ekspresi bax
-
Upload
desi-rara-andika -
Category
Documents
-
view
69 -
download
2
description
Transcript of ekspresi bax
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional dengan
menggunakan bahan baku tanaman herbal sebagai obat untuk mencegah maupun
menanggulangi berbagai keluhan dan penyakit. Sebagian besar masyarakat banyak
yang berpendapat bahwa yang alami adalah yang terbaik dan yang lebih aman untuk
dikonsumsi, serta memiliki sedikit efek samping yang berbahaya bagi tubuh. Salah
satunya adalah pemanfaatan daun sirsak (Annona muricata L) sebagai pengobatan
kanker. Kandungan kimia dari sirsak adalah saponin, flavonoid, tanin, kalsium,
fosfor, hidrat arang, vitamin (A, B, dan C), fitosterol, Ca‒oksalat dan alkaloid
murisine (Mangan, 2009). Akan tetapi harus tetap dipahami bahwa bahan yang alami
tetap bisa saja menimbulkan efek samping.
Annona muricata atau tanaman sirsak dapat tumbuh dimana-mana, baik pada
daerah tropis maupun nontropis. Tanaman ini menjadi terkenal karena
kemampuannya menghambat sel kanker melalui mekanisme inhibisi kompleks I
mitokondrial sel. Kemampuan tersebut disebabkan karena sirsak memiliki senyawa
metabolit sekunder yang dikenal dengan istilah Annonaceous acetogenins.
Penurunan jumlah ATP akibat dari inhibisi kompleks I mitokondrial yang nantinya
akan menginduksi terjadinya apoptosis (Champy, 2004).
Selain acetogenin maka sirsak juga mengandung senyawa lainnya yaitu
flavonoid dan terpenoid. Senyawa golongan flavonoid juga mampu menginduksi
apoptosis dan menghentikan siklus melalui mekanisme inhibisi enzim topoisomerase.
Senyawa terpenoid dapat pula memblok siklus sel pada fase G2/M dengan
menstabilkan benang-benang spindle pada fase mitosis sehingga proses mitosis dapat
terhambat. Terpenoid juga dapat memicu apoptosis melalui mekanisme seperti
flavonoid (Retnani, 2011).
Ada mekanisme yang berbeda pada terjadinya apoptosis, yang pertama adalah
diinisiasi oleh signal yang timbul di dalam sel. Mekanisme yang kedua dipicu oleh
2
kematian aktivator yang mengikat reseptor di permukaan sel, dan yang ketiga dipicu
oleh reactive oxygen species (ROS). Pada apoptosis tidak memerlukan suatu proses
transkripsi atau translasi. Molecular machine yang dibutuhkan untuk kematian sel
dianggap mengalami dormansi dan hanya memerlukan aktivasi yang cepat. Signal
yang menginduksi apoptosis bisa berasal dari ekstraseluler dan intraseluler (Li et al.,
2008).
Walaupun beberapa buku mengungkapkan bahwa pengobatan dengan
menggunakan daun sirsak relatif aman dibandingkan dengan kemoterapi tetapi
beberapa fakta penelitian menunjukkan bahwa penggunaan senyawa acetogenin dapat
berefek pada sel normal. Hal ini dibuktikan dari penelitian Champy et al. (2004),
dimana dijumpai senyawa murni acetogenin dalam jaringan otak tikus sehat dan
adanya kerusakan neuron dopaminergik otak tikus sehingga menimbulkan gejala
mirip parkinson pada tikus sehat tersebut (Tanton, 2011; Champy et al., 2004).
Mekanisme lainnya adalah bahwa acetogenin mampu memberhentikan siklus sel
kanker pada fase G1 dan menghambat kemajuan siklus sel menuju fase S dengan cara
menginduksi ekspresi p53, p21, Bax dan Bad pada cell line kanker (Hadi, 2011).
Senyawa acetogenin mampu menginduksi apoptosis sel kanker maupun sel
sehat. Nascimento et al. (2011), menyebutkan adanya peningkatan indeks apoptosis
pada sel hepar tikus yang diberi ekstrak ethanol daun srikaya dengan pewarnaan HE.
Pada sel kanker terjadi peningkatan apoptosis melibatkan gangguan ekspresi Bax /
bcl2 menyebabkan gangguan potensial aksi membran mitokondria. Hal ini
menyebabkan terlepasnya senyawa sitokrom C yang akan mengaktivasi caspase dan
PARP. Selanjutnya, terjadi fragmentasi DNA yang menginduksi apoptosis sehingga
terjadi kematian sel. Senyawa acetogenin terbukti mampu meningkatkan ekspresi bax
sehingga menginduksi apoptosis sel (Li et al., 2008). Selain mekanisme apoptosis,
ekstrak daun sirsak dapat mengakibatkan nekrosis sel tubular dan glomerulus ginjal
yang sehat melalui mekanisme caspase 9 (Dayeef, 2013).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Li et al. (2008) menunjukkan bahwa
senyawa acetogenin memiliki aktivitas antikanker. Dalam hal ini juga terdapat
3
kerusakan DNA yang disebebkan oleh annonaceous acetogenins yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan dari nitrit oksida dan ROS. Sehingga mengganggu pada
intermembran mitokondria dan mengaktifkan caspase 3, 7, 8, dan 9 sehingga
menyebabkan apoptosis melalui mekanisme bax pada sel kanker (Li et al., 2008).
Berdasarkan uraian diatas bahwa senyawa acetogenins dapat menimbulkan kerusakan
pada beberapa sel sehat melalui mekanisme apoptosis yang diduga melibatkan bax,
sehingga perlu diadakan penelitian tentang pengaruh pemberian subkronik ekstrak air
daun sirsak (Annona muricata) terhadap ekspresi Bax pada tubulus ginjal tikus
(Rattus norvegicus).
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui
efek pemberian ekstrak air daun sirsak (Annona muricata L) terhadap ekspresi bax
pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah
penelitian ini yaitu:
1. Apakah terdapat pengaruh pemberian ekstrak air daun sirsak (Annona muricata
L.) terhadap ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus).
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak air daun sirsak (Annona muricata
L.) terhadap ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus).
1.4 Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti bahwa penelitian dengan judul “Pengaruh
Pemberian Ekstrak Air Daun Sirsak (Annona muricata) terhadap Ekspresi Bax pada
Tubulus Ginjal Tikus (Rattus norvegicus)” adalah penelitian yang benar-benar baru
4
dan belum ada yang meneliti sebelumnya. Namun, ada penelitian yang menyerupai,
yaitu:
1. Nascimentoet al. (2011) dengan penelitiannya yang berjudul “Investigation of
the toxic potential of crude ethanol extract of Annona coriacea (araticum) seeds
in acute exposed mice”. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan
ekstrak etanol biji araticum (Annona coriacea) yang segenus dengan sirsak
(Annona muricata L.) akan terjadi hepatotoksik yang ditandai dengan adanya
penurunan jumlah sel tiap area, perubahan morfologi dari nukleus hepatosit dan
vakuolisasi sitoplasma serta penurunan nafsu makan. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian Nascimento et al. yaitu pada penelitian Nascimentoet al.
menggunakan ekstrak etanol biji araticum (Annona coriacea) dengan dosis 12.5,
25, 50 dan 100 mg/kgBB/hari selama 4 hari sedangkan pada penelitian ini
menggunakan ekstrak air daun sirsak (Annona muricata L.).Pada penelitian yang
dilakukan oleh Nascimentoet al.terjadi peningkatan indeks apoptosis. Perbedaan
antara penelitian ini dan dengan penelitian yang dilakukan Nascimentoet
al.adalah indeks apoptosisnya menggunakan metode HE sedangkan penelitian ini
menggunakan IHC dengan antibodi Bax.
2. Dayeef et al. (2013) dengan penelitian yang berjudul “The influence Of Annona
Muricata Leaves Extract In Damaging Kidney Cell And Inducing Casapase-9
Activity”. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun
Annona muricata Linn pada tingkat kretainin serum dan kerusakan struktur sel
tubular yang mempengaruhi fungsi sel ginjal dan caspase-9 ekspresi dalam
glomerulus dan sel tubular. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa dengan
penggunaan tanaman Annpna muricata selama 40 hari dengan dosis 10, 20, dan
40 mg/kgBB secara oral, menyebabkan kerusakan pada ginjal dan akhirnya
timbul gagal ginjal.
5
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah dan
sebagai dasar penelitian lebih lanjut mengenai Pengaruh Pemberian Ekstrak Air Daun
Sirsak (Annona muricata) terhadap Ekspresi Bax pada Tubulus Ginjal Tikus (Rattus
norvegicus).
1.5.2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menyediakan informasi mengenai
efek samping penggunaan daun sirsak (Annona muricata L.) dalam pengobatan
herbal.
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1. Annona Muricata L
Annona muricata L. merupakan tanaman tropis, buah sirsak ini dikenal dengan
nama soursop, guanabana, carossel, thurian-thet dan graviola tree. Nama sirsak
berasal dari bahasa Belanda, Zuurzak yang berarti kantung yang asam. Sirsak
(Annona muricata L.) berupa tumbuhan yang berbatang dengan ukuran kecil dan
rendah. Tumbuhan ini dapat tumbuh di sembarang tempat. Tetapi untuk memperoleh
hasil buah yang banyak dan besar-besar, maka yang paling baik sirsak ini ditanam di
daerah yang tanahnya cukup mengandung air. Di Indonesia, sirsak tumbuh dengan
baik pada daerah yang mempuyai ketinggian kurang dari 1000 meter di atas
permukaan laut. Klasifikasi tanaman sirsak sebagai berikut (Suranto, 2012).
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Renales
Famili : Annonaceae
Genus : Annona
Spesies : Annona muricata L.
Bentuk dari daun sirsak memanjang dengan ukuran panjang 6-18 cm, tepi
rata, berbentuk bulat telur dan agak tebal. Pada permukaan bagian atas yang halus
berwarna hijau tua sedangkan pada bagian bawahnya mempunyai warna lebih muda
(Suranto, 2012). Pada hakikatnya tumbuhnya sirsak tidak mengenal waktu, tanaman
sirsak dapat tumbuh sewaktu-waktu. Tanaman ini termasuk jenis tanaman yang
memiliki akar kuat, mampu menghasilkan buah yang menyehatkan. Terdapat
keistimewaan yang dimiliki tanaman ini dan terletak pada daunnya yang luar biasa.
7
Seperti telah diketahui manfaat daun sirsak sangat luar biasa yakni mampu
menghambat pertumbuhan bakteri, membantu menghambat perkembangan virus,
membantu menghambat perkembangan parasit, membantu menghambat pertumbuhan
tumor, membantu merileksasi otot, sebagai anti kejang, membantu meredakan nyeri,
mampu menekan peradangan, menurunkan kadar gula darah, menurunkan demam,
menurunkan tekanan darah tinggi, mengurangi stres, menguatkan pencernaan dan
meningkatkan nafsu makan (Suranto, 2012).
Tanaman ini mudah didapatkan karena tanaman ini bisa ditanam di mana saja.
Karena kurangnya pengetahuan mengenai khasiatnya, tanaman sirsak tidak begitu
banyak dibudidayakan, sehingga hanya tumbuh liar begitu saja dan akhirnya tanaman
ini mati. Padahal potensi dari tanaman sirsak bagi kesehatan sangat luar
biasasehingga dapat digunakan sebagai obat herbal. Senyawa bioaktif yang berasal
dari tanaman sirsak atau Annona muricata telah lama diteliti dan terbukti bersifat
antikanker, selain itu juga bersifat antiparasit, insektisida, anticacing, antibakteri, dan
antivirus. Senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstrak dari daun sirsak, bernama
annonaceous acetogenin dan telah berhasil dilakukan analisa secara kualitatif.
Acetogenins merupakan fitokimia yang berguna untuk pencegahan kanker dan virus
dalam tubuh, sehingga mampu mencegah pembentukan zat-zat penyebab kanker
dalam tubuh (Wicaksono, 2012).
Senyawa annonaceous acetogenins yang terkandung didalam daun sirsak
bersifat sitotoksik bagi sel kanker dan tumor. Cara kerja senyawa acetogenins adalah
dengan memblokir transportasi ATP (adenosin trifosfat) dalam sel kanker. Sebagai
antikanker, annonaceous acetogenins bersifat sebagai inhibitor kompleks I
(nicotinamide adenine dinucloetide (NADH), ubiquinone, oxidoreductase) rantai
respirasi mitokondrial. Kemampuan senyawa acetogenins dalam menghambat kedua
enzim tersebut akan menyebabkan sel kekurangan ATP yang pada akhirnya dapat
menimbulkan kematian sel kanker (Wicaksono, 2012).
Pengaruh lain acetogenins adalah mampu meningkatkan sekresi dopamin dari
neuron dopaminergik sehingga menimbulkan efek positif jika digunakan dalam
8
jangka pendek. Sebaliknya, penggunaan jangka panjang akar Annona muricata dapat
menyebabkan degenerasi neuron dopaminergik melalui mekanisme penghambatan
kompleks I mitokondrial yang menyebabkan sel kekurangan ATP sehingga terjadi
degenerasi neuron (Champy et al., 2004).
Untuk khasiat yang terdapat pada daun sirsak memang luar biasa, namun
bagaimana cara kita dalam mengolah daun sirsak ini juga memberikan hasil yang
berbeda. Faktor yang berperan dalam dalam hal ini diantaranya adalah dalam
pemilihan daun sirsak, biasanya daun sirsak yang akan digunakan sebagai obat lebih
baik diambil dari tanaman pekarangan yang tumbuh didataran rendah karena daun
sirsak ditempat tersebut banyak mendapat intensitas cahaya matahari lebih banyak.
Karena semakin banyak terkena sinar matahari, maka proses fotosintesis juga akan
lebih tinggi dan akan terbentuk acetogenin yang lebih banyak. Selain itu, untuk tipe
daun juga berpenguaruh, daun yang baik untuk digunakan sebagai obat adalah daun
yang tidak berlubang dan daunnya masih terlihat utuh, hal ini menandakan bahwa
daun tersebut tidak terserang hama ataupun penyakit (Suranto, 2012).
2.1.2 Mekanisme Apoptosis
Tubuh manusia normal memiliki suatu mekanisme keseimbangan (homeo-
stasis) antara pertumbuhan (proliferasi) dan kematian sel (cell death). Hal ini berguna
untuk pertumbuhan normal. Bila salah satu keseimbangan terganggu akan
menyebabkan suatu penyakit, misalnya bila pertumbuhan sel lebih cepat dari
kematian sel maka akan menimbulkan alzheimer dan penyakit parkison. Apoptosis
adalah kematian sel terprogram dengan tujuan untuk menghilangkan sel yang tidak
diinginkan dan mengurangi jumlah sel yang terlalu banyak, sehingga jumlah sel
dalam jaringan organisme multiseluler dapat dikendalikan. Selain itu apoptosis juga
menghilangkan sel yang berbahaya bagi tubuh. Oleh karena itu, apoptosis memiliki
peranan penting untuk perkembangan, homeostasis jaringan, dan proteksi terhadap
pathogen (Li et al., 2008).
9
Apoptosis berasal dari bahasa Yunani, apo "dari" dan ptosis "jatuh". Apoptosis
digunakan oleh organisme multisel untuk membuang sel yang sudah tidak diperlukan
oleh tubuh. Apoptosis pada umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat
menguntungkan bagi tubuh, contoh nyata dari keuntungan apoptosis adalah
pemisahan jari pada embrio. Apoptosis yang dialami oleh sel-sel yang terletak di
antara jari menyebabkan masing-masing jari menjadi terpisah satu sama lain. Istilah
apoptosis (a-po-toe-sis) pertamakali digunakan Kerr, Wyllie dan Currie di tahun 1972
untuk menjelaskan pebedaan secara morfologi dari kematian sel, meskipun
komponen tertentu dari konsep apoptosis baru dijelaskan dengan tegas beberapa
tahun belakangan. Apoptosis telah diakui dan diterima secara khusus dari program
kematian sel, yang mana meliputi penghancuran secara genetik dari sel tersebut
(Kumar et al., 2007).
Apoptosis merupakan istilah yang diberikan bila kematian sel terprogram
yang terjadi di dalam organisme multisel dengan melibatkan serangkaian peristiwa
biokimia yang menyebabkan karakteristik morfologi sel tertentu dan akhirnya
kematian sel. Karakteristik morfologi sel-sel yang mengalami apoptosis termasuk
perubahan pada membran sel seperti penyusutan sel, fragmentasi nuklir, kondensasi
kromatin, fragmentasi DNA dan kromosom. Apoptosis terjadi secara normal selama
perkembangan, penuaan dan seperti mekanisme homeostasis untuk mengendalikan
populasi sel di dalam jaringan. Apoptosis juga terjadi sebagai mekanisme pertahanan
seperti reaksi imun atau ketika sel rusak karena patogen yang berbahaya. Meskipun
banyak variasi yang menstimulasi dan berbagai kondisi dapat memicu terjadinya
apoptosis, tetapi tidak semua sel merespon dengan kematian dari stimulus yang sama.
Beberapa hormon, seperti kortikosteroid, mungkin memicu apoptosis pada beberapa
sel seperti sel timus (Rodriguez et al., 2001).
Pada sel ditemukan suatu protein yang berperan sebagai faktor pengendalian
pertumbuhan sel, yang disebut sebagai tumor suppresor protein yang termasuk
kelompok dari protein tersebut antara lain protein retinoblastoma yang disandi oleh
pRb (PRb) dan protein 53 yang disandi oleh gen p53 (P53). Kedua jenis protein ini
10
bekerja pada inti sel, yaitu pRb berperan pada pengendalian faktor transkripsi pada
siklus pembelahan sel. Sedangkan p53 berperan pada pengendalian siklus
pembelahan sel dan apoptosis, yaitu pemeliharaan replikasi DNA dan merusak sel
yang memiliki urutan nukleotida yang abnormal. Selain itu pada sel ada suatu sistem
yang mengatur susunan nukleotida pada rantai DNA yang dikenal dengan DNA
repair. Kerja dari sistem ini adalah untuk memperbaiki urutan DNA yang mengalami
mutasi. Artinya apabila terjadi kerusakan karsinogen dan atau ultraviolet, maka
timbullah suatu respons yang disebut sebagai NER (nucleotide excision repair)
(Kumar et al., 2007).
Terjadinya perubahan sifat pada sel eukariota tidak hanya dipengaruhi adanya
satu gen yang mengalami mutasi, melainkan karena adanya akumulasi dari berbagai
mutasi (multi gene defect). Berbagai fenomena menjelaskan bahwa terjadinya suatu
keganasan adalah sangat kompleks yaitu adanya akumulasi mutasi dari berbagai gen
seperti kelompok protooncogene dan kelompok tumor suppresor gene. Untuk
mengendalikan keseimbangan pertumbuhan maka gen yang mengalami mutasi harus
diperbaiki yaitu melalui mekanisme DNA repair. Apabila DNA repair tidak manpu
mengatasinya, maka sel tersebut harus dimusnahkan (apoptosi) melalui mitokondria.
Demikian juga halnya bila terjadi kegagalan pada penanganan apoptosi melalui
mitokodria, maka untuk mengeksekusi sel abnormal tersebut, digunakanlah suatu
sistem pertahanan imunologik yaitu melalui respons imun khususnya respons imun
seluler (Rodriguez et al., 2001).
Apoptosis dibagi menjadi 3 fase yaitu fase induksi, fase efektor, fase degradasi.
Pada fase induksi tergantung pada sinyal penyebab kematian yang menstimulasi
sinyal proapoptotik dan memulai kaskade. Sinyal penyebab kematian tersebut antara
lain reactive oxygen species (ROS), aktivasi berlebihan dari jalur Ca2+, protein
famili B cell lymphoma 2 (Bcl2) seperti Bcl2 associated x protein (Bax) dan Bcl-2
associated death promotor (Bad). Pada fase efektor, sel akan mengalami kematian
karena kerja pusat pengatur yaitu mitokondria mengarah pada kematian sel. Fase
terakhir yaitu fase degradasi melibatkan serangkaian peristiwa yang terjadi baik di
11
sitoplasma maupun di dalam inti sel. Apoptosis terjadi melalui 2 jalur yang dipicu
oleh bermacam-macam faktor baik eksternal maupun internal (Hengartner, 2000).
Apoptosis melalui faktor eksternal disebut jalur ekstrinsik (death receptor pathway),
sedangkan melalui faktor internal disebut jalur intrinsik atau jalur mitokondria
(mitochondrial pathway) (Crow et al., 2004).
Jalur ekstraseluler (death receptor pathway) diinisiasi melalui stimulasi dari
reseptor kematian (death receptor) sedangkan jalur intraselular (mitochondrial
pathway) diinisiasi melalui pelepasan faktor signal dari mitokondria dalam sel.
Peristiwa apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dari adanya pelepasan molekul signal
yang disebut ligan oleh sel lain tetapi bukan berasal dari sel yang akan mengalami
apoptosis. Ligan tersebut berikatan dengan death receptor yang terletak pada
transmembran sel target yang menginduksi apoptosis (Kumar et al., 2007).
Death receptor yang terletak di permukaan sel adalah famili reseptor TNF
(Tumor Necrosis Factor), yang meliputi TNF-R1, CD 95 (Fas), dan TNF-Related
Apoptosis Inducing Ligan (TRAIL)-R1 dan R2. Ligan yang berikatan dengan
reseptor tersebut akan mengakibatkan caspase inisiator 8 setelah membentuk trimer
dengan adaptor FADD (Fas Associeted Death Domain). Kompleks yang terbentuk
antara ligan-reseptor dan FADD disebut DISC (Death Inducing Signaling Complex).
CD 95, TRAIL-R1 dan R2 terikat dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara
tidak langsung melalui molekul adaptor lain, yaitu TNF-Reseptor Associeted Death
Domain protein (TRADD) (Kumar et al., 2007).
12
Gambar 1. Mekanisme jalur apoptosis (Kumar et al., 2007)
Stress mitokondria yang menginduksi apoptosis jalur intrinsik disebabkan
oleh senyawa kimia atau kehilangan faktor pertumbuhan, sehingga menyebabkan
gangguan pada mitokondria dan terjadi pelepasan sitokrom c dari intermembran
mitokondria. Protein capcase 8 akan memotong anggota famili Bcl-2 yaitu Bid.
Kemudian Bid yang terpotong pada bagian ujungnya akan menginduksi insersi Bax
dalam membran mitokondria dan melepaskan molekul proapoptotik seperti sitokrom
c, dan Apoptosis Inducing Factor (AIF). Dengan adanya ATP akan terbentuk
kompleks antara sitokrom c, APAF 1 dan caspase 9 yang disebut apoptosom.
Selanjutnya, capcase 9 akan mengaktifkan down stream procaspase 3. Protein caspase
13
3 yang aktif memecah berbagai macam substrat, diantaranya enzim DNA repair
seperti Poly ADP Ribose Polymerase (PARP) dan DNA protein kinase yaitu protein
struktural seluler dan nukleus, termasuk aparatus mitotik inti, lamina nukleus, dan
aktin serta endonuklease, seperti Inhibitor Caspase Aktivated Deoxyribonuklease
(ICAD) dan konstituen seluler lainnya. Selain itu, caspas 3 juga mempunyai
kemampuan untuk mengaktifkan caspese lainnya, seperti procaspase 6 dan
procaspase 7 yang memberikan amplifikasi terhadap kerusakan seluler (Kumar et al.,
2007).
2.1.3 Bax
Bax merupakan anggota dari gen Bcl-2. Apoptosis regulator bax
mempromosikan apoptosis dengan cara mengikat dengan Bcl-2 protein. Apoptosis
regulator bax juga dikenal sebagai protein Bcl-2 seperti protein yang ada di manusia
dikodekan oleh gen Bax (Hadi, 2011). Bcl-2 merupakan salah satu anggota dari
family protein Bcl-2 yang dibedakan menjadi 3 kelompok kecil. Kelompok pertama
bersifat antiapoptosis yang terdiri dari BCl-2, Bcl-xl dan Bcl-w. protein pada
kelompok ini mencegah kematian sel dengan cara mengikat anggota family Bcl-2 dari
kelompok yang lain. Pada kelompok kedua bersifat proapoptosis yang terdiri dari
Bax, Bak dan Box, aktivitas dari anggota ini adalah dapat menstimulasi pelepasan
sitokrom C dari membrane mitokondria. Yang berikutnya adalah kelompok ketiga
yang mempunyai sifat proapoptosis yang terdiri dari Bid, Bad, dan Bim. Pada protein
kelompok ini mendorong kematian sel sebagi protein adaptor yang terikat pada jalur
upstream untuk memutuskan berlangsungnya apoptosis (Lie et al, 2013).
Gen bax adalah yang pertama diidentifikasi oleh proapoptosis protein Bcl-2.
Protein Bcl-2 ini mempunyai karakter homolog berupa Bcl-2 homologi (BH) domain
diantaranya BH1, BH2, BH3 dan BH4, dan dapat membentuk hemodimer. Protein
Bcl-2 bertindak sebagai antiregulator atau proapoptosis yang terlibat dalam berbagai
proses selular. Beberapa anggota dari Bax yang merupakan antiapoptosis diantaranya
seperti Bcl-2. Bcl-xl, dan MCL1 dan sisanya merupakan proapoptosis. Bax itu sendiri
14
merupakan proapoptosis protein Bcl-2 yang mengandung BH1, BH2, dan BH3
domain (Lie et al, 2013).
Pada ekspresi Bax diregulasi oleh protein p53 yang merupakan faktor
transkripsi pada saat diaktifkan sebagai bagian dari respon sel terhadap stres dan
mengatur banyak gen target termasuk Bax. Dengan demikin ada kemungkinan bahwa
p53 dapat menginduksi apoptosis. Dalam hal ini p53 mempunyai peran transkripsi
independen dalam apoptosis, sehingga secara khusus p53 berinteraksi dengan Bax,
kemudian mempromosikan aktivasi kedalam membrane mitokondria, dan menjadikan
Ekspresi Bax sekitar 50 kali lipat (Lie et al., 2013).
2.1.4 Mekanisme Acetogenin Menginduksi Bax
Selain acetogenin, sirsak memiliki senyawa yang sifatnya sitotoksik yaitu
anonaine. Ada mekanisme yang berbeda pada terjadinya apoptosis, yang pertama
adalah diinisiasi oleh sinyal yang timbul di dalam sel. Mekanisme yang kedua dipicu
oleh kematian aktivator yang mengikat reseptor di permukaan sel, dan yang ketiga
dipicu oleh reactive oxygen species (ROS). Pada manusia, acetogenin menyebabkan
kerusakan sel yang berkaitan dengan peningkatan oksida nitrat intraseluler, ROS,
glutathione (GSH) deplesi, mengganggu potensi transmembran mitokondria , aktivasi
caspase 3, 7, 8 & 9 aktivasi dan ADP poli ribosa polymerase pembelahan. Selain itu,
Acetogenin mengatur ekspresi protein p53 dan Bax (Li et al., 2013).
Pada apoptosis tidak memerlukan suatu proses transkripsi atau translasi.
Molekular machine yang dibutuhkan untuk kematian sel dianggap mengalami
dormansi dan hanya memerlukan aktivasi yang cepat. Signal yang menginduksi
apoptosis bisa berasal dari ekstraseluler dan intraseluler.Pada manusia, acetogenin
menyebabkan kerusakan sel yang berkatan dengan peningkatan oksida nitrat
intraselular, aktivasi caspase 3, 7, 8 dan 9, serta pembelahan dari ADP poli ribose (Li
et al., 2013).
15
Gambar 2. Mekanisme acetogenin menginduksi Bax (Li et al., 2013).
Pada ginjal tepatnya di tubulus proksimal dan tubulus konvulasi merupakan
bagian ginjal yang banyak terdapat mitokondria. Pada penelitian sebelumnya ekspresi
bax lebih banyak terdapat di tubulus proksimal dan konvulasi korteks ginjal tikus,
dan pada medulla ginjal hanya sedikit dijumpai ekspresi bax. Namun, pada bagian
glomerulus tidak ditemukan adanya ekspresi bax. Hal ini sesuai dengan fisiologis
ginjal dimana bax akan terekspresikan di tubulus proksimal dan konvulatus korteks
ginjal. Secara fisiologis glomerulus ginjal tidak terdapat ekspresi bax (Song et al.,
2012).
16
Secara fisiologis, tubulus proksimal lebih rentan mengalami kerusakan
disebabkan oleh struktur histologi dan fisiologis yang berbeda dengan tubulus distalis
ginjal. Proses glikolisis di mitokondria tubulus proksimal ginjal lebih rendah
dibandingkan tubulus distalis ginjal (Song et al., 2012). Diketahui bahwa salah satu
faktor yang menghambat efek toksik senyawa acetogenin terhadap sel neuron adalah
adanya glikolisis (Kondhiker et al., 2007). Tingginya ekspresi bax pada tubulus
proksimal dapat disebabkan karena kemampuan glikolisis yang rendah dan akibat
efek samping dari pemberian ekstrak air daun sirsak.
Dalam hal ini ekstrak air daun sirsak dapat meningkatkan ekspresi bax pada
ginjal. Melalui sifat inhibitor kompleks 1 mitokondrial, senyawa acetogenin akan
meningkatkan oksida nitrat intraseluler, ROS, glutathione (GSH) deplesi,
mengganggu potensi transmembran mitokondria, aktivasi caspase 3, 7, 8 & 9 aktivasi
dan ADP poli ribosa polymerase pembelahan serta menginduksi protein p53 dan Bax
sehingga terjadi apoptosis sel (Li et al., 2013).
2.1.5 Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang merah dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Pada manusia, ginjal berukuran sebesar kepalan
tangan, yaitu berukuran panjang 10 sampai 12 cm, lebar 5-6 cm, dan tebal 3-4 cm
dengan berat sekitar 140 gram atau kurang lebih 0,4% dari berat badan. Ginjal
terdapat 1 pasang yang posisinya retroperitoneal, yang berarti terletak di belakang
peritoneum yang melapisi rongga abdomen. Disebelah anterior ginjal dilindungi oleh
organ intra peritoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hati, kolon dan duodenum.
Sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pancreas, jejunum dan kolon.
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1cm) dibanding ginjal kiri,
hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kedua ginjal
terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Pada setiap ginjal terdapat bukaan yang
disebut hilus yang menghubungkan arteri renal, vena renal, dan ureter (Tortora and
Derrickson, 2009).
17
Gambar 3. Posisi ginjal dalam rongga abdomen (Tortora and Derrickson, 2009)
Ginjal terselubungi oleh suatu lapis jaringan fibrosa yang disebut hilum yang
tampak halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan sangat ketat,
tetapi dapat terbuka dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut maka dapat terlihat
ginjal dengan permukaannya yang halus dan berwarna merah tua (Tortora and
Derrickson, 2009).
Lapisan luar terdapat lapisan korteks (substansia kortekalis), bagian korteks
dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan mudah terlaserasi. Bagian
yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana arteri dan nervus masuk, dan dimana
vena dan kelenjar limfe keluar dari ginjal disebut cortical coloumn atau columna
Bertini, sementara porsi yang menghubungkan antara satu cortical coloumn dengan
yang lainnya disebut cortical arch dengan kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3
cmdan (Tortora and Derrickson, 2009).
Bagian medulla dari ginjal, berwarna merah, striated, dan berbentuk kerucut,
(pyramids of malpighi) jumlahnya bervariasi dari 8-18 bergantung pada pembentukan
lobus organ pada masa embrional. Medula ginjal terbagi menjadi beberapa masa
jaringan berbentuk kerucut yang disebut piramida ginjal. Dasar dari setiap piramida
18
dimulai pada perbatasan antara korteks dan medula serta di akhiri pada papila, yang
menonjol ke dalam ruang pelvis ginjal yaitu sambungan berbentuk cerobong dari
ujung akhir ureter.
Gambar 4. Anatomi ginjal (Tortora and Derrickson, 2009)
Perbatasan pelvis sebelah luar terbagi menjadi kantong dengan ujung terbuka
yang disebut kalises mayor, yamg meluas kebawah dan terbagi menjadi kalise minor,
yang mengumpulkan urin dari tubulus setiap papila. Dinding kalises, pelvis, dan
ureter terdiri dari elemen-elemen kontraktil yang mendorong urin menuju kandung
kemih, dimana urin disimpan sampai dikeluarkan melalui mikturitis. Dalam setiap
pyramid ginjal terdapat berjuta- juta nefron. Nefron merupakan satuan fungsional
ginjal mengandung kira-kira 1,3 juta nefron dan tiap nefron dapat membentuk urina
sendiri. Selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah (Baldatina, 2008).
19
Gambar 5. Nefron ginjal
2.1.6 Histologi Ginjal
Ginjal dibagi menjadi 2 bagian korteks dan medula, pada korteks terdapat
malpighi pyramid atau dasar piramid dan kapsula bowman. Jaringan korteks diantara
pyramid-piramid membentuk kolum bertini ginjal. Koretks terdiri atas nefron, pada
manusia ginjal terdiri atas banyak lobulus yang masing-masing dengan piramid medula
dan jaringan korteks yang sesuai. Lobulus ginjal terdiri atas medulla dan jaringan
korteks yang mengelilingi ginjal. Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron. Setiap nefron
terdiri atas korpus ginjal yangterdiri atas kapsula bowman (bangunan berbentuk
cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler) dan tubulusyaitu tubulus kontortus
proksimalis dan tubulus kontortus distal (Gerhastuti, 2009).
20
Gambar 6. Gambaran histologi ginjal manusia (Damjanov, 1998)
1. Korpus Ginjal
a. Kapsula Bowman
Kapsul bowman merupakan pelebaran nefron dibatasi epitel yang
diinvaginasi oleh jumbai kapiler glomerulus sampai mendapatkan bentuk
seperti cangkir yang berdinding ganda. Terdapat rongga berupa celah yang
sempit disebut rongga kapsula, diantara lapisan luar atau parietal (epitel
kapsula) dan lapisan visceral (epitel glomerulus) yang melekat erat pada
jumbai kapiler. Korpus ginjal mempunyai polus vaskular tempat arteriol
aferen dan eferen masuk dan keluar glomerulus dan tempat lapisan parietal
kapsula membalik untuk melapisi pembuluh darah sebagai lapisan visceral.
Korpus ginjal juga mempunyai polus urinari pada sisi sebelahnya, tempat
rongga kapsula berhubungan dengan lumen tubulus kontortus proksimal dan
tempat epitel parietal (gepeng) melanjutkan diri pada epitel kuboid atau
silindris rendah tubulus kontortus proksimal (Gerhastuti, 2009).
21
Lapisan parietal kapsula bowman tersusun dari epitel selapis gepeng
denga inti agak menonjol ke rongga kapsula. Organel sitoplasma kurang
berkembang pada polus urinari, sel-sel gepeng ini bertambah tinggi melebihi
4-5 sel untuk berhubungan dengan epitel silindris rendahyang melapisi
dinding tubulus kontortus proksimal. Lapisan visceral epitel melekat erat pada
kapiler glomerulus dengan inti sel-sel epitel ini pada sisi kapsula lamina basal,
akan tetapi tidak membentuk lembaran yang utuh dan selnya telah mengalami
perubahan (Baldatina, 2008).
Sel ini disebut podosit dan pada dasarnya berbentuk seperti bintang
dengan badan selnya yang hampir tidak pernah melekat pada lamina basal
kapiler glomerulus. Dari prosesus primer meluas banyak prosesus sekunder
yang kecil yang melekat pada permukaan luar (kapsula) lamina basal kapiler.
Prosesus sekunder yang saling berdekatan saling berselang-seling dalam
susunan yang rumit dengan sistem celah yang disebut “celah filrasi”
(Gerhastuti, 2009).
b. Glomerulus
Glomerulus adalah masa kapiler yang berbelit-belit yang terdapat
sepanjang perjalanan arteriol dengan sebuah arteriol aferen memasuki
glomerulus dan sebuah arteriol eferen yang meninggalkan glomerulus.
Diameter arteriol lebih besar daripada diameter arteriol eferen dan akibatnya
glomerulus merupakan sebuah sistem yang bertekanan relatif tinggi,
membantu pembentukan cairan dalam jalinan kapiler. Waktu memasuki
korpuskel ginjal, arteriol aferen bercabang menjadi 3 sampai 5 buah cabang.
Dari sini kapiler timbul dan mengalir kecabang-cabang primer atau cabang
arteriol eferen. Jadi sekelompok kapiler dapat disebut lobulus glomerulus,
dengan sejumlah anastomosis diantara kapiler-kepiler suatu lobulus dan
bahkan antara lobulus yang bersisian (Baldatina, 2008).
Epitel parietal yaitu podosit mengelilingi sekelompok kecil kapiler dan
diantara ansa kapiler dekat arteriol aferen dan eferen terdapat tungkai dengan
22
daerah bersisian dengan lamina basal kapiler yang tidak dilapisi endotel.
Dalam daerah seperti itu terletak sel masangial. Sel ini berbentuk bintang
mirip perisit yang dijumpai di tempat laindengan cabang-cabang sitoplasma
yang kadang–kadang meluas di antara endotel dan lamina basal. Juga terdapat
kesamaan antara sel mesangial dan sel juxtaglomerular, baik secara struktural
maupun fungsinya. Keduanya berfungsi menyingkirkan protein besar dari
lamina basal yang mungkin tidak statistik, dengan menambahkan bahan baru
dari luar dan membuang bahan lama di bagian dalam oleh sel mesangial. Juga
dikatakan bahwa sel mesangial dapat dikatakan berkerut bila dirangsang oleh
angiotensin, denga akibat mengurangnya alirandarah dalam kapiler
glomerulus (Gerhastuti, 2009).
2. Tubulus
a. Tubulus proksimal
Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir
sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle).
Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar
dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu
sama lain. Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang
menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border). Tubulus ini
terletak di korteks ginjal.Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah
mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via
transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti
bikarbonat, akan diresorpsi (Young, 2002).
b.Tubulus distalis
Bagian ini adalah bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan letak
jauh dari kapsula Bowman, panjangnya 5 mm. Tubulus distal dari masing-
masing nefron bermuara ke duktus koligentis yang panjangnya 20 mm.
Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan medulla ginjal
23
bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus dan bermuara
pada duktus belini, seterusnya menuju kaliks minor, ke kaliks mayor, dan
akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis renalis pada apeks masing-
masing pyramid medulla ginjal. Panjang nefron keseluruhan di tambah
dengan duktus koligentis adalah 45-46 mm. Nefron yang berasal dari
glomerulus korteks mempunyai Ansa Henle yang memanjang ke dalam
pyramid medulla.Tubulus kontortus distal lebih pendek dari tubulus kontortus
proksimal sehingga pada sediaan tampak dalam jumlah yang lebih kecil dan
tidak mempunyai brush border. Biasanya 6-8 inti tampak pada potongan
melintang (Young, 2002).
Dengan mokroskop elektron sel-sel tampak kuboid dengan inti
ditengah atau di apeks, sedikti mikrovilus yang pendek dan vakuol apikal. Di
dalam sitoplasma bagian basal terdapat interdigitasi tonjolan-tonjolan sel
lateral yang rumit mirip dengan yang tampak pada tubulus proksimal dengan
mitokondria yang besar, tersusun radier dalam kompartemen yang terbentuk.
Hal ini memberikan gambaran bergaris pada bagian basal sel dan merupakan
mekanisme pompa natrium yang aktif dari cairan tubular.Setiap tubulus
kontortus distal dihubungkan oleh saluran penghubung pendek ke duktus
kolagens yang kecil. Nefron dan duktus koligens berbeda asal embriologinya
(Young, 2002)
3. Ansa Henle
Ansa henle berbentuk lurus dan tebal diteruskan ke segmen tipis selanjutnya
ke segmen tebal, panjangnya 12 mm, total panjangnya ansa henle 2-14 mm. Ansa
henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas atas ruas tebal desenden dengan
struktur yang mirip tubulus kontortus proksimal, ruas tipis desenden, ruas tipis
asenden dan ruas tebal asenden yang strukturnya mirip tubulus kontortus
proksimal. Di medula bagian luar, ruas tebal desenden dengan garis tengah luar
sekitar 60 mikrometer, secara mendadak menipis sampai sekitar 12 mikrometer
24
dan berlanjut sebagai ruas tipis desenden. Lumen ruas nefron ini lebar karena
dindingnya terdiri atas sel epitel gepeng yang intinya hanya sedikit menonjol
kedalam lumen (Junqueira, 2003).
Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks-
medula dan karenanya disebut nefron juxtamedula, nefron lainya disebut nefron
kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi. Akan
tetapi, nefron jukstamedula terutama penting untuk mempertahankan gradien
hipertonik dalam intertisium medula-dasar kesanggupan ginjal menghasilkan urin
hipertonik. Nefron jukstamedula memiliki lengkungan henle yang sangat panjang,
yang masuk jauh ke dalam medula. Lengkungan ini terdiri atasruas tebal desenden
yang pendek, ruas tipis desenden dan asenden yang panjang, dan ruas tebal
asenden. Sebaliknya nefron kortikal memiliki ruas tipis desenden yang sangat
pendek, tanpa ruang tipis asenden (Junqueira, 2003).
4. Duktus Koligentes
Dutus koligen bukan merupakan bagian dari nefron. Setiap tubulus kontortus
distal berhubungan dengan duktus koligens melalui sebuah cabang samping duktus
koligens yang pendek yang terdapat dalam berkas medular, terdapat beberapa
cabang seperti itu. Duktus koligens berjalan dalam berkas medula menuju ke
medula. Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa duktus koligens bersatu
membentuk duktus yang besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut
duktus papilaris (bellini) dengan diameter 100-200 mikrometer atau lebih. Muara
ke permukaan papila sangat besar, sangat banyak dan sangat rapat, sehingga papila
tampak seperti tapisan (area kribosa) (Young, 2002).
Sel-sel yang melapisi saluran ini bervariasi ukuran mulai dari kuboid rendah
dibagian proksimal sampai silindris tinggi di duktus papilaris utama. Batas sel
teratur dengan sedikit interdigitasi dan umumnya sel tampak pucat dengan
beberapa organel. Tipe sel kedua, sel gelap atau interkalaris mengandung lebih
banyak mengandung mitokondria dengan gelembung apikal, permukaan apikal
25
memperlihatkan lipatan (mikroplika). Sel ini ditemukan di duktus papilaris. Pada
duktus koligens yang besar ribosom bebas tampak menonjol dan rongga
intraselular yang lebar, dan ke dalamnya menonjol juluran mirip pseudopodia dari
sel yang bersisian. Duktus koligens menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis
ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon anti-diuretik
(ADH) (Junqueira, 2003).
2.1.7 Fisiologi Ginjal
Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih
dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi
sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara
menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan
tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil
akhir yang kemudian diekskresikan disebut urine (Sherwood, 2010).
Sebuah nefron terdiri dari sebuah komponen penyaring yang
disebut korpuskula (badan malphigi) yang dilanjutkan oleh saluran-saluran (tubulus).
Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah yang disebutglomerulus yang
berada dalamkapsula Bowman. Setiap glomerulus mendapat aliran darah dari
arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau
penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari
glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong
plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalan tubulus ginjal. Darah yang
telah tersaring akan meninggalkan ginjal lewat arteri eferen (Sherwood, 2010).
Dengan bantuan tekanan, cairan dalan darah didorong keluar dari glomerulus,
melewati ketiga lapisan tersebut dan masuk ke dalam ruangan dalam kapsula
Bowman dalam bentuk filtrat glomerular. Filtrat plasma darah tidak mengandung sel
darah atau pun molekul protein yang besar. Protein dalam bentuk molekul kecil dapat
ditemukan dalam filtrat ini. Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap
26
hari dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrat glomerular per
menitnya. Laju penyaringan glomerular ini digunakan untuk tes diagnosa fungsi
ginjal (Guyton, 2011).
Pada ginjal terjadi proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi. Filtrasi adalah
proses pasif yang terjadi melalui dinding semipermeabel glomerulus dan kapsul
glomerulus. Semua zat dengan massa molekul kurang dari 68 kilodalton (kDa)
terdorong keluar dari kapiler glomerulus untuk masuk ke kapsul Bowman. Jadi, air
dan molekul kecil masuk ke nefron, sedangkan sel darah, protein plasma, dan
molekul besar lainnya bertahan di darah. Isi kapsul Bowman disebut sebagai ”filtrat
glomerulus” dan kecepatan pembentukan cairan ini disebut sebagai “laju filtrasi
glomerulus” (glomerular filtration rate, GFR) (Sherwood, 2010).
Ginjal membentuk sekitar 180 liter cairan encer setiap hari (GFR sekitar 125
ml/mnt). Sebagian besar cairan ini secara selektif direabsorpsi sehingga volume akhir
urine yang dibentuk adalah sekitar 1 sampai 1,5 liter per hari. Filtrat glomerulus
direabsorpsi dari bagian lain nefron ke kapiler di sekitarnya. Tubulus kontortus
proksimalis merupakan bagian yng paling lebar dan panjang dari nefron keseluruhan
(sekitar 1,4 cm panjangnya). Sel yang melapisi bagian dalam saluran ini mengandung
sejumlah besar mitokondria untuk menghasilkan energi untuk manjalankan
transportasi aktif karena sebagian besar reabsorpsi filtrat glomerulus berlangsung
disini (Sherwood, 2010).
Reabsorpsi zat sisa umumnya inkomplit sehingga sejumlah besar urea
diekskresikan. Direabsorpsi zat lain berada dibawah pengendalian beberapa hormone.
Hormone antidiuretik (antidiuretic hormone, ADH) mengembalikan insersi protein ke
dalam dinding tubulus kontortus proksimalis dan duktus koligentes sehingga air dapat
meninggalkan filtrate yang menyebabkan jumlah urine berkurang. Pembentukan urine
yang pekat dipermudah oleh susunan fisik ansa henle dan kapiler disekitarnya yang
membentuk dan mempertahankan kondisi untuk reabsopsi air oleh osmosis.
Kalsitonin mengatur reabsopsi kalsium dan fosfat aldosteron mempengaruhi
reabsorpsi natrium (Sherwood, 2010).
27
Tubulus ginjal dapat mensekresi atau menambah zat-zat ke dalam cairan.
Filtrasi selama metabolisme sel-sel membentuk asam dalam jumlah besar. Namun,
pH darah dan cairan tubuh dapat dipertahankan sekitar 7,4 (alkalis). Sel tubuh
membentuk amoniak yang bersenyawa dengan asam kemudian disekresi sebagai
amonium supaya pH darah dan cairan tubuh tetap alkalis. Pada ginjal hormon yang
dihasilkan oleh ginjal diantaranya renin yang merupakan protein yang dihasilkan oleh
apparatus jukstaglomerular yang juga sebagai tempat menempelnya arterial efferen
dan tubuli distalsel bergranula/jukstaglomerulus, sel mesangial ekstraglomerulus, dan
sel makula densa (Guyton, 2011).
2.1.8 Ekspresi Bax pada Ginjal
Gambar 7. Ekspresi bax pada ginjal (Song et al., 2012)
28
Beberapa waktu terakhir ini telah dilakukan penelitian mengenai peranan Bax
terhadap ginjal, dan dalam penelitian tersebut menjelaskana bahwa Bax tidak hanya
mempunyai peran dalam proses apoptosis saja, tetapi Bax juga terlibat dalam proses
perkembangan ginjal dan perkembangan mitokondria. Sehingga dalam penelitian
tersebut didapatkan warna coklat yang menandai bahwa terjadi ekspresi Bax pada
ginjal. Namun, tidak semua bagian ginjal yang dapat terekspresi oleh Bax, bagian
yang lebih banyak terekspresi adalah tubulus proksimal ginjal, karena dalam tubulus
proksimal ginjal proses glikolisis di mitokondria lebih rendah (Song et al., 2012).
29
2.2 Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka dan landasan teori dapat disusun kerangka
teoritis sebagai berikut:
Ekstrak air daun sirsak (Annona muricata L)
Mengandung Annonaceous acetogenins
Penghambat kompleks I mitokondrial tubulus ginjal tikus
Inhibisi oksida NADH
Deplesi ATP
Depolarisasi membran
Kegagalan pompa Na K
Ion K+ keluar sel, ion Ca2 dan Na masuk
Ion Ca2- maningkat
ROS meningkat
Kerusakan sel
Degenerasi Nekrosis Apoptosis
Ekspresi bax meningkat pada tubulus ginjal tikus
30
2.3. Kerangka Konsep
2.4 Hipotesis
1. Terdapat pengaruh pemberian subkronik ekstrak air daun sirsak (Annona
muricata ) terhadap ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Ratus Novergicus).
2. Terjadi peningkatan ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Ratus Novergicus).
Ekstrak air daun sirsak (Annona muricata L)
menyebabkan apoptosis dan terjadi
peningkatan ekspresi bax pada tubulus ginjal
tikus (Ratus Novergicus)
31
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental sederhana dengan
menggunakan rancangan penelitian post test control group design untuk melihat
pengaruh pemberian subronik ekstrak air daun sirsak (Annona muricata) terhadap
ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus.
3.2 Populasi dan Sampel
3.2.1 Sampel Penelitian
Penelitian ini, sampel yang diambil adalah tikus betina (Rattus norvegicus)
galur Spraque-Dawley yang dikembangkan oleh Laboratorium Farmasi Universitas
Islam Indonesia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah tikus yang sehat dan tidak cacat,
berumur 3 bulan dengan berat badan 175-300 gram. Tikus diperoleh dari
Laboratorium Farmasi Universitas Islam Indonesia. Kriteria eksklusi adalah tikus
yang sakit dan mati selama perjalanan penelitian.
Jumlah sampel yang digunakan 10 ekort ikus. Subjek dibagi menjadi 2
kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5 tikus. Kelompok pertama merupakan
kelompok kontrol, sehingga tidak dilakukan perlakuan apapun dan kelompok kedua
merupakan kelompok perlakuan yaitu dilakukan pemberian ekstrak air daun sirsak
(Anonna muricata).
3.3 Variabel Penelitian
3.3.1 Variabel Terikat
Variabel terikat adalah ekspresi bax pada sel tubulus ginjal tikus.
32
3.3.2 Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak air daun sirsak (Annona
muricata) dengan dosis 1000 mg/kg BB/hari yang diberikan selama 30 hari
(Modifikasi Champy et al, 2004).
3.4 Definisi Operasional
1. Eksrak air daun sirsak (Annona muricata) adalah ekstrak yang terbuat dari daun
sirsak (Annona muricata) yang melalui proses pengeringan dan penyerbukan ,
dimana daun yang dipilih adalah daun ke-4 sampai ke-6 dalam satu ranting
karena kandungan senyawa acetogenins terbanyak terdapat pada daun ke-4
sampai ke-6, dengan dosis 1000 mg/kgBB/hari yang diberikan selama 30 hari
(Champy et al.(2004) yang dimodifikasi).
2. Ekspresi bax adalah protein yang terekspresikan saat terjadi apoptosis dalam sel.
Ekspresi bax ditandai dengan warna kecoklatan pada preparat dengan pemberian
antibodi terhadap bax dengan teknik Imunohistokimiawi (IHC). Pengamatan
ekspresi bax dilakukan pada semua lapangan pandang masing masing sampel
penelitian mengunakan mikroskop Olympus CX21 yang terhubung dengan
camera optilab viewer dengan softwere image raster. Pengamatan menggunakan
pembesran 1000x.
3. Gambaran Ekspresi Bax
Ekspresi bax dinyatakan sebagai warna kecoklatan pada sel tubulus ginjal. Warna
kecoklatan diamati kemudian dilakukan kategorisasi menjadi 4 ranking ekspresi
bax dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Ranking 1 : 0 - 25 %
b. Ranking 2 : 25 - 50 %
c. Ranking 3 : 50 - 75 %
d. Ranking 4 : 75 - 100 %
33
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
1. Alat penelitian
a. Kandang untuk pengelompokan tikus
b. Spuit sonde
c. Alat pemotong jaringan
d. Kaca objek
e. Deck glas
f. Mikroskop cahaya
g. Pencetak blok jaringan
h. Aquades
2. Bahan penelitian
a. Tikus betina (rattus norvegicus) galur Spraque-Dawley berumur 3 bulan
dengan berat badan 175-300 gram.
b. Bahan uji daun sirsak (Annona muricata) diperoleh dan diekstraksi di
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu ( LPPT) Universitas
Gajah Mada.
d. Etanol
e. Parafin
d. Cloralhydrat 3,5%
g. Anti bax
3.5 Tahap Penelitian
3.5.1 Persiapan Bahan Uji Daun Sirsak
Daun sirsak dilakukan determinasi tanaman di laboratorium Penelitian dan
pengujian Terpadu (LPPT) 1 Universitas Gajah Mada. Daun sirsak yang dipilih
adalah daun ke-4 sampai ke-6 dalam satu ranting. Proses pembuatan ekstrak
34
dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas
Gajah Mada.
Prosedur pembuatan ekstrak daun sirsak dengan cara daun sirsak dicuci
sampai bersih, dikeringkan dalam almari pengering suhu 450C selama 48 jam
kemudian diserbuk menggunakan mesinpenyerbuk dengan saringan diameter lubang
1 mm. Serbuk daun sirsak ditambah methanol diaduk selama 30 menit diamkan 24
jam, disaring dan diulang 3 kali. Sehingga mendapatkan ampas dan filtrate. Filtrat
yang sudah didapatkan kemudian diuapkan dengan vacum rotary evaporator pemanas
water bath suhu 600C. Ekstrak kental yang didapat dituang dalam cawan porselin dan
dikeringkan pada suhu 500C. Sehingga mendapatkan ekstrak daun sirsak.
3.5.2 Persiapan Hewan Coba
Subyek dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan random yaitu kelompok I
dan II. Hewan coba dipelihara di kandang berukuran (40x20x20) cm3. Suhu dalam
kandang diatur pada suhu kamar. Pencahayaan dalam kandang diatur dengan siklus
terang gelap selama 12 jam. Siklus terang dimulai pukul 07.00 WIB dan siklus gelap
dimulai pukul 19.00 WIB. Pelet diberikan setiap hari pada pagi hari pukul 06.00
WIB. Air minum diberikan secara ad libitum.
3.6.3 Pengambilan Jaringan Ginjal dan Pembuatan Preparat IHC
Pengambilan jaringan ginjal tikus dilakukan pada hari ke 31. Tikus dibius
menggunakan ketamin. Proses pembuatan preparat IHC dilakukan di Laboratorium
PA dan laboratorium parasitologi FK UGM, Yogyakarta.
3.7 Cara Pengumpulan Data
Ekspresi bax sel tubulus ginjal dihitung pada masing-masing sampel
penelitian dengan menggunakan mikroskop optilab viewer.
35
3.8 Rencana Analisis Data
Perbedaan jumlah ekspresi bax antara kelompok I dan II diuji dengan t-test.
3.9 Etika Penelitian
Penelitian menggunakan tikus betina (Rattus norvegicus) yang dikembangkan
oleh Laboratorium Farmasi Universitas Islam Indonesia. Sebelum dilakukan
dekapitasi, tikus dibius terlebih dahulu sehingga tidak menyakti tikus.
Sebelum melaksanakan prosedur penelitian di laboratorium, terlebih dahulu
meminta izin kepada laboran terkait laboratorium tersebut, yaitu Laboratorium
farmasi Universitas Islam Indonesia, Laboratorium Pengujian LPPT-UGM dan
Laboratorium Histologi Universitas Islam Indonesia.
36
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi Subjek Penelitian
Hewan uji yang digunakan untuk penelitian ini berupa tikus betina (Rattus
norvegicus) yang dikembangkan oleh Laboratorium Farmasi Universitas Islam
Indonesia. Tikus dibius terlebih dahulu sebelum dilakukan dekapitasi sehingga tidak
menyakiti tikus. Hewan-hewan tersebut ditempatkan di kandang dengan suhu
ruangan tetap di bawah penyinaran selama 12 jam (siang hari) dan tanpa penyinaran
selama 12 jam (malam hari). Makanan dan minuman hewan-hewan tersebut
disediakan yaitu air dan pellet. Jumlah sampel yang digunakan adalah 10 ekor tikus.
Subjek dibagi menjadi 2 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 5 tikus.
Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol, diberikan sondase aquades dan
kelompok kedua merupakan kelompok perlakuan, diberikan sondase ekstrak air daun
sirsak (Anonna muricata) dengan dosis 1000 mg/kgBB/hari yang diberikan selama 30
hari. Berikut ini merupakan tabel yang menggambakan karakteristik subjek penelitian
berdasarkan berat badan dan nilai Hb (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian berdasarkan berat badan dan Hb
KelompokBerat Badan Hemoglobin
Mean Max Min SD Mean Max Min SDPerlakuan 188,00 223,00 201,00 14,00 12,80 13,80 13,30 0,46Kontrol 203,00 244,00 219,40 17,41 13,40 15,00 14,26 0,61
Berdasarkan hasil pemeriksaan berat badan yang disajikan dalam Tabel diatas
menunjukan kriteria inklusi sampel dalam penelitian ini yaitu berat badan tikus untuk
perlakuan minimal 201,00 gram, maksimal 223,00 gram dengan rata-rata 188,00.
37
Untu kelompok kontrol minimal 203,00 gram, maksimal 244,00 gram dengan rata-
rata 219,40 gram.
Dari Tabel di atas didapatkan data hemoglobin tikus untuk perlakuan minimal
13,30 gr/dl, maksimal 13,80 gr/dl dengan rata-rata 12,80 gr/dl. Hemoglobin tikus
kontrol minimal 14,26 gr/dl, maksimal 15,00 gr/dl dengan rata-rata 13,40 gr/dl.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Hb menunjukkan bahwa hasil pemeriksaan dalam
batas normal atau tikus dalam keadaan yang sehat. Menurut Mitruka (1987), nilai
normal Hb pada tikus putih (Rattus norvegicus) yaitu 10-6,8 g/dl. Selama penelitian
semua tikus (Rattus norvegicus) dalam keadaan sehat dan tidak ada yang mati.
4.1.2 Deskripsi Data Daun
Ekstrak air daun sirsak (Annona muricata) adalah ekstrak yang terbuat dari
daun sirsak (Annona muricata) yang melalui proses pengeringan dan penyerbukan,
dimana daun yang dipilih adalah daun ke-4 sampai ke-6 dalam satu ranting karena
kandungan senyawa acetogenins terbanyak terdapat pada daun ke-4 sampai ke-6,
dengan dosis 1000mg/kgBB/hari yang diberikan selama 30 hari (Champy et al.
(2004) yang dimodifikasi). Proses pembuatan ekstrak dilakukan di Laboratorium
Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah Mada.
Prosedur pembuatan ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) dengan cara
daun sirsak (Annona muricata L.) dicuci sampai bersih , dikeringkan dalam almari
pengering suhu 450C selama 48 jam kemudian diserbuk menggunakan mesin
penyerbuk dengan saringan berdiameter lubang 1 mm. Serbuk daun sirsak ditambah
dengan air dan diaduk selama 30 menit kemudian didiamkan selama 24 jam, disaring
dan diulang 3 kali sehingga akan didapatkan ampas dan filtrat. Filtrat yang sudah
didapatkan kemudian diuapkan dengan vacuum rotary evaporator pemanas water
bath suhu 600C. Ekstrak kental yang didapat dituang dalam cawan porselin dan
dikeringkan pada suhu 500C sehingga akan didapatkan ekstrak air daun sirsak
(Annona muricata L.).
38
4.1.3 Deskripsi Ekspresi Bax
Berdasarkan hasil pengamatan ekspresi bax, warna coklat yang muncul
menandakan reaksi positif (+). Hasil pengamatan jumlah ekspresi bax dilihat dengan
perbesaran 1000x obyektif. Berikut ekspresi bax tikus dari kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen (Gambar 8 dan Gambar 9).
Gambar 8. Gambar A menunjukkan ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus kelompok kontrol yang normal ( ) dan terekspresi ( ). Gambar B menunjukkan ekspresi
bax pada ginjal kelompok perlakuan ( ). Pembesaran 40x.
Pada gambar diatas menjelaskan bahwa pada gambar A menunjukkan ekspresi
bax pada ginjal tikus kelompok kontrol dan terlihat bahwa terdapat warna coklat,
namun tidak tersebar di semua area. Pada gambar B menunjukkan ekspresi bax pada
ginjal tikus kelompok ekperimen dan pada gambar terlihat bahwa terdapat pewarnaan
coklat yang tersebar disemua area yang terlihat lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok kontrol.
Pada kelompok kontrol juga terdapat pewarnaan coklat namun tidak di semua
area, hal ini tejadi karena dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai
peranan bax terhadap ginjal, dan dalam penelitian tersebut menjelaskana bahwa bax
tidak hanya mempunyai peran dalam proses apoptosis saja, tetapi secara fisiologis
A Bnormal
terekspresiterekspresi
terekspresi
39
bax juga terlibat dalam proses perkembangan ginjal dan perkembangan mitokondria
(Song et al., 2012).
Gambar 9. Gambaran ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus ranking 1, 2, 3 dan 4 ( ) ginjal pada perbesaran 1000x obyektif.
Gambaran ekspresi bax pada ginjal dengan perbesaran 1000x obyektif diatas
berdasarkan ranking menunjukkan bahwa pada ranking 1 menunjukkan ekspresi Bax
sebanyak 0-25%, ranking 2 menunjukkan ekspresi bax sebanyak 25-50%, ranking 3
menunjukkan ekspresi bax 50-75%, dan ranking 4 menunjukkan ekspresi bax
sebanyak 75-100%.
1
40
Tabel 2. Data Ekspresi Bax Ranking 1-4
Ranking Ekspresi Bax
Minimum Maximum MeanStd.
Deviation Uji
T-Test
1P 12,00 40,00 29,60 11,61
0,053K 11,00 23,00 17,00 4,41
2P 9,00 39,00 28,60 11,76
0,030K 7,00 18,00 11,80 4,49
3P 7,00 49,00 21,40 9,65
0,050K 5,00 14,00 9,60 3,20
4P 12,00 29,00 18,80 6,30
0,029K 8,00 11,00 9,60 1,34
Tabel di atas menunjukan nilai minimum, maksimum, mean dan standar
deviasi nilai ekspresi bax dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Kelompok ranking 1 eksperimen diperoleh nilai minimum 12,00 dan nilai maksimum
40,00 dengan mean 29,60 dan standar deviasi 11,61, sedangkan pada kelompok
kelompok kontrol memiliki nilai minimum 11,00 dan nilai minimumnya 23,00
dengan mean 17,00 dan standar deviasi 4,41 dan untuk uji t-tes pada kelompok
eksperimen dan kontrol 0,053. Kelompok ranking 2 pada ekspereimen diperoleh nilai
minimum 12,00 dan nilai maksimum 40,00 dengan mean 29,60 dan standar deviasi
11,61, sedangkan pada kelompok kelompok kontrol memiliki nilai minimum 11,00
dan nilai minimumnya 23,00 dengan mean 17,00 dan standar deviasi 4,41588 dan
untuk uji t-tes pada kelompok eksperimen dan kontrol 0,030. Kelompok ranking 3
pada ekspereimen diperoleh nilai minimum 7,00 dan nilai maksimum 49,00 dengan
mean 21,4000 dan standar deviasi 9,65. Sedangkan pada kelompok kelompok kontrol
memiliki nilai minimum 5,00 dan nilai minimumnya 14,00 dengan mean 9,60 dan
standar deviasi 3,20 dan untuk uji t-tes pada kelompok eksperimen dan kontrol 0,05.
Kelompok ranking 4 Pada ekspereimen diperoleh nilai minimum 12,00 dan nilai
maksimum 29,00 dengan mean 18,80 dan standar deviasi 6,30. Sedangkan pada
kelompok kelompok kontrol memiliki nilai minimum 8,00 dan nilai minimumnya
11,00 dengan mean 9,60 dan standar deviasi 1,34 dan untuk uji t-tes pada kelompok
eksperimen dan kontrol 0,029.
41
4.1.4 Uji Asumsi
Uji asumsi dilakukan sebelum dilakukan analisis data, yang tediri dari uji
normalitas sebaran dan uji homogenitas variansi. Berikut hasil dari uji normalitas
sebaran dan uji homogenitas.
a. Uji Normalitas
Data pada uji normalitas ini diperoleh dari data kelas eksperimen (perlakuan) data
kelas kontrol. Uji normalitas dilakukan menggunakan bantuan komputer program
SPSS for windows 19.00 Shapiro Wilk. Hasil uji normalitas untuk masing-masing
variabel penelitian disajikan berikut ini.
Hasil uji normalitas variabel penelitian dapat diketahui bahwa data kelas
eksperimen maupun kelas kontrol pada ranking 1, 2, 3, dan 4 mempunyai nilai
signifikansi lebih besar dari 0,05 pada (p>0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa
data kelas eksperimen maupun kelas kontrol berdistribusi normal.
b. Uji Homogenitas
Adapun rangkuman hasil uji homogenitas varian dari data menjelaskan bahwa
untuk data pada ranking 1, 2 dan 3 untuk kelompok eksperimen maupun kelompok
kontrol dapat diketahui nilai signifikansi lebih besar dari 5% (p>0,05) dan F hitung <
F tabel, yang berarti bahwa kedua kelompok tersebut homogen. Namun, pada ranking
3 untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen (p<0,05) yang berarti kelompok
tersebut tidak homogen.
4.1.5 Uji Hipotesis
Berdasarkan uji normalitas dan uji homogenisitas dapat diketahui bahwa data
ekspresi bax pada kelompok kontrol dan perlakuan berdistribusi normal dan memiliki
varian yang sama sehingga dilakukan uji parametrik yaitu Independent Sample T-Test.
Hasil analisis pengaruh pemberian subkronik ekstrak air daun sirsak (Annona
muricata) terhadap ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus)
42
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil ekspresi bax kelas eksperimen
dan kontrol pada ranking 1. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi yang lebih
besar dari taraf signifikansi (0,053>0,05). Sebaliknya, terdapat perbedaan signifikan
(p<0,05) ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus untuk tingkat ekspresi ranking 2, 3
dan 4 antara kelompok kontrol dan perlakuan.
4.2 Pembahasan
Tubulus proksimal dan tubulus konvulated ginjal merupakan area ginjal yang
kaya akan mitokondrial. Pada penelitian ini ditemukan bahwa ekspresi bax terdapat di
tubulus proksimal dan konvulated korteks ginjal tikus, baik kelompok kontrol dan
perlakuan. Sebaliknya, di medulla ginjal tikus sedikit dijumpai ekspresi bax dan
bahkan di glomerulus tidak ditemukan ekspresi bax. Hal ini sesuai dengan fisiologis
ginjal dimana bax akan terekspresikan di tubulus proksimal dan konvulatus korteks
ginjal. Secara fisiologis glomerulus ginjal tidak terdapat ekspresi bax (Song et al.,
2012). Hal ini mendasari hasil penelitian ini bahwa tidak ada perbedaan bermakna
ekspresi bax dengan kriteria ekspresi < 25% pada tubulus ginjal (ranking 1) antara
kelompok kontrol dan perlakuan, karena secara normal tubulus ginjal akan
mengekspresikan bax.
Sebaliknya, terdapat perbedaan bermakna ekspresi bax dengan kriteria
ekspresi 25%-100% (ranking 2, 3 dan 4) pada tubulus ginjal antara kelompok
terpapar ekstrak air daun sirsak dan kelompok kontrol. Selain itu pada kelompok
terpapar ekstrak air daun sirsak tampak bax terekspresikan hampir di semua area
ginjal termasuk medulla ginjal. Hal ini membuktian bahwa ekstrak air daun sirsak
dapat meningkatkan ekspresi bax pada ginjal. Melalui sifat inhibitor kompleks 1
mitokondrial, senyawa acetogenin akan meningkatkan oksida nitrat intraseluler,
ROS, glutathione (GSH) deplesi, mengganggu potensi transmembran mitokondria,
aktivasi caspase 3, 7, 8 & 9 aktivasi dan ADP poli ribosa polymerase pembelahan
serta menginduksi protein p53 dan Bax sehingga terjadi apoptosis sel (Li et al.,
2013).
43
Toksin dan kondisi iskemik dapat menginduksi apoptosis tubulus proksimal
ginjal melalui aktivasi bax. Secara fisiologis, tubulus proksimal lebih rentan
mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh struktur histologi dan fisiologis yang
berbeda dengan tubulus distalis ginjal. Proses glikolisis di mitokondria tubulus
proksimal ginjal lebih rendah dibandingkan tubulus distalis ginjal (Song et al., 2012).
Diketahui bahwa salah satu faktor yang menghambat efek toksik senyawa acetogenin
terhadap sel neuron adalah adanya glikolisis (Kondhiker et al., 2007). Tingginya
ekspresi bax pada tubulus proksimal dapat disebabkan karena kemampuan glikolisis
yang rendah dan akibat efek samping dari pemberian ekstrak air daun sirsak.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya efek samping dalam penggunaan
subkronik ekstrak air daun sirsak. Efek samping ini sesuai dengan penelitian
Nascimentoet al. (2011) yang berjudul “Investigation of the toxic potential of crude
ethanol extract of Annona coriacea (araticum) seeds in acute exposed mice”. Pada
penelitian ini didapatkan hasil bahwa penggunaan ekstrak etanol biji araticum
(Annona coriacea) yang segenus dengan sirsak (Annona muricata L.) akan terjadi
peningkatan indeks apoptosis. Selain itu, Dayeef et al. (2013) dengan penelitian yang
berjudul “The influence Of Annona Muricata Leaves Extract In Damaging Kidney
Cell And Inducing Casapase-9 Activity”., menyatakan bahwa penggunaan ekstrak
ethanol daun sirsak selama 40 hari dengan dosis 10, 20, dan 40 mg/kgBB secara oral,
menyebabkan kerusakan pada ginjal.
44
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Terdapat pengaruh pemberian subkronik ekstrak air daun sirsak (Annona
muricata) terhadap ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus).
2. Terdapat peningkatan ekspresi bax pada tubulus ginjal tikus (Rattus norvegicus)
dengan pemberian subkronik ekstrak air daun sirsak (Annona muricata).
5.2 Saran
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang gambaran ekspresi bax pada tikus
(Rattus norvegicus) dengan pemberian ekstrak air daun sirsak (Annona muricata)
dengan dosis yang bervariasi.
2. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang gambaran ekspresi bax pada tikus
(Rattus norvegicus) dengan pemberian ekstrak air daun sirsak (Annona muricata)
dengan waktu pemberian yang lebih lama/kronik.
45
DAFTAR PUSTAKA
Alvarez, C.O., Neske, A., Chahboune, N., Zafra, P.M.C., Bardón, A., 2009. Tucupentol, a novel mono-tetrahydrofuranic acetogenin from Annona montana, as a potent inhibitor of mitochondrial complex I, Chemistry & Biodiversity, 6 (3), 335-340.
Baldatina, A.Z.I., 2008, Pengaruh Pemberian Insektisida (Esbiothrin, Imiprothrin dan D-Phenothrin) pada Tikus Putih (Rattus rattus): Kajian Histopatologi Hati dan Ginjal, Skripsi, Jurusan Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bastiansyah, E., 2008. Panduan lengkap : Membaca Hasil Tes Kesehatan. Penebar Plus, Jakarta, 52-55.
Champy P., Hoglinger GU., Feger J., Gleye C., Hocquemiller R., Laurens A., Guerineau V., Laprevote O., Medja F., Lombes A., Michel PP., Lannuzel A., Hirsch EC., Ruberg M 2004. Annonacin, a lipophilic inhibitor of mitochondrial complek I, induces nigral and striatal neurodegeneration in rats: possible relevance for atypical parkinsonism in Guadeloupe. J Neurochem 88: 63-69
Champy, P., 2005. Quantification of Acetogenins in Annona muricata Linked to Atypical Parkinsonism in Guadeloupe, Movement Disorders, 20: 12, 1629-1633.
Chang, H.Y. and Yang, X. 2000. Proteases for Cell Suicide: Functions and Regulation of Caspase. Microbiol.Mol.Biol.Rev. 64: 821-846.
Crow, M.T., Mani, K., Nam, Y.J., and Kritsis, R.M., 2004. The Mitochondrial Death Pathway and Cardiac Myocyte Apoptosis. Circ.Res 95 : 957-969.
Damjanov, I., 1998. Buku Teks & Atlas Berwarna Histopatologi. Widya Medika, Jakarta, 1-20, 211.
Dayeef, A. M. Y., Karyono S., Sujuti H., 2013. The Influence Of Annona Muricata Leaves Extract In Damaging Kidney Cell And Inducing Caspase-9 Activity. IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences (IOSR-JPBS.
Gerhastuti, B. C., (2009). Pengaruh Pemberian Kopi Dosis Bertingkat Per Oral selama 30 hari Terhadap Gambaran Histologi Ginjal Tikus Wistar. Universitas Diponegoro. Semarang.
Guyton, A.C., 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton Edisi 11. Jakarta: EGC
46
Hadi, R. S., 2011. Mekanisme Apoptosis Pada Regresi Sel Luteal. Majalah Kesehatan PharmaMedika, Vol 3, No1.
Juhryyah, S., 2008, Gambaran Histopatologi Organ Hati dan Ginjal Tikus pada Intoksikasi Akut Insektisida (Metofluthrin, D-Phenothrin, D-Allethrin) dengan Dosis Bertingkat, Skripsi, Jurusan Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Junqueira, L.C., Carneiro, J., 2003. Basic Histology: Text & Atlas (10th ed.). Tambayong, J. 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta, 318-331.
Kojima, N. and Tetsuaki T., 2009. Medicinal Chemistry of Annonaceous Acetogenins: Design, Synthesis, and Biological Evaluation of Novel Analogues. Molecules 14: 3621-3661.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L., 2003. Robbins Basic Pathology Volume 1 (7th
ed.). Prasetyo, A. 2007 (Alih Bahasa), EGC, Jakarta, 3-33.
Lazuardi, M., 2008, Struktur Histopatologi Ginjal dan Hati Kambing Penderita Tripanosomiasis Pasca Pengobatan Berenil®, Media Peternakan, 31: 1, 14-21.
Leeson, C.R., et al., 1996. Buku Ajar Histologi (5th ed.). EGC, Jakarta, 19-77, 383-395.
Li, H. M., Wu H. M., Chen H. L., Liu C. M., Chen C. Y., 2013. The Pharmacological Activities of (-)- Annonaine : Journal of Molecules, Molecules 2013; 18: 8257-8263.
Li K, Li Q, Li J, Gao D, Lin Z, Zheng F. 2008. Alkaloid from angelicae daharaicae inhibits hela cell growth by inducing apoptosis and increasing cascape–3 activity. Labmedicine. 39 (9): 540–6.
Nascimento G.N.L.D., Valadares M.C., Ferreira T., Nishijo, H., Aversi-Ferreira T.A., 2011. Investigation of the toxic potential of crude ethanol extract of Annona coriacea (araticum) seeds in acute exposed mice, Brazilian Journal of Pharmacognosy.
Noller, B., 2003. Monnograph Gaviola (Annona muricata). Dalam Technical Report for Graviola (Annona muricata). Carson City : Raintree Nutrion Inc.
Redaksi Trubus, 2012. Daun Sirsak vs. Kanker. Trubus Swadaya, Depok, 9-15.
47
Retrani, Vinandra., 2011, Pengaruh Suplemestasi Ekstrak Daun Annona Muricata Terhadap Kejadian Displasia Epitel Kelenjar Payudara Tikus Sprague Dawley yang di Induksi 7, 12 Dimethylbenz (α) Anthracene, Karya Tulis Ilmiah, Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Rodriguez-Lafrasse C, Alphonse G, Broquet P, Aloy M-T, Louisot P, Rousson R. Temporal relationships between ceramide production, caspase activation and mitochondrial dysfunction in cell lines with varying sensitivity to anti-Fas-induced apoptosis. JBiochem 2001; 357: 407-16.
Sarjadi, 2003. Patologi Umum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Sherwood, L., 2010. Human Physiology: From Cells to Systems (7th ed.). Brooks/Cole Cengage Learning, USA, 616.
Song X. F., Ren H, Andreasen A., Thomsen J. S., Zha X. Y., 2012. Expression of Bcl-2 and Bax in Mouse Renal Tubules during Kidney Development.
Stevens, A., Lowe, J.S., Young, B., 2002. Basic Histopathology: A Colour Atlas and Text. Churchill Livingstone, British.
Suranto, A., 2012. Dahsyatnya Sirsak Tumpas Penyakit. Pustaka Bunda, Jakarta, 1-27.
Taher, M., Alewi, N.A.M., Susanti, D., Zamli, Z., Ramli, N., Saad, N., 2012. Toxic Effect of Sapium baccatum (Ludai) Extract in Rats, Sains Malaysiana, 41: 11, 1423-1429.
Tanton, D.W., 2011. Taking The Mystery Out of Cancer. New York: Soaring Heights Publising
Tortora, G.J., Derrickson, B., 2009. Principles of Anatomy and Physiology (12th ed.). Wiley, USA, 945-949.
Warisno, Dahana, K., 2012. Daun Sirsak: Langkah Alternatif Menggempur Penyakit. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2-87.
Wicaksono, A., 2012. Kalahkan Kanker dengan Sirsak. Citra Media Mandiri, 11-65.
Young, D.Y., Kim, W., Hyun, C.L., Sung, Y.Y., 2012. Melatonin improves D galactose induced aging effects on behavior, neurogenesis, and lipid peroxidation in the mouse dentate gyrus via increasing pCREB expression, Journal of Pineal Research, 11, 21-28.
48
LAMPIRAN
RANKING 1
Case Processing Summary
Kelomp
ok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
ranking1 1.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
2.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Tests of Normality
Kelom-
pok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
ranking1 1.00 .215 5 .200* .897 5 .392
2.00 .210 5 .200* .970 5 .877
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
Kelomp
ok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
ranking1 1.00 5 29.6000 11.61034 5.19230
2.00 5 17.0000 4.41588 1.97484
49
RANKING 2
Case Processing Summary
Kelomp
ok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
rangking2 1.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
2.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Tests of Normality
kelomp
ok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
rangking2 1.00 .280 5 .200* .865 5 .245
2.00 .201 5 .200* .950 5 .734
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
kelomp
ok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
rangking2 1.00 5 28.6000 11.76010 5.25928
2.00 5 11.8000 4.49444 2.00998
50
RANKING 3
Case Processing Summary
kelomp
ok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
rangking3 1.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
2.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Tests of Normality
kelomp
ok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
rangking3 1.00 .283 5 .200* .845 5 .180
2.00 .250 5 .200* .940 5 .666
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
kelomp
ok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
rangking3 1.00 5 21.4000 9.65919 4.31972
2.00 5 9.6000 3.20936 1.43527
51
RANKING 4
Case Processing Summary
kelomp
ok
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
rangking4 1.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
2.00 5 100.0% 0 .0% 5 100.0%
Tests of Normality
kelomp
ok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
rangking4 1.00 .287 5 .200* .910 5 .469
2.00 .273 5 .200* .852 5 .201
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Group Statistics
kelomp
ok N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
rangking4 1.00 5 18.8000 6.30079 2.81780
2.00 5 9.6000 1.34164 .60000