelompok bakteri asetogenik (Desulfovibrio) serta
kelompok bakteri metana (Mathanobacterium, Mathanobacillus, Methanosacaria,
dan Methanococcus). Biogas pada peternakan berasal dari kotoran sapi. Pada
kandang susun komunal ini, saluran pembuangan kotoran sapi pada kandang
utama dihubungkan dengan biodigester. Gas yang terbentuk kemudian dialirkan
ke generator untuk diubah menjadi listrik. Listrik yang dihasilkan digunakan
untuk penerangan, keperluan kandang dan dapat juga dimanfaatkan peternak
untuk keperluan di rumahnya. Endapan berupa padatan dan cairan pada
biodigester diolah menjadi pupuk. Dengan adanya biodigester pada kandang ini
kita mampu mengolah kotoran secara efisien dalam bentuk gas, padat dan cair
untuk keperluan peternakan antara lain sebagai sumber listrik serta pupuk yang
nantinya dapat dijual maupun dimanfaatkan sendiri sebagai pupuk untuk produksi
pakan sapi sehingga tingkat pencemaran pada kandang dapat diminimalisir
bahkan dihilangkan.
Kandang susun komunal tahan gempa dengan biodigester merupakan
sebuah rancangan kompeleks kandang terpadu yang dibangun untuk mampu
menahan gempa hingga skala 8,5 Richter dan dapat didirikan pada lahan yang
terbatas. Selain itu, kandang susun komunal ini memiliki efisiensi produksi dan
mutu hasil yang tinggi dengan pengolahan limbah berupa biodigester dan
menghasilkan pemasukan yang besar dari operasionalnya sehingga rancangan ini
juga dapat membantu dalam konservasi lingkungan serta memberikan kebebasan
pada hewan dengan menggunakan sistem di dalam dan di luar kandang. Saran
yang dapat kami sampaikan adalah kepada pemerintah agar memberdayakan
rancangan kandang susun komunal tahan gempa dengan biodigester yang
diharapkan dapat menjadi menjadi penopang swasembada daging 2014 dengan
merubah sistem peternakan sampingan menjadi peternakan utama.