Proposal Pameran Akademik Desain Paramadina "Teh Anget" Angkatan 2012
EKOPOL PARAMADINA
Click here to load reader
-
Upload
shei-latiefah -
Category
Documents
-
view
695 -
download
0
description
Transcript of EKOPOL PARAMADINA
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
A. Pendekatan Liberal Political Economy vs Classical Political Economy
Pendekatan liberal political economy adalah pendekatan yang menggunakan pemikiran
Adam Smith pada awal abad ke-18. Menurut konsep umum tentang pendekatan ekonomi politik,
konsentrasi perspektif ini adalah sebuah ilmu yang mempelajari relasi kekuasaan yang
mempengaruhi produksi, distribusi dan penggunaan sumber daya. Paham liberal yang digunakan
oleh Adam Smith melihat kemakmuran terjadi melalui kompetisi, spesialisasi tenaga kerja dan
perdagangan bebas. Dalam perspektif, tiap– tiap pelaku ekonomi harus diberi kebebasan untuk
mendapatkan kemakmuran (dengan persaingan sempurna). Pasar adalah motor yang mendorong
terciptanya kemakmuran (melalui persaingan). Persaingan yang ideal adalah persaingan yang
hanya membatasi pasar atas fungsinya sebagai fungsi pertahanan. Pemerintah masih menetapkan
aturan perdagangan dengan tujuan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi. Inti dari liberal
political economy adalah adanya demarkasi yang jelas antara aspek ekonomi dengan politik.
Misalnya, dalam kasus terjadinya konglomerasi media. Pemerintah memang menetapkan
peraturan-peraturan sedemikian rupa, namun, menurut konsep liberal ekonomi, mereka tidak
berhak mengatur apakah media tidak boleh dimiliki oleh grup tertentu dan munculnya praktek
sentralisasi kepemilikan tidak dipermasalahkan. Persaingan sempurna, bebas. Ketika ada grup
yang berkuasa, berarti memang grup tersebut memiliki kekuatan modal. Secara liberal,
seharusnya tidak ada larangan kepemilikan berganda media.
Sedangkan, Critical political economy adalah teori yang berbeda dari ekonomi
kebanyakan. Terdapat empat hal: holistik, bersejarah, berkonsentrasi sentral terhadap
keseimbangan antara kapitalis dengan publik, pemikiran kritis juga mempertanyakan hal – hal
yang melampaui aspek teknis dan mengaitkannya dengan pertanyaan mendasar mengenai
keadilan, kesamarataan, dan kepentingan publik. Ini menitikberatkan pada keterkaitan antara
struktur ekonomi, dan dinamika industri dan isi media. Menurut teori ini, institusi media
berkaitan erat dengan sistem politik. Penelitian yang menggunakan teori ini cenderung pada
struktur kepemilikan media, kontrol media dan bagaimana kekuatan pasar bekerja. Ada sejumlah
isu penting yang berkaitan dengan teori ekonomi politik ini yakni strukur media dan konsentrasi
dalam kepemilikan media; integrasi media ke dalam sistem ekonomi dan media global;
komodifikasi khalayak; penurunan diversitas isi akibat konsentrasi kepemilikan media; dan suara
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
kaum marjinal yang terpinggirkan akibat media lebih berkonsentrasi dalam memberitakan
peristiwa yang punya nilai jual.
Misalnya, contoh di Indonesia, konsentrasi kepemilikian media oleh grup tertentu menjadikan
konten media seakan seragam dan minim diversifikasi. Grup Media Nusantara Citra (MNC),
contohnya, yang memiliki beberapa stasiun TV seperti: RCTI, Global TV, dan TPI. Konsentrasi
kepemilikan ini mempengaruhi penyeragaman pola penyajian konten. Belum lagi keterbatasan
elaborasi masing-masing stasiun TV yang berkuasa juga orangnya itu-itu saja.
B. Varian ekonomi politik: instrumentalis, strukturalis dan kulturalis
a. Instrumentalis:
Mazhab Instrumentalis melihat media sebagai kendaraan politik. Konspirasi para pekerja
media dengan penguasa yang menggunakan media sebagai instrument politik media.
Instrumentalisme memfokuskan pada cara-cara kaum kapitalis mempergunakan
kekuasaan ekonomi mereka dengan suatu sistem pasar komersial untuk menjamin aliran
informasi publik sesuai dengan kepentingan mereka.
Herman dan Chomsky (Manufacturing Consent) memperkenalkan model propaganda
yang didalamnya terdapat filter-filter yang mempengaruhi model ini yakni: ukuran besar-
kecil, kepemilikan dan orientasi media; Pengiklan; Sumber berita; Falk; dan Ideologi anti
komunisme.
Media mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada publik. Dalam
suatu media besar, ketergantungan terhadap pemerintah menjadi penting dalam mengatasi
kebijakan-kebijakan yang ada. Selain itu, keberadaan iklan menopang profit bisnis
media, sehingga, pengiklan juga memiliki pengaruh dalam menentukan konten media.
Ketika membicarakan sumber berita yang menjadi filter ketiga, maka, media massa
membutuhkan legitimasi atas berita tersebut dengan menghadirkan sumber berita
(narasumber) yang dianggap otoritatif dalam menjelaskan suatu peristiwa.
Filter selanjutnya, flak, adalah respon negatif terhadap pernyataan media berasal dari
surat, telegram, telepon. Sedangkan, Ideologi anti komunisme merupakan kontrol
mekanisme. Komunisme mengancam kepemilikan para pemodal, sehingga kekayaan
mereka tidak bisa maksimal.
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
Contohnya, dengan kasus tewasnya Dulmatin, berikut blow-up reportasenya di berbagai
media, indikasinya adalah, kasus tersebut sebenarnya merupakan alat propaganda
masyarakat. Dengan target untuk memenuhi kepentingan beberapa pihak, diantaranya
pemilik media, penguasa, dan pihak-pihak lain yang secara tidak langsung ikut
diuntungkan. Bayangkan saja, dengan blow-up tewasnya Dulmatin, headline-headline
yang masih santer dan urgent seperti kasus Century bisa tercover. Saya mensinyalir
adanya konspirasi antara para penguasa— media dengan pemerintah— tersebut.
b. Strukturalis:
Strukturalisme melihat struktur sebagai formasi-formasi dinamis yang secara tetap
direproduksi dan diubah melalui tindakan praktis.
Analisis dengan mempergunakan perspektif struktural ini mengarahkan analisis pada
kenyataan bahwa makna dibuat dan direproduksi melalui aktivitas-aktivitas kongkrit dari
produsen dan konsumen. Hal ini ditujukan untuk mengkaji tindakan-tindakan yang
dibentuk secara struktural.
Pemberitaan media dan kecenderungannya lebih diakibatkan oleh struktur media itu
sendiri, misal persaingan antarmedia (rating), struktur produksi dalam organisasi media
dan lain-lain. Dalam pandangan strukturalis, ideologi pemberitaan media tidak hanya
melekat pada pemilik atau pekerja media, tetapi juga melekat pada struktur industri
media itu sendiri.
Jika hal ini dikaitkan dengan kasus Dulmatin, pemberitaan kejadian terorisme tersebut
sebenarnya tidak jauh dari kepentingan para penguasa, para pemegang kendali yang
berorietasi ke profit. Apalagi dengan konsep propaganda, semakin jelas saja, pemaksaan
kehendak terhadap khalayak atas peliputan terorisme, semata-mata untuk menaikkan
rating. Sehingga berita tersebut menjadi favorit di masyarakat.
c. Kulturalis
Pandangan kulturalis atau konstrukivis melihat adanya hubungan saling kait-mengait
(interplay) antara struktur dan agensi. Pandangan ini menolak pandangan instrumentalis
dan strukturalis yang melihat agen atau pekerja media sebagai pihak yang pasif.
Sebaliknya, pandangan konstruktivis melihat pekerja media mempunyai kecenderungan
dan tendensi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan media. Pemberitaan media
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
adalah hasil negosiasi dan interplay antara struktur dengan agen pekerja media. Faktor
struktural membatasi lingkup gerak dan pilihan yang tersedia bagi para agen.
Tewasnya Dulmatin dan terorisme yang diliput di media tidak semata-mata disajikan apa
adanya, tanpa melalui proses negosiasi output yang kemudian dikonsumsi khalayak.
Meskipun secara structural berita itu penting dan mendatangkan profit, tidak jarang
terdapat beberapa kendala dalam proses editingnya hingga sampai ke khalayak. Masing-
masing dari pekerja media (agen) memiliki keinginan tersendiri untuk mengemas berita
tersebut sesuai apa yang mereka inginkan. Misalnya memojokkan tetroris atau malah
mendukung mereka. Sayangnya, tidak semua agen dapat mempergunakan nalar mereka
dan kemudian mengeksekusi berita seenaknya. Struktur masih mengkungkung kreativitas
mereka.
Menurut saya, pendekatan yang dapat dipergunakan di Indonesia adalah Instrumentalis.
Karena konsenrasi kepemilikan media di Indonesia sangat dominan. Filter pemilik modal
sangat mempengaruhi ketidakberagaman pola penyajian konten media di Indonesia.
C. Teori Propaganda dari Edward S. Herman and Noam Chomsky
Teori propaganda menurut Herman dan Chomsky adalah teori tentang media yang
memaksakan kepentingannya sedimikian rupa agar diterima oleh publik. Bukan lagi
menjadi rahasia umum bahwa kepemilikan media sangat strategis, oleh karena itu,
para media mogul akan melakukan apapun agar posisi mereka aman serta sejahtera.
Sebenarnya, fokus model propaganda ini adalah pada ketidakseimbangan antara
kekayaan dengan kekuasaan, dan efek multilevel terhadap minat serta pilihan media
massa. Maksud dari hal ini adalah, uang dan kekuasaan dapat menyetir output berita,
serta memungkinkan pihak –pihak dominan (swasta maupun pemerintah) menyampaikan
pesan-pesan pada publiknya.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya dalam varian instrumentalis, model propaganda
menyangkut beberapa filter, antara lain: ukuran besar-kecil, kepemilikan dan orientasi
media; Pengiklan; sumber berita; falk; dan ideologi anti komunisme.
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
Media mempunyai keterkaitan jaringan kepemilikan dengan institusi ekonomi lainnya,
sehingga media yang dominan dikuasai oleh sedikit orang. Mereka biasanya tergabung
dalam grup tertentu. Kepemilikan media tidak hanya berjung disitu saja, biasanya mereka
yang menguasai media juga mempunyai kepemilikan pada bidang bisnis atau politik lain.
Konsentrasi kepemilikan ini memengaruhi tingkat kemampuan media untuk bisa survive,
karena, semakin luas jaringannya, semakin aman keberadaan media tersebut.
Selain ukuran tadi, keberadaan iklan juga menopang profit bisnis media. Sedikit-banyak,
pengiklan juga melekatkan ideologinya pada media terkait, karena mereka memegang
kendali dengan mengiklankan produk pada media tersebut. Pengiklan juga menentukan
konten media.
Lalu, menilik pada filter selanjutnya yakni sumber berita, media massa membutuhkan
legitimasi atas berita tersebut dengan menghadirkan sumber berita (narasumber) yang
dianggap otoritatif dalam menjelaskan suatu peristiwa. Menurut Herman dan Chomsky,
Sumber berita penting untuk dua hal. Pertama, kredibilitas berita. Semakin sulit
narasumber diraih, semakin prestise suatu berita. Kedua, media bisa mengklaim berita
yang dihasilkan “objektif”.
Filter selanjutnya, flak, adalah respon negatif terhadap pernyataan media berasal dari
surat, telegram, telepon. Respon ini bisa jadi muncul secara sporadis tetapi bisa juga
terorganisir oleh korporasi atau kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.
Kemudian, filter terakhir adalah Ideologi anti komunisme merupakan kontrol mekanisme.
Komunisme mengancam kepemilikan para pemodal, sehingga kekayaan mereka tidak
bisa maksimal. Komunisme menjadi musuh bersama pada tahun 50-an, saat keberadaan
Rusia, Kuba dan China menonjol. Ideologi dan musuh bersama tersebut menyatukan
media dan pandangan publik. Sehingga, opini publik dapat disetir sesuai dengan
ideologi yang ada di negara tersebut, yang kemudian menempatkan posisi aman secara
nasional.
Kelemahan dari teori propaganda ini adalah terlalu manipulatif. Seperti pada zaman
Hitler, teori propaganda dipergunakan untuk memanipulasi massa, kendaraan yang
dipakai juga media, selain orasi kharismatiknya. Oleh karena itu, mengapa propaganda
kemudian diartikan secara negatif. Implikasi ketika Mereka mempergunakan media
sebagai alat politik, pemuas kebutuhan para stakeholder adalah instabilitas. Dalam hal
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
ini, instabilitas posisi dan citra media ketika manipulasi kerap terjadi (dan pasti terjadi).
Ketika masyarakat sadar manipulasi yang dibikin, tentu akan terjadi reaksi, baik sekedar
protes maupun serangan yang lebih keras. Objektifitas berita pun dipertnyakan karena,
konspirasi yang terjadi dalam intern sangat besar kemungkinannya.
Kita bisa melihat teori ini dengan menengok kasus ambalat. Kaum instrumentalis melihat
bahwa ada konspirasi yang mendasari peliputan sengketa tersebut. Terjadi interplay
antarpengusa, dalam hal ini yakni pemilik media, pemerintah (TNI), dan jurnalils/
reporter. Masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang harus diakomodir
dalam satu wadah, dalam hal ini adalah media. Media, ketika kasus ambalat booming,
cenderung provokatif. Bukannya menyelesaikan masalah secara legal, malah
menganjurkan adanya perang terbuka, ganyang Malaysia. Dari sini saja sudah dapat
dilihat bahwa terdapat kepentingan politis dari pihak Indonesia yang ingin menyetir opini
publik supaya pro perang. Legitimasi dari publik dibutuhkan supaya tidak terjadi konflik
dalam negeri, supaya mereka memiliki musuh bersama, yakni Malaysia.
D. Perbedaan media political economy dengan cultural studies
Perbedaan utama antara teori ekonomi politik media dengan teori budaya adalah:
a. Pertama, dari paradigma teori. Teori ekonomi politik media cenderung makroskopik,
sedangkan teori budaya itu mikroskopik. Teori budaya berupaya memahami
bagaimana media dipakai dan digunakan dalam kehiduan sehari-hari oleh indvidu.
Sementara teori ekonomi politik lebih melihat bagaimana seseorang dipengaruhi oleh
media, dan media itu sendiri dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi politik,
penekanannya ada pada strukturasi media.
Jika paradigma teori ini kemudin dipergunakan untuk, misalnya, menganalisis kasus
Babe yang melakukan mutilasi pada bocah-bocah dibawah umur, maka, pendekatan
ekonomi-politik lebih memfokuskan pada upaya pengemasan reportase tentang Babe
sehingga dapat menyedot pemirsa. Kelakuan pria tua yang menyodomi bocah
dibawah umur itu bisa saja kemudian dijadikan awareness-awareness tersendiri
bahwa kakek-kakek berpotensi melakukan praktek sodomi dan pembunuhan. Hal ini
tidak lain untuk menaikkan rating. Semakin menarik pemberitaannya, semakin
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
tinggi rating, semakin besar perolehan kue iklan. Sedangkan, bila hal ini dikaji
secara kultural, maka target penelitian adalah pada individu yang mengkonsumsi
berita tersebut. Tercipta kesan-kesan tersendiri dalam proses penerimaan informasi
terhadap individu. Ada yang jijik, geram, dan khawatir akan terjadi kasus-kasus
serupa di lingkungan mereka.
b. Teori ekonomi politik melihat khalayak sebagai individu yang pasif. Sehingga
mereka semata-mata menyajikan informasi tanpa mempertimbangkan apakah
khalayaknya akan keberatan atau tidak. Sebaliknya, teori budaya (cultural studies)
melihat khakayak sebagai individu yang aktif. Khalayak bisa memberi penafsiran
yang berbeda dari apa yang disajikan oleh media. Ketika seseorang menerima pesan,
orang akan mengkodekan pesan-pesan tersebut berdasarkan persepsi, pemikiran dan
pengalaman masa lalu seseorang. Pengkodean sangat penting posisinya dalam teori
budaya karena hal ini berhubungan dengan subjek yang diteliti. Hall membagi tiga
posisi ketika seseorang melakukan decoding atas pesan: posisi dominan-hegemonis,
posisi oposisional dan posisi negosiasi.
Dalam konteks kasus mutilasi oleh Babe, media, dilihat dari perspektif ekonomi –
politik akan memberitakan kasus tersebut sekena mereka. Pengeksposan Babe yang
notabene kakek-kakek merupakan doktrin tersendiri bahwa, kakek-kakek sangat
berpotensi untuk melakukan praktek sodomi. Kekhawatirannya adalah, ketika
khalayak pasif, maka mereka akan sangat khawatir dengan lingkungan mereka,
apalagi ternyata banyak orang lanjut usia di lingkungan tersebut. Sedangkan, teori
budaya menilai bahwa belum tentu semua khalayak berpendapat seperti itu. Karena
proses dekoding masing-masing berbeda, bisa saja mereka justru merasa kasihan
terhadap nasib yang menimpa Babe, ataupun merasa prihatin pada keluarga Babe
yang tentu menanggung malu. [ ]
Ekonomi Politik Media Massa— Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina
Referensi- Curran, James. (1997). Mass Media and Democracy: A Reappraisal. James Curran and
Michael Gurevitch (ed), Mass Media and Society. Third Edition. London: Arnold.
- Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication. London: Sage
Publication.
- Robert E. Babe, “Cultural Studies and Political Economy: Toward A New Integration”.
2009. Lexington Books, UK.
- Herman, Edward and Chomsky, Noam. (2002). Manufacturing Consent – The Political
Economy of The Mass Media. 1988. New York: Pantheon Book.
- Materi kuliah Ekonomi Politik Media Massa pertemuan 1-7, oleh Dosen; Eriyanto.
- Catatan mata kuliah kuliah Ekonomi Politik Media Massa dan mata kuliah Media,
Budaya dan Masyarakat