Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

5
MAKALAH ELEKTRODINAMIKA (FI5001) KORONA: MAHKOTA MATAHARI DAN BULANOLEH: NADYA AMALIA (20213042) DOSEN PENGAJAR: WAHYU SRIGUTOMO, Ph.D PROGRAM MAGISTER FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG DESEMBER, 2014

description

Ada beragam fenomena optik menakjubkan yang dapat diamati di atmosfir, umumnya diakibatkan interaksi antara sinar matahari atau cahaya bulan dengan droplet sferis (awan, kabut dan sebagainya) yang terdapat di antara pengamat dan matahari atau bulan. Fenomena-fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan empat mekanisme fisika: hamburan, refleksi, refraksi dan difraksi. Korona (berasal dari kata crown, mahkota) merupakan fenomena difraksi di atmosfir yang terkenal, yakni berupa cincin berwarna yang mengelilingi matahari.atau bulan

Transcript of Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

Page 1: Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

MAKALAH

ELEKTRODINAMIKA (FI5001)

“KORONA: MAHKOTA MATAHARI DAN BULAN”

OLEH:

NADYA AMALIA (20213042)

DOSEN PENGAJAR:

WAHYU SRIGUTOMO, Ph.D

PROGRAM MAGISTER FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

DESEMBER, 2014

Page 2: Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

KORONA: MAHKOTA MATAHARI DAN BULAN

Ada beragam fenomena optik menakjubkan

yang dapat diamati di atmosfir, umumnya

diakibatkan interaksi antara sinar matahari atau

cahaya bulan dengan droplet sferis (awan, kabut dan

sebagainya) yang terdapat di antara pengamat dan

matahari atau bulan. Fenomena-fenomena tersebut

dapat dijelaskan dengan empat mekanisme fisika:

hamburan, refleksi, refraksi dan difraksi. Korona

(berasal dari kata crown, mahkota) merupakan

fenomena difraksi di atmosfir yang terkenal, yakni

berupa cincin berwarna yang mengelilingi matahari

atau bulan seperti yang diilustrasikan Gambar 1 [1,

2].

Gambar 1. Korona multi-cincin bulan. Kecerahan aureole

pusat menyembunyikan bulan. Gambar oleh Laurie

Kangas [2].

Korona bulan lebih sering diamati dari pada

korona matahari, meskipun korona matahari justru

lebih sering muncul, karena matahari biasanya

mempunyai tingkat kecerahan yang sangat tinggi.

Untuk mengamati korona matahari agar terlindung

dan mengurangi intensitas cahayanya ke tingkat

yang lebih aman adalah dengan mengamati

refleksinya pada kolam air atau cermin kaca.

Dalam bentuk yang paling spektakuler,

korona dapat diamati sebagai serangkaian konsentris

banyak cincin berwarna cerah di sekeliling matahari

atau bulan. Sementara dalam bentuk yang paling

sederhana, korona hanya diwakili oleh aureole, yang

merupakan piringan putih di dekat matahari atau

bulan berbatasan dengan cincin kebiruan dan

diakhiri oleh sebuah band coklat kemerahan [3].

Bukan hal yang sulit untuk membedakan

korona dengan halo 22°. Diameter lingkaran cahaya

atau cincin yang membentuk tampilan korona adalah

hanya beberapa kali diameter bulan―jauh lebih

kecil dari halo. Selain itu, juga dikenal fenomena

yang tidak berhubungan namun mempunyai istilah

yang sama. Bagian luar dari atmosfer matahari juga

disebut korona dan terlihat ketika bulan menutupi

matahari selama gerhana matahari total. Adapun

fenomena yang dibahas pada paper ini, muncul di

atmosfer bumi dan tidak ada hubungannya dengan

atmosfir matahari [4].

Radius dan warna cincin korona tergantung

pada distribusi ukuran droplet sferis air di awan

yang menjadi penyebab difraksi. Warna-warni

muncul ketika droplet sferis mempunyai ukuran

seragam. Droplet dengan ukuran yang sangat

bervariasi akan menghasilkan korona berupa cincin

putih akibat cincin berbeda warna yang saling

overlap [5].

Karena jumlah pembelokan pada difraksi

tergantung pada panjang gelombang cahaya, cahaya

biru dengan panjang gelombang yang lebih pendek

muncul di bagian dalam cincin, sementara cahaya

merah dengan panjang gelombang yang lebih besar

muncul di luar. Warna-warna ini dapat berulang-

ulang, menjadi redup pada setiap cincin yang

menjauh dari bulan atau matahari. Selain itu,

semakin kecil droplet sferis di awan, semakin besar

diameter cincin. Oleh karena itu, Ahrens [6]

mengajukan bahwa awan yang baru terbentuk

(seperti altostratus tipis dan altocumulus) mampu

menghasilkan korona terbaik.

Teori difraksi pada korona

Difraksi cahaya terjadi ketika cahaya

menemui hambatan dalam perjalananya. Hambatan

yang menghasilkan korona adalah droplet sferis di

awan. Biasanya dengan diameter rata-rata 10 −15 𝜇𝑚 dan rentang ukuran keseluruhan 1 −100 𝜇𝑚. Panjang gelombang cahaya tampak seperti

0.45 𝜇𝑚 (biru) dan 0.70 𝜇𝑚 (merah) lebih kecil

tetapi cukup dekat dengan dimensi droplet tersebut

sehinggga difraksi yang signifikan terjadi ketika

matahari atau bulan bersinar atau bercahaya

menembus awan tipis. Sebaliknya, droplet sferis

hujan dengan ukuran di kisaran mm tidak

menghasilkan korona yang dapat diamati [7].

Droplet sferis awan begitu jauh jaraknya dari

kita (pengamat) jika dibandingkan dengan

diameternya, sehingga semua efek korona berasal

dari difraksi Fraunhofer pada zona jauh. Gambar 2

menggambarkan gelombang yang berinteraksi

dengan droplet sferis untuk menghasilkan pola

difraksi korona.

Page 3: Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

Gambar 2. Droplet sferis terisolasi tunggal masing-masing menghasilkan pola difraksi korona. Pada zona jauh pola

intensitas yang dihasilkan menyerupai dengan cincin melingkar [2].

Korona menunjukkan hubungan difraksi

Fraunhofer, yakni semakin besar ukuran droplet sferis,

difraksi semakin kecil, ukuran cincin semakin kecil

[7]. Cincin merah adalah warna yang paling jelas dari

korona, dan dalam model difraksi jari-jari sudut

korona, 𝜃, diberikan oleh [8, 9]

sin 𝜃𝑁 = (𝑁 + 0.22)𝜆𝐺/𝐷 (1)

dengan 𝐷 adalah diameter droplet sferis awan dan 𝑁

adalah bilangan bulat yang menunjukkan urutan dari

band warna pada korona. Panjang gelombang 𝜆𝐺 =0.57 𝜇𝑚 umumnya dipilih karena cincin korona

merah terlihat paling jelas pada sudut di mana tidak

ada cahaya hijau yang terdifraksi [10].

Dalam model difraksi, intensitas difraksi

korona adalah [9]

𝐼(𝐷, 𝜆, 𝜃) =𝐼0𝑋2𝐷2

4𝑅2 [𝐽1(𝑋𝜃)

𝑋𝜃]

2

(2)

dengan parameter ukuran tetesan adalah

𝑋 =𝜋𝐷

𝜆 (3)

𝑅 adalah jarak dari tetesan ke pengamat, dan 𝐼0 adalah

konstanta normalisasi.

Salah satu "rule of thumb" dalam teori difraksi

untuk korona adalah bahwa cincin merah di korona

sesuai dengan maxima dalam pola difraksi untuk

cahaya merah. Meskipun ini adalah pendekatan yang

baik untuk cincin merah kedua dan ketiga, korona

memiliki cincin merah dalam ekstra yang tidak

diprediksi oleh teori difraksi. Akibatnya, penggunaan

teori difraksi dapat menghasilkan ukuran partikel yang

lebih besar dengan faktor sekitar 1.9.

Umumnya akan ada penyimpangan antara teori

difraksi dengan teori hamburan Mie (apabila difraksi

dipancdang sebagai hamburan) untuk droplet sferis

dengan ukuran 10 𝜇𝑚 dan di bawahnya. Cara yang

lebih baik untuk menentukan ukuran droplet sferis

adalah dengan mencocokan cincin berwarna pada

simulasi komputer dengan foto pengamatan alam [2,

8].

Hamburan Mie

Teori difraksi sederhana memiliki masalah

untuk droplet sferis dengan ukuran yang hanya sedikit

lebih besar dari panjang gelombang insiden. Dalam

hal ini, teori Mie harus diterapkan, karena amplitudo

cahaya yang didifraksi dan ditransmisikan sebanding

dalam arah hamburan maju, yang mengarah ke

interferensi antara dua komponen yang secara

signifikan dapat mengubah pola hamburan [1, 3, 9].

Intensitas Mie untuk cahaya tak terpolarisasi

yang terhamburan oleh droplet air tunggal adalah [9]

𝐼𝑀𝑖𝑒(𝐷, 𝜆, 𝜃) =𝐼0𝐷2

8𝑋2𝑅2[|𝑆1(𝑋, 𝜃)|2 + |𝑆1(𝑋, 𝜃)|2] (4)

Amplitudo hamburan Mie dapat diuraikan

dalam bentuk penjumlahan yang suku-sukunya dapat

diinterpretasikan sebagai difraksi, refleksi specular,

transmisi, dan transmisi sejumlah acak refleksi

internal. Proses transmisi dan difraksi menyebabkan

interferensi pada arah depan-dekat, dan, sebagai

akibatnya, intensitas dan jarak dari hamburan Mie

maxima dan minima berbeda dari hasil difraksi saja.

Mekanisme difraksi-plus-transmisi ini disebut difraksi

anomali. Hal ini menarik untuk mengetahui

konsekuensi dari gangguan ini dalam konteks teori

Mie dalam pengamatan korona. Selain itu, droplet

sferis di dalam awan memiliki berbagai diameter,

masing-masing memproduksi pola hamburan sudut

yang berbeda. Korona yang diamati adalah rata-rata

inkoheren dari pola yang berbeda tersebut, dan proses

rata-rata memudarkan warna cincin dan mengurangi

visibilitas mereka. Hal ini menarik untuk menentukan

seberapa luas distribusi ukuran droplet sferis di awan

seharusnya sebelum kontras warna cincin korona

menurun sedemikian rupa sehingga tidak lagi dapat

diamati [9].

Dengan asumsi bahwa model teori Mie

memberikan korespondensi yang tepat antara diameter

droplet dan jari-jari cincin merah, diameter droplet

sferis yang memproduksi korona multi-cincin dapat

diperkirakan dengan menggunakan Gambar 3.

Page 4: Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

Gambar 3. Diameter droplet air sebagai fungsi dari radius

sudut 𝜃 dari tiga cincin korona merah. Kurva garis tebal

adalah prediksi dari model teori Mie dan kurva putus-putus

adalah prediksi dari model difraksi dengan 𝜆𝐺 = 0.57 𝜇𝑚.

Poin data yang berbeda menunjukkan waktu pengamatan yang berbeda [9].

Lock dan Yang [9] menyimpulkan bahwa teori

difraksi sederhana Fraunhofer dapat digunakan dengan

hasil yang sebanding dengan perhitungan hamburan

Mie, selama panjang gelombang biru 𝜆𝐺 = 0.49 𝜇𝑚

digunakan untuk panjang gelombang pendek yang

dominan 𝜆𝐺 = 0.57 𝜇𝑚.

Sementara untuk mengukur ukuran droplet

Laven [1] merekomendasikan simulasi hamburan Mie,

sehingga didapatkan tiga cincin merah (𝜆 = 0.65 𝜇𝑚)

bagian dalam korona memiliki jari-jari sudut 𝜃1 ≈16/ 𝑟, 𝜃2 ≈ 31/ 𝑟 dan 𝜃3 ≈ 47/ 𝑟, ketika 𝜃 diukur

dalam ° dan 𝑟 diukur dalam 𝜇𝑚 seperti yang

ditunjukkan pada tabel 1.

Tabel 1. Sudut, θ, dari cincin-cincin merah pada korona

pada hamburan sinar matahari dengan partikel sferis

beradius [1]

Cahaya monokromatik

Cahaya Matahari

𝜆 = 0.65 𝜇𝑚 Difraksi Mie

― 16/ 𝑟 16/ 𝑟

30.44/ 𝑟 33/ 𝑟 31/ 𝑟

49.89/ 𝑟 51/ 𝑟 47/ 𝑟

68.87/ 𝑟 71/ 𝑟 ―

87.70/ 𝑟 01/ 𝑟 ―

Ada beberapa perbedaan kecil dalam posisi dan

visibilitas cincin terluar berdasarkan teori difraksi dan

hamburan pada Tabel 1, namun keduanya

menghasilkan cincin merah yang sama pada

𝜃 = 16 𝑟⁄ . Hamburan maju pada lobe yang berpusat

pada 𝜃 = 0° lebih luas untuk cahaya merah daripada

cahaya biru. Akibatnya, pada 𝜃 = 16 𝑟⁄ didominasi

oleh cahaya merah, sehingga menyebabkan cincin

merah yang tak terduga. Sebuah fenomena yang

terkait adalah aureole (Gambar 1), yang terdiri dari

zona putih melingkar yang dikelilingi oleh tepi

kemerahan.

Laven [1] juga menyebutkan bahwa meskipun

banyak cincin yang terlihat pada korona

monokromatik dalam kondisi laboratorium, 𝑟 =10 𝜇𝑚, korona matahari memiliki cincin yang lebih

sedikit. Warna cincin korona terlihat seragam saat 𝜃 >6°. Ini berarti bahwa, bahkan dalam keadaan yang

ideal dengan tetesan ukuran seragam, tidak mungkin

korona akan memiliki lebih dari tiga cincin.

Korona non sirkular

Pada dasarnya, kehadiran partikel jenis apapun

di atmosfer dapat mengakibatkan efek difraksi yang

dapat diamati jika ukuran mereka cukup kecil, cukup

seragam, dan memiliki konsentrasi yang cukup tinggi

[4]. Korona tidak selalu sirkular atau menyerupai

cincin, baik karena bentuk partikelya seperti pada

fenomena difraksi oleh non-spherical birch dan serbuk

sari pinus [11], atau karena adanya gradien ukuran

partikel rata-rata di awan secara keseluruhan. Dalam

kedua kasus, distribusi ukuran partikel harus tetap

sempit agar korona tetap dapat terlihat. Cincin korona

oblong pada Gambar 4 mengalami penurunan radius

secara bertahap dari atas ke bawah, sesuai dengan

peningkatan bertahap ukuran rata-rata awan-partikel

dari 19.5 𝜇𝑚 di atas hingga 24.3 𝜇𝑚 di bagian bawah.

Kemungkinan penyebab gradien ini adalah bagian

awan yang bergerak naik.

Gambar 4. Korona oblong dengan cincin yang lebih besar

pada bagian atas dan lebih kecil di bagian bawah,

menunjukkan kecenderungan yang berlawanan untuk ukuran

partikel awan rata-rata [10].

Page 5: Elektrodinamika - Korona (Mahkota Matahri Dan Bulan) Nadya Amalia 2014

Gambar 5. Cincin korona yang terputus menunjukkan

transisi tiba-tiba dari partikel awan besar di bagian bawah untuk partikel kecil di bagian atas [10].

Tahapan diskontinuitas dalam radius cincin

difraksi pada Gambar 5 menunjukkan perubahan

mendadak dari ukuran rata-rata partikel awan dari

18.1 𝜇𝑚 di bagian bawah menjadi 14.4 𝜇𝑚 di atas.

Kami tidak yakin tentang penyebabnya, namun

kemungkinan transisi tiba-tiba dari droplet air

superdingin cair ke es [7, 10].

Cincin Bishop

Letusan besar gunung api mampu

meninggalkan sejumlah besar partikel padat (debu

vulkanik halus) ke atmosfer selama bertahun-tahun.

Peristiwa vulkanik paling spektakuler yang pernah

tercatat adalah letusan gunung Krakatau pada Agustus

1883. Royal Society of London pada waktu itu

melaporkan munculnya korona besar yang

mengelilingi matahari dan bulan terkait dengan

penyebaran debu vulkanik. Observasi detail pertama

mengenai hal tersebut dibuat oleh Reverend Sereno

Bishop. Sehingga fenomena korona ini disebut cincin

Bishop.

Meskipun deskripsi subjektif dari warna

cincinnya sangat berbeda, pengamat umumnya

sepakat bahwa bagian dalam cincin tersebut keputihan

atau putih kebiruan dan itu berbayang menjadi

kemerahan atau kecoklatan atau keunguan pada

bagian tepi luar. Urutan warna, dengan merah di luar,

mengidentifikasi hal tersebut sebagai korona difraksi

daripada halo refraksi (misalnya, halo 22°), yang

merah di bagian dalam cincin. Jari-jari sudut dari

cincin merah, sebagaimana rata-rata dari estimasi dan

pengukuran beberapa pengamat, adalah sekitar 28°. Terlalu besar untuk sebuah cincin difraksi yang

menunjukkan ukuran yang sangat kecil dari partikel

debu (sekitar 0,002 milimeter) [4].

REFERENSI

[1] Laven, P. (2015). Re-visiting the atmospheric

corona. Applied Optics, 54(4), B46-B53.

[2] Cowley, L., Laven, P., & Vollmer, M. (2005).

Rings around the sun and moon: coronae and

diffraction. Physics education, 40(1), 51.

[3] Träger, F. (Ed.). (2007). Springer handbook of

lasers and optics. Springer.

[4] Greenler, R. (1980). Rainbows, halos, and

glories. CUP Archive.

[5] Harries, J. (1972). Optical phenomena for

mountaineers. Alpine J, 77, 39-47.

[6] Ahrens, C. D. (2011). Essentials of meteorology:

an invitation to the atmosphere. Cengage

Learning.

[7] Shaw, J. A., & Neiman, P. J. (2003). Coronas

and iridescence in mountain wave

clouds. Applied optics, 42(3), 476-485.

[8] Laven, P. (2004). Simulation of rainbows,

coronas and glories using Mie theory and the

Debye series. Journal of Quantitative

Spectroscopy and Radiative Transfer, 89(1),

257-269.

[9] Lock, J. A., & Yang, L. (1991). Mie theory

model of the corona. Applied optics, 30(24),

3408-3414.

[10] Shaw, J. A., & Neiman, P. J. (2002). Coronas

and Iridescent Clouds. Optics and Photonics

News, 13(10), 30-35.

[11] Parviainen, P., Bohren, C. F., & Mäkelä, V.

(1994). Vertical elliptical coronas caused by

pollen. Applied optics, 33(21), 4548-4551.