EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL...

12
ISBN: 978-602-71759-2-1 EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRAN BIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANAN BUDIDAYA PERAIRAN PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN KEMARITIMAN SOSIAL EKONOMI PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Jl. Perintis Kemedekaan Km. 10 Tamalanrea Makassar 90245, Sulawesi Selatan

Transcript of EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL...

Page 1: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECILPENGELOLAAN SUMBER DAYA PERAIRANBIOTEKNOLOGI KELAUTAN DAN PERIKANANBUDIDAYA PERAIRANPEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANANKEMARITIMANSOSIAL EKONOMI PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANANUNIVERSITAS HASANUDDIN

Jl. Perintis Kemedekaan Km. 10 TamalanreaMakassar 90245, Sulawesi Selatan

Page 2: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

PROSIDINGSIMPOSIUM NASIONAL III KELAUTAN DAN PERIKANAN 2016

DEWAN REDAKSI

Pengarah:Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penanggung jawab:Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Penyunting (Editor):Dr. Inayah Yasir, M.Sc.

Prof. Dr. Ir. Joeharnani Tresnati, DEADr. Ir. Siti Aslamyah, MP.

Moh. Tauhid Umar, S.Pi., MP.Firman, S.Pi., M.Si.

Fakultas Ilmu Kelautan dan PerikananUniversitas Hasanuddin

Makassar, 30 September 2016

Page 3: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

Prosiding Simposium Nasional III Kelautan dan Perikanan 2016

Penyunting: Inayah Yasir, Joeharnani Tresnati, Siti Aslamyah, Moh. Tauhid Umar,dan Firman

ISBN: 978-602-71759-2-1

Diterbitkan oleh: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, UniversitasHasanuddin, Makassar, 30 September 2016

@ Hak Cipta dilindungi Undang-undangAll rights reserved

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin daripenyunting.

Page 4: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Keanekaragaman dan Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Zona Perairan yang Berbeda di Kabupaten

Mamuju Sulawesi Barat

Diversity and Condition of Seagrass Beds based on Difference in Water Zone in Mamuju Regency, West Sulawesi

Supriadi Mashoreng1, Chair Rani

1, Parman Parakkasi

2, Abdul Haris

1, Ahmad

Faizal1 dan Sutia Budi

3

1 Faculty of Marine Sciences and Fisheries, Hasanuddin University, Makassar

2 Marine and Fisheries Service, West Sulawesi Province

3 Bosowa University, Makassar

Email : [email protected]

Abstract

Seagrass beds are found grow flourishly in shallow waters. Vertically, their growth are restricted

to particular depths due to their requirements to adequate sunlight for their growth and

development. Besides the sunlight, various environmental factors such as nutrients, substrate type,

and salinity are also affect the development and distribution of seagrass. These environmental

factors could differ spatially according to their distance from the mainland and also be affected by

the anthropogenic activities in this area. This study was aimed to analyze the distribution and

condition of seagrass beds at different coastal zones based on differences in their distances from

the mainland and the surrounding activities. Sampling was conducted at three different zones, i.e.

coastal waters of the mainland, the Karampuang Island that located close to the mainland and

Balabalakang Archipelago that situated farther from the mainland. Sampling using plots was

applied systematically with distances among plots were 10-20 meter suited to the thickness and

homogenity of the seagrass. Results of this study showed that there were six seagrass species

found in Balabalakang Archipelago. This number is lower than those found in the coastal areas of

the mainland and Karampuang Island having eight seagrass species. The highest seagrass

coverage was found in Karampuang Island i.e. 61.3%, followed by the coastal waters of the

mainland 55.3% and the lowest was observed in Balabalakang Archipelago 34.3%. The seagrass

diversity at several stations in Balabalakang Archipelago were also in particular lower compared

to the coastal mainland and Karampuang island.

Keywords: seagrass diversity, seagrass distribution, seagrass bed condition, water zone of

Mamuju Regency

Pendahuluan

Padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju merupakan salah satu

ekosistem perairan dangkal yang cukup penting, tersebar mulai dari perairan

pesisir sampai pada pulau-pulau yang lokasinya sangat jauh dari daratan.

Beberapa aktifitas masyarakat yang bermukim di pesisir dan pulau-pulau

dilakukan pada ekosistem ini, seperti menangkap ikan, budidaya rumput laut dan

sebagainya. Disamping itu, padang lamun juga dapat berkontibusi terhadap

minimalisasi dampak gelombang dan arus terhadap pantai. Beberapa aktifitas

masyarakat di padang lamun seperti menangkap ikan, sangat terkait dengan

keanekaragaman dan kondisi padang lamunnya. Padang lamun menjadi tempat

berlindung, mencari makan dan mengasuh anak-anaknya bagi ikan dan biota

lainnya.

Kondisi padang lamun dapat mengalami penurunan, baik akibat alam

maupun akibat aktifitas manusia (secara langsung maupun tidak langsung).

140

Page 5: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Keanekaragaman dan kondisi padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju

diduga sangat bervariasi menurut lokasinya. Berdasarkan kedua kenyataan

tersebut di atas, distribusi yang luas dan kondisi padang lamun yang bervariasi,

maka perlu dilakukan penelitian untuk melihat keanekaragaman dan kondisi

padang lamun di Perairan Kabupaten Mamuju. Diharapkan hasil penelitian ini

menjadi salah satu bahan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh stakeholder

untuk berbagai kepentingan.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April-Mei 2015 di wilayah Perairan

Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang

berbeda dan dikelompokkan menjadi tiga zona. Zona 1 merupakan perairan

pesisir daratan utama, Zona 2 Pulau Karampuang yang relatif dekat dengan

daratan utama dan Zona 3 kawasan Kepulauan Bala-balakang yang cukup jauh

dari daratan utama (Gambar 1). Deskripsi singkat masing-masing stasiun pada

ketiga zona penelitian disajikan pada Tabel 1.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Prosedur Penelitian

Pengambilan data kerapatan dan tutupan jenis dilakukan dengan

menggunakan transek garis dan plot berukuran 50 cm x 50 cm (McKenzie dan

Campbell, 2002). Transek garis menggunakan roll meter ditarik tegak lurus garis

pantai dari arah daratan menuju laut sepanjang zona padang lamun. Plot

ditempatkan setiap 10 atau 20 meter pada transek garis tersebut disesuaikan

dengan homogenitas dan luas lamunnya. Data kerapatan dan persen tutupan

lamun dilakukan pada lamun yang ada di dalam plot. Jumlah tegakan tiap jenis

lamun dihitung untuk mengetahui kerapatannya, sedangkan pengamatan persen

tutupan dilakukan dengan mengacu pada standar McKenzie dan Campbell (2002).

Frekuensi kemunculan jenis dihitung dari nisbah jumlah plot dimana suatu jenis

ditemukan terhadap total plot yang diamati. Nilai frekuensi kemunculan

mengindikasikan luas tidaknya sebaran lamun. Pada zona 1 (pesisir daratan

Zona 3 Zona 1 dan Zona 2

141

Page 6: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

utama), setiap stasiun dilakukan pengamatan terhadap 2-3 ulangan garis transek.

Pada zona 2 (Pulau Karampuang) pengamatan dilakukan pada 3 sisi pulau dan

pada zona 3 (Kepuluan Bala-balakang) dilakukan pada 4 sisi semua pulau.

Tabel 1. Deskripsi singkat masing-masing stasiun pada ketiga zona penelitian

Zona Stasiun Jumlah Sub

Stasiun Karakteristik Lokasi

1

Sumare 2 Jauh dari pemukiman, pantai terbuka dan landai

Bukutakkang 2

Daerah pemukiman, relatif terlindung, terdapat

vegetasi mangrove yang tipis pada bagian dalam

Rangas 2 Daerah pemukiman padat, relatif terlindung

Tadui 2

Daerah budidaya rumput laut, terdapat vegetasi

mangrove di pesisir

Bone-Bone 2 Vegetasi mangrove di pesisir

Labuang 4

Teluk kecil, daerah tambatan kapal penangkap

ikan, daerah mangrove, substrat pasir berlumpur

2

Pulau

Karampuang 3

Jarak sekitar 1,8 km dari daratan utama, pulau

berbatu, berpenghuni, daerah wisata, pada

beberapa bagian ditumbuhi vegetasi mangrove

yang tebal

3

Salissingang 4

Berpenghuni, luas 13,03 ha, kepadatan penduduk

38 orang/ha, daerah mencari makan penyu

Kamariang

Besar 4

Tidak berpenghuni, luas 2,85 ha, daerah mencari

makan penyu

Saboeang 4

Berpenghuni, luas 22,33 ha, kepadatan penduduk

9 orang/ha, daerah mencari makan penyu

Samataha 4

Berpenghuni, luas 12,83 ha, kepadatan penduduk

8 orang/ha, daerah mencari makan penyu

Popoongan 4

Berpenghuni, luas 34,35 ha, kepadatan penduduk

10 orang/ha, daerah mencari makan penyu

Sumare Besar 4

Tidak berpenghuni. Luas 7,67 ha, daerah mencari

makan penyu

Sumber : (1). Pengamatan langsung; (2). Rani, et al., 2014.

Formula yang digunakan untuk menghitung frekuensi kemunculan dan

kerapatan lamun didasarkan pada Khouw (2009). Kerapatan lamun dihitung

berdasarkan rumus :

Di = ∑

Di = kerapatan lamun jenis-i (tunas/m2)

∑ni = jumlah tunas lamun jenis-i (tunas)

Ai = jumlah luas transek dimana lamun jenis-i ditemukan (m2)

Frekuensi kemunculan lamun dihitung berdasarkan rumus :

Fi = ∑

x 100% ……..…………………..… (2)

Fi = frekuensi jenis-i (%)

∑ti = jumlah transek dimana jenis-i ditemukan

T = total transek yang digunakan

142

Page 7: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Untuk melihat pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan jenis lamun,

data dianalisis menggunakan analisis multivariate (analisis klaster hirarki dan

analisis koresponden).

Hasil Dan Pembahasan

Distribusi Lamun

Jumlah jenis lamun yang ditemukan selama sampling sebanyak 9 jenis

yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. minor,

Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule uninervis, H. pinifolia dan

Syringodium isoetifolium. Setiap stasiun pada ketiga zona perairan mempunyai

jumlah jenis bervariasi. Secara umum ditemukan total 8 jenis lamun masing-

masing pada zona 1 dan zona 2, sementara pada zona 3 hanya ditemukan 6 jenis

lamun. Berdasarkan stasiun, Pulau Kamariang Besar mempunyai jumlah jenis

lamun paling sedikit yaitu 2 jenis, terdiri dari Thalassia hemprichii dan

Cymodocea rotundata, sedangkan Pulau Karampuang mempunyai jumlah jenis

terbanyak yaitu 8 jenis. Hanya jenis H. pinifolia yang tidak ditemukan di Pulau

Karampuang dari 9 jenis yang ada (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi lamun pada masing-masing stasiun penelitian

Zona Stasiun Jenis Lamun

Ea Th Ho Hm Cr Cs Hu Hp Si

1

Sumare √ √ √ √ √ √

Bulutakkang √ √ √ √ √ √

Rangas √ √ √ √ √ √

Tadui √ √ √ √ √ √

Bone-Bone √ √ √ √

Labuang √ √ √ √ √ √

2 P. Karampuang √ √ √ √ √ √ √ √

3

P. Salissingan √ √ √ √ √ √

P. Kamariang Besar √ √

P. Saboeang √ √ √ √

P. Samataha √ √ √

P. Popoongan √ √ √ √

P. Sumanga Besar √ √ √

Keterangan : Ea : Enhalus acoroides; Th : Thalassia hemprichii; Ho : Halophila ovalis; Hm : H.

minor; Cr : Cymodocea rotundata, Cs : C. serrulata; Hu : Halodule uninervis; Hp :

H. pinifolia; Si : Syringodium isoetifolium. Notasi √ menunjukkan ditemukan jenis

lamun pada stasiun sampling.

Berdasarkan frekuensi jenis yang mengindikasikan distribusi lamun, jenis

yang mempunyai sebaran luas adalah Thalassia hemprichii, H. ovalis dan C.

rotundata. Ketiga jenis tersebut mempunyai frekuensi kemunculan lebih dari

75%. Sementara H. minor dan C. serrulata merupakan jenis yang sebarannya

relatif terbatas dengan frekuensi kemunculan kurang dari 25% (Gambar 2). Hal

berbeda ditemukan di Pulau Barranglompo dimana sebaran padang lamun

didominasi oleh E. acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata (Supriadi et al.

2012). Sementara di Singapura, E. acoroides dan H. ovalis ditemukan lebih luas

distribusinya di antara 12 jenis yang ditemukan (Yaakub et al. 2013).

143

Page 8: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Gambar 2. Frekuensi kemunculan lamun (%)

Hal yang menarik adalah tidak ditemukannya jenis Enhalus acoroides

pada semua stasiun di zona 3, walaupun pada zona 1 dan zona 2 ditemukan pada

semua stasiun. Jenis lamun E. acoroides merupakan salah satu lamun yang

termasuk mempunyai penyebaran yang luas dengan daya adaptasi yang tinggi

(Kuriandewa, 2009). Menurut informasi dari penduduk di Kepulauan Bala-

balakang, sejak dulu sepanjang ingatan mereka, jenis E. acoroides tidak pernah

ditemukan tumbuh, walaupun kondisi lingkungan yang didasarkan pada Rani, et

al. (2014) dan pengamatan secara langsung, sangat memungkinkan untuk tumbuh.

Salah satu kemungkinan karena lokasinya yang relatif jauh dari sumber benih E.

acoroides. Hal ini berbeda dengan jenis-jenis lain yang dari awal sudah tumbuh di

lokasi tersebut. Penyebaran biji E. acoroides hanya bisa mencapai 3,7 km,

sedangkan buahnya dapat menyebar sampai 63,5 km dari sumber benih (Lacap et

al., 2002). Pola arus di Selat Makassar, lokasi Kepulauan Bala-balakang sangat

kecil kemungkinan mendistribusikan benih E. acoroides dari pesisir daratan

utama, baik Pulau Sulawesi maupun Pulau Kalimantan karena pola arus utama

bergerak dari arah utara menuju ke selatan.

Penutupan Lamun

Penutupan lamun menunjukkan adanya variasi antar stasiun sampling.

Kisaran penutupan lamun 21-71% dengan penutupan terendah di Pulau Sumanga

Besar dan tertinggi di Pesisir Tadui. Merujuk pada Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 200 tahun 2004, maka 7 stasiun dari

total 13 stasiun mempunyai kondisi padang lamun berkategori kurang

kaya/kurang sehat, atau penutupan 60% ke atas (Gambar 3a). Ketujuh stasiun

tersebut tersebar pada Zona 1 (Sumare, Rangas, Bone-Bone dan Labuang) dan

Zona 3 (P. Salissingan, P, Kamariang Besar dan P. Saboeang). Kondisi lamun

yang berkategori miskin (penutupan kurang dari 30%) terdiri dari 3 stasiun yaitu

Pulau Samataha, Pulau Popoongan dan Pulau Sumanga Besar. Ketiga stasiun

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Frek

uen

si K

emu

ncu

lan

(%

)

Jenis

144

Page 9: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

tersebut termasuk pada zona 3. Sementara kategori kaya/sehat ditemukan pada 3

stasiun yaitu Pesisir Bulutakkang dan Tadui (Zona 1) dan Pulau Karampuang

(Zona 2).

Gambar 3. Penutupan lamun (%). (a) berdasarkan stasiun sampling, (b) berdasarkan Zona

Perairan, dan (c) penutupan relatif. PD = pesisir daratan, PDD = pulau dekat

daratan dan PJD = pulau yang jauh dari daratan

Berdasarkan zona perairan, rata-rata penutupan lamun antara Zona 1 dan

Zona 2 tidak jauh berbeda, yakni masing-masing 55% dan 61%, sedangkan Zona

3 relatif lebih rendah yakni 34% (Gambar 3b). Umumnya jenis yang mempunyai

kontribusi penutupan lamun yang tinggi pada Zona 1 dan Zona 2 adalah E.

acoroides, T. hemprichii dan C. rotundata. Sedangkan pada Zona 3, penutupan

lamun umumnya disumbangkan oleh T. hemprichii, H. ovalis dan C. rotundata

(Gambar 3c).

Sedikitnya terdapat 3 penyebab perbedaan tutupan lamun tersebut.

Pertama, berhubungan dengan nutrien. Zona 1 dan Zona 2 mempunyai lokasi

perairan yang memungkinkan untuk menerima limpahan nutrien dari daratan.

Nutrien sangat dibutuhkan oleh lamun untuk pertumbuhannya. Sementara pada

Zona 3 yang jauh dari daratan, konsentrasi nutriennya relatif lebih rendah (DKP

Sulbar, 2016). Kedua, semua stasiun di Kepulauan Bala-balakang juga

merupakan daerah feeding ground (tempat mencari makan) penyu. Penyu

memakan daun-daun lamun sehingga menjadi salah satu penyebab rendahnya

penutupan lamun. Ketiga, kondisi secara umum padang lamun di Zona 3 banyak

yang tertimbun pasir. Diduga timbunan pasir tersebut akibat sedimen yang

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100S

um

are

Bulu

takk

ang

Rang

as

Bon

e-B

one

Ta

dui

La

bu

ang

P. K

ara

mpua

ng

P. S

alis

sin

gan

P. K

am

ari

ang

Be

sar

P. S

aboe

an

g

P. S

am

ata

ha

P. P

opoo

ng

an

P. S

um

an

ga B

esar

PD PDD PJD

Penutu

pan (

%)

a

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

PD PDD PJD

Penutu

pan (

%)

Kategori

b

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Sum

are

Bulu

takk

ang

Sum

are

Bon

e-B

one

Ta

dui

La

bu

ang

P. K

ara

mpua

ng

P. S

alis

sin

gan

P. K

am

ari

ang

Be

sar

P. S

aboe

an

g

P. S

am

ata

ha

P. P

opoo

ng

an

P. S

um

an

ga B

esar

PD PJD PJD

Penutu

pan R

ela

tif

(%)

S. isoetifolium

H. pinifolia

H. uninervis

C. serrulata

C. rotundata

H. minor

H. ovalis

T. hemprichii

E. acoroides

c

145

Page 10: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

terbawa dari hasil pecahan-pecahan karang yang hancur sebagai akibat aktifitas

masyarakat pada masa lalu yang menangkap ikan tidak ramah lingkungan.

Analisis hirarki klaster menunjukkan adanya 4 pengelompokan

berdasarkan penutupan jenis lamun (Gambar 4). Kelompok pertama terdiri dari 7

stasiun yang terdiri dari semua stasiun pada Zona 1 dan Zona 2. Kelompok kedua

terdiri dari 3 stasiun yaitu Pulau Saboeang, Pulau Kamariang Besar dan Pulau

Sumanga Besar. Ketiga pulau tersebut berada pada bagian tengah gugusan

Kepulauan Bala-Balakang. Dua pulau terakhir dari ketiga pulau tersebut juga

tidak berpenghuni. Kelompok ketiga terdiri dari Pulau Salissingan, dan kelompok

keempat terdiri dari Pulau Popoongan dan Pulau Samataha.

Gambar 4. Dendrogram pengelompokan stasiun berdasarkan penutupan jenis

lamun

Analisis koresponden menunjukkan jenis lamun yang menjadi penciri pada

masing-masing kelompok yang terbentuk (Gambar 5). Pada analisis ini yang

didasarkan pada kontribusi pembentukan sumbu, juga didapatkan 4 kelompok

pada 3 sumbu utama pertama (F1, F2 dan F3). Namun dari empat kelompok

tersebut, hanya terdapat dua kelompok yang kontribusinya terhadap pembentukan

sumbu cukup besar yaitu kelompok Stasiun Pulau Karampuang, Bone-Bone dan

Tadui yang dicirikan oleh jenis lamun T. hemprichii dan E. acoroides. Kelompok

lainnya adalah Stasiun Pulau Samataha dan Pulau Popoongan yang dicirikan oleh

jenis H. ovalis. Kelompok Pulau Karampuang, Tadui dan Bone-Bone merupakan

daerah pesisir daratan utama yang mempunyai substrat yang didominasi oleh pasir

kasar dengan campuran pecahan-pecahan karang. Ketiga stasiun itu juga berada di

depan vegetasi mangrove. Kondisi substrat seperti itu disukai oleh jenis lamun T.

hemprichii dan E. acoroides. Sedangkan Stasiun Pulau Samataha dan Popoongan

berada Zona 3 dengan substrat yang didominasi oleh substrat pasir halus, terutama

pada bagian intertidal. Substrat yang demikian merupakan preferensi jenis lamun

H. ovalis.

146

Page 11: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Gambar 5. Analisis koresponden. (a) sumbu 1 dan sumbu 2, dan (b) sumbu 1 dan sumbu 3

Kerapatan Lamun

Total kerapatan lamun berkisar antara 594-2750 tegakan/m2, terendah di

Stasiun Labuang dan tertinggi di Pulau Salissingan (Gambar 6a). Kerapatan

lamun di Zona 3 relatif lebih tinggi dibanding pada Zona 1 dan Zona 2 (Gambar

6b). Tingginya kerapatan lamun di Zona 3 tersebut disebabkan karena jenis lamun

yang mendominasi adalah jenis lamun yang secara morfologi berukuran kecil

seperti H. uninervis dan H.ovalis (Gambar 6c). Walupun mempunyai kerapatan

yang relatif tinggi, namun kedua jenis lamun ini memberikan kontribusi yang

relatif kecil terhadap penutupannya. Hal ini terkait dengan morfologi lamun

tersebut yang kecil.

Gambar 6. Kerapatan lamun. (a) kerapatan berdasarkan stasiun sampling (teg/m2), (b)

berdasarkan zona perairan, dan (c) kerapatan relatif (%). PD = pesisir

daratan, PDD = pulau dekat daratan dan PJD = pulau yang jauh dari daratan

Sumare Bulutakkang Rangas Tadui Bone-Bone Labuang

P. Karampuang

P. Salissingan P. Kamariang Besar P. Saboeang

P. Samataha

P. Popoongan

P. Sumanga Besar

E. acoroides

T. hemprichii

H. ovalis

H. minor C. rotundata

C. serrulata

H. uninervis

H. pinifolia S. isoetifolium

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

F2 (

22

.85

%)

F1 (37.30 %)

Sumare

Bulutakkang

Rangas

Tadui Bone-Bone

Labuang

P. Karampuang

P. Salissingan

P. Kamariang Besar

P. Saboeang

P. Samataha

P. Popoongan P. Sumanga Besar

E. acoroides

T. hemprichii

H. ovalis

H. minor

C. rotundata

C. serrulata

H. uninervis

H. pinifolia

S. isoetifolium

-1

-0.5

0

0.5

1

1.5

2

-2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5

F3 (

21

.43

%)

F1 (37.30 %)

b a

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

Sum

are

Bulu

takk

ang

Rang

as

Bon

e-B

one

Ta

dui

La

bu

ang

P. K

ara

mpua

ng

P. S

alis

sin

gan

P. K

am

ari

ang

Be

sar

P. S

aboe

an

g

P. S

am

ata

ha

P. P

opoo

ng

an

P. S

um

an

ga B

esar

PD PDD PJD

Kera

pata

n (

teg/m

2)

a

0

500

1000

1500

2000

2500

PD PDD PJD

Kera

pata

n (

teg/m

2)

Kategori

b

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Sum

are

Bulu

takk

ang

Rang

as

Bon

e-B

one

Ta

dui

La

bu

ang

P. K

ara

mpua

ng

P. S

alis

sin

gan

P. K

am

ari

ang

Be

sar

P. S

aboe

an

g

P. S

am

ata

ha

P. P

opoo

ng

an

P. S

um

an

ga B

esar

PD PJD PJD

Kera

pata

n R

ela

tif

(%)

S. isoetifolium

H. pinifolia

H. uninervis

C. serrulata

C. rotundata

H. minor

H. ovalis

T. hemprichii

E. acoroides

c

147

Page 12: EKOSISTEM LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/... · Kabupaten Mamuju. Penentuan stasiun didasarkan pada zona perairan yang berbeda

ISBN: 978-602-71759-2-1

Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan III

Universitas Hasanuddin Makassar, 7 Mei 2016

Kesimpulan

Keanekaragaman lamun yang ditemukan di perairan pesisir dan pulau

dekat daratan lebih tinggi dibanding perairan pulau yang jauh dari daratan.

Disamping itu, kondisi padang lamun berdasarkan penutupan di perairan pesisir

daratan dan pulau dekat daratan juga lebih baik dibanding padang lamun yang

tumbuh di perairan pulau yang jauh dari daratan.

Daftar Pustaka

Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Barat (DKP Sulbar). 2016.

Laporan Akhir Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Propinsi Sulawesi Barat. DKP Sulbar. Mamuju.

Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Nomor 200 Tahun 2004 tentang Kriteria baku kerusakan dan

pedoman penentuan status padang lamun. Jakarta.

Khouw, A.S. 2009. Metode dan Analisa Kuantitatif dalam Bioekologi Laut.

Jakarta: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.

Kuriandewa TE. 2009. Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Lokakarya

Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun: Peran Ekosistem Lamun dalam

Produktivitas Hayati dan Meregulasi Perubahan Iklim. Jakarta, 18

November 2009.

Lacap, C.D.A, J.E. Vermaat, R.N. Rollon dan H.M. Nacorda. 2002. Propagule

dispersal of the SE Asian seagrasses Enhalus acoroides and Thalassia

hemprichii. Mar. Ecol. Prog. Ser 235:75-80.

McKenzie, L.J. dan Campbell, S.J. 2002. Seagrass-Watch: Manual for

Community (citizen) Monitoring of Seagrass Habitat. Western Pacific

Edition (QFS, NFC, Cairns) 43pp.

Rani, C., P. Parakkasi, A. Faisal, A. Haris, F. Samawi, A. Bahar, F. Amir, I. Yasir,

D. Priosambodo dan S. Budi. 2014. Profil Pulau-Pulau Kecil Sulawesi

Barat. Masagena Press. Makassar.

Supriadi, R.F. Kaswadji, D.G. Bengen dan M. Hutomo. 2012. Komunitas lamun

di Pulau Barranglompo Makassar: Kondisi dan karakteristik habitat.

Maspari Journal 4 (2): 148-158.

Yaakub, S.T., R.L.F. Lim, W.L. Lim dan P.A. Todd. The diversity and

distribution of seagrass in Singapore. Nature in Singapore 6: 105-111.

148