Eksistensi Tuhan Dalam Teodisi
Transcript of Eksistensi Tuhan Dalam Teodisi
EKSISTENSI TUHAN DALAM TEODISI
(TUHAN DALAM PERSPEKTIF ATEISME)
Oleh : Mochamad Ak. Dhoni
Pengantar
Semangat modernitas dengan fondasi ontologis kemerdekaan rasio dan
otonomi manusia, telah menggugat pengalaman manusia akan suatu Yang-
Supranatural dan berada di alam sana. Dalam sejarah manusia kesadaran akan
Yang-Supranatural ini mengalami evolusi yang panjang dan komplek, sehingga
pada titik modernitas, ia berkontradiksi dengan otonomi manusia yang bebas. Dari
sini dimulailah filsafat dan berbagai interpretasi ilmiah yang akhirnya secara total
tidak member tempat pada Tuhan. Krisis religiusitas mendapat formatnya yang
lebih konkrit dan praktis, akhirnya berhadapan dengan kritis eksistensial seperti
ini.
Rasionalitas modern menggeser segala sesuatu yang bersifat sakral,
profetik, dan apa saja yang dianggap mitos dan tahayul yang berkontradiksi
dengan akal dan cara pikir ilmiah. Dengan demikian, gagasan tentang Tuhan
menglamik kritik yang radikal karena dianggap tidak sesuai lagi dengan zaman
modern. Pemikir abad modern kemudian mencoba memberikan penafsiran baru
terhadap situasi seperti itu, bersama dengan sebuah rumusan konstruk teologis
tentang kepercayaan baru dengan apa yang disebut “The Death of God Theology”
(Teologi“TuhanMati”).
Dalam perjalanan sejarah, perubahan fundamental yang mewarnai abad
ke-16 menjelang abad ke-17 itu, telah menjadi titik revolusi pemikiran filsafat,
agama dan juga teologi. Semangat Renaissance yang membangkitkan kembali
manusia sebagai makhluk yang bebas dari segala kuasa dan tradisi. Berbalik dari
pemikrian abad pertengahan yang lebih tertundung dalam religiusitas gereja, dan
mengesampingkan hal-hal yang konkrit.1 Diteruskan lagi pada abad ke-18 yang
disebut dengan zaman pencerahan (Aufklarung) yang sangat dipengaruhi ilmu
pengetahuan alam. Kemudian disusul pada abad ke-19, tuntutan otonomi manusia 1 Harun Hadiwijoyo, 1989, Sari Sejarah Filsafat Baarat 2, Kanisius:Yogyakarta
ats dirinya dan bebas dari kekuatan “supranatural”, telah menempatkan ateisme
menjadi agenda yang semakin jelas.
Ateisme
Dari segi bahasa ateisme berasal dari bahasa Yunani kuno, kata atheos
(ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini
mulai digunakan untuk penolakan tuhan yang disengajakan dan banyak digunakan
pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa"
atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-
kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak,
terdapat pula ἀθεότης (atheotēs ), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi
kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan
pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani
kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya
sebagai ateis secara peyoratif. Penulis Perancis abad ke-18, Baron d'Holbach
adalah salah seorang pertama yang menyebut ateis untuk ketidak percayaan pada
tuhan monoistik. Menurut istilah ateis adalah tidak mempercayai keberadaan
Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang
paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.2
Ateisme lahir dari sejarah yang panjang, sebagai salah satu anak dari
modernisme. Meskipun cikal bakal ateisme sebenarnya sudah muncul dari
Xenophanes di zaman Yunani Kuno, yang mengatakan bahwa dewa-dewa yang
ada hanyalah gambaran manusia saja dan tidak mungkin dewa yang agung
kelakuannya sama dengan manusia, modernisme tetap menjadi ibu kandung dari
ateisme, terlebih ateisme yang menjadi lawan dari teisme, khususnya teisme versi
Yudeo-Kristiani.
Dasar Pemikiran
1. Ateisme Praktis
2 Di unduh dari http://abadisaada.blogspot.com/2010/01/membedah-teori-ateisme.html pada
10/05/2010
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, juga sering disebut apateisme,
individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan
alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal,
namun dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting dan tidak berguna,
tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun mempengaruhi kehidupan
sehari-hari kita. Tuhan hanya tidak masuk dalam kehidupan manusia, Salah satu
bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah
naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam
metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh
menerima atau mempercayainya.
Ateisme praktis dapat berupa Ketiadaan efek motivasi religius, dapat
diartikan kepercayaan pada tuhan justru tidak memotivasi tindakan moral, religi,
ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya.
Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran
intelek dan tindakan praktis. Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun
pada permasalahan tuhan dan agama dan Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan
dewa.
2. Ateisme Teoritis
Ateisme teoritis secara eksplisit memberikan argumen menentang
keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai
keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal.
Terdapat berbagai alasan-alasan teoritis untuk menolak keberadaan tuhan,
utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat
pula alasan psikologis dan sosiologis.
Dalam bentuk ateisme teoritis ini menurut Prof. Flint, dapat dibedakan
kedalam tiga jenis, yakni:3
a. Ateisme Dogmatik (Dogmatik Atheism), yakni ateisme yang menolak
sama sekali bahwa Tuhan ada.
b. Ateisme Skeptis (Skeptical Atheism), yakni ateisme yang meragukan
akal manusia dapat menetapkan apakah Tuhan itu ada atau tidak.
3 Loekisno C.W.Paham Ketuhanan Modern; Sejarah dan Pokok-pokok Ajarannya.
c. Ateisme Kritis (Critical Atheism), yakni ateisme yang menyatakan
bahwatidak ada bukti yang cukup meyakinkan bagi Tuhan.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui
Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme
adalah agnostisisme. Pemikiran agnostisisme yaitu tuhan dianggap berada diluar
cakupan filsafat, hal adanya tuhan dianggap tidak dapat diketahui secara filosofis.
Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri,
termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada
subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini
menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan
keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima
ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi
bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga
tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada
pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah
tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan
tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan, ia
juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan
sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan
agnostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakpahaman
terhadap istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan
adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan
"Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara
kognitif tidak berarti.
Argumen metafisika
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan
bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut
termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit
menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak
secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada
ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya
ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan
tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme,
dan deisme.
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud berargumen
bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia,
yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi
manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.
Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels juga dipengaruhi oleh karya
Feuerbach, mereka berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama
adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja.
Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya
derajat akal manusia dan keadilan, ia merupakan negasi kebebasan manusia yang
paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam
teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang
berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya",
dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka perlu dihapus."
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti
tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para
ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang
menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya
kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan,
kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan
Tuhan.
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-
sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh
para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan
kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan
kejahatan dan penderitaan, dan di mana welas kasih tuhan/dewa adalah tidak
dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh
Siddhartha Gautama, sebagai pendiri Agama Buddha.
Argumen antroposentris
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan
sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti
kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai
sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengijinkan individu untuk
menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx,
Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk
menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa
kekangan.
Argumen Blaise Pascal merupakan salah satu kritik yang paling umum
terhadap ateisme dia memaparkan bahwa menolak keberadaan Tuhan akan
membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral
ataupun tidak memiliki dasar etika, atau membuat hidup tidak berarti dan
menyedihkan.
DAFTAR PUSTAKA
Loekisno C.W.Paham Ketuhanan Modern; Sejarah dan Pokok-pokok Ajarannya.
Harun Hadiwijoyo, 1989, Sari Sejarah Filsafat Baarat 2, Kanisius:Yogyakarta
A. Setyo Wibowo, dkk.PARA PEMBUNUH TUHAN.2009.Kanisius:Yogyakarta
Leahy, Louis. 1997. Aliran-aliran ateisme tinjauan kritis. Yogyakarta : kanisius.
Leahy, Louis. 1993. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta : kanisius.
http://abadisaada.blogspot.com/2010/01/membedah-teori-ateisme.html