Epaper_19 Bisnis Daur ULAng

1
23 APRIL 2012 GAPOLITAN Pusat-Daerah yang tidak Seia Sekata FOKUS POLKAM Senin (16/4/2012) LABA-LABA, nama tempat reparasi tas, koper, sepatu, sandal, dan dompet di Jalan Samanhudi No 65 A, Krekot, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tak ada pe- nunjuk arah menuju ke sana, tapi mu- dah menemukannya karena cukup banyak orang yang mengetahui. Laba-Laba pernah menangani reparasi sepatu dan tas keluarga Cen- dana yang merupakan penguasa Orde Baru selama 32 tahun. Mulai dari sepatu hingga tas kerja milik keluarga mantan Presiden Soeharto menjadi sa- lah satu langganan Laba-Laba. Semua barang yang hendak direparasi diantar ajudan ke Laba-Laba. “Zaman dulu Pak Harto dan anak- anaknya ke sini mereparasikan ba- rang-barang mereka. Apakah benerin hak sepatu, injakan sepatu, atau tas. Dulu, satu-satunya di sini, tempat reparasi,” tutur pemilik Laba-Laba Pasar Baru, Sugianto Yahya, 58, kepada Media Indonesia, kemarin. Nama besar lain yang juga lang- ganan Laba-Laba ialah Emil Salim dan istrinya. Mantan Menteri Ling- kungan Hidup itu kerap mengantarkan sendiri barang-barang yang hendak direparasi. Tak hanya pejabat dalam negeri yang memercayai Laba-Laba, para ekspatriat pun berdatangan. Duta besar hingga staf ahli Kedutaan Besar Amerika Serikat, negara-negara Eropa, India, Jepang, hingga diplomat China ikut menjadi pelanggan. Para langganan membawa barang bermerek seperti sepatu Aigner, tas Braun Buffel, Louis Vitton, Longchamp, Guess, dan Burberry. “Barang-barang mereka asli,” ucap Sugi, panggilan Sugianto. Laba-Laba tak pernah membatasi barang-barang yang hendak diper- baiki. Semua jenis barang terkenal di dunia maupun merek lokal bahkan LANGGANAN KELUARGA CENDANA tanpa merek pun diterima. “Semua bisa kami kerjakan,” tandasnya. Harga reparasi tergantung separah apa kerusakannya. Pengerjaan di- lakukan setelah kedua pihak sepakat dengan biaya reparasi. Sejauh ini pe- langgan dapat menerima harga yang ditawarkan. Peraturannya pelanggan dapat membayar uang muka 75% di awal. “Tergantung kualitas barang yang mau diperbaiki. Kalau barang asli dan bagus, pasti kami perbaiki dengan ba- han bagus juga. Biayanya bisa puluhan ribu sampai ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah. Kalau ada batu permata di sandal pestanya, ya kami carikan seperti itu,” terangnya. Proses perbaikan tergantung pada kerusakan barang. Perbaikan hanya beberapa menit jika yang rusak hanya mengandalkan lem atau mengganti pijakan sepatu. Bisa seminggu kalau mengganti alas tas besar. Harus dijahit satu per satu. Karyawan ahli yang bekerja di Laba- Laba sebanyak 10 orang. Semuanya dilatih selama tiga bulan dan bekerja Senin-Sabtu mulai pukul 08.30-16.30 WIB. Minggu dan hari libur nasional tutup. Laba-Laba tak pernah sepi pelang- gan. Sama dengan pemilik Laba-Laba yang sudah beregenerasi, pelanggan pun telah turun-temurun. “Saya tahu Laba-Laba dari ibu saya. Saya sendiri mulai reparasi di sini dari tahun 2000, begitu juga adik dan saudara saya,” kata Resi, 27, warga Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat yang ditemui di Laba-Laba. Resi datang untuk mengecilkan se- patu. “Size kaki saya 34, selalu harus dikecilkan. Hasilnya rapi dan nyaman di kaki,” jelasnya. Yulisna, 36, ditemui sedang merepara- si sepasang sepatu hitam merek Aigner. Ia memperbesar size-nya. “Umur se- patu saya ini sudah 10 tahun dan ma- sih awet. Saya perbaiki di sini karena mereka tahu cara memperlakukan sepatu kulit asli,” ucap Yulisna, warga Sunter, Jakut. Begitu juga Alex yang memperbaiki tas tangan merek Louis Vitton milik istrinya. Ia tak keberatan membayar Rp200 ribu untuk tas warna cokelat muda itu. Ia mengaku menolong is- trinya yang tak bisa datang langsung ke Laba-Laba. “Ini tas LV yang murah, beli di mal dekat SCBD. Tas ini harganya Rp14 juta waktu itu. Pokoknya pengin dilapisi kulit lagi pinggirannya sama dibersih- kan,” katanya. Laba-Laba Pasar Baru telah melayani pelanggan sejak 1988. Sebelumnya Sugianto masih membantu toko Laba- Laba milik orangtuanya di Jalan Cikini Raya. Laba-Laba sendiri berdiri sejak 1893 dengan nama De Spin. Kata De Spin sendiri diambil dari bahasa Be- landa yang artinya laba-laba. Pascakemerdekaan, nama De Spin diindonesiakan menjadi Laba-Laba. Perubahan itu mengikuti aturan peme- rintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia. Laba-Laba merupakan filosofi toko tersebut. Laba-Laba dikenal tekun, sabar, kuat, dan memiliki banyak ja- ring. (Nesty Trioka Pamungkas/J-1) JAKARTA belum semegapolitan Tokyo. Jika di ‘Negeri Sakura’ semua barang bekas masuk tong sampah, Jakarta memegang prinsip efisiensi. Sosiolog perkotaan Uni- versitas Indonesia Linda Darmajanti Ibra- him memandang mereparasi barang rusak telah menjadi kultur. Mereparasi barang bekas tidak hanya dilakukan masyarakat kelas menengah ke bawah, tapi juga kelas atas. Namun, dia menekankan, ada pola yang berbeda dalam kebiasaan mereparasi berdasarkan latar belakang sosial ekonomi. Kebiasaan mereparasi barang di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta tidak da- pat disamakan dengan kota besar di negara maju. Jika kebiasaan masyarakat perkotaan di negara maju hanya dilatarbelakangi fak- tor sosial ekonomi, di kota-kota seperti Ja- karta hal itu terkait faktor sosial budaya. “Kultur tersebut sebenarnya dapat di- ubah dengan membangun sistem meskipun dari segi lingkungan, kebiasaan ini masih ‘baik’. Tapi, perlu pengelolaan terhadap barang-barang bekas agar tidak merusak lingkungan, termasuk barang-barang yang ‘berbahaya’ seperti batu baterai. Maka, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengelola itu,” ujarnya. Maraknya reparasi barang bekas disebab- kan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat perkotaan tergolong menengah ke bawah meski tak tertutup kemungkinan kelas atas pun menggunakannya. Untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, Linda mengatakan, kebiasaan mereparasi barang rusak disebabkan alasan ekonomis. Biaya yang dikeluarkan jauh le- bih murah daripada membeli baru. Akan tetapi, kelas atas pun punya kebia- saan mereparasi, meski polanya lain. Sepa- tu, misalnya, ka- langan kelas atas pun meng- guna- kan jasa reparasi. Untuk kelas menengah ke bawah, jasa yang dipilih ialah tukang reparasi keliling. “Bagi kelas menengah atas, jasa reparasi juga diperlukan, tapi tentunya tidak meng- gunakan jasa keliling, tetapi jasa kelas ber- beda, misalnya di mal,” urai Linda. Pola dalam kebiasaan mereparasi pun terkait dengan jenis barangnya. Bagi ma- syarakat kelas atas, barang yang direparasi ialah barang bermerek yang memang berkualitas. “Barang-barang seperti sepatu atau tas dan koper yang branded yang me- reka reparasi.” Sebaliknya, untuk barang-barang elek- tronik atau alat teknologi, kelas atas cen- derung membeli yang baru dengan alasan kemajuan teknologi berubah lebih cepat, dan uang bukanlah pertimbangan utama. Ada pula barang pribadi yang bernilai historis atau berkesan. Untuk jenis barang yang satu ini, pemilik enggan membuang- nya bukan hanya karena alasan ekonomis, melainkan juga secara psikologis, bisa karena favorit atau karena tidak mudah mendapatkannya lagi. Kualitas jasa reparasi bergantung pada kelasnya. Perbedaan kelas jasa reparasi yang ditandai dengan harga biasanya sesuai keterampilan dan tingkat teknologi yang digunakan. “Meskipun yang direparasi hanya sepatu, tetapi jika kualitasnya branded dan masih bisa diperbaiki, tentu saja jauh lebih baik mereparasi di tempat berkualitas walau dengan harga relatif mahal. Misalnya ong- kos reparasi Rp40 ribu untuk sepatu di atas harga Rp700 ribu,” tuturnya. Pada tempat yang lebih mahal, cara reparasinya pun berbeda, mulai segi bahan yang digunakan hingga mesin-mesin yang lebih canggih. “Sebaliknya, tukang reparasi sepatu keli- ling, selain lebih murah, bahan dan cara yang digunakan juga sederhana. Sepatu yang diperbaiki juga bukan barang mahal atau non-branded,” imbuh Linda. (Nat/J-1) FOTO-FOTO: MI/RAMDANI REPARASI TAS DAN SEPATU: Karyawan tengah melayani pelanggan reparasi tas dan sepatu di salah satu kios reparasi tas dan sepatu Laba-Laba di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Berbagai merek terkenal tak jarang diterima kios tersebut untuk direparasi dan pelanggannya mulai warga kelas bawah hingga menengah ke atas.

Transcript of Epaper_19 Bisnis Daur ULAng

23JUMAT, 13 APRIL 2012

FOKUS MEGAPOLITAN Pusat-Daerah yang tidak Seia Sekata

FOKUS POLKAMSenin (16/4/2012)

LABA-LABA, nama tempat reparasi tas, koper, sepatu, sandal, dan dompet di Jalan Samanhudi No 65 A, Krekot, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Tak ada pe-nunjuk arah menuju ke sana, tapi mu-dah menemukannya karena cukup banyak orang yang mengetahui.

Laba-Laba pernah menangani reparasi sepatu dan tas keluarga Cen-dana yang merupakan penguasa Orde Baru selama 32 tahun. Mulai dari sepatu hingga tas kerja milik keluarga mantan Presiden Soeharto menjadi sa-lah satu langganan Laba-Laba. Semua barang yang hendak direparasi diantar ajudan ke Laba-Laba.

“Zaman dulu Pak Harto dan anak-anaknya ke sini mereparasikan ba-rang-barang mereka. Apakah benerin hak sepatu, injakan sepatu, atau tas. Dulu, satu-satunya di sini, tempat reparasi,” tutur pemilik Laba-Laba Pasar Baru, Sugianto Yahya, 58, kepada Media Indonesia, kemarin.

Nama besar lain yang juga lang-ganan Laba-Laba ialah Emil Salim dan istrinya. Mantan Menteri Ling-kungan Hidup itu kerap mengantarkan sendiri barang-barang yang hendak direparasi.

Tak hanya pejabat dalam negeri yang memercayai Laba-Laba, para ekspatriat pun berdatangan. Duta besar hingga staf ahli Kedutaan Besar Amerika Serikat, negara-negara Eropa, India, Jepang, hingga diplomat China ikut menjadi pelanggan.

Para langganan membawa barang bermerek seperti sepatu Aigner, tas Braun Buffel, Louis Vitton, Longchamp, Guess, dan Burberry. “Barang-barang mereka asli,” ucap Sugi, panggilan Sugianto.

Laba-Laba tak pernah membatasi barang-barang yang hendak diper-baiki. Semua jenis barang terkenal di dunia maupun merek lokal bahkan

Langganan KeLuarga Cendana

tanpa merek pun diterima. “Semua bisa kami kerjakan,” tandasnya.

Harga reparasi tergantung separah apa kerusakannya. Pengerjaan di-lakukan setelah kedua pihak sepakat dengan biaya reparasi. Sejauh ini pe-langgan dapat menerima harga yang ditawarkan. Peraturannya pelanggan dapat membayar uang muka 75% di awal.

“Tergantung kualitas barang yang mau diperbaiki. Kalau barang asli dan bagus, pasti kami perbaiki dengan ba-han bagus juga. Biayanya bisa puluhan ribu sampai ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah. Kalau ada batu permata di sandal pestanya, ya kami carikan seperti itu,” terangnya.

Proses perbaikan tergantung pada kerusakan barang. Perbaikan hanya beberapa menit jika yang rusak hanya mengandalkan lem atau mengganti pijakan sepatu. Bisa seminggu kalau mengganti alas tas besar. Harus dijahit satu per satu.

Karyawan ahli yang bekerja di Laba-Laba sebanyak 10 orang. Semuanya dilatih selama tiga bulan dan bekerja Senin-Sabtu mulai pukul 08.30-16.30

WIB. Minggu dan hari libur nasional tutup.

Laba-Laba tak pernah sepi pelang-gan. Sama dengan pemilik Laba-Laba yang sudah beregenerasi, pelanggan pun telah turun-temurun. “Saya tahu Laba-Laba dari ibu saya. Saya sendiri mulai reparasi di sini dari tahun 2000, begitu juga adik dan saudara saya,” kata Resi, 27, warga Jalan Gunung Sahari Jakarta Pusat yang ditemui di Laba-Laba.

Resi datang untuk mengecilkan se-patu. “Size kaki saya 34, selalu harus dikecilkan. Hasilnya rapi dan nyaman di kaki,” jelasnya.

Yulisna, 36, ditemui sedang merepara-si sepasang sepatu hitam merek Aigner. Ia memperbesar size-nya. “Umur se-patu saya ini sudah 10 tahun dan ma-sih awet. Saya perbaiki di sini karena mereka tahu cara memperlakukan sepatu kulit asli,” ucap Yulisna, warga Sunter, Jakut.

Begitu juga Alex yang memperbaiki tas tangan merek Louis Vitton milik istrinya. Ia tak keberatan membayar Rp200 ribu untuk tas warna cokelat muda itu. Ia mengaku menolong is-

trinya yang tak bisa datang langsung ke Laba-Laba.

“Ini tas LV yang murah, beli di mal dekat SCBD. Tas ini harganya Rp14 juta waktu itu. Pokoknya pengin dilapisi kulit lagi pinggirannya sama dibersih-kan,” katanya.

Laba-Laba Pasar Baru telah melayani pelanggan sejak 1988. Sebelumnya Su gianto masih membantu toko Laba-Laba milik orangtuanya di Jalan Cikini Raya. Laba-Laba sendiri berdiri sejak

1893 dengan nama De Spin. Kata De Spin sendiri diambil dari bahasa Be-landa yang artinya laba-laba.

Pascakemerdekaan, nama De Spin diindonesiakan menjadi Laba-Laba. Perubahan itu mengikuti aturan peme-rintah yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia.

Laba-Laba merupakan filosofi toko tersebut. Laba-Laba dikenal tekun, sabar, kuat, dan memiliki banyak ja-ring. (Nesty Trioka Pamungkas/J-1)

JAKARTA belum semegapolitan Tokyo. Jika di ‘Negeri Sakura’ semua barang bekas masuk tong sampah, Jakarta memegang prinsip efisiensi. Sosiolog perkotaan Uni-versitas Indonesia Linda Darmajanti Ibra-him memandang mereparasi barang rusak telah menjadi kultur.

Mereparasi barang bekas tidak hanya dilakukan masyarakat kelas menengah ke bawah, tapi juga kelas atas. Namun, dia menekankan, ada pola yang berbeda dalam kebiasaan mereparasi berdasarkan latar belakang sosial ekonomi.

Kebiasaan mereparasi barang di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta tidak da-pat disamakan dengan kota besar di negara maju. Jika kebiasaan masyarakat perkotaan di negara maju hanya dilatarbelakangi fak-tor sosial ekonomi, di kota-kota seperti Ja-karta hal itu terkait faktor sosial budaya.

“Kultur tersebut sebenarnya dapat di-ubah dengan membangun sistem meskipun dari segi lingkungan, kebiasaan ini masih ‘baik’. Tapi, perlu pengelolaan terhadap barang-barang bekas agar tidak merusak lingkungan, termasuk barang-barang yang ‘berbahaya’ seperti batu baterai. Maka, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengelola itu,” ujarnya.

Maraknya reparasi barang bekas disebab-kan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat perkotaan tergolong menengah ke bawah meski tak tertutup kemungkinan kelas atas pun menggunakannya.

Untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, Linda mengatakan, kebiasaan mereparasi barang rusak disebabkan alasan ekonomis. Biaya yang dikeluarkan jauh le-bih murah daripada membeli baru.

Akan tetapi, kelas atas pun punya kebia-saan mereparasi, meski polanya lain. Sepa-tu, misalnya, ka-langan kelas atas pun m e n g -guna-

kan jasa reparasi. Untuk kelas menengah ke bawah, jasa yang dipilih ialah tukang reparasi keliling.

“Bagi kelas menengah atas, jasa reparasi juga diperlukan, tapi tentunya tidak meng-gunakan jasa keliling, tetapi jasa kelas ber-beda, misalnya di mal,” urai Linda.

Pola dalam kebiasaan mereparasi pun terkait dengan jenis barangnya. Bagi ma-syarakat kelas atas, barang yang direparasi ialah barang bermerek yang memang berkualitas. “Barang-barang seperti sepatu atau tas dan koper yang branded yang me-reka reparasi.”

Sebaliknya, untuk barang-barang elek-tronik atau alat teknologi, kelas atas cen-derung membeli yang baru dengan alasan kemajuan teknologi berubah lebih cepat, dan uang bukanlah pertimbangan utama.

Ada pula barang pribadi yang bernilai historis atau berkesan. Untuk jenis barang yang satu ini, pemilik enggan membuang-nya bukan hanya karena alasan ekonomis, melainkan juga secara psikologis, bisa karena favorit atau karena tidak mudah mendapatkannya lagi.

Kualitas jasa reparasi bergantung pada kelasnya. Perbedaan kelas jasa reparasi yang ditandai dengan harga biasanya sesuai keterampilan dan tingkat teknologi yang digunakan.

“Meskipun yang direparasi hanya sepatu, tetapi jika kualitasnya branded dan masih bisa diperbaiki, tentu saja jauh lebih baik mereparasi di tempat berkualitas walau dengan harga relatif mahal. Misalnya ong-kos reparasi Rp40 ribu untuk sepatu di atas harga Rp700 ribu,” tuturnya. Pada tempat yang lebih mahal, cara reparasinya pun berbeda, mulai segi bahan yang digunakan hingga mesin-mesin yang lebih canggih. “Sebaliknya, tukang reparasi sepatu keli-ling, selain lebih murah, bahan dan cara

yang digunakan juga sederhana. Sepatu yang diperbaiki juga bukan barang

mahal atau non-branded,” imbuh Linda. (Nat/J-1)

foto-foto: MI/RAMDANI

reparasi tas dan sepatu: Karyawan tengah melayani pelanggan reparasi tas dan sepatu di salah satu kios reparasi tas dan sepatu Laba-Laba di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Berbagai merek terkenal tak jarang diterima kios tersebut untuk direparasi dan pelanggannya mulai warga kelas bawah hingga menengah ke atas.