ENZIMOLOGI

19
TUGAS ENZIMOLOGI “PERBANDINGAN KECEPATAN AKTIVITAS ENZIM AMILASE PADA Ragi Tape (Saccharomyces cereviceae.), Pati Kecambah Kacang Hijau, dan Pati Kacang Kedelai TERHADAP STRUKTUR KANJI TERGELATINISASIDISUSUN OLEH : NAMA : RIA AGUSTINA NIM : 11017006 PRODI : BIOLOGI INDUSTRI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA 2013

Transcript of ENZIMOLOGI

TUGAS ENZIMOLOGI

“PERBANDINGAN KECEPATAN AKTIVITAS ENZIM AMILASE PADA Ragi Tape

(Saccharomyces cereviceae.), Pati Kecambah Kacang Hijau, dan Pati Kacang Kedelai

TERHADAP STRUKTUR KANJI TERGELATINISASI”

DISUSUN OLEH :

NAMA : RIA AGUSTINA

NIM : 11017006

PRODI : BIOLOGI INDUSTRI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2013

BAB I.

PENDAHULUAN

Saat ini, pemanfaatan enzim banyak diaplikasikan secara luas terutama dalam proses

pengolahan pangan komersial. Dewasa ini sebagian besar kebutuhan enzim masih dipenuhi

dengan jalan impor. Hal tersebut tidak menguntungkan dari segi devisa dan pengembangan

bioteknologi di Indonesia. Sumber enzim dapat diperoleh dari tanaman, hewan dan

mikroorganisme. Salah satu enzim pemecah pati adalah enzim α-amilase (α-1,4-glukan-

glukanodidrolase; EC.3.2.1.1.), enzim ini sangat berperan dalam industri pembuatan roti dan

sirup. Enzim α-amilase banyak terdapat pada kacang-kacangan, kecambah kacang-kacangan dan

beberapa jenis mikroogranisme.

Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase

berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa (Judoamidjojo

dkk, 1992). Kacang hijau dalam bentuk kecambah mengandung enzim α-amilase (Winarno,

1983). Pada biji kedelai seperti halnya dalam tubuh makhluk hidup lainnnya ditemukan pula

sejumlah enzim. Salah satu enzim tersebut adalah enzim amylase, suatu enzim yang

mengkatalisa pemecahan (hidrolisis) senyawa pati menjadi komponen-komponen yang lebih

kecil seperti glukosa, maltose dan limit dekstrin. Pati tersusun atas dua bentuk yaitu amilosa dan

amilopektin. Pemecahan pati ini dilakukan oleh dua macam enzim amylase yaitu α-amilase dan

β-amilase (Abidin, 1984).

Pada percobaan ini akan dilakukan pemecahan dengan emzim amylase yang bersal dari

Saccharomyces cereviceae, pati kedelai dan pati kecambah kacang hijau. Pemecahan tersebut

akan diamati pada struktur morfologi kanji yang tergelatinisasi. Diamati bagaimana

retrodegradasi gelatin dari kanji oleh enzim amylase, dimana akan terlihat bahwa kanji

tergelatinisasi yang tadinya struktur morfologinya sangat kenyal menjadi rusak struktur

kekenyalannya.

Pada pengamatan, akan dilihat perubahan struktur morfologi kanji tergelatinisasi yang

akan dibandingkan dengan lama waktu perubahan struktur tersebut (kanji tergelatinisasi menjadi

lembek.

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

Sumber enzim dapat diperoleh dari tanaman, hewan dan mikroorganisme. Salah satu

enzim pemecah pati adalah enzim α-amilase (α-1,4-glukan- glukanodidrolase; EC.3.2.1.1.),

enzim ini sangat berperan dalam industri pembuatan roti dan sirup. Enzim alfa-amilase banyak

terdapat pada kecambah kacang- kacangan (Setyono, 1982).

Ragi untuk tape merupakan campuran untuk populasi, dimana terdapat spesies-spesies

dari Aspergilus, Saccharomyce, Candida, Hansenula, sedang bakteri Acetobacter biasanya tidak

ketinggalan. Genus-genus tersebut hidup bersama secara sinergik; Aspergilus dapat

menyederhanakan amilum, sedang Saccharomyces, Candida, dan Hansenula menguraikan gula

menjadi alcohol dan bermacam-macam zat organik lainnya. Acetobacter menumpang untuk

mengubah alcohol menjadi asam cuka (Dwijoseputro, 2005).

Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase

berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa (Judoamidjojo

dkk, 1992).

Kacang hijau dalam bentuk kecambah mengandung enzim α-amilase. Pada umumnya

perkecambahan toge berlangsung selama lima hari, aktivitas enzim α-amilase dapat ditentukan

dengan mengukur hasil degradasi pati yang biasanya diukur dengan penurunan kadar pati yang

larut atau dari kadar maltosa yang dihasilkan. Enzim α-amilase dapat memecah pati secara acak

dari tengah atau dari bagian dalam molekul, oleh karena itu disebut endoamilase (Winarno,

1983).

Umur kecambah sangat berpengaruh pada panjang hipokotil toge. Toge hanya tahan

disimpan selama 12 jam pada suhu ruang, setelah itu mulai layu ditandai dengan perubahan

warna pada akar menjadi kecoklatan. Seperti halnya umur perkecambahan dari biji gandum

berpengaruh terhadap aktivitas enzim α-amilase, dimana aktivitasnya terus bertambah sampai

hari keempat perkecambahan. Selanjutnya mengalami penurunan pada hari kelima umur

kecambah (Marie, 1993).

Pada biji kedelai seperti halnya dalam tubuh makhluk hidup lainnnya ditemukan pula

sejumlah enzim. Salah satu enzim tersebut adalah enzim amilase, suatu enzim yang mengkatalisa

pemecahan (hidrolisis) senyawa pati menjadi komponen-komponen yang lebih kecil seperti

glukosa, maltose dan limit dekstrin. Pati tersusun atas dua bentuk yaitu amilosa dan amilopektin.

Pemecahan pati ini dilakukan oleh dua macam enzim amilase yaitu α-amilase dan β-amilase

(Abidin, 1984).

Kamil (1982) menyatakan enzim α-amilase tidak atau belum terdapat (non-pre-exist)

pada biji kering tetapi baru dibuat kemudian pada waktu permulaan perkecambahan biji (early

stage of germination) oleh asam giberelat (GA), sedangkan enzim β-amilase sudah ada sejak

semula (pre-exist) didalam skutelum dan lapisan aleuron pada biji yang masih kering.

Kedua enzim ini menurut Kamil (1982) berbeda yaitu bahwa enzim α-amilase akan

merombak amilose dan amilopektin menjadi maltose dan glukosa, disamping itu juga akan

merombak dekstrin menjadi maltose dan glukosa, dengan adanya maltase kemudian maltose

akan dirubah menjadi glukosa, sedangkan enzim β-amilase pada waktu mulai perkecambahan

akan masuk kedalam endosperm untuk merombak amilosa menjadi glukosa yang bersifat terlarut

(water soluble) dan bisa diangkut (translocated). Enzim β-amilase akan merombak amilopektin

menjadi dekstrin yang bersifat tidak bisa diangkut (non translocated). Pasokan gula

monosakarida ke embrio menyebabkan ukuran koleoriza dan radikula bertambah besar dan

mampu menembus selaput putih.

PATI DAN TAPIOKA

Amilum adalah polimer karbohidrat dengan rumus (C6H12O6)n. Karbohidrat golongan

polisakarida ini banyak terdapat di alam. Terutama pada sebagian besar tumbuhan. Amilum

disebut juga pati yang terdapat pada umbi, daun, batang, dan biji. Amilum merupakan kelompok

terbesar karbohidrat cadangan yang dimiliki oleh tumbuhan sesudah selulosa. Butir-butir pati

apabila diamati dengan mikroskop ternyata berbeda-beda bentuk dan ukurannya, tergantung dari

tumbuhan apa pati tersebut diperoleh (Poedjadi, 2008).

Pati mengandung dua jenis polimer glukosa, α-amilase dan amilopektin. α-amilase terdiri

dari rantai-rantai unit D-glukosa yang panjang, dan tidak bercabang, digabungkan oleh ikatan

α1,4. Rantai ini juga beragam dalam berat molekulnya, dan beberapa ribu hingga mencapai

500.000. Amilopektin juga memiliki berat molekul yang tinggi dan strukturnya barcabang tinggi.

Ikatan glikosidik menggabungkan residu glukosa yang berdekatan di dalam rantai amilopektin

adalah ikatan α1,4, tetapi titik percabangan amilopektin merupakan ikatan α1,6. Glikogen

merupakan sumber utama polisakarida pada sel hewan. Seperti amilopektin, glikogen merupakan

polisakarida bercabang dari D-glukosa dalam ikatan α1,4 (Lehninger, 1982)

Gambar 3. Struktur Amilosa, Amilopektin dan Polisakarida dari Pati. (a) Amilosa, (b)

Amilopektin, dan (c) Polisakarida dari Pati (Lehninger, 1982)

Tepung tapioka (di pasaran sering dikenal dengan nama tepung kanji) adalah tepung yang

terbuat dari ubi kayu/singkong. Pembuatan dilakukan dengan cara diparut, diperas, dicuci,

diendapkan, diambil sari patinya, lalu dijemur/keringkan. Sifat tepung kanji, apabila dicampur

dengan air panas akan menjadi liat/seperti lem. Tepung tapioka disebut juga tepung kanji atau

tepung sagu (sagu singkong). Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap

jenis kue karena sifat yang dimiliki tepung tersebut.

Adapun sifat fisikimia pati tapioka adalah sebagai berikut :

Rasio amilosa dan amilopektin adalah 17% amilosan dan 83% amilopektin.

Bentuk granula semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut.

Ukuran 5-35µm.

Suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64oC.

Kristalisasi 38%.

Kekuatan pembengkakan sebesar 42µm.

Kelarutan 31% (Aulia, 2011).

GELATINISASI PATI

Pomeranz (1991) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan

granula pati ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi

granula pati dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan

pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan

antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible

(dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan

granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan granula pati yang

bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu terjadinya peristiwa ini

disebut dengan suhu gelatinisasi.

Menurut Winarno (2002) dan Pomeranz (1991), suhu gelatinisasi tepung tapioka berada

pada kisaran 52-64°C. Menurut Swinkels (1985), suhu gelatinisasi tepung tapioka berkisar antara

65-70°C. Moorthy (2004) menyatakan bahwa gelatinisasi merupakan fenomena kompleks yang

bergantung dari ukuran granula, persentase amilosa, bobot molekul, dan derajat kristalisasi dari

molekul pati di dalaM granula. Pada umumnya granula yang kecil membentuk gel lebih lambat

sehingga mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi daripada granula yang besar. Makin

besar bobot molekul dan derajat kristalisasi dari granula pati, pembentukkan gel semakin lambat.

Menurut Pomeranz (1991), tidak semua granula pati tergelatinisasi pada titik yang sama, tetapi

terjadi pada suatu kisaran suhu tertentu. Menurut Olkku dan Rha (1978) dalam Pomeranz (1991),

proses gelatinisasi melibatkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut: (1) hidrasi dan swelling

(pengembangan) granula; (2) hilangnya sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4)

peningkatan konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan molekul-molekul

linier dan penyebarannya dari granula yang telah pecah.

Granula pati utuh tidak larut dalam air dingin. Granula pati dapat menyerap air dan

membengkak, tetapi tidak dapat kembali seperti semula (retrogradasi). Air yang terserap dalam

molekul menyebabkan granula mengembang. Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan

hidrogen intramolekuler. Ikatan hydrogen berperan mempertahankan struktur integritas granula.

Terdapat- nya gugus hidroksil bebas akan menyerap air, sehingga terjadi pem- bengkakan

granula pati. Dengan demikian, semakin banyak jumlah gugus hidroksil dari molekul pati

semakin tinggi kemampuannya menyerap air.Oleh karena itu, absorbsi air sangat berpengaruh

terhadap viskositas (Aulia, 2011).

Pati dengan amilosa tinggi menyebabkan suhu gelatinisasi lebih tinggi. Suhu gelatinisasi

pati bahan baku juga berpengaruh terhadap efisiensi produksi. Semakin rendah suhu gelatinisasi

semakin singkat waktu gelatinisasi, yaitu 20 menit untuk tapioka dan 22 menit untuk pati jagung.

Suhu puncak granula pecah pati jagung adalah 95oC dan tapioka 80

oC, dengan waktu yang

dibutuhkan berturut-turut 30 dan 21 menit. Sifat ini berkaitan dengan energi dan biaya yang

dibutuhkan dalam proses produksi. Pati akan terhidrolisis bila telah melewati suhu gelatinisasi.

Kadar amilopektin yang tinggi (99%) akan meningkatkan suhu awal (70,8oC), maupun suhu

puncak gelatinisasi, yang diikuti oleh peningkatan energy (Scribd, 2012).

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda – beda.

Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan

membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Air

yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30 %.Granula pati dapat dibuat membengkak

luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut

disebut gelatinasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinasi yang dapat

dilakukan dengan penambahan air panas. Air dapat ditambahkan dari luar seperti halnya

pembuatan kanji dan puding, atau air yang ada dalam bahan makanan tersebut (Winarno, 1992).

Suhu dari gelatinasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut

makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang

turun. Semakin tinggi konsentrasi pati maka gel yang terbentuk semakin kurang kental dan

setelah beberapa waktu viskositas akan turun. Suhu gelatinasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati,

misalnya pada jagung 62-70oC, beras 68-78

oC, gandum 54,5-64

oC, dan tapioka 52-64

oC.

Garanula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga dibawah mikroskop

terlihat kristal hitam putih. Sifat ini disebut sebagai birefrigent. Pada waktu granula mulai pecah,

sifat birefringent ini akan menghilang (Winarno, 1992).

Selama gelatinasi granula-granula pati sangatlah mengembang. Jadi 1 % granula pati

dalam air dingin mempunyai viskositas yang rendah, namun bila dipanaskan sebuah pasta kental

diproduksi dimana semua air yang ada memasuki granula-granula. Hal tersebut menyebabkan

pati mengembang dan mendorong dengan kuat satu sama lain dalam kondisi yang menyerupai

sarang madu. Granula-granula yang sangat mengembang dapat dengan mudah dipecah dan

terintegrasi dengan pengadukan yang tidak terlalu cepat dan berakibat turunnya viskositas

pastanya. Gelatinasi pati, viskositas larutan-larutan pati dan karakteristik gel-gel pati tergantung

tidak hanya pada suhu, namun juga pada jenis dan jumlah zat penyusun lainnya yang ada. Pada

intinya bahan penyusun makanan yang mengikat air secara kuat menghambat gelatinasi pati

dengan mengikat air berebut dengan pati (Herschdoefer, 1986).

Beberapa contoh pati, yaitu jagung, tapioka, gandum, kentang, sagu, dan beras. Pada

suhu tinggi, molekul-molekul pati akan bergerak lebih cepat dan tidak terkontrol, sehingga

berakibat pada terbukanya ikatan intermolekular dan ikatan hidrogennya akan menyerap lebih

banyak air. Munculnya uap pertama kali pada pemanasan lanjut, disebut dengan poin gelatinasi

atau suhu gelatinasi. Poin gelatinasi, biasanya muncul pada kisaran temperatur yang saling

berdekatan, diawali dengan granula-granula berukuran besar membentuk gelatin terlebih dulu,

kemudian disusul dengan granula-granula lebih kecil. Selama proses gelatinasi, granula-granula

tersebut akan membengkak tidak terkira. Melalui pengadukan, granula-granula yang

membengkak tersebut dapat dengan mudah dipecahkan dan mengalami integrasi. Hal ini akan

berakibat pada viskositas tepung yang menurun drastis. Pada tahap awal gelatinasi, terjadi

tekanan antar granula, terutama saat air memasuki molekul-molekul pati. Tekanan ini

menyebabkan molekul pati sekitar granula ditarik secara tangensial di sepanjang permukaan

molekul (Fennema, 1985).

Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi tersebut, disebut

retrogradasi. Pati yang didiamkan beberapa saat, akan membentuk endapan di dasar wadahnya.

Jika pati yang dipanaskan sudah dingin, air mengadakan ikatan yang erat dengan molekul–

molekul pati, pada permukaan butir–butir pati yang membengkak. Gel yang kehilangan cairan

(keluarnya atau merembesnya cairan dari suatu gel dari pati), akan mengalami perubahan

struktur dan mengkerut, yang dinamakan sineresis. Proses ini dapat terjadi jika gel dibiarkan

dalam waktu yang lama (Winarno, 1992).

Butiran pati sama sekali tidak larut dalam air dingin, namun pada saat pemanasan butiran

– butiran tiba – tiba menggembung pada suhu yang disebut suhu penggelatinan. Umumnya, pati

dalam butir besar menggembung pada suhu lebih rendah daripada pati berbutir kecil; pati

kentang menggembung pada 59 – 67oC dan pati jagung pada 64 – 72

oC. Suhu penggembungan

ini dipengaruhi berbagai faktor, termasuk pH, pra perlakuan, laju pemanasan, dan adanya garam

dan gula. Pemanasan lebih lanjut diatas suhu penggelatinan mengakibatkan penggembungan

butiran lebih lanjut, dan campuran menjadi kental dan bening. Jika pasta diaduk, struktur butiran

rusak dan kekentalan sangat menurun. Jika pasta pati yang digodog didinginkan, pasta dapat

membentuk gel atau jika pendinginan dilakukan secara perlahan – lahan, komponen rantai lurus

dapat membentuk endapan sferokristal. Gejala ini disebut retrogradasi, sangat bergantung pada

ukuran molekul rantai lurus. Retrogradasi pasta pati sangat dipercepat dengan pembekuan.

Setelah pembekuan pasta pati yang dibekukan, terbentuk massa yang menyerupai spons yang

mudah dilepaskan sebagian besar airnya dengan sedikit tekanan. Penggembungan dihambat oleh

asam lemak karena pembentukan senyawa kompleks yang tidak larut dengan fraksi rantai linier.

Molekul pati jagung yang lebih kecil, mempunyai sekitar 400 satuan glukosa, menunjukkan

kecenderungan yang lebih besar untuk asosiasi. Hidrolisis rantai sampai sekitar 20 – 30 satuan

menghilangkan sama sekali kecenderungan asosiasi dan pengendapan (DeMan, 1997).

Apabila suspensi pati dalam air dipanaskan, air akan menembus lapisan luar granula dan

granula ini mulai menggelembung. Hal ini terjadi pada saat temperatur meningkat dari 60oC -

85oC, granula-granula dapat menggelembung hingga volumenya 5 kali lipat volume semula.

Ketika ukuran granula pati membesar campurannya menjadi kental. Pada suhu kira-kira 85oC,

granula pati pecah dan isinya terdispersi merata ke seluruh air disekelilingnya. Molekul berantai

panjang mulai membuka atau terurai dan campuran pati dan air menjadi makin kental

membentuk sol. Pada pendinginan, apabila perbandingan pati dan air cukup besar maka molekul

pati akan membentuk jaringan dengan molekul air terkurung didalamnya sehingga terbentuk gel.

Keseluruhan proses ini disebut gelatinasi. Gelatinasi pati sangat penting dalam proses

pengolahan seperti pada pengentalan saos, sup dan kuah daging (gravies) dengan penambahan

tepung dan tepung jagung. (Gaman & Sherrington, 1994).

Pati tidak larut dalam air dan jika dilarutkan dalam air dingin, pati dapat menyerap sedikit

air. Sampai suhu 60-70oC, pembengkakan masih dapat kembali ke bentuk semula, kemampuan

kembali ke bentuk semula tergantung pada jenis pati. Dengan temperatur yang lebih tinggi,

terjadi pembengkakan yang tidak dapat kembali ke bentuk semula yang disebut gelatinasi. Pati

mulai tergelatinasi pada suhu antara 60 – 70oC, suhu yang tepat tergantung pada jenis pati

tersebut. Sebagai contoh, pati yang berbeda mempunyai kerapatan yang berbeda pula, yang

menyebabkan perbedaan kemampuan granula menyerap air. Karena kehilangan

kemampuan birefringence terjadi pada saat gelatinasi terjadi secara cepat (pembengkakan

granula), kehilangan kemampuan birefringence adalah indikator yang baik untuk menentukkan

suhu gelatinasi. Granula yang besar yang biasanya tidak padat, mulai membengkak pertama.

Ketika, gelatinasi pada pati terjadi secara optimum, agitasi yang tidak diinginkan dapat memecah

pati yang telah membengkak dan menyebabkan pengurangan pasta (Sutanto, 2001).

Bila suspensi pati dalam air dipanaskan, beberapa perubahan selama terjadinya

gelatinisasi dapat diamati. Mula – mula suspensi pati yang keruh seperti susu tiba – tiba mulai

menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi

larutan pati tersebut biasanya diikuti pembengkakan granula. Bila energi kinetik molekul –

molekul air menjadi lebih kuat daripada daya tarik menarik antarmolekul pati di dalam granula,

air dapat masuk ke dalam butir – butir pati. Hal inilah yang menyebabkan bengkaknya granula

tersebut. Karena jumlah gugus hidroksil dalam molekul pati sangat besar, maka kemampuan

menyerap air sangat besar. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya

berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada dalam

butir – butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Pati yang telah mengalami

gelatinasi dapat dikeringkan, tetapi molekul – molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat

– sifatnya sebelum gelatinasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air

kembali dalam jumlah yang besar (Winarno, 1992).

ENZIM AMILASE

Enzim adalah katalisator sejati. Molekul ini meningkatkan kecepatan reaksi kimia

spesifik, yang tanpa enzim akan berlangsung amat lambat. Enzim tidak dapat mengubah titik

kesetimbangan reaksi yang dikatalisisnya dan enzim juga tidak akan habis dipakai atau diubah

secara permanen. (Lehninger, 1982).

Amilase adalah kelompok enzim yang memiliki kemampuan memutuskan ikatan

glikosida yang terdapat pada senyawa polimer karbohidrat. Hasil molekul amilum ini akan

menjadi monomer-monomer yang lebih sederhana, seperti maltosa, dekstrin dan terutama

molekul glukosa sebagai unit terkecil. Amilase dihasilkan oleh berbagai jenis organisme hidup,

mulai dari tumbuhan, hewan, manusia bahkan pada mikroorganisme seperti bakteri dan fungi.

Kelompok enzim ini memiliki banyak variasi dalam aktivitasnya, sangat spesifik, tergantung

pada sumber organismenya dan tempatnya bekerja (Dessy, 2008).

Pemanfaatan enzim dalam bidang industri harus memperhatikan factor penting yang

sangat mempengaruhi efisiensi dan efektivitas kerja enzim yang digunakan. Faktor yang

mempengaruhi reaksi enzim antara lain konsentrasi enzim, suhu, pH, dan spesifitas enzim

(Hartati et al., 2002: 68-77).

Amilase dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan enzim (Winarno, 1986):

1. α-amilase (1,4-α-D-glukan-glukanohidrolase)

Alfa-amilase merupakan enzim ekstraseluler yang menghidrolisis ikatan 1,4-α-D-

glukanohidrolase. Alfa-amilase dibentuk oleh berbagai bakteri dan fungi. Aktifitas α-amilase

ditentukan dengan mengukur hasil degradasi pati, biasanya dari penurunan kadar pati yang larut

atau kadar dekstrinnya dengan menggunakan substrat jenuh. Hilangnya substrat dapat diukur

dengan pengurangan derajat pewarnaan iodium (Winarno, 1986).

Pati yang mengandung amilosa bereaksi dengan iodium menghasilkan warna biru,

sedangkan dekstrin bila bereaksi dengan iodium berwarna coklat. Keaktifan α-amilase juga

dinyatakan dengan pengukuran viskositas dan jumlah produksi yang terbentuk. Laju hidrolisis

akan meningkat bila tingkat polimerisasi menurun dan laju hidrolisis akan lebih cepat pada rantai

lurus (Winarno, 1986).

2. β-amilase (1,4-α-D-glukan maltohidrolase)

Beta-amilase merupakan exoenzim yang memotong amilum menjadi gugus-gugus

maltose. Enzim ini ditemukan pada tanaman tingkat tinggi dan mikroorganisme (Siti, 1995: 7).

Enzim β-amilase memecah ikatan glukosida α-1,4 pada pati dan glikogen yang terjadi secara

bertahap dari arah luar atau ujung rantai gula yang bukan pereduksi, karena pemotongannya dari

arah luar maka enzim ini disebut eksoamilase (Winarno, 1986).

3. γ-amilase (Glukoamilase)

Glukoamilase merupakan enzim yang memotong rantai pati secara acak menjadi

molekul-molekul glukosa. Hasil reaksinya hanya glukosa, sehingga dapat dibedakan dengan α

dan β amilase. Dengan pengaruh enzim glukoamilase posisi glukosa α dapat diubah menjadi β,

pH optimal 4-5 dan suhu optimal 50-60 0C (Winarno, 1986).

Amilase dapat dibedakan menjadi 3 golongan enzim :

• α- Amilase yaitu enzim yang memecah pati secara acak dari tengah atau bagian dalam molekul.

• β- Amilase yaitu enzim yang memecah unit-unit gula dari molekul pati.

• Glukoamilase yaitu Enzim yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gulanon pereduksi

substrat.

Enzim α-amilase adalah salah satu enzim pemecah pati, Enzim α-amilase menghidrolisis

ikatan alpha 1,4 glikosida baik pada amilosa maupun amilopektin secara acak. Karena pengaruh

aktifitasnya, pati terputus-putus menjadi dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa. Jika

waktu reaksi diperpanjang, dekstrin tersebut dapat dipotong-potong lagi menjadi campuran

antara glukosa, maltosa, dan ikatan lain yang lebih panjang. Hidrolisis amilosa oleh α-amilase

terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama adalah degradasi amilosa menjadi maltosa dan

maltotriosa yang terjadi secara acak, sangat cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas.

Tahap kedua merupakan proses degradasi yang relatif lebih lambat yaitu pembentukan glukosa

dan maltosa sebagai hasil akhir, dimulai dari ujung pereduksi secara teratur (Winarno ,1983).

Penggunaan α-amilase dalam proses hidrolisa pati sering juga disebut likuifikasi, karena

adanya penurunan viskositas dengan cepat, dan kecepatannya dapat bervariasi untuk berbagai

substrat. Dalam hidrolisa pati, α-amilase menghasilkan dekstrin yang merupakan substrat untuk

tahap selanjutnya, yaitu bagi enzim glukoamilase sehingga dengan mudah enzim ini

mengkatalisis hidrolisa untuk menghasilkan glukosa (Winarno ,1983).

BAB III.

METODE PERCOBAAN

Skema metode percobaan enzim amilase :

Campurkan Campurkan Campurkan

Dibagi 4

Kecambah Kacang

Hijau (1/4 kg)

Kacang Kedelai

(1/4 kg) dibagi 2

Ragi Tape 1 butir

Ambil Pati Ambil Pati Dihaluskan

¼ kg Kanji Di Gelatinisasi Gelatin

n

2 Gelatin Gelatin

n

Dicatat waktu

perubahan struktur,

tekstur, dan bau

gelatin

Keterangan waktu Pengamatan:

2 jam, 4 jam, 6 jam, 8 jam, 10 jam,

12 jam, 14 jam, 16 jam, 18 jam, 20

jam, 22 jam, 24 jam

BAB IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel. Pengamatan Morfologi Gelatin (Kanji)

Waktu Kedelai 1 Kedelai 2 Kecambah K.Hijau Ragi Tape

2 Jam

Sangat kenyal

Bau Aroma

kedelai

Sangat kenyal

Bau Aroma

kedelai

Sangat kenyal

Bau Aroma K.Hijau

yang khas

Sangat kenyal

4 Jam

Kenyal

Bau Aroma

kedelai

Kenyal

Bau Aroma

kedelai

Bau Aroma K.Hijau

yang khas

Kenyal

Sangat kenyal

6 Jam

Lembek

Bau Aroma

kedelai

Lembek

Bau Aroma

kedelai

Mulai Lembek

Bau Aroma K.Hijau

yang sangat khas

Sangat kenyal

8 Jam

-

-

Lembek

Bau Aroma K.Hijau

yang sangat khas

Sangat kenyal,

Bau Aroma tape

10 Jam

-

-

-

Sangat kenyal

Bau Aroma tape

22 Jam

-

-

-

Lembek

Bau Aroma tape

lebih tajam

Gelatin + Pati Kedelai 1 Gelatin + Pati Kedelai 1 Gelatin + Ragi Tape

Rasio amilosa dan amilopektin adalah 17% amilosan dan 83% amilopektin (Aulia, 2011).

Pada percobaan ini, terlebih dahulu dilakukan proses gelatinisasi pada tepung tapioca/kanji.

Menurut Pomeranz (1991), bahwa gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula pati

ketika dipanaskan dalam media air. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi granula pati

dapat mengembang dalam air panas. Naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan

pembengkakan granula pati. Pembengkakan granula pati menyebabkan terjadinya penekanan

antara granula pati dengan lainnya. Mula-mula pembengkakan granula pati bersifat reversible

(dapat kembali ke bentuk awal), tetapi ketika suhu tertentu sudah terlewati, pembengkakan

Gelatin + Pati Kecambah K.Hijau Morfologi (Kedelai 1) Morfologi (Kedelai 2)

Morfologi

(Kecambah K.Hijau) Morfologi Gelatin Yang diberi Ragi Tape

granula pati menjadi irreversible (tidak dapat kembali). Kondisi pembengkakan granula pati

yang bersifat irreversible ini disebut dengan gelatinisasi.

Kanji yang tergelatinisasi tersebut akan diberi 3 perlakuan, yaitu diberi ragi roti, diberi

pati kedelai dan diberi pati kecambah kacang hijau. Sehingga dapat diamati perubahan struktur

morfologi kanji yang tergelatinisasi tersebut.

Hasil yang diperoleh bahwa kanji yang tergelatinisasi yang diberikan pati kacang kedelai

lebih cepat melembeknya dari pada yang diberikan pati kecambah kacang hijau. Pada pati

kacang kedelai, lembeknya kanji yang tergelatinisasi pada jam ke-enam dan pada pati kecambah

kacang hijau, lembeknya kanji yang tergelatinisasi pada jam ke-delapan.

Menurut Kamil (1982), bahwa enzim β-amilase sudah ada sejak semula (pre-exist)

didalam skutelum dan lapisan aleuron pada biji yang masih kering. Enzim β-amilase pada waktu

mulai perkecambahan akan masuk kedalam endosperm untuk merombak amilosa menjadi

glukosa yang bersifat terlarut (water soluble) dan bisa diangkut (translocated). Enzim β-

amilase akan merombak amilopektin menjadi dekstrin yang bersifat tidak bisa diangkut (non

translocated).

Pada biji kacang kedelai, enzim yang berperan adalah enzim β-amilase yang merombak

amilosa menjadi glukosa yang bersifat terlarut (water soluble). Sedangkan pada kacang hijau

dalam bentuk kecambah mengandung enzim α-amilase. Enzim α-amilase dapat memecah pati

secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul, oleh karena itu disebut endoamilase

(Winarno, 1983). Belum didapatkan teori yang menyatakan apakah kecepatan enzim β-amilase

untuk merombak pati lebih tinggi daripada enzim α-amilase. Namun, percobaan ini

menunjukkan bahwa pada pati kacang kedelai, perombakan struktur amilum kanji tergelatinisasi

lebih cepat daripada pati kecambah kacang hijau. Kedua-dua enzim amilase tersebut, sama-

sama berfungsi untuk merombak pati. Beberapa pustaka mengatakan bahwa, isolasi enzim

amilase banyak dilakukan pada kecambah, yaitu tepatnya mengisolasi enzim α-amilase. Hal ini

dapat didukung oleh pendapat Winarno (1986), yang mengatakan bahwa β- Amilase yaitu

enzim yang memecah unit-unit gula dari molekul pati. Sehingga pada kacang kedelai yang

mengandung enzim β- amilase lebih cepat medegradasi kanji tergelatinisasi.

Pada ragi tape mengandung Saccaharomyces cereviceae. Menurut Judoamidjojo dkk,

(1992), bahwa Saccharomyces cerevisiae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim

zimase berfungsi sebagai pemecah sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa). Hasil

percobaan menunjukkan bahwa perubahan struktur kanji tergelatinisasi menjadi lembek pada

jam ke-22. Hal ini tentunya berbeda dari enzim yang dihasilkan oleh pati kacang kedelai dan

pati kecambah kacang hijau. Saccaharomyces cereviceae terlebih dahulu melakukan

katabolisme tingkat substrat, kemudian katabolisme tingkat sel sehingga pada jam ke-22, baru

dapat merombak struktur kanji tergelatinisasi.