Epidemiologi Non Menular

3
Epidemiologi Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah anemia gizi zat besi. Prevalensi anemia di dunia sangat tinggi, terutama di negara- negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Anemia defisiensi besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia.1 Perkiraan prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%. Angka tersebut terus bertambah di tahun 1997 yang bergerak dari 13,4% di Thailand ke 85,5% di India.2 Tiga puluh enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang di negara sedang berkembang menderita anemia gizi, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang.1 Menurut data Depkes RI, prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri di Indonesia yaitu 28%.3 Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri usia 10-18 tahun yaitu 57,1%.4. Hasil survey anemia ibuhamil pada 15 kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi anemia di Jawa Tengah adalah 57,7%, prevalensi tersebut masih lebih tinggi dari prevalensi pada tingkat nasional yaitu 50,9%. Data menurut Puskesmas Purwoyoso Semarang, gambaran prevalensi selama 4 tahun di kota Semarang masih tinggi, yakni 45%(2010), 41%(2011), 52%(2012) dan 49%(2013). (Litasari, 2014)

description

df

Transcript of Epidemiologi Non Menular

Page 1: Epidemiologi Non Menular

Epidemiologi

Salah satu masalah gizi pada remaja dan dewasa yang masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat adalah anemia gizi zat besi. Prevalensi anemia di dunia sangat tinggi, terutama di

negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Anemia defisiensi besi merupakan

masalah gizi yang paling lazim di dunia dan menjangkiti lebih dari 600 juta manusia.1 Perkiraan

prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%. Angka tersebut terus bertambah di tahun

1997 yang bergerak dari 13,4% di Thailand ke 85,5% di India.2

Tiga puluh enam persen (atau kira-kira 1400 juta orang) dari perkiraan populasi 3800 juta orang

di negara sedang berkembang menderita anemia gizi, sedangkan prevalensi di negara maju hanya

sekitar 8% (atau kira-kira 100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang.1 Menurut data

Depkes RI, prevalensi anemia defisiensi besi pada remaja putri di Indonesia yaitu 28%.3 Survei

Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 menyatakan bahwa prevalensi anemia defisiensi

besi pada remaja putri usia 10-18 tahun yaitu 57,1%.4.

Hasil survey anemia ibuhamil pada 15 kabupaten/kota pada tahun 2007 menunjukkan bahwa

prevalensi anemia di Jawa Tengah adalah 57,7%, prevalensi tersebut masih lebih tinggi dari

prevalensi pada tingkat nasional yaitu 50,9%.

Data menurut Puskesmas Purwoyoso Semarang, gambaran prevalensi selama 4 tahun di kota

Semarang masih tinggi, yakni 45%(2010), 41%(2011), 52%(2012) dan 49%(2013). (Litasari,

2014)

Tanda-Tanda atau Gejala

Tanda-tanda yang paling sering  dikaitkan dengan anemia adalah:

1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah

2. sakit kepala, dan mudah marah

3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi

4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan rapuh, pecah-

pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.

Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta distribusi

kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan indeks pucat yang

dapat diandalkan. Warna kuku, telapak tangan, dan membran mukosa mulut serta

konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai kepucatan.

Page 2: Epidemiologi Non Menular

Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah

yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang meningkat. Angina

(sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan

karena iskemia miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif

sebab otot jantung yang kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban

kerja jantung yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah

waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2.

Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung) dapat menggambarkan

berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga

timbul gejala saluran cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-

gejala ini adalah anoreksia, nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan

mulut).