Emulsifikasi
-
Upload
kartika-dwi-rahma-suparmanto -
Category
Documents
-
view
657 -
download
5
Transcript of Emulsifikasi
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sistem emulsi banyak dijumpai banyak penggunaannya dalam farmasi.
Dibedakan antara emulsi cairan, yang ditentukan untuk kebutuhan dalam
(emulsi minyak ikan, emulsi paraffin) dan emulsi untuk penggunaan luar yaitu
emulsi kental (dalam peraturannya dari jenis M/A ), juga sediaan obat seperti
salep dank krim dapat menggambarkan suatu emulsi.
Ahli fisika kimia menentukan emulsi sebagai suatu campuran yang tidak
stabil secara termodinamis, dari dua cairan yang pada dasarnya tidak saling
campur.
Pada percobaan ini kita akan mempelajari cara pembuatan emulsi dengan
menggunakan emulgator dari golongan surfaktan yaitu tween 80 dan span 60.
Dalam pembuatan emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor yang penting
untuk diperlihatkan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak
dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan.
Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air.
Berdasarkan fasa terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu:
a. Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fasa minyak terdispersi di dalam fasa
air.
b. Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fasa air terdispersi di dalam fasa
minyak.
1
Emulsi sangat bermanfaat dalam bidang farmasi karena memiliki beberapa
keuntungan, satu diantaranya yaitu dapat menutupi rasa dan bau yang tidak
enak dari minyak. Selain itu, dapat digunakan sebagai obat luar misalnya untuk
kulit atau bahan kosmetik maupun untuk penggunaan oral.
I.2 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami hal-hal yang mempengaruhi dalam pembuatan
dan kestabilan emulsi.
I.3 Tujuan Percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan dalam
pembuatan emulsi.
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan.
3. Mengevaluasi ketidakstabilan suatu emulsi.
4. Menentukan HLB butuh fase minyak yang digunakan dalam pembuatan
emulsi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan lain dalam bentuk tetesan kecil (4).
Dalam batasan emulsi, fase terdispers dianggap sebagai fase dalam dan
medium dispersi dianggap fase luar atau fase kontinu. Emulsi yang mempunyai
fase dalam minyak dan fase luar air disebut emulsi minyak dalam air dan
biasanya diberi tanda sebagai emulsi “m/a”. Sebaliknya emulsi mempunyai
fase dalam air dan fase luar minyak disebut emulsi air dalam minyak dan
dikenal sebagai emulsi “a/m”. Karena fase luar dari suatu emulsi bersifat
kontinu, suatu emulsi minyak dalam air bias diencerkan atau ditambah dengan
air atau suatu preparat dalam air pengemulsi (emulsiflying egen)t (2).
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang
disebut emulgator (emulsifying agent) atau surfaktan yang dapat mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetesan kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya
menjadi satu fase tunggal yang memisah. Surfaktan menstabilkan emulsi
dengan cara menempati antar permukaan tetesan dan fase eksternal, dan
dengan membuat batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi.
Surfaktan juga mengurangi tegangan permukaan antar fase sehingga
meningkatkan proses emulsifikasi selama pencampuran (6).
3
Komponen emulsi dapat dogolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Komponen dasar, yaitu bahan pembentuk emulsi yang harus terdapat di
dalam emulsi, terdiri atas:
a. Fase dispers/ fase internal/ fase diskontinu/ fase terdispersi/ fase
dalam, yaitu zat cair yang terbagi-bagi menjadi butiran kecil di dalam
zat cair.
b. Fase eksternal/ fase kontinu/ fase pendispersi/ fase luar, yaitu zat cair
dalam emulsi yang berfungsi sebagai bahan dasar (bahan pendukung)
emulsi tersebut.
c. Emulgator adalah bagian dari emulsi yang berfungsi untuk
menstabilkan emulsi.
2. Komponen tambahan dalah bahan tambahan yang sering ditambahkan ke
dalam emulsi untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Misalnya corrigen
saporis, odoris, coloris, pengawet (preservative), dan anti oksidan.
Pengawet yang sering digunakan dalam sediaan emulsi adalah metil-, etil-,
propil-, dan dua butil-paraben, asam benzoate, dan senyawa ammonium
kuarterner. Anti oksidan yang sering digunakan antara lain asam askorbat
(vitamin C), α-tokoferol, asam sitrat, propel galat, dan asam galat (6).
Berdasarkan macam zat cai yang berfungsi sebagai fase internal ataupun
eksternal, emulsi digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Emulsi tipe O/W (Oil in Water) atau M/A (minyak dalam air), adalah
emulsi yang terdiri atas butiran minyak yang tersebar atau terdispersi ke
dalam air. minyak sebagai fase internal dan air sebagai fase eksternal.
4
2. Emulsi tipe W/O (Water in Oil) atau M/A (air dalam minyak), adalah
emulsi yang terdiri atas butiran air yang tersebar atau terdispersi ke dalam
minyak. Air sebagai fase internal dan minyak sebagai fase eksternal (6).
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan faktor
yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi
banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang
aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan. Mekanisme kerjanya
adalah menurunkan tegangan antarmuka permukaan air dan minyak serta
membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fasa terdispersinya (2).
Secara farmasetik, proses emulsifikasi memungkinkan ahli farmasi dapat
membuat suatu preparat yang stabil dan rata dari campuran dua cairan yang
saling tidak bias bercampur. Dalam hal ini obat diberikan dalam bentuk bolo-
bola kecil bukan dalam bulk. Untuk emulsi yang diberikan secara oral, tipe
emulsi minyak dalam air memungkinkan pemberian obat tyang harus dimakan
tersebut mempunyai rasa yang lebih enak walaupun yang diberikan sebenarnya
minyak yang tidak enak rasanya, dengan menambahkan pemanis dan pemberi
rasa pada pembawa airnya, sehingga muda dimakan dan ditelan sampai ke
lambung. Ukuran partikel yang diperkecil dari bola-bola minyak dapat
mempertahankan minyak tersebut agar lebih dapat dicernakan dan lebihmudah
diabsorbsi, atau jika bukan dimaksudkan untuk itu, tugasnya juga akan lebih
efektif, misalnya meningkatkan efikasi minyak mineral sebagai katartik bila
diberikan dalam bentuk emulsi.
5
Emulsi yang dipakai pada kulit sebagai obat luar bias dibuat sebagai
emulsi m/a atau a/m, tergantung pada berbagai factor seperti sifat zat terapeutik
yang akan dimasukkan ke dalam emulsi, keinginan untuk mendapatkn efek
emolien atau pembalut jaringan dari preparat tersebut, dan keadaan permukaan
kulit. Zat obat yang mengiritasi kulit umumnya kurang mengiritasi jika ada
dalam fase luar yang mangalami kontak langsung dengan kulit. Pada kulit yang
tidak luka, suatu emulsi air dalam minyak biasanya dapat dipakai lebih rata
karena kulit diselaputi oleh suatu lapisan tipis dari sabun dan permukaan ini
lebih mudah dibasahi oleh minyak daripada air. Suatu emulsi air dalam minyak
juga lebih lembut ke kulit, karena ia mencegah mengeringnya kulit dan tidak
mudah hilang bila kena air. Sebaliknya jika diinginkan preparat yang mudah
dihilangkan dari kulit dengan air, harus dipilih suatu emulsi minyak dalam air.
Seperti untuk absorbs, absorbsi melalui kulit (absorbs perkutan) bias ditambah
dengan mengurangi ukuran partikel dari fase dalam (2).
Untuk mengetahui proses terbentuknya emulsi dikenal empatmacam teori
yang melihat proses terjadinya emulsi dari sudut pandang yag berbeda-beda.
Teori Teganagan Permukaan (Surface Tension)
Molekul memiliki daya tarik menarik antara molekul yang sejenis yang
disebut daya kohesi. Selain itu, molekul juga memiliki daya tarik menarik
antarmolekul yang tidak sejenis yang disebut daya adhesi.
Daya kohesi suatu zat selalu sama sehingga pada permukaan suatu zat cair
akan terjadi perbedaan tegangan karena tidak adanya keseimbangan daya
6
kohesi. Tegangan yang terjadi pada permukaan tersebut dinamakan “tegangan
permukaan” (surface tension).
Dengan cara yang sama dapat dijelaskan tejadinya perbedaan tegangan
bidang batas dua cairan yang tidak dapat bercampur (immicible liquid).
Tegangan yang terjadi antara dua cairan tersebut dinamakan “tegangan bidang
batas” (interfacial tension).
Semakin tinggi perbedaan tegangan yang terjadi di bidang batas, semakin
sulit kedua zat cair tersebut untuk bercampur. Tegangan yang terjadi pada air
akan bertambah dengan penambahan garam-garam anorganik atau senyawa
elektrolit, tetapi akan berkurang dengan penambahan senyawa organic tertentu,
antara lain sabun (sapo). Dalam teori ini dikatakan bahwa penambahan
emulgator akan menurunkan atau menghilanhkan tegangan yang terjadi pada
bidang batas segingga kedua zat cair tersebut akan mudah bercampur.
Teori Orientasi Bentuk baji (Oriented Wedge)
Teori ini menjelaskan fenomena terbentuknya emulsi berdasarkan adanya
kelarutan selektif dari bagian molekul emulgator; ada bagian yang bersifat suka
air atau mudah larut dalam air, dan ada bagian yang suyka minyak atau mudah
larut dalam minyak.
Jadi, setiap molekul emulgator dibagi menjadfi dua kelompok, yaitu
kelompok hidrofilik yaitu bagian emulgator yang suka air dan kelompok
lipofilik yaitu bagian emulgator yang suka minyak.
Masing-masing kelompok akan bergabung dengan zat cair yang
disenanginya, kelompok hidrofil ke dalam air dan kelompok lipofil ke dalam
7
minyak. Dengan demikian, emulgator seolah-olah menjadi tali pengikat antara
air dan minyak. Antara kedua kelompok tersebut akan membuat suatu
keseimbangan.
Setiap jenis emulgator memiliki harga keseimbangan yang besarnya tidak
sama. Harga keseimbangan ini dikenal dengan istila “HLB” (Hydrophyl
Lipophyl Balance), yaitu angka yang menunjukan perbandingan antara
kelompok lipofil. Semakin besar harga HLB, berarti semakin banyak kelompok
yang suka air, artinya emulgator tersebut lebih mudah larut dalam air dan
demikian sebaliknya.
Teori Film Plastik (Interfacial Film)
Teori ini mengatakan bahea emulgator akan diserap pada batas antara air
dan minyak, sehingga terbentuk lapisan film yang akan membungkus partikel
fase dispers atau fase internal. Dengan terbungkusnya pertikel tersebut, usaha
antara partikel yang sejenis bergabung menjadi terhalang. Dengan kata lain,
fase dispers menjadi stabil. Untuk memberikan stabilitas maksimum pada
emulsi, syarat emulgator yang dipakai adalah:
1. Dapat membentuk lapisan film yang kuat tetapi lunak.
2. Jumlahnya cukup untuk menutup semua permukaan partikel fase dispers.
3. Dapat membentuk lapisan film dengan cepat dan dapat menutup semua
partikel dengan segera.
Teori Lapisan Listrik Rangkap (Electric Double Layer)
Jika minyak terdispersi ke dalam air, satu lapis air yang langsung
berhubungan dengan permukaan minyak yang akan bermuatan sejenis,
8
sedangkan lapisan berikutnya akan mempunyai muatan yang berlawanan
dengan lapisan di depannya. Dengan demikian seolah-olah tiap partikel minyak
dilindungi oleh 2 benteng lapisan listrik yang saling berlawanan. Benteng
tersebut akan menolak setiap usaha partikel minyak yang akan mengadakan
penggabungan menjadi satu molekul yang besar, karena susunan listrik yang
menyelubungi setiap partikel minyak mempunyai susunan yang sama. Dengan
demikian antara sesama partikel akan tolak menolak dan stabilitas emulsi akan
bertambah (6).
Dikenal tiga metode dalam pembuatan emulsi, secara singkat dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1. Metode Gom Kering atau Metode Kontinental
Dalam metode ini, zat pengemulsi (biasanya Gom Arab) dicampur dengan
minyak terlebih dulu, kemudian ditambahkan air untuk membentuk korpus
emulsi, baru diencerkan dengan sisa air yang tersedia.
2. Metode Gom Basah atau Metode Inggris
Zat pengemulsi ditambahkan ke dalam air (zat pengemulsi umumnya larut
dalam air) agar membentuk suatu misilago, kemudian perlahan-lahan
minyak dicampurkan untuk membentk emulsi, kemudian diencerkan
dengan sisa air.
3. Metode Botol atau Metode Botol Forbes
Digunakan untuk minyak menguap dan zat-zat yang bersifat minyak dam
mempunyai viskositas rendah (kurang kental). Serbuk gom dimasukkan ke
dalam botol kering, ditambahkan 2 bagian air, botol ditutup, kemudian
9
campuran tersebut dikocok dengan kuat. Tambahkan sisa air sedikkit demi
sediket sambil dikocok (6).
HLB adalah nomor yang diberikan bagi tiap-tiap surfaktan. Daftar di
bawah ini menunjukkan hubungan nilai HLB dengan bermacam-macam tipe
system:
Nilai HLB Tipe system
3 – 6 A/M emulgator
7 – 9 Zat pembasah (wetting agent)
8 – 18 M/A emulgator
13 – 15 Zat pembersih (detergent)
15 – 18 Zat penambah pelarutan (solubilizer)
Makin rendah nilai HLB suatu surfaktan maka akan makin lipofil
surfaktan tersebut, sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan akan makin
hidrofil (1).
Caranya dapat dilakukan dengan eksperimen yang prosedurnya sederhana.
Ini apabila kebutuhan H.L.B. bagi zat yang akan diemulsi tidak diketahui. Ada
tiga fase:
Fase I
Menentuka H.L.B. yang diperlukan secara kira-kira. Dibuat 5 macam atau
lebih emulsi suatu zat cair dengan sembarang campuran surfaktan, dengan
gelas kimia yang sama, misalnya campuran Span 20 dan Tween 20. Dari hasil
emulsi dibedakan salah satu yang terbaik diperoleh H.L.B. kira-kira. Bila
10
semua emulsi baik atau jelek maka percobaan diulang dengan mengurangi atau
menambah emulgator.
Fase II
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai H.L.B disekitar H.L.B. yang
diperoleh dari fase I. Dari kelima emulsi tersebut dipilih emulsi yang terbaik,
maka diperoleh nilai H.L.B. yang ideal.
Fase III
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai H.L.B. yang ideal dengan
menggunakan bermacam-macam surfaktan atau campuran surfaktan. Dari
emulsi yang paling baik, dapat diperoleh campuran surfaktan mana yang paling
baik (ideal) (1).
Ketidakstabilan dalam emulsi farmasi dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Flokulasi dan creaming
Creaming merupakan pemisahan dari emulsi menjadi beberapa lapis
cairan, di mana masing-masing lapis mengandung fase dispers yang berbeda.
Nama cream berasal dari peristiwa pemisahan sari susu daru susu (milk). Sari
susu tersebut dapat dibuat Casein, keju dan sebagainya.
2. Koalesen dan pecahnya emulsi (cracking atau breaking)
Creaming adalah proses yang bersifat dapat kembali, berbeda dengan
proses cracking (pecahnya emulsi) yang bersifat tidak dapat kembali. Pada
creaming, flokul fase dispers mudah didispers kembali dan terjadi campuran
homogen bila digojok perlahan-lahan. Sedang pada cracking, pengojokan
11
sederhana akan gagal untuk mengemulsi kembali butir-butir tetesan dalam
bentuk emulsi yang stabil.
3. Inversi, adalah peristiwa berubahnya sekonyong-konyong tipe emulsi
M/A ke tipe A/M atau sebaliknya (1).
Dikenal beberapa cara membedakan tipe emulsi, yaitu:
1. Dengan pengenceran fase
Setiap emulsi dapat diencerkan dengan fase eksternalnya. Dengan prinsip
tersebut, emulsi tipe o/w dapat diencerkan dengan air dan tipe w/o dapat
diencerkan dengan minyak.
2. Dengan pengecatan atau pewarnaan
Zat warna akan tersebar merata dalam emulsi jika zat tersebut larut dalam
fase eksternal emulsi tersebut. Misalnya (dilihat di bawah mikroskop):
a. Emulsi + larutan sudah III dapat memberi warna merah pada emulsi
tipe w/o, karena sudah III larut dalam minyak.
b. Emulsi + larutan metilen biru dapat memberikan warna biru pada
emulsi tipe o/w, karena metilen biru larut dalam air. Selain metilen biru,
metilen merah dan amaranth juga dapat digunakan untuk o/w karena
memberikan warna merah.
3. Dengan kertas saring atau kertas tisu
Jika emulsi diteteskan pada kertas saring tersebut terjadi noda minyak,
berarti emulsi tersebut tipe w/o, tetapi jika terjadi basah merata seperti
emulsi tersebut tipe o/w.
12
4. Dengan konduktivitas listrik.
Alat yang dipakai adalah kawat dan stop lontak, kawat dengan K ½ watt
dan neon ¼ watt, semua dihubungkan secara seri. Lampu neon akan
menyala jika elektroda dicelupkan dalam cairan emulsi tipe o/w, dan akan
mati jika dicelupkan pada emulsi tipe w/o (6).
II.2 Uraian Bahan
Air Suling (3)
Nama Latin : Aqua Destilata
Rumus Molekul : H2O
Pemerian : Cairan jernih; tidak berwarna; tidak berbau; tidak
mempunyai rasa.
Kegunaan : Sebagai emulgator fase air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Tween 80 (3)
Nama Resmi : Polysorbatum 80
Nama Kimia : Polioksietilena 20 sorbitan monoleat [9005-65-6]
Sinonim : Tween 80; Polysorbat 80
Pemerian : Cairan seperti minyak, jernih berwarna kuning
muda hingga coklat muda; bau khas lemah; rasa
pahit dan hangat.
13
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, larutan tidak
berbau dan praktis tidak berwarna; larut dalam
etanol, dalam eter asetat; tidak larut dalam
minyak mineral.
Kegunaan : Sebagai Emulgator fase air
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Span 60 (5)
Pemerian : Krim padat
Kelarutan : Larut dalam minyak atau emulsi o/w (minyak
dalam air).
Kegunaan : Sebagai emulgator fase minyak
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup.
Parafin Cair (3)
Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berdfluoresensi;
tidak berwarna; hamper tidak berbau; hampir
tidak mempunyai rasa.
Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol
(95%) P; larut dalam kloroform P dan dalam eter
P.
Kegunaan : Sebagai emulgator fase minyak.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
14
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat yang Digunakan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum:
1. Batang Pengaduk
2. Cawan Penguap
3. Gelas Kimia
4. Gelas Ukur
5. Mixer
6. Timbangan Analitik
7. Penangas Air
III.2 Bahan yang Digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum:
1. Air Suling
2. Tween
3. Span
4. Parafin
III.3 Cara Kerja
1. Dihitung jumlah Tween dan Span yang dibutuhkan untuk masing-
masing harga HLB butuh,
2. Ditimbang masing-masing minyak, air, tween dan span sejumlah
yang dibutuhkan.
15
3. Dicampurkan minyak dengan span dan air dengan tween lalu
panaskan di atas penagas air sampai suhu 800 C.
4. Ditambahakan campuran minyak ke campuran air dan segera diaduk
dengan pengaduk listrik pada kecepatan dan waktu yang sama (2
menit)
5. Dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml dan diberi tanda untuk
masing-masing HLB.
6. Diamati kestabilannya selama 1 minggu.
7. Dicatat pada harga HLB berapa emulsi relative paling stabil.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Anief, Moh., (2008)., ”Ilmu Meracik Obat”, cetakan XIV, Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
2. Ansel, H.C., (1989), “Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi”, edisi IV,
Terjemahan Farida Ibrahim, UI Press, Jakarta.
3. Ditjen POM., (1979), “Farmakope Indonesia”, Edisi III, Depkes RI,
Jakarta.
4. Ditjen POM., (1995), “Farmakope Indonesia”, Edisi IV, Depkes RI,
Jakarta.
5. Kibbe, H. Arthur., (2000), “ Hand Book of Pharmaceutical Exepient,
Pharmaceutical Press, Amerika.
6. Syamsuni, H.A. (2005), “Ilmu Resep”, cetakan I, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, Jakarta
17