Essay Inisiasi Osjur, 16614046-15714007
-
Upload
dicky-maulana-nuryana -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of Essay Inisiasi Osjur, 16614046-15714007
Bandung, 28 Agustus 2015
Perihal : Pernyataan Telat Mengirimkan Tugas Inisiasi OSJUR RIL 2015
Kepada Yang Terhormat,
Tim MPAM Rekayasa Infrastruktur Lingkungan
di-
Tempat
Dengan hormat,
Dengan ini saya :
Nama : Dicky Maulana Nuryana
NIM : 16614046 / 15714007
Fakultas : Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Jurusan : Rekayas Infrastruktur Lingkungan
Memberitahukan bahwa saya tersebut diatas tidak menyerahkan tugas INISIASI
OSJUR seperti yang telah ada pada perjanjian, yaitu Minggu 05 Juli 2015 dikarenakan karena
hal tertentu. Kesatu, Jumat 03 Juli 2015 pulang kampung dan lupa membawa laptop, Kedua
Warnet tutup, Ketiga Rabu 08 Juli 2015 bersama dengan Ayah kembali ke Bandung dan lupa
membawa kunci kosan, Keterangan bisa di dapatkan langsung di kedua orang tua saya
atasnama Ai Maryati / Nanang, Hp. 085323820069. Oleh karena itu, sudilah kiranya Tim
MPAM Rekayasa Infrastruktur Lingkungan memakluminya dan memberikan maaf yang
sebesar-besarnya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Dicky Maulana Nuryana
Pengrusakan Lingkungan sebagai Keserakahan
dan Kekerasan Manusia
Globalisasi sudah eranya sekarang, menyebar di seluruh pelosok dunia. DARI globalisasi
muncul peristiwa eksploitasi kekayaan alam yang tak menyejahterakan masyarakat setempat,
sehingga mereka berdemonstrasi, lalu terjadi konflik fisik antara mereka dan aparat keamanan,
manakah yang termasuk kekerasan ? Banyak orang dengan mudah akan menjawab: konflik
fisik tersebut. Eksplorasi kekayaan alam seperti itu akan lebih dilihat hanya sebagai kesalahan
kebijakan atau paling banter kerakusan sejumlah oknum.
Kekerasan memang seringkali dipahami secara sempit. Kekerasan cenderung dipahami secara
tradisional: kekerasan orang terhadap orang secara langsung. Kekerasan hanya direduksi
sebagai perilaku satu manusia terhadap manusia lain atau sekelompok manusia terhadap
manusia lain untuk mempertahankan kekuasaan atau eksistensi manusia atau kelompok
manusia tersebut. Kekerasan terhadap alam atau lingkungan hidup seperti tak disadari sebagai
kekerasan.
Di sana, manusia atau kelompok manusia menjadi homo homini lupus, serigala bagi manusia
atau kelompok manusia lain. Tak heran jika Thomas Hobbes mendefinisikan kekerasan sebagai
keadaaan alamiah yang bersemayam di dalam diri manusia sebagai makhluk yang dikuasasi
dorongan-dorongan irrasional, anarkis, dan mekanis yang saling mengiri dan membenci,
sehingga menjadi kasar, jahat, buas, dan pendek pikir.
Kalau kekerasan dipahami dalam horizon yang sempit seperti itu, perusakan alam atau
lingkungan hidup tak akan pernah dipandang sebagai tindakan yang sungguh-sungguh
mengancam keselamatan manusia. Keselamatan manusia pada masa mendatang hanya menjadi
sesuatu yang diasumsikan, diangankan, atau diandaikan terjadi. Ia cuma ilusi. Bukan sesuatu
yang dipastikan mewujud. Sebab, masa depan sejatinya sesuatu yang belum pasti.
Kepastian hanya ada pada masa kini atau bahkan hari ini. Karena itu, apa yang bisa diperoleh
atau dinikmati dari alam harus diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa
kini atau bahkan hari ini tanpa peduli apakah prioritas tersebut akan mengancam keselamatan
generasi penerus atau tidak. Yang pokok, manusia masa kini atau hari ini selamat. Sebab, tanpa
masa kini atau hari ini, tak ada masa depan.
Di titik itu, eksplorasi kekayaan alam yang berubah menjadi eksploitasi kekayaan alam tak
akan pernah ditempatkan sebagai tindakan kekerasan. Begitu pula dengan perilaku lain yang
tak menunjukkan keramahan pada alam, seperti menebang pohon dan membunuh satwa di
hutan lindung, pembalakan liar atau illegal logging, pembuangan limbah pabrik ke sungai
secara serampangan, pembuangan sampah secara sembarangan, pencemaran udara,
pemanfaatan kertas yang berlebihan, serta pembangunan gedung yang penuh dengan kaca.
Padahal, dalam konteks lingkungan dan pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menegaskan bahwa salah satu prinsip kunci pembangunan berkelanjutan adalah upaya
“memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengesampingkan kemampuan generasi masa depan
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri”. Dalam konteks Indonesia, Pasal 33 Ayat 3
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya perlu dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
baik generasi sekarang maupun mendatang.
Kalau kita tidak dapat bertindak untuk melindungi bumi, air, dan kekayaan alam, ongkos yang
akan kita tanggung akan menjadi begitu langsung dan menekan lantaran konsekuensinya begitu
besar. Anak-cucu kita pada masa mendatang pun akan membayar jauh lebih mahal karena
beban yang kita wariskan begitu berat, yakni kerusakan alam yang sangat parah.
Kalau perilaku yang berhubungan langsung dengan alam atau lingkungan hidup saja tak
ditempatkan sebagai tindakan kekerasan, apalagi perilaku yang tak berkaitan langsung.
Padahal, perilaku tersebut bisa lebih mengancam keselamatan manusia masa kini sekaligus
masa depan. Misalnya, konsep pembangunan dan produksi yang eksploitatif, korupsi dana
reboisasi, korupsi dana penanganan bencana alam atau banjir, penyuapan atau penyogokan
dalam kasus pelanggaran peraturan lingkungan hidup, kelalaian dalam pengawasan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta kelalaian dalam pengantisipasian
kemungkinan terjadinya bencana alam atau banjir.
Populasi manusia di bumi diperkirakan melewati delapan miliar pada 2025, sedangkan
pertumbuhan perekonomian global yang cepat akan makin memacu eksploitasi terhadap
sumber daya alam. Akibatnya, dunia akan menghadapi kelangkaan sumber daya alam. Menurut
Thomas F. Homer-Dixon, kelangkaan tersebut akan memiliki konsekuensi sosial yang
mendalam: berkontribusi pada terjadinya pemberontakan, bentrokan etnis, kerusuhan sosial di
perkotaan, dan bentuk lain kekerasan sipil, terutama di negara-negara berkembang. Di lini
ekonomi, menurut John B. Cobb, perluasan produksi akan menambah kekerasan terhadap
lingkungan, sehingga mempercepat kelelahan sumber daya dan pencemaran lingkungan.
Karena itu, setiap perilaku yang tak ramah lingkungan sudah saatnya ditempatkan sebagai
tindakan kekerasan dalam perspektif yang luas sebagaimana dipahami Johan Galtung. Sosiolog
kelahiran Oslo, Norwegia, 24 Oktober 1930, tersebut memang menerjemahkan kekerasan
secara sangat luas. Baginya, kekerasan juga bisa muncul jika manusia dipengaruhi sedemikian
rupa, sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.
Tingkat realisasi potensial merupakan apa yang mungkin direalisasikan terhadap suatu
kenyataan sesuai dengan tingkat wawasan, sumber daya, dan kemajuan yang telah dicapai pada
zamannya. Dia menggabungkan tersedianya fasilitas dan mobilitas dengan kemauan baik untuk
mengatasi kekerasan. Bila wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan disalahgunakan untuk
tujuan lain atau dimonopoli segelintir orang saja, ada kekerasan dalam sistem tersebut.
Misalnya, banjir yang rutin terjadi di negeri ini. Hujan yang menjadi salah satu penyebab banjir
memang tak dapat dipastikan kapan turunnya, tapi kita mengenal rentang masa ketika hujan
biasa luruh ke bumi. Kita paham wilayah-wilayah yang rutin dilanda banjir. Kita juga mafhum
bahwa tak biasanya masyarakat membuat sampah di tempatnya turut berpotensi mengundang
banjir. Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tak langsung dapat memicu terjadinya
banjir kurang atau tidak diantisipasi atau bahkan dibiarkan, pada saat yang sama, kekerasan
telah dimulai. Ketika banjir meratakan banyak wilayah serta pelbagai alasan langsung dan tak
langsung meluapkan ketidakmampuan atau kekurangmampuan penanganannya, kekerasan
telah sungguh-sungguh menenggelamkan tubuh-tubuh masyarakat.
Karena itu, setiap perusak alam atau lingkungan hidup semestinya dikenai sanksi atau hukuman
lebih berat. Bukan hanya sanksi administratif, penjara 1-15 tahun, dan denda Rp500 juta-Rp15
miliar sebagaimana yang dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebab, taruhannya bukan hanya manusia
dan makhluk hidup masa kini, tapi juga manusia dan makhluk hidup masa depan. Apalagi,
misalnya, fakta menunjukkan, laju kerusakan hutan Indonesia yang 2,8 juta hektare per tahun
terjadi akibat lemahnya pengawasan dan ringannya sanksi terhadap pelaku perusakan hutan.
Kalau belum lama ini Ketua Mahkamah Konsititusi, Mahfud M.D., menyarankan pada hakim
berani mengganjar setiap koruptur dengan hukuman mati lantaran peraturannya
memungkinkan, apalagi sanksi terhadap setiap koruptur dana yang berkaitan dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Sanksi sosial pun dapat ditimpakan kepada perusak alam atau lingkungan hidup. Cuma, hal itu
butuh waktu yang panjang lantaran selama ini masyarakat tak menempatkan perusakan alam
atau lingkungan dalam horison kekerasan. Untuk itu, penanaman kesadaran terhadap setiap
pemimpin–baik formal maupun informal, mulai dari tataran terkecil seperti pemimpin keluarga
hingga aras tertinggi seperti pemimpin negarA–setiap agen atau calon agen perubahan, dan
setiap generasi penerus menjadi sangat penting.
Di sisi lain, setiap individu atau lembaga yang berperilaku atau berkontribusi pada upaya-upaya
pelestarian alam atau lingkungan hidup juga mesti diapresiasi. Misalnya, pemberian insentif
pajak terhadap perusahaan atau insitusi yang intens melakukan kegiatan-kegiatan yang ramah
lingkungan. Atau, pengurangan tarif pajak bumi dan bangunan (PBB) atau pemberlakukan tarif
PBB yang berbeda terhadap pemilik tanah dan bangunan yang berperilaku ramah lingkungan.
Misalnya, beranda rumahnya tak ditutup keramik ataupun adukan semen atau bahkan ditanami
hingga rimbun dan dibikinkan lubang-lubang resapan air (biopori). Anugerah Kalpataru dapat
diberikan pada aktivitas pelestarian alam yang lebih beragam, sehingga mampu
mengakomodasi kegiatan-kegiatan yang lebih sederhana, tapi membumi dan inspiratif.