Ekstraksi Karagenan_Debora Rika Angelita_13.70.0041_KloterD_UNIKA SOEGIJAPRANATA
-
Upload
praktikumhasillaut -
Category
Documents
-
view
16 -
download
1
description
Transcript of Ekstraksi Karagenan_Debora Rika Angelita_13.70.0041_KloterD_UNIKA SOEGIJAPRANATA
Acara V
EKSTRAKSI KARAGENAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
Disusun oleh:
Nama: Debora Rika Angelita
NIM: 13.70.0041
Kelompok: D1
1
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, panci, kompor,
pengaduk, hot plate, gelas beker, termometer, oven, pH meter, timbangan digital.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah rumput laut (Eucheuma cottonii),
isopropyl alkohol (IPA), NaOH 0,1N, NaCl 10%, HCl 0,1 N serta aquades.
1.2. Metode
Rumput laut basah
ditimbang sebanyak
40 gram
Rumput laut dipotong kecil-
kecildan diblender dengan diberi
sedikit air
Rumput laut direbus di
dalam 1L air selama 1 jam
dengan suhu 80-90oC
Rumput laut yang sudah ke
dalam panci
Hasil ekstraksi disaring dengan
menggunakan kain saring bersih
dan cairan filtrate ditampung
dalam wadah.
pH diukur hingga netral
yaitu pH 8 dengan
ditambahkan larutan HCl
0,1 N atau NaOH 0,1N
2
DitambahkanNaCl 10%
sebanyak 5% dari volume
larutan.
Volume larutan diukur dengan
menggunakan gelas ukur.
Filtrat dituang ke wadah berisi cairan
IPA (2x volume filtrat) diendapkan
dengan cara diaduk selama 10-15 menit
Direbus hingga suhu
mencapai 60oC
Endapan karagenan ditiriskan
dan direndam dalam cairan
IPA hingga menjadi kaku
Serat karagenan dibentuk tipis-
tipis dan diletakan dalam wadah
Serat karagenan kering
ditimbang. Setelah itu
diblender hingga menjadi
tepung karagenan
Dimasukkan ke dalam
oven dengan suhu 50-
60oC
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ 𝑥 100%
% Rendemen dihitung
dengan
3
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan ekstraksi karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ekstraksi Karagenan
Kelompok Berat Awal (g) Berat Kering (g) Rendemen (%)
D1 40 2,74 6,85
D2 40 2,68 6,70
D3 40 3,20 8,00
D4 40 3,02 7,55
D5 40 3,46 8,65
Berdasarkan data pada Tabel 1, dapat dilihat bahwa berat awal pada semua kelompok
adalah sama sebesar 40 gram. Namun, berat kering yang diperoleh pada masing-masing
kelompok berbeda. Berat kering tertinggi dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar 3,46
gram, sedangkan berat kering terendah dihasilkan oleh kelompok D2 sebesar 2,68 gram.
Rendemen tertinggi dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar 8,65%, sedangkan rendemen
terendah dihasilkan oleh kelompok D2 sebesar 6,70%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat
dilihat bahwa berat kering berbanding lurus dengan % rendemen, semakin besar berat
kering, maka % rendemen yang diperoleh akan semakin besar pula, begitu sebaliknya.
4
3. PEMBAHASAN
Rumput laut dikenal sebagai alga divisi Thallophyta. Menurut Rahayu, et al. (2004),
divisi Thallophyta ini memiliki 4 kelas, yaitu: Chlorophyceae (alga hijau),
Rhodophyceae (alga merah), Cyanophyceae (alga biru), dan Phaeophyceae (alga
coklat). Namun hanya Rhodophyceae dan Phaeophyceae yang telah banyak
kembangkan menjadi produk yang bermanfaat. Sumiarsih & Indriani (1995)
menambahkan bahwa contoh spesies golongan Rhodophyceae adalah Eucheuma sp.
yang merupakan penghasil karagenan, serta Gellidium sp.,Gracillaria sp., Gellidiopsis
sp., dan Gellidiela sp. yang merupakan penghasil agar. Spesies yang termasuk
Phaeophyceae adalah Turbinaria sp. dan Sargasum sp. sebagai sumber alginat. Hal
tersebut didukung pula oleh pernyataan Sediadi & Budihardjo (2000), alga merah
(Rhodophyta) adalah rumput laut penghasil karagenan dan penghasil agar, sedangkan
penghasil alginat berasal dari kelas alga coklat (Phaeophyta). Rahayu, et al. (2004)
menambahkan rumput laut penghasil karagenan kelas Rhodophyceae antara lain jenis
Eucheuma sp., Chondrus sp., Hypnea sp., dan Gigartina sp.
Poncomulyo, et al. (2006) menjelaskan bahwa terdapat 3 spesies Eucheuma sp. sebagai
bahan baku pembuatan karagenan atau carragenophyte, yaitu Eucheuma cottonii,
Eucheuma spinosum, dan Eucheuma striatum. Menurut Anggadiredja, et al. (2006),
Eucheuma cottoni memiliki talus berbentuk silindris, berbentuk cartilageneus
(menyerupai tulang rawan), memiliki permukaan yang licin, serta berwarna hijau
terang, hijau olive, hingga coklat kemerahan. Poncomulyo, et al. (2006) menambahkan
bahwa standar mutu spesies Eucheuma diantaranya ialah berbau spesifik, memiliki
kandungan kadar air maksimal 15%, serta kadar benda asing tidak lebih dari 5%.
Menurut Bono et al. (2014), Kappaphycus alvarezii atau yang biasa dikenal sebagai
Eucheuma cottonii dapat ditemukan disepanjang wilayah pesisir Malaysia, Filipina, dan
Indonesia. Beberapa negara di Asia Tenggara menghasilkan kurang lebih 96,5% kappa
karagenan dari rumput laut merah, dimana sebanyak 55% merupakan kontribusi dari
Filipina, diikuti oleh Indonesia 38% dan Malaysia 2,5%. Aslan (1998) menjelaskan
bahwa Eucheuma cottonii merupakan sumber karagenan tipe kappa. Tipe gel yang
5
dibentuk kuat, namun mudah mengalami sineresis, namun memberikan sifat sinergis
terhadap beberapa gum. Struktur kappa karagenan memungkinkan terjadinya
pembentukan double helix yang mampu mengikat molekul rantai pada bidang tiga
dimensi. Rahayu, et al. (2004) menjelaskan bahwa pengolahan rumput laut secara
sederhana dapat dilakukan untuk mendapatkan karagenan dari Eucheuma cottonii. Hal
ini dilakukan dengan merebus rumput laut ke dalam larutan alkali. Sayangnya
pengolahan karagenan di Indonesia hanya mampu mencapai kualitas setengah murni
(semi refined carrageenan).
Menurut Angka & Suhartono (2000), karagenan merupakan polisakarida linier yang
terdiri dari unit-unit galaktosa dan 3.6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik α-1,3
dan β-1,4 secara bergantian. Berat molekul karagenan cukup tinggi, sebesar 100000-
150000. Terdapat beberapa jenis karagenan, yaitu kappa, iota, nu, lambda, dan theta.
Karagenan larut di dalam air panas dan pelarut polar (alkohol, gliserin, dan propilen
glikol), namun tidak dapat larut pada pelarut organik (non polar). Karagenan terlarut ini
bersifat kental. Konsentrasi, suhu, dan jenis karagenan akan mempengaruhi viskositas
karagenan yang dihasilkan. Menurut Poncomulyo, et al. (2006), jenis karagenan yang
berbeda memberikan sifat karagenan yang berbeda. Dalam air dingin, kappa dan iota
karagenan hanya akan larut dalam garam natrium, sedangkan lambda karagenan akan
larut dalam seluruh garam. Kappa dan iota tidak larut dalam susu dingin. Lambda
karagenan akan membentuk disperse dalam susu dingin. Dalam pembentukan gel,
lambda karagenan tidak dapat membentuk gel, namun kappa karagenan dapat
membentuk gel dengan ion kalium.
3.1. Langkah Kerja
Treybal (1981) mengemukakan bahwa dua tahapan penting yang terjadi selama proses
ekstraksi yaitu adanya proses difusi dan perpindahan massa. Pada fase difusi akan
terjadi proses perpindahan bagian dalam padatan ke bagian permukaan padatan,
sedangkan pada proses selanjutnya yaitu perpindahan massa akan terjadi permindahan
dari permukaan padatan ke cairan ekstraksi yang digunakan. Distantina, et al. (2011)
menambahkan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses dan
hasil ekstraksi antara lain:
6
Jenis pelarut yang digunakan.
Temperatur ekstraksi.
Ukuran padatan yang diekstrak.
Perbandingan antara berat bahan dengan jumlah pelarut yang digunakan.
Cara dan lama pengadukan atau ekstraksi.
Menurut Yasita & Rachmawati (2006), proses ekstraksi karagenan ditujukan untuk
memisahkan dua komponen berdasarkan pada perbedaan kelarutan. Langkah awal yang
dilakukan dalam praktikum ini adalah menimbang rumput laut (Eucheuma cottonii)
basah sebanyak 40 gram, lalu dipotong kecil-kecil dan diblender. Hal ini disesuai
dengan pendapat Arpah (1993), tujuan dari proses penghancuran rumput laut adalah
untuk memperluas permukaan sampel, sehingga dapat mempercepat proses selanjutnya
sehingga berjalan lebih sempurna.
Selanjutnya, rumput laut tersebut ditambahkan air sebanyak 1000 ml, lalu direbus
selama 1 jam pada suhu 80-90oC dengan sesekali dilakukan pengadukan. Fungsi
penambahan air dan perebusan adalah untuk mengekstrak karagenan dari rumput laut.
Hal ini sesuai dengan pendapat Angka & Suhartono (2000), semua karagenan larut
dalam air panas, dapat larut dalam pelarut polar, seperti gliserin, alkohol, dan propilen
glikol, namun tidak larut dengan pelarut organik (non polar). Pengaturan suhu 80-90oC
yang dilakukan pada praktikum ini esuai dengan teori Aslan (1998), suhu optimum yang
digunakan dalam ekstraksi karagenan adalah pada suhu 90oC. Menurut Reynold &
Richards (1996), pengadukan dilakukan untuk menghomogenkan hasil campuran,
sehingga kontak yang terjadi antara karagenan yang terkandung dalam rumput laut
dengan air dapat berjalan lebih optimal. Imeson (2010) menegaskan bahwa keberhasilan
proses ekstraksi karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu,
pH, jenis dari karagenan itu sendiri, dan adanya senyawa lain yang larut.
Selanjutnya, hasil perebusan didinginkan hingga mencapai suhu kurang lebih 40oC.
Penurunan suhu sebelum dilakukan pengukuran pH perlu dilakukan karena menurut
Alfonso & Edward (1992), suhu yang terlalu tinggi maupun rendah (melebihi suhu
ruang) dapat menyebabkan biasnya hasil pengukuran pH. Kemudian pH diatur hingga
7
mencapai pH 8 dengan menggunakan HCl 10% dan NaOH 10%, menggunakan pH-
meter. Hal ini sesuai dengan pendapat Prasetyowati, et al. (2008) menyatakan bahwa
karagenan stabil pada pH 8. Hal ini didukung pula oleh teori Imeson (2010), stabilitas
karagenan dalam larutan terjadi pada maksimal pH 9. Pada pH di bawah 3,5, karagenan
akan terhidrolisis sehingga mengalami kerusakan.
Setelah tercapai pH 8, larutan disaring dengan kain saring untuk memisahkan
ampasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kimball (1992), penyaringan diperlukan
untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diinginkan. Hal ini didukung pula oleh
pernyataan Suyitno (1989), penyaringan akan menyebabkan pemisahan partikel padat
dan partikel cair. Selanjutnya, filtrat yang mengandung karagenan ditampung dan
diukur volumenya, lalu ditambahkan larutan NaCl 10% sebanyak 5% dari volume
filtrat. Selanjutnya, filtrat dipanaskan hingga tercapai suhu 60oC. Hal ini sesuai dengan
pendapat Campo, et al. (2009), penambahan NaCl bertujuan untuk mengaktifkan
kemampuan pembentukan gel karagenan secara thermo-reversible, sehingga dapat
berperan sebagai larutan pengental dan gelling-agent. Menurut Glicksman (1983),
pengaktifan pembentukan gel karagenan secara thermo-reversible adalah menjadikan
gel karagenan dapat memadat pada suhu dingin, sedangkan pada suhu tinggi gel akan
mencair. Hal ini didukung pula oleh pendapat Mappiratu (2009), penggunaan larutan
NaCl 10% bertujuan untuk mengendapkan karagenan, sedangkan proses pemanasan
dilakukan untuk mempercepat proses ekstraksi sekaligus menghomogenkan larutan.
Filtrat selanjutnya dituang ke dalam cairan IPA (isopropyl alkohol) sebanyak 700 ml,
selanjutnya dilakukan pengadukan selama 10-15 menit untuk memperoleh serat
karagenan. Menurut Aslan (1998), penggunaan cairan IPA bertujuan untuk
mengendapkan serat karagenan. Hal ini didukung oleh pendapat Prasetyowati, et al.
(2008), ketika mengalami kontak dengan alkohol, serat karagenan akan terbentuk.
Selanjutnya, serat karagenan diambil dan direndam kembali dalam cairan IPA selama
10-15 menit hingga diperoleh serat karagenan yang lebih kaku. Selain serat karagenan
yang lebih kaku, Yasita & Rachmawati (2006) menambahkan bahwa dengan
dilakukannya proses pengendapan sebanyak dua kali dalam cairan IPA, maka serat
8
karagenan yang dihasilkan kekuatan pembentukan gelnya lebih tinggi. Serat karagenan
yang diperoleh ditiriskan, dibentuk tipis-tipis, dan diletakkan dalam loyang.Selanjutnya,
serat karagenan dioven selama 12 jam pada suhu 50-60oC. Hal ini sesuai dengan
pendapat Candra (2011), proses pengovenan dilakukan untuk memperoleh karagenan
kering dengan mengurangi atau menghilangkan kadar air dari serat karagenan. Suhu
yang digunakan pada proses pengovenan tidak terlalu tinggi karena suhu yang tinggi
dapat merusak komponen karagenan, sehingga terjadi perubahan, baik secara fisik
maupun kimia. Setelah dioven, karagenan yang telah kering ditimbang, kemudian
dihancurkan dengan blender, sehingga didapatkan tepung karagenan.
Berdasarkan data hasil pengamatan, diketahui bahwa berat kering yang diperoleh pada
masing-masing kelompok berbeda. Berat kering tertinggi dihasilkan oleh kelompok D5
sebesar 3,46 gram, sedangkan berat kering terendah dihasilkan oleh kelompok D2
sebesar 2,68 gram. Rendemen tertinggi dihasilkan oleh kelompok D5 sebesar 8,65%,
sedangkan rendemen terendah dihasilkan oleh kelompok D2 sebesar 6,70%. Hal ini
tidak sesuai dengan pendapat Bawa, et al. (2007), hasil rendemen karagenan mencapai
34,5% pada ekstraksi karagenan pH 8 selama 2 jam ekstraksi. Ketidaksesuaian ini dapat
disebabkan oleh waktu pengekstraksian yang hanya berlangsung 1 jam. Hal ini
didukung oleh pendapat Setyowati, et al. (2000), perbedaan waktu pengekstraksian
akan menghasilkan rendemen yang berbeda pula.
Rendemen yang dihasilkan ini merupakan karagenan jenis kappa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Atmadja, et al. (1996), karagenan yang dihasilkan dari Eucheuma cottonii
hanya karagenan dengan jenis kappa saja. Hal ini didukung oleh pendapat Webber et al.
(2012), ekstraksi karagenan yang berasal dari Eucheuma cottonii menggunakan air akan
menghasilkan kappa karagenan yang memiliki kemampuan pembentuk gel yang kuat.
Kualitas karagenan sangat ditentukan dari kemampuannya membentuk gel (gel
strength) dan sebagai pengental (thickening agent). Komposisi kimia dari karagenan
yang dihasilkan oleh Eucheuma cottonii ditentukan oleh proses ekstraksi yang
dilakukan, seperti suhu dan lama waktu ekstraksi yang akan mempengaruhi sifat
rheologi dari polimer ini. Sifat karagenan juga sangat dipengaruhi oleh waktu
pemanenan rumput laut, lokasi, kondisi pertumbuhan (salinitas, kedalaman, nutrisi air
9
laut), waktu pertumbuhan, dan proses ekstraksi. Kondisi optimal dalam ekstraksi
karagenan adalah 74oC selama 4 jam. Kondisi ini menghasilkan yield yang tinggi,
dengan kekuatan gel yang lebih tinggi, dan lebih kental.
Berdasarkan data hasil pengamatan, persentase rendemen yang dihasilkan pada masing-
masing kelompok berbeda. Padahal bahan baku dan metode yang dilakukan pada semua
kelompok sama. Seharusnya, semua kelompok dapat menghasilkan persentase
rendemen yang sama besar. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh suhu pemanasan
yang dilakukan pada masing-masing kelompok tidak konstan, proses netralisasi pada
masing-masing kelompok yang berbeda sehingga pH yang diperoleh berbeda, dan tidak
meratanya pemanasan pada oven. Menurut Pelegrin, et al. (2006), persentase rendemen
yang diperoleh dapat dipengaruhi oleh konsentrasi larutan basa yang ditambahkan.
Larutan basa yang digunakan akan mempengaruhi jumlah dan sifat karagenan yang
dihasilkan. Konsentrasi larutan basa tersebut terlalu tinggi akan menyebabkan
berkurangnya yield karagenan yang dihasilkan. Umur dari rumput laut yang digunakan
juga dapat mempengaruhi jumlah karagenan yang didapatkan. Hal ini didukung oleh
pendapat Widyastuti (2010), semakin tua umur rumput laut, maka karagenan yang
dihasilkan akan berjumlah banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan akan semakin
tinggi pula. Hal ini berlaku sebaliknya.
3.2. Aplikasi dalam Bidang Pangan
Menurut Angka & Suhartono (2000), karagenan ini banyak diaplikasikan dalam industri
makanan, untuk membuat gel dalam sirup, saus, selai, makanan bayi, daging, ikan,
produk susu, bumbu dan sebagainya. Karagenan juga banyak dimanfaatkan untuk
mengentalkan bahan non pangan seperti odol, kosmetik, dan shampo. Salasia, et al.
(2002) menambahkan bahwa karagenan memiliki peran dalam kesehatan manusia jika
dikonsumsi. Karagenan mampu menurunkan kadar kolestrol darah dan mencegah
peningkatan atherosclerone lesions karena serat dalam karagenan memilki daya
hipokolesterolemik. Dosis efektif karaginan yang dapat dikonsumsi adalah 12,5 mg/ kg
berat badan.
10
Karagenan juga dapat berperan sebagai antioksidan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mahmood et al. (2014), kappa karagenan memiliki peran penting sebagai antioksidan,
menangkal radikal bebas in vitro dan juga dalam sektor bioteknologi. Proses asetilasi
kappa karagenan menghasilkan karagenan ester. Karagenan ester ini memiliki potensi
yang tinggi sebagai anti aktivitas HIV, aktivitas antikoagulan yang rendah, dan sebagai
penghambat oksidasi yang kuat. Karagenan ester dapat disintesis dari kappa karagenan
menggunakan decanoyl chloride dan pyridine dengan memvariasikan suhu reaksi secara
sistematis.
Karagenan yang dihasilkan oleh rumput laut Eucheuma cottonii memiliki kegunaan
yang mirip dengan gelatin. Menurut Mochtar et al. (2013), karagenan dapat berfungsi
sebagai stabilizer, pengental, pembentuk gel, dan emulsifier. Karagenan digunakan
secara luas pada industri makanan, dalam pembuatan pastry, roti, makaroni, jelly, dan
lainnya. Contoh peranan sebagai penstabil yaitu pada produksi es krim, karagenan
memberikan efek positif terhadap viskositas campuran, karena mampu mengatasi kristal
es yang terbentuk selama pengolahan maupun penyimpanan dan mempertahankan
struktur es krim dengan memperlambat laju pelelehan es krim saat dikonsumsi.
Karagenan terdapat pada bagian dinding sel atau matriks intraseluler rumput laut.
Karagenan menempati porsi terbesar dari berat rumput laut kering jika dibandingkan
dengan komponen lainnya. Semakin tua rumput laut, maka kekuatan gel yang
dihasilkan pun juga semakin tinggi.
Menurut Bono et al. (2014), karagenan juga dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas dari produk daging. Aplikasi terbesar semi-refined karagenan adalah untuk
menghasilkan pet food. Viskositas gel dan kekuatan gel dipengaruhi oleh konsentrasi
larutan KOH, waktu pemasakan, dan temperatur pemasakan. Viskositas gel akan
semakin meningkat seiring dengan menurunnya waktu dan temperatur pemasakan, serta
konsentrasi KOH. Sedangkan kekuatan gel akan meningkat seiring dengan
meningkatnya waktu dan temperatur pemasakan, serta konsentrasi KOH.
Menurut Bajpai & Pradeep (2013), semakin tinggi konsentrasi kappa karagenan akan
memberikan gel elastis yang lembut cocok untuk daging kaleng maupun makanan
11
peliharan, dan pasta gigi. Konsentrasi karagenan yang sangat rendah, sekitar 100-200
ppm, digunakan untuk menstabilkan dan mencegah terjadinya pemisahan whey pada
berbagai dairy product. Karagenan akan berinteraksi dengan protein susu membentuk
jaringan yang stabil. Jaringan inilah yang akan mencegah terjadinya interaksi antar
protein dan agregasi selama penyimpanan. Pada produk susu yang memerlukan gelasi
atau viskositas tertentu, karagenan biasanya dipilih karena alasan fungsi dan faktor
ekonomi. Pada makanan penutup yang berbentuk gel, kappa karagenan merupakan
gelling agent yang paling ekonomis, yang akan memberikan kepadatan tertentu dan
banyak digunakan persiapan bahan bubuk dalam pembuatan puding.
12
4. KESIMPULAN
Eucheuma cottonii menghasilkan karagenan tipe kappa yang dapat membentuk
gel yang paling kuat dengan kehadiran ion kalium.
Gel yang dibentuk oleh kappa karagenan bersifat kuat, namun mudah mengalami
sineresis, serta memiliki sifat sinergis terhadap beberapa gum.
Viskositas karagenan yang dihasilkan dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi, dan
jenis karagenan.
Faktor yang berpengaruh terhadap proses dan hasil ekstraksi antara lain: jenis
pelarut yang digunakan, temperatur ekstraksi, ukuran padatan yang diekstrak,
perbandingan antara berat bahan dengan jumlah pelarut yang digunakan, cara dan
lama pengadukan atau ekstraksi.
Tujuan dari proses penghancuran rumput laut adalah untuk memperluas
permukaan sampel, sehingga dapat mempercepat proses selanjutnya sehingga
berjalan lebih sempurna.
Fungsi penambahan air dan perebusan adalah untuk mengekstrak karagenan dari
rumput laut.
Karagenan stabil pada pH 8.
Penambahan NaCl bertujuan untuk mengaktifkan kemampuan pembentukan gel
karagenan secara thermo-reversible, sehingga dapat mengaktifkan peran
karagenan sebagai larutan pengental dan gelling-agent.
Cairan IPA berfungsi untuk mengendapkan serat-serat karagenan.
Persentase rendemen yang diperoleh dipengaruhi oleh tingginya konsentrasi
larutan basa yang ditambahkan.
Konsentrasi larutan basa yang terlalu tinggi akan menyebabkan berkurangnya
yield karagenan yang dihasilkan.
Semakin tua umur rumput laut, maka karagenan yang dihasilkan akan berjumlah
banyak, sehingga rendemen yang dihasilkan akan semakin tinggi pula.
Karagenan ini banyak diaplikasikan dalam industri makanan, untuk membuat gel
dalam sirup, saus, selai, makanan bayi, daging, ikan, produk susu, bumbu dan
sebagainya.
13
Semarang, 29 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen :
Debora Rika Angelita Ignatius Dicky A. W.
(13.70.0041)
14
5. DAFTAR PUSTAKA
Alfonso, M. & Edward J. F. (1992). Dasar-dasar Fisika Universitas Edisi 2. Erlangga.
Jakarta.
Anggadiredja, J. T.; A. Zatnika; H. Purwoto & S. Istina. (2006). Rumput Laut,
Pembudidayaan, Pengolahan & Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Angka, S. L. & M. T. Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, M. (1993). Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Aslan, L. M. (1998). Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Jakarta.
Atmadja, W. S.; A. Kadi; Sulistijo & Rachmaniar. (1996). Pengenalan Jenis-jenis
Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta.
Bajpai, S. K., & Pradeep, T. (2013). Studies on equilibrium moisture absorption of
kappa carrageenan. International Food Research Journal, 20(5), 2183–2191.
Bawa, I. G. A. G.; B. Putra & I. R. Laila. (2007). Penentuan pH Optimum Isolasi
Karaginan dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii. Jurnal Kimia, Vol.1 No.1:
15-20.
Bono, A., Anisuzzaman, S. M., & Ding, O. W. (2014). Effect of process conditions on
the gel viscosity and gel strength of semi-refined carrageenan (SRC) produced
from seaweed (Kappaphycus alvarezii). Journal of King Saud University -
Engineering Sciences, 26(1), 3–9.
Campo, V. L.; Kawano, D. F.; S. Júnior; D. B. I. Carvalho. (2009).
Carrageenans: Biological Properties, Chemical Modifications and Structural
Analysis, Carbohydrate Polymers, 77, 167-180.
Candra, B. A. (2011). Karakteristik Pigmen Fikosianin dari Spirulina fusiformis yang
Dikeringkan dan Diamobilisasi. Insitut Pertanian Bogor.
Distantina, S. ; Wiratni; Moh. Fahrurrozi; and Rochmadi. (2011). Carrageenan
Properties Extracted From Eucheuma cottonii, Indonesia. World Academy of
Science, Engineering and Technology 54 : 738-742.
Glicksman. (1983). Food Hydrocolloids. CRC Press. Boca Raton FL.
Imeson, A. (2010). Food Stabilisers, Thickeners and Geliing Agents. John Wiley &
Sons Ltd. Oxford.
15
Kimball, J. W. (1992). Biologi Umum. Erlangga. Jakarta.
Mahmood, W. A. K., Khan, M. M. R., & Yee, T. C. (2014). Effects of Reaction
Temperature on the Synthesis and Thermal Properties of Carrageenan Ester.
Journal of Physical Science, 25(1), 123–138.
Mappiratu. (2009). Kajian Teknologi Pengolahan Karaginan Dari Rumput Laut
Eucheuma cottonii Skala Rumah Tangga. Media Litbang 2 (1) : 01-06.
Mochtar, A. H., Parawansa, I., Ali, M. S. S., & Jusoff, K. (2013). Effects of Harvest
Age of Seaweed on Carragenan Yield and Gel Strength. World Applied Sciences
Journal, 26, 13–16.
Pelegrin, Y. F; Daniel, R. & Azamar, J. A. (2006). Carrageenan of Eucheuma isiforme
(Solieriaceae, Rhodophyta) from Yucata´n, Mexico. Effect of extraction
conditions. Botanica Marina Vol 49: page 65–71. Mexico.
Poncomulyo, T.; H. Maryani & L. Kristiani. (2006). Budidaya & Pengolahan Rumput
Laut. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Prasetyowati; Corrine, J. A. & D. Agustiawan. (2008). Pembuatan Tepung Karaginan
dari Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Berdasarkan Perbedaan Metode
Pengendapan. Jurnal Teknik Kimia, No. 2, Vol. 15 : Hlm 27-33.
Rahayu, U; H. Manik & N. Dolaria. (2004). Pembuatan Karaginan Kering dari Rumput
Laut Eucheuma cottonii. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, Vol.3, No. 2.
Reynold, T. D & Richards, P.A. (1996). Unit Oprations and Processes in Environmental
Engineering, 2nd
Edition. PWS Publishing Company. Boston.
Salasia, S.I.O.; Maryono, N; Hilmiati, R; Sulistyawan & S. Mumpuni. (2002). Daya
Hipokolesterolemik Karaginan Hasil Ekstrak Rumput Laut Euchema spinosum.
(“Hypocolesterolemic effects of carrageenan extracted from seeweed Euchema
spinosum”). Biota, Vol. VII (2), 83-88.
Sediadi, A. & U. Budihardjo. (2000). Rumput Laut Komoditas Unggulan. Grasindo.
Jakarta.
Setyowati, D; B. B. Sasmita & H. Nursyam. (2000). Pengaruh Jenis Rumput Laut dan
Lama Ekstraksi tehadap Peningkatan Kualitas Karaginan. Penelitian Fakultas
Perikanan Bogor. Bogor.
Sumiarsih, E. & H. Indriani. (1995). Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput
Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suyitno. (1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.
Jakarta.
16
Treybal, R.E., (1981). Mass Transfer Operation, 3th ed., p.p. 34-37, 88, Mc Graw Hill
International Editions, Singapore.
Webber, V., Carvalho, S. M. De, Ogliari, P. J., Hayashi, L., Luiz, P., & Barreto, M.
(2012). Optimization of the extraction of carrageenan from Kappaphycus alvarezii
using response surface methodology. Ciência E Tecnologia de Alimentos, 32(4), 1–
7.
Widyastuti, S. (2010). Sifat Fisik Dan Kimiawi Karagenan yang Diekstrak dari Rumput
Laut Eucheuma Cottonii dan E. Spinosum Pada Umur Panen yang Berbeda.
Agroteksos, Vol. 20, No.1 : hlm 41 – 50.
Yasita, D. & I. D. Rachmawati. (2006). Optimasi Proses Ekstraksi Pada Pembuatan
Karaginan Dari Rumput Laut Eucheuma cottonii Untuk Mencapai Foodgrade.
Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
17
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
%rendemen= (berat kering)/(berat basah)×100%
Kelompok D1:
%rendemen= 2,74/40×100% = 6,85%
Kelompok D2
%rendemen= 2,68/40×100% = 6,7%
Kelompok D3
%rendemen= 3,20/40×100% = 8 %
Kelompok D4
%rendemen= 3,02/40×100% = 7,55%
Kelompok D5
%rendemen= 3,46/40×100% = 8,65%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal