Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

234
i

Transcript of Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Page 1: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

i

Page 2: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMIii

Ekonomi, Keuangan, dan KemandirianDesa di Tengah PandemiTim Penulis: M Firmansyah Ni Made Sukartini Fariastuti Djafar Agus Sunaya Sulaeman Sriyani Rudy Suryanto Dahlan Tampubolon Evi Maria Abdul Halim Fitria Husnatarina

Sri Langgeng Ratnasari Rudi Purwono Hady Sutjipto Khoirunurrofik Moh. Ahlis Djirimu Mukhtar A. Adam Rully Novie Wurarah Agus Supratikno Suharyadi Rini Hudiono

Editor: Evi Maria Mukhtar A. Adam Abdul Halim

Page 3: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

iii

KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Segala puji dan syukur, kami panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah kepada kita semua, seluruh akademisi, praktisi, pendamping desa, dan pengelola BUMDes.

Saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mengucapkan “Selamat dan Sukses”kepadaForumAkademisiNusantara (FOKATAR)danScientificInstitute For Development and Government (SiDego) atas diterbitkannya buku “Ekonomi, Keuangan dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi”. Buku ini berisi kumpulan tulisan dari para akademisi nusantara terkait kenormalan baru di desa, yaitu isu ekonomi desa dan pandemi Covid-19, isu pengelolaan/tata kelola keuangan desa, isu masa depan kemandirian desa. Pembahasan kenormalan baru dimulai dari ketahanan ekonomi desa di masa pandemi Covid-19, pengelolaan keuangan desa sampai dengan strategi desa menuju desa yang mandiri dan berkualitas.

Semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi setiap orang untuk berbagi ilmu dan wawasan dalam penguatan ekonomi desa ditengah pandemi, sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri. Akhir kata, kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Desember 2020 Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT

TaufikMadjid

Page 4: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMIiv

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb., salam sejahtera bagi kita semua.

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya kepada kita semua, sehingga buku Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian Desa di Tengah Pandemi dapat terselesaikan dengan baik. Kami penyunting mewakili tim penulis mempersembahkan buku ini dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu, informasi, gagasan, hasil riset terkait desa dan pengelolaan keuangan ke seluruh penjuru tanah air.

Diskusi virtual, hasil kerjasama Forum Akademisi Nusantara (FOKATAR) dan Scientific Institute For Development and Government(SiDego), tanggal 3 Juni 2020 lalu, telah mengumpulkan akademisi, praktisi, pendamping desa, pengelola BUMDes, Kemendes, dan masyarakat umum untuk membahas strategi membangun kenormalan baru desa. Banyak poin-poin rekomendasi penting dihasilkan, dan poin rekemondasi dikumpulkan dalam bentuk tulisan yang tersaji dalam buku ini. Ada tiga isu yang dibahas, yaitu ekonomi desa dan pandemi Covid-19, tata kelola keuangan desa, dan kemandirian desa. Dari ketiga isu tersebut, ada 16 sub judul yang menarik untuk dibaca. Hadirnya buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pembelajaran berarti untuk dijadikan acuan penguatan ekonomi desa di tengah pandemi dan pengelolaan keuangan desa sehingga desa bisa menjadi desa kreatif dan mandiri.

Penyunting mengucapkan banyak terimakasih kepada tim penulis yang telah berkontribusi dalam buku ini. Semoga buku ini dapat memberi manfaat untuk memperluas pengetahuan dan wawasan bagi para akademisi, peneliti, dan praktisi terkait pengelolaan ekonomi dan keuangan desa di tengah pandemi, agar desa bangkit menjadi desa yang kreatif dan mandiri. Segala kekurangan atas buku ini menjadi tanggung jawab penyunting. Oleh karena itu, kami menerima saran dan kritik dengan hati yang gembira.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Salatiga, Desember 2020

Evi Maria, Mukhtar A. Adam, Abdul Halim.

Page 5: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

v

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ................................................................................... IIKATA PENGANTAR ............................................................................... IIIDAFTAR ISI .............................................................................................V

EKONOMI DESA DAN PADEMI COVID-19BAB I KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA PANDEMI COVID-19: PEMBELAJARAN YANG BISA DIAMBIL .............................................11. PENDAHULUAN ................................................................................12. DAMPAK COVID-19 DI DESA ...........................................................23. KETAHANAN PANGAN DESA ..........................................................34. ASPEK PARIWISATA DESA .............................................................45. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESA ........................................46. REKAYASA PASAR DESA ................................................................57. PENUTUP ..........................................................................................68. DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................6

BAB IIINFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN DESA,ANTISIPASI TERHADAP GUNCANGAN PANDEMI COVID-19 ...............................91. PENDAHULUAN ................................................................................92. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU

INDONESIA MAJU ..........................................................................112.1KondisiTopologidanGeografiDesa ...........................................132.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan .....................152.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah Perdesaan ...17

3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH DAERAH PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT KONDISI KENORMALAN BARU ....................................................................243.1 Prasarana Kesehatan ..................................................................243.2 Infrastruktur Dasar .......................................................................253.3 Kebiasaan dan Perilaku Adaptasi ................................................263.4 Anggaran .....................................................................................27

4. PENUTUP ........................................................................................275. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................28

Page 6: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMIvi

BAB IIIPROGRAM BANTUAN PEMERINTAH SAAT PANDEMI UNTUK KELUARGA MISKIN DI DESA .............................................................331. PENDAHULUAN .............................................................................312. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA

MISKIN .............................................................................................313. INTEGRASI DATA ANTAR BERBAGAI PROGRAM

KEMENTERIAN ..............................................................................324. PERAN PERANGKAT DESA DALAM PENDATAAN .....................335. TRANSPARANSI, SOSIALISASI DAN PERAN LEMBAGA

PENGAWASAN ...............................................................................356. PENUTUP ........................................................................................357. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................36

BAB IVBELANJA DESA DI MASA PANDEMI,BAHAGIA SEJENAK MENGHIASI NEGERI ...........................................................................371. PENDAHULUAN ..............................................................................372. BELANJA DESA DI MASA PANDEMI ............................................383. PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN ..............................................393.1 Pengadaan Barang dan Jasa ......................................................393.2 Pemungutan Pajak ......................................................................403.3 Penatausahaan Belanja .............................................................413.4 Pertanggungjawaban dan Pelaporan ..........................................423.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & Laporan ...........................423.6 Kualitas Laporan .........................................................................43

4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA? ...................................................434.1 Belanja Bantuan Langsung Tunai (BLT) ......................................434.2 Belanja Non BLT..........................................................................44

5. PENUTUP ........................................................................................456. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................45

BAB VREVITALISASI BUMDES UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN DI MASA PANDEMI .............................................................491. PENDAHULUAN ..............................................................................492. ANCAMAN KETAHANAN PANGAN ...............................................513. PERAN BUMDES DALAM KETAHANAN PANGAN ......................534. REVITALISASI BUMDES DI MASA PANDEMI .............................555. PENUTUP ........................................................................................576. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................59

Page 7: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

vii

PENGELOLAAN/TATA KELOLA KEUANGAN DESA

BAB VITINJAUAN LITERATUR PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN PEDESAAN .....................................................................611. PENDAHULUAN ..............................................................................612. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA

KEUANGAN PEDESAAN ................................................................622.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan ...........................622.2 Penentu Partisipasi Kredit Pedesaan ..........................................632.3 Dampak Sosial dan Ekonomi dari Partisipasi Petani ke Lembaga

Keuangan Pedesaan ...................................................................663. KEBIJAKAN KREDIT PETANI ........................................................67

3.1 Program pemerintah ....................................................................673.2 Suplai Jasa Keuangan Formal di Sektor Pedesaan dan Pertanian

....................................................................................................683.1 Penggunaan Skema Keuangan Mikro Informal di Dektor Pertanian ...

........................................................................................................... 704. PENUTUP ........................................................................................705. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................72

BAB VIIDANA DESA, KORUPSI DAN GOOD PUBLIC GOVERNANCE ......771. PENDAHULUAN ..............................................................................772. DANA DESA DAN KORUPSI KEPALA DESA DI INDONESIA .....783. GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI

PEMBERANTASAN KORUPSI DANA DESA ................................844. PENUTUP ........................................................................................875. DAFTAR PUSTAKA .........................................................................88

BAB VIIIQUO VADIS AKUNTABILITASPENGELOLAAN DANA DESA ........911. PENDAHULUAN ..............................................................................912. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESA ..........................92

2.1 Keterbatasan Regulasi ................................................................932.2 Keterbatasan Anggaran untuk Insentif .......................................932.3 Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Aparatur Desa ...............942.4 Keterbatasan Pendampingan ......................................................942.5 Keterbatasan Pengawasan .........................................................942.6 Keterbatasan Penggunaan Teknologi Informasi ..........................942.7 Keterbatasan Penguatan Nilai-nilai Kepemimpinan Desa ...........95

3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESA ...............954. PENUTUP ......................................................................................1025. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................103

Page 8: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMIviii

BAB IXPENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU .........................................................1071. PENDAHULUAN ............................................................................1072. PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN ...

1083. PENUTUP ......................................................................................1134. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................115

MENATAP MASA DEPAN KEMANDIRIAN DESA

BAB XMENATAP MASA DEPAN MENJADI DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS DI JAWA TIMUR ......................................................1171. PENDAHULUAN ............................................................................1172. DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS .........................................1183. MANAJEMEN ORGANISASI DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAH DESA .....................................................................1224. INTEGRASI ANTAR PROGRAM DALAM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN DESA ...............................................................1235. PENUTUP ......................................................................................1246. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................125

BAB XIDESA GARDA TERDEPAN PEMULIHAN EKONOMI DI MASA TATANAN KEHIDUPAN BARU ..........................................................1271. PENDAHULUAN ............................................................................1272. STRATEGI DESA MENJADI GARDA DEPAN PEMULIHAN

EKONOMI.......................................................................................1293. PENUTUP ......................................................................................1354. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................135

BAB XIIKERJASAMA ANTAR DESA BAGI PENGUATAN INOVASI DAN KEWIRAUSAHAAN MENUJUKEMANDIRIAN EKONOMI DESA ..1371. PENDAHULUAN ............................................................................1372. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASAR .................1403. WIRAUSAHA LOKAL SEBAGAI MOTOR PENGGERAK

EKONOMI DESA ...........................................................................1464. KERJASAMA ANTAR DESA UNTUK MENINGKATKAN SKALA

EKONOMI.......................................................................................1485. PENUTUP ......................................................................................1516. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................152

Page 9: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

ix

BAB XIIIKRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN TRANSAKSI DIGITAL DI DESA ....................................................................................................1551. PENDAHULUAN ............................................................................1552. MEMAHAMI PERJALANAN KRISIS EKONOMI .........................1563. MAKNA TATANAN KEHIDUPAN BARU .......................................1604. PENUTUP ......................................................................................1655. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................165

BAB XIVMEMBANGUN KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERTINGGAL DI MALUKU UTARA ..................................................1931. PENDAHULUAN ............................................................................1692. SELAYANG PANDANG DESA DAN DESA TERTINGGAL .........1703. KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERINGGAL .............1714. PENUTUP ......................................................................................1765. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................177

BAB XVMAMPUKAH HUMAN CAPITAL DI PERDESAAN BERKONTRIBUSI TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH? ......................................1791. PENDAHULUAN ............................................................................1792. HUMAN CAPITAL PERDESAAN DAN PEREKONOMIAN

DAERAH .........................................................................................1823. PENUTUP ......................................................................................1924. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................193

BAB XVIDESA KREATIF PERDAMAIAN: SOLUSI KONFLIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL (STUDI DI DUSUN SRUMBUNG GUNUNG) ..2211. PENDAHULUAN ............................................................................1952. DESA KREATIF PERDAMAIAN ...................................................1973. PENUTUP ......................................................................................2064. DAFTAR PUSTAKA .......................................................................207

Page 10: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMIx

Page 11: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 12: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 13: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

M. Firmansyah 1

KETAHANAN EKONOMI DESA DI MASA PANDEMI COVID-19: PEMBELAJARAN

YANG BISA DIAMBIL

M FirmansyahFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mataram

[email protected]

BAB

I1. PENDAHULUANPandemi Covid-19 tidak saja melahirkan kematian dan krisis kesehatan namun memicu krisis ekonomi, resesi atau depresi besar secara global (Laing 2020; Nicola et al. 2020). Mengatasi penyebaran paparan virus mematikan ini, pemerintah di berbagai belahan dunia menerapkan lockdown, jaga jarak, pembatasan penerbangan, penyebrangan dan berbagai pembatasan lain sehingga memicu penurunan besar transaksi ekonomi (Atalan 2020; Nicola et al. 2020). Dunia saat ini sedang bekerja keras melawan Covid-19, baik dari aspek kesehatan sekaligus menjaga stabilitas ekonomi.

Penanganan Covid-19 di desa menjadi persoalan sendiri yang perlu mendapat perhatian pemangku kebijakan nasional maupun daerah. Desa dengan segala keterbatasan, seperti keterbatasan infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) bidang kesehatan, komunikasi yang terbatas menjadi pemicu kekhawatiran penyebaran massif virus mematikan ini di desa. Dalam menghambat penyebarannya, pemerintah berupaya meningkatkan kedisiplinan masyarakat untuk mengikuti protokol kesehatan dengan payung regulasi, antara lain menyiapkan kebutuhan dasar masyarakat miskin dengan bantuan jaring pengaman sosial (JPS) dan bantuan lain. Logikanya, ketika aspek kesehatan dan ekonomi desa telah terpenuhi, orang tidak lagi berpikir untuk bekerja di luar rumah sementara waktu.

Ketahanan masyarakat desa di masa pandemi merupakan kombinasi dua aspek, kesehatan masyarakat dan ketahanan ekonomi. Kesehatan masyarakat berkaitan dengan infrastruktur kesehatan, seperti kelayakan puskesmas, alat-alat kesehatan dan juga sumber daya tenaga kesehatan (nakes) yang memadai. Dengan kualitas kesehatan yang baik di desa, masyarakat desa akan dengan cepat mendapat pertolongan pertama ketika terpapar virus atau penyakit lain tanpa harus berjalan jauh ke kota. Sementara itu, ketahanan ekonomi desa merupakan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat desa secara mandiri, baik kebutuhan pangan maupun non pangan sebagai kompensasi berkurangnya waktu kerja akibat pandemi.

Page 14: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI2

Seperti halnya masyarakat perkotaan, masyarakat desa dituntut tetap dirumah karena dipercaya efektif menurunkan penularan (Castillo, Staguhn, and Weston-Farber 2020), menjaga jarak sosial yang juga efektif menunda atau mengurangi waktu wabah (Aldilaa et al. 2020), menggunakan masker (Cheng et al. 2020; Eikenberry et al. 2020; Fadare and Okoffo 2020), mencuci tangan dan menerapkan protokol kesehatan lainnya. Namun, tuntutan itu terhambat karateristik pekerjaan masyarakat desa yang umumnya mengelola alam, sehingga harus keluar rumah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Work from home (WFH) masyarakat kota tidak bisa disamakan dengan masyarakat desa yang harus bekerja di lapangan memenuhi kebutuhan hidup. Sungguh-pun begitu, karena pandemi orang dipaksa bekerja di rumah (Kramer and Kramer 2020). Sehingga, dibutuhkan strategi win win dalam memastikan masyarakat desa tetap menjalankan protokol kesehatan, namun ekonomi tetap jalan. Sehingga ungkapan sebagian orang bahwa “di luar rumah khawatir mati karena Corona, di dalam rumah khawatir mati kelaparan” tidak terjadi.

Strategi win win juga diperlukan untuk menjalankan apa yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal) di desa. Masyarakat desa tidak bisa setiap waktu dipaksa membatasi aktifitasnya, new normal merupakan jalan tengahnya. Mereka akan tetap bekerja karena harus memenuhi kebutuhan hidup namun tetap menjaga protocol kesehatan. Artikel ini menjelaskan bagaimana upaya mempertahankan ekonomi desa di masa pandemi Covid-19 yang merupakan pembelajaran berarti untuk dijadikan acuan penguatan ekonomi desa di masa-masa krisis ke depan.

Pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi lima bagian. Pertama, pembahasan tentang dampak Covid-19 di desa. Kedua, pembahasan tentang ketahanan pangan desa. Ketiga, pembahasan tentang aspek pariwisata desa. Keempat, pembahasan tentang distribusi barang dan jasa desa. Kelima, pembahasan tentang rekayasa pasar desa.

2. DAMPAK COVID-19 DI DESASaat artikel ini ditulis, belum ada kejelasan dari ahli kesehatan kapan pandemi Covid-19 ini berakhir. Justru grafik orang terpapar semakin bertambah banyak. Sementara pemerintah telah menyuarakan untuk dijalankan apa yang disebut sebagai kenormalan baru (new normal). Kenormalan baru makna sederhananya hidup berdampingan dengan Covid-19. Aktifitas tetap jalan namun tetap menerapkan protokol kesehatan.

Kenormalan baru menimbulkan pro dan kontra. Sebagian tenaga medis menganggap belum saatnya kenormalan baru diterapkan karena kasus yang terpapar belum terkendali. Pengalaman Korea Selatan yang menerapkan new normal memicu lahirnya gelombang ke dua, walaupun

Page 15: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

M. Firmansyah 3

ada juga negara yang sukses menerapkannya (Modjo 2020). Sementara pelaku bisnis berharap segera ditentukan langkah menghindari resesi ekonomi yang semakin dalam.

Kondisi di desa-pun demikian, ekonomi masyarakat beberapa bulan ditopang oleh JPS (Jaring pengaman sosial) dan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Saat sedang memuncaknya penyebaran virus, masyarakat dituntut dirumah dan menghindari kerumunan termasuk sholat di masjid. Bagi pemerintah daerah, Provinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, JPS dianggap sebagai instrumen menstabilkan bisnis IKM. Caranya, produk IKM dibeli pemerintah dan dijadikan sebagai produk JPS. Upaya ini memberi kelegaan bagi sebagian IKM setidaknya untuk sementara waktu, karena di masa sulit ini aktivitas produksi terhenti, permintaan produk IKM merosot drastis. Dengan JPS mereka tetap berproduksi.

Sungguh-pun demikian, BLT dan JPS tentu tidak dapat diandalkan terus menerus. Anggaran pemerintah terbatas, sehingga perlu alternatif lain untuk menopang jalan roda produksi IKM. Diprediksi anggaran untuk JPS di daerah hanya mampu digelontorkan untuk kebutuhan 3-4 bulan ke depan.

Persoalan lain yang dihadapi masyarakat desa adalah migrasi tenaga kerja desa yang kembali ke desa karena PHK di masa pandemi. Beban desa semakin berat, tidak saja karena khawatir penularan Covid-19 yang dibawa tenaga kerja migran meluas sehingga biaya penanangan kesehatan membekak, namun juga beban ekonomi desa yang harus menghidupkan tenaga kerja migran menjadi pertimbangan utama. Sementara itu, protocol kesehatan yang menghendaki pembatasan aktifitas ekonomi menjadi penyebab transaksi bisnis terbatas. Ekonomi desa yang ditopang oleh Bumdes dan wisata desa juga terhambat, bila-pun tidak dianggap mati.

Ekonomi desa yang belum sepenuhnya normal ditambah beban desa untuk menghidupkan buruh migran melahirkan kekhawatiran lain, yaitu rendahnya perputaran uang di desa, sementara itu transaksi ekonomi di level dasar butuh alat transaksi berupa uang. Ketika masyarakat desa tidak memiliki alat transaksi berupa uang, apakah transaksi bisnis harus terhenti? Dilema ini perlu mendapat perhatian, walaupun implikasi covid-19 terhadap ekonomi desa tidaklah separah itu.

3. KETAHANAN PANGAN DESASalah satu penyebab jatuhnya ekonomi desa masa pendemi adalah sebagian, bahkan mayoritas Industri Kecil Menengah (IKM) desa berproduksi bukan sektor primer. IKM menjual bukan kebutuhan pokok, sementara di masa pandemi, masyarakat cendrung mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok. Beberapa kebutuhan sekunder yang dihasilkan IKM, antara lain kerajinan tangan dan jajanan tradisional.

Page 16: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI4

IKM di desa perlu diarahkan melakukan reorientasi produksi dengan melakukan produksi olahan sektor primer. Artinya produk yang dhasilkan IKM itu dapat menjadi kebutuhan pokok masyarakat desa dan perkotaan. Misalnya, IKM memproduksi dan menjual olahan ikan seperti naget ikan, krupuk ikan bagi desa pesisir. Produk ikan akan selalu dibutuhkan karena menjadi pelengkap nasi bagi konsumen. Di samping itu, produk-produk pertanian seperti beras, sayuran dan buah, palawija untuk keperluan obat-obatan herbal perlu dikembangkan di desa.

Dari aspek rumah tangga, upaya yang perlu dilakukan pemerintah desa adalah memastikan masyarakat desa terpenuhi kebutuhan primernya secara mandiri. Antara lain dengan program diversifikasi pangan di setiap lahan rumah tangga. New normal dalam aspek pangan dapat dikatakan mengembalikan norma lama kebiasaan masyarakat desa jaman dahulu, seperti memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur, buah dan juga memelihara ternak sebagai penopang kebutuhan sehari-hari. Sementara pendapatan yang dihasilkan adalah untuk memenuhi kebutuhan lain selain pangan.

4. ASPEK PARIWISATA DESAPariwisata merupakan salah satu sektor yang terpukul karena pandemi Covid-19. Wajar saja, dalam kondisi sekarang alih-alih mengeluarkan uang untuk bersenang-senang (berwisata), bekerja harian dalam mencari uang saja orang dilanda ketakutan akibat wabah Covid-19. Walaupun pemerintah mengkampanyekan new normal, kehidupan pariwisata saat wabah tentu tidak bisa disamakan dengan sebelum terjadinya wabah. Ketakutan dan kekhawatiran tertular Covid-19 itu tetap saja ada.

Di desa, ada pengembangan desa wisata. Sama dengan eksistensi kawasan wisata lain, Desa wisata yang terbangun dari anggaran dana desa atau swakelola masyarakat juga terkena imbas Covid-19. Maka perlu dipertimbangkan konsep e-wisata, artinya masyarakat desa dapat menyajikan wisata berbasis elektronik dengan mengembangkan ekonomi kreatif. Misalnya melatih pemuda desa untuk membuat konten menarik terkait alam desa di youtube atau media lainnya. Penikmat wisata walaupun tidak berkunjung ke lokasi wisata setidaknya dapat menikmati jarak jauh. Lokasi-lokasi indah yang dikemas dengan video menarik di youtube dan ditonton jutaan orang, tentu memberi penghasilan bagi pelaku usaha ekonomi kreatif tersebut.

Anak-anak muda di desa pesisir misalnya dilatih untuk diving atau penyelaman dengan mengambil gambar dasar laut. Di darat dapat menyajikan keindahan alam desa berupa air terjun, hewan unik yang terpelihara, alam pegunungan dan segela aktifitas di desa. Dengan demikian, tidak saja nilai tambah dalam ekonomi kreatif yang dihasilkan dari aktifitas tersebut, namun dapat menjadi ruang mempromosikan desa.

Page 17: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

M. Firmansyah 5

5. DISTRIBUSI BARANG DAN JASA DESAJalan bagi produk IKM desa ketika pasar lokal tidak cukup memadai mengangkat penjualan IKM adalah melalui ekspor ke daerah lain. Walaupun belum secara massif karena kalah bersaing dengan produk lain. Faktanya, dari sisi perdagangan, desa menjadi tujuan pengiriman barang perdagangan dari kota, khususnya dari pusat industri seperti Jakarta dan Surabaya. Di masa pandemi covid-19, jalur distribusi ini terhambat dalam dua aspek sekaligus, yaitu terbatasnya produk desa yang keluar (untuk pasar luar, ekspor) dan terbatasnya barang kebutuhan pokok dari kota (impor) ke desa.

Terkait produk desa, distribusi logistik cepat dan murah dari desa ke kota tentu sangat dibutuhkan di masa pandemi. Tujuannya, untuk tidak membebankan biaya distribusi ke masyarakat desa. Biaya distribusi meningkat menjadikan produk desa tidak mampu bersaing, karena harganya yang mahal. Peluang bagi desa di masa pandemi ini adalah di mana desa menjadi pemasok produk pertanian untuk kebutuhan daerah atau kota lain, sumber kebutuhan pertanian umumnya ada di desa.

Awal-awal masa locdown, berdasar protokol kesehatan di setiap pelabuhan atau lokasi perbatasan antar daerah mensyaratkan rapid test dan sebagian lagi di swab, termasuk terhadap petani yang akan menjual produknya ke perkotaan atau daerah seberang. Biaya untuk rapid dan swab cukup mahal dan berjangka waktu beberapa hari saja saat itu. Syukurnya, rapid test dan swab tidak semahal dahulu bahkan untuk perjalanan darat tidak lagi mensyaratkan rapid test. Menjadi pembelajaran ke depan, menjaga protokol kesehatan adalah perlu, namun diupayakan tidak menghambat arus bisnis masyarakat, antara lain dengan diupayakan subsidi bagi petani dalam mendistribusikan produk barangnya dari desa. Subsidi dapat berupa menggratiskan rapid test atau Swab petani yang mendistribusikan barangnya di masa pandemi atau subsidi biaya transport di saat kondisi normal.

6. REKAYASA PASAR DESASalah satu aspek bisnis yang macet akibat pandemi ini adalah kelesuan pasar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, lesunya pasar diakibatkan, adanya pembatasan aktifitas terkait protokol kesehatan satu sisi dan selektifnya konsumen dalam membelanjakan uangnya di masa pandemi sisi lain. Konsumen tentu saja berharap untuk berbelanja produk kebutuhan pokok di masa pandemi secara prioritas. Sementara itu, IKM banyak berproduksi di sektor sekunder seperti makanan ringan, kerajinan tangan yang tidak terlalu dibutuhkan konsumen. Ketika terjadi pandemi, konsumen menunda berbelanja sekaligus tidak mendapat akses untuk berbelanja karena pembatasan aktifitas tersebut.

Page 18: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI6

Persoalan lain adalah jauhnya pasar dari konsumen. Masyarakat desa harus ke kota untuk membeli kebutuhan tertentu, di Kota-pun menjadi masalah karena penumpukan konsumen akibat pasar yang tersentral pada satu lokasi saja. Dengan demikian, upaya yang perlu dilakukan adalah mendekatkan atau mempermudah masyarakat desa mengakses pasar. Bumdesa dapat menjadi pusat grosir, dan kios tetangga dapat mengambil produk di Bumdesa sebagai barang dagangan. Sehingga program belanja di kios tetangga, untuk menghidupkan ekonomi masyarakat desa dapat terwujud.

Saat ini banyak market place bahan pokok yang dikreasikan. Anak-anak muda desa, yang lulusan sarjana dapat diajarkan untuk membangun ekonomi kreatif berbasis digital seperti pasar berbasis platform. Di samping itu, perlu juga diperkenalkan lebih jauh terkait model pembayaran digital seperti e-money atau fintech dalam mempermudah proses transaksi di desa. Walaupun transaksi manual lebih utama dijalankan, karena ketika e-money menggantikan sepenuhnya transaksi tradisional di desa, maka ketika krisis ekonomi yang menyebabkan kemacetan transaksi bisnis akan serta merta terular di desa.

Di samping itu, masyarakat desa perlu secara massif diperkenalkan pasar modern, karena memang eranya. Dalam kondisi tertentu di desa perlu disiapkan skenario terburuk macetnya ekonomi, perputaran uang macet karena tidak ada pekerjaan yang menghasilkan pendapatan, tidak ada proyek pemerintah di desa akibat krisis, kesehatan maupun ekonomi. Skenario itu, adalah membangun modal sosial untuk lahirnya pasar barter (barang dengan barang), misalnya dengan sistem atau mekanisme yang lebih modern. Artinya, masyarakat desa tidak perlu memegang uang sebagai alat pembayaran dalam melakukan transaksi jual beli produk-produk hasil pekarangannya.

Untuk membeli ayam cukup ditukarkan dengan sejumlah beras atau sebaliknya. Ketika setiap transaksi dibutuhkan uang sebagai alat pembayaran sementara orang tidak memegang uang sama sekali dikhawatirkan menimbulkan gejolak sosial. Namun, sekali lagi kondisi ini adalah skenario terburuk dari ekonomi yang terpuruk, walau kondisi ini mungkin jauh dari realita, namun diskursus ini dapat menjadi pembelajaran yang dapat sewaktu-waktu dibutuhkan.

7. PENUTUPPandemi Covid-19 yang melanda dunia memberi pembelajaran berharga dalam tata kelola desa yang lebih baik. Terutama terkait ketahanan pangan, produksi dan perdagangan di pedesaan. Setidaknya ada lima pembelajaran yang dapat diambil, yaitu: Pertama, norma lama perlu dikembalikan, di mana desa didaulat sebagai lumbung pangan untuk masyarakat desa itu

Page 19: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

M. Firmansyah 7

sendiri dan perkotaan. Kedua, pemerintah daerah dan desa perlu fokus mengembangkan produk pangan dan pengolahan hasil produk pangan (sektor primer), kebutuhan primer menjamin keberlanjutan bisnis di desa karena merupakan kebutuhan pokok konsumen. Ketiga, masyarakat desa perlu diamankan kebutuhan pokoknya dengan slogan tiada lahan kosong di desa selain ditanami atau dibudidayakan berbagai produk pangan. Keempat, masyarakat desa perlu menjangkau pasar yang dekat dan murah dengan distribusi barang yang lancar dan tetap bertransaksi walau tidak memiliki uang. Konsep pasar barter bila mungkin dapat dikreasikan dalam kondisi stagnasi ekonomi akut di desa. Kelima, Bumdesa dapat berperan menjadi pusat grosir dan dipasok ke kios-kios kecil.

8. DAFTAR PUSTAKAAldilaa, Dipo et al. 2020. “A Mathematical Study on the Spread of COVID-19

Considering Social Distancing and Rapid Assessment : The Case of Jakarta, Indonesia.” Chaos, Solitons and Fractals: the interdisciplinary journal of Nonlinear Science, and Nonequilibrium and Complex Phenomena: 110042.

Atalan, Abdulkadir. 2020. “Is the Lockdown Important to Prevent the COVID-9 Pandemic ? Effects on Psychology , Environment and Economy-Perspective.” Annals of Medicine and Surgery 56(June): 38–42.

Castillo, Renan C., Elena D. Staguhn, and Elias Weston-Farber. 2020. “The Effect of State-Level Stay-at-Home Orders on COVID-19 Infection Rates.” American Journal of Infection Control: 1–3.

Cheng, Vincent Chi Chung et al. 2020. “The Role of Community-Wide Wearing of Face Mask for Control of Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) Epidemic Due to SARS-CoV-2.” Journal of Infection 81: 107–14.

Eikenberry, Steffen E. et al. 2020. “To Mask or Not to Mask: Modeling the Potential for Face Mask Use by the General Public to Curtail the COVID-19 Pandemic.” Infectious Disease Modelling 5: 293–308.

Fadare, Oluniyi O., and Elvis D. Okoffo. 2020. “Covid-19 Face Masks: A Potential Source of Microplastic Fibers in the Environment.” Science of the Total Environment 737: 140279.

Page 20: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI8

Kramer, Amit, and Karen Z. Kramer. 2020. “The Potential Impact of the Covid-19 Pandemic on Occupational Status, Work from Home, and Occupational Mobility.” Journal of Vocational Behavior 119(May): 1–4.

Laing, Timothy. 2020. “The Economic Impact of the Coronavirus 2019 (Covid-2019): Implications for the Mining Industry.” Extractive Industries and Society 7(2): 580–82.

Modjo, Mohamad Ikhsan. 2020. “Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca Pandemi Memetakan Jalan Penguatan Ekonomi Pasca Pandemi.” The Indonesian Journal of Development Planning IV(2): 103–16.

Nicola, Maria et al. 2020. “The Socio-Economic Implications of the Coronavirus Pandemic (COVID-19): A Review.” International Journal of Surgery 78(March): 185–93.

Page 21: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 9

INFRASTRUKTUR DAN PEMBANGUNAN DESA, ANTISIPASI TERHADAP

GUNCANGAN PANDEMI COVID-19

Ni Made SukartiniFakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga

[email protected]

BAB

II1. PENDAHULUANProgram Nawacita atau 9 (sembilan) agenda pembangunan nasional mulai dicanangkan dalam pembangunan di Indonesia sejak tahun 2014 (Safitri, 2015). Program ini dikenalkan oleh Presiden Joko Widodo. Program yang ketiga dari Nawacita adalah: “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Agenda ini memberi indikasi bahwa pola perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia tidak lagi sepenuhnya bersifat top down, tetapi sudah mulai diimplementasikan sebaliknya, yaitu botton up. Agenda Nawacita yang ketiga ini sekaligus merupakan pengakuan negara pada keberadaan desa. Desa merupakan unit terkecil dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Hal ini bermakna bahwa pemerintah desa yang disebut kepala desa, memiliki kewenangan yang berskala lokal, yaitu seluas wilayah administrasi desa.

Desa adalah unit pemerintahan yang berbasis masyarakat. Pemerintah desa merupakan kombinasi dari komunitas warga yang mengatur dirinya sendiri (self-governing community) dan pemerintah lokal (Raharjo, 2020). Bila dibandingkan dengan unit atau level pemerintahan yang lebih tinggi (Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Nasional), infrastruktur untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di desa tentu lebih terbatas. Namun demikian, menurut Raharjo (2020), wilayah pemerintahan desa minimal mempunyai 3 (tiga) modal sosial yang justru dapat menjadi modal yang lebih efektif dalam melaksanakan program-program pembangunan. Ketiga modal sosial yang dimaksud adalah: modal sosial, modal sumber daya alam dan lingkungan, dan modal eksistensi desa.

Modal sosial dalam masyarakat desa adalah ikatan sosial antara individu dan masyarakat yang didasarkan pada nilai-nilai lokal atau local wisdom. Modal sosial juga mencakup jaringan kerjasama dalam bentuk kebiasaan bergotong-royong, yaitu kegiatan membangun dengan menyumbangkan tenaga dan waktu, yang dilaksanakan secara sukarela dan tanpa mengharapkan balas jasa. Kebiasaan bergotong-royong dalam masyarakat Indonesia diantaranya bekerja bakti membersihkan lingkungan tempat tinggal, saling membantu dalam kegiatan atau acara yang bersifat

Page 22: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI10

suka (pesta) dan duka (kematian) di desa. Kegiatan gotong-royong ini didasarkan atas dasar inter-trust dan kohesi sosial, yang tumbuh kuat atas dasar nilai-nilai budaya lokal dan agama yang dianut masyarakat.

Modal sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa adalah kemampuan masyarakat desa dalam memproduksi barang-barang kebutuhan pokok, khususnya bahan makanan. Surplus dari produksi pertanian (pangan), perkebunan, peternakan, perikanan dan hasil pertanian lainnya dapat dinikmati oleh masyarakat di wilayah perkotaan. Aktivitas pertanian, khususnya pertanian dan perkebunan, asalkan dilakukan dalam koridor yang aman, sekaligus akan membantu desa dalam menciptakan proses pembangunan yang berwawasan lingkungan atau green development process. Modal yang ketiga adalah modal eksistensi desa. Modal ini memberikan kewenangan kepada desa sebagai struktur politik paling dekat dengan masyarakat dan kewenangan mengelola masyarakat dalam konteks pembangunan berdasarkan partisipasi dan kebutuhan lokal masyarakat.

Sesi ini akan membahas gambaran desa-desa di Indonesia yang dikaitkan dengan sumber daya alam dan lingkungan yang ada di desa. Kajian ini didukung oleh data potensi desa (Podes), yaitu data sekunder yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kajian ini akan menggunakan data Podes dua tahun sensus terakhir, yaitu Podes tahun 2014 dan tahun 2018. Informasi yang dapat disajikan dari data podes ini adalah gambaran secara umum tentang kondisi lokasi geografis desa-desa di Indonesia, akses transportasi menuju desa, serta potensi komoditas unggulan yang ada di desa. Sesi ini akan menyajikan data tentang kesiapan dan kemungkinan desa untuk beradaptasi dengan upaya digitalisasi aktivitas masyarakat sehari-hari. Ketersediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) di setiap desa diharapkan dapat menunjang pertukaran informasi dan komunikasi (Cooper, 2005; Hashim et al., 2011). Ketersediaan infrastruktur informasi dan komunikasi menjadi semakin penting khususnya dalam era digital. Awal tahun 2020, dunia dan Indonesia mengalami wabah Covid-19. Wabah ini menular dengan cepat, berpengaruh tidak hanya pada sisi kesehatan, namun juga berdampak pada aktivitas ekonomi. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal bulan Maret 2020, dikarenakan wabah Covid-19 semakin berbahaya dengan tingkat penyebaran yang sangat cepat. Sebagian besar pabrik dibatasi jam kerja, dihimbau menggunakan protocol kesehatan, kantor-kantor mulai ditutup sementara dan kegiatan pendidikan dilakukan dari rumah. Bekerja dan belajar dari rumah atau work from home (WFH) menjadi alternatif terbaik untuk mencegah penularan Covid-19.

Terkait dengan pandemi Covid-19 yang mewabah pada awal tahun 2020, dan proses berlakunya tatanan baru (new normal) yang diperkirakan berlaku awal Juli 2020; bagaimanakah infrastruktur dan kondisi aparat

Page 23: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 11

desa beradaptasi untuk memberikan layanan publik di level desa? Survei potensi desa (podes) umumnya dilakukan setiap 3-4 tahun sekali. Dua periode survei terakhir dilakukan tahun 2014 dan 2018. Oleh karena itu, kajian dalam sesi ini hanya menggunakan data terbaru dari tahun 2014 dan 2018.

Pembahasan bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pembahasan tentang pembangunan desa dan tantangan menuju Indonesia maju. Kedua, pembahasan tentang antisipasi kebijakan publik bagi pemerintah daerah pasca pandemi Covid-19 dan menyambut kondisi kenormalan baru.

2. PEMBANGUNAN DESA DAN TANTANGAN MENUJU INDONESIA MAJU

Sebelum menyajikan gambaran infrastruktur yang ada di desa, terlebih dahulu akan disajikan informasi tentang desa secara umum. Data Podes tahun 2014 dan 2018 menunjukkan bahwa dari 3 (tiga) kelompok unit pemerintahan terkecil di Indonesia, yaitu: Desa, Kelurahan, dan Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Pemukiman Transmigrasi (SPT). Dari ketiga jenis unit pemerintahan terkecil ini, sekitar 89 persen berbentuk pemerintahan desa, 10 persen kelurahan dan hanya 1 persen berbentuk UPT/SPT (simak Tabel 2.1). Satuan pemerintahan UPT dan SPT ada di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.

Tabel 2.1 Informasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan tahun 2018

No Karakteristik PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

1 Status Wilayah Pemerintahana. Desa 72.949

(88,76)74.517(88,79)

b. Kelurahan 8.412(10,28)

8.444(10.06)

c. UPT/SPT 829(0,92)

970(1,09)

2 Kantor Kepala Desaa. Ada 68.618

(83.49)76.442(91,08)

b. Tidak ada 13.572(16,51)

7.489(8,92)

3 Badan Permusyawaratan Desa (BPD)a. Ada 78.619

(95.66)81.809(97.47)

b. Tidak ada 3.571(4.34)

2.122(2.52)

Page 24: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI12

No Karakteristik PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

4 Karakteristik Kepala Desaa Umur (tahun) 17-90 17-95b Jenis kelamin (laki-laki=1) 74.251

(94,30)75.643(93,97)

c Pendidikan1. Tidak pernah sekolah 829

(1,05)1.018(1,26)

2. Tidak tamat SD/Sederajat 979(1,24)

907(1.13)

3. Tamat SD/Sederajat 2.093(2,66)

1.656(2,06)

4. SMP/Sederajat 11,240(14,28)

7.545(9,37)

5. SMU/Sederajat 45.137(57,33)

46.566(57,85)

6. Akademi/DIII 2.320(2,95)

2.235(2,78)

7. Diploma IV/S1 14.488(18,40)

18.260(22,68)

8. S2 1.634(2,08)

2.289(2,84)

9. S3 16(0,02)

22(0,03)

Sumber: Data Podes tahun 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Unit pemerintahan desa belum semuanya memiliki kepala desa. Data Podes menunjukkan, dari 82.190 desa (Podes 2014) dan 83.931 desa (Podes 2018); berturut-turut baru sekitar 84 persen dan 91 persen desa yang memiliki kepala desa secara resmi. Hal yang sama juga berlaku untuk keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sekitar 3 persen desa pada tahun 2018 belum memiliki BPD. Dalam struktur pemerintahan desa, menurut Permendagri Nomor 110 Tahun 2016, tugas BPD adalah membantu kepala desa untuk membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa, serta menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Tugas BPD yang utama adalah melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa (https://updesa.com/tugas-bpd/).

Merujuk pada Nawacita poin yang ketiga, hal ini memberi indikasi bahwa untuk mencapai target pembangunan secara nasional, hendaknya dimulai dengan menata pembangunan di desa. Keberhasilan program pembangunan di desa, disamping membutuhkan dukungan dana dan partisipasi dari masyarakat, juga ditentukan oleh inovasi yang dilakukan oleh kepala dan perangkat desa. Menurut Besley et al. (2011), tingkat pendidikan pemimpin atau kepala pemerintahan suatu wilayah secara

Page 25: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 13

umum ikut menentukan keberhasilan pembangunan di wilayah yang dipimpinnya. Besley juga mengakui, pendidikan formal dan pengalaman akan meningkatkan wawasan kepala pemerintahan. Komponen lain yang juga tidak kalah menentukan keberhasilan kepala daerah adalah ketrampilan dan kemampuan untuk mendorong warga dalam membangun skill kewirausahaan.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 65 Tahun 2017 Tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), disebutkan beberapa ketentuan individu sebelum dipilih menjadi kepala desa. Diantara ketentuan yang diatur adalah persyaratan usia dan pendidikan formal. Usia minimum untuk mendaftar menjadi kepala desa adalah 25 tahun dan pendidikan minimum untuk menjadi kepala desa adalah setara dengan Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SMP). Data yang disajikan dalam Tabel 2.1 menunjukkan bahwa hasil pendataan Podes menemukan beberapa kepala desa ada yang berusia lebih muda dibanding ketentuan Permendagri Nomor 65 Tahun 2017. Meskipun aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan batas usia maksimum, data menunjukkan beberapa kepala desa ada yang berusia di atas 90 tahun. Ditinjau dari jenjang pendidikan yang dimiliki kepala desa, secara umum ketentuan Permendagri di atas, sebagian kepala desa telah memiliki latar belakang pendidikan setara Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 57 persen; berpendidikan setara sarjana sebanyak 14 persen; berpendidikan master dan doktoral sebanyak 2,10 persen

Perkembangan aktivitas pembangunan yang terjadi saat ini berlangsung sedemikian cepat. Globalisasi ekonomi, revolusi industri 4.0, era digitalisasi terjadi begitu cepat dan berdampak pada aktivitas pembangunan di Indonesia. Globalisasi ekonomi mensyaratkan efisiensi dan daya saing, agar proses produksi efisien, ada surplus produksi untuk diperdagangkan dengan pihak lain diluar cakupan geografis suatu wilayah. Revolusi industri 4.0 dan era digital atau era pemanfaatan information communication technology (ICT) menuntut sebagian besar aktivitas memanfaatkan teknologi informasi agar mampu bersaing dalam dunia pertukaran dan perdagangan dengan dunia luar (Mansell, 1999).

2.1 Kondisi Topologi dan Geografi DesaIndonesia adalah negara kepulauan. Sebagian wilayah daratan Indonesia memiliki kondisi geografis yang memiliki banyak gunung dan bukit. Di sisi yang lain, seluruh pulau dikelilingi oleh laut dan pantai. Kondisi geografis yang demikian ini, tentu memberi tantangan dalam pemanfaatan peluang dari globalisasi ekonomi maupun pemanfaatan ICT di wilayah-wilayah pelosok perdesaan. Pembangunan infrastruktur ICT sangat dibutuhkan pada jaman sekarang, namun pembangunan infrastruktur ini harus

Page 26: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI14

menghadapi kendala geografis, khususnya dalam hal biaya instalasi jaringan (Tobgay and Wangmo, 2008).

Tabel 2.2 menunjukkan sekitar 20 persen desa-desa di Indonesia terletak bukan di daerah dataran; namun di wilayah lereng perbukitan atau lembah-lembah. Desa dengan kondisi geografis seperti ini tentu lebih sulit dalam mendistribusikan instalasi jaringan listrik, internet dan air bersih. Lebih lanjut, sekitar 22-25 persen desa-desa di Indonesia terletak dalam dan tepi kawasan hutan, baik itu hutan lindung maupun hutan produksi.

Tabel 2.2 Karakteristik Lokasi Desa di Indonesia, tahun 2014 dan 2018

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

1 Topografi Desaa. Lereng/puncak 16.043

(19,52)14.696(17,51)

b. Lembah 3.630(4,42)

3.187(3,80)

c. Dataran 62.517(76,06)

66.048(78,69)

2 Lokasi Desa terhadap Hutana. Di dalam hutan 2.037

(2,48)2.768(3,30)

b. Di tepi/sekitar hutan 19.247(23,42)

18.617(22,18)

c. Di luar hutan 60.906(74,10)

62.546(74,52)

3 Desa berbatasan langsung dengan lauta. Ada 12.827

(15,61)12.857(15,32)

b. Tidak ada 69.363(84,39)

71.074(84,68)

4 Sarana Tranportasi antar Desaa. Darat 73.185

(89,04)75.942(90.48)

b. Air 1,853(2.25)

1,846(2,20)

c. Darat dan Air 7.152(8,70)

6.042(7,20)

d. Udara - 101(0,12)

5 Jenis permukaan jalan (untuk katagori 4a-c)a. Aspal/beton 53.883

(67,07)60.994(74,40)

b. Diperkeras (kerikil, batu, dll) 16.019(19,94)

12.389(15,11)

c. Tanah dan lainnya 10.434(12,99)

8.601(10,49)

Page 27: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 15

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

6 Jalan darat dapat dilalui kendaraana. Sepanjang tahun 67.701

(84,27)70.483(85,97)

b. Sepanjang tahun kecuali musim hujan 4.763(5,98)

5.208(6,35)

c. Selama musim kemarau 2.321(2,89)

1.372(1,67)

d. Tidak dapat dilalui sepanjang tahun 5.552(6,91)

4.921(6,00)

Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Desa-desa yang terletak di kawasan hutan mempunyai kendala tersendiri dalam proses pembangunan. Banyak anggaran pembangunan desa untuk perbaikan jalan, dan pembangunan lain yang belum bisa diserap yang disebabkan oleh kendala kewenangan (Ambarwati et al., 2016; Susilowati, 2015). Wilayah hutan menjadi kewenangan kementrian kehutanan, sementara pembangunan desa melalui dana desa ada dibawah kewenangan kementrian lain (Wollenberg et al., 2004). Proses pembangunan desa-desa di kawasan hutan tidak hanya membutuhkan ijin dari kementrian terkait, seringkali kawasan yang dihuni adalah kawasan taman nasional.

Untuk desa yang terletak di daerah hamparan, sebanyak 12 ribu-an desa (15 persen) berbatasan dengan pantai dan laut. Dengan kondisi topografi dan geografis desa yang cukup sulit seperti di atas, kondisi akses transportasi menuju desa juga relatif banyak kendala. Sebanyak 73-75 ribu atau sekitar 89-90 persen desa-desa dapat dilalui melalui jalan darat, sebanyak 2-2,20 persen desa-desa yang hanya bisa dilalui melalui jalur air, dan pada tahun 2018 ditemukan bahwa sebanyak 101 desa (0,12 persen) desa-desa hanya bisa dikunjungi dengan menggunakan jalur udara. Desa-desa ini lebih banyak ditemukan di Provinsi Papua. Untuk desa-desa yang dapat diakses melalui jalan darat, kualitas permukaan jalan menuju desa juga masih cukup variatif. Sekitar 7-8 ribu desa yang bisa dilalui dengan jalan darat kualitas permukaan jalan penghubung antar desa hanya berupa jalan tanah. Selanjutnya, sekitar 12-16 ribu desa terhubung dengan jalan yang mempunyai permukaan diperkeras dengan batu atau kerikil. Lebih lanjut, hanya sekitar 67-70 ribu desa (85 persen) bisa dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun.

2.2 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat PerdesaanIndonesia dikenal sebagai negara agraris. Kontribusi sektor pertanian pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) relatif mulai menurun dibanding sektor-sektor yang lain. Namun,

Page 28: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI16

serapan sektor pertanian pada tenaga kerja masih relatif tinggi, khususnya pada kelompok penduduk usia dewasa di wilayah perdesaan. Tabel 2.3 menyajikan informasi tentang aktivitas ekonomi di desa. Pada tahun 2019, sekitar 30 persen penduduk Indonesia masih bekerja pada sektor pertanian. Bila dikaji lebih lanjut, data podes tahun 2014 dan tahun 2018 menyajikan sekitar 86 persen dari 83.931 desa, penduduk mayoritas bekerja di sektor pertanian. Sekitar 3-4 ribu desa atau sebanyak 5 persen dari total sampel desa tahun 2018, mempunyai penduduk mayoritas bekerja pada sektor perdagangan besar, eceran dan rumah makan.

Tabel 2.3 Ragam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Perdesaan

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

1 Sumber penghasilan utama penduduk

a. Pertanian 72.360(88,04)

73.007(86,98)

b. Pertambangan dan penggalian 439(0,53)

479(0,57)

c. Industri pengolahan 2.368(2,88)

2.730(3,25)

d. Perdagangan besar/eceran dan rumah makan 3.127(3,80)

4.020(4,79)

e. Angkutan, pergudangan, komunikasi 98(0,12)

92(0,11)

f. Jasa 3.177(3,87)

2.877(3,43)

g. Lainnya 621(0,76)

726(0,86)

2a Produk Unggulan Desa

a. Ada 27.692(32,99)

b. Tidak ada 56.239(67,01)

2b Jenis produk unggulan

a. Pangan 27.692

b. Non-pangan 27.692

2c Pemanfaatan Laut di desa pesisir pantai

a. Perikanan tangkap a1. Ada a2. Tidak ada

11.984(93,21)

873(6,79)

Page 29: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 17

No Karakteristik Lokasi Desa PODES 2014N=82.190

PODES 2018N=83.931

b. Perikanan budidaya b1. Ada b2. Tidak ada

3.662(28,55)

9.165(71,45)

3.763(29,06)

9.121(70,94)

c. Tambak garam c1. Ada c2. Tidak ada

493(3,83)

12.364(96,17)

d. Wisata bahari d1. Ada d2. Tidak ada

1.700(13,22)11.157(87,78)

e. Trayek transportasi umum menuju-dari desa e1. Ada e2. Tidak ada

3.838(29,85)

9.019(70,15)

Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis.

Dari 83.931 desa yang disurvei tahun 2018; sebanyak 27.692 desa telah mempunyai produk unggulan desa, baik berupa komoditas pangan maupun komoditas non pangan. Untuk produk unggulan berupa komoditas pangan, sebagian besar berupa komoditas buah-buahan, sayuran dan bunga. Produk unggulan dengan jenis komoditas non pangan lebih banyak berupa produk kerajinan atau industri berbasis rumah tangga. Hal ini mencakup kerajinan anyaman, tenun, gerabah, dan berbagai jenis kerajinan rumah tangga lainnya.

Untuk desa-desa yang berbatasan dengan laut, beberapa sudah mulai mempunyai produk andalan terkait dengan hasil perairan laut. Pada survei tahun 2014 desa-desa pantai dilaporkan hanya dalam kegiatan budidaya perikanan. Namun dalam survei Podes 2018, pemanfaatan kawasan pantai telah dikembangkan menjadi perikanan tangkap, usaha tambak garam, dan wisata bahari; selain adanya perikanan budidaya. Adanya variasi kegiatan penduduk di wilayah perairan pantai ini sayangnya belum didukung dengan kemudahan akses transportasi dari dan menuju ke desa. Tidak lebih dari 30 persen (3.838 desa) yang dilaporkan mempunyai trayek transportasi umum dari dan menuju ke desa.

2.3 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Wilayah PerdesaanPada periode atau era informasi dan aktivitas digital sekarang ini sangat tidak mungkin aktivitas ekonomi di masyarakat menjadi lebih lancar tanpa

Page 30: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI18

didukung oleh ketersediaan infrastruktur informasi dan telekomunikasi (information and communication technology/ICT). Pemanfaatan ICT juga membutuhkan dukungan ketersediaan energi listrik. Tanpa ada energi listrik, media informasi seperti televisi (TV) dan radio; alat komunikasi seperti handphone dapat berfungsi dengan baik.

Beberapa studi menemukan bahwa akses pada listrik mempunyai hubungan searah dengan upaya pengentasan kemiskinan (Chaurey et al., 2004; Davidson and Mwakasonda, 2002). Dalam konteks negara Indonesia, selain studi dari Bank Dunia tahun 1982, kesimpulan studi dari Darsono and Kuncoro (2013) juga menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara akses energi listrik di suatu wilayah provinsi dengan pertumbuhan ekonomi di wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut, hasil kajian dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2016 [1] melaporkan bahwa peningkatan akses pada energi listrik dapat mengurangi peluang rumah tangga masuk dalam kategori miskin. Dalam level regional, semakin tinggi akses pada energi listrik, semakin rendah ketimpangan pendapatan penduduk di wilayah yang bersangkutan. Tabel 2.3 menyajikan rasio elektrifikasi per provinsi di Indonesia selama tahun 2012-2017. Informasi dalam tabel tersebut juga menyajikan perbedaan rasio elektrifikasi antara wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan.

Data yang tersaji di Tabel 2.4 menunjukkan bahwa bahwa tidak saja ada ketimpangan akses listrik antar wilayah provinsi, namun juga terjadi ketimpangan akses listrik antara wilayah perdesaan dan perkotaan dalam satu wilayah provinsi. Sampai dengan tahun 2015, rasio elektrifikasi per provinsi yang sudah mencapai lebih dari 70 persen (rata-rata nasional) jauh lebih sedikit dibanding kondisi sebaliknya. Provinsi yang sudah mencapai rasio elektrifikasi di atas 70 persen adalah: (i) Sumatera Utara, (ii) Riau, (iii) Kep. Riau, (iv) DKI Jakarta, (v) Jawa Tengah, (vi) DI Jogyakarta, (vii) Jawa Timur, (vii) Bali, (viii) Kalimantan Timur, (ix) Kalimantan Utara, (x) Sulawesi Utara, (xi) Sulawesi Selatan dan (xii) Sulawesi Tenggara. Di sisi yang lain, provinsi Bengkulu, Sulawesi Barat dan Provinsi Papua mempunyai rasio elektrifikasi baru mendekati 50 persen.

Page 31: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 19

Tabe

l 2.4

Ras

io E

lekt

rifika

si A

ntar

Pro

vins

i di I

ndon

esia

, Tah

un 2

012-

2015

Prov

insi

2012

2013

2014

2015

Perko

taan

Perd

esaa

nTo

talPe

rkotaa

nPe

rdes

aan

Total

Perko

taan

Perd

esaa

nTo

talPe

rko-

taan

Perd

esaa

nTo

talAc

eh87

.4152

.7362

.4184

.7551

.4260

.7681

.0549

.9158

.7481

.7153

.2761

.23Su

mater

a Utar

a82

.2554

.3867

.8182

.8653

.9668

.0083

.2351

.6666

.8685

.8157

.6671

.41Su

mater

a Bar

at80

.9458

.0366

.6978

.0055

.7264

.3480

.0351

.5262

.6083

.3255

.6666

.58Ri

au91

.1063

.6874

.3685

.5165

.4573

.1786

.0363

.8872

.5585

.8366

.8674

.24Ja

mbi

79.48

52.06

60.57

82.09

53.26

61.73

86.68

51.80

62.01

83.87

54.16

62.75

Suma

tera S

elatan

73.22

48.57

56.90

78.09

52.42

61.18

79.81

50.85

60.75

81.28

56.80

65.16

Beng

kulu

59.66

27.04

36.82

62.21

29.45

39.30

60.42

27.14

37.47

66.83

30.06

41.08

Lamp

ung

71.81

48.42

54.16

68.94

48.35

53.37

67.63

44.19

49.92

72.13

49.55

55.06

Kep.

Ba-B

elitun

g74

.7655

.9664

.9876

.3455

.7265

.7275

.4051

.6663

.2077

.5059

.1568

.03Ke

pulau

an R

iau82

.1126

.0173

.5785

.8036

.4977

.9088

.0541

.7981

.0489

.5455

.8884

.12DK

I Jak

arta

92.49

-92

.4992

.64-

92.64

92.10

-92

.1093

.40-

93.40

Jawa

Bar

at71

.7150

.9464

.3971

.5648

.7263

.5073

.6849

.2265

.0174

.5253

.2067

.20Ja

wa Te

ngah

77.25

66.46

71.30

75.81

64.47

69.58

77.33

65.97

71.11

79.29

68.94

73.63

DI Yo

gyak

arta

83.96

68.99

79.25

82.76

70.23

78.81

79.91

71.62

77.28

79.27

84.70

80.99

Jawa

Tim

ur81

.5367

.3774

.0481

.7469

.4475

.1982

.3369

.6975

.6482

.3271

.5576

.64Ba

nten

76.65

38.69

64.51

77.27

40.36

65.57

77.80

41.95

66.60

78.72

43.75

67.68

Bali

92.45

85.36

89.79

93.99

79.91

88.59

93.42

81.92

89.09

94.51

86.01

91.27

NTB

72.72

42.79

55.03

71.82

50.73

59.45

74.37

57.03

64.33

78.22

67.07

71.70

NTT

82.77

44.28

51.75

82.93

48.11

54.85

83.13

47.99

54.88

83.10

57.46

62.72

Kalim

antan

Bar

at82

.7954

.9463

.1885

.5756

.1964

.7084

.0154

.4963

.0489

.5059

.5668

.39

Page 32: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI20

Prov

insi

2012

2013

2014

2015

Perko

taan

Perd

esaa

nTo

talPe

rkotaa

nPe

rdes

aan

Total

Perko

taan

Perd

esaa

nTo

talPe

rko-

taan

Perd

esaa

nTo

talKa

liman

tan Te

ngah

67.21

37.99

48.04

75.10

43.59

54.10

79.09

44.37

56.05

80.44

45.10

57.01

Kalim

antan

Sela

tan80

.1948

.6062

.0780

.9647

.4461

.5982

.0346

.7661

.7283

.0746

.7762

.23Ka

liman

tan T

imur

93.09

58.52

79.99

93.08

55.57

78.93

92.19

56.49

78.48

90.63

57.11

78.13

Kalim

antan

Utar

a-

--

--

--

--

95.00

71.92

84.59

Sulaw

esi U

tara

82.21

54.73

67.21

84.41

58.19

70.06

85.82

55.32

69.32

79.43

64.79

71.53

Sulaw

esi T

enga

h80

.1948

.0155

.8382

.2853

.1660

.2181

.8551

.8958

.9982

.3754

.8961

.49Su

lawes

i Sela

tan81

.0359

.2566

.9986

.6555

.9166

.9588

.7457

.4368

.8990

.6561

.4872

.07Su

lawes

i Ten

ggar

a93

.7763

.4971

.9886

.7462

.7669

.4383

.4863

.0368

.7488

.1372

.7677

.19Go

ronta

lo68

.8148

.2154

.9668

.9150

.6856

.8077

.3655

.8763

.3079

.3259

.6866

.47Su

lawes

i Bar

at74

.0433

.8442

.1476

.2839

.2447

.2777

.8038

.4647

.0783

.6246

.9553

.89Ma

luku

77.77

44.43

57.56

72.53

49.68

58.49

77.75

49.65

60.77

78.93

55.70

64.96

Maluk

u Utar

a81

.8551

.1259

.6586

.4445

.6457

.1988

.9744

.2057

.0387

.5049

.6960

.07Pa

pua B

arat

89.99

57.92

67.17

87.40

58.26

67.03

88.29

57.29

66.87

87.24

58.17

68.85

Papu

a91

.0528

.8544

.1283

.6736

.4347

.7086

.3736

.9948

.9986

.7839

.6751

.27Ind

ones

ia (ra

ta-ra

ta)79

.3456

.1767

.7379

.3056

.6867

.9380

.2756

.5768

.3881

.3060

.5870

.97Su

mbe

r: BP

S (2

016)

Page 33: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 21

Informasi lain yang dapat disimak dari Tabel 2.4 adalah bahwa meskipun rasio elektrifikasi level provinsi sudah melampaui rata-rata capaian nasional, namun ada gap capaian antara wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi di Provinsi Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur adalah provinsi penghasil tambang batubara; salah satu sumber energi utama. Namun, apa yang terjadi dengan tingkat ketersediaan listrik PLN? Rasio elektrifikasi di wilayah perdesaan di provinsi ini baru mencapai 50 persen. Hal ini mungkin yang menjelaskan mengapa angka kemiskinan beberapa kabupaten di provinsi ini relatif masih tinggi sampai sekarang. Dilihat dari jumlah absolut, data BPS menunjukkan bahwa kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Paser mempunyai angka kemiskinan di atas 250.000 orang tahun 2018 dan 2019. Namun bila dilihat dari persentase terhadap penduduk total, maka Kabupaten Mahakam Hulu, Kutai Timur, Kutai Barat dan Paser yang mempunyai angka kemiskinan sekitar 10 persen. Rasio elektrifikasi di kabupaten ini juga masih rendah. Dengan demikian dapat dikatakan ada korelasi positif antara akses listrik dan kemiskinan. Beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Timur, sampai dengan tahun 2018 tidak mendapat aliran listrik PLN sama sekali. Hal ini di duga terkait dengan kesulitan geografis di wilayah ini yang cukup tinggi (BPS, 2018).

Tabel 2.5 dibawah ini menyajikan infrastruktur informasi dan komunikasi di wilayah perdesaan di Indonesia. Hal ini mencakup: ketersediaan ruang terbuka hijau di desa, ketersediaan pasar desa, ketersediaan Base Transceiver Station (BTS), kualitas sinyal telepon, sinyal internet dan jangkauan siaran TV. Data yang tersaji dalam tabel ini menunjukkan adanya peningkatan jangkauan infrastruktur informasi dan komunikasi di wilayah perdesaan. Ketersediaan ruang terbuka sebagai tempat fasilitas umum tersedia sekitar 18-20 ribuan desa; namun dari jumlah desa ini ada yang sudah memanfaatkan ruang terbuka sebagai fasilitas umum dengan baik dan ada yang belum memanfaatkannya.Pasar dalam arti secara infrastruktur fisik merupakan tempat bertemu dan berinteraksi penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi pertukaran atau jual beli barang. Seiring dengan perkembangan tehnologi informasi, sebagian aktivitas jual beli sudah memanfaatkan tehnologi internet. Aktivitas perdagangan mulai dilakukan secara online atau digital.

Dalam situasi normal, di wilayah perdesaan kegiatan pasar secara fisik masih umum berlangsung. Transaksi jual beli lebih banyak berupa produk hasil pertanian (buah-buahan, sayur mayur, daging, telur dan lain-lain), yang secara umum merupakan barang konsumsi yang tidak tahan lama. Ketersediaan pasar memberi peluang surplus hasil produksi pertanian dapat dijual penduduk di pasar, demikian pula penduduk yang membutuhkan barang-barang kebutuhan pangan sehari-hari dapat membeli dengan mudah di pasar. Pada wilayah perdesaan, ketersediaan pasar desa dibedakan menjadi: (i) pasar dengan bangunan permanen;

Page 34: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI22

(ii) pasar dengan bangunan semi permanen; (iii) pasar tanpa bangunan permanen. Kondisi di wilayah perdesaan Indonesia, ketersediaan pasar di desa lebih banyak dalam bentuk pasar dengan bangunan semi permanen, di susul oleh pasar tanpa bangunan permanen dan pasar dengan bangunan permanen. Jika disimak lebih seksama, informasi yang tersaji dalam Tabel 2.5 baris (2) mengindikasikan bahwa tahun 2014 dan 2018 jumlah desa yang mempunyai pasar baru sekitar 30 persen dari total sampel, atau kurang lebih sebanyak 25 ribu desa. Ini menunjukkan akses pasar di wilayah perdesaan masih cukup kurang sampai akhir tahun 2018. Jarak tempuh dari desa menuju pasar yang terdekat sangat bervariasi, antar 0,01-100 km.

Tabel 2.5 Infrastruktur Informasi dan Komunikasi di Desa

No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 20181 Ketersediaan ruang terbuka (fasilitas umum)

1a. Ada ruang terbuka

Ada, dimanfaatkan dengan baik Ada, tidak dimanfaatkan

18.525(22,54)

20.138(23,97)11.306(13,47)

8.832(10,52)

1b. Tidak ada ruang terbuka 63.665(77,46)

63.793(76,01)

2 Ketersediaan pasar desa

2a. Dengan bangunan permanen 705(8,52)

7.794(8,29)

2b. Dengan bangunan semi permanen 10.240(12,46)

11.956(14,25)

2c. Tanpa bangunan permanen 8.816(10,73)

7.873(9,38)

3 Keberadaan Base Transceiver Station (BTS)a. Adab. Tidak ada

27.084(32.95)55.106(67,05)

32.150(38,15)51.908(61,85)

4 Sinyal telepon/HPa. Tidak ada sinyal

b. Ada, sinyal lemah

c. Ada, sinyal kuat

7.717(9,39)

18.603(22.63)55.870(67,98)

6.759(8,05)

21.597(25,73)55.575(63,78)

Page 35: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 23

No Infrastruktur Komunikasi dan Informasi di Desa PODES 2014 PODES 20185 Sinyal internet, telepon GSM atau CDMA:

a. 4G/LTE

b. 3G/H/H+/EVDO

c. 2.5G/E/GPRS

d. Tidak ada sinyal internet

26.700(34,60)33.800(43,80)

9.711(12,58)

6.961(9,02)

6 Program TV yang bisa dinikmati di desa

a. TVRI 78.284(95,25)

78.627(93.68)

b. TVRI daerah 65.366(79,53)

67.123(79,97)

c. TV Swasta 78.385(95,37)

78.714(93.78)

d. TV LN 71.564(87,07)

71.486(85.17)

Sumber: BPS, Podes 2014 dan 2018, ditabulasikan penulis

Infrastruktur lain yang perlu mendapat perhatian di wilayah perdesaan adalah tersedianya Base Transceiver Station (BTS). Dalam era aktivitas digital, apalagi ditambah dengan kajadian pandemi Covid-19 sekarang, kelancaran komunikasi sangat ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur pendukung seperti jaringan BTS dan jaringan listrik; agar akses informasi dapat diterima seluruh lapisan masyarakat secara simetris. Jaringan BTS baru tersedia sekitar 32-38 persen di wilayah perdesaan. Ini berarti sebagian besar desa-desa belum mempunyai BTS sendiri, tetapi mungkin masih berbagi penggunaan dengan desa-desa yang lain dalam satu kawasan kecamatan.

Belum meratanya akses BTS mungkin berpengaruh pada penerimaan sinyal handphone di desa. Data menunjukkan bahwa desa yang tidak dapat menerima sinyal handphone mulai berkurang pada tahun 2018 dibanding kondisi tahun 2014. Namun, jumlah desa yang mempunyai sinyal kuat tidak bertambah banyak, dan desa yang mempunyai sinyal tapi lemah semakin bertambah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi geografis yang luas, tetapi jaringan BTS yang tersedia relatif masih sedikit. Sinyal internet merupakan akses barang/jasa semi publik. Akses pada fasilitas ini seharusnya dinikmati secara luas oleh masyarakat. Teknologi internet berkembang sedemikian cepat. Belum lama menikmati 2,5G, lalu 3G dan dalam sekejap sudah muncul 4G. Desa-desa belum semuanya dapat menikmati sinyal 2,5G; di belahan wilayah yang lain sudah terbiasa memanfaatkan 4G. Namun demikian, di Indonesia sekitar 6.000an desa belum menikmati internet.

Page 36: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI24

Media informasi televisi (TV) di sisi yang lain, relatif sudah dapat dinikmati hampir di seluruh desa, meski sebagian mungkin harus menggunakan tambahan antena parabola. Siaran TVRI, TVRI daerah, TV Swasta Nasional dan TV siaran luar negeri dapat dikatakan telah dinikmati sampai pelosok desa, mengingat cakupan desa telah mencapai 80 persen lebih.

3. ANTISIPASI KEBIJAKAN PUBLIK BAGI PEMERINTAH DAERAH PASCA PANDEMI COVID-19, DAN MENYAMBUT KONDISI KENORMALAN BARU

Awal bulan Februari tahun 2020, wabah Corona virus diseases atau Covid-19 mulai masuk dan menyebar di Indonesia. Dalam waktu sebulan, awal Maret jumlah korban positif Covid telah mencapai 1000an orang. Bulan April jumlah korban semakin meningkat. Kementrian kesehatan mengeluarkan himbauan darurat kesehatan, mengingat jumlah korban dan ancaman kematian yang semakin banyak. Perkembangan jumlah korban yang sangat cepat, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, Presiden Jokowi menetapkan peraturan atau kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ketentuan PSBB ini dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020.

Ketentuan PSBB diambil baik dalam level negara, wilayah pulau, provinsi bahkan sampai pada skala desa. Dibeberapa tempat pembatasan mungkin sampai ke tingkat RT-RW. Dalam waktu tidak sampai sebulan, sebagian besar usaha yang melibatkan banyak karyawan seperti pabrik-pabrik ditutup, aktivitas belajar mengajar dilakukan dari rumah, akses transportasi publik dan masal diberhentikan. Hal ini dilakukan untuk menekan laju penyebaran Covid-19. Setelah mempertimbangakan banyak hal, salah satu diantaranya tekanan ekonomi yang ditimbulkan, maka pertengahan bulan Juni 2020 ketentuan normal baru (new normal) mulai diberlakukan. Hal apa yang dapat diambil sebagai pelajaran terkait dengan pandemi Covid-19? Banyak hal yang bisa diambil hikmahnya, tentu dibalik masalah yang telah ditimbulkannya. Berikut adalah beberapa hal yang bisa diambil sebagai bahan pertimbangan kebijakan.

3.1 Prasarana KesehatanBencana apapun (alam dan non-alam), termasuk wabah penyakit seperti Covid-19 terjadi secara tiba-tiba. Kondisi bencana yang terjadi secara tiba-tiba biasanya harus diikuti oleh proses pengobatan bagi korban yang ditimbulkan (luka, sakit, rawat inap dan lain-lain). Terkait dengan wabah atau pandemi yang berbahaya seperti Covid-19, pemerintah daerah (mulai

Page 37: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 25

desa hingga provinsi); tidak hanya dituntut siap dengan infrastruktur fisik (jumlah rumah sakit, jumlah kamar inap, jumlah ambulance dan lain-lain) juga dituntut siap dengan infrastruktur pendukung, seperti alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan. Selain infrastruktur fisik, jumlah tenaga medis (dokter, juru rawat dan tenaga apoteker) juga perlu dipertimbangkan, apakah kuantitas yang telah ada sudah imbang dengan rasio sebaran penduduk. Belajar dari Covid-19; rasio jumlah tempat tidur untuk rawat inap pasien dalam kondisi tidak normal (wabah) masih perlu ditambah, khususnya bagi pemerintah daerah kabupaten dan provinsi. Untuk menangani Covid-19, pemerintah pusat sampai menyiapkan ratusan kamar Wisma Atlet Kebayoran sebagai rumah sakit darurat penanganan isolasi pasien terindikasi Covid. Hal ini memberi indikasi bahwa pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah hendaknya mulai merencanakan pembangunan atau penambahan ruang perawatan pasien dalam kondisi darurat.

Untuk level pemerintah desa, pemanfaatan posyandu anak, posyandu lansia dan klinik desa hendaknya semakin ditingkatkan, agar derajat kesehatan penduduk desa dapat lebih terpantau. Selain pemanfaatan fasilitas posyandu, kerjasama yang baik antara aparat desa dan warga dapat semakin dipupuk dengan belajar dari kondisi Covid-19, agar jumlah korban yang ditimbulkan dari sebuah wabah dapat ditekan.

3.2 Infrastruktur DasarPola penyebaran virus yang sangat cepat melalui cairan tubuh penderita, membawa konsekuensi pada penyesuaian kebutuhan beberapa infrastruktur bangunan maupun sarana transportasi publik. Ruangan kerja, ruangan rapat dan ruang kantor secara umum yang memiliki daya tampung lebih dari 50 orang hendaknya menyesuaikan dengan kondisi higienis. Pelonggaran tempat duduk-kapasitas ruangan, penyediaan air tempat cuci tangan dan hand sanitizer serta penggunaan masker selama pandemi Covid hendaknya dapat menjadi pertimbangan perencanaan anggaran pemerintah, khususnya pemerintah desa di masa yang akan datang.

Setelah masa pandemi mulai mereda, pelaksanaan tatanan normal baru atau new normal juga membutuhkan banyak penyesuaian baru. Untuk mengurangi pola kerumunan, pelonggaran kapasitas orang per unit tempat (tempat duduk di transportasi umum, ruang kantor, ruang kerja, ruang kelas, dan lain-lain) juga membutuhkan proses penyesuaian, minimal berupa penataan tempat duduk. Terkait penambahan tempat/ruang bagi tempat kerja dapat disesuaikan dalam jangka pendek berupa pengaturan shift kerja atau penggunaan ruangan baru. Hal yang berbeda mungkin dibutuhkan bagi pelaksanaan pendidikan, khususnya di tingkat dasar. Dengan kapasitas ruang belajar tertentu, proses pelonggaran tempat duduk tidak hanya menimbulkan penambahan ruang kelas tetapi

Page 38: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI26

juga tenaga guru. Apabila tenaga guru diantisipasi dengan teknologi, maka proses adaptasi dan penguasaan teknologi bagi tenaga guru hendaknya segera dipersiapkan. Sekolah-sekolah (dasar dan menengah), yang belum mempunyai sumber daya air tempat cuci tangan, maka ketersediaan air cuci tangan per jumlah kelas dan per jumlah guru, murid dan staff sekolah hendaknya dijamin cukup memadai. Hal yang sama berlaku bagi perkantoran dan tempat kerja lain seperti pabrik atau usaha lainnya.

Untuk pemerintah desa, pemanfaatan balai desa dan ruang terbuka untuk kegiatan yang melibatkan banyak warga hendaknya mulai dipertimbangkan, selama pandemi seperti Covid-19 belum dinyatakan berakhir dan situasi telah aman.

3.3 Kebiasaan dan Perilaku AdaptasiMenggunakan masker saat bepergian atau saat bekerja, belajar dan berada di tempat kerumuman, segera mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir merupakan hal yang belum umum dilakukan masyarakat selama ini. Hal ini akan mulai menjadi hal prosedural yang harus dilakukan selama masa pandemi masih menjadi ancaman menimbulkan korban. Sesuatu yang belum biasa dilakukan akan menyebabkan orang mudah lupa. Oleh karena itu, pola mengingatkan, baik dalam bentuk himbauan maupun berupa poster di tempat-tempat umum hendaknya diupayakan. Penegakan hukum informal bagi individu agar taat pada ketentuan maupun yang sadar dan tidak sadar melanggar ketentuan dapat dipertimbangkan sesuai keadaan di daerah masing-masing.

Antisipasi pola aktivitas produksi, konsumsi dan distribusi baru dalam bidang ekonomi harus mulai dilakukan. Penyesuaian kegiatan dengan memperhatikan protokol kesehatan akan diikuti oleh banyak peluang bisnis baru. Kebiasaan berbelanja di pasar mungkin akan berubah menjadi belanja secara online. Pemasaran barang-barang hasil produksi pertanian juga mulai dilakukan secara online dengan media digital. Proses belajar mengajar di level dasar menengah lebih banyak secara online dibanding offline. Kondisi penyesuaian new normal ini bagi dunia pendidikan sekolah dasar (SD) akan membutuhkan proses adaptasi teknologi. Pemanfaatan BTS sebagai transmitter sinyal HP dan internet akan semakin tinggi, khususnya di wilayah perdesaan. Oleh karena itu, proses adaptasi menuju new normal dari pemerintah daerah dan masyarakat perlu segera dilakukan.

Dalam konteks masyarakat desa, untuk sementara selama pandemi masih ada; kegiatan rapat-rapat yang melibatkan kerumunan warga, pesta-pesta dan kegiatan yang dilakukan bersama-sama, untuk sementara sebaiknya dihindari. Kegiatan rapat dapat dilakukan secara online, misal pemanfaatan radio brik, WA grup, atau media zoom bagi wilayah dan warga yang sudah memungkinkan. Layanan publik masyarakat desa

Page 39: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 27

seperti kebutuhan surat-surat resmi dari pemerintah desa, dapat dilakukan secara online atau layanan SMS pengajuan dan aduan.

3.4 AnggaranSelain pandemi Covid-19, banyak hal seperti bencana banjir, longsor, gempa, gunung meletus yang membutuhkan anggaran tambahan bagi pemerintah daerah, selain pembiayaan rutin yang dianggarkan dalam APBD. Bencana Covid-19 menimbulkan pola realokasi anggaran yang sangat besar, tidak saja karena belum ada anggaran khusus (anggaran kontinyensi), namun juga kebutuhan penanganan yang sangat banyak, seperti kebutuhan APD. Di level pemerintah daerah, informasi dari media Kompas online tanggal 17 April 2020 menyebutkan pemerintah DKI sampai mere-alokasi APBD sebesar Rp 56,57 Triliun untuk penanganan Covid-19. Hampir 93 persen dari pemerintah daerah di Indonesia dikatakan telah melakukan realokasi anggaran untuk menangani Covid-19 [2,3]. Di level pusat, proses penyesuaian anggaran dan asumsi APBN juga terus dilakukan [3, 4].

Pada level pemerintah desa, bagi warga yang terdampak pandemi Covid-19; misal kehilangan pekerjaan, karantina sakit atau kondisi lain, pemanfaatan dana desa untuk program bantuan sosial masih dimungkinkan. Apabila Covid-19 sudah berlalu, proses penggunaan anggaran akan kembali normal sebagaimana sebelum Covid-19 terjadi. Pada saat ini, pemerintah daerah harus mulai berupaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan pendapatan asli desa dan mengurangi peran ketergantungan pada dana transfer dari pusat. Peningkatan PAD dapat dicadangkan secara langsung sebagai dana kontinyensi, yang dapat digunakan bila terjadi guncangan atau bencana.

4. PENUTUPPembangunan ditandai oleh meningkatnya aktivitas ekonomi, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Aktivitas ekonomi di wilayah perdesaan Indonesia menjadi salah satu prioritas dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal ini dituangkan dalam Program Nawacita, khususnya pada poin ketiga. Untuk meningkatkan aktivitas ekonomi di perdesaan, maka ketersediaan infrastruktur penunjang perlu diperhatikan.

Data menunjukkan sebagian desa-desa di Indonesia terletak di wilayah yang mengalami kesulitan geografis, seperti desa terletak di lereng, puncak bukit atau lembah. Distribusi infrastruktur dasar untuk menunjang kelancaran informasi dan teknologi relatif lebih terkendala di wilayah ini, yang disebabkan oleh perbedaan dalam biaya distribusi jaringan. Sinyal TV, radio, HP dan internet menjadi lebih rendah pada wilayah yang berbukit

Page 40: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI28

dan hamparan lembah. Kebutuhan akan dukungan teknologi informasi dan komunikasi tidak saja terjadi karena sekarang adalah era digital, namun disisi lain adanya pandemi Covid-19. Penetapan kondisi PSBB berdampak pada keterbatasan ruang gerak. Dalam kondisi seperti ini, dukungan media internet sangat penting. Aktivitas pembelajaran, perkuliahan, rapat dan seminar dapat dilakukan secara daring. Hal yang sama berlaku untuk layanan publik yang dasar seperti pembuatan dokumen kependudukan. Masyarakat dapat menggunakan layanan online sepanjang infrastruktur dan sistem layanan telah disediakan oleh pemerintah daerah.

Kapan guncangan bencana akan terjadi, kapan bencana akan berakhir, seperti berlakunya Covid-19, tidak ada yang bisa memastikan. Hal yang bisa dilakukan adalah siap dengan kondisi buruk yang terjadi. Penyesuaian infrastruktur, penyiapan anggaran kontinyensi dan lain-lain hendaknya direncanakan dengan segera. Rasio kewajaran APBD, antara ketergantungan yang tinggi pada dana transfer dari pemerintah pusat hendaknya mulai dikurangi. Sumber-sumber penerimaan PAD harus dioptimalkan. Dengan cara ini, percepatan penyesuaian infrastruktur untuk proses recovery pasca Covid dapat dicapai lebih cepat. Pada level pemerintah desa, peningkatan pendapatan asli desa menjadi sangat penting untuk diimplementasikan.

5. DAFTAR PUSTAKAAmbarwati M.E., Sasongko G., Therik W.M.A. (2016) Dinamika Konflik

Tenurial Pada Kawasan Hutan Negara (Kasus di BKPH Tanggung KPH Semarang). Working Paper Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Besley T., Montalvo J.G., Reynal-Querol M. (2011) Do Educated Leaders Matter? The Economic Journal 121:F205-F227.

Chaurey A., Ranganathan M., Mohanty P. (2004) Electricity access for geographically disadvantaged rural communities technology and policy insights. Energy Policy 32:1693-1705.

Cooper M. (2005) Information Infrastructure is a Public Good (and much more in the digital age). Online paper presentation on InfoDev Forum, World Summit on the Information Society. Tunis, November 18, 2005.

Darsono T.D., Kuncoro M. (2013) Electricity Consumption and Economic Growth: Causality Evidence from Six Economic Corridors of Indonesia, 1984-2010. International Journal of Business, Economics, and Law 2.

Page 41: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Ni Made Sukartini 29

Davidson, Mwakasonda S.A. (2002) Electricity Access to the Poor: A study of South Africa and Zimbabwe. Working Paper in Departmen of Economics, University of University of Sierra Leone.

Hashim M.J., Maximiano S., Kannan K.N. (2011) Information Targeting and Coordination: An Experimental Study. Working Paper in Economics Purdue University.

Mansell R. (1999) Information and Communication Technologies for Development: Assessing the Potential and the Risks. Telecommunications Policy 23:35-50.

Raharjo R. (2020) Menakar New Normal Desa, Tribunjogya, Tribun Media, Jogyakarta.

Safitri D. (2015) Representasi Nawacita dalam 100 Hari Kabinet Kerja Jokowi-JK. Jurnal Dialog Publik Kemkominfo.

Susilowati. (2015) Konflik Tenurial dan Sengketa Tanah Kawasan Hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani. Jurnal Repertorium 3.

Tobgay S., Wangmo K. (2008) Can ICT (Internet) Overcome the Natural Geographical Barriers of Bhutan in Developing the Nation? International Journal of Education and Development using Information and Communication Technology (IJEDICT) 4:148-158.

Wollenberg E., Belcher B., Sheil D., Dewi D., Moeliono M. (2004) Mengapa kawasan hutan penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia? CIFOR Government Brief 4.

Catatan kaki:[1] https://www.tnp2k.go.id/articles/meningkatkan-akses-listrik-

penting-untuk-kurangi-kemiskinan-dan-ketimpangan

[2] https://nasional.kompas.com/read/2020/04/17/19040041/realokasi-apbd-untuk-penanganan-covid-19-mencapai-rp-5657-triliun-dki?page=all

[3] https://nasional.kompas.com/read/2020/04/13/13490351/kemendagri-93-persen-daerah-telah-realokasi-apbd-untuk-tangani-covid-19

[4] https://ekonomi.bisnis.com/read/20200508/9/1238073/tangani-covid-19-kementerian-dan-lembaga-ini-realokasi-anggaran

Page 42: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI30

Page 43: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fariastuti Djafar 31

PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH SAAT PANDEMI UNTUK KELUARGA

MISKIN DI DESA

Fariastuti DjafarFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tanjungpura

[email protected]

BAB

III

1. PENDAHULUAN Kisruh penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa (DD), bagi warga terdampak pandemi COVID-19 di banyak tempat akhir-akhir ini, merupakan puncak gunung es dari lemahnya sistem pendataan, dan kompleksitas profil keluarga miskin, yang selama ini kurang tersentuh akar permasalahannya. Tak kurang pula berita di media massa dan media sosial tentang anak-anak, orang tua dan keluarga terlantar yang tidak pernah mendapat bantuan pemerintah. Berita tentang ketidaklayakan penerima manfaat bantuan pemerintah, juga semakin mencuat ke permukaan pada masa pandemi ini. Semua itu adalah ironi pada saat macam dan anggaran program bantuan untuk keluarga miskin semakin banyak. Tulisan ini bertujuan untuk menginvestigasi akar masalah dari basis data yang digunakan untuk penyaluran berbagai program bantuan pemerintah untuk keluarga miskin, khususnya di desa. Penulisan lebih didasarkan pada laporan di media massa dan hasil observasi penulis di berbagai lokasi.

Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian. Pertama, pembahasan tentang program bantuan pemerintah untuk keluarga miskin. Kedua, pembahasan tentang integrasi data antar berbagai program Kementerian. Ketiga, pembahasan tentang peran perangkat desa dalam pendataan. Keempat, pembahasan tentang transparansi, sosialisasi dan peran Lembaga pengawasan program bantuan pemerintah untuk keluarga miskin.

2. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA MISKINSelama ini, desa lebih sebagai tempat penyaluran berbagai program

bantuan dari pemerintah pusat, sesuai target masing-masing kementerian. Program bantuan bertambah semasa pandemi yang ditujukan kepada keluarga terdampak COVID-19. Program tersebut berupa penambahan

Page 44: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI32

kuota untuk Program Keluarga Harapan (PKH). Selain itu, ada program Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Kartu Pembebasan Tarif Listrik 450 VA dan diskon listrik untuk 900 VA. Bantuan juga diberikan kepada keluarga yang tidak menerima Bantuan Sosial (Bansos) PKH maupun Bansos Sembako di DKI Jakarta, di wilayah yang mencakup Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, serta di wilayah lainnya. Program lainnya yaitu dana sosial yang bersumber dari Dana Desa, Program Padat Karya Tunai di kementerian-kementerian, dan Program Keselamatan oleh Polri untuk pengemudi taksi, sopir bus atau truk dan kenet (Sekretariat Negara, 2020).

Beberapa program bantuan pada masa pandemi berasal dari kementerian yang belum memiliki program serupa, sehingga menambah jumlah kementerian yang terlibat dalam program sejenis. Sebelum krisis COVID-19, sembilan kementerian telah terlibat dalam 25 program bantuan. Kementerian tersebut adalah sebagai berikut (TNP2K, 2018):− Kementerian Sosial (9 program)− Kemendikbud (2 program)− Kementerian Agama (2 program)− Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (1 program)− Kementerian Kesehatan (1 program)− Kementerian ESDM (3 program)− Kementerian PU dan Perumahan Rakyat (2 program)− Kementerian Pertanian (3 program)− Kementerian Kelautan dan Perikanan (2 program)

3. INTEGRASI DATA ANTAR BERBAGAI PROGRAM KEMENTERIAN

Keberadaan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K tampaknya belum mampu mengintegrasikan pengumpulan data antar kementerian. Pendataan keluarga yang tidak terintegrasi dan kurang koordinasi antar kementerian merupakan masalah utama dari kisruh penyaluran bantuan pemerintah. Menurut Menteri Sosial (Mensos), Juliari P. Batubara, banyak Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sementara Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa hanya 286 Pemda yang memperbarui DTKS (Media Indonesia, 2020).

Pernyataan Mensos mencerminkan koordinasi yang lemah antara Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang membawahi Pemda. Padahal, Permensos Nomor 5, 2019 menyebutkan bahwa Dinas Sosial Kabupaten/Kota adalah pihak yang bertugas melakukan pendataan, yang hasilnya diserahkan kepada gubernur. Dinas Sosial Provinsi juga berkewajiban melakukan verifikasi dan validasi terhadap hasil pendataan, sebelum diserahkan ke Mensos.

Page 45: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fariastuti Djafar 33

Jika ditemukan ketidaksesuaian, Pemda provinsi dan kabupaten/kota wajib memperbaikinya terlebih dahulu (Kementerian Sosial, 2019). Koordinasi yang lemah juga terjadi antara Kemensos dan Kementerian Kesehatan yang membawahi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Padahal, pengumpulan data keluarga oleh BKKBN telah berlangsung jauh lebih lama dari Kemensos.

Perbedaan tujuan antar program sering dijadikan alasan bagi pemisahan pengumpulan data antar kementerian. Hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah besar sepanjang mengacu pada kuesioner yang sama dan terintegrasi antar berbagai kementerian. Pengumpulan data yang tidak terintegrasi menyebabkan pemborosan dana dan waktu serta terkesan dadakan karena tergantung pada program yang akan dilaksanakan. Responden calon penerima manfaat juga terpaksa mengulang-ulang jawaban dari pertanyaan yang sama. Situasi tersebut dapat menimbulkan kebosanan bagi responden yang dapat berakibat pada jawaban yang tidak akurat.

Jika ditelusuri lebih lanjut, basis DTKS juga memiliki keterbatasan. Basis DTKS berdasarkan hasil survei oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Pemda pada 2015. Survei ini mencakup 40 persen rumah tangga termiskin di Indonesia. Dalam kegiatan tersebut, petugas survei menelusuri dan mewawancarai Rumah Tangga Miskin (RTM) yang telah terdaftar sebagai sampel. Setiap tiga RTM ditanya tentang RTM di sekitarnya yang belum terdaftar sebagai sampel, untuk diwawancarai. Dengan metode tersebut, BPS berhasil menambah sekitar 800 ribu RTM (TNP2K, 2017). Metode tersebut belum menjamin semua RTM masuk dalam DTKS. DTKS juga belum mencakup nonRTM yang berpotensi menjadi RTM secara tiba-tiba antara lain karena kehilangan pekerjaan, yang cukup banyak terjadi pada saat pandemi.

Data RTM juga cenderung dianggap statis. Pemutakhiran data lebih diartikan sebagai penambahan daripada pengurangan RTM. Tidak jarang ditemukan, mantan RTM yang masih menerima bantuan karena status ekonomi terbaru rumah tangga tersebut tidak terdata dalam DTKS. Jika hal tersebut terus berlanjut, maka jumlah penerima bantuan bisa terus meningkat sementara jumlah penduduk miskin cenderung menurun.

4. PERAN PERANGKAT DESA DALAM PENDATAANKetua Rukun Tetangga (RT) merupakan ujung tombak dari pemutakhiran data. Salah satu tugas Ketua RT yaitu membantu Kepala Desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan (Kementerian Dalam Negeri, 2018). Ketua RT seharusnya mengetahui satu per satu rumah tangga di wilayahnya. Data dari Ketua RT diserahkan kepada Kepala Desa yang meneruskannya kepada pemerintah di atasnya. Proses tersebut terus

Page 46: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI34

berlanjut sampai pada tingkat kementerian yang terkait dengan program bantuan. Ini berarti, kesalahan pada tingkat RT dapat terakumulasi sampai pada tingkat nasional.

Permasalahan tak jarang ditemukan pada Ketua RT. Ketua RT, yang merupakan salah satu jenis dalam Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD), ditentukan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat. Setiap periode jabatan LKD berlaku selama lima tahun dan jabatan untuk orang yang sama berlaku paling lama dua periode (Kementerian Dalam Negeri, 2018). Namun, masih ada Ketua RT yang menjabat sampai puluhan tahun, sementara warga tidak puas terhadap apa yang dilakukan oleh Ketua RT tersebut. Situasi seperti ini memerlukan fasilitasi yang tepat dari pejabat di atasnya, seperti Kepala Desa dan Camat. Pembiaran yang telah lama berlangsung akan membuat warga desa menjadi apatis.

Jabatan sebagai Ketua RT pada dasarnya bersifat sukarela walau ada Pemda yang memberi tunjangan sekedarnya. Ketua RT yang memiliki komitmen tinggi terhadap tugas, bukan hanya perlu meluangkan waktu untuk membantu berbagai urusan warga, tetapi juga perlu memiliki ketegasan dalam menghadapi warga yang tuntutannya beragam. Ketua RT juga perlu memiliki kepekaan yang tinggi terhadap warga yang paling tidak mampu, yang biasanya paling tidak berdaya dan paling pasrah walau haknya tidak dipenuhi. Jabatan sebagai Ketua RT cukup merepotkan sehingga banyak warga yang tidak berminat dengan jabatan tersebut. Ketua RT sebenarnya bisa bekerja sama dengan tenaga pendamping (jika ada) yang ditugaskan oleh kementerian untuk melakukan pemutakhiran data rumah tangga. Kerja sama tersebut mutlak diperlukan sebagai salah satu upaya untuk menciptakan data yang terintegrasi.

Kriteria penerima manfaat merupakan salah satu masalah dalam penyaluran bantuan. Jumlah alokasi bantuan yang lebih sedikit dibanding dengan jumlah RTM, mengharuskan desa memilih RTM yang paling layak sebagai penerima manfaat. Hal tersebut tidak mudah dilakukan, terutama jika perbedaan tingkat kemiskinan antar RTM yang relatif kecil. Kriteria penerima manfaat yang ditentukan oleh pemerintah pusat maupun desa, sama-sama tidak mudah dioperasionalisasikan di lapangan karena rumitnya profil keluarga miskin. Beberapa aspek penilaian dalam kriteria, tak jarang saling bertolak belakang sehingga membingungkan dalam penentuan penerima manfaat. Sebagai contoh, ada RTM yang tidak mendapat bantuan karena tinggal menumpang di rumah warga yang bangunannya relatif permanen. Sebaliknya, ada penerima bantuan yang berstatus janda dan tinggal bersama anaknya yang telah berkeluarga dan relatif mampu karena janda menjadi salah satu kriteria penerima manfaat.

Page 47: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fariastuti Djafar 35

5. TRANSPARANSI, SOSIALISASI DAN PERAN LEMBAGA PENGAWASAN

Transparansi yang terbatas juga dapat menimbulkan kesulitan bagi warga untuk mengawasi penyaluran bantuan pemerintah. Tidak semua warga hadir dalam rembuk desa, walau semua keluarga atau hanya sebagian keluarga yang diundang dalam kegiatan tersebut. Oleh sebab itu, tidak semua hasil rembuk mewakili berbagai kondisi warga desa. Daftar nama penerima manfaat, jenis bantuan dan nilai yang diterima juga tidak selalu diumumkan ke warga sehingga mereka tidak mengetahui secara pasti dan rinci tentang penyaluran bantuan tersebut. Salah satu topik obrolan warga desa yang tidak menerima bantuan pemerintah adalah terjadinya nepotisme dalam penyaluran bantuan oleh aparat desa atau Ketua RT, yang belum tentu sesuai dengan fakta sebenarnya.

Sosialisasi yang kurang optimal menyebabkan tidak semua warga mengetahui macam program bantuan di desanya. Beberapa keluarga miskin yang tidak menerima bantuan pemerintah, mencari donatur untuk membiayai sekolah anaknya, dari biaya pendaftaran sampai dengan biaya bulanannya. Padahal, pemerintah telah menyediakan Program Indonesia Pintar (PIP) bagi keluarga yang kurang mampu dan memiliki anak yang masih di SD, SMP dan SMA/SMK. PIP mencakup uang saku, uang untuk membeli buku dan alat tulis, transportasi ke sekolah, dan pakaian seragam serta perlengkapan sekolah lainnya (TNP2K, 2018).

Kepekaan terhadap keluarga miskin di Indonesia masih terbatas, termasuk dari lembaga yang seharusnya dapat berbuat lebih banyak. Sebagai contoh, Lembaga Ombudsman tidak selalu dapat membantu mengurangi berbagai pungutan oleh sekolah yang memberatkan keluarga miskin. Lembaga tersebut menindaklanjuti kasus berdasarkan laporan dengan menginvestigasi sekolah yang dimaksud. Namun, sepanjang pungutan didukung dengan bukti pertemuan antara Komite Sekolah dan orangtua siswa berupa daftar hadir yang ditandatangani dan notulen rapat, pungutan tersebut dianggap bukan sebagai pelanggaran. Keluarga miskin yang tidak berdaya dan cenderung diam dalam pertemuan dengan Komite Sekolah, atau tidak hadir dalam pertemuan karena harus bekerja atau rasa rendah diri, tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan.

6. PENUTUPBanyak hal yang perlu diperbaiki agar DTKS semakin lengkap, akurat dan mutakhir, sehingga dapat digunakan setiap saat, termasuk pada saat krisis yang tiba-tiba terjadi. DTKS seharusnya mencakup seluruh rumah tangga karena kondisi ekonomi rumah tangga yang dinamis. Pengumpulan data keluarga untuk berbagai tujuan di berbagai kementerian sudah seharusnya dilaksanakan oleh satu institusi sehingga tercipta data yang terintegrasi.

Page 48: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI36

Kriteria penerima manfaat yang tidak mudah dioperasionalisasikan mutlak diimbangi dengan transparansi penyaluran program bantuan. Mekanisme pelaporan temuan dan tindak lanjut yang cepat perlu dirancang, agar seluruh warga, pejabat terkait di desa, kecamatan dan kabupaten dapat memonitor dan menindaklanjuti proses tersebut. Pertanggungjawaban juga seharusnya tidak hanya menekankan pada bukti fisik, tetapi juga makna di balik bukti fisik tersebut. Pembiaran masalah di desa pada akhirnya hanya akan semakin melemahkan warga miskin sekaligus semakin menyulitkan pengentasan kemiskinan di desa.

7. DAFTAR PUSTAKAKementerian Dalam Negeri (2018). Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 18 Tahun 2018. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri

Kementerian Sosial (2019). Buku Saku Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Kementerian Sosial

Media Indonesia (2020). Mensos: Banyak Pemda Bandel tak Update DTKS (16 Mei). https://mediaindonesia.com/read/detail/313602-mensos-banyak-pemda-bandel-tak-update dtkshttps://mediaindonesia.com/read/detail/313602-mensos-banyak-pemda-bandel-tak-update-dtks

Sekretariat Negara (2020). Pemerintah Berikan 6 Program Bantuan Tambahan Hadapi Pandemi Covid-19 (9 April). https://setkab.go.id/pemerintah-berikan-6-program-bantuan-tambahan-hadapi-pandemi-covid-19/

TNP2K (2018). Program Bantuan Pemerintah Untuk Individu, Keluarga, dan Kelompok Tidak Mampu Menuju Bantuan Sosial Terintegrasi. Jakarta: TNP2K

TNP2K (2017). Basis Data Terpadu 2015 Untuk Memilah Penerima Manfaat Program Penanganan Fakir Miskin berdasarkan Kriteria Program. Jakarta: TNP2K

Page 49: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 37

BELANJA DESA DI MASA PANDEMI, BAHAGIA SEJENAK MENGHIASI

NEGERI

Agus Sunarya Sulaeman, SriyaniPoliteknik Keuangan Negara STAN

[email protected], [email protected]

BAB

IV1. PENDAHULUANSeiring dengan transfer dana desa digulirkan, terjadi perubahan yang cukup signifikan di dalam pengelolaan keuangan desa. Sejumlah peraturan tentang tatakelola desa pun diluncurkan juga, berubahlah sebagian desa-desa yang tadinya mengelola desa seperti antara ada tiada, menjadi desa yang disibukan dalam berbagai aktivitas khususnya di dalam mengelola keuangan.

Daya tarik luncuran dana desa bagai magnet menarik siapa saja. Pemilihan kepala desa menjadi lebih semarak, termasuk untuk desa adat yang tidak ada pemilihan langsung. Tidak sedikit mereka yang sudah sarjana pun, yang tadinya lebih tertarik ke kota menjadi balik kampung dan berkarya di desanya. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, KPK, BPKP, APIP, Kepolisian, LSM dan masyarakat sendiri memberikan perhatian khusus dengan bergulirnya dana desa. Mereka berharap dana desa yang digulirkan itu memberikan kemanfaatan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dana desa diharapkan bisa membangkitkan ekonomi dari pinggiran. Betapa tidak, sejak diluncurkan di tahun 2015 sampai tahun 2020 sudah teranggarkan lebih dari Rp 250 triliun, dengan rata-rata desa mendapatkan satu miliar rupiah per desa.

Angka satu miliar rupiah bagi desa itu sangat bermakna terutama desa-desa yang remote. Untuk bisa mendapatkan luncuran dana desa tersebut, perangkat desa dengan segala keterbatasannya harus belajar membuat RPJM, penganggaran, pengadaan barang dan jasa desa, penatausahaan belanja termasuk perpajakannya, pertanggungjawaban dan pelaporan.

Apakah sulit membuat RPJM desa, anggaran desa, melaksanakan anggaran yang telah ditetapkan, membuat pertanggungjawaban dan pelaporan? Sebenarnya tidak sulit bagi desa-desa yang memiliki perangkat desa yang secara edukasi memadai sesuai bidangnya. Sejumlah peraturan dan bagaimana teknis berhadapan dengan masyarakat, kultur masyarakat dan persepsi masyarakat itu sendiri menjadi tantangan buat

Page 50: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI38

para perangkat desa agar sukses menjalankan pengelolaan keuangannya sehingga dana satu miliar rupiah bisa diterima dengan baik.

Salah satu hal yang menarik dalam pengelolaan keuangan dana desa ini, tentunya saat melakukan pelaksanaan belanja. Mengapa menarik? Dari hasil penelitian terhadap efektivitas pengeloaan dana desa di sebagian desa-desa yang ada di Kabupaten Tangerang Banten, desa-desa yang ada di Kabupaten Garut, desa-desa yang ada di Kabupaten Sintang, desa-desa di Kabupaten Luwuk, desa-desa di Kabupaten Maluku Tengah dan desa-desa di Kabupaten Seram Barat ternyata masalah pelaksanaan belanja ini termasuk yang relatif sulit dipahami oleh mereka.

Masalah-masalah yang muncul terkait kelengkapan dokumen pertanggungjawaban, kualitas pertanggungjawaban, kelengkapan dokumen pelaporan dan kualitas pelaporan. Namun demikian, dengan adanya dana desa tersebut banyak desa merasa bahagia, karena pemerintah peduli dengan desa dan berharap banyak aktivitas yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembahasan akan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, pembahasan tentang belanja desa di masa pandemi. Kedua, pembahasan tentang pengelolaan belanja desa, antara pandemi dan peningkatan kesejahteraan. Ketiga, pembahasan tentang apakah pandemi membuat bahagia masyarakat desa?

2. BELANJA DESA DI MASA PANDEMIPandemi Covid 19 yang marak di Indonesia di bulan Maret 2020. Sejak ditetapkan Covid 19 ini sebagai pandemi, APBN pun dilakukan perubahan termasuk perubahan pada transfer keuangan daerah dan dana desa. Salah satu perubahan yang berkaitan dengan dana desa adalah Dana Desa ini bisa digunakan sebagai bagian mengatasi masyarakat terdampak Covid 19, berupa BLT (Bantuan Langsung Tunai). BLT Desa bukan satu-satunya BLT, ada BLT lain yang berasal dari dana Bansos, ada BLT dana APBD.

Perubahan peruntukkan sebagian belanja desa ini sebagaimana diatur dalam permendesa no 6 tahun 2020, memberikan angin segar dalam pengelolaan dana desa, mengapa tidak? Karena dengan BLT ini setidaknya masyarakat desa yang memenuhi kriteria bisa menerima bantuan dapat mempunyai daya beli.

Untuk memudahkan pencarian BLT sampai PMK nomor 40/PMK.07/2020 pun direvisi dengan PMK nomor 50/PMK.07/2020 tentang perubahan kedua atas PMK 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa. PMK tersebut menyatakan pemerintah akan menaikkan dana BLT Desa dari Rp 1.800.000/Keluarga Penerima Manfaat (KPM) menjadi Rp 2.700.000/KPM. Sehingga total anggaran untuk BLT Desa meningkat dari Rp 21,19 triliun menjadi Rp 31,79 triliun sebagaimana disampaikan

Page 51: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 39

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto (detikcom, Sabtu, 23/5/2020).

Di samping itu, jangka waktu pemberian BLT ditambah dari 3 bulan menjadi 6 bulan. Namun, penyalurannya akan dilakukan per bulan. Tiga bulan pertama sebesar Rp 600.000/KPM/bulan, lalu 3 bulan berikutnya sebesar Rp 300.000/KPM/bulan. Keleluasan bagi pemerintah desa dalam menganggarkan BLT Desa dalam APBDes dan memperluas cakupan keluarga penerima manfaat, yakni dengan menghapus batasan maksimal pagu dana desa yang digunakan untuk BLT Desa tersebut yang sebelumnya dibatasi maksimal 35% atau jika lebih harus seizin kepala daerah.

Saat ini BLT Dana Desa tahap I sudah dicairkan sejak April 2020 untuk tiga bulan pertama, jika dibagikan April berarti untuk April, Mei, Juni. Jika baru bisa dicairkan Mei berarti untuk bulan Mei, Juni, Juli dan kalau sedikit terlambat baru dicairkan Juni berarti untuk Juni, Juli, Agustus tiap bulannya masing-masing mendapat Rp 600.000 per KPM.

Hingga 8 Juni, Penyaluran BLT Dana Desa Baru 83 Persen. Sejauh ini, BLT Dana Desa tahap pertama telah tersalurkan ke 61.837 wilayah atau sekitar 83 persen dari total 74.953 wilayah desa. Adapun realisasi penyaluran BLT Dana Desa yang tersalurkan sebesar Rp 3,95 triliun. Penyaluran tersebut diperuntukkan bagi 6.591.206 keluarga miskin, yang terdiri atas 1.346.401 keluarga yang kehilangan mata pencaharian, dan 264.157 keluarga yang anggotanya menderita penyakit kronis dan menahun. (https://nasional.kompas.com /read/2020/06/10 /08273181/ menteri-desa-regulasi-blt-dana-desa-tahap-ii-dalam-tahap-sinkronisasi). Pencairan dana desa tahap II akan segera diluncurkan secepatnya pada bulan Juni 2020 bagi daerah yang sudah menerima pencairan pada bulan April 2020 untuk BLT Juli, Agustus, September masing-masing Rp 300.000 per bulan per PKM, dan Juli bagi penerima tahap I di bulan Mei untuk BLT Agustus, September, Oktober dan Agustus bagi yang menerima tahap I di bulan Juni untuk BLT September, Oktober, November 2020.

3. PENGELOLAAN BELANJA DESA, ANTARA PANDEMI DAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

Dalam pelaksanaan belanja desa, rata-rata desa melaksanakan belanja setelah dana cair. Dampaknya pelaksanaan belanja desa menjadi tergantung pada penyelesaian pelaporan dan pertanggungjawaban desa tahun sebelumnya.

3.1 Pengadaan Barang dan JasaPengadaan barang dan jasa di desa mengikuti kententuan LKPP tentang pengadaan barang dan jasa Desa (per LKPP 12 tahun 2019). Pelaksana

Page 52: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI40

pengadaan dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Pengadaan memprioritaskan dengan cara swakelola, namun jika swakelola tidak mungkin dilaksanakan maka dimungkinkan sebagian atau seluruhnya dengan penyedia barang/jasa.

Dari desa-desa di Kabupaten Tangerang nampak bahwa pemahaman tentang swakelola tidak semuanya memahami dengan baik, begitu pun dengan desa-desa di kabupaten lainnya (Garut, Sintang, Banggai, Maluku Tengah, dan Seram Bagian Barat). Ketidaktertiban pada dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk pertanggungjawaban masih terjadi. Kesulitan terjadi pada pengumpulan bukti-bukti dengan catatan beberapa desa tersebut banyak menggunakan barang atau jasa dari perorangan yang notabene kesulitan memberikan bukti formal yang dibutuhkan.

Paket-paket pengadaan pada saat pandemi sekarang jauh lebih sedikit karena dialihkan prioritasnya untuk penanggulangan dampak Covid 19. Praktis pengadaan-pengadaan di desa-desa yang semula berprioritas infrastruktur menjadi tergantikan. Padahal dengan BLT yang menjadi prioritas pencairan di tahap I dari tiga tahap pencairan Dana Desa, dan dilanjut dengan BLT tahap II dari pencairan dana desa tahap II.

Praktis TPK desa mengalami kendala karena APBdes yang berasal dari transfer APBN terikat untuk BLT. Dari sudut pandang sederhana, pengalihan anggaran ini membuat TPK dan pengelola keuangan menjadi tidak dikejar-kejar lagi pembangunan infrastruktur, kecuali untuk desa-desa yang minim penduduknya mendapat BLT.

Namun bukan tanpa kendala pengalihan anggaran dana desa ini untuk penanganan dampak Covid 19. Bagi desa-desa yang secara kualitas penatausahaan bagus dan kualitasnya juga termasuk bagus, bisa saja meninggalkan tunggakan, karena bulan Januari/Februari sebelum Covid sudah melakukan transaksi. Dampaknya jika kontrak belum ditandatangani bisa dibatalkan atau ditunda, sementara itu jika kontrak baik swakelola maupun melalui penyedia sudah terlanjur diadakan, maka tinggal dilanjutkan saja sepanjang desa memiliki pendapatan selain dari dana desa. Ada bahagia sejenak bagi pelaku pengadaan karena sejenak transaksi terhenti, karena Bantuan Langsung Tunai Dana Desa lebih prioritas.

3.2 Pemungutan PajakMasalah pemotongan/pemungutan pajak atas belanja desa banyak ditemukan ketidaktertibannya. Dari desa-desa terpilih masalah pemotongan/pemungutan pajak masih mengalami kesulitan antara dipotong atau tidak. Dampaknya dilakukan pungutan/potongan hampir semua transaksi yang dikeluarkan dari dana desa.

Jawaban klasik mereka adalah dari salah karena nggak motong/mungut maka lebih mungut/motong walaupun ternyata seharusnya tidak

Page 53: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 41

dipungut/dipotong. Perangkat desa bukanlah PNS, maka pemotongan PPh 21 kerapkali dilakukan terhadap pembayaran honoraium baik untuk kegiatan bidang penyelengaraan pemerintah, bidang pemberdayaan masyarakat, bidang pengembangan infrastruktur baik swakelola ataupun melalui penyedia sepanjang ada pembayaran honorarium. Begitupun dengan PPh pasal 22, walaupun ada pembatasan yang dipotong itu transaksi pengadaan barang yang diatas Rp 2.000.000, tidak sedikit yang dibawah Rp 2.000.000 pun dipungut. PPh 23 dipotong untuk semua transaksi berapa pun nilainya dan PPN yang seharusnya dipungut hanya untuk PKP, dalam praktiknya jika lebih dari Rp 1.000.000 dipungut PPN terlepas dari PKP atau bukan.

Disinilah salah satu kelemahan sumber daya desa di dalam pengelolaan belanja. Konsultasi dengan KPP maupun dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dipahami tidak seragam dalam implementasinya. Kasus-kasus terjadi di tahun-tahun sebelumnya banyak disebabkan pada ketidakmengertian secara menyeluruh terhadap masalah pungut/potong dengan penyetoran ke kas negara. Ada kejadian potongan/pungutan dilakukan terhadap semua transaksi, namun tidak disetor ke kas negara karena dikira sebagai pendapatan desa.

Adanya pandemi ini membuat pola transaksi berbeda, dengan prioritas pada BLT yang tidak dikenakan pajak, maka terdapat penurunan tingkat kesalahan karena transaksi yang dilakukan minim sampai kuartal kedua ini. Ada bahagia sejenak untuk tidak melakukan kesalahan karena memang transaksi tertunda/hilang akibat pengalihan peruntukkan dana desa. Namun di sisi lain, penerimaan negara bersumber dari pajak hilang juga. Mengingat dana desa ini secara total cukup signifikan.

3.3 Penatausahaan Belanja Dalam penatausahaan belanja yang dilihat adalah kelengkapan dokumen dan kualitas penatausahaan. Bagi kasie Keuangan melakukan penatausahaan atas transaksi belanja menyita waktu tersendiri. Bisa dibayangkan harus mencatat setidaknya dalam empat buku ditambah lagi membuat pelaporan dan pertanggungjawaban. Jika tidak melakukan pembukuan maka pengelolaan keuangan akuntabilitasnya diragukan.

Kelengkapan dokumen di dalam penatausahaan belanja desa meliputi buku rekening kas desa, rencana anggaran biaya, dokumen SPP, buku kas umum dan buku pembantu pajak, bank, panjar. Mengisi buku-buku ini cukup menyita waktu untuk dikerjakan, seringkali bersaldo tidak sama saat dibukukan dan membuat pelaporan. Juga bisa disebabkan transaksi yang belum dituntaskan pertanggungjawaban karena kesulitan dan ketidakpahaman dalam mengelola belanja. Mengidentifikasi rekening kas desa, bisa jadi juga penyebab ketidaklengkapan dokumen, biasa terjadi jika terjadi pergantian perangkat desa.

Page 54: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI42

Kualitas penatausahaan meliputi Identifikasi terhadap rekening pendapatan, Identifikasi terhadap rekening belanja, Ketepatan dalam pengisian Buku Kas Umum, Ketepatan dalam pengisian Buku Pembantu, Kecermatan dalam pengisian Buku Pembantu, Ketepatan dalam penghitungan pajak. Seperti disebutkan sebelumnya tentang masalah pajak yang sering tidak tepat dipungut/dipotong.

Dari desa-desa yang pernah diamati kualitas penatausahaan inilah yang masih ditemukan lemah. Akurasi dan kecermatan dalam menuliskan dan menghitung, bagi orang-orang desa cukup membebani apalagi ditambah harus membuat laporan keuangan desanya. Di saat pandemi ini, tentunya variasi transaksi menjadi tidak banyak. Dana desa teralokasi banyak untuk BLT, dengan transaksi yang relatif homogen. Selain itu, adanya pandemi ini menyebabkan disederhanakannya persyaratan pencairan dibanding sebelumnya. Maka layak bahagia sejenak pengelola keuangan ini di dalam menatausahakan belanja desa, di saat pandemi ini.

3.4 Pertanggungjawaban dan PelaporanPertanggungjawab transaksi belanja dari kegiatan-kegiatan yang dibiayai dari dana desa dan dana-dana lainnya. Dalam pengelolaan keuangan desa ini ada tiga hal yang mesti diperhatikan;1. Kemampuan adaptasi2. Ketaatan pada ketentuan3. Efisiensi dalam bertransaksi

Dalam melaksanakan kegiatan desa, kadang banyak hal berubah da-lam pelaksanaannya. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan merupa-kan langkah fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan, namun tetap tidak bisa mengabaikan masalah ketaatan pada ketentuan dan menilai efisiensi dalam bertransaksi.

3.5 Kelengkapan Pertanggungjawaban & LaporanKelengkapan bukti-bukti transaksi menjadi kunci kesuksesan bertransaksi belanja desa. Seminim apapun bukti transaksi tetap bagian dari kelengkapan. Jika transaksi tidak lengkap, maka akan memunculkan manipulasi bukti dan jika bukti dimanipulasi maka memunculkan ketidakefisienan. Jika tidak efisien maka ada kemungkinan ketidakpatuhan terhadap ketentuan. Walaupun saat ini masa pandemi dan ada penyederhanaan prosedur, jika dikemudian hari ingin tetap bahagia, maka kelengkapan bukti transaksi harus menjadi perhatian utama.

Laporan Pelaksanaan APBDesa menggambarkan rangkuman kegiatan yang dilakukan oleh desa. Jika tidak dibuat laporannya berarti pertanggungjawabannya diragukan. Karena bukti-bukti transaksi belanja akan diproses menjadi sebuah laporan, sehingga jika laporan tidak ada

Page 55: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 43

bisa diartikan bukti-bukti transaksi tidak akurat/lengkap. Jika lengkap maka tidaklah sulit jika ingin membuat laporan pelaksanaan APBDesa walaupun tidak ada aplikasi pelaporan.

Laporan Kekayaan Milik Desa (LKMD) merupakan laporan terkait aset desa yang pada tanggal neraca berwujud. Sesuatu yang berwujud ada selalu ada sumber keberwujudannya apakah berasal dari hutang atau kekayaan sendiri. Jika bukti dibuat, maka laporan pelaksanaan APBDesa bisa dibuat, begitupun dengan laporan kekayaan milik desa.

Desa-desa yang menjadi objek pengamatan, pada masalah kelengkapan dokumen pertanggungjawaban dan pelaporan sepintas sudah lengkap, namun masalah kualitasnya yang perlu didalami lebih lanjut.

3.6 Kualitas LaporanKetepatan menyusun bukti-bukti pertanggungjawaban bisa mendorong validitas laporan yang disusun termasuk mempercepat atau memperlambat pelaporan. Oleh karena itu, di dalam menyusun/membuat bukti-bukti transaksi akurasi penghitungan/pemotongan/pungutan/ besaran anggaran dan ketersediaan dana mutlak diperlukan.

Laporan semester disampaikan akhir bulan Juli merupakan bagian bagaimana kualitas laporan disajikan, begitupun dengan Laporan tahunan yang disampaikan setidaknya akhir Januari tahun berikutnya. Pelaporan dana desa ini berkaitan erat dengan pencairan dana desa, sehingga jika pelaporan lambat, maka pencairan dana pun akan terjadi pelambatan juga.

Kualitas laporan dari desa-desa yang menjadi objek pengamatan, setengahnya terlambat dalam penyampaian laporan baik semesteran maupun tahunan, dampaknya jelas pencairan dana desa pun menjadi terlambat. BLT pun menjadi terlambat disalurkan juga.

Dengan minim dan homogennya transaksi di masa pandemi ini seharusnya kelengkapan dan kualitas pertanggungjawaban dan pelaporan meningkat. Dukungan kuat diberikan pemerintah agar dana desa ini segera cair untuk dibelanjakan. Namun akuntabilitas tetap harus dijaga.

4. PANDEMI MEMBERI BAHAGIA?4.1 Belanja Bantuan Langsung Tunai (BLT)Sisi positif BLT, masyarakat tertentu mendapatkan BLT untuk 6 bulan dengan total dana diterima Rp 2.700.000 per PKM. Perlu diingat tidak semua desa masyarakatnya rentan terhadap pandemi covid, seperti desa-desa di Garut Selatan yang merupakan desa pertanian, perkebunan, peladangan di mana akses ke desanya cukup terisolasi, jauh dari isu pandemi. Namun masyarakat mereka bahagia karena mendapatkan BLT. Begitu pun sebagian desa yang ada di Kabupaten Seram bagian

Page 56: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI44

barat maupun kabupaten Maluku Tengah banyak desa yang secara geografis terisolasi, sehingga penularan Covid relatif tidak terjadi. Yang sedikit berbeda mungkin desa-desa yang ada di kabupaten Tangerang, karena walaupun statusnya desa namun banyak dari desa-desa tersebut lingkungannya merupakan lingkungan industri/pabrik dan perumahan besar yang lengkap dengan pertokoan bahkan mall, sehingga potensi penularan Covid 19 cukup tinggi.

Sisi negatif BLT, masyarakat dihadapakan pada pilihan menerima umpan ikannya bukan alatnya. Bisa saja umpan ini malah dipakai yang lain bukan dipakai untuk memancing. Hal ini pun bisa terjadi dengan BLT. Bagi sebagian masyarakat BLT membuat tuntutan terhadap pemerintah memberikan bantuan menjadi tinggi. Dampak lainnya sebagian masyarakat menggantungkan hidupnya pada pihak lain, bukan memanfaatkan dana bantuan tadi untuk meningkatkan produktifitas.

Produk-produk pertanian, peladangan dan perkebunan dari desa-desa yang menjadi objek pengamatan, bisa dikelola dengan BLT meningkatkan produktifitas. Namun demikian masalah keterisolasian untuk mendistribusikan hasil produksinya menjadi kendala.

4.2 Belanja Non BLTDampak pandemi ini terhadap belanja desa non BLT adalah menurunkan pagunya. Prioritas belanja desa saat ini diutamakan untuk BLT. Sisi positifnya dengan menurunnya anggaran non BLT setidaknya sejenak bahagia, karena yang menyebabkan keruwetan di dalam penatausahaan, pertanggungjawaban dan pelaporan belanja menjadi jauh berkurang.

Sisi negatifnya adalah program-program desa berubah disaat layar itu dikembangkan, mengingat pandemi ini muncul diakhir kuartal pertama. Bagi sebagian desa-desa yang kualitas pelaporan bagus sehingga pencairan dana desa bisa lebih cepat, menjadi kebingungan karena anggaran harus segera disesuaikan, sementara program-program sudah mulai berjalan terpaksa harus ditunda atau dibatalkan.

Apakah pandemi ini tetap memberikan kebahagiaan? Saya katakan ya. Sampai 8 juni 2020 telah tersalurkan BLT sebanyak 83% dari total 74.953 wilayah desa. Realisasi penyaluran BLT Dana Desa yang tersalurkan sebesar Rp 3,95 triliun untuk sekitar 6.5 juta keluarga miskin. Seandainya tidak ada pandemi apakah desa-desa yang ada saat ini akan disederhanakan ketentuan pencairannya? Belum tentu. Namun pandemi ini memberi jalan kemudahan sehingga masyarakat desa terdampak langsung maupun tidak terdampak langsung sama-sama bahagia menerima BLT. Namun perangkat desa tetap harus bekerja keras agar BLT ini tepat sasaran dan bisa memberikan manfaat, walaupun di sisi lain tetap waspada terhadap penyebaran Covid 19 di desanya masing-masing.

Page 57: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 45

5. PENUTUPAda empat hal yang bisa disimpulkan dari pembahasan dalam bab ini. Pertama, pengelolaan belanja desa di sebagain wilayah Indonesia masih mempunyai hambatan pemahaman terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa, juga masalah perpajakan. Kedua, penatausahaan belanja desa masih terkendala di kualitas penatausahaannya, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya masalah ini. Kerjasama semua pihak yang terlibat perlu diintensifkan kembali lebih baik. Ketiga, pertanggungjawaban dan pelaporan pun masih ada kendala di mengatur ketepat waktuan penyampaian laporan baik terkait bukti-bukti transaksi, laporan pelaksanaan APBDesa, maupun laporan kekayaan desa. Keempat, masa pandemi ini memberikan paradigma baru buat desa-desa tentang kemudahan dan kebahagiaan penggunaan dana desa.

6. DAFTAR PUSTAKARaharjo, T., Sulaeman, AS, Sriyani 2018. Efektivitas Penggunaan Dana

Desa di kabupaten Tangerang

Sulaeman, AS,Sriyani, Wibowo RW, 2019. Efesiensi Pengelolaan Keuangan Desa di Kabupaten Garut Jawa Barat

Sriyani, dkk. 2019. Laporan Asistensi Desa di Kabupaten Sintang

Sulaeman, AS, dkk. 2019. Laporan Asistensi Desa di Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat

Laporan Pengmas. Pelatihan Pengelolaan Keuangan Desa di Luwuk. 2018

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Pengadaan Barang/Jasa Desa. Di Kecamatan Cibogo Tangerang

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Penatausahaan Bendahara Desa kecamatan Cikupa

Laporan Pengmas. Pelatihan dan Pendampingan Penatausahaan Bendahara Desa kecamatan Kronjo

https://nasional.kompas.com /read/2020/06/10 /08273181/ menteri-desa-regulasi-blt-dana-desa-tahap-ii-dalam-tahap-sinkronisasi).

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 17 ayat 3

Page 58: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI46

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717);

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5864);

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87);

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 13);

Page 59: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Sunarya Sulaeman, Sriyani 47

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 94);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 463) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 22 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1915);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1012);

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020

Peraturan Menteri Keuangan no 50/KMK.07/2020 tentang perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 205/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Desa.

Page 60: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI48

Page 61: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 49

REVITALISASI BUMDES UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN

PANGAN DI MASA PANDEMI

Rudy SuryantoFakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

[email protected]

BAB

V

1. PENDAHULUANPada akhir Desember 2019, seorang pria berusia 55 tahun penduduk Kota Wuhan, menderita demam tinggi berkepanjangan disertai ganggguan pernafasan. Setelah melewati berbagai pengujian, dipastikan pria tersebut menderita penyakit yang diakibatkan oleh virus corona yang saat ini dikenal dengan penyakit Covid-19 (Jayani, 2020). Penyakit itu selanjutnya menyebar dengan sangat cepat ke berbagai negara. Saat ini ada 216 negara yang telah melaporkan Pandemi Covid-19 dengan total pasien positif per 12 Juli 2020 sebanyak 12.931.839 (Worldometers, 2020).

Kasus pertama di Indonesia dilaporkan pada 2 Maret 2020. Meskipun demikian, menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, virus tersebut dimungkinkan sudah masuk ke Indonesia sejak bulan Januari 2020 (Pranita, 2020). Sejak itu penyebaran Covid-19 ini menjadi begitu cepat. Per 12 Juli 2020, terkonfirmasi 75,699 kasus (Covid19.go.id, 2020). Penyakit ini tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi.

IMF memprediksi pada tahun 2020 ekonomi global akan tumbuh minus 4,9 persen, OECD memperkirakan akan terjadi kontraksi ekonomi sampai -7,6 persen sampai dengan -6 persen dan World Bank memperkirakan ekonomi global akan menyusut sampai -5,2 persen (Kancaribu, 2020). Kondisi tersebut berdampak sangat signifikan terhadap ekonomi di Indonesia. Pada kwartal 1 2020 ekonomi Indonesia sudah mulai tertekan dengan hanya tumbuh 2,97 persen. Paska diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejak awal Maret 2020, telah terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi hampir di semua sektor. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun dari 5,02 persen (Q1 2019) menjadi hanya 2,84 persen (Q1 2020). Kondisi tersebut akan menekan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada awal sebelum Covid-19 proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2020 diperkirakan sebesar 5,3 persen dan dengan adalanya pandemi Covid-19 diperkirakan akan tumbuh 1 persen atau -0,4 persen.

Page 62: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI50

Sektor-sektor yang biasa menjadi penopang ekonomi nasional juga mengalami perlambatan. Sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan hanya tumbuh 0,18 persen, sedangkan sektor sekunder, seperti manufaktur dan konstruksi mengalami perlambatan signifikan karena perlemahan permintaan (Kancaribu, 2020). Sektor tersier, seperti perdagangan juga terdampak cukup parah. Menurut Aviliani, 2020 sektor yang paling terdampak adalah sektor pariwisata, automotif, transportasi, konstruksi, real estate, sebagian manufaktur, oil & gas dan sektor keuangan. Sektor keuangan ini akan terus tertekan karena ada transmisi dari sektor riil ke sektor perbankan (Aviliani, 2020). Hal yang masih cukup melegakan adalah membaiknya stabilitas sektor keuangan dilihat dari menguatnya nilai rupiah di kisaran Rp 13.000 per US dollar dan kembali meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan dikisaran 5.500. Inflasi juga ada di level rendah, tetapi lebih karena deflasi karena menurunnya permintaan akibat pandemi Covid-19 (Kancaribu, 2020).

Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut akan berdampak pada gelombang pemutusan hubungan kerja, meningkatnya penggangguran yang pada gilirannya akan mengakibatkan peningkatan kemiskinan. Berdasarkan analisa Kementerian Keuangan diperkirakan ada peningkatan pengangguran sebesar 4.03 juta (skenario berat) sampai dengan 5.23 juta (skenario sangat berat). Sedangkan untuk peningkatan angka kemiskinan diperkirakan sampai dengan 3,02 juta orang (skenario berat) sampai 5.71 juta orang (skenario sangat berat).

Pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan-kebijakan untuk antisipasi dampak buruk dari Covid-19. Kebijakan tersebut diatur dalam Perpu No 1 tahun 2020 yang selanjutnya telah diubah menjadi UU No 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pademi Covid-19. Peraturan tersebut selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2020 tentang Pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) (Aviliani, 2020).

Program PEN diarahkan pada penguatan baik sisi penawaran maupun perbaikan sisi permintaan. Total anggaran yang disiapkan untuk penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Republik Indonesia mencapai Rp686,20 triliun (Hartarto, 2020). Sebagian besar dari dana tersebut digunakan untuk biaya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yaitu sebesar Rp598,65 triliun.

Dana PEN tersebut dipergunakan untuk penguatan sisi permintaan sebesar Rp 205, 20 triliun dan penguatan sisi penawaran Rp 393,45 triliun. Penguatan sisi permintaan antara lain untuk perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sembako, bansos, kartu pra kerja, diskon listrik dan BLT Dana desa total sebesar Rp 203,9 triliun. Untuk penguatan sisi permintaan juga ada insentif untuk perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebesar Rp 1.3 triliun. Sedangkan

Page 63: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 51

penguatan dari sisi penawaran sebesar Rp 393 triliun. Program itu meliputi insentif perpajakan sebesar Rp 123,01Triliun, penempatan dana untuk restrukturisasi hutang sebesar Rp 82,2 triliun, penyertaan modal ke BUMN sebesar Rp 15,5 triliun, program padat karya kementerian lembaga sebesar Rp 18,44 triliun dan program lainnya (Hartarto, 2020).

Meskipun sudah dianggarkan cukup besar, tetapi penyerapan anggaran tersebut masih belum bagus. Dalam paparan tantangan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), Aviliani, mengutip dari harian Investor Daily, menyampaikan baru ada penyerapan 1,54 persen dari Kementerian Kesehatan, penyerapan 28,63 persen dari program perlindungan sosial, 6,8 persen dari Insentif Usaha, 0,06 persen dari insentif UMKM, 0 persen untuk stimulus pembiayaan korporasi dan 3,65 persen untuk stimulus sektoral dan pemda (Aviliani, 2020).

Berkaca pada kondisi tersebut, Menurut Rachman, 2020, desa keunggulan dalam ketahanan dan keberlanjutan di bidang sosial dan ekonomi karena memiliki tiga pilar. Ketiga pilar tersebut, yaitu modal sosial, sumberdaya lingkungan dan pengorganisasian pemerintahan, yang saat ini sangat diperlukan bagi ketahanan dan keberlanjutan bidang sosial ekonomi. Modal sosial di desa sangat besar ditopang oleh tiga hal. Pertama, adanya ikatan sosial yang kuat berdasarkan kearifan lokal. Kedua, jaringan kerjasama berdasarkan rasa saling percaya dan gotong royong, serta ketiga, daya tahan mental yang tangguh dan tahan banting (Rachman, 2020). Selain itu desa memiliki sumberdaya kebutuhan pokok yang melimpah dan wilayah yang masih hijau jauh dari polusi. Desa menjadi semakin kuat saat ini karena dan memiliki akses paling dekat dengan rakyat dan ditopang kewenangan yang lebih luas, paska ditetapkan UU Desa.

Menilik dari kondisi-kondisi tersebut selain program-program yang tengah dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masih diperlukan upaya-upaya penguatan lain. Kami berargumen bahwa peran desa akan menjadi semakin penting di masa pandemi ini dan peran itu akan bisa dijalankan dengan baik lewat revitalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDES). Kami akan lebih spesifik untuk bagaimana peran Bumdes dalam turut serta menjaga ketahanan pangan, dan harapannya dari peran itu juga dapat membuka lapangan kerja dan menekan laju kemiskinan.

2. ANCAMAN KETAHANAN PANGANSebanyak 82,77 persen penduduk desa bekerja dalam sektor pertanian atau sebagai petani. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengeluarkan peringatan adanya potensi kelangkaan pangan dunia sebagai dampak panjang dari pandemi Covid-19. Desa memiliki potensi, ada 20.034 desa yang memiliki potensi perkebunan, ada 12.827 desa

Page 64: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI52

memiliki potensi perikanan, ada 64.587 desa memiliki potensi energi terbarukan, ada 1.8 juta komoditas UMKM berada di desa, 61.821 desa memiliki potensi pertanian dan 1.902 desa memiliki potensi desa Wisata (Madjid, 2020).

Masih banyak masalah klasik mendera sektor pertanian. Petani masih di lilit kesulitan pupuk, harga jual anjlok saat panen raya, lahan pertanian yang semakin menyempit dan kesejahteraan petani yang tidak kunjung meningkat. Pada masa-masa ini peran mereka benar-benar diharapkan, sehingga pemerintah memberikan berbagai stimulus. Stimulus jangka pendek untuk petani di masa pandemi ini antara lain relaksasi KUR Sektor Pertanian dan mempercepat bantuan sarana prasarana pertanian (Madjid, 2020).

Masalah ketahanan pangan juga menyangkut masalah distribusi. Hasil-hasil pertanian yang melimpah di satu daerah, seringkali tidak bisa tersalurkan ke daerah-daerah yang membutuhkan. Hal ini mendorong pemerintah untuk memberikan bantuan subsidi pengangkutan pangan dari daerah surplus ke daerah minus. Hal ini bertujuan agar hasil panen pertain dapat terserap pasar dengan harga wajar.

Konektivitas antar daerah dan antar desa menjadi semakin penting di masa pandemi ini. Seiring terjadinya fenomena de-globalisasi maka masing-masing negara di tuntut untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, terutama kebutuhan terkait dengan pangan. Kita pahami bahwa masih terjadi disparitas antar daerah dalam penyediaan pangan untuk warganya. Inilah perlunya menggerakkan pasar mitra tani yang ada di seluruh provinsi untuk bisa saling support dan memperpendek rantai distribusi (Madjid, 2020). Untuk itu petani perlu bekerjasama dengan penyedia jasa distribusi agar memudahkan masyarakat mendapatkan bahan pangan.

Kementerian Desa PDTT, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Bulog dan beberapa lembaga lain diberikan penugasan khusus dari Presiden Joko Widodo untuk menjalankan program ketahanan pangan di masa pandemi ini. Berdasarkan rancangan program dari Kemendes PDTT, tahapan untuk pengembangan ketahanan pangan desa adalah dengan pengumpulan data pangan desa yang terdiri dari langkah identifikasi ketersediaan pangan desa, pemetaan potensi sumber daya produksi dan identifikasi aksesibilitas desa terhadap pangan. Tahap kedua adalah peningkatan produksi pangan dengan perlindungan dan bantuan petani, pemanfaatan teknologi pertanian. Tahap ketiga adalah penguatan cadangan pangan desa yaitu dengan pembangunan gudang untuk penyimpanan hasil panen, pembangunan sarana prasarana pendukung distribusi dan logistik dan inovasi teknologi pengolahan pangan agar lebih awet. Tahap keempat adalah penguatan peran BUMDesa dan Koperasi untuk menjamin stabilisasi pasokan dan harga (Madjid, 2020).

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Bumdes bisa berperan dalam mengatasi berbagai masalah terkait ketahanan pangan. Lewat

Page 65: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 53

tulisan ini kami akan menawarkan model untuk menjadikan Bumdes sebagai penghubung para pihak yang ingin membangun ketahahan pangan. Pada akhir tulisan kami akan mengulas perlunya program revitalisasi Bumdes agar program tersebut bisa berjalan dengan baik.

3. PERAN BUMDES DALAM KETAHANAN PANGANMenurut Pasal 1 UU No 6/2014 atau UU Desa, Badan Usaha Milik Desa atau Bumdes adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Merujuk pada pengertian tersebut maka Bumdes memiliki peran bisnis dan sosial. Sebagai badan usaha, Bumdes harus untung, dan secara sosial, bumdes harus memberikan manfaat kepada masyarakat desa, utamanya dalam hal meingkatkan kesejahteraan masyarakat desa dalam arti luas (Suryanto, 2018)

Filosofi Bumdes merujuk pada semangat pasal 33 UUD 1945, yaitu menjadi wadah ekonomi dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong, “dari masyarakat desa, oleh masyarakat desa, untuk masyarakat desa”. Bumdes bukanlah pelaku, pelaku usaha adalah masyarakat. Bumdes tidak boleh menggeser, menggusur atau mengambil alih aktivitas-aktivitas ekonomi yang telah dijalankan masyarakat (Suryanto, 2018). Berdasarkan prinsip dan filosofi tersebut tepat kiranya Bumdes menjadi solusi atas beberapa permasalahan mendasar yang muncul di masa pandemi ini. Model kerjasama disajikan pada Gambar 3.1.

58

Bumdes memiliki peran bisnis dan sosial. Sebagai badan usaha, Bumdes harus untung, dan secara sosial, bumdes harus memberikan manfaat kepada masyarakat desa, utamanya dalam hal meingkatkan kesejahteraan masyarakat desa dalam arti luas (Suryanto, 2018)

Filosofi Bumdes merujuk pada semangat pasal 33 UUD 1945, yaitu menjadi wadah ekonomi dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong, “dari masyarakat desa, oleh masyarakat desa, untuk masyarakat desa”. Bumdes bukanlah pelaku, pelaku usaha adalah masyarakat. Bumdes tidak boleh menggeser, menggusur atau mengambil alih aktivitas-aktivitas ekonomi yang telah dijalankan masyarakat (Suryanto, 2018). Berdasarkan prinsip dan filosofi tersebut tepat kiranya Bumdes menjadi solusi atas beberapa permasalahan mendasar yang muncul di masa pandemi ini. Model kerjasama disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Model Kerjasama Multi Pihak untuk Ketahahan Pangan

Model kerjasama untuk ketahanan pangan multi pihak, terdiri dari beberapa mekanisme. Tujuannya adalah rantai nilai dari produk pertanian yaitu siapa yang menanam, siapa yang mengemas dan siapa yang memasarkan akan terbentuk dan berjalan baik. Pertama petani lokal mengumpulkan hasil panen lewat Bumdes dengan mekanisme timbang bayar. Apabila modal Bumdes terbatas maka pihak perbankan akan menalangi pembayaran. Apabila kelompok tani disitu aktif dan

Petani Lokal

Bumdes Kelompok Tani

BUMN/ Off Taker

Perbankan

Kementan Kemendes

Gambar 3.1 Model Kerjasama Multi Pihak untuk Ketahahan Pangan

Page 66: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI54

Model kerjasama untuk ketahanan pangan multi pihak, terdiri dari beberapa mekanisme. Tujuannya adalah rantai nilai dari produk pertanian yaitu siapa yang menanam, siapa yang mengemas dan siapa yang memasarkan akan terbentuk dan berjalan baik. Pertama petani lokal mengumpulkan hasil panen lewat Bumdes dengan mekanisme timbang bayar. Apabila modal Bumdes terbatas maka pihak perbankan akan menalangi pembayaran. Apabila kelompok tani disitu aktif dan efektif maka Bumdes bisa bekerjasama dengan kelompok tani. Kelompok tani akan konsolidasi petani lokal dan kemudian bekerjasama dengan Bumdes. Bumdes akan menjalankan fungsi agregator (pengumpul), kurator (penjamin mutu) dan konektor (penghubung dengan multi pihak). Peran Bumdes diharapkan dapat diterima dengan baik karena dibelakangnya ada pemerintah desa.

Apabila proses agregasi, kurasi dan koneksi ini berhasil dijalankan oleh Bumdes, maka BUMN tinggal menjadi off-taker dan penyalur antar daerah. Masih dimungkinkan adanya in-efisiensi yang terjadi disini, dan menjadi peran Kemendes dan Kementan untuk mengidentifikasi dimana rantai nilai yang lemah untuk dikuatkan dan mengarahkan subsidi untuk menambal in-efisiensi. Semakin lama akan terbangun basis-basis produksi dan jalur-jalur distribusi yang semakin efisien.

Strategi mendorong Bumdes/Bumdesma untuk ketersediaan pangan di perdesaan ada lima. Pertama, bagaimana Kemendesa mendorong untuk fungsi koordinasi dan penyusunan kebijakan. Kedua, bagaimana BUMN dapat memfasilitasi supply kebutuhan pokok dan kebutuhan lain ke Bumdes. Ketiga, bagaimana swasta nasional memberikan dukungan melalui kegiatan CSR. Keempat, bagaimana Pertides memberikan fungsi pendampingan dan pembinaan. Kelima, bagaimana Kementerian/Lembaga Negara lain melakukan sinkronisasi kebijakan (Madjid, 2020).

Mekanisme di atas tentu akan dapat berjalan jika Bumdes sehat. Saat ini terdapat 49.329 Bumdes yang sudah berdiri di Indonesia. Bumdes yang sudah melengkapi data dan sudah direview sejumlah 21.646 Bumdes dengan klasifikasi 5.488 Bumdes Maju, 11.569 Bumdes Berkembang dan 4.589 Bumdes Pemula (Sanusi,2020). Artinya masih sedikit yang bisa dikategorikan Bumdes yang maju, masih berkisar 10 persen. Hal yang menggembirakan adalah semakin meningkatkan Bumdes berkembang. Jika di tahun-tahun sebelumnya Bumdes sebagian besar masih di tahapan rintisan, saat ini sudah banyak yang pindah ke kelas berkembang.

Kondisi diatas menunjukkan dua hal. Pentingnya basis data untuk mengukur kemajuan dan kesehatan usaha Bumdes dan program pendampingan yang berbasis data dan masalah. Data yang perlu selalu diupdate adalah data produk, modal, transaksi pembelian dan penjualan harian, serta jumlah pekerja. Data-data tersebut sangat bermanfaat untuk penilaian kesehatan keuangan, penilaian manfaat sosial, pengembangan transaksi non tunai, basis inkubasi bumdes dan kerjasama dengan BUMN

Page 67: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 55

dan Swasta (Sanusi, 2020). Berdasarkan basis data yang akurat dan mutakhir tersebut, maka program pendampingan Bumdes berkelanjutan, atau saat ini dikenal dengan istilah revitalisasi Bumdes bisa dijalankan dengan baik.

4. REVITALISASI BUMDES DI MASA PANDEMIProgram revitalisasi Bumdes ini mulai digaungkan sejak adanya arahan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada tanggal 11 Desember 2019. Arahan itu disampaikan dengan adanya laporan 1,670 Bumdes yang beroperasi tetapi tidak memberikan kontribusi kepada pendapatan desa. Pendamping Desa juga mengumpulkan data terkait Bumdes dan didapatkan total 40.997 Bumdes yang sudah berdiri, 37.056 dilengkapi dengan Perdes Penderian Bumdes (90,39 persen) artinya ada beberapa Bumdes yang masih didirikan dengan tata aturan yang lama. Tercatat ada Rp 745 Milyar Omzet Bumdes dengan total Modal dari Dana Desa sebesar Rp1.1 Triliun dan profit Rp 169 Milyar. Apabila dilihat dari sisi bisnis komposisinya 30 persen perdagangan, 20 persen jasa keuangan, 9 persen produksi, dan sisanya di wisata desa dan jasa lainnya. Karakteristik ada 5.000 Bumdes yang sudah melakukan transaksi non tunai, 21.745 Bumdes mengelola Produk Unggulan Desa dan 4.800 Bumdes sudah melakukan e-marketing (Wibowo, 2020).

Mengacu pada kondisi tersebut kami telah menyusun kurikulum untuk revitalisasi Bumdes yang terdiri dari tiga fase, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1. Fase ini didasarkan pada tahapan tumbuh kembang bumdes dari rintisan, berkembang dan menjadi maju.

Berdasarkan data-data yang kami temukan di lapangan masalah di Bumdes mengerucut pada tiga masalah pokok yaitu pelembagaan, bisnis dan tata kelola. Masalah pelembagaan adalah bagaimana Bumdes dapat didukung dan diterima oleh segenap kelompok masyarakat dan lembaga desa yang lain. Tanpa adanya dukungan dan partisipasi dari masyarakat yang kuat, maka Bumdes tidak memiliki pondasi kuat untuk menjalankan bisnis dan perannya. Setelah memiliki pondasi yang kuat, maka Bumdes perlu memilih Bisnis yang memiliki potensi, peluang dan mampu dijalankan. Perlu dicermati pemilihan bisnis ini juga memperhatikan aspek sosial dan lingkungan, supaya kehadiran Bumdes tidak memberikan ekses negatif. Selanjutnya, untuk tetap menjaga kepercayaan dan dukungan masyarakat, maka Bumdes perlu menerapkan tata kelola yang transparan, akuntabel, partisipatif dan pemberdayaan.

Page 68: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI56

Gambar 4.1 Model Tiga Fase Revitalisasi Bumdes

Pandangan kami tersebut, senada dengan data dan analisa yang dikumpulkan oleh Pendamping Desa. Menurut data yang dikumpulkan Bidang 7 Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Pusat, permasalah Bumdes mengelompok di 4 bidang masalah, yaitu SDM, kelembagaan, manajemen dan usaha. Masalah paling tinggi dialami di masalah manajemen yaitu tata kelola keuangan, operasional, perencanaan dan pelaporan. Masalah berikutnya adalah masalah kelembagaan yang terdiri dari masalah regulasi dan organisai. Masalah SDM meliputi latar pendidikan dan kompetensi yang belum sesuai. Masalah pengembangan usaha yaitu standar kualitas produk dan teknologi tepat guna (Wibowo, 2020).

Berdasarkan pengelompokan masalah tersebut maka ada 4 (empat) hal yang diidentifikasi menjadi kendala. Hal pertama adalah bagaimana membangun kepercayaan dengan warga. Hal ini terkait dengan apa benefit yang bisa dirasakan oleh warga, bagaimana pengelolaan pelanggan, penyelesaian masalah (Wibowo, 2020). Membangun kepercayaan warga ini perlu kepemimpinan yang amanah dan berjiwa melayani. Upaya ini adalah sebuah proses yang panjang yang kami sebut dengan proses pelembagaan (institusionalisasi) Bumdes. Kepercayaan warga pada gilirannya akan melahirkan partisipasi, inisiatif dan kontribusi.

Hal kedua adalah masalah kapasitas pengelola SDM yang terdiri dari kemampuan untuk menyusun kebijakan, mengembangkan usaha baru, membangun kultur organisasi, menyusun struktur organisasi, evaluasi kinerja dan menarik minat warga untuk bekerja di Bumdes (Wibowo, 2020). Sejak tahun 2017, kami telah mengidentifikasi bahwa masalah kunci di

Page 69: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 57

Bumdes adalah masalah manusia. Untuk itu kami kemudian berinisiatif mendirikan dan menjalankan program Sekolah Bumdes.

Hal ketiga adalah bagaimana mendorong kinerja Bumdes. Untuk peningkatan kinerja Bumdes maka perlu pendampingan dalam hal tata kelola manajemen dan keuangan, penetapan target dan evaluasi hasil, perluasan cakupan layanan, digitalisasi Bumdes dan efisiensi. (Wibowo, 2020)

Hal keempat adalah bagaimana meningkatkan akses kerjasama Bumdes. Pada masa saat ini kita pahami bahwa tanpa adanya kolaborasi maka usaha Bumdes tidak akan bisa besar dan berkembang. Untuk itu perlu pendampingan dalam hal rencana kerjasama, hasil kerjasama, perluasan pasar dan pangsa pasar (Wibowo, 2020).

Temuan dan konsep untuk pengembangan Bumdes yang digagas TPP Pusat P3MD Kemendes PDTT, sejalan dengan Peta Jalan Bumdes (Suryanto, 2018) yang terdiri dari lima tahapan yaitu, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas SDM, peningkatan akses, perluasan jejaring kerjasama dan menjadikan Bumdes pilar ekonomi baru Indonesia. Merujuk pada poin-poin diatas maka diperlukan peningkatan terus menerus baik dari sisi metodologi maupun kapasitas pendamping agar bisa mendampingi Bumdes sesuai dengan jaman dan kebutuhan. Kita patut ingat, bahwa kontribusi Bumdes secara agregat tidak kecil, terbukti berkontribusi untuk masyakat apbila dilihat dari alokasi 169 Milyar tersebut 60 persen dijadikan pemupukan modal, 12 persen untuk tunjangan pengurus, 19 persen untuk PADes dan 8 persen untuk Dana Sosial (Wibowo, 2020).

5. PENUTUPSebagai kesimpulan, kita patut percaya bahwa peran Desa dan Bumdes menjadi semakin penting di masa pandemi. Apabila pandemi ini berkepanjangan, maka salah satu ancaman mendesak adalah masalah ketersediaan pangan. Kita bisa menunda membeli baju dan sepatu, tetapi tidak bisa menunda kebutuhan pangan. Selama ini masalah tersebut selesai dengan melakukan impor. Namun pada masa pandemi ini setiap negara akan memprioritaskan kebutuhan dalam negeri masing-masing, sehingga kita perlu segera membangun kembali basis-basis pangan kita.

Menarik kita mengutip hasil analisa Prof So Jin Kwang, dari Gachon University Korea. Prof So menyampaikan bahwa di masa pandemi ini terjadi pergeseran paradigma dimana orang semakin sadar bahwa hal penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan keselamatan warganya. Pandemi ini bisa jadi baru menjadi awal dunia yang sangat berbeda, dunia yang akan selalu dihantui hadirnya virus-virus baru maupun kondisi ekstrim perubahan lingkungan (So, 2020). Kondisi tersebut

Page 70: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI58

akan mendorong tiga perubahan mendasar yaitu pertama akan terjadi pergeseran dari relasi pusat-daerah menjadi tata kelola kerjasama antar daerah. Saat ini semua warga bisa melihat bagaimana peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam upaya menyelamatkan nyawa warganya. Apabila kita melihat di Indonesia ada keberagaman dalam pola-pola kebijakan yang diambil masing-masing pemerintah daerah dalam upaya mencegah penyebaran Covid-19. Sepertinya, kita jadi perlu belajar ke desa-desa. Mengingat desa-desa ternyata lebih tanggap dalam upaya pencegahanan Covid-19. Per data BNPB 29 Juni 2020, didapatkan total pasien positif Covid-19 di desa adalah 909 orang dibanding yang tinggal di kota total 56,385. Padahal apabila kita merujuk Orang Dalam Pengawasan (ODP) di kota adalah 43,797 sedang di Desa ada 188, 787 (Setiadi, 2020). Tata Kelola yang mendasarkan pada ‘keselamatan dan kesehatan manusia’ akan menjadi trend di masa mendatang (So, 2020). Revitalisasi Bumdes harus memperhatikan hal ini, jangan sampai tata kelola menggunakan nilai-nilai korporasi saja, tetapi harus mengacu pada nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Lokalitas ini sesuai dengan filosofi Bumdes, yaitu badan usaha yang bercirikan desa.

Perubahan kedua menurut Prof So, adalahnya masyarakat dan pemerintah yang kembali fokus pada kebutuhan dasar. Hal ini akan mengarahkan pada adanya gerakan “back to basic”. Desa menjadi berpeluang untuk lebih cepat beradaptasi dengan arah kehidupan kedepan yang fokus pada “back to basic”, salah satunya lewat gerakan ‘makan apa yang kita tanam, dan tanam apa yang kita makan’. Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman pangan, tetapi kemudian menjadi tercerabut karena adanya gerakan ‘berasnisasi” yang dilakukan oleh orde baru. Pemahaman ini penting untuk revitalisasi Bumdes. Revitalisasi Bumdes harus mengembalikan pada upaya-upaya untuk memastikan warga terpenuhi kebutuhan dasar.

Perubahan ketiga adalah desa akan mengarah menjadi desa cerdas atau smart-village (So, 2020). Namun berbeda dari pandangan sebagian besar orang, bahwa desa cerdas bukan masalah pasang wifi atau online saja, tetapi masalah bagaimana desa cerdas dalam menyesuaikan diri dalam lingkungan yang terus berubah. Bisa jadi ‘desa yang cerdas’ ini adalah desa yang justru kembali menggali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, yang terbukti menjaga desa tetap lestari dan berkelanjutan di tengah berbagai bencana dan perubahan jaman. Digital hanya menjadi alat. Kunci utama tetap pada manusia (human centered approach).

Pandemi ini mengajarkan kita bagaimana teknologi, globalisasi, dan konsep-konsep yang canggih tiba-tiba macet, dan desa tetap melenggang dengan aktivitas-aktivitasnya yang lekat dengan kearifan lokal. Momentum ini menyadarkan kita untuk kembali ke jatidiri, bahwa bukan Indonesia yang membentuk desa, tetapi desa yang membentuk Indonesia.

Page 71: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudy Suryanto 59

6. DAFTAR PUSTAKAAviliani, “Tantangan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)”, 20

Juni 2020

Covid.go.id, https://covid19.go.id/peta-sebaran, 14 Juli 2020

Hartarto, Airlangga, Menteri Koordianator Perekonomian, “Menavigasi New Normal: Pandemi, Mitigasi dan Pemulihan Ekonomi”, 9 Juni 2020

Kancaribu, Febrio, “Dampak COVID-19 & Program Pemulihan Ekonomi Nasional”, Paparan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Diskusi Publik Prodeep Institute, 27 Juni 2020

Jayani, Dwi Hadya, Katadata.co.id, “Asal Usul Virus Corona Masuk ke Indonesia,” https://katadata.co.id/analisisdata/2020/05/22/asal-usul-virus-corona-masuk-ke-indonesia, 22 Mei 2020

Madjid, Taufik, Dirjend PPMD Kemendes PDTT, “Membangun Tatanan Normal Baru: Kebijakan Pembangunan Desa di Tengah Pandemi”

Pranita, Ellyvon, “Diumumkan awal maret, ahli: Virus Corona Masuk Indonesia dari Januari”, 11 Mei 2020, Kompas.com, https://www.kompas.com/sains/read/2020/05/11/130600623/diumumkan-awal-maret-ahli--virus-corona-masuk-indonesia-dari-januari

Rachman, M. Fadjroel, Juru Bicara Presiden RI, Desa Tulang Punggung Ketahanan dan Keberlanjutan Hidup Bangsa, 2020

Sanusi, Anwar, Phd, Sekjend Kementerian Desa PDTT “Menguatkan Sinergitas Pentahelix: Desa dan Pemulihan Ekonomi Paska Pandemi”, 2020

Setiadi, Budi Arie, Wakil Menteri Desa “Budaya Baru Normal Baru Desa”, disampaikan dalam Kongres Kebudayaan Desa, 7 Juli 2020.

So, Jin Kwang, “Rural Development Strategies Post COVID-19”, Gachon University, 2020

Suryanto, Rudy, “Peta Jalan Bumdes Sukses”, Syncore Indonesia, 2018

Surveyor Indonesia, “Kolaborasi BUMN & BUMDES untuk Kemandirian Ekonomi Nasional”, 2020

Page 72: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI60

Wibowo, Lendy, Koordinator Bidang 7 PEL TPP Pusat P3MD Kemendes PDTT, “Mempercepat Pemulihan Ekonomi Desa dan Bumdes: Pendampingan Desa dan Bumdes di Masa Pandemi” 2020

WorldoMeters, https://www.worldometers.info/coronavirus/, 14 Juli 2020

Page 73: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 74: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 75: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 61

TINJAUAN LITERATUR PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN

PEDESAAN

Dahlan TampubolonPusat Studi Sosial Ekonomi, LPPM Universitas Riau

[email protected]

BAB

VI1. PENDAHULUANSektor pertanian merupakan komponen penting di sebagian besar negara berkembang. Sektor ini mempekerjakan lebih dari 60% populasi dan berpotensi mengurangi kemiskinan pedesaan. Namun produktivitas pertanian yang rendah tetap menjadi masalah utama di banyak negara berkembang. Pertanian telah dianggap sebagai salah satu sektor paling ekonomis dari semua ekonomi, terutama di negara berkembang. Sektor pertanian sangat penting untuk ketahanan pangan internal juga pertumbuhan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan (Soubbotina & Sheram, 2000). Deelstra dan Girardet (2000) juga Saqib, Kuwornu, Panezia, dan Ali (2018) melihat saat ini pertanian tidak dianggap sebagai sektor ekonomi pedesaan saja, namun juga sebagai bagian ekonomi perkotaan. Selain itu, produksi pertanian di wilayah pedesaan Indonesia menyumbang sebagian besar output dan peluang pekerjaan.

Petani di daerah pedesaan di negara-negara berkembang masih kesulitan berpartisipasi ke lembaga keuangan untuk meningkatkan produksi mereka (Yadav & Sharma, 2015). Kesulitan dalam mengumpulkan modal di wilayah pedesaan menyebabkan penurunan output, dampak terhadap PDB, dan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian, partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan dianggap sebagai faktor penting dalam pembangunan ekonomi, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Reyes dan Lensink (2011) mendapati pentingnya modernisasi sektor pertanian untuk meningkatkan penggunaan input, seperti pupuk, layanan mekanisasi, dan benih. Akses ke input yang ditingkatkan sangat tergantung pada ketersediaan kredit yang tepat waktu dan memadai. Studi Simtowe, Zeller, dan Diagne (2009) menemukan tantangan utama dalam proses produksi berupa terbatasnya partisipasi ke lembaga keuangan yang memadai bagi petani untuk membeli input. Banyaknya permohonan pinjaman petani kecil ditolak atau jumlahnya dikurangi merupakan hal biasa di negera berkembang (Reyes & Lensink, 2011).

Page 76: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI62

Tadesee (2014) juga Weber dan Musshoff (2013) menemukan petani dan pelaku agroindustri kecil sering terabaikan. Mereka dijatahi kredit, atau gagal berpartisipasi di dalam program kredit. Ini sebagian dapat dikaitkan dengan gagasan bahwa agroindustri skala kecil berisiko. Awunyo-Vitor, Al-Hassan, Sarpong dan Egyir (2014). mendapati bahwa keterlibatan dalam kegiatan di luar pertanian, orientasi komersial petani, keseimbangan akun positif, dan peningkatan ukuran pertanian berpotensi mengurangi penyediaan oleh pemberi pinjaman.

Banyak petani memanfaatkan modal pribadi untuk menjalankan usahanya. Ada berupa tabungan yang ada maupun menjual aset yang dimiliki. Semangat berusaha masyarakat pedesaan dalam usaha agroindustri kecil dan menengah meningkat dengan adanya peran kelembagaan tempatan (Tampubolon, 2013).

Untuk mengisi kesenjangan dalam penyediaan kredit di pedesaan, beragam pendekatan pinjaman inovatif telah dipromosikan oleh lembaga keuangan mikro (LKM). Beberapa LKM memberikan kredit, yang lain menawarkan deposito dan fasilitas kredit, dan yang lain hanya mengumpulkan deposito. Fungsi dan peranan utama LKM sebagai pemberi pinjaman, terutama Usaha Simpan Pinjam (USP), BUMDes dan bank perkreditan rakyat (Tampubolon, 2009).

Berdasarkan pertimbangan di atas, tujuan dari makalah ini adalah memberikan tinjauan keseluruhan fitur penting dari kredit pedesaan serta penentu partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan di Indonesia. Membahas dampak sosial-ekonomi dari kredit juga beberapa implikasi kebijakan yang difokuskan pada Indonesia.

Tujuan utama tulisan ini menganalisis literatur sebelumnya dari sudut pandang deskriptif untuk meringkas dan membandingkan faktor-faktor penentu partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan di Indonesia dengan negara-negara berkembang lainnya. Pembahasan bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pembahasan tentang gambaran umum partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Kedua, pembahasan tentang kebijakan kredit petani.

2. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN PEDESAAN

2.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan Le Thi Minh (2014) mengurai tumpang tindih dalam tiga istilah di atas "kredit pedesaan", "kredit pertanian", dan "kredit mikro" di sektor keuangan. Kredit pedesaan mengacu pada layanan kredit di daerah pedesaan yang bertujuan untuk orang-orang di semua tingkat pendapatan, sementara kredit pertanian cenderung untuk membiayai kegiatan terkait pertanian.

Page 77: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 63

Lembaga keuangan mikro adalah penyediaan layanan keuangan un-tuk orang miskin dan berpenghasilan rendah, di mana mereka memiliki akses ke dana yang terjangkau untuk membiayai kegiatan mereka untuk menghasilkan pendapatan, membangun aset, memperlancar konsumsi, dan mengelola risiko. Layanan keuangan meliputi produk kredit (kredit mikro), juga tabungan, transfer uang, dan asuransi (CGAP, 2012).

69

2. GAMBARAN UMUM PARTISIPASI PETANI KE LEMBAGA KEUANGAN PEDESAAN

2.1 Partisipasi ke Lembaga Keuangan Pedesaan Le Thi Minh (2014) mengurai tumpang tindih dalam tiga istilah di

atas "kredit pedesaan", "kredit pertanian", dan "kredit mikro" di sektor keuangan. Kredit pedesaan mengacu pada layanan kredit di daerah pedesaan yang bertujuan untuk orang-orang di semua tingkatpendapatan, sementara kredit pertanian cenderung untuk membiayai kegiatan terkait pertanian.

Lembaga keuangan mikro adalah penyediaan layanan keuangan untuk orang miskin dan berpenghasilan rendah, di mana mereka memiliki akses ke dana yang terjangkau untuk membiayai kegiatan mereka untuk menghasilkan pendapatan, membangun aset, memperlancar konsumsi, dan mengelola risiko. Layanan keuangan meliputi produk kredit (kredit mikro), juga tabungan, transfer uang, dan asuransi (CGAP, 2012).

Gambar 2.1 Keterkaitan Antara Sektor Keuangan

Partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan dalam beberapa makalah didefinisikan sebagai kesulitan mengakses modal oleh petani miskin (Hinson, 2011). Perbedaan antara dua konsep "partisipasi ke lembaga keuangan formal" dan "partisipasi dalam program kredit formal" telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Dalam beberapa kasus, kedua konsep ini digunakan secara bergantian. Namun, perbedaan antara keduanya adalah: partisipasi dalam program kredit adalah

Pasar Kredit

Pasar Pedesaan

Pasar Pertanian Kredit Mikro

Gambar 2.1 Keterkaitan Antara Sektor Keuangan

Partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan dalam beberapa makalah didefinisikan sebagai kesulitan mengakses modal oleh petani miskin (Hinson, 2011). Perbedaan antara dua konsep "partisipasi ke lembaga keuangan formal" dan "partisipasi dalam program kredit formal" telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Dalam beberapa kasus, kedua konsep ini digunakan secara bergantian. Namun, perbedaan antara keduanya adalah: partisipasi dalam program kredit adalah masalah yang dapat dipilih petani untuk berpartisipasi, sementara partisipasi ke lembaga keuangan sering kali menyiratkan hambatan ketika memasuki pasar.

2.2 Penentu Partisipasi Kredit PedesaanDiagne dan Zeller (2001) mengelompokkan sumber kredit ke dalam tiga kategori: kredit formal, semi formal, dan informal. Yang formal adalah sumber kredit dari bank komersial atau sejumlah dana kredit. Kredit informal berasal dari kerabat, pemberi pinjaman perorangan, dan asosiasi. Sektor semi formal termasuk LKM, program pinjaman yang didukung pemerintah yang ditujukan untuk bagian-bagian tertentu dari populasi, dan proyek-proyek non-pemerintah lainnya.

Wulandari, Meuwissen, Karmana, Oude Lansink (2017) menemukan persyaratan penting untuk memperoleh keuangan di antara jenis penyedia keuangan. Bank dan LKM sama-sama memberikan kredit, mereka

Page 78: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI64

fokus pada persyaratan yang berbeda. LKM fokus pada karakter dan pengetahuan pasangan tentang aplikasi keuangan. Untuk berpartisipasi ke lembaga keuangan non-tunai, asosiasi petani mengharuskan petani untuk memiliki keanggotaan asosiasi petani terdaftar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi ke lembaga keuangan formal rumah tangga pertanian dalam studi Diagne dan Zeller (2001) dianggap di bawah dua aktor utama seperti dalam kerangka Gambar 2.2 peminjam–rumah tangga petani/permintaan kredit dan pemberi pinjaman–penyalur kredit yang disajikan pada bagian di atas sebagai permintaan terpisah dan faktor persediaan. Faktor permintaan cenderung memberikan informasi apakah suatu rumah tangga terkendala atau tidak, sementara faktor penawaran menyajikan jumlah yang dapat diperoleh peminjam dari sumber kredit yang diberikan.

Gambar 2.2 Penentu Partisipasi Kredit

Penentu partisipasi kredit juga dapat dibagi menjadi faktor-faktor yang dapat diobservasi dan tidak dapat diobservasi. Pada Gambar 2.2, yang dapat diobservasi dapat berupa karakteristik sosial-ekonomi rumah tangga serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pemberi pinjaman, sementara faktor yang tidak dapat diobservasi adalah modal/jaringan sosial yang berinteraksi kedua aktor dalam kerangka tersebut. Di sisi lain, pasar kredit semi formal yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 yang didominasi oleh LSM dan program kredit yang didukung pemerintah sering menargetkan bagian-bagian tertentu dari nasabah (terutama berpenghasilan rendah atau populasi miskin). Dengan demikian,

Page 79: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 65

pemrosesan pinjaman dan jumlah pinjaman pasar semi formal akan jauh berbeda dari lembaga keuangan normal. Prosedur pinjaman semi formal seringkali merupakan kriteria tetap. Oleh karena itu, penelitian tentang perilaku pemberi pinjaman semi formal sangat sulit dilakukan.

Kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria (2015) mendapati umur, jumlah anggota keluarga, dan pendapatan mempengaruhi partisipasi ke lembaga keuangan pedesaan. Demikian pula dengan Kosgey (2013) menyebutkan faktor utama yang mempengaruhi partisipasi kredit adalah pendapatan rumah tangga, ukuran keluarga, jarak bank, durasi pinjaman, pemrosesan pinjaman dan besaran pinjaman. Kosgey (2013) serta Chandio dan Jiang (2017) menemukan suku bunga sebagai faktor positif yang signifikan. Fokus kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria (2015), Kosgey (2013) juga Okurut, Schoombee, dan Van der Berg (2005) mengungkapkan pendidikan petani di beberapa negara berkembang menjadi salah satu faktor utama penentu partispasi ke lembaga keuangan.

Kepala keluarga yang berpendidikan menyiratkan memiliki pengetahuan yang lebih baik, keterampilan bertani, serta informasi tentang lembaga keuangan pedesaan. Faktor lain yang terkait erat dengan ukuran keluarga dan pendapatan keluarga adalah rasio ketergantungan. Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki ketergantungan, semakin tinggi kemungkinan untuk menjadi miskin atau semakin sedikit anggota yang memiliki pendapatan teratur, oleh karena itu rumah tangga sangat mungkin untuk mengalami hambatan ke lembaga keuangan formal (Okurut, Schoombee, & Van der Berg, 2005) dan (Li, Gan, & Hu, 2011).

Keanggotaan kelompok, seperti temuan Evans, Adams, Mohammed dan Norris (1999), tampaknya meningkatkan kemungkinan rumah tangga berpartisipasi ke kredit pertanian, terutama dalam akses ke program kredit mikro. Keanggotaan asosiasi, seperti dijelaskan oleh Hananu, Abdul-Hanan dan Zakaria (2015), menjadi jaminan pinjaman rumah tangga. Selain itu, ada hal yang mengejutkan di mana sumber pinjaman juga menjadi faktor yang mempengaruhi signifikan terhadap partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Hasil temuan Li, Gan, dan Hu (2011) menyatakan bahwa rumah tangga lebih suka berpartisipasi dalam lembaga keuangan informal daripada yang formal. Berikutnya Boucher, Guirkinger dan Trivelli (2007) mendapati pasar pinjaman informal cenderung lebih disukai karena risiko. Namun dalam penelitian Pham dan Lensink (2007), aksesibilitas pinjaman formal dan informal tersirat sepenuhnya independen dan tidak terkait.

Gender memiliki dampak signifikan pada partisipasi rumah tangga seperti dalam kajian Hananu, Abdul-Hanan, dan Zakaria (2015), Kosgey (2013) juga Sebatta, Wamulume, dan Mwansakilwa (2014). Perempuan cenderung memiliki partisipasi yang lebih tinggi ke lembaga keuangan pedesaan dibanding laki-laki, terutama kredit mikro yang disediakan oleh LSM atau disubsidi oleh pemerintah yang ditargetkan untuk perempuan.

Page 80: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI66

Namun temuan Kosgey (2013) justru petani laki-laki memiliki peluang lebih tinggi untuk berpartisipasi ke lembaga keuangan pedesaan daripada perempuan. Nguyen dan Le (2015) juga Yehuala (2008) menyoroti pengalaman sebagai faktor yang berpengaruh.

Dalam studi Saleem, Jan, Khattak dan Quraishi (2011), jangkauan wilayah merupakan penentu terpenting dari partisipasi ke lembaga keuangan pertanian. Mohamed (2003) dalam studinya di Zanzibar, seperti halnya Okurut, Schoombee, dan Van der Berg (2005), menjelaskan bahwa akses rumah tangga ke informasi/pengetahuan sumber pinjaman memainkan peran penting dalam mencapai lembaga keuangan formal. Status kekayaan rumah tangga (pengeluaran per kapita) juga terbukti memiliki hubungan positif yang signifikan dengan partisipasi rumah tangga. Penelitian Chandio dan Jiang (2017) menemukan tempat tinggal atau jarak antara pemberi pinjaman / jarak ke lembaga keuangan secara signifikan mempengaruhi partisipasi kredit.

Chandio dan Jiang (2017) menunjukkan bahwa holding operasi berperan penting dalam partisipasi petani dari lembaga keuangan formal. Ini mencerminkan menurunnya hambatan partisipasi pasar. Banyak bank komersial hanya bersedia untuk memberi pinjaman berdasarkan agunan, karena ukuran kepemilikan tanah lebih dapat diterima sebagai manajemen risiko dan pengamanan pinjaman untuk pemberi pinjaman kelembagaan. Husssain dan Thapa (2012) juga Saqib, Kuwornu, Panezia dan Ali (2018) melihat jaminan meningkatkan keyakinan kemungkinan rumah tangga membayar kredit. Ini menjadi alasan sebagian besar rumah tangga miskin/kecil tidak mampu meminjam (Khoi, Gan, Nartea, & Cohen, 2013). Temuan Ahmad (2011) juga Rahman, Hussain dan Taqi (2014) di Pakistan, kurangnya jaminan menjadi alasan utama ketidakmampuan petani untuk mencapai lembaga keuangan pedesaan. Menurut Xinkai dan Gang (2009) di negara-negara berkembang, kurangnya keamanan agunan dan pasar kredit yang tidak sempurna menjadi kendala partisipasi ke lembaga keuangan yang ada. Penyaluran pinjaman yang tidak tepat sasaran kadang menyebabkan tidak lancarnya pengembalian kredit (Tampubolon & Basri, 2008).

2.3 Dampak Sosial dan Ekonomi dari Partisipasi Petani ke Lembaga Keuangan Pedesaan

Ahmad (2011) menyatakan bahwa kredit hanya memiliki peran tidak langsung dalam meningkatkan hasil pertanian melalui pembelian berbagai input. Di Nigeria, hasil kajian Ugwumba dan Omojola (2013) mendapati akses ke lembaga kredit dan pertumbuhan produktivitas memiliki hubungan positif di antara petani tanaman pangan subsisten Kelembagaan, penyuluhan dan kredit memberi dampak signifikan pada efisiensi (Djoumessi, Afari-Sefa, Kamdem, & Bidogeza, 2018). Das (2018)

Page 81: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 67

telah mempelajari dampak kredit terhadap pengurangan kemiskinan dalam hal akses kredit formal, semi formal, dan informal

LKM melalui pasar semi formal memiliki dampak signifikan pada pengurangan kemiskinan ketika menerapkan garis kemiskinan India. Rahman, Hussain dan Taqi (2014) menggunakan model regresi logistik untuk menganalisis dampak lembaga keuangan pertanian terhadap produktivitas pertanian. Dalam hal garis kemiskinan multidimensi, hubungan antara akses sumber formal dan pengentasan kemiskinan adalah negatif dan hubungan antara yang semi formal dan informal adalah positif.

3. KEBIJAKAN KREDIT PETANI3.1 Program pemerintah Program kredit pemerintah kepada petani memiliki sejarah panjang di Indonesia. Kredit ini mulai dengan Program Bimas (Bimbingan Massal) pada 1970-an dan berlanjut pada 1980-an dengan KUT (Kredit Usaha Petani). Saat ini, ada beberapa program kredit pemerintah yang menargetkan pertanian dan usaha kecil; yang paling penting dari program ini adalah KKPE, KUPS, KPNRP, dan KUR.

Biasanya ada dua jenis skema yang digunakan pemerintah untuk mendorong bank memberi kredit lebih banyak untuk pertanian dan usaha kecil, yaitu dengan mensubsidi suku bunga atau dengan memberikan jaminan kredit. KUR adalah program utama yang menyediakan jaminan kredit. Program-program lain (KKPE, KUPS, dan KPENRP) utamanya adalah skema yang memberikan tingkat bunga bersubsidi. Kebijakan pemerintah saat ini adalah agar skema ini beroperasi secara independen satu sama lain. Dengan demikian, karena skema KKPE menerapkan subsidi (dari pemerintah) untuk mengurangi tingkat bunga, kredit KKPE tidak dijamin oleh pemerintah. Di sisi lain, kredit KUR didukung oleh jaminan, tetapi tidak menerima subsidi, yang sebagian menjelaskan mengapa tingkat bunga KUR lebih tinggi dibandingkan dengan program kredit pemerintah lainnya.

Evaluasi atas KUR menyimpulkan: (i) secara umum, KUR telah diakses oleh UKM yang memiliki pendapatan bulanan di atas garis kemiskinan. Ini berarti bahwa orang miskin hanya dapat dijangkau oleh KUR sampai batas tertentu; (ii) untuk kelompok tertentu, KUR membawa beberapa dampak terutama untuk pendapatan, pengeluaran, tabungan dan aset; (iii) kepercayaan dan interaksi telah berkembang dengan baik; dan (iv) kendala-kendala berikut muncul selama implementasi program: Paradigma KUR, jaminan, masalah teknis, pertukaran antara aspek kehati-hatian, pencapaian target dan penjangkauan program (Rifai, 2013).

Page 82: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI68

Selain program-program kredit pemerintah utama ini, perlu juga dicatat bahwa Kementerian Koperasi dan UKM mengelola dana kredit bergulir yang disebut LPDB (Lembaga Pengelola Dana Kredit Berputar), yang dimaksudkan agar koperasi dapat memberikan kredit kepada mereka. Per Juni 2014, total Rp4,4 triliun telah disalurkan ke 3.119 koperasi dan non-koperasi (BPR dan UKM). Program kredit lainnya adalah PUAP, yang dikoordinasikan oleh program PNPM. PUAP memberikan kredit kepada petani melalui kelompok tani (gapoktan). Program ini menggunakan petugas lapangan pertanian, yang ditugaskan untuk mendukung kelompok tani ini.

Di Indonesia, Undang-Undang (UU) No. 20/2008 tanggal 4 Juli 2008 mengatur layanan keuangan mikro khususnya UMKM. Tujuan undang-undang ini adalah bahwa 20% dari portofolio kredit bank harus diarahkan untuk memberikan kredit kepada UMKM. Namun, mencapai target ini terhuyung-huyung sesuai dengan jadwal berikut:• Pada 2014: Menurut kapasitas bank sebagaimana dinyatakan dalam

rencana bisnis• Pada 2015: Minimal 5% dari total kredit harus untuk UMKM• Pada 2016: Minimal 10% dari total kredit harus untuk UMKM• Pada 2017: Minimal 15% dari total kredit harus untuk UMKM• Pada 2018: Minimum 20% dari total kredit harus untuk UMKM.

Tekanan peraturan ini diberikan pada bank tidak menentukan apakah proporsi kredit ini harus dialokasikan untuk sektor pertanian, juga tidak menetapkan proporsi berapa dari 20% harus untuk kredit usaha mikro.

Penting untuk mempertimbangkan bahwa jenis-jenis kebijakan peminjaman memiliki tinjauan beragam. Di India, misalnya, RBI menetapkan arahan pada 1990 yang menyatakan bahwa 18% kredit bank harus diarahkan ke pertanian (Holton, McCann, Prendergast, & Purdue, 2013). Walaupun hal ini mungkin mengarah pada pemberian kredit yang lebih besar kepada sektor ini, ada juga bukti bahwa kebijakan-kebijakan ini dipolitisasi dan mengarah pada non performing asset yang lebih tinggi. Selain itu, hanya 30% bank sektor publik dan 50% bank swasta di India mencapai target ini ketika tahun 2011. Sehubungan dengan kebijakan kredit seperti itu, bank mungkin lebih suka membayar denda daripada berinvestasi di sektor-sektor ini. Yang lain telah menyarankan bahwa kebijakan fiskal, dana jaminan, dan investasi dalam mendukung pengembangan biro kredit dan registrasi agunan yang dapat dipindahkan lebih cara yang efisien bagi pemerintah untuk meningkatkan kredit ke satu sektor atau lainnya

3.2 Suplai Jasa Keuangan Formal di Sektor Pedesaan dan PertanianPenyedia layanan keuangan saat ini melayani kelompok sasaran (yaitu petani kecil) mencakup kombinasi (i) lembaga formal seperti bank komersial

Page 83: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 69

dan pedesaan; (ii) lembaga semi formal seperti Dana Kredit Bergulir UPK dan asosiasi petani; dan (iii) penyedia informal seperti pemberi kredit swasta, pemasok input, pengumpul, pembeli, teman dan kerabat.

Di antara lembaga keuangan formal, BPR (Bank Perkreditan Rakyat) adalah sumber pembiayaan yang penting di daerah pedesaan di Indonesia. Mereka adalah unit bank skala kecil, juga biasanya disebut sebagai bank pedesaan. Istilah ini mencakup berbagai bank komersial dan sekunder, seperti BKD, BPR dan/atau LDKP. Mereka berbasis lokal dan sebagian besar adalah lembaga swasta, tetapi ada juga beberapa BPR milik pemerintah. BPR cenderung lebih dekat dengan masyarakat daripada bank komersial tradisional. Pada tahun 2014, ada kurang dari 1.643 BPR, dan beberapa ribu LDKP dan BKD tambahan. Pada Januari 2019 hanya tinggal 1.598 unit.

BPR dapat memiliki satu unit bisnis atau beberapa ratus unit bisnis, dan mereka yang memiliki jaringan cabang yang lebih luas cenderung menjadi BPR milik pemerintah. BPR menyediakan layanan keuangan mikro, serta layanan ke segmen pasar lainnya. Sementara banyak dari BPR ini berlokasi di daerah pedesaan, sejumlah besar beroperasi di daerah perkotaan. Distribusi cabang dan outlet bank-bank ini juga cenderung lebih menonjol di wilayah barat Indonesia.

Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2020

Gambar 3.1 Perkembangan Bank Perkreditan Rakyat.

Sejumlah BPR (ditambah LDKP dan BKD) berpartisipasi dalam program keterkaitan untuk mendapatkan dana untuk kredit, karena mereka merasa kesulitan untuk menarik simpanan (mis. Dalam persaingan dengan bank umum lainnya). Keterkaitan ini mungkin dengan bank komersial atau terkadang dengan kredit bersubsidi dari perusahaan milik negara dan/atau lembaga keuangan.

Page 84: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI70

Ada beberapa kasus bank yang memberikan kredit langsung kepada petani (untuk komoditas tertentu), meskipun bank-bank ini membutuhkan jaminan yang diberikan oleh perusahaan penjaminan regional atau oleh donor. Dalam beberapa kasus (mis. Di NTB), jaminan digunakan untuk melengkapi jaminan yang dapat diberikan petani, yang nilainya hanya 70% dari kredit. Dalam kasus lain (mis. Di Jawa Timur), jaminan hanya digunakan sebagai jaminan tambahan. Bank Danamon, bank komersial, menggunakan DCA (Development Credit Authority) yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar AS (tersedia untuk lembaga keuangan teregulasi), yang memberikan jaminan 50% untuk peminjaman ke komoditas tertentu. Dalam hal ini bank tidak memerlukan jaminan tambahan dari pihak peminjam. Bank Mandiri juga telah menyusun kredit kepada koperasi yang kemudian memberikan kredit kepada petani di sektor kelapa sawit, berdasarkan jaminan 100% yang diberikan oleh pabrik pengolahan yang membeli tanaman utama langsung dari petani.

3.1 Penggunaan Skema Keuangan Mikro Informal di Dektor PertanianMirip dengan apa yang dapat diamati di negara lain, lembaga keuangan formal di Indonesia cenderung memberikan layanan yang tidak menjangkau atau tidak dapat diakses oleh petani kecil. Sebuah survei internasional terhadap bank yang dilakukan pada tahun 2012 menunjukkan bahwa hanya 290 bank dari potensi 1.770 bank melayani petani kecil di Amerika Latin, Sub-Sahara, Asia Selatan dan Asia Tenggara. Asia Selatan dan Asia Tenggara cenderung lebih baik daripada petani-petani di wilayah lain (Carroll, et al., 2012).

Petani kecil di berbagai negara sebagian besar berpartisipasi ke keuangan pedesaan terutama melalui sumber-sumber informal. Seperti pinjaman dari keluarga, teman, rentenir lokal dan lainnya. Rentenir ini masuk ke dalam dalam rantai nilai pertanian, seperti pemasok input, pembeli, dan pedagang. Partisipasi bisa tidak merata, terutama bagi petani yang tidak terintegrasi dengan rantai nilai terstruktur.

Diperkirakan sekitar 37% pekerja sektor pertanian meminjam secara informal, seperti melalui skema lingkungan, dari teman dan keluarga, dari pengusaha dan melalui kredit jangka pendek dari sebuah toko. Sumber keuangan ini bisa mahal, dan hampir selalu, modal tidak mencukupi dan terutama bertindak untuk memoderasi arus kas di musim paceklik untuk membiayai faktor produksi.

4. PENUTUPTujuan studi literatur ini untuk meninjau dan mengelompokkan beberapa studi, beberapa masalah yang berkaitan dengan partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan telah dibahas. Lembaga keuangan

Page 85: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 71

pedesaan di beberapa negara sedang membangun mencakup pasar formal dan informal. Kedua pasar dapat saling melengkapi.

Banyak faktor sosial ekonomi, seperti: usia, ukuran keluarga, pendapatan rumah tangga, pendidikan, jenis kelamin, dan ukuran kepemilikan tanah, berdampak pada partisipasi petani ke lembaga keuangan pedesaan. Selain faktor-faktor yang dapat diamati, modal sosial juga dipandang sebagai faktor yang tidak terlihat yang memengaruhi partisipasi rumah tangga petani ke lembaga keuangan di pedesaan. Dalam makalah ini, tinjauan lembaga keuangan pedesaan penyalur pinjaman di Indonesia dan karakteristik partisipasi pasar yang terbatas, intervensi pemerintah, dan segmentasi telah ditunjukkan dengan jelas. Beberapa faktor penentu berbeda dari partisipasi terhadap lembaga keuangan pedesaan Indonesia dari beberapa studi juga disajikan.

Para petani miskin dengan pendapatan utama mereka dari kegiatan pertanian kemungkinan besar tidak memenuhi kriteria dari lembaga keuangan formal. Ini disebabkan oleh kegiatan pertanian yang rentan dan tidak efisien dalam kebijakan pertanian. Karenanya, beberapa penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani atas kredit, khususnya akses formal mendapat perhatian khusus dan subsidi dari pemerintah, dengan tujuan untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan.

Hasil penelusuran literatur memiliki sejumlah implikasi, yang dapat membantu para pembuat keputusan, terutama di Indoensia. Kebijakan pinjaman harus dapat disesuaikan dengan berbagai kelompok petani. Untuk petani-solusi utama dari beberapa studi merujuk pada perluasan jaringan pinjaman lembaga keuangan melalui asosiasi sosial-politik lokal sebagai penjamin dan peminjam yang berkumpul dalam kelompok. Partisipasi dalam kelompok-kelompok ini secara signifikan meningkatkan kemungkinan akses ke program kredit formal, mengurangi biaya transaksi, karena informasi asimetris turun secara efektif.

Lembaga keuangan perlu mengubah pola pikir mereka tentang klien sasaran. Bank komersial sekarang hanya fokus pada "nasabah besar" dibandingkan nasabah petani kecil. Keputusan pemberian pinjaman bank kemungkinan besar akan difokuskan pada kelompok tertentu, bukan umum. Bank harus mengalokasikan modal ke sektor pertanian, mempermudah prosedur pinjaman, dan mengurangi biaya pinjaman.

Intervensi pemerintah dalam pasar kredit pedesaan harus ditentukan untuk memastikan daya saing pasar. Kredit bersubsidi cenderung semakin tidak efektif di ekonomi yang tumbuh cepat. Pinjaman tepat waktu dengan prosedur yang mudah dan biaya transaksi yang rendah harus memenuhi permintaan petani. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah tentang kredit perlu memastikan keberlanjutan dan pembangunan dalam jangka panjang, tidak hanya berfokus pada pinjaman bersubsidi dalam jangka pendek. Selain itu, pemerintah harus memiliki kebijakan untuk memperluas kegiatan lembaga keuangan pedesaan, menjangkau kelas miskin terutama di daerah pedesaan.

Page 86: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI72

5. DAFTAR PUSTAKAAhmad, N. (2011). Impact of Institutional Credit on Agricultural Output.

Pakistan Development Review, 42(4), 469–485. doi:10.30541/v42i4IIpp.469-485

Awunyo-Vitor, D., Al-Hassan, R. M., Sarpong, D. B., & Egyir, I. (2014). Agricultural credit rationing in Ghana: what do lenders look for? Agricultural Finance Review, 74(3), 364-378. doi:10.1108/AFR-01-2013-0004

Boucher, S., Guirkinger, C., & Trivelli, C. (2007). Direct elicitation of credit constraints: Conceptual and practical issues with an empirical application to Peruvian agriculture. Economic Development and Cultural Change, 57(4), 609–640. doi:10.1086/598763

Carroll, T., Stern, A., Zook, D., Funes, R., Rastegar, A., & Lien, Y. (2012). Catalyzing Smallholder Agriculture Finance. Dalberg Global Development Advisors.

CGAP. (2012). A Guide to Regulation and Supervision of Microfinance. Washington: CGAP.

Chandio, A. A., & Jiang, Y. (2017). Determinants of Credit Constraints: Evidence from Sindh, Pakistan. Emerging Markets and Finance Conference, 54(15), 3401-3410. doi:10.1080/1540496X.2018.1481743

Das, T. (2018). Does credit access lead to expansion of income and multidimensional poverty? A study of rural Assam. International Journal of Social Economics, 46(2), 252-270. doi:10.1108/IJSE-12-2017-0592

Deelstra, T., & Girardet, H. (2000). Urban agriculture and sustainable cities. In N. Bakker, N. Dubbeling, S. Gündel, U. Sabel-Koshella, & H. de Zeeuw, Growing Cities, Growing Food, Urban (pp. 43–66). Feldafing, Germany,: Zentralstelle für Ernährung und Landwirtschaft (ZEL).

Diagne, A., & Zeller, M. (2001). Access to credit and its impact on welfare in Malawi. Washington: International Food Policy Research Institute.

Djoumessi, Y., Afari-Sefa, V., Kamdem, C., & Bidogeza, J. (2018). Socio-economic and institutional factors underlying efficiency of

Page 87: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 73

smallholder vegetable farms in Southwest region of Cameroon. International Journal of Social Economics, 45(1), 93–106. doi:10.1108/IJSE-09-2016-0256

Evans, T. G., Adams, A. M., Mohammed, R., & Norris, A. H. (1999). Demystifying nonparticipation in microcredit: A population-based analysis. World Development, 27(2), 419–430. doi:10.1016/S0305-750X(98)00134-X

Hananu, B., Abdul-Hanan, A., & Zakaria, H. (2015). Factors influencing agricultural credit demand in Northern Ghana. African Journal of Agricultural Rresearch, 10(7), 645–652. doi:10.5897/AJAR2014

Hinson, R. E. (2011). Banking the poor: the role of mobiles. Journal of Financial Services Marketing, 15, 320–33. Retrieved from http://197.255.68.203/handle/123456789/4396

Holton, S., McCann, F., Prendergast, K., & Purdue, D. (2013, October). Policy measures to improve access to credit for SMEs: a survey. Quarterly Bulletin, 04, pp. 91-110.

Hussain, A., & Thapa, G. B. (2012). Smallholders’ access to agricultural credit in Pakistan. Food Security, 4, 73–85.

Khoi, P. D., Gan, C., Nartea, G. V., & Cohen, D. A. (2013). Formal and informal rural credit in the Mekong River Delta of Vietnam: Interaction and accessibility. Journal Asian Econonomy, 26, 1–13.

Kosgey, Y. K. (2013). Agricultural credit access by grain growers in Uasin-Gishu County, Kenya. IOSR Journal of Economics and Finance, 2(3), 36-52.

Le Thi Minh, C. (2014, March 21). An analysis of access to credit by animal producing households in Hai Duong Province, Vietnam. Doctoral thesis. Gembloux, Belgique: Université de Liège Gembloux Agro-Bio Tech. Retrieved February 26, 2020, from https://orbi.uliege.be/handle/2268/164351

Li, X., Gan, C., & Hu, B. (2011). Accessibility to microcredit by Chinese rural households. Journal of Asian Economics, 22(3), 235-246. doi:10.1016/j.asieco.2011.01.004

Page 88: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI74

Mohamed, K. (2003). Access to Formal and Quasi-Formal Credit by Smallholder Farmers and Artisanal Fishermen: A Case Study of Zanzibar. Dar es Salaam, Tanzania: Mkuki na Nyota Publishers.

Nguyen, T. D., & Le, H. T. (2015). Enhancing formal credit accessibility of pig production households in Thai Binh province, Vietnam. International Journal of Economics, Commerce and Management, 3, 1–15.

Okurut, F. N., Schoombee, A., & Van der Berg, S. (2005). Credit demand and credit rationing in the informal financial sector in Uganda. South African Journal of Economics, 73(3), 482-497. doi:10.1111/j.1813-6982.2005.00033.x

Pham, T. T., & Lensink, R. (2007). Lending policies of informal, formal and semiformal lenders: Evidence from Vietnam. Economics of Transition, 15(2), 181-209. doi:j.1468-0351.2007.00283.x

Rahman, S., Hussain, A., & Taqi, M. (2014). Impact of agricultural credit on agricultural productivity in Pakistan: An empirical analysis. International Journal of Advanced Research in Management and Social Sciences, 3(4), 125-139.

Reyes, A., & Lensink, R. (2011). The Credit Constraints of Market-Oriented Farmers in Chile. Journal of Development Studies, 47(12), 1851–1868. doi:10.1080/00220388.2011.579111

Rifai, B. (2013). Pengembangan model penguatan peran pemerintah daerah dalam mendukung program kredit usaha rakyat (KUR) guna pengurangan kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 17(3), 185 - 200.

Saleem, A., Jan, F. A., Khattak, R. M., & Quraishi, M. I. (2011). Impact of farm and farmers characteristics on repayment of agriculture credit. Abasyn University Journal of Social Science, 4(1), 23–35.

Saqib, S., Kuwornu, J. K., Panezia, S., & Ali, U. (2018). Factors determining subsistence farmers’ access to agricultural credit in flood-prone areas of Pakistan. Kasetsart Journal Social Science, 39(2), 262–268. doi:10.1016/j.kjss.2017.06.001

Sebatta, C., Wamulume, M., & Mwansakilwa, C. (2014). Determinants of smallholder farmers’ access to agricultural finance in Zambia. Journal of Agricultural Science, 6(11), 63-73. doi:10.5539/jas.v6n11p63

Page 89: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dahlan Tampubolon 75

Simtowe, F., Zeller, M., & Diagne, A. (2009). The impact of credit constraints on the adoption of hybrid maize in Malawi. Review of Agricultural and Environmental Studies, 90(1), 5–22. doi:10.22004/ag.econ.51627

Soubbotina, T. P., & Sheram, K. (2000). Beyond Economic Growth: Meeting the Challenges of Global Development. Washington, DC: World.

Tadesse, M. (2014). Fertilizer adoption, credit access, and safety nets in rural Ethiopia. Agricultural Finance Review, 74(3), 290–310. doi:10.1108/AFR-09-2012-0049

Tampubolon, D. (2009). Lembaga Keuangan Mikro Pedesaan Di Kabupaten Bengkalis. Jurnal Ekonomi, 17(1), 46-61.

Tampubolon, D. (2013). Strategi pemberdayaan masyarakat pesisir di Kabupaten Kepulauan Meranti. Sorot, 8(2), 153-161. doi:10.31258/sorot.8.2.2358

Tampubolon, D., & Basri, S. (2008). Kebijakan pembangunan ekonomi kerakyatan: Program budget sharing di Kabupaten Kampar. Jurnal Ekonomi, 16(2), 46-57.

Ugwumba, C. O., & Omojola, J. T. (2013). Credit access and productivity growth among subsistence food crop farmers in Ikole local government area of Ekiti State, Nigeria. Journal of Agricultural and Biological Science, 8(4), 351-356.

Weber, R., & Musshoff, O. (2013). Can flexible microfinance loans improve credit access for farmers? Agricultural Finance Review, 73(2), 255–271. doi:10.1108/AFR-09-2012-0050

Wulandari, E., Meuwissen, M. P., Karmana, M. H., & Oude Lansink, A. J. (2017). Access to finance from different finance provider types: Farmer knowledge of the requirements. PLoS ONE, 12(9), e0179285. doi:10.1371/journal.pone.0179285

Xinkai, Z., & Gang, L. (2009). Dual Financial Institution and Farmers’ Choice on Consumer Credit Behavior: The Explanation and Analysis of ROSCA. Economic Research Journal, 2, 005.

Yadav, P., & Sharma, A. K. (2015). Agriculture credit in developing economies: A review of relevant literature. International Journal of Economics and Finance, 7(12), 219-244. doi:10.5539/ijef.v7n12p219

Page 90: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI76

Yehuala, S. (2008). Determinants of Smallholder Farmers Access to Formal Credit: The Case of Metema Woreda, North Gondar, Ethiopia. Dire Dawa, Ethiopia: Haramaya University.

Page 91: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 77

DANA DESA, KORUPSI DAN GOOD PUBLIC GOVERNANCE

Evi Maria, Abdul HalimUniversitas Kristen Satya Wacana, Universitas Gadjah

Mada [email protected], [email protected]

BAB

VII1. PENDAHULUANUndang-Undang No. 6/2014 tentang Desa menjadikan desa sebagai ujung tombak pembangunan. Pembangunan desa menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia. Desa tidak lagi diharapkan menjadi kawasan terbelakang dan kurang produktif, tetapi menjadi daerah yang makmur dan sejahtera. Otonomi desa memberi kebebasan.bagi desa untuk mengatur.dan.mengurus.pemerintahannya, mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa warga, hak asal.usul, adat istiadat, dan nilai.sosial budaya masyarakat.

UU Desa memberi mandat kepada pemerintah untuk mengalokasikan Dana Desa untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Dana tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota. Dana Desa mulai dialokasikan pertama kali pada tahun 2015. Data Kemendes (2020) menunjukkan anggaran Dana Desa meningkat dari tahun ke tahun, seperti disajikan dalam Gambar 1.1 Total alokasi Dana Desa sampai tahun 2019, sebesar Rp 257,65 triliun. Jumlah yang tidak sedikit, menuntut dana tersebut perlu untuk dikelola dengan baik agar penggunaannya tepat sasaran.

Dibalik besarnya Dana Desa dan harapan terwujudnya pemerataan pembangunan desa, terselip rasa khawatir yang tidak kalah besarnya. Sumber daya manusia yang tidak siap di sana dikhawatirkan memunculkan potensi penyimpangan, jika Dana Desa dikelola tidak secara transparan dan akuntabel. Indonesian Corruption Watch (ICW, 2020) mengidentifikasi kasus korupsi di sektor anggaran.desa.menjadi kasus yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum selama tahun 2019. ICW (2020) juga mencatat 46.kasus korupsi terjadi pada anggaran desa dari total 271 kasus korupsi pada tahun 2019. Korupsi pada anggaran desa merugikan.negara hingga mencapai Rp 32,3 miliar. Ini artinya pemerintah belum memiliki sistem komprehensif untuk mengawasi Dana Desa.

Page 92: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI78

86

kasus yang paling banyak ditindak oleh aparat penegak hukum selama tahun 2019. ICW (2020) juga mencatat 46.kasus korupsi terjadi pada anggaran desa dari total 271 kasus korupsi pada tahun 2019. Korupsi pada anggaran desa merugikan.negara hingga mencapai Rp 32,3 miliar. Ini artinya pemerintah belum memiliki sistem komprehensif untuk mengawasi Dana Desa.

Gambar 1.1 Penyaluran Dana Desa Tahun 2015-2019 (Kemendes, 2020)

Fenomena korupsi anggaran desa ini adalah masalah yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Penataan desa perlu dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih dan efektif, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing desa. Tata kelola pemerintahan yang baik dibutuhkan untuk mengatasi korupsi pada anggaran desa. Komite Nasional Kebijakan Governance(KNKG, 2008) menyebut tata kelola pemerintahan di Indonesia dengan istilah public governance, yaitu aturan perilaku terkait.pengelolaan kewenangan.para penyelenggara.negara dalam menjalankan tugasnya secara akuntabel dan bertanggungjawab. Good public governance telah terbukti membawa efek positif bagi pemerintahan, yaitu menurunkan tingkat korupsi (Khan, 2006; Hofheimer, 2006; Nguyen et al., 2017). Pemerintah dituntut untuk mendorong keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Pemerintah perlu mendidik dan melatihpengelolaan anggaran desa pada kepala desa dan aparaturnya. Selain itu, pemerintah perlu juga untuk mengaktifkan peran warga.desa untuk mengawasi.Dana Desa.

Gambar 1.1 Penyaluran Dana Desa Tahun 2015-2019 (Kemendes, 2020)

Fenomena korupsi anggaran desa ini adalah masalah yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Penataan desa perlu dilakukan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih dan efektif, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing desa. Tata kelola pemerintahan yang baik dibutuhkan untuk mengatasi korupsi pada anggaran desa. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG, 2008) menyebut tata kelola pemerintahan di Indonesia dengan istilah public governance, yaitu aturan perilaku terkait.pengelolaan kewenangan.para penyelenggara.negara dalam menjalankan tugasnya secara akuntabel dan bertanggungjawab. Good public governance telah terbukti membawa efek positif bagi pemerintahan, yaitu menurunkan tingkat korupsi (Khan, 2006; Hofheimer, 2006; Nguyen et al., 2017). Pemerintah dituntut untuk mendorong keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan keuangan desa. Pemerintah perlu mendidik dan melatih pengelolaan anggaran desa pada kepala desa dan aparaturnya. Selain itu, pemerintah perlu juga untuk mengaktifkan peran warga.desa untuk mengawasi.Dana Desa.

Berdasarkan fenomena ini, maka tulisan pada.bab ini akan fokus.membahas dua hal. Pertama, tentang Dana Desa.dan korupsi kepala desa. Kedua, tentang good public governance sebagai strategi pemberantasan korupsi Dana Desa. Tulisan ini akan mengidentifikasi faktor-faktor yang membuka kesempatan bagi kepala desa melakukan korupsi pada Dana Desa. Selain itu, tulisan ini akan mendiskusikan peran good public governance sebagai strategi pemerintah untuk memberantas korupsi Dana Desa. Konsep good public governance menarik untuk dibahas, mengingat masih sedikit tulisan yang membahas tentang good public governance pada level pemerintah desa. Ini hal yang wajar mengingat otonomi desa baru saja dimulai sejak diberlakukannya UU No. 6/2014 tentang Desa.

2. DANA DESA DAN KORUPSI KEPALA DESA DI INDONESIAPemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan kewenangan secara otonom.kepada pemerintah desa untuk mengelola dan.mengembangkan desa. Harapannya, masyarakat desa dapat lebih.

Page 93: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 79

sejahtera dengan dijalankannya berbagai program pemberdayaan masyarakat dan pembangunan.desa. Pemerintah desa dapat mengatur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), meningkatkan ekonomi desa, melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta melakukan pembangunan infrastruktur di desa yang dapat menunjang peningkatan ekonomi desa.

UU Desa memberikan banyak keistimewaan bagi desa. Bagaimana tidak, UU tersebut mengatur pemberian gaji, jaminan kesehatan dan penerimaan lain untuk kepala desa dan seluruh jajarannya (UU No.6/2014 Pasal 66). Selain itu, pemerintah juga menyiapkan dana kurang lebih Rp 1 milyar untuk mendanai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan desa. Dana tersebut merupakan bentuk konkret perhatian negara.terhadap.keberadaan warganya yang tinggal di desa. Dana Desa membuat asal.usul dan kewenangan lokal.berskala.desa dapat.dilihat.dan dirasakan.oleh seluruh masyarakat desa. Besaran dana yang dialokasikan pemerintah ke masing-masing desa akan berbeda-beda.tergantung pada jumlah.penduduk, tingkat.kemiskinan, luas.wilayah.dan.tingkat kesulitan geografis. Alokasi anggaran langsung untuk desa telah ditentukan, yaitu 10 persen dari dan di luar Dana Transfer.Daerah, dengan.pencapaian yang dilakukan.secara bertahap.

Penetapan prioritas.penggunaan Dana.Desa diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan.Desa Tertinggal, dan.Transmigrasi setiap tahunnya. Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk membiayai kegiatan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Oleh sebab itu, penggunaannya pun perlu disepakati dalam musyawarah desa. Tak hanya itu, penggunaan Dana Desa juga harus sesuai.dengan.Rencana.Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), sehingga penetapan penggunaan Dana Desa memerlukan Peraturan Bupati/Walikota. Tanpa peraturan tersebut, maka Dana Desa tidak dapat digunakan. Kondisi ini membuat APBDes yang dibuat tidak boleh berbeda dengan APBD, meskipun desa diberikan otonomi khusus.

Kewenangan pembangunan desa telah direposisi oleh UU Desa. Awalnya pembangunan desa menjadi kewenangan pemerintah daerah, sekarang menjadi kewenangan pemerintah desa. UU Desa Pasal 18 memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk menentukan arah pembangunannya. Kepala desa menjadi tokoh sentral desa. Kepala desa dituntut untuk menjalankan peran sebagai pemimpin dan pelaksana pembangunan desa. Tak hanya itu, kepala desa juga diminta untuk peka terhadap kebutuhan warganya, serta mengakomodasi tuntutan warga yang dipimpinnya. Kepala desa memiliki peran dominan dalam pembangunan desa. Dominasi tersebut, sudah terlihat mulai dari tahap perencanaan pembangunan desa, baik saat menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) maupun saat menyusun Rencana.Kerja Pemerintah.Desa (RKP Desa). Kepala Desa memiliki hak untuk menentukan.

Page 94: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI80

Tim Penyusun.RPJM Desa dan secara otomatis akan menduduki jabatan.sebagai pembina. Kepala desa juga memiliki peran penting dalam tahap Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa, yaitu sebagai penyelenggara forum untuk mempertemukan kepentingan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kepala desa juga berperan dalam proses penyusunan RKP Desa. Kepala desa memiliki peran yang sangat besar, bahkan sampai pada tahap pembuatan.rancangan peraturan.desa tentang.RKP Desa. Hal ini berlanjut, hingga tahap pelaksanaan dan tahap pertanggungjawaban pengelolaan Dana Desa.

Praktiknya, korupsi menjadi masalah sistemik dan terstruktur di desa karena korupsi terjadi hampir di seluruh tahap pengelolaan keuangan desa. Rose-Ackerman (1978) menggambarkan korupsi sebagai perilaku yang melibatkan penyalahgunaan atau penyalahgunaan jabatan publik, kekuasaan, atau sumber daya untuk kepentingan pribadi. Di Indonesia, UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

Sudibyo dan Linda (2014) mengidentifikasi potensi korupsi dalam penyaluran Dana Desa. Ada lima titik celah korupsi Dana Desa. Pertama, celah rawan korupsi ada pada proses perencanaan. Pada proses ini, adanya elite capture, yaitu tindakan oknum-oknum tertentu untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar program pembangunan dan pemberdayaan desa dibuat untuk mengakomodir kepentingan dan/atau keuntungan pribadi dan/atau kelompok tertentu. Kedua, celah rawan korupsi ada pada proses pelaksanaan. Pada proses ini, ada potensi munculnya praktik nepotisme dan tidak transparannya pengelolaan Dana Desa. Ketiga, celah rawan korupsi ada pada proses pertanggungjawaban. Pada proses ini, ada potensi untuk membuat laporan fiktif karena aparat desa menganggap pertanggungjawaban pengelolaan keuangan hanyalah sebuah beban administratif agar bisa mendapatkan dana.dari pemerintah untuk.periode berikutnya. Keempat, celah rawan korupsi ada pada proses pemantauan dan evaluasi. Pada proses ini, ada potensi pemantauan dan evaluasi hanya bersifat formalitas, sehingga terlambat untuk mendeteksi terjadinya korupsi. Kelima, celah rawan korupsi ada pada proses pengadaan barang dan.jasa. Pada proses ini, muncul potensi terjadinya mark-up harga, rekayasa proyek dan tidak transparannya kegiatan pengadaan menggunakan Dana Desa.

Penggelapan, suap, penyalahgunaan.anggaran, mark up.anggaran, dan laporan fiktif adalah jenis perkara korupsi yang dilakukan oleh kepala desa sepanjang tahun 2015-2019. Penyalahgunaan anggaran menjadi jenis perkara korupsi terbanyak yang terjadi pada Dana Desa. Secara khusus, ICW (2019) meng-identifikasi 12 modus operandi yang terjadi dalam kasus-kasus korupsi Dana Desa yang hampir terjadi di.seluruh

Page 95: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 81

Indonesia. Modus operandi korupsi Dana Desa, antara lain sebagai berikut: 1. Membuat Rancangan.Anggaran Biaya (RAB) di atas.harga pasar,

kemudian melakukan pembayaran kegiatan pengadaan.berdasarkan kesepakatan.yang lain yang tentunya menguntungkan pelaku dan/atau kelompoknya.

2. Mempertanggungjawabkan pembiayaaan pengadaan infrastruktur fisik desa menggunakan Dana Desa, padahal faktanya pendanaan proyek tersebut berasal dari sumber lainnya.

3. Meminjam Dana Desa untuk kepentingan pribadi. Tak sedikit juga, pinjaman tersebut tidak dikembalikan.

4. Oknum pejabat kecamatan dan/atau kabupaten melakukan pemung-utan atau pemotongan Dana Desa.

5. Mengadakan transaksi perjalanan.dinas fiktif bagi kepala.desa dan aparat.desa dengan cara memalsukan tiket penginapan/perjalanan dan/atau mengadakan perjalanan dengan tujuan untuk berwisata saja.

6. Melakukan mark-up transaksi pembayaran honorarium perangkat desa dan memalsukan bukti transaksi.

7. Melakukan mark-up harga untuk transaksi pembayaran alat tulis kan-tor dan memalsukan bukti pembayaran.

8. Memungut pajak dan/atau retribusi.desa, hasilnya tidak.disetorkan ke kas.desa atau.kantor pajak.

9. Membeli inventaris.kantor untuk kepentingan pribadi menggunakan Dana Desa.

10. Memangkas anggaran untuk kegiatan pelayanan publik dan menga-lokasikan anggaran tersebut untuk kepentingan pribadi perangkat desa.

11. Melakukan permainan proyek yang didanai dari Dana Desa untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompok.

12. Mengadakan proyek-proyek fiktif dan dibebankan pada Dana Desa.

Data ICW (2020) mencatat ada 298 kasus korupsi Dana Desa yang terjadi sepanjang tahun 2015-2019. Jumlah kasus korupsi Dana Desa meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2015 tercatat ada 22 kasus, dan meningkat menjadi 48 kasus di tahun 2016. Kasus tersebut terus meningkat menjadi 98 kasus di tahun 2017, dan sedikit menurun yakni 96 kasus pada 2018. Tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 46 kasus. Penurunan jumlah kasus korupsi Dana Desa ini bisa jadi disebabkan karena terjadi penurunan tren penindakan.kasus korupsi yang.dilakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu.sebesar 40 persen jika dibandingkan dengan tahun 2018.

Sama hal dengan korupsi yang terjadi di pemerintah pusat maupun daerah, korupsi di desa menimbulkan kerugian negara yang tidak sedikit jumlahnya. Tahun 2015, kerugian negara akibat korupsi Dana Desa mencapai Rp 9,12 milyar. Tren kerugian negara akibat korupsi Dana Desa

Page 96: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI82

yang terjadi sepanjang tahun 2015-2019 disajikan pada Gambar 2.1. Kerugian negara mencapai Rp 8,33 milyar di tahun.2016. Sedangkan, tahun.2017 dan tahun.2018, kerugian negara akibat korupsi Dana Desa meningkat tajam menjadi Rp 30,11 milyar dan Rp 40,6 milyar. Tahun 2019, kerugian negara mencapai Rp 32,2 milyar. Sepanjang tahun 2015-2019, total kerugian negara yang ditimbulkan oleh korupsi di desa telah mencapai Rp 120,36 milyar.

92

Gambar 2.1 Kerugian Negara dari Korupsi Dana Desa Tahun 2015-2019 (ICW 2020)

Kepala desa menjadi aktor dominan korupsi Dana Desa. ICW (2019) mencatat ada 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2015-2018. Gambar 2.2 menyajikan tren peningkatan jumlah kepala desa.yang terjerat kasus.korupsi di desa. Tahun 2015 dari hanya 15 kepala.desa yang.terjerat kasus korupsi Dana Desa, kemudian meningkat menjadi 32 kepala.desa di tahun 2016. Tidak berhenti disitu, tahun 2017 meningkat menjadi 65 kepala desa dan 2018 menjadi 89 kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Peningkatan jumlah.kepala desa yang .terjerat kasus korupsi.menunjukkan bahwa korupsi di desa sudah menjadi masalah serius.yang harus.segera ditangani.

9,12 8,33

30,1140,6

32,2

0

50

2015 2016 2017 2018 2019

Kerugian Negara dari Korupsi Dana Desa2015-2019

(dalam milyar rupiah)

Jumlah Kerugian Negara

Gambar 2.1 Kerugian Negara dari Korupsi Dana Desa Tahun 2015-2019 (ICW 2020)

Kepala desa menjadi aktor dominan korupsi Dana Desa. ICW (2019) mencatat ada 214 kepala desa yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2015-2018. Gambar 2.2 menyajikan tren peningkatan jumlah kepala desa.yang terjerat kasus.korupsi di desa. Tahun 2015 dari hanya 15 kepala.desa yang.terjerat kasus korupsi Dana Desa, kemudian meningkat menjadi 32 kepala.desa di tahun 2016. Tidak berhenti disitu, tahun 2017 meningkat menjadi 65 kepala desa dan 2018 menjadi 89 kepala desa yang terjerat kasus korupsi. Peningkatan jumlah.kepala desa yang .terjerat kasus korupsi.menunjukkan bahwa korupsi di desa sudah menjadi masalah serius.yang harus.segera ditangani.

Kasus Agus Mulyadi, yaitu Kepala Desa Dasok, Kabupaten.Pamekasan adalah salah satu contoh kasus korupsi Dana Desa yang fenomenal terjadi pada tahun 2016. Kasus suap ini dilatar belakangi karena pengusutan dugaan korupsi pada proyek pembuatan paving block di Desa Dasok yang menggunakan Dana Desa dengan nilai proyek sebesar Rp 100 juta. Dugaan korupsi tersebut dilaporkan oleh sebuah.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Kejaksaan Negari (Kejari) Pamekasan. Menariknya, kasus ini membuat Komisi.Pemberantasan Korupsi.(KPK) juga turun tangan melakukan.Operasi Tangkap.Tangan (OTT) karena melibatkan Bupati Pamekasan, yaitu Ahmad Syafii dan Kajari Pamekasan,

Page 97: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 83

yaitu Rudi Indra Prasetya. Bupati Pamekasan berperan sebagai aktor yang menyarankan Agus untuk melakukan suap kepada Kajari sebesar Rp 250 juta agar perkara tersebut tidak diusut. Dana suap diambilkan kepala desa dari Dana Desa. Tahun 2016, Desa Dasok hanya menerima Dana Desa sebesar Rp 650 juta saja. Ini menegaskan bahwa meski desa memiliki anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan kabupaten/kota, tetapi tetap juga dapat menarik oknum-oknum tertentu untuk melakukan perbuatan curang, sehingga negara mengalami kerugian. Jika ini dibiarkan maka cita-cita desa yang makmur dan sejahtera tentunya hanyalah sebuah mimpi saja.

93

Gambar 2.2 Kepala desa yang korupsi sepanjang tahun 2015-2018 (ICW 2019)

Kasus Agus Mulyadi, yaitu Kepala Desa Dasok, Kabupaten.Pamekasan adalah salah satu contoh kasus korupsi Dana Desa yang fenomenal terjadi pada tahun 2016. Kasus suap ini dilatar belakangi karena pengusutan dugaan korupsi pada proyek pembuatan paving block di Desa Dasok yang menggunakan Dana Desa dengan nilai proyek sebesar Rp 100 juta. Dugaan korupsi tersebut dilaporkan oleh sebuah.Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke Kejaksaan Negari (Kejari) Pamekasan. Menariknya, kasus ini membuat Komisi.Pemberantasan Korupsi.(KPK) juga turun tangan melakukan.Operasi Tangkap.Tangan (OTT) karena melibatkan Bupati Pamekasan, yaitu Ahmad Syafii dan Kajari Pamekasan, yaitu Rudi Indra Prasetya. Bupati Pamekasan berperan sebagai aktor yang menyarankan Agus untuk melakukan suap kepada Kajari sebesar Rp 250 juta agar perkara tersebut tidak diusut. Dana suap diambilkan kepala desa dari Dana Desa. Tahun 2016, Desa Dasok hanya menerima Dana Desa sebesar Rp 650 juta saja. Ini menegaskan bahwa meski desa memiliki anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan kabupaten/kota, tetapi tetap juga dapat menarik oknum-oknum tertentu untuk melakukan perbuatan curang, sehingga negara mengalami kerugian. Jika ini dibiarkan maka cita-cita desa yang makmur dan sejahtera tentunya hanyalah sebuah mimpi saja.

1532

65

89

0

50

100

2015 2016 2017 2018

Kepala Desa Terjerat Kasus Korupsi2015-2018

Kepala Desa Korupsi

Gambar 2.2 Kepala desa yang korupsi sepanjang tahun 2015-2018 (ICW 2019)

Penyebab korupsi Dana Desa diidentifikasi karena besarnya kewenangan yang dimiliki oleh kepala desa diidentifikasi membuka kesempatan bagi kepala desa untuk memperoleh keuntungan pribadi dan/atau kelompoknya dengan melakukan praktik korupsi. Cressey (1950) mengidentifikasi kesempatan adalah situasi yang mendorong para pemegang kepercayaan mengkhianati kepercayaan yang diberikan dengan melakukan perbuatan melawan hukum, seperti korupsi. Kondisi kewenangan yang besar di desa mendorong korupsi, juga dapat dijelaskan dengan adagium1 dari Lord Acton, yaitu “power.tends to corrupt, but.absolute power corrupt absolutely.” Artinya, kekuasaan.absolut akan menimbulkan korupsi yang absolut juga. Penyerahan wewenang yang besar kepada kepala desa akibat otonomi desa, tanpa sistem pengawasan yang baik cenderung mendorong terjadinya praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang berujung pada tindakan korupsi.

Kewenangan kepala desa yang besar, tidak disertai dengan penguatan hak masyarakat sebagai subyek dari pembangunan desa. Organisasi kepemudaan di desa tidak berjalan karena sebagian besar anak-anak

1 Istilah KBBI: pepatah; peribahasa

Page 98: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI84

muda bermigrasi ke kota besar. Selain itu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang seharusnya mengawasi kinerja kepala desa pun, kurang optimal menjalankan perannya tersebut. Kebanyakan BPD tidak membahas secara serius laporan pertanggungjawaban pemerintah desa. Pemerintah desa cenderung menganggap laporan pertanggungjawaban ke Bupati/Walikota lebih penting daripada ke BPD karena akan berimplikasi pada persetujuan pencairan Dana Desa tahap berikutnya. Tak heran, jika pemerintah desa lebih banyak meminta rekomendasi dari pemerintah kabupaten/kota daripada kepada BPD.

Tidak optimalnya peran BPD disebabkan karena tiga alasan. Pertama, anggota BPD kurang memahami tugas dan kewajibannya. Misalnya saja, dalam fungsinya sebagai pengawas kepala desa, banyak anggota BPD yang tidak memahami konsep pengawasan yang sesungguhnya, sehingga pengawasan hanya sebatas pada pembangunan fisik saja. Dari sisi komunikasi juga, anggota BPD belum memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni, sehingga perannya sebagai penyalur aspirasi masyarakat tidak berjalan secara optimal. Kedua, BPD memiliki anggaran yang terbatas, sehingga tidak dapat menjalankan peran seperti yang diamanatkan dalam UU Desa Pasal 55. Ketiga, BPD tidak dilibatkan oleh pemerintah desa dalam keseluruhan proses pembangunan desa. Kondisi ini menegaskan bahwa desa belum memiliki pengawasan yang baik, sehingga tidak mengherankan jika kesempatan untuk melakukan korupsi menjadi terbuka lebar di sana.

Selain alasan kewenangan kepala desa yang besar dan pengawasan yang tidak baik, kesempatan untuk melakukan korupsi juga diidentifikasi muncul karena budaya patrimonial masyarakat desa. Dalam budaya tersebut, masyarakat cenderung memperlakukan pejabat berdasarkan hubungan keluarga, hubungan pribadi dan hubungan bapak dan anak buah. Ikatan pribadi dan loyalitas dengan pimpinan menjadi ciri khas budaya masyakat desa. Kepala desa dianggap sebagai tokoh panutan dalam masyarakat, sehingga ada rasa segan dari aparatur desa dan/atau masyarakat untuk menegur dan/atau melaporkan praktik korupsi yang dilakukan oleh kepala desa kepada pihak berwajib. Masyarakat lebih memilih untuk diam dan menganggap praktik korupsi sebagai sesuatu yang wajar dan masyarakat tidak marah terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh kepala desa. Kondisi ini diidentifikasi membuka kesempatan korupsi di desa.

3. GOOD PUBLIC GOVERNANCE SEBAGAI STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI DANA DESA

Pemberantasan korupsi membutuhkan strategi yang tepat agar dapat berjalan dengan efektif. Dalam rangka menyusun strategi maka perlu

Page 99: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 85

diidentifikasi terlebih dahulu penyebab dari korupsi kepala desa. Dari pembahasan sebelumnya dapat diidentifikasi penyebab maraknya kasus korupsi kepala desa, yaitu:1. Implementasi otonomi desa memberikan kewenangan yang besar

bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya korupsi.

2. Budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi korupsi. Ikatan pribadi dan loyalitas pada kepala desa membuat masyarakat enggan untuk menegur dan melaporkan praktik korupsi yang terjadi di sana.

Atas dasar penyebab korupsi kepala desa tersebut, maka good public governance diyakini oleh Hofheimer (2006), Lio et al. (2011), dan Elbahnasawy (2014) sebagai strategi pemberantasan korupsi. Good public governance adalah aturan perilaku terkait pengelolaan kewenangan oleh para penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya secara bertanggungjawab dan akuntabel (KNKG, 2008). Penataan desa perlu dilakukan agar terwujud penyelenggaraan pemerintah desa yang bersih dan bebas korupsi.

Strategi perbaikan sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan dalam rangka menutup celah atau kesempatan melakukan korupsi (Pusat Edukasi Anti Korupsi, 2019; Maria et al., 2019). Model public governance untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan kapasitas BPD. Anggota BPD berhak untuk mendapatkan penguatan kapasitas untuk menunjang fungsi dan perannya sebagai lembaga legislatif desa. Pengembangan kapasitas BPD menjadi tanggungjawab dari pemerintah kabupaten/kota. Regulasi yang mengatur lebih rinci tentang bentuk penguatan kapasitas juga diperlukan, agar pengembangan kapasitas BPD dapat berjalan terarah.

Penguatan kapasitas BPD dilakukan dengan cara: pertama, peningkatan kompetensi anggota BPD dengan menjalankan kegiatan pendidikan.dan.pelatihan, sosialisasi, pembimbingan teknis, studi.banding, serta pemberian.penghargaan dari pemerintah daerah kepada.pimpinan dan anggota BPD yang berprestasi. Kedua, peningkatan kesadaran.masyarakat desa untuk mendaftar menjadi anggota BPD sebagai.bentuk partisipasi.masyarakat.terhadap pembangunan di desa tercinta. Animo.masyarakat menjadi.anggota BPD rendah karena syarat pendaftaran yang memberatkan dan tunjangan bagi anggota BPD yang rendah. Meskipun hak dari anggota BPD untuk mendapatkan tunjangan pelaksanaan tugas dan fungsinya, serta tunjangan lainnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Desa, namun praktiknya hak tersebut belum atau terkesan sulit direalisasikan. Oleh sebab itu, butuh pengaturan yang

Page 100: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI86

lebih tegas terkait prosedur dan mekanisme pemenuhannya, sehingga ada standar bagi pemerintah kabupaten/kota untuk memenuhi hak anggota BPD. Ketiga, perbaikan dalam perekrutan angota BPD. Anggota BPD merupakan perwakilan dari penduduk.desa berdasarkan.wilayah yang pengisiannya.harus dilakukan secara demokratis.

Tidak hanya penguatan kapasitas, BPD juga perlu penguatan kelembagaan. Pengorganisasian yang baik diperlukan oleh BPD, sehingga seluruh anggota BPD dapat bersinergi menjalankan tugas dan perannya sebagai lembaga legislatif desa. BPD perlu struktur organisasi yang mengatur tugas dan kewenangan anggota BPD dan juga perlu pengelolaan memadai layaknya sebuah lembaga. Praktiknya, kebanyakan BPD tidak didukung oleh staf yang mengelola sekretariat, sehingga BPD seringkali dipandang sebagai kumpulan individu dan bukan sebuah lembaga. Oleh sebab itu, kesekertariatan BPD dipandang dapat membantu kinerja BPD dalam menjalankan segala urusan yang bersifat teknis dan operasional.

Penguatan kapasitas dan kelembagaan BPD diperlukan agar ada check dan balance pada pengelolaan keuangan desa. Harapannya tercipta pemerintahan desa yang transparan, .akuntabel, partisipatif, tertib dan disiplin anggaran, sehingga desa terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pemerintah yang transparan terjadi jika pemerintah desa memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses informasi.seluas-luasnya.terkait keuangan desa. Sedangkan, pemerintah yang akuntabel terjadi jika pemerintah desa dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Pemerintah yang partisipatif, terjadi jika pemerintah menyelenggarakan pemerintahannya dengan mengikutsertakan kelembagaan desa dan unsur masyarakat desa. Sedangkan, pemerintah yang tertib dan disiplin anggaran terjadi jika pemerintah mengelola keuangan desa berdasarkan aturan atau pedoman yang melandasinya.

Desa Wiladeg, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta adalah contoh pemerintah desa yang menganggap transparansi dan akuntabilitas bukanlah barang mewah di desa yang dipimpinnya. Warga desa terbiasa mendapatkan informasi terkini tentang pembangunan dan kinerja pemerintah daerah melalui Radio Komunitas Wiladeg. Musyawarah desa dan laporan pertanggungjawaban kepala desa disiarkan secara langsung oleh radio ini, sehingga seluruh pendengar radio tahu berapa uang yang digunakan dan untuk apa saja uang tersebut.

Perbaikan sistem pengelolaan juga dapat dilakukan dengan menerapkan e-government, yaitu menggunakan teknologi.informasi dan.komunikasi (TIK) oleh pemerintah agar bisa bekerja lebih efektif, berbagi informasi, dan memberikan pelayanan publik yang lebih baik (UNDP, 2006). Tujuannya agar publik dapat memberi masukan tentang kebutuhan desa dan juga ikut serta mengawasi pengelolaan keuangan desa

Page 101: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 87

sehingga praktik korupsi dapat dihilangkan. E-Government juga berfungsi untuk meningkatkan akuntabilitas karena aplikasi tersebut berguna bagi masyarakat untuk melacak keputusan dan tindakan dari pemerintah serta memberi kebebasan bagi masyarakat untuk mempertanyakan prosedur yang tidak masuk akal yang diterapkan oleh pemerintah (Lio et al., 2011).

Pemerintah Kabupaten Pemalang memiliki aplikasi e-voting yang sukses digunakan ketika Kabupaten Pemalang melakukan pemilihan kepala desa tahun 2018. Tidak hanya itu, Pemerintah Kabupaten.Pemalang juga terus melakukan inovasi.dalam kegiatan pengelolaan desa dengan membuat e-village, yaitu website desa. Informasi terkini tentang pembangunan dan kinerja desa dapat di akses masyarakat melalui e-village. Harapannya penerapan e-village dapat membuat pengelolaan keuangan desa menjadi lebih.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib.dan disiplin, sehingga dapat mengurangi praktik korupsi di desa.

4. PENUTUPPemberlakuan UU No. 6/2014 tentang Desa memberikan kewenangan secara otonom kepada pemerintah desa untuk mengelola dan mengembangkan desanya. Harapannya, masyarakat desa dapat lebih sejahtera dengan berbagai program.pemberdayaan masyarakat.dan.pembangunan desa. Terbitnya UU Desa telah mereposisi kewenangan.pembangunan desa.dari.pemerintah.daerah ke pemerintah desa. Konsekuensinya, pemerintah pusat memberikan Dana Desa untuk membiayai kegiatan pembangunan di desa. Namun praktiknya, korupsi menjadi masalah sistemik dan terstruktur di desa karena korupsi terjadi hampir di seluruh tahap pengelolaan keuangan desa.

Aktor dominan korupsi Dana Desa adalah kepala desa. Penyebabnya ada dua. Pertama, implementasi otonomi desa memberikan kewenangan yang besar bagi kepala daerah untuk menentukan arah pembangunan dan pemberdayaan desa, namun tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan yang baik, sehingga membuka kesempatan terjadinya korupsi. Kedua, budaya patrimonial masyarakat desa membuka kesempatan terjadi korupsi. Pemberantasan korupsi bukanlah pekerjaan mudah, sehinga butuh strategi yang tepat untuk memberantasnya. Strategi perbaikan sistem pengelolaan keuangan perlu dilakukan dalam rangka menutup celah atau kesempatan melakukan korupsi. Model good public governance untuk pemerintah desa dapat disusun dengan melakukan penguatan kapasitas dan kelembagaan BPD. Good public governance juga dapat dilakukan dengan menerapkan e-government di desa. Harapannya, agar tercipta pemerintahan desa yang.transparan, akuntabel, .partisipatif, tertib dan.disiplin anggaran.

Page 102: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI88

5. DAFTAR PUSTAKACressey, D. R. (1950). Criminal Violation of Financial Trust. Indiana

University.

Elbahnasawy, N. G. (2014). E-Government, Internet Adoption, and Corruption: An Empirical Investigation. World Development, 57, 114–126. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2013.12.005.

Hofheimer, K. L. (2006). The Good Governance Agenda of International Development Institutions (Old Dominion University). https://doi.org/10.25777/67he-3892.

Indonesian Corruption Watch. (2019). Dua belas modus korupsi dana desa versi ICW. Tersedia di https://www.dejurnal.com/2019/11/dua-belas-modus-korupsi-dana-desa-versi-icw/

Indonesian Corruption Watch. (2020). Dana Desa Dominasi Kasus Korupsi Sepanjang 2019. Tersedia di https://www.medcom.id/nasional/hukum/3NOGr7zN-dana-desa-dominasi-kasus-korupsi-sepanjang-2019#:~:text=%22Dari%20kasus%20korupsi%20itu%20nilai,Selatan%2C%20Selasa%2018%20Februari%202020

Kementerian Desa (2020). Capaian Dana Desa 2019. Tersedia di https://sipede.ppmd.kemendesa.go.id/

Khan, M. H. (2006). Determinants of Corruption in Developing Countries: The Limits of Conventional Economic Analysis. In International Handbook on the Economics of Corruption (pp. 219–244). https://doi.org/10.4337/9781847203106.00015.

Komite Nasional Kebijakan Governance. (2008). Pedoman Umum Good Public Governance Indonesia. In Komite Nasional Kebijakan Governance. https://doi.org/10.1021/ic035198d.

Lio, M. C., Liu, M. C., & Ou, Y. P. (2011). Can the Internet Reduce Corruption? A Cross-Country Study Based on Dynamic Panel Data Models. Government Information Quarterly, 28(1), 47–53. https://doi.org/10.1016/j.giq.2010.01.005.

Maria, Evi, Halim, A., Suwardi, E., & Miharjo, S. (2019). Desentralisasi Fiskal dan Probabilitas terjadinya Korupsi: Sebuah Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 22(1), 1–22. https://

Page 103: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Evi Maria, Abdul Halim 89

doi.org/10.24914/jeb.v22i1.2036.Nguyen, T. V, Bach, T. N., Le, T., & Le, C. Q. (2017). Local Governance,

Corruption, and Public Service Quality: Evidence from a National Survey in Vietnam. International Journal of Public Sector Management, 30(2), 137-153. https://doi.org/10.1108/IJPSM-08-2016-0128.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110. Badan Permusyawaratan Daerah (2016). Indonesia.

Pusat Edukasi Anti Korupsi. (2019). 3 Strategi Pemberantasan Korupsi. Tersedia di Komisi Pemberantasan Korupsi w e b s i t e : https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/3- strategi-pemberantasan-korupsi. Akses tanggal 2 January 2020.

Rose-Ackerman, S. (1978). Corruption: A Study in Political Economy. New York: Academic Press.

Sudibyo, A., dan Linda. (2014). Identifikasi Potensi Korupsi pada Keuangan Desa. Jakarta: Humas KPK Press.

Undang-Undang Nomor 31. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (1999). Indonesia.

Undang-Undang Nomor 20. Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2001). Indonesia

Undang-Undang Nomor 6. Desa (2014). Indonesia.

United Nations Development Program. (2006). Fighting corruption with e- government applications. APDIP e-note 8.

Page 104: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI90

Page 105: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 91

QUO VADIS AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESA

Fitria HusnatarinaFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Palangka Raya

[email protected]

BAB

VIII1. PENDAHULUANAmanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sebagai landasan aktivitas dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada kewenangan daerah. Tujuannya adalah untuk memberikan sepenuhnya tanggung jawab kepada daerah terkait pengelolaan keuangan daerah. Dengan pijakan legal tersebut, diharapkan bahwa pengelolaan keuangan pemerintah daerah maupun pusat lebih efisien, efektif dan ekonomis.

Persoalan yang menjadi prioritas pemerintah pada saat ini terletak pada strategi pemerataan pembangunan di daerah yang diterjemahkan melalui program pembenahan pembangunan desa. Pertanyaannya adalah, kenapa harus desa? Permasalahan ini dapat dikaitkan dengan pemikiran tentang bagaimana desa menjadi analogi sebuah ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan dibandingkan dengan kondisi kota. Terkait fenomena ini, selanjutnya kita dapat mengasumsikan mengapa ledakan urbanisasi menjadi permasalahan besar bagi perkotaan, sehingga menjadi hal penting melakukan percepatan pembangunan desa sebagai salah satu cara untuk memberikan keseimbangan antara pembangunan daerah pedesaan dan perkotaan di seluruh wilayah Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 mengungkapkan bahwa dana desa adalah dana yang ditransfer kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang sumbernya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat desa.

Fenomena pengucuran dana desa dalam jumlah yang tidak sedikit bagi ukuran desa, menjadi perhatian besar, hal ini disebabkan karena dalam aktivitas pengelolaannya, maraknya kasus hukum menjadi fakta yang tidak bisa dilepaskan dari rangkaian eksekusi dana desa di berbagai daerah. Lebih lanjut, kondisi ini tidak menunjukkan bahwa adanya proses perbaikan dalam tahapan demi tahapan program nasional ini, walaupun sudah dilaksanakan dalam beberapa tahun. Pertanyaannya adalah, apa yang salah dalam program ini, dan bagaimana meraih pembangunan

Page 106: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI92

desa sebagaimana yang diharapkan dengan menjaga agar kasus hukum terkait pengelolaannya juga semakin minim. Jawaban dari kondisi ini ada pada titik dimana dan ke arah mana akuntabilitas pengelolaan dana desa itu dibawa. Mengapa parameternya ada pada akuntabilitas?, karena akuntabilitas pengelolaan dana desa adalah bentuk pertanggungjawaban aktivitas maupun keuangan dalam proses pengelolaan dana desa.

2. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN DANA DESAPada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, seluruh perhatian tertuju kepada desa. Organisasi-organisasi sosial, akademisi, politikus, pengamat sosial maupun kemasyarakatan serta tokoh-tokoh masyarakat menempatkan perhatiannya kepada aktivitas pembangunan desa. Perhatian tersebut tidak bisa dilepaskan dari tercetusnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menjelaskan tentang stimulus pembangunan desa dengan pengucuran dana desa. Perhatian semua unsur kemasyarakatan maupun lembaga terhadap desa, disebabkan jumlah pengucuran dana desa yang terbilang cukup besar.

Adanya pengucuran dana desa yang cukup besar jumlahnya untuk ukuran aktivitas desa, tidak serta merta menunjukkan bahwa pemerintah berdiri sendiri dalam upaya memajukan desa. Pemerintah juga membutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, agar terwujudnya perbaikan serta kemajuan desa melalui penyaluran dana desa tersebut. Sinergisitas seluruh unsur kemasyarakatan serta regulasi yang jelas dan juga pengelolaan yang mengedepankan akuntabilitas dan transparansi masih menjadi tantangan implementasi pengelolaan dana desa. Kapasitas kepala desa beserta perangkat desa lainnya yang memahami dan mengerti tentang pengelolaan keuangan desa serta regulasi tentang desa, menjadi faktor penting dalam mendukung pengelolaan keuangan desa yang baik.

Aparatur desa dalam aktivitasnya tidak hanya melakukan pengelolaan terhadap dana desa saja, Alokasi Dana Desa (ADD), bagi hasil pajak dan retribusi daerah serta bantuan keuangan provinsi, dan pendapatan asli desa (PADes) menjadi bagian dari pengelolaan keuangan pemerintah desa. APBDes secara regulatif menjadi dokumentasi dari semua item keuangan desa yang dalam aktivitas pengelolaannya selaras dengan berbagai petunjuk perundang-undangan yang berlaku, dalam artian bahwa pemerintah desa tidak bisa dengan sembarangan melakukan aktivitas pengelolaan keuangan desa. Menurut Permendagri Nomor 113 Tahun 2014, pasal 1 ayat 6, perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa merupakan keseluruhan aktivitas pengelolaan keuangan desa. Perencanaan menjadi langkah penentu awal yang menjadi syarat dasar dalam pengelolaan

Page 107: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 93

keuangan desa, sehingga dalam hal ini aparatur desa wajib menyediakan dokumen perencanaan secara detail.

Pengelolaan Keuangan Desa sebagaimana tertuang dalam Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang serta Pedoman Pembangunan Desa yang tertuang dalam Permendagri Nomor 114 Tahun 2014 mensyaratkan 3 (tiga) jenis dokumen perencanaan yang harus disediakan oleh pemerintah desa. Dokumen tersebut adalah APBDes, RKPDes dan RPJMDes. Pengelolaan keuangan desa tidak dibenarkan untuk dilakukan tanpa adanya ketiga dokumen ini.

Fenomena yang terjadi dalam akuntabilitas pengelolaan keuangan desa secara khusus terkait pengelolaan dana desa banyak ditemukan kendala yang menjadi hambatan proses pembagunan desa bahkan sampai berujung kepada munculnya banyak tuntutan pidana terhadap aparatur desa. Beberapa masalah pengelolaan keuangan desa secara umum adalah:

2.1 Keterbatasan RegulasiAturan yang berfokus penguatan regulasi pengelolaan keuangan desa sangat terbatas sehingga keadaan ini tidak cukup membantu aparatur desa dalam melaksanakan tugas terkait mempertanggungjawabkan keuangan desa yang dikelola. Kondisi ini ditunjukkan dengan munculnya kesulitan dan keterlambatan penyusunan perencanaan kegiatan dan keuangan desa oleh aparatur desa. Peraturan daerah maupun peraturan bupati yang harusnya merupakan turunan dari peraturan diatasnya sama sekali belum menjadi hal yang dengan segera ditindaklanjuti. Fenomena ini ditunjukkan dengan tidak adanya peraturan bupati terkait berbagai hal teknis dalam pengelolaan dana desa dan atribut lainnya yang memandu detailnya penggunaan dana desa dalam segala aspek aktivitas desa. Ketiadaan turunan regulasi-regulasi ini menjadikan kepala desa serta perangkatnya menjadi kesulitan untuk menterjemahkan pengelolaan keuangan desa secara optimal. Regulasi yang ada saat ini semuanya masih bersifat abstrak, sulit untuk diterjemahkan kedalam aktivitas-aktivitas praktis karena tidak ada regulasi yang mengatur hal-hal detail dalam pengelolaan keuangan desa ini.

2.2 Keterbatasan Anggaran untuk Insentif Keterbatasan anggaran yang mendukung kinerja pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa (PTPKD), tidak adanya untuk penyusunan desain dan rancangan anggaran biaya (RAB) serta insentif lainnya, termasuk TPK Desa, menjadi kendala dalam pengelolaan dana desa yang akuntabel. Kontribusi PTPKD dan TPK Desa menjadi sangat penting dalam suksesnya pengelolaan keuangan desa. Permasalahan akan muncul bagi pemerintah desa itu sendiri jika pemerintah desa kurang menghargai

Page 108: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI94

kontribusi mereka, karena motivasi untuk melaksanakan aktivitas yang seharusnya penting bagi pengelolaan keuangan desa menjadi terkendala atau diabaikan.

2.3 Keterbatasan Kapasitas Sumber Daya Aparatur DesaKepala desa beserta aparatur desa lainnya tidak hanya mengandalkan kepada kekuasaan mereka saja dalam pengelolaan keuangan desa, melainkan perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam desa. Sebuah kebutuhan penting bagi desa atas ketersediaan orang-orang yang memiliki kemampuan dalam menyusun APBDes, RKPDes dan RPJMDes. Sulit untuk dipungkiri bahwa fenomena yang terjadi selama ini, dokumen yang disusun oleh aparatur desa disusun dengan seadanya. Pengabaian terhadap kaidah akademis dan tata cara yang sesuai regulasi menjadi hal yang biasa dilakukan dengan alasan bahwa terlalu repot dan tidak sederhananya kaidah-kaidah tersebut. Hal ini memicu ditemukannya administrasi pelaporan dan pertangungjawaban belum dikerjakan seperti LPPD dan LKPJ, yang berujung pada tertundanya pencairan dana desa.

2.4 Keterbatasan PendampinganTemuan lapangan dalam pengelolaan dana desa, bahwa munculnya kasus terkait hukum juga disebabkan karena unsur ketidaktahuan aparatur desa terkait petunjuk teknis yang krusial dalam proses pengelolaan, dalam hal ini aparatur desa banyak didapati tidak cukup mampu memahami hal-hal teknis yang nyatanya cukup banyak dan juga berubah dalam waktu yang sangat cepat, sehingga minimnya pendampingan dari lembaga-lembaga terkait, unsur perguruan tinggi dan lembaga sosial kemasyarakatan lainnya disinyalir menjadi penyebab kurangnya kapasitas aparatur desa.

2.5 Keterbatasan PengawasanKurangnya pengawasan dalam pengelolaan keuangan desa menjadi permasalahan tersendiri, hal ini ditunjukkan dengan rendahnya partisipasi masyarakat desa terhadap pengelolaan keuangan desa. Pengawasan hanya berfokus pada peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

2.6 Keterbatasan Penggunaan Teknologi InformasiProses pencatatan kegiatan maupun laporan keuangan desa yang masih bersifat manual, memungkinkan munculnya peluang penyelewengan oleh aparatur desa. Proses pencatatan manual membuka peluang subjektifitas aparatur desa dalam proses pelaporan keuangan desa.

Page 109: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 95

2.7 Keterbatasan Penguatan Nilai-nilai Kepemimpinan DesaBanyaknya kasus penyelewengan dalam pengelolaan dana desa seringkali dikaitkan dengan unsur personil aparatur desa yang sangat minim dibekali dengan nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawab. Proses penerimaan dana desa yang tentunya dalam jumlah yang besar untuk ukuran masyarakat desa menjadi celah besar terbukanya keinginan pengguna dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan pribadi yang sebelumnya mungkin saja tidak pernah terpenuhi. Dalam hal ini sangat diperlukan penguatan nilai-nilai kepemimpinan dan tanggung jawab bagi aparatur desa, bahwa sasaran dari kesemuanya itu adalah kesejahteraan bersama masyarakat desa.

3. AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DESAAkuntabilitas pengelolaan keuangan desa tidak akan menjadi sebuah pertanyaan besar ketika semua regulasi yang mengatur aktivitas pengelolaan keuangan desa, secara khusus pengelolaan dana desa, diturunkan secara sedetail dan spesifik melalui peraturan turunan, seperti peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan desa serta petunjuk teknis lainnya. Sepanjang pemerintah mampu mengakomodasi perangkat peraturan ini dengan semaksimal mungkin, maka keseluruhan aktivitas pengelolaan keuangan desa akan akurat serta tepat sasaran.

Disamping adanya regulasi terkait akuntabilitas pengelolaan keuangan desa, dokumen penting yang harus dihasilkan oleh aparatur desa diantaranya dokumen RPJMDes, RKPDes dan APBDes. Kesemua dokumen ini memerlukan legalisasi melalui peraturan desa, agar keabsahan dokumen tersebut dapat dijamin dan digunakan bagi kepentingan masyarakat. Dalam hal ini pemerintahan desa dan Badan Pengawas Desa (BPD) serta tim penyusun dokumen perlu membangun sinergisitas yang baik, dengan harapan tidak munculnya konflik antar kelembagaan dalam lingkungan pemerintahan desa. Di sisi lainnya bimbingan teknis dan bentuk penguatan lainnya bagi tim PTPKD dan TPK harus sering dilakukan. Hal penting lainnya adalah bentuk intervensi positif dalam bentuk pendampingan profesional, yang membantu aparatur desa untuk proses desain anggaran serta memberikan telaah dan masukan yang membangun dalam mencapai akuntabilitas pengelolaan keuangan desa yang baik.

Keterlibatan lembaga-lembaga pemerintah daerah seperti inspektorat daerah, badan keuangan daerah serta badan pemberdayaan masyarakat desa dalam program pengawasan pembangunan desa yang dikaitkan dengan penggunaan dana desa menjadi sebuah strategi yang dilakukan pemerintah dalam kaitannya untuk menjaga agar akuntabilitas pengelolaan dana desa tercapai. Optimalisasi pengawasan pengelolaan

Page 110: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI96

keuangan desa dilakukan dengan membentuk wadah koordinasi desa yang diwujudkan melalui rapat intensif untuk menyepakati perlunya pengawasan agar penyalahgunaan dana desa tidak terjadi. Dana desa diupayakan pemanfaatannya untuk membangun sarana dan prasarana fisik secara optimal untuk peningkatan perekonomian masyarakat desa, sehingga pengawasan terhadap penyaluran dan pengelolaannya menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari adanya penyalahgunaan dana tersebut.

Sementara itu, persiapan penyaluran dana desa masih terkendala, disebabkan ketidaksiapan aparatur desa yang berpotensi terhambatnya penyaluran dana desa yang berujung pada terkendalanya penyerapan dana desa tersebut. Masih sangat banyak desa yang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) nya belum diserahkan kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang mengakibatkan penyaluran dana desa menjadi terhambat, sehingga program pembangunan desa tidak dapat dilaksanakan secara optimal.

Keterlambatan penyerahan APBDes, ketidaklancaran aplikasi sistem keuangan desa, menyebabkan penyusunan laporan keuangan desa terkendala proses penginputan data. Selanjutnya kurang maksimalnya penyusunan RAPBDes dan laporan penggunaan dana desa karena proses sosialisasi mengenai hal tersebut, sehingga pemahaman aparatur desa yang kurang akan menjadi penyebab kesalahan dalam proses penyusunan anggaran pembangunan desa serta pembuatan laporan penggunaan dana desa. Permasalahan lainnya adalah cukup banyaknya desa yang tidak bisa menyelesaikan APBDes dan menyerahkannya tepat waktu, disebabkan belum diterimanya petunjuk teknis terbaru mengenai dana desa. Permasalahan minimnya pemahaman aparatur desa, keterlambatan dan proses penyerahan APBDes yang selalu berulang juga menjadi celah dipertanyakannya akuntabilitas pengelolaan dana desa, karena target yang diharapkan tentunya tidak akan tercapai.

Kekhawatiran masyarakat desa terkait akan munculnya kasus penyelewengan dana desa masih terus meningkat, walaupun di sisi lainnya pemerintah meyakinkan bahwa segenap organ pendukung yang mengawal akuntabilitas pengelolaan dana desa sudah dioptimalkan oleh pemerintah. Namun fakta di lapangan yang menjadi tolak ukur masyarakat adalah banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi, dan juga kemungkinan besar pola korupsi seperti ini juga akan dialami oleh desa melalui penggunaan dana desa, untuk memperkaya diri sendiri atau sekelompok orang tertentu di desa. Dalam hal ini masyarakat desa memiliki harapan besar bahwa Badan Pengawas Desa (BPD) dapat menjalankan fungsinya dengan baik untuk mengawasi aktivitas pengelolaan dana desa.

Surat Keputusan Bersama (SKB) Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi memberikan kelonggaran terkait persyaratan pencairan dana desa berupa pemangkasan syarat administrasi

Page 111: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 97

dan birokrasi pencairan dana desa. Pemangkasan persyaratan administarsi dan jalur birokrasi menjadi sebuah strategi yang tepat dalam peningkatan penyerapan dana desa. Tetapi akan menjadi sebuah integrasi strategi yang lebih baik lagi jika dalam proses pengelolaan dan pelaporan penggunaan dana desa, keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dioptimalkan untuk meminimalisir penyalahgunaan penggunaan dana desa. Regulasi soal dana desa masih sering menjadi problem pemerintahan desa (pemdes). Pemerintah pusat dinilai tidak melihat kondisi desa, dan desa kurang diberi kewenangan. Berbagai permasalahan dana desa agar regulasi yang problematis dari peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri, hingga peraturan bupati harus dikonsolidasi dengan cepat. Jangan sampai regulasi bawah mendistorsi regulasi di atasnya.

Terdapat peluang sekaligus tantangan dalam pemanfaatan dana desa, yaitu strategi pendirian BUM Desa dan penguatan lembaga desa serta keseimbangan antara pembangunan infrastruktur dan manusia. Selain itu, kesulitan dalam membuat laporan pengelolaan dana desa menjadi tantangan berikutnya. Kompleknya peraturan penggunaan keuangan desa secara khusus terkait dana desa dianggap sebagai penyebab munculnya banyak sekali persoalan terkait hukum. Minimnya pemahaman aparatur desa yang disebabkan minimnya literasi hukum terkait praktik akuntabilitas pengelolaan keuangan desa, serta pengabaian aspek legalitas yang dilakukan aparatur desa secara sengaja juga menjadi pencetus timbulnya permasalahan terkait hukum. Permasalahan ini menjadi semacam benang kusut yang sulit untuk diuraikan jika tidak adanya intervensi dengan berbagai macam cara termasuk didalamnya adalah optimalisasi kemampuan aparatur desa, pembentukan wahana komunikasi desa, penguatan pengawasan dan pendampingan desa serta peningkatan kesejahteraan aparatur desa. Tantangan pengelolaan dana desa harus segera dimediasi dengan menjalankan evaluasi menyeluruh melalui pendekatan yang holistik sebagai keharusan dalam pengelolaan dana desa untuk pencegahan tindak pidana korupsi yang mungkin saja menjalar ke pelosok-pelosok desa.

Pendampingan dan pembinaan sangat diperlukan dalam mengawal pengelolaan dana desa agar capaian yang ditargetkan lebih optimal. Fokus perhatian utama saat ini dalam optimalisasi dana desa adalah peningkatan kapasitas aparatur desa dalam mengelola dana desa berbasis IT. Harapan dari aktivitas pengelolaan dana desa berbasis teknologi informasi ini adalah besarnya potensi untuk menekan munculnya korupsi, tanpa mengesampingkan proses pengawasan yang juga harus optimal karena dana desa diserap sampai pada level masyarakat yang paling bawah.

Penggunaan dana desa umumnya untuk implementasi pemerintahan desa, pembangunan desa, pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa. Prioritas utama dari keseluruhan aktivitas ini

Page 112: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI98

adalah kegiatan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Jika pemberdayaan dipahami sebagai upaya peningkatan pembangunan, maka aktivitas pemberdayaan masyarakat akan lebih bervariasi dan dapat melingkupi berbagai kegiatan yang telah dimasukkan dalam bidang pembangunan. Dana desa tidak hanya akan dipahami sebagai bantuan/hibah dari pemerintah pusat tetapi juga sebagai stimulan pembangunan yang menuntut partisipasi dan swadaya masyarakat.

Sebagai stimulan pembangunan yang didasarkan peraturan perundang-undangan terkait sumber dan pengelolaan dana tersebut, desa memiliki kewajiban melaksanakan proses akuntabilitas dan transparansi publik, dalam hal ini adalah masyarakat desa dengan penyelenggaran akuntansi desa. Dikaitkan dengan aktivitas ini, aparatur desa wajib menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP yang digunakan yang selaras dengan kebijakan akuntansi desa yang tertuang dalam Permendagri nomor 64 tahun 2013, sebagai perwujudan akuntabilitas dan transparasi pengelolaan keuangan kepada pihak internal pemerintah, dan juga kepada masyarakat secara luas.

Asas akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa yang didalamnya juga tertuang tentang akuntabilitas pengelolaan keuangan desa berangkat dari landasan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan hak dan kewajiban desa baik itu berupa pengelolaan keuangan dan aset desa wajib dikelola dengan transparan dan bertangungjawab. Berlakunya UU No. 6 Tahun 2014 sebagai upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan mengenai status dan kedudukan desa dalam sistem ketatanegaraan nasional. Regulasi ini memberikan wewenang pada desa untuk memprakarsai pembangunan dan mengeksplorasi potensi desa dengan mendorong pemerintahan desa yang professional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan kegiatan desa. Di samping itu, peraturan ini juga bertujuan untuk meningkatkan pelayanan Pemerintah Desa terhadap masyarakat dan menjadikan desa sebagai pusat pembangunan. Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 membawa konsekuensi mengenai perimbangan dana yang diberikan kepada desa sebagai modal untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan termasuk tentang pengelolaan keuangan desa.

Revisi Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang sebelumnya diatur dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014, mengacu kepada perubahan asas pengelolaan keuangan desa, struktur pemegang kekuasaan pengelola keuangan desa, tugas perbendaharaan desa, dan klasifikasi belanja desa. Permasalahan Dana Desa masih banyak terjadi di lapangan misalnya ketidakjelasan aturan yang menjadi acuan dalam menyusun laporan keuangan sehingga menyebabkan tugas dari pengelola keuangan desa menjadi lebih kompleks.

Page 113: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 99

Penerapan gagasan tentang penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa memerlukan sinergitas dari berbagai pemangku kepentingan antara lain Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, dan peran serta masyarakat secara aktif. KSAP merupakan komite yang bertugas untuk menyusun draft Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintah sangat melakukan identifikasi permasalahan yang dihadapi desa. Proses identifikasi ini diharapkan menjadi landasan agar akuntabilitas pengelolaan keuangan desa semakin berdampak kepada pembangunan desa secara umum dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa secara khusus.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga negara yang melakukan investigasi pada pemanfaatan dan pengelolaan dana pemerintah. Proses audit yang dilakukan BPK terhadap Laporan Keuangan Desa bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas pemanfaatan Dana Desa sehingga alokasi Dana Desa dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Pemerintah sekaligus didalamnya pemerintah desa merupakan sasaran dari penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa. Pemerintah merupakan regulator yang mengeluarkan kebijakan mengenai dana desa dapat mengindentifikasi mengenai tujuan pembuatan kebijakan dana desa. Sementara itu, pemerintah desa dapat mengungkapkan apa yang menjadi permasalahan utama dalam proses akuntansi dana desa sehingga masalah-masalah tersebut menjadi pertimbangan utama dalam proses penyusunan standar. Di sisi lain, KSAP juga membutuhkan pertimbangan dari akademisi mengenai penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa. Hasil riset yang dilakukan oleh para akademisi akan semakin memperkuat kerangka penyusunan standar akuntansi yang lebih baik dan mudah untuk diterapkan di desa mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh desa.

Proses penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa oleh KSAP sama halnya dengan penyusunan standar akuntansi yang lain, dimulai dari proses identifikasi permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, melakukan riset terbatas, proses penulisan standar, pembahasan standar, penyampaian draft awal sampai pada proses finalisasi menjadi Standar Akuntansi Dana Desa. Setelah Standar Akuntansi Dana Desa disahkan, langkah selanjutnya adalah melakukan edukasi standar ini pada desa-desa yang ada di Indonesia. Untuk mengefektifkan proses sosialisasi, sebaiknya proses sosialisasi ini dilaksanakan secara kolektif di tingkat kecamatan serta adanya pendampingan dan pemantauan pada implementasi Standar Akuntansi Dana Desa setidaknya pada tahun pertama implementasi. Dalam proses implementasi ini akan diadakan evaluasi sebagai timbal balik atas penyusunan standar. Evaluasi dilakukan oleh KSAP untuk mencatat hal-hal yang belum sempurna dalam standar sehingga standar dapat menjadi pedoman berbasis prinsip yang sempurna bagi pemerintah desa.

Page 114: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI100

Implementasi Standar Akuntansi Dana Desa akan menghasilkan Laporan Keuangan Desa yang terstruktur dan jelas, sehingga pemangku kepentingan dapat mengambil keputusan menggunakan informasi keuangan yang tersaji dalam laporan keuangan. Implementasi standar juga dapat meningkatkan kinerja keuangan desa. Hal ini dilakukan untuk menarik minat investor agar bersedia menanamkan dananya pada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan demikian, kesejahteraan masyarakat semakin meningkat dan pembangunan dapat berjalan sebagaimana diharapkan.

Masyarakat juga sangat berperan dalam implementasi Standar Akuntansi Dana Desa. Agar pengelolaan dana desa semakin akuntabel, pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat desa, camat, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan pemangku kepentingan desa lainnya sangat diperlukan. Sanksi kepada pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana yang telah diterapkan oleh Standar Akuntansi Dana Desa dapat diberikan dengan harapan meminimalisasi terjadinya pelanggaran dalam pengelolaan Dana Desa.

Sebagaimana instansi pemerintah yang lain, keuangan desa juga menjadi sasaran investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pada proses audit ini, BPK akan menyelidiki bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan dana desa yang dilakukan oleh desa yang bersangkutan melalui catatan akuntansi dan laporan keuangan yang dipublikasikan oleh desa. Pada akhirnya, BPK akan mengeluarkan opini audit yang dapat berupa Wajar Tanpa Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian, Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan, Tidak Wajar, dan Tidak Menyatakan Pendapat. Opini ini akan mencerminkan apakah setiap proses dalam tata kelola keuangan desa dilaporkan dengan baik dalam pelaporan kegiatan pemerintah desa. Dalam tahap ini, aspek transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa menjadi hal yang sangat dipertimbangkan.

Mengingat pentingnya Standar Akuntansi Dana Desa dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, penyusunan Standar Akuntansi Dana Desa sebaiknya dijadikan prioritas utama sebagai tindak lanjut atas kebijakan dana desa yang diputuskan oleh pemerintah. Keterlibatan praktisi, akademisi, dan lembaga terkait lainnya juga sangat diperlukan dalam penyusunan hingga tahapan implementasi standar. Dengan adanya Standar Akuntansi Dana Desa, pengelolaan dana desa akan semakin akuntabel dan transparan sehingga dana desa dapat dipergunakan sebagaimana mestinya untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kesenjangan, dan mengentaskan kemiskinan yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Standar akuntansi memang tidak dapat memberikan jaminan penggunaan dana desa tidak dikorupsi. Namun setidaknya, dengan sistem komputerisasi standar yang ada, akan membuat masyarakat desa dapat ikut mengawasi

Page 115: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 101

penggunaan dana desa. Kebiasaan dilakukannya penggelembungan anggaran dan proyek-proyek fiktif desa akan semakin sulit dilakukan unsur aparatur desa apabila masyarakat berperan serta aktif dengan didukung oleh standarisasi yang berbasis pada penggunaan teknologi informasi.

Perbaikan standarisasi laporan keuangan penggunaan dana desa dianggap penting untuk menutup celah korupsi. Setelah standar akuntansi dana desa rampung, selanjutnya dapat disusun sistem akuntansinya sesuai dengan standar yang telah ada. Untuk sistem akuntansi ini, payung hukumnya adalah peraturan Menteri Dalam Negeri. Sistem akuntansi ini juga akan disesuaikan dengan Sistem Keuangan Desa yang telah ada milik Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Penyesuaian juga harus mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. Melalui perbaikan sistem akuntansi ini diharapkan akan ada sistem akuntansi milik negara yang tunggal, bukan milik instansi per instansi. Sistem ini akan diwajibkan penggunaannya di desa-desa dalam hal pelaporan realisasi penggunaan dana desa. Dengan standar dan sistem akuntansi dana desa itu, diharapkan dapat meminimalisasi potensi korupsi dalam penggunaan dana desa. Masyarakat juga bisa turut mengawasi penggunaannya karena laporan keuangan juga harus disampaikan ke masyarakat sekitar. Membuat sistem akuntansi yang sederhana agar tidak menyulitkan bagi aparatur desa. Setidaknya, sistem ini dapat memotret jumlah dana yang diperoleh dan realisasi penggunaannya. Penerimaan dana desa kan bukan hanya dari pemerintah pusat, ada tujuh sumber penerimaan dana, ini kan harus dicatat semuanya, nah pencatatan itu akan dilakukan dalam sistem akuntansi ini.

Langkah meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa secara spesifik diantaranya dilakukan dengan: • Penguatan peraturan daerah serta peraturan desa tentang prosedur

dan sistem pengelolaan keuangan. Sistem dan prosedur yang baik menjadi kunci utama pengelolaan keuangan daerah yang baik. Regulasi yang lengkap serta kejelasan peraturan menjadi pembentuk sistem dan prosedur pengelolaan keuangan yang baik.

• Peningkatan kapasitas perangkat desa. Perangkat desa secara umum, maupun pengelola keuangan desa secara khusus, harus memahami konsep pencatatan akuntansi yang berterima umum. Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa yang tertuang dalam Permendesa Nomor 5 Tahun 2015, merujuk kepada program prioritas desa yang salah satunya adalah membangun kapasitas sumber daya manusia. Membangun kapasitas sumber daya aparatur desa khusus ditujukan agar kualitas tata kelola keuangan desa dapat ditingkatkan, sehingga pengelolaan keuangan desa tepat sasaran dan permasalahan hukum dalam pertanggungjawabannya dapat diminimalisir. Pemahaman perangkat desa terhadap prosedur bagaimana ADD dan DD dicatat

Page 116: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI102

dan dilaporkan serta akun apa saja yang terindikasi menjadi kunci pengelolaan keuangan desa yang baik.

• Menjaga komitmen birokrasi dan politik. Minimalisir konflik pemangku kepentingan dalam tata kelola keuangan desa dilakukan dengan memperkuat kesepahaman antar lini tugas dan fungsi dalam lingkup desa. Sejak proses pencatatan hingga pertanggungjawaban keuangan desa harus dilaksanakan secara optimal dengan memperkuat komitmen pengelola keuangan desa dan aparatur desa lainnya.

Langkah strategis untuk memperkuat akuntabilitas pengelolaan keuangan desa secara umum, maupun pengelolaan dana desa secara khusus tidak juga serta merta menjadi jaminan tanpa adanya sinergi pemangku kepentingan dalam lingkup desa baik itu dari pusat maupun pada tataran masyarakat desa itu sendiri. Tidak ada jaminan bahwa upaya peningkatan kualitas akuntabilitas pelaporan dana desa serta atribut lainnya menjadi satu-satunya indikator kemajuan suatu desa dalam hal alokasi keuangan dan anggaran, tidak mungkin juga sepenuhnya bisa menutup mata terhadap potensi kecurangan seperti korupsi dan penyelewengan oleh aparatur desa. Oleh karena itu, sesuai dengan regulasi desentralisasi keuangan daerah yang berlaku, perlu dirancang secara menyeluruh pola pengendalian terhadap praktik pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel dengan sistem pencatatan berbasis akrual.

4. PENUTUPImplementasi sistem akuntansi tidak hanya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, lebih daripada itu, desa merupakan bagian dalam proses menjalankan peraturan perundang-undangan terkait pengelolaan keuangan desa hendaknya menjaga konsistensi karena ketepatan dan kecermatan fungsi pengelolaan dan pelaporan keuangan desa menjadi dasar pengawasan dan pemeriksaan secara khusus pada sisi akuntabilitas pengelolaan dan pelaporan keuangan desa, sehingga bermuara kepada pengelolaan dana desa yang tepat sasaran. Pada akhirnya pencapaian akuntabilitas pengelolaan keuangan desa kembali kepada sistem yang baik, aparatur desa yang memiliki nilai-nilai yang baik serta keterlibatan semua pihak berdasarkan porsi yang tepat, sehingga arah dan kebijakan pemberdayaan desa melalui pengucuran dana desa tidak kembali menjadi pertanyaan besar terkait apa yang ingin dicapai melalui kebijakan tersebut. Karena luaran dari setiap kebijakan menjadi parameter akuntabilitas dalam proses tata kelolanya.

Page 117: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 103

5. DAFTAR PUSTAKAAndi, dkk.2016. “Akuntansi Dalam Perspektif Pengelolaan Keuangan

Desa”

Andi Munawir. 2002. Analisis Laporan Keuangan. Liberty: Yogyakarta.

Astuti, T. P., & Yulianto. (2016). Good Governance Pengelolaan Keuangan Desa Menyongsong Berlakunya Undang-Undang No . 6 Tahun 2014, 1(6), 1–14.

Bastian, Indra. 2015. Akuntansi Untuk Kecamatan dan Desa. Erlangga: Jakarta.

Buku Pintar Dana Desa. (2017).

Halim, Abdul. 2013.Teori, Konsep, dan Aplikasi Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat

Husna, S., & Abdullah, S. (2017). Kesiapan Aparatur Desa Dalam Pelaksanaan Pengelolaan

Kasmir. 2014. Analisis Laporan Keuangan (edisi 1). PT Raja Grafarindo Persada: Jakarta. 61

Mahsun, M., Sulistyowati, F., & Purwanugraha, H. A. (2006). Akuntansi Sektor Publik (1 ed.). Yogyakarta: BPFE.

Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi Offset.

Mardiasmo. (2016). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (3 ed.). Yogyakarta: Sekolah TInggi Ilmu Manajemen YKPN.

Nurcholis, Hanif. 2011. Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Jakarta : Erlangga

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 64 tahun 2013 tentang Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Pada Pemerintah Daerah.(2013).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa.(2014).

Page 118: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI104

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.(2014).

Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. (2018).

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. (2015)

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa. (2015)

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun Anggaran 2016. (2015).

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 217/PMK.05/2015 Tentang Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual. (2015).

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 50/PMK.07/2017 Tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa. (2017).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. (2010).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (2014).

Rahardjo Adisasmita, 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif (3 ed.). Bandung: Alfabeta.

Sumarna, Ayi. 2015. Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Desa. https://www.keuangandesa.info/2015/11/PelaksanaanPengelolaan KeuanganDesa.html diakses 15 Juni 2020.

Page 119: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Fitria Husnatarina 105

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Widjaja, HAW. 2003. Pemerintahan Desa dan Administrasi. Jakarta: Rajawali Press.

Yuliansyah, Rusmianto. 2016. Akuntansi Desa. Jakarta: Salemba Empat

Page 120: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI106

Page 121: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Sri Langgeng Ratnasari 107

PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Sri Langgeng RatnasariProgram Pascasarjana, Universitas Riau Kepulauan

[email protected]

BAB

IX1. PENDAHULUANKebijakan pembangunan desa pada Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2014), dan lebih teknis pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.114 Tahun 2014 (Menteri dalam Negeri, 2014). Secara umum, tujuan pembangunan desa diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi desa yang mandiri, makmur dan sejahtera. Salah satu wilayah di Indonesia yang berada di gugus pulau dan wilayah perbatasan adalah Provinsi Kepulauan Riau yang 97 persen berupa laut dan hanya 3 persen yang daratan, memiliki 275 desa, seperti data yang tercantum pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Data Desa Di Provinsi Kepulauan Riau

No Kabupaten/Kota Luas (KM2) Kecamatan Kelurahan Desa1 Kab. Bintan 1.318.21 10 15 36

2 Kab. Karimun 912.75 12 29 42

3 Kab. Kepulauan Anambas 590.14 7 2 52

4 Kab. Lingga 2.266.77 10 7 75

5 Kab. Natuna 2.009.04 15 6 70

6 Kota Batam 960.25 12 64 -

7 Kota Tanjungpinang 144.56 4 18 -

Total 8.201.72 70 141 275Sumber: BPS Provinsi Kepri, 2020

Beberapa permasalahan pengelolaan desa di gugus pulau dan perbatasan adalah:1. Lokasi tersebar di ribuan pulau, 1 desa terdiri dari beberapa pulau2. Keterbatasan sarana dan prasarana3. Transportasi dan konektivitas berbiaya tinggi dibandingkan dengan

wilayah darat

Page 122: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI108

4. Sumber daya manusia, khususnya Kades mayoritas berpendidikan SMA

5. Terkendala pengelolaan administrasi kependudukan karena geografis6. Penyediaan listrik, air, dan kebutuhan pokok berbiaya tinggi7. Penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan masih sangat terbatas8. Layanan administrasi pertanahan, retribusi, perbankan, dan

telekomunikasi9. Terjadinya kasus stunting di Kabupaten Lingga

2. PENGELOLAAN DESA DI GUGUS PULAU DAN PERBATASANBeberapa kendala tersebut, berdasarkan hasil EPD Tahun 2019 dikarenakan masih banyak penduduk yang tinggal di pesisir Kepulauan Riau yang sulit dijangkau akses transportasi untuk memiliki dokumen kependudukan.

Sumber: Olahan Data Primer, 2019

Gambar 2.1 Suasana Laut Salah Satu Wilayah Kabupaten Kep. Anambas

Dengan tidak memiliki dokumen kependudukan, maka pelayanan akses memperoleh pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan menjadi terabaikan. Meskipun sebagian yang tidak memiliki dokumen dan tidak tercatat dalam data kependudukan di Provinsi Kepri, mereka ini adalah masuk kategori komunitas masyarakat adat terpencil atau yang biasa disebut oleh masyarakat Kepulauan Riau sebagai orang laut atau suku laut atau suku mantang. Mereka hidup diatas perahu dan selalu berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan jika menetap mereka tinggal disebuah pulau kecil yang berisi komunitas mereka saja. Selain tidak mendapatkan akses pendidikan karena tempat tinggal mereka yang terasing, juga akses kesehatan yang terbatas karena masih percaya

Page 123: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Sri Langgeng Ratnasari 109

dengan dukun kampung, juga secara religus bimbingan keagamaan mereka meskipun sudah memiliki agama tapi tidak memahami bagaimana beribadah yang sebenarnya. Komunitas penduduk seperti ini tersebar di wilayah Kabupaten Lingga dan Kabupaten Bintan serta di Kabupaten Karimun.

Di Kabupaten/Kota yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau harus disediakan tenaga fungsional pelayanan administrasi kependudukan yang bekerja secara mobile, dengan dilengkapi fasilitas pendukung baik operasional serta keselamatan. Hal tersebut diperlukan mengingat wilayah kerja yang sangat bergantung dengan kondisi alam juga harus menjadi perhatian akan aspek keselamatan daripada petugas. Seperti pulau-pulau kecil yang berada di wilayah terluar, terdepan, dan terisolir karena akses transportasi umum yang tidak tersedia. Seperti wilayah Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas. Pulau-pulau kecil tersebut juga sebagian didiami oleh penduduk yang terpisah dengan penduduk lainnya yang juga memiliki hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan oleh pemerintah. Atau kebijakan untuk merelokasikan penduduk-penduduk yang ada dipulau-pulau terluar ke pulau besar dengan menyediakan fasilitas tempat tinggal yang layak sehingga juga mempermudah pemerintah didalam memberikan pelayanan kepada mereka.

Peningkatan jumlah penduduk lansia memerlukan perhatian dan perlakuan khusus dalam pelaksanaan pembangunan. Terdapat dua kategori penduduk lansia, yaitu lansia potensial maupun lansia tidak potensial. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 tahun 2004 dijelaskan bahwa lansia potensial adalah lansia yang masih mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan biasanya tidak bergantung kepada orang lain. Sementara itu, lansia tidak potensial adalah lansia yang sudah tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan biasanya bergantung kepada orang lain. Penduduk lansia tidak potensial inilah yang dapat menjadi beban pembangunan. Oleh karena itu, berbagai kondisi lansia tersebut perlu dikaji sehingga program pembangunan yang dijalankan mampu melindungi dan memberdayakan penduduk lansia. (BPS Kepri : 2019). Penduduk lansia di Kepulauan Riau berdasarkan persentase menurut data BPS tahun 2018 adalah 4,57% dari total jumlah penduduk Provinsi Kepri berdasarkan proyeksi BPS Tahun 2018 yang berjumlah 2.136.521 jiwa. Dari jumlah lansia tersebut 7,46% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah lansia, sedangkan diperkotaan 4,09% lansia.

Page 124: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI110

Sumber: Olahan Data Primer, 2019

Gambar 2.2 Lansia di Pulau Jemaja Kabupaten Kepulauan Anambas

Dengan demikian maka diperlukan data yang fix tentang keberadaan lansia di pedesaan, yang saat ini banyak program-program pemerintah terutama melalui Dana Desa yang dilaksanakan di desa dan mensyaratkan partisipasi masyarakat desa. Jika masyarakat desa yang tinggal di desa sebagian besar adalah lansia, sementara mereka yang usia produktif meskipun terdata tinggal di desa tapi meninggalkan desa dan mencari kerja ataupun bekerja di perkataan seperti di Tanjungpinang dan Batam, maka dapat dipastikan bahwa program pemberdayaan tidak akan berlangsung, karena desa kekurangan sumber daya manusia yang produktif. Hal ini dapat diamati oleh tim EPD terutama terjadi di Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Anambas. Penduduk usia produktif, meninggalkan desa selain untuk melanjutkan pendidikan di kota, juga bermaksud mencari pekerjaan di kota. Mereka yang tidak meninggalkan desa bekerja baik sebagai Pegawai Negeri Sipil ataupun sebagai Pegawai honorer di Pemerintah Kabupaten ataupun di Pemerintah Desa sampai dengan Pemerintah Kecamatan. Sedangkan mereka yang masuk usia lanjut memilih tinggal didesa menjalani pekerjaan baik sebagai petani ataupun sebagai nelayan.

Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Provinsi Kepulauan Riau pada bulan Agustus 2019 berjumlah 1.005.161 orang, dengan komposisi yang bekerja sebanyak 935.682 yang sebagian besar bekerja pada sektor industri pengolahan (23,80%) dan yang pengangguran 69.479. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) paling besar adalah mereka yang memiliki pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas, dengan komposisi yang lulus dari SMA 9,07% dan yang lulus dari SMK 9,65%. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Kepulauan Riau adalah 6,91%

Page 125: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Sri Langgeng Ratnasari 111

lebih tinggi dibandingkan dengan TPT secara nasional yaitu 5,28% dan yang tertinggi menyumbangkan TPT ada di Kabupaten Bintan 8,01% serta di Kota Batam 7,72%. Tingginya TPT di Bintan dan Batam, dikarenakan merupakan daerah yang memiliki kawasan industri. Dimana di kawasan industri yang merupakan pusat industri pengolahan termasuk didalamnya adalah industri galangan kapal serta pendukungnya berada di Bintan dan Batam, dan sama-sama mengalami penurunan permintaan dan terpaksa harus melakukan pengurangan jumlah pekerja (PHK).

Pekerja di Kepulauan Riau sebagian besar bekerja di sektor formal, yaitu yang bekerja sebagai buruh/karyawan atau berusaha dibantu buruh tetap dengan jumlah sebanyak 647.670 (69,22%) berbanding dengan yang bekerja pada sektor informal yaitu berjumlah 288.012 (30,78%). Dengan demikian maka mereka yang bekerja di sektor formal rentan menjadi pengangguran dalam kondisi ekonomi global yang masih belum stabil seperti saat ini. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Batam yang terutama yang bergerak dalam industri pengolahan, dikarenakan tingkat permintaan yang menurun mulai dari tahun 2016 sampai dengan saat ini belum menunjukkan peningkatan penerimaan kembali pekerja di sektor-sektor tersebut. Hanya saja mereka yang mengalami PHK di perkataan seperti di Batam tidak sepenuhnya menjadi pengangguran, sebab mereka tetap berusaha untuk memperoleh pendapatan dengan melakukan pekerjaan lainnya untuk tetap menutupi kebutuhan hidupnya. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar pekerja yang bekerja disektor formal tersebut memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, yaitu rata-rata berpendidikan SLTA baik itu lulusan SMA ataupun lulusan SMK. Dengan demikian mereka memiliki suatu motivasi yang kuat untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga dengan menjalani pekerjaan di sektor informal, seperti menjadi pengemudi angkutan online dengan memanfaatkan aset yang dimilikinya dalam bentuk kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Page 126: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI112

126

pendidikan yang lebih baik, yaitu rata-rata berpendidikan SLTA baik itu lulusan SMA ataupun lulusan SMK. Dengan demikian mereka memiliki suatu motivasi yang kuat untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya beserta keluarga dengan menjalani pekerjaan di sektor informal, seperti menjadi pengemudi angkutan online dengan memanfaatkan aset yang dimilikinya dalam bentuk kendaraan baik roda dua maupun roda empat.

Gambar 2.3 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019 Provinsi Kepulauan RiauSumber: Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation

Kementerian Sosial RI, 2019

Kasus stunting yang terjadi di Kabupaten Lingga sebagaimana data yang ditampilkan dalam tabel dibawah ini menunjukkan bahwa kasus stunting bukan saja disebabkan karena persoalan kemampuan ekonomi, ataupun persoalan kemiskinan saja. Dari hasil kajian di lapangan, diperoleh informasi bahwa beberapa kasus stunting yang dialami oleh balita yang berasal dari keluarga yang masuk dalam kategori punya kemampuan ekonomi.

Persoalan yang ditemukan sebagaimana informasi dari bidan yang bertugas di desa menyebutkan bahwa masyarakat masih percaya terhadap mitos ataupun kepercayaan yang diperoleh dari orang tua

9.724

13.905

2.531 54.562

10.321

8.575 4.932

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019Provinsi Kepulauan Riau

Kota Batam Kabupaten Karimun

Kota Tanjungpinang Kabupaten Bintan

Kabupaten Natuna Kabupaten Lingga

Kabupaten Kepulauan Anambas

Sumber: Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial – Next Generation Kementerian Sosial RI, 2019

Gambar 2.3 Data Terpadu Kesejahteraan Sosial 2019 Provinsi Kepulauan Riau

Kasus stunting yang terjadi di Kabupaten Lingga sebagaimana data yang ditampilkan dalam tabel dibawah ini menunjukkan bahwa kasus stunting bukan saja disebabkan karena persoalan kemampuan ekonomi, ataupun persoalan kemiskinan saja. Dari hasil kajian di lapangan, diperoleh informasi bahwa beberapa kasus stunting yang dialami oleh balita yang berasal dari keluarga yang masuk dalam kategori punya kemampuan ekonomi.

Persoalan yang ditemukan sebagaimana informasi dari bidan yang bertugas di desa menyebutkan bahwa masyarakat masih percaya terhadap mitos ataupun kepercayaan yang diperoleh dari orang tua ataupun dukun kampung yang masih dipercayai pendapatnya. Sehingga pada saat masa kehamilan, ibu hamil dan bayinya tidak memperoleh asupan gizi yang seharusnya, dikarenakan kepercayaan dan pemahaman yang rendah atas manfaat vitamin yang diberikan pada masa kehamilan. Bahkan mereka mengkonsumsi sesuatu makanan yang tidak punya nilai gizi sebagai asupan yang semestinya diterima oleh bayi di dalam kandungan. Hasilnya setelah melahirkan dan mencapai usia tertentu terlihat anak mereka mengalami stunting.

Page 127: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Sri Langgeng Ratnasari 113

Tabel 2.2 Jumlah Balita Stunting Berdasarkan Puskesmas di Kabupaten Lingga

NO PUSKESMAS DESA BALITA STUNTING

1 PENUBA PENUBA 102 PANCUR BUKIT HARAPAN 3

TELUK 1DUARA 1

3 TAJUR BIRU TAJUR BIRU 4PL.BATANG 4TEMIANG 2PASIRPANJANG 1

4 SENAYANG REJAI 55 RAYA BAKONG 4

35JUMLAHSumber: BKKBN Provinsi Kepri, 2019

Untuk kasus stunting yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Penuba dengan jumlah kasus yang cukup banyak yaitu 10 kasus, dimana kasus stunting terjadi pada anak di komunitas masyarakat orang laut/suku asli yang mendiami Pulau Lipan. Komunitas ini juga masih mempercayai peran dukun kampung yang merupakan bagian dari komunitas mereka sendiri. Pandangan dari dukun kampung ataupun orang-orang tua yang masih memegang mitos perlu juga mendapatkan perhatian dan pendekatan yang lebih halus lagi agar terjadi perubahan perilaku didalam menjaga kandungan saat hamil. Cara mereka menjaga kehamilan dan juga saat sudah lahir dengan asupan gizi yang tidak sesuai untuk usia balita menjadi salah satu penyebab terjadinya stunting. Upaya dari pemerintah desa untuk mengatasi masalah stunting adalah dengan mengalokasikan dana desa untuk memberikan makanan tambahan dan program-program bagi memenuhi kecukupan gizi bagi anak usia balita. Hanya saja dalam kasus yang terjadi di Kabupaten Lingga, tidak semua anak yang mengalami stunting dikarenakan kemampuan ekonomi orang tua yang lemah, melainkan diakibatkan karena salah dalam memberikan asupan gizi yang sesuai.

3. PENUTUPBerdasarkan hasil evaluasi tematik yang membahas mengenai “Pengelolaan Data Kependudukan Dalam Rangka Untuk Pengentasan Kemiskinan” menunjukkan bahwa diperlukan sebuah integrasi data yang mencakup informasi yang saling berkaitan dan berimplikasi dari satu

Page 128: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI114

data kepada data lainnya yang setelah diolah akan menghasilkan suatu informasi mengenai keadaan pengentasan kemiskinan. Kebijakan satu data sebagaimana Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2019 hendaknya menjadi momentum untuk masing-masing institusi pemerintahan mulai mengintegrasikan data dalam sebuah sistem yang akan memberikan sebuah informasi yang diperlukan di dalam pengentasan kemiskinan.

Pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengintervensi melalui program-program yang terpadu dan terukur yang akan tergambar dari informasi dalam sistem pendataan kependudukan yang terpadu pula. Perbedaan mekanisme dalam penentuan jumlah penduduk tidak lagi menjadi persoalan yang berarti di dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan. Masyarakat yang belum terjangkau dalam pendataan sistem administrasi kependudukan menjadi fokus kedepan untuk masuk dalam sistem pendataan administrasi Kependudukan Terpadu dengan basis single identity number (NIK). Dengan demikian sistem pengolahan data kependudukan akan dapat memberikan informasi mengenai status kependudukan yang tersebar di Provinsi Kepulauan Riau yang dilengkapi dengan Geographic Information System yang dapat membaca keberadaan penduduk yang masuk dalam kategori komunitas masyarakat adat terpencil ataupun masyarakat yang belum tersentuh administrasi data kependudukan karena status asalnya yang tidak jelas harus dapat diakomodir oleh daerah penerima. Tingginya mobilitas masuk dan keluar penduduk di Batam juga harus terakomodir dalam sistem pendataan kependudukan yang terintegrasi ini, sehingga angka jumlah penduduk dan keberadaan penduduk akan dapat menjadi bahan pengambilan kebijakan dan keputusan untuk akomodasi dalam alokasi anggaran daerah (APBD).

Masalah kemiskinan tidak saja disebabkan oleh keterbatasan atau ketidakberdayaan penduduk untuk dapat mengakses sumber-sumber ekonomi, tapi juga dapat disebabkan karena tidak terakomodir dalam sistem pendataan kependudukan terpadu. Keterlambatan warga negara terakomodir dalam pendataan kependudukan, akan menyebabkan keterlambatan dalam akomodasi penerimaan program-program pemerintah. Hal tersebut dapat terjadi karena kondisi geografis Kepulauan Riau yang terdiri dari pulau-pulau dan penyebaran penduduk yang tidak merata. Keterlambatan dalam mengakses informasi kependudukan akan juga menyebabkan keterlambatan dalam penanganan masalah-masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah Provinsi Kepulauan Riau.

Page 129: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Sri Langgeng Ratnasari 115

4. DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau, 2019. Data dan informasi

kemiskinan provinsi Kepulauan Riau BPK Perwakilan Provinsi Kepri https://tanjungpinang.bpk.go.id/?p=7159

BPS Provinsi Kepri, 2019. Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau 2018.

BPS Provinsi Kepri, Kepualuan Riau Dalam Angka 2019.

Kementerian Keuangan 2019. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-tent/uploads/2018/10/Rincian-Alokasi-DAK-Fisik-TA-2019-Up-load-Final-Fix-31-Okt.pdfhttps://data.go.id/dataset/tingkat-parti-sipasi-angkatan-kerja-tpak-menurut-provinsi

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Riau, LAPORAN PEREKONOMIAN Provinsi Kepulauan Riau Agustus 2019

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2017 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2018

Pembangunan manusia berbasis gender, 2018. Kerjasama KEMENTERI-AN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK dan BADAN PUSAT STATISTIK.

Page 130: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI116

Page 131: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 132: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian
Page 133: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rudi Purwono 117

MENATAP MASA DEPAN MENJADI DESA MANDIRI DAN BERKUALITAS

DI JAWA TIMUR

Rudi PurwonoFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

[email protected]

BAB

X1. PENDAHULUANDana transfer ke daerah merupakan salah satu bentuk pembagian kewenangan pada daerah yang tujuannya adalah untuk dapat melakukan pembangunan ekonomi menurut kearifan lokal di daerah sesuai dengan karakteristik daerahnya masing-masing. Desentralisasi fiskal, salah satunya bertujuan untuk dapat menyebarkan titik-titik pertumbuhan agar tidak terkonsentrasi di pusat saja melainkan tersebar di seluruh daerah di penjuru Indonesia. Dengan adanya transfer dana ke desa sejak tahun 2015, pemerintah bermaksud untuk menyebar titik pertumbuhan melalui pembangunan di desa, bukan hanya di daerah perkotaan.

Instrumen utama dari penyebaran titik pertumbuhan tersebut adalah desentralisasi fiskal. Sumber daya pemerintah dalam bentuk APBN dan kewenangan didistribusikan ke daerah dan desa melalui kebijakan dana transfer ke daerah yakni dana perimbangan, dana otonomi khusus dan dana insentif daerah. Kemudian untuk desa, terdapat Dana Desa. Masing-masing dirancang untuk tujuan tertentu, yang intinya adalah menciptakan titik pertumbuhan ekonomi baru melalui pembangunan, memberikan stimulus yang bersifat lokal kedaerahan untuk mampu mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keseluruhan dana-dana tersebut dikelola oleh pemerintah daerah dan desa, yang diawasi oleh pemerintah pusat, aparat penegak hukum, serta juga masyarakat.

Sebagai salah satu inovasi pemerintah, dana desa bertujuan untuk mengatasi permasalahan pembangunan langsung ke tempat dimana permasalahan tersebut terjadi. Menurut Van de Walle & Nead (1995), salah satu tujuan utama dari kebijakan pemerintah di negara yang sedang berkembang industrialisasinya yakni adanya redistribusi pendapatan, dari daerah yang memiliki pendapatan tinggi ke daerah berpendapatan yang lebih rendah, juga redistribusi peluang yang sama (antara masyarakat di daerah industri ke masyarakat di daerah yang bukan kawasan industri) dalam mengakses aspek kesehatan, pendidikan, dan juga pasar. Program pemerintah dalam hal pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, penciptaan lapangan kerja, hingga program pengembangan kemampuan anak-anak

Page 134: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI118

(childcare) dan orang tua, harus terdistribusi dari pusat ke daerah, dari kawasan yang memiliki sumber daya yang melimpah karena dekat dengan titik pertumbuhan ke kawasan yang lebih terbelakang yang jauh dari titik pertumbuhan.

Adanya Dana Desa memberi dampak pada kualitas kesejahteraan manusia dan penurunan persentase kemiskinan di Indonesia. Hal itu dapat dilihat pada perbandingan perubahan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) serta penurunan persentase kemiskinan dalam tiga tahun terakhir. Dana Desa memberikan dampak bagi pembangunan desa. Rasio Gini di pedesaan secara nasional menurun dari 0,34 di tahun 2014 ke 0,32 di tahun 2017. Artinya ada kemajuan pencapaian pengurangan ketimpangan di desa. Kemudian persentase penduduk miskin nasional di desa menurun, dengan baseline tahun 2014 sebesar 14,17% di tahun 2017 dapat mencapai 15,58% sedangkan kemudian di tahun 2018 (per Maret) kembali menurun menjadi 13,20%. Capaian-capaian tersebut menunjukkan bahwa Dana Desa memberikan dampak bagi pembangunan di desa, yang kemudian memiliki keterkaitan dengan peningkatan kesejahteraan di desa.

Pembahasan pada bab ini ada tiga bagian. Pertama, pembahasan tentang desa mandiri dan berkualitas. Kedua, pembahsan tentang pentingnya manajemen organisasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa. Ketiga, integrasi antar program dalam penyelenggaraan pemerintah desa.

2. DESA MANDIRI DAN BERKUALITASPenggunaan Dana Desa diutamakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, utamanya untuk peningkatan kualitas hidup, penanggulangan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang cukup besar tersebut diakomodir oleh Pemerintah Indonesia dengan meningkatkan nominal Dana Desa yang diberikan setiap tahunnya yang dapat dilihat pada Gambar 2.1. Rata-rata peningkatan jumlah Dana Desa sejak tahun 2015 hingga 2020 adalah sebesar 34,4%.

Page 135: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dr. Rudi Purwono 119

133

(Sumber: Kementerian Keuangan, 2020)

Gambar 2.1 Jumlah Dana Desa di Indonesia 2015-2020

Arah pembangunan desa terkait dengan pemanfaatan Dana Desa ditetapkan melalui Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang diperbarui setiap tahunnya. Secara umum, Dana Desa diarahkan terkait dengan :1. Sarana dan prasarana.2. Pemberdayaan masyarakat.3. Pengembangan kapasitas dan ketahanan masyarakat desa.4. Kegiatan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan

anak, serta pemberdayaan masyarakat marginal dan disabilitas.5. Pengelolaan BUMDesa, koperasi dan lembaga ekonomi masyarakat

desa lainnya.6. Kesiapsiagaan menghadapi dan penanganan bencana alam dan

kejadian luar biasa lainnya7. Kebutuhan lainnya yang ditetapkan dalam musyawarah desa.

Efektivitas pada pencapaian indikator tujuan perlu dianalisis lebih dalam jika dilihat dari penyerapan Dana Desa. Rata-rata penerimaan Dana Desa di Jawa Timur pada tahun 2019 mencapai Rp 248 miliar, jumlah tersebut meningkat pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp 252 miliar. Perkembangan sarana dan prasarana desa di Jawa Timur mengalami tren peningkatan yang cukup baik dari tahun 2005 hingga 2018. Kalkulasi menggunakan Data Potensi Desa (PODES) menunjukkan bahwa sarana

20,8

46,958,2 60

70 72

01020304050607080

2015 2016 2017 2018 2019 2020

Trili

un R

upia

h

Tahun(Sumber: Kementerian Keuangan, 2020)

Gambar 2.1 Jumlah Dana Desa di Indonesia 2015-2020

Arah pembangunan desa terkait dengan pemanfaatan Dana Desa ditetapkan melalui Keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang diperbarui setiap tahunnya. Secara umum, Dana Desa diarahkan terkait dengan :1. Sarana dan prasarana.2. Pemberdayaan masyarakat.3. Pengembangan kapasitas dan ketahanan masyarakat desa.4. Kegiatan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan dan

anak, serta pemberdayaan masyarakat marginal dan disabilitas.5. Pengelolaan BUMDesa, koperasi dan lembaga ekonomi masyarakat

desa lainnya.6. Kesiapsiagaan menghadapi dan penanganan bencana alam dan

kejadian luar biasa lainnya7. Kebutuhan lainnya yang ditetapkan dalam musyawarah desa.

Efektivitas pada pencapaian indikator tujuan perlu dianalisis lebih dalam jika dilihat dari penyerapan Dana Desa. Rata-rata penerimaan Dana Desa di Jawa Timur pada tahun 2019 mencapai Rp 248 miliar, jumlah tersebut meningkat pada tahun 2020 yaitu sebesar Rp 252 miliar. Perkembangan sarana dan prasarana desa di Jawa Timur mengalami tren peningkatan yang cukup baik dari tahun 2005 hingga 2018. Kalkulasi menggunakan Data Potensi Desa (PODES) menunjukkan bahwa sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 2,39% dengan peningkatan tertinggi terjadi pada periode 2005 ke 2008 yaitu sebesar 11,82%. Sarana lainnya seperti kesehatan yang ditunjukkan oleh keberadaan Poskesdes (Pondok Kesehatan Desa) yang mengalami

Page 136: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI120

tren serupa, dalam periode 2008-2018 Poskesdes di Jawa Timur rata-rata tumbuh sebesar 22%. Sarana kegiatan ekonomi desa tercermin dengan keberadaan pasar sebagai tempat transaksi sehari-hari warga desa. Peningkatan yang terjadi pada sarana pendidikan dan kesehatan juga diikuti dengan tumbuhnya pasar sebagai representasi sarana ekonomi. Rata-rata pertumbuhan pasar permanen atau semi permanen desa di Jawa Timur sebesar 5,2%. Pertumbuhan berbagai sarana kehidupan masyarakat desa menunjukkan konsistensi pembangunan desa di Indonesia khususnya Jawa Timur. Perlu diketahui bahwa pertumbuhan tersebut tidak mencerminkan pemerataan, sebagaimana terlihat pada Tabel 2.1, masih banyak desa yang belum memiliki sarana dan prasarana pendukung.

Tabel 2.1 Persentase Keberadaan Sarana di Desa Provinsi Jawa Timur

Fasilitas 2005 2008 2011 2014 2018Sekolah Dasar 89.26 99.81 99.42 99.48 97.59Poskesdes - 33.02 47.78 56.99 58.15Pasar - 21.77 22.16 23.16 24.6

Sumber: PODES, 2005-2018

Arah pengaruh Dana Desa terhadap pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sudah semestinya menunjukan hasil yang positif karena sarana tersebut termasuk ke dalam mandat pemanfaatan Dana Desa. Mengacu pada Tabel 2.1 dan besaran Dana Desa yang diterima oleh seluruh desa di Jawa Timur, dicari arah pengaruh yang ditimbulkan oleh Dana Desa terhadap sarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap desa-desa di seluruh kabupaten di Jawa Timur menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif antara besaran Dana Desa dengan keberadaan SD di desa. Alasan dibalik hubungan yang negatif itu adalah bahwa keberadaan SD di desa sudah sangat merata dengan tingkat keberadaan mencapai 99,48% pada tahun 2014 atau sebelum pemberian Dana Desa. Pembangunan SD tidak lagi menjadi fokus pemanfaatan Dana Desa di Jawa Timur. Sarana kesehatan yaitu Poskesdes memiliki korelasi positif dengan Dana Desa meskipun tidak terlalu besar yaitu 0,35 poin. Jumlah Poskesdes di Jawa Timur mengalami peningkatan dibandingkan pada periode sebelum Dana Desa. Terdapat penambahan 142 Poskesdes menjadi 4.601 Poskesdes pada 2017 dibandingkan dengan 2013 (4.459 Poskesdes). Dana Desa juga berkorelasi positif dengan jumlah pasar di desa dengan koefisien sebesar 0,34 poin. Secara umum Dana Desa telah dimanfaatkan dengan cukup merata dengan melibatkan aspek kesehatan dan ekonomi sebagai sasaran pembangunan.

Page 137: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dr. Rudi Purwono 121

135

mengalami peningkatan dibandingkan pada periode sebelum Dana Desa. Terdapat penambahan 142 Poskesdes menjadi 4.601 Poskesdes pada 2017 dibandingkan dengan 2013 (4.459 Poskesdes). Dana Desa juga berkorelasi positif dengan jumlah pasar di desa dengan koefisien sebesar 0,34 poin. Secara umum Dana Desa telah dimanfaatkan dengan cukup merata dengan melibatkan aspek kesehatan dan ekonomi sebagai sasaran pembangunan.

Sumber: BPS dan Kementerian Keuangan, diolah, 2019

Gambar 2.2 IPM dan Rata-rata Dana Desa Provinsi Jawa Timur 2017-2019

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tercermin melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan fokus pemanfaatan Dana Desa selanjutnya setelah pembenahan infrastruktur dilakukan. Gambar 2.2 menunjukkan rata-rata peningkatan skor IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Timur tahun 2017-2019. Dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa terdapat peningkatan kualitas pembangunan manusia yakni IPM selama tahun 2017 hingga 2019 yang terjadi di seluruh daerah yang memperoleh Dana Desa. Artinya memang Dana Desa membawa memberikan manfaat langsung di desa. Manfaat tersebut adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat desa yang ada di Jawa Timur.

211,3212,3

246,7

68,95

69,86

70,59

68,00

68,50

69,00

69,50

70,00

70,50

71,00

190

200

210

220

230

240

250

2017 2018 2019

IPM

Dana

Des

a (M

iliar

Rup

iah)

Tahun

Dana desa IPMSumber: BPS dan Kementerian Keuangan, diolah, 2019

Gambar 2.2 IPM dan Rata-rata Dana Desa Provinsi Jawa Timur 2017-2019

Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang tercermin melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan fokus pemanfaatan Dana Desa selanjutnya setelah pembenahan infrastruktur dilakukan. Gambar 2.2 menunjukkan rata-rata peningkatan skor IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Timur tahun 2017-2019. Dapat dilihat dari gambar tersebut bahwa terdapat peningkatan kualitas pembangunan manusia yakni IPM selama tahun 2017 hingga 2019 yang terjadi di seluruh daerah yang memperoleh Dana Desa. Artinya memang Dana Desa membawa memberikan manfaat langsung di desa. Manfaat tersebut adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat desa yang ada di Jawa Timur.

Efektifitas penyaluran Dana Desa tentu harus didorong agar dampaknya cukup besar, mampu memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya dan menjadi sumber pertumbuhan baru di daerah. Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.2 bahwa peningkatan IPM dalam tiga tahun tersebut dibandingkan dengan besaran Dana Desa cukup robust hasilnya. Selain itu, terdapat indikator lain yang menentukan seberapa besar peningkatan dampak adanya Dana Desa pada perubahan kondisi masyarakat (yang ditunjukan dari indikator-indikator tersebut).

Kebijakan Dana Desa adalah kebijakan yang bersifat belum final. Artinya, dalam tahap awal, di beberapa tahun pelaksanaanya harus terus dievaluasi dan evaluasi tersebut terus menjadi masukan bagi perencanaan kebijakan ini yang ideal. Beragamnya kemampuan desa dan banyaknya jumlah desa di Indonesia saja dapat menggambarkan bahwa kebijakan ini

Page 138: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI122

adalah kebijakan yang sangat kompleks. Dana yang diberikan pun cukup besar, menambah kompleksitas dari kebijakan Dana Desa ini. Pada tahap pertama, strategi dalam pelaksanaan kebijakan Dana Desa seharusnya menjadi program pengembangan kesejahteraan masyarakat desa harus mampu mengakomodasi apa saja yang sebenarnya diperlukan oleh desa. Desa sebagai komunitas terkecil dalam sebuah struktur pemerintahan, goal pertama yang harus diperhatikan adalah pembangunannya baik dari sisi masyarakat maupun lingkungan. Pemerintah Desa harus dipastikan mengetahui karakteristik desa baik secara geografis, kultur, hingga kondisi masyarakatnya. Dan hal tersebut harus terdokumentasi dalam dokumen penyelenggaraan Pemerintah Desa. Fokus utama adalah bagaimana Pemerintahan Desa dapat berjalan dengan baik, patuh pada peraturan yang telah ditetapkan sebagai bagian pertanggungjawaban atas penggunaan dana negara, dan Pemerintah Desa harus memiliki kapabilitas untuk melakukan perencanaan desa. Kembali pada tujuan utama tadi yakni terlaksananya pembangunan yang diperlukan oleh masyarakat desa.

3. MANAJEMEN ORGANISASI DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DESA

Kebijakan Dana Desa merupakan suatu inovasi kebijakan pemerintah, yang kemudian mengharuskan adanya transformasi organisasi di pemerintah. Yang awalnya kewenangan ada di kabupaten, saat ini kewenangan tersebut diberikan langsung ke desa. Maka kemudian manajemen organisasi merupakan hal penting untuk terwujudnya efektivitas penyaluran Dana Desa, tujuan atau outcome dari penyalurannya tercapai. Dalam teori perubahan organisasi (organizational change) terdapat beberapa isu yang harus diidentifikasi dengan baik agar proses transformasi dalam organisasi dapat berjalan. Isu tersebut adalah adanya self-organization, interaksi antar bagian dalam organisasi, relasi kekuatan dengan bagian supervisi atau pengawasan, komunikasi, dan adanya feedback. Self-Organization merupakan prinsip dari adanya manajemen perubahan organisasi ini. Bagian yang baru terbentuk dari desain perubahan harus memiliki kemampuan untuk mengelola dirinya sendiri, sekaligus bagaimana mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Prinsip ini bertumpu pada kemampuan organisasi tersebut. Prinsip kedua adalah interaksi antar bagian dalam organisasi yang memungkinkan organisasi untuk saling mempelajari keberhasilan dan kegagalan di bagian lain untuk menjadi pegangan dalam mengelola organisasinya. Yang ketiga adalah adanya supervisi yang mengawasi juga membantu bagian baru dalam organisasi ini untuk belajar dan meningkatkan kapabilitasnya (Green, 2009).

Page 139: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dr. Rudi Purwono 123

Dalam manajemen organisasi tersebut, pemimpin memiliki peran penting. Empowerment dari pemimpin Pemerintahan Desa dalam beberapa kasus sangat menentukan. Contoh: Pengalaman Kepala Desa Pujon Kidul Kabupaten Malang dalam membangun desanya menjadi kawasan wisata yang dapat berkontribusi pada PADesa yang cukup tinggi dan menciptakan lapangan kerja di desanya, menggunakan konsep BUMDes (Sharing Session Pemanfaatan Dana Desa di Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Jawa Timur, 12 Desember 2019). Dapat disimpulkan bahwa empowerment dari sosok Kepala Desa menjadi faktor utama majunya penyelenggaraan pemerintahan di desa. Relasi publik yang dilakukan oleh Kepala Desa tersebut cukup baik sehingga permasalahan yang ada didesanya segera diketahui dan dapat dicari solusinya. Serta komunikasi yang dibangun dengan rival politiknya cukup baik sehingga proses evaluasi pun berjalan dinamis dalam pemerintahannya. Dalam manajemen strategis untuk organisasi publik, komunikasi sangat penting antara stakeholder, antar bagian dalam pemerintahan dan juga masyarakat, sehingga apa yang telah direncanakan dapat dilaksanakan dengan baik, dan juga dievaluasi untuk masukan penyelenggaran program-program berikutnya (Grunig & Dozier, 2003). Kapasitas aparatur desa dipandang menjadi variabel penting dalam pengukuran efektivitas penggunaan dana desa. Penyebaran inovasi yang telah ada di desa dapat menjadi masukan bagi desa lain atau bagi desa tersebut kedepannya.

4. INTEGRASI ANTAR PROGRAM DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA

Pembangunan desa dalam konteks pembangunan nasional harus terintegrasi (Todaro & Smith, 2014). Beragamnya spektrum yang ada di desa membuat permasalahan pembangunan di desa, yang berbasis pada pertanian yang masih tradisional, sangat luas dan kompleks. Hal itu terkait dengan kemampuan petani yang ada di desa dalam melakukan produksi yang menjadi pendapatannya. Kemudian nilai tukar petani kepada industri di atasnya, dalam lingkup regional yang lebih besar. Dan juga kemudian kehidupan petani yang memungkinkan adanya peningkatan kualitas hidupnya menjadi lebih baik, infrastruktur sosial, dan juga infrastruktur fisik yang memungkinkan adanya pertumbuhan produksi seiring waktu. Kompleksnya rural development tersebut memerlukan strategi yang bersifat breakthrough, maka kemudian pembangunan ini dapat dikaitkan dengan adanya kebijakan Dana Desa. Di desa, aktivitas ekonomi masyarakat yang terbesar adalah di sektor pertanian. Maka kemudian kebijakan pembangunan di sektor pertanian dapat dikembangkan dalam lingkup desa, yang kemudian dikaitkan pada kebijakan cash for work.

Page 140: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI124

Cash for work merupakan salah satu bentuk aktivitas padat karya yang bertujuan menyerap tenaga kerja yang besar, dengan memberikan honorarium secara langsung atau tunai untuk harian maupun mingguan, sebagai upaya memperkuat daya beli masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kunci keberhasilan pembangunan sektor pertanian yang dikembangkan dalam lingkup desa bagaimana pemerintah yang men-supervisi desa dapat mendorong aparat pemerintahan desa untuk berinovasi terkait usaha pertanian yang dimilikinya, yang dapat dikaitkan juga dengan pengembangan BUMDesa.

BUMDesa merupakan alat dalam pembangunan desa yang menggunakan kekuatan lokal (keuangan dan aset desa) berwujud pembentukan dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan di kawasan perdesaan. Adanya BUMDesa bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan perekonomian di desa untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan kemandirian ekonomi di tingkat desa. BUMDesa diatur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Pasal 87, dimana desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa yang selanjutnya disebut BUMDesa. BUMDesa sendiri dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, BUMDesa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. PENUTUPBahkan kebijakan yang paling baik dan matang mungkin tidak berdampak jika tidak diimplementasikan dengan benar. Sayangnya, kesenjangan antara kebijakan dan implementasinya bisa sangat besar (Benerjee, Banerjee, & Duflo, 2011). Oleh sebab itu, analisis dalam implementasi suatu kebijakan perlu untuk diperkaya, sebagai bahan masukan untuk perbaikan kebijakan tersebut dalam mencapai tujuannya. Sepanjang 2016 hingga 2019, penyaluran Dana Desa di Jawa Timur cukup optimal dalam meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada kesehatan, pendidikan, dan juga akses pasar atau penciptaan pendapatan di desa. Sebagian besar Dana Desa digunakan untuk pembangunan infrastruktur desa. Penyesuaian Indikator Pembangunan Manusia (IPM) di pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan desa harus seiring. Sehingga target pembangunan di desa dapat digambarkan pada target yang digunakan juga oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Pusat. Sehingga pembangunan infrastruktur di desa dapat tercermin pada peningkatan indikator tersebut.

Penggunaan Dana Desa tentu harus dioptimalkan agar dapat membuat desa menjadi semakin berkembang dan mandiri. Penyelenggaraan

Page 141: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Dr. Rudi Purwono 125

pemerintahan di desa sangat bergantung pada kapabilitas Kepala Desa sebagai pemimpin pemerintahan desa. Untuk itu peran Kepala Desa disini sangat diperlukan. Terdapat beberapa karakteristik kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang Kepala Desa, yakni:1. Leadership yang kuat sehingga dapat melakukan pemberdayaan

baik bagi jajaran Pemerintahan Desa hingga masyarakat desa. Mengapa penting? Karena dari Kepala Desa-lah relasi publik dapat dibangun sehingga masyarakat dan juga jajaran pemerintahan desa, juga evaluatornya, dapat mengkomunikasikan apa yang menjadi kesulitan di desa tersebut. Sehingga penggunaan Dana Desa dapat efektif.

2. Harus mampu menyatukan kekuatan serta mempersatukan perbedaan politik.

3. Harus mampu menggerakkan masyarakatnya agar bisa produktif dan memanfaatkan Dana Desa dengan maksimal.

4. Harus bisa menggali potensi yang dimiliki desa serta motivasi sehingga anak-anak muda yang ada di luar desa bisa kembali ke desa dan produktif dalam rangka mengembangkan desa. Pemerintah Desa memiliki instrumen untuk dapat merubah kehidupan di desa yakni dengan Dana Desa dan juga dengan kewenangan pada BUMDes untuk menciptakan peluang ekonomi. Kepala Desa sangat berperan untuk dapat mengintegrasikan hal tersebut.

6. DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik Jawa Timur. (2019). IPM 2017 – 2019. [Dataset].

https://jatim.bps.go.id/indicator/26/36/1/ipm.html

Banerjee, A. V., Banerjee, A., & Duflo, E. (2011). Poor Economics: A Radi-cal Rethinking of The Way to Fight Global Poverty. Public Affairs.

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2018). Kebijakan Penyalu-ran Dana Desa Dalam Mendukung Pelaksanaan Padat Karya Tunai di Desa. [Paper Presentation].

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. (2018). Kebijakan Pengalo-kasian Dana Desa Setiap Kabupaten/ Kota dan Penghitungan Rincian Dana Desa. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=5791

Green, M. (2009). Making Sense of Change Management: A Complete Guide to the Models, Tools & Techniques of Organizational Change. Kogan Page.

Page 142: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI126

Grunig, J. E., & Dozier, D. M. (2003). Excellent Public Relations and Effec-tive Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. Routledge.

Kementerian Keuangan. (2017). Buku Saku Dana Desa. Retrieved from https://www.kemenkeu.go.id/media/6750/buku-saku-dana-de-sa.pdf

Kementerian Keuangan. (2018). Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-tent/uploads/2017/11/Rincian-Alokasi-TKDD-TA-2018-1.pdf

Kementerian Keuangan. (2019). Rincian Alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/wp-con-tent/uploads/2018/10/DANA-DESA-1.pdf

Kementerian Keuangan. (2020). Rincian Alokasi Transfer ke Daer-ah dan Dana Desa. [Dataset]. http://www.djpk.kemenkeu.go.id/?p=15023

Van de Walle, D., & Nead, K. (Eds.). (1995). Public Spending and The Poor: Theory and Evidence. World Bank Publications.

Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2014). Economic Development 11th Edi-tion. Pearson.

Page 143: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Hady Sutjipto 127

DESA GARDA TERDEPAN PEMULIHAN EKONOMI DI MASA

TATANAN KEHIDUPAN BARU

Hady SutjiptoFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sultan

Ageng [email protected]

BAB

XI1. PENDAHULUANPandemi Covid-19 sudah merubah tatanan dunia ini secara dramatis. Dari permasalahan kesehatan menjadi resesi ekonomi global. Lembaga Keuangan Internasional (IMF) memprediksi terjadi resesi ekonomi tahun ini, dan lebih parah dari krisis ekonomi 2009. Peristiwa krisis ekonomi 2009, perkembangan ekonomi global turun berkisar -0,1 persen. Satu dekade kemudian, perekonomian global tumbuh 2,9 persen. Pandemi Covid-19 memukul perekonomian global, dan diprediksi merosot sampai – 3 persen.

Bank Dunia memprediksi ekonomi global terkontraksi sampai 5,2 persen di tahun ini. Perekonomian negara maju diprediksi terkontrasi 7 persen. Faktor penyebabnya ialah tekanan pada permintaan serta penawaran, disamping perdagangan dan keuangan di negara tersebut. Adapun perekonomian di negara emerging markets dan sedang berkembang (EMDEs) diperkirakan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi 2,5 persen selama 2020. Kondisi ini dikhawatirkan terjadinya peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan dunia (World Bank, 8/6/2020).

Ekonomi Nasional pada Triwulan II 2020 mengalami kontraksi sebesar -5,32 persen (yoy). Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam mencegah penyebaran Pandemi Covid-19 menyebabkan terbatasnya mobilisasi manusia maupun barang menyebabkan terjadi penurunan permintaan domestik. Kebijakan lockdown di beberapa negara tujuan ekspor pun menyebabkan neraca perdagangan Indonesia mengalami stagnasi.

Belum ada kepastian kapan berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia, dan tren kasus positif Indonesia saat ini yang masih terus meningkat. Pemerintah masih mempertahan kebijakan social distancing atau pembatasan sosial. Sektor usaha tetap boleh beroperasi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan membatasi kapasitas 50 persen. Selama PSBB kembali diperketat, institusi pendidikan, kawasan pariwisata, sarana publik tetap harus ditutup secara penuh.

Page 144: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI128

Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia tidak cuma berdampak pada kesehatan warga, tetapi pula berakibat pada menurunnya perkembangan ekonomi nasional. Beberapa sektor ekonomi mengalami penurunan produksinya akibat penurunan pada permintaan masyarakat. Bahkan ada yang beberapa sektor usaha yang mulai mengurangi tenaga kerja dengan merumahkan karyawan bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja. Kondisi ini dikhawatirkan akan menambah jumlah angka pengangguran dan kemiskinan di daerah. Fenomena ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, namun terjadi pula di pedesaan.

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI

Gambar 1.1 Sektor Ekonomi terdampak Negatif dan Berpotensi Positif pada masa Pandemi Covid-19

Dengan kebijakan PSBB tersebut membuat aktifitas dunia usaha semakin melesu. Alasannya, seluruh aktifitas para pengusaha dibatasi dan tempat usaha mereka ditutup untuk sementara waktu. Contoh sangat nyata saat ini pusat perbelanjaan, tempat pariwisata, perhotelan serta transportasi langsung terpuruk. Kondisi ini diperparah dengan daya beli masyarakat juga menurun akibat mereka dirumahkan atau putus hubungan kerja karena tempat kerja mereka tutup atau mengurangi produksinya. Namun, hal yang kontradiktif justru terjadi pada sektor yang bertahan bahkan meningkat di masa Covid-19 ini. Sektor ekonomi tersebut diantaranya: sektor pertanian, telekomunikasi, kimia, farmasi, dan alat kesehatan.

Meningkatnya jumlah yang terkonfirmasi Covid-19 membutuhkan penanganan kesehatan. Kebutuhan akan alat kesehatan dan serta obat-

Page 145: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Hady Sutjipto 129

obatan di masa pandemi Covid-19 meningkat, seperti Alat Pelindung Diri (APD), masker, hand sanitizer, serta obat-obat alamiah seperti herbal semakin diminati masyarakat. Demikian pula dengan sistem pembelajaran sekolah, perkuliahan, pelatihan, seminar dan bekerja di rumah (Work from Home) di masa pandemi yang menggunakan sistem dalam jaringan (Daring) dan Webinar membutuhkan kuota dan penyedia fasilitas internet yang memadai. Permintaan kuota internet akan tetap tinggi selama pandemi Covid-19 ini belum berakhir.

Sementara itu sektor pertanian yang meliputi sub-sektor: pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan sebagai penyedia kebutuhan pokok masyarakat akan terus dibutuhkan. Bahkan dimasa pandemi Covid-19 ini, dimana beberapa kebutuhan pokok tersebut didapatkan dari impor dan terhambat distribusinya karena negaranya melakukan lockdown. Komoditas impor produk pertanian, seperti: beras, daging sapi, bawang, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

Desa identik dengan pertanian karena sebagian besar mata pencarian masyarakatnya di sektor pertanian. Desa menjadi sangat stategis sebagai pusat rantai pasok kebutuhan pangan nasional. Desa bisa menjadi garda terdepan dalam menggantikan ketergantungan impor pangan dan mampu memenuhi ketersediaan kebutuhan pangan saat ini. Desa memiliki potensi yang sangat strategis untuk melaksanakan adaptasi normal baru dalam upaya memutus rantai penularan Covid-19. Selain penerapan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat, budaya dan adat istiadat sebagai kearifan lokal menjadi hal yang perlu diperhatikan. Prinsipnya masyarakat desa tetap sehat, perekonomian tetap berjalan serta budaya dan adat istiadat tidak tergerus oleh zaman.

Tatkala pemerintah mengajak masyarakat untuk hidup damai dan berdampingan dengan Covid-19. Dengan begitu, diharapkan aktivitas dan produktivitas masyarakat kembali bergulir dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit menyelamatkan perekonomian tanpa harus mengorbankan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya dan strategi menjadikan desa sebagai garda terdepan dalam pemulihan ekonomi di masa tatanan kehidupan baru. Pembahasan bab ini akan fokus pada strategi desa untuk menjadi garda depan pemulihan ekonomi di masa tatanan ekonomi baru.

2. STRATEGI DESA MENJADI GARDA DEPAN PEMULIHAN EKONOMI

Pembangunan desa tidak terpisah dan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Dari 34 Provinsi di Indonesia, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri RI terdapat 83.184 Desa yang terdiri dari 74.754 Desa serta 8.430 Kelurahan dari 415 Kabupaten, 94 Kota serta 5 Kota

Page 146: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI130

Administrasi. Desa memiliki potensi kekuatan ekonomi, sosial dan politik yang menjadi basis kekuatan dalam pembangunan. Perhatian pemerintah pusat maupun daerah diperlukan untuk menjadikan masyarakat desa tidak hanya sebagai objek pembangunan, namun harus menjadi subjek pembangunan. Sebagai objek, masyarakat desa sering dijadikan bagian dari program-program sektoral pemerintah atau dinas terkait yang tidak sesuai dengan kebutuhan desa. Maka sebagai subjek pembangunan, keterlibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam merencanakan, melaksanakan, sekaligus sebagai penerima manfaat dari pembangunan desa harus terus ditingkatkan.

Desa miliki adat istiadat sebagai ciri khas kearifan lokal, dimana akar budaya desa sebagai tumpu dalam pembangunan. Desa memiliki pula keragaman potensi sumber daya ekonomi yang bisa dikembangkan untuk menciptakan kemandirian ekonomi. Maka, kesejahteraan bagi masyarakat desa pada akhirnya bisa terwujud. Beberapa strategi dan upaya menjadikan desa sebagai ujung tombak dan garda terdepan dalam pemulihan ekonomi nasional diantaranya sebagai berikut:

Strategi pertama: pengawasan dan optimalisasi terhadap Dana Desa dalam pencegahan serta penanganan Covid-19. Instruksi Presiden Nomor 4 tahun 2020 berkaitan dengan Refocusing kegiatan dan anggaran dalam penanganan Covid-19. Pemerintah pusat melakukan relokasi anggaran 2020 sekitar Rp 695,20 triliun. Dana tersebut untuk menangani kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan UMKM, dunia usaha, dan pemda.

Prioritas Realokasi dan Refocusing di daerah berdasarkan Instruksi Mendagri No 1 Tahun 2020. Prioritas tersebut dalam hal penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi dan penyediaan Jaring Pengaman Sosial. Penyiapan tambahan dukungan berupa Dana Insentif Daerah (DID) untuk mendukung percepatan pemulihan perekonomian di daerah. Anggaran besar tersebut saat turun ke daerah diperlukan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan anggaran. Bahkan Mendes PDTT mengeluarkan Surat Edaran (SE) terkait Desa Tanggap Covid-19 dan Pelaksanaan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dengan alokasi dana desa.

Surat Edaran Mendes PDTT mengatur tiga hal. Pertama, Pembentukan Desa untuk Tanggap Covid-19 dan Relawan Desa untuk Lawan Covid-19. Kedua, Alokasi dana desa untuk program Pola Padat Karya Tunai Desa (PKTD) dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya manusia desa. Program ini diprioritaskan untuk para penganggur dan keluarga miskin yang terdapat di desa. Ketiga, Bagi desa yang masuk KLB Covid-19, maka perubahan APBDesa, menggeser anggaran belanja menjadi dana untuk penanganan Covid-19.

Payung hukum melalui Surat Edaran tersebut menjadi dasar hukum bagi alokasi dana desa dalam penanganan Covid-19. Program Bantuan

Page 147: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Hady Sutjipto 131

Tunai Langsung Dana Desa (BLT-DD) menjadi program prioritas bagi masyarakat desa yang terdampak Covid-19. BLT-DD diharapkan bisa mempertahankan daya beli masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan pokok hariannya. Program ini dalam proses pendataan dan penyalurannya harus tepat sasaran.

Strategi kedua, revitalisasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di tengah pandemi. Kita menghadapi kondisi yang “tidak normal” dan kondisi ini entah kapan akan berakhir. Oleh karena itu, harus menyesuaikan dan merubah kebiasan dalam kehidupan baru yang “tidak normal”. Kesiapan mental dan perubahan perilaku dibutuhkan dalam melewati masa Covid-19 dan terbiasa dengan kehidupan baru.

Dampak pandemi Covid-19 berpotensi peningkatan penganguran dan penduduk miskin. Mayoritas penduduk miskin tinggal di desa dan berpotensi akan semakin meningkat akibat pelambatan ekonomi dan involuntary migration (terpaksa pulang kampung). Kondisi ini berpotensi adanya kelangkaan bahan makanan pokok ke depan dan kerawanan sosial di desa akibat ekonomi yang mencekik. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi peran BUMDes untuk menciptakan lapangan kerja, pengamanan sembako, dan layanan publik.

Namun, BUMDes saat ini masih mengalami beberapa kendala, diantaranya masih ada BUMDes terkendala status hukum belum clear, Tata Kelola Akuntansi BUMDes belum baik sehingga kepercayaan masyarakat dan pemerintah masih rendah, dan BUMDes perlu ada pendampingan dan inkubasi. Kondisi ini menuntut intervensi kebijakan terkait penyetaraan Badan Hukum BUMDes agar dapat menerima dana dari pihak luar desa (CSR, Hibah, Perbankan, Donasi, dll). Segera dikeluarkan Pedoman Akuntansi BUMDes/Pedoman Keuangan BUMDes sehingga BUMDes dapat mengelola dana dari berbagai pihak dengan mudah dan terstandar. Pemerintah perlu juga melihat BUMDes mana yang perlu pendampingan, BUMDes mana yang punya produk tapi tidak bisa menjual. Maka peran Pemerintah, Perguruan Tinggi, Pihak Swasta dan Media perlu melakukan pendampingan BUMDes tersebut.

Page 148: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI132

Sumber : bumdes.id

Gambar 2.1 Peta Ekosistem BUMDes

Keberlanjutan BUMdes akan terjamin kalau desa bisa menemukan potensi, produk dan pasarnya. Terkadang BUMDes tidak bisa mengelola potensi desa menjadi produk/layanan serta pasar yang tepat dan kontinyu. Maka model keberlanjutan BUMDes dibangun dari Kepemimpinan Transformatif, Modal Sosial, Kewirausahaan Sosial, dan Konektivitas Pasar. Keterlibatan dan sinergitas para stakeholder dalam keberlanjutan BUMDes sangat diperlukan. Keberadaan Pemerintah Pusat dan Daerah, Akademisi dan Lembaga Pendidikan, Lembaga Keuangan, Pemasok dan Penyalur, Organisasi Non Pemerintah, dan Masyarakat Desa memiliki peran dan sumbangsih masing-masing.

Pemerintah pusat dan daerah bisa saling berkoordinasi dan bersinergi dalam memberikan dukungan kepada BUMDes melalui regulasi dan bantuan teknis. Peran akademisi dan lembaga pendidikan bisa memberikan bantuan dan bimbingan teknis terhadap persoalan BUMDes. Bantuan dan fasilitas produk keuangan dari lembaga keuangan juga sangat dibutuhkan dalam pembiayaan BUMDes. Dan tidak kalah pentingnya keberadaan pemasok dan penyalur yang membantu menyuplai barang kebutuhan bagi BUMDes sekaligus penyalur produk BUMDes yang berhubungan langsung dengan masyarakat dan konsumen. Keberadaan BUMDes di wilayah lain perlu melakukan kolabarasi sesama BUMDes. Hal ini untuk memperkuat daya tawar dalam persaingan usaha, disamping kemampuan penyediaan produk BUMDes saat ada permintaan produk yang besar yang tidak bisa dipenuhi jika diproduksi sendiri oleh satu BUMDes saja.

Strategi ketiga, membangun digitalisasi ekonomi desa. Hampir separuh masyarakat Indonesia sudah menggunakan fasilitas internet, tidak hanya di perkotaan, namun sampai ke pedesaan. Manfaat penggunaan internet bagi masyarakat desa selain membuka informasi

Page 149: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Hady Sutjipto 133

tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata mampu pula mendorong perekonomian dan kesejahteraan masyarakat desa.

Pandemi Covid-19 berpengaruh besar dalam menurunkan usaha bisnis pada sisi rantai produksi dan distribusi. Masalah klasik yang dihadapi pelaku usaha di pedesaan yaitu masih menggunakan pola ekonomi konvensional. Artinya, dalam masalah pemasaran dan perluasan pasar masih tergantung pada pedagang pengumpul yang menjadi rantai pemasarannya panjang. Hal ini menjadi produk unggulan desa tidak secara optimal bisa dipasarkan.

Digitalisasi ekonomi desa menjadi salah satu solusi dalam meningkatkan akselerasi perekonomian desa. Para pelaku UMKM pedesaan lebih akrab dengan pemasaran atau promosi melalui jaringan internet dengan memanfaatkan media sosial. Perlu usaha dan upaya yang keras dalam mengintegrasikan dan mensinergikan para pelaku UMKM pedesaan ke dalam sistem ekonomi digital. Sistem ini merupakan program pemberdayaan masyarakat desa melalui pemanfaatan teknologi digital dan internet untuk pengembangan potensi desa, pemasaran serta percepatan akses serta pelayanan informasi.

Ada tiga langkah-langkah strategis yang harus dilakukan terkait digitalisasi desa. Pertama, yaitu memperkuat gerakan digitalisasi ekonomi di pedesaan. Gerakan ini harus difasilitasi dan didukung oleh pemerintah pusat dan daerah secara berkesinambungan dengan melibatkan pemerintah desa dan pelaku UMKM pedesaan. Gerakan ini pula bagaimana membangun kesadaran pelaku UMKM pedesaan untuk memanfaatkan fasilitas internet dalam usaha bisnisnya, serta membangun dan mengembangkan jejaring usahanya berdasarkan keunggulan produk yang dimiliki desa tersebut.

Kedua, transformasi penggunaan media social dari jejaring social ke jejaring pasar. Awal perkembangan sosial media hanya untuk jejaring pertemanan dan relasi seperti: WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter dll. Poin dukungan utama dalam pengembangan market melalui social media adalah pengenalan ekosistem dan sarana penetrasi digital, serta peningkatan keterampilan pemanfaat sosial media. Ketiga, pemanfaatan media sosial untuk promosi produk BUMDes. Setiap desa memiliki komoditas produk unggulan usaha yang disiapkan pemasarannya melalui 'media sosial' dalam digitalisasi ekonomi desa. Dengan produk yang kompetitif tersebut bisa mengembangkan kapasitas ekonominya. Pada akhirnya kemajuan serta peningkatan perekonomian desa akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Nantinya, seluruh masyarakat desa dapat memanfaat media sosial dalam mempromosikan sekaligus mengenalkan komoditas produk unggulan di wilayahnya.

Page 150: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI134

Sumber : DJPDT, Kemendes PDTT RI 2020

Gambar 2.2 Bisnis Model Pengelolaan, Distribusi, dan Pemasaran Produk Ung-gulan Desa melalui Ekosistem Digital.

Masalah ekonomi oleh desa diantaranya rendahnya skala ekonomi, jalur distribusi produk yang panjang, lemahnya akses pasar, dan kesulitan permodalan. Untuk memecahkan berbagai permasalahan tersebut diperlukan bisnis model pengelolaan, distribusi, dan pemasaran produk unggulan pedesaan melalui ekosistem digital.

Ekosistem digital yang dimaksud adalah penyatuan beberapa BUMDes yang berbeda dengan menggunakan teknologi informasi, menawarkan sesuatu yang berbeda dari sebelumnya,yang tidak bisa dilakukan oleh BUMDes sendirian agar bisa tetap bertahan dalam memenangkan pertarungan usaha. Terdapat tiga unsur untuk menjadikan BUMDes masuk ekosistem ekonomi digital yaitu infrastruktur digital, layanan trasportasi logistik ke desa, dan platform digital untuk BUMDes.

Pemerintah sudah memberikan kanal digital untuk penjualan hasil BUMDes seperti Dapurkita.bumdesmart.com, juga menggandeng marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia dan lain-lain. Adapun layanan logistik ke desa-desa bisa melibatkan jasa PT Pos, J&T,JNE dan sejenisnya. Bahkan produk kolaborasi para BUMDes bisa menjadi pemasok bagi industri makanan dan minuman berskala nasional maupun internasional.

Peran perguruan tinggi, organisasi nirlaba yang mewadahi para pelaku UMKM bisa melakukan edukasi dan pendampingan sebagai klinik Bisnis bagi BUMDes dalam mengembangkan usahanya. Semuanya ini harapannya segala penghambat berkembangnya BUMDes mulai dari perijinan, keberlangsungan produksi serta masalah pemasaran bisa diselesaikan.

Page 151: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Hady Sutjipto 135

Tidak dilupakan pula jiwa kewirausahaan para pelaku usaha tetap menjadi pondasi dalam menghadapi persaingan dan iklim kompetisi yang semakin modern. Perubahan status menjadi desa mandiri, maka desa tersebut memiliki kekuatan pembangunan ekonomi lokal yang berdaya saing global. Ekosistem digital diharapkan dari aspek ekonomi membawa kemajuan dan kesejahteraan bagi masyarakat desa, sehingga pilihan urbanisasi ke kota bukan lagi satu-satunya pilihan untuk meningkatkan taraf kehidupan.

3. PENUTUPDampak pandemi Covid-19 di tahun 2020 ini sudah mengubah tatanan global tidak terkecuali Indonesia. Kondisi sampai kapan pandemi ini akan berakhir, memaksa kita hidup dalam kondisi yang tidak normal saat sebelum pandemi ini datang. Pemulihan ekonomi nasional dengan penerapan protokol Covid-19 yang ketat membawa kita pada tatanan kehidupan baru.

Guna mendongkrak ekonomi yang cenderung lesu karena dampak pandemi Covid-19, desa-desa harus memacu potensi dan inovasi dalam menggerakkan roda ekonomi. Penggunaan dana desa secara optimal dalam penanggulangan dampak pandemi Covid-19 dengan pengawasan yang baik. Keberadaan BUMDes sebagai bentuk kemandirian ekonomi masyarakat dengan penguatan basis digital. Kondisi ini akan menjadikan kekuatan imunitas perekonomian desa sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Desa harus menjadi kekuatan utama dan menjadi simpul-simpul kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia. Desa harus menjadi garda terdepan dalam pemulihan ekonomi di masa tatanan kehidupan baru.Semoga…

4. DAFTAR PUSTAKA

Coristya Berlian Ramadana, Heru Ribawanto, Suwondo.(2013). Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Sebagai Penguatan Ekonomi Desa.Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 1, No. 6, Hal. 1068-1076.

Irfan Nursetiawan.(2018). Startegi Pengembangan Desa Mandiri Melalui BUMDES. Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan. Vol 4, No 2.

Nila Warda , Asep Kurniawan, Ridho Al Izzati , M. Sulton Mawardi. (2019). Analisis Dampak Prukades Untuk Percepatan Peningkatan

Page 152: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI136

Pertumbuhan Ekonomi Desa yang Inklusif. Semeru Research Institute.

Nining Asniar Ridzal. (2020). Eksistensi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebagai Penggerak Ekonomi Desa. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri. Vol 4 No 1

World Bank. 2020. Global Economic Prospects, June 2020. Washington,DC:World Bank.©WorldBank.https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/33748 License: CC BY 3.0 IGO

Link Internet :

1. https://www.galamedianews.com/cit izen-journalism/256180/penanganan-ekonomi-di-masa-pandemi-covid-19-melalu i -pemanfaatan-dana-desa.html

2. https://bumdes.id/id/

3. https://www.kemendesa.go.id/

Page 153: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 137

KERJASAMA ANTAR DESA BAGI PENGUATAN INOVASI DAN

KEWIRAUSAHAAN MENUJU KEMANDIRIAN EKONOMI DESA

KhoirunurrofikFakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia

[email protected]

BAB

XII

1. PENDAHULUANBerdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka tujuan pembangunan desa dan kawasan perdesaan adalah tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup, tetapi juga untuk menanggulangi kemiskinan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain memenuhi kebutuhan dasar, membangun sarana dan prasarana desa, mengembangkan potensi ekonomi lokal, serta memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan yang berkelanjutan. Bahkan pada RPJMN 2020-2024, pembangunan desa dan kawasan perdesaan ini telah menjadi salah satu target kegiatan prioritas arahan pengembangan wilayah dan pemerataan karena desa merupakan lokus kebijakan yang paling dekat dengan masyarakat.

Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi fiskal menurut Bahl dan Linn (1994) yang meliputi desentralisasi pemerintahan, distribusi pengeluaran, dan mobilisasi pendapatan sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi untuk mencapai tujuan pemerintah. Oleh karena itu, implementasi desentralisasi sampai level desa ini diharapkan dapat berperan dalam mendukung pertumbuhan dan pembangunan yang lebih besar di tingkat desa sesuai dengan strategi dan inisiatif pemerintahnya, baik dalam pemanfaatan modal publik untuk mendukung pengembangan sektor swasta maupun menciptakan peluang kegiatan ekonomi.

Sebelum UU tentang Desa ditetapkan, desa dianggap hanya sebagai obyek pembangunan sehingga sering kali kebijakan pemerintah di desa justru menghambat terciptanya kreativitas dan inovasi masyarakat desa untuk melakukan kegiatan perekonomian. Oleh karenanya, UU tersebut merupakan solusi dalam pembangunan desa di Indonesia agar supaya desa dapat bertindak sebagai aktor atau subyek utama dalam proses pembangunan desa, yang dapat mengubah dari desa tertinggal menjadi desa berkembang dan mandiri.

Melalui UU Desa, Antlöv (2003) menegaskan bahwa pemerintah desa sejak saat itu telah diberikan kewenangan lebih luas untuk

Page 154: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI138

mengambil keputusan dan mengimplementasikannya menjadi kebijakan di tingkat desa. Melalui kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah mendukung pembangunan desa-desa di Indonesia melalui Dana Desa yang bersumber dari APBN. Dana tersebut diharapkan dapat menjadi stimulus atau pendorong dalam pelaksanaan pemberdayaan, pembinaan kemasyarakatan, pembangunan, dan pemerintahan yang ada di desa. Bukti empiris keberhasilan Dana Desa di Thailand yang sudah ada sejak tahun 2001 telah disampaikan oleh Boonperm, Haughton dan Khandker (2013) dan menyatakan bahwa kebijakan tersebut telah mampu mengatasi permasalahan masyarakat wilayah pedesaan di Thailand.

Alokasi anggaran pemerintah untuk Dana Desa terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp 20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp 276 juta. Pada 2020, angka tersebut mencapai Rp71,19 triliun dengan rata-rata perolehan tiap desa sebesar Rp 952 juta. Dalam hal keuangan desa, selain mendapatkan Dana Desa melalui APBN, pemerintahan desa juga memperoleh Anggaran Dana Desa (ADD) dari pemerintah Kabupaten/Kota, bantuan keuangan APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dan hibah yang digunakan untuk pembangunan desa (Kemendesa PDTT, 2019).

157

Sumber: Kementerian Keuangan (2020)

Gambar 1.1 Perkembangan Pagu Anggaran Dana Desa (Rp Triliun)

Dengan jumlah nilai uang yang signifikan besar, adanya dana tersebut akan terciptanya permintaan masyarakat atas barang-barang publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan orientasi pembangunan desa tersebut. Dalam perspektif teori ekonomi, Dana Desa diharapkan akan menjadi pendorong utama (big push) perekonomian melaluipenyediaan berbagai jenis infrastruktur strategis, fisik dan non fisik, serta pembentukan lembaga ekonomi yang dibutuhkan masyarakat desa dalam waktu relatif singkat sebagaimana yang disampaikan oleh Rosenstein-Rodan (1961). Salah satu bentuk kelembagaan ekonomi lokal adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lembaga ini diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan ekonomi kolektif masyarakat berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat desa dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki.

Oleh karenanya pemerintah Indonesia melalui Kemendesa PDTTterus mendorong terbentuknya unit usaha di setiap desa dalam bentukBadan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebagai salah satu agen ekonomi yang mampu menjadi motor utama perekonomian masyarakat desa yangberkelanjutan (Srirejeki, 2018). Namun demikian, studi yang dilakukan oleh Arifin, Bondi dkk (2020) tidak berhasil membuktikan bahwa pembentukan BUMDes setelah tahun 2015 telah mampu meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan. Hal ini menunjukkan

20,8

46,7

59,8 59,9

70,0 71,2

2015 2016 2017 2018 2019 2020

Sumber: Kementerian Keuangan (2020)

Gambar 1.1 Perkembangan Pagu Anggaran Dana Desa (Rp Triliun)

Dalam pemanfaatannya, Dana Desa termasuk kategori conditional grants, yaitu transfer yang diberikan kepada pemerintah desa, di mana dalam hal pemanfaatannya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat melalui Kemendesa PDTT. Oleh karenanya, Dana Desa

Page 155: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 139

telah secara spesifik ditujukan untuk mendukung pengembangan dan pembangunan desa, berkontribusi dalam pengurangan tingkat kemiskinan, dan tentunya dana tersebut tidak diperuntukkan di luar pencapaian tujuan tersebut.

Dengan jumlah nilai uang yang signifikan besar, adanya dana tersebut akan terciptanya permintaan masyarakat atas barang-barang publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan orientasi pembangunan desa tersebut. Dalam perspektif teori ekonomi, Dana Desa diharapkan akan menjadi pendorong utama (big push) perekonomian melalui penyediaan berbagai jenis infrastruktur strategis, fisik dan non fisik, serta pembentukan lembaga ekonomi yang dibutuhkan masyarakat desa dalam waktu relatif singkat sebagaimana yang disampaikan oleh Rosenstein-Rodan (1961). Salah satu bentuk kelembagaan ekonomi lokal adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Lembaga ini diharapkan dapat merepresentasikan kepentingan ekonomi kolektif masyarakat berdasarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat desa dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki.

Oleh karenanya pemerintah Indonesia melalui Kemendesa PDTT terus mendorong terbentuknya unit usaha di setiap desa dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), sebagai salah satu agen ekonomi yang mampu menjadi motor utama perekonomian masyarakat desa yang berkelanjutan (Srirejeki, 2018). Namun demikian, studi yang dilakukan oleh Arifin, Bondi dkk (2020) tidak berhasil membuktikan bahwa pembentukan BUMDes setelah tahun 2015 telah mampu meningkatkan kesempatan kerja bagi masyarakat pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu perbaikan dalam pengelolaan BUMDes termasuk penguatan manajemen, dan peningkatan partisipasi masyarakat.

Tantangan utama dalam pemanfaatan Dana Desa sebagai stimulus ekonomi yang seharusnya berdampak langsung dan cepat dinikmati oleh masyarakat desa adalah bagaimana Dana Desa tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif dan memberikan dampak bagi ekonomi lokal, serta menciptakan kemandirian lokal di tingkat desa yang berkesinambungan. Dampak dari aktivitas ekonomi lokal tersebut adalah kemampuan masyarakat meningkat sehingga mempunyai daya beli dan melakukan konsumsi, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan pendapatan asli desa. Namun, jika aktivitas ekonomi di desa tersebut masih terbatas dan masih terlalu banyak capital outflow ke luar daerah karena barang dan jasa yang ada disediakan oleh pelaku usaha di luar desa tersebut, maka kehadiran Dana Desa tersebut tidak berhasil untuk menjadikan masyarakat desa sebagai subjek perekonomian walaupun mungkin sudah tersedia infrastruktur yang memadai.

Salah satu cara untuk mendorong pemanfaatan dana APBDesa adalah melalui keterlibatan pelaku usaha lokal dalam pengerjaan permintaan barang dan jasa yang digunakan oleh pemerintah daerah ataupun

Page 156: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI140

terutama masyarakat desa tersebut dan sekitarnya. Keterlibatan penyedia barang dan jasa oleh pelaku usaha lokal tentunya akan memanfaatkan tenaga kerja lokal, membeli barang input di lokal, serta memutar uangnya di daerah yang bersangkutan sehingga akan memberikan dampak dan daya ungkit bagi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Makalah ini bertujuan untuk menawarkan rumusan bagaimana menciptakan kemandirian ekonomi lokal di tingkat desa melalui kebijakan inovasi daerah dan desa serta membangun kewirausahaan desa melalui kelembagaan BUMDes, serta bagaimana kedua strategi tersebut harus diperkuat melalui kerja sama antar desa dalam rangka meningkatkan skala ekonomi dan menjaga kesinambungan pembangunan desa. Gambar berikut ini menjelaskan interaksi dari rumusan-rumusan di atas untuk menuju perekonomian desa yang mandiri.

159

Sumber: Penulis

Gambar 1.2 Rumus Membangun Kemandirian Ekonomi Desa

2. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASAR

Prinsip desentralisasi, partisipatif, dan pembangunan berbasis masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Speer (2012) adalah prinsip pembangunan pedesaan di Indonesia. Namun demikian, Bergh (2010) menegaskan bahwa untuk menjalankan prinsip desentralisasi tersebut dibutuhkan keaktifan dan partisipasi dari masyarakat dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelibatan peran masyarakat secara langsung tersebut merupakan kunci pembangunanberbasis masyarakat misalnya melalui organisasi atau kelompok perwakilan masyarakat itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Kvartiuk dan Curtiss (2019). Hal ini sesuai dengan spirit di UU Desa yang menjadikan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan dan tidak lagi hanya obyek pembangunan pemerintah melalui kebijakan yang bersifat top down (Kvartiuk dan Curtiss, 2019).

Lebih lanjut, Meador (2019) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan teori dalam pembangunan desa, yaitu eksogen, endogen, dan neo-endogen. Jika teori eksogen menekankan bahwa keberhasilan pembangunan desa karena dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti intervensi pemerintah pusat yang bersifat top-down, maka teori endogenlebih bersifat buttom-up, yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal. Kombinasi keduanya kemudian disebut teori neo-endogen, yang menekankan pada interaksi antara sumber daya lokal desa dan pengaruh eksternal terutama kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam proses pembangunan di desa. Berdasarkan teori terakhir tersebut, maka rumusan dalam makalah ini akan memfokuskan kepada interaksi

Sumber: Penulis

Gambar 1.2 Rumus Membangun Kemandirian Ekonomi Desa

2. INOVASI DAERAH UNTUK MENCIPTAKAN PASARPrinsip desentralisasi, partisipatif, dan pembangunan berbasis masyarakat sebagaimana yang dikemukakan oleh Speer (2012) adalah prinsip pembangunan pedesaan di Indonesia. Namun demikian, Bergh (2010) menegaskan bahwa untuk menjalankan prinsip desentralisasi tersebut dibutuhkan keaktifan dan partisipasi dari masyarakat dalam melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan. Pelibatan peran masyarakat secara langsung tersebut merupakan kunci pembangunan berbasis masyarakat misalnya melalui organisasi atau kelompok perwakilan masyarakat itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh Kvartiuk dan Curtiss (2019). Hal ini sesuai dengan spirit di UU Desa yang menjadikan masyarakat desa sebagai subyek pembangunan dan tidak lagi hanya obyek pembangunan pemerintah melalui kebijakan yang bersifat top down (Kvartiuk dan Curtiss, 2019).

Lebih lanjut, Meador (2019) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan teori dalam pembangunan desa, yaitu eksogen, endogen, dan neo-endogen. Jika teori eksogen menekankan bahwa keberhasilan

Page 157: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 141

pembangunan desa karena dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti intervensi pemerintah pusat yang bersifat top-down, maka teori endogen lebih bersifat buttom-up, yang lebih mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal. Kombinasi keduanya kemudian disebut teori neo-endogen, yang menekankan pada interaksi antara sumber daya lokal desa dan pengaruh eksternal terutama kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam proses pembangunan di desa. Berdasarkan teori terakhir tersebut, maka rumusan dalam makalah ini akan memfokuskan kepada interaksi antara sumber daya lokal desa dan pengaruh eksternal dalam menciptakan inovasi dan kewirausahaan melalui dukungan dan kerja sama dengan desa sekitarnya.

Bagian pertama dalam rumusan di atas adalah bagaimana inovasi daerah dan inovasi desa diciptakan untuk meningkatkan produk-produk unggulan desa yang sekaligus juga merupakan kebijakan untuk meningkatkan permintaan terhadap bahan baku lokal dan produk-produk yang dihasilkan oleh desa itu sendiri. Inovasi desa dapat diciptakan oleh pimpinan desa dengan bersinergi dengan inovasi pimpinan kepala daerah sebagaimana Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah. Selain untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan publik, inovasi daerah diharapkan dapat juga bermanfaat untuk memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing daerah.

Keberadaan regulasi ini seharusnya memungkinkan setiap daerah di Indonesia termasuk di tingkat desa untuk menetapkan peraturan daerah atau peraturan desa terkait pengadaan barang dan jasa yang memprioritaskan pelaku usaha lokal, dengan memenuhi kriteria yang berlaku. Kriteria sebuah kebijakan dianggap sebagai inovasi daerah adalah jika kebijakan yang dibuat mengandung pembaharuan seluruh dan sebagian unsur, dapat memberikan manfaat bagi daerah dan/atau masyarakat, tidak menambah beban dan/atau membatasi masyarakat yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, kebijakan tersebut harus dalam koridor urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah, serta diharapkan dapat direplikasi di tempat lain. Dengan demikian inovasi suatu daerah yang bermanfaat bagi perekonomian desa adalah inovasi dengan menciptakan pasar bagi produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat desa, melalui pelibatan masyarakat lokal dalam pengadaan barang dan jasa yang dibelanjakan oleh APBD dan APBDesa sehingga uang semakin lama berputar dan dibelanjakan di desa.

Terkait dengan kebijakan pengadaan barang dan jasa di Indonesia, Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa telah menekankan pentingnya prinsip nilai manfaat yang sebesar-besarnya (value for money), sehingga dapat meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, peran Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha

Page 158: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI142

Menengah, peran pelaku usaha nasional, serta mendorong pemerataan ekonomi dan pengadaan yang berkelanjutan. Oleh karenanya berdasarkan prinsip di atas, maka seyogyanya dalam pemilihan penyedia pengadaan barang dan jasa perlu dibangun keberpihakan Pemerintah Daerah dan Desa. Keberpihakan tersebut dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pelaku usaha di desa melalui penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia, serta memberikan kesempatan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil di desa tersebut sebagai pelaksana dalam rangka melaksanakan pengadaan berkelanjutan yang tetap menjaga iklim persaingan usaha yang sehat.

Untuk melihat bagaimana kebijakan pengutamaan local supplier dalam pengadaan barang dan jasa lokal telah dijalankan dalam praktek internasional, tulisan ini akan memaparkan best practice di beberapa negara yang telah berhasil mengimplementasikan regulasi dan kebijakan pengadaan barang dan jasa lokal, seperti Australia dan Kanada. Di Australia di tingkat provinsi, pengadaan barang dan jasa lokal di wilayah Queensland telah diatur secara khusus dalam Queensland Procurement Policy. Kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah Queensland memiliki dampak signifikan terhadap masyarakat Queensland karena Queensland Procurement Policy yang memiliki prinsip utama value for money yang mengutamakan warga Queensland, dimana pemerintah Queensland memastikan bahwa pengadaan barang dan jasa harus memberikan value for money lebih dari sekadar harga terendah. Berdasarkan Queensland Procurement Policy, jika dilihat dari nilai kontrak pengadaannya, proyek infrastruktur pemerintah Queensland senilai $100 juta dan ke atas mengharuskan penggunaan kontraktor dan manufaktur lokal, jika memungkinkan.

Jika dilihat dari zona pengadaannya, pemerintah Queensland memprioritaskan local supplier yang tenaga kerjanya bertempat tinggal dalam radius 125km di mana barang atau jasa akan ditawarkan. Jika local supplier tidak ada dalam radius 125km, pertimbangan tender akan diberikan kepada supplier dalam wilayah lokal (local region). Jika local supplier juga tidak ada dalam wilayah lokal (local region), pertimbangan tender selanjutnya akan diberikan kepada supplier dalam wilayah Queensland. Jika local supplier juga tidak ada dalam wilayah Queensland, pertimbangan tender selanjutnya akan diberikan kepada supplier dalam Australia.

Page 159: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 143

Sumber: (Queensland Government, 2017)

Gambar 2.1 Zona Pengadaan Lokal di Queensland

Pada tingkat kota, Kota Gold Coast di Queensland secara khusus juga memiliki kebijakan buy local procurement yang mencakup seluruh sektor bisnis di kota Gold Coast. Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah kota Gold Coast hanya akan mencari quotes dari bisnis lokal jika nilai kontrak kurang dari $250,000 dan akan mengundang public tenders jika nilai kontrak lebih dari $250,000. Kebijakan ini secara proaktif mendukung pertumbuhan bisnis dan industri lokal untuk menciptakan lapangan kerja di kota Gold Coast, serta menjaga ekonomi lokal tetap makmur. Namun, sayangnya, kebijakan ini juga dapat mengurangi kompetisi. Non-local supplier akan keluar dari pasar pengadaan lokal jika mereka hanya memiliki peluang kecil untuk memenangkan kontrak akibat adanya kebijakan pengadaan lokal. Hal ini akan mengurangi kompetisi dalam proses pengadaan, di mana inovasi dan nilai untuk pembayar pajak dari pengeluaran untuk pengadaan berpotensi turun akibat semakin rendahnya kompetisi dalam proses pengadaan.

Sementara itu di Kanada, pengadaan publik diatur dalam Financial Administration Act dan Broader Public Sector Accountability Act yang mengacu pada Government Contracts Regulations. Pengadaan sektor pangan lokal di Kanada secara khusus telah diatur dalam Lokal Food Act 2013. Pada tingkat provinsi, Ontario telah menetapkan beberapa kebijakan pengadaan lokal dengan fokus pada keterlibatan local suppliers. Ontario adalah agri-food powerhouse bagi Kanada. Berdasarkan laporan Ontario Local Sustainable Food Procurement, pengeluaran Ontario Broader Public Sector Institutions pada sektor makanan dan minuman mencapai $1,8 miliar setiap tahun. Besarnya kekuatan belanja pada sektor ini mendorong

Page 160: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI144

produksi pangan secara berkelanjutan dalam sistem pangan Ontario. Laporan ini juga memberikan bukti bahwa pengadaan pangan lokal yang berkelanjutan menunjukkan manfaat positif pada ekonomi, lingkungan, dan masyarakat Ontario, seperti menciptakan lapangan kerja baru, membangun ekonomi lokal, dan mengurangi jarak tempuh penyaluran pangan sekaligus mendukung petani dan produsen pangan lokal.

Secara khusus di Kota Toronto, terdapat kebijakan pengadaan makanan lokal yang mengatur bahwa pembelian makanan (lebih dari $3.000) oleh The Purchasing and Materials harus mengajukan Request for Quotations (RFQs) yang meningkatkan persentase penggunaan makanan yang ditanam secara lokal. Berdasarkan kebijakan tersebut, makanan lokal yang dimaksud meliputi (1) fresh food, yang berarti makanan lokal harus ditanam di Ontario; dan (2) value added atau processed food, yang berarti bahwa semua bahan pertanian utama dan sebagian besar (51% atau lebih) bahan pendukung harus berasal dari Ontario dan/atau 80% dari semua keuntungan harus tetap dimiliki Ontario.

Sehubungan dengan praktik internasional tersebut terkait kebijakan pengadaan lokal, beberapa kota/kabupaten di Indonesia telah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017 dengan menciptakan inovasi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian serta mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran di daerah tersebut. Salah satu contohnya adalah Kabupaten Kulonprogo yang mengeluarkan kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’ pada tahun 2012 dengan tujuan untuk mengajak masyarakat Kabupaten Kulonprogo membangun perekonomian daerahnya dengan cara memproduksi dan mengkonsumsi produk Kabupaten Kulonprogo. Gagasan kebijakan ini muncul akibat rasa prihatin Hasto Wardoyo, Bupati Kulonprogo, mengingat kabupaten termiskin di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana persentase kemiskinan pada tahun 2012 mencapai 24,6 persen1.

Dalam implementasi kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’, beberapa inovasi pemerintah Kabupaten Kulonprogo meliputi: (1) mendorong PDAM untuk memproduksi air minum kemasan dengan merek Airku (Air Kulonprogo) yang wajib digunakan di semua kegiatan Lingkup Pemkab dan sekolah; (2) memfasilitasi pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk memproduksi beras hingga tahap pengemasan; (3) mewajibkan setiap PNS Lingkup Pemkab untuk membeli beras dari Gapoktan sehingga pendapatan petani lokal meningkat; (4) mewajibkan setiap pelajar untuk menggunakan seragam berbahan baku kain batik ‘geblek renteng’ buatan Kulonprogo di hari tertentu sehingga industri batik Kulonprogo dapat bangkit dan terus berkembang; (6) mewajibkan penggunaan bahan baku lokal dalam semua proyek infrastruktur di Kabupaten Kulonprogo; serta (7) mewajibkan semua perusahaan di 1 https://regional.kompas.com/read/2015/12/16/15060851/Hasto.Bupati.Bergelar.Dokter.yang.Bikin.

Gerakan.Bela.dan.Beli.Kulon.Progo.

Page 161: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 145

Kabupaten Kulonprogo untuk menyisihkan lima persen keuntungan bagi desa-desa di Kabupaten Kulonprogo (program one village one sister company) melalui Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.

Kesesuaian implementasi kebijakan dengan tahap-tahap kebijakan publik serta adanya komunikasi dan disposisi yang baik dalam implementasinya membuat kebijakan ‘Bela dan Beli Kulonprogo’ berhasil memberikan dampak positif, seperti meningkatnya penjualan atas produk Kabupaten Kulonprogo, menurunnya tingkat pengangguran dan kemiskinan, dan meningkatnya kesejahteraan dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2019), dalam kurun waktu enam tahun, terbukti bahwa persentase kemiskinan Kabupaten Kulonprogo mengalami penurunan menjadi 18,3 persen di tahun 2018, turun dari 24,6 persen di tahun 2012

Dengan fokus inovasi yang sama, Kabupaten Pati juga mengeluarkan kebijakan penggunaan produk lokal melalui Peraturan Bupati No. 1 Tahun 2015 tentang Penggunaan Produk Lokal Unggulan Daerah2. Adapun tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk menggalakkan penggunaan potensi sumber daya lokal dalam kegiatan usaha-usaha ekonomi kerakyatan, menciptakan lapangan kerja dan wirausaha baru, mendorong peningkatan kapasitas produksi dan diversifikasi produk yang berkualitas dan berdaya saing oleh para pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta meningkatkan pendapatan para pelaku UMKM pada khususnya dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah daerah telah memfasilitasi inovasi pemasaran berbagai jenis produk lokal unggulan daerah dari perorangan maupun kelompok UMKM dengan cara mewajibkan setiap ASN daerah dan setiap pelajar untuk menggunakan pakaian batik motif khas Pati di setiap hari kamis, mengkonsumsi produk makanan dan minuman lokal di setiap acara pemerintah daerah maupun perusahaan swasta; menggunakan produk meubelier dan perlengkapan kantor lainnya dari produk lokal unggulan daerah oleh pengrajin lokal, serta memanfaatkan hasil produksi pelaku UMKM sebagai cinderamata dan/atau souvenir dengan ciri khas daerah untuk tamu yang berkunjung ke Kabupaten Pati. Kebijakan penggunaan produk lokal unggulan daerah tersebut ternyata terbukti telah meningkatkan kualitas perekonomian daerah, menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatkan pendapatan masyarakat di Kabupaten Pati. Hal ini dibuktikan dengan penurunan persentase kemiskinan kabupaten dari 11,95 persen di tahun 2015 menjadi 9,9 persen di tahun 2018 (Badan Pusat Statistik, 2019). Beberapa kabupaten/kota seperti Kabupaten Sumenep, Blitar, dan Majalengka juga telah berinovasi mengeluarkan kebijakan terkait penggunaan produk lokal 2 https://jdih.patikab.go.id/download/file/PERBUP-NO-1-TAHUN-2015-TTG-PENGGUNAAN-PRODUK-

LOKAL-UNGGULAN-DAERAH.pdf

Page 162: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI146

seperti Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Pati demi meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa inovasi daerah dan jika dapat diterapkan di tingkat desa akan berkontribusi besar dalam upaya pembangunan ekonomi berkelanjutan di desa. Inovasi dari kedua kabupaten di atas adalah contoh nyata bagi daerah lainnya dalam menentukan inovasi daerah terutama dalam pengutamaan produk unggulan lokal. Ide kreatif, seperti yang dimiliki oleh kedua kabupaten di atas, dibutuhkan oleh masing-masing daerah dalam upaya meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat lokal, dan hal itu dapat diterjemahkan di tingkat desa.

3. WIRAUSAHA LOKAL SEBAGAI MOTOR PENGGERAK EKONOMI DESA

Pembangunan ekonomi desa secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui usaha desa untuk mengelola potensi-potensi yang dimiliki oleh desa. Pembangunan pedesaan merupakan strategi yang dirancang untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan sosial masyarakat desa terutama kelompok miskin. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di tahun 2006 memperkenalkan konsep “Paradigma Pedesaan Baru” melalui promosi wirausaha pedesaan sebagai salah satu dari empat prioritas untuk pembangunan pedesaan (OECD, 2006). Korsgaard dkk., (2015) mendefinisikan konsep kewirausahaan pedesaan sebagai aktivitas bisnis yang dapat memberikan tambahan ekstra nilai tambah pada aspek sosio-spasial daerah pedesaan di samping manfaat ekonomi. Hal ini diperkuat oleh argumen Mueller (2013) yang menyatakan bahwa geografi pedesaan mempunyai keunggulan spesifik lokasi baik bentuk fasilitas fisik, sosial, dan budaya. Bahkan, Acs dkk (2008) menekankan bahwa kewirausahaan adalah pendorong penting untuk melakukan perubahan lanskap ekonomi baik dalam perekonomian formal atau sektor informal seperti di banyak desa-desa di Indonesia.

Pada dasarnya kewirausahaan desa terkait dengan bagaimana cara menemukan manfaat dan peluang di desa, mengembangkan daerah pedesaan, serta menciptakan lapangan kerja bagi penduduk dan meningkatkan kualitas hidup sebagaimana dikemukakan oleh Shane dan Venkataraman (2000), Fuller-Love dkk, (2006), dan Irvine dan Anderson (2004). Oleh karenanya, kewirausahaan telah dianggap sebagai faktor penting dari perubahan sosial dan ekonomi sejak 1960 (Sharma, dkk 2013) sebagaimana konsep yang ditawarkan oleh Joseph Schumpeter dalam The Theory of Economic Development (1911) yang mengatakan bahwa kewirausahaan adalah mesin utama pembangunan ekonomi dengan inovasi sebagai elemen utama.

Page 163: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 147

Oleh karenanya, kewirausahaan pedesaan akan memainkan peranan penting dalam menciptakan inovasi, mengembangkan kapasitas masyarakat, menciptakan peluang kerja, serta mengoptimalkan interaksi antara sektor pertanian, pemanfaatan dan alokasi lahan, keterlibatan masyarakat, dan pembangunan ekonomi (Newbery et al., 2017). Namun demikian, walaupun Nwankwo dan Okeke (2017) telah menyatakan bahwa peran strategis kewirausahaan pedesaan dalam pembangunan pedesaan telah menarik perhatian para pembuat kebijakan dan pakar pembangunan, ternyata masih banyak kendala yang dihadapi oleh para wirausahawan desa, seperti keterbatasan akses ke pasar-pasar besar, minimnya peluang koneksi atau jaringan pasar, lemahnya pengetahuan terhadap teknologi baru, serta hambatan dalam mendapatkan modal tambahan (Wilson, Anderson, 2004; Fuller-Love dkk, 2006). Akibat dari hambatan-hambatan tersebut, kewirausahaan desa akhirnya cenderung mengarah kepada pemenuhan kebutuhan pedesaan serta belum memperhatikan interaksi yang lebih luas dengan daerah lain apalagi dunia internasional.

Kebijakan desentralisasi fiskal berupa dana desa di UU Nomor 6 Tahun 2014 telah menjadi harapan baik bagi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Dana desa yang telah ditransfer oleh pemerintah pusat ke desa sejauh ini sudah dipergunakan dengan maksimal, terutama untuk pembiayaan infrastruktur di desa. Infrastruktur tersebut tentunya sudah bermanfaat bagi masyarakat pedesaan dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk aktivitas dalam perekonomian. Dengan demikian, pada masa mendatang dana desa seharusnya akan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, sebagai salah satu cara menarik minat masyarakat desa berwirausaha. Hal itu dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan tentang kewirausahaan dan mendorong peserta pelatihan untuk menciptakan sebuah produk atau memulai wirausaha baru yang juga akan didanai oleh dana desa. Dengan cara tersebut, APBDesa diharapkan juga akan meningkat seiring dengan tumbuhnya wirausaha baru di pedesaan yang akan menjadi motor penggerak perekonomian desa.

Hubungan pembangunan desa dan kewirausahaan telah dievaluasi oleh Menkhoff dan Rungruxsirivorn (2011) di Thailand dan Nwankwo dan Okeke (2017) di Nigeria. Penelitian di Thailand menemukan bahwa dana desa sebagai salah satu program keuangan mikro terbesar dalam peningkatan akses keuangan telah terbukti meningkatkan penghasilan kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah, bahkan lebih tinggi dari kelompok rumah tangga yang meminjam di lembaga keuangan formal. Hal ini menunjukkan bahwasanya keberadaan dana desa telah mengurangi kendala terhadap akses pembiayaan kredit terutama bagi pelaku usaha di desa. Selanjutnya, penelitian di Negeria menunjukkan bahwa kewirausahaan pedesaan memegang peranan penting bagi pengembangan daerah pedesaan, seperti untuk mengurangi migrasi desa-kota dan pemborosan sumber daya lokal. Namun demikian, penelitian

Page 164: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI148

itu menekankan pentingnya ekosistem pendukung yang baik seperti dukungan dan penyediaan infrastruktur dari pemerintah bagi wirausaha pedesaan.

Salah satu bentuk kewirausahaan desa adalah melalui BUMDes yang ditetapkan melalui Permen Desa PDTT No. 4 tahun 2015 sebagai pelaksanaan dari UU No. 6 tahun 2014. Aturan tersebut menjadi payung hukum untuk BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa untuk mengelola potensi desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. BUMDes yang didirikan di setiap desa seharusnya lahir dari inisiatif masyarakat desa melalui musyawarah perencanaan dan pembangunan desa, serta mempunyai tujuan dan aktivitas yang berbeda-beda sesuai kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing desa. Lembaga ini diharapkan menjadi pilar ekonomi desa dalam perannya sebagai lembaga ekonomi multiguna, yaitu sebagai badan usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat desa dan juga sekaligus untuk membantu penyelenggaraan pemerintah desa. Dalam perannya sebagai lembaga ekonomi desa, BUMDes akan menghasilkan keuntungan dari kegiatan produktif melalui pengelolaan sumber daya desa baik barang maupun jasa yang akan ditawarkan kepada pasar (Srirejeki, 2018).

Berdasarkan uraian di atas, maka wirausaha lokal di tingkat desa akan memegang peranan penting dalam menciptakan inovasi di desa termasuk melakukan pengelolaan lembaga ekonomi lokal BUMdes yang berhasil. Beberapa indikator keberhasilan desentralisasi yang menghasilkan pembangunan pedesaan adalah jika dana desa yang dikelola oleh BUMDes dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pedesaan, mendorong partisipasi aktif masyarakatnya, serta mampu meningkatkan kapasitas institusi lokal sebagaimana dikemukakan oleh Sutiyo (2014). Namun sebaliknya, kegagalan desentralisasi telah terjadi jika pengelolaan dana desa tidak transparan dan proses musyawarah desa hanyalah sebuah formalitas, tidak terdapat modal sosial di tingkat lokal, tidak terdapat partisipasi masyarakat miskin pedesaan, serta rendahnya kapasitas institusi lokal. Oleh karenanya, implementasi desentralisasi di tingkat desa harus didukung oleh komitmen politik pemerintah daerah setempat, penguatan kapasitas kelembagaan yang mendorong partisipasi masyarakat, melakukan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan serta melakukan pengembangan kapasitas institusi lokal (Sutiyo, 2014).

4. KERJASAMA ANTAR DESA UNTUK MENINGKATKAN SKALA EKONOMI

Pembangunan regional di Indonesia mendefinisikan wilayah administratif dan yuridiksi politik dimulai dari Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa. Namun demikian, suatu daerah juga membutuhkan

Page 165: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 149

daerah lainnya karena tidak semua sumber daya yang dibutuhkan dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Akibatnya, suatu daerah pasti juga membutuhkan daerah lain baik untuk membeli maupun untuk memasarkan produk-produknya. Secara teoritis, kebijakan desentralisasi dalam penyediaan pelayanan publik memerlukan ukuran yang optimal (optimal size) dari pemerintah daerah dan pemerintah desa. Hal ini untuk mencapai tingkat efisiensi dari skala ekonomi, efisiensi belanja, serta optimalnya pencapaian kinerja pembangunan.

Otonomi daerah adalah momentum untuk memenuhi berbagai kepentingan suatu daerah dengan tetap melihat kepentingan nasional yang lebih luas serta memperhatikan kepentingan daerah yang saling bertetangga. Hal ini penting karena kegiatan ekonomi di suatu daerah sering kali berdampak negatif pada daerah lain sebagai bentuk eksternalitas negatif yang tidak dapat dihindari (Keban, 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka hubungan antar daerah menjadi penting untuk diperhatikan dalam pemerintahan baik dalam hubungan saling melengkapi (complementary) ataupun saling bersaing (competition) dalam kondisi persaingan yang sehat.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan dasar hukum yang jelas bagi daerah untuk melakukan kerja sama pembangunan, baik dengan pihak ketiga (publik atau swasta) maupun kerja sama antar daerah yang bertetangga. Dengan argumen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka daerah diperbolehkan (bahkan ”diwajibkan”) untuk mengadakan kerja sama dengan daerah lain berdasarkan pertimbangan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan membangun sinergi yang saling menguntungkan. Hal ini selaras dengan konsep Pembangunan Kawasan Perdesaan di UU Desa yang menyatakan bahwa Pembangunan Kawasan Perdesaan bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa dengan pendekatan pembangunan partisipatif melalui perpaduan pembangunan antar desa dalam satu kabupaten/kota. Selanjutnya, aturan tersebut juga mengatur bahwa kerja sama antar desa dan kerja sama dengan pihak ketiga dapat juga dilakukan dalam rangka untuk mempercepat dan meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa.

Kerja sama antar daerah secara umum terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah adanya saling ketergantungan dalam aktivitas ekonomi, perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, spesialisasi dengan maksud meningkatkan nilai tambah suatu daerah, geografis dan karakteristik sumber daya yang berbeda. Proses dari kerja sama antar daerah dapat mendorong terjadinya kompromi, proses evaluasi dan konsultasi, perumusan rencana strategis serta penentuan tujuan bersama.

Page 166: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI150

Terdapat beberapa faktor untuk menjamin keberhasilan kerja sama antar daerah atau antar desa, antara lain adanya kesadaran bersama untuk menangani isu terkait, memiliki koordinasi dan komunikasi yang kuat antar daerah dan antar lembaga terkait, memiliki prasarana dan sarana yang memadai untuk mengelola isu tersebut, ada lembaga yang menangani isu tersebut, dapat bersifat formal maupun informal, dan terdapat benefit yang akan diterima oleh masing-masing daerah.

Secara umum, hasil yang diperoleh dari adanya kerja sama antar daerah dapat berupa hasil dalam bentuk manfaat ekonomi atau anggaran, perbaikan dan keberlanjutan pemberian pelayanan atau program, dan peningkatan kemampuan pembagian pembiayaan dan tanggung jawab. Adanya kerja sama antar daerah juga dapat menghilangkan duplikasi anggaran dari kegiatan atau program yang dijalankan sehingga dapat mengoptimalkan efisiensi belanja. Dalam konteks kerja sama antar desa, setiap desa pasti memiliki sistem masing-masing dalam pengolahan sumber daya alam, tenaga kerja dan faktor-faktor produksi lain. Namun, setiap desa tentunya tidak dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Oleh karenanya, perbedaan potensi dan kemampuan antar desa akan mengakibatkan adanya perdagangan antar desa melalui arus perpindahan barang dan jasa.

Prasyarat bagi suatu desa untuk maju adalah apabila desa tersebut sanggup memproduksi barang dan jasa yang lebih besar dari kebutuhannya sendiri. Kelebihan produksi ini nantinya diperdagangkan ke desa lain untuk dipertukarkan dengan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh desa tersebut. Arus perdagangan tersebut akan menghubungkan semua wilayah produksi di desa tersebut dengan pusat perdagangan utama seperti pasar. Namun demikian, untuk penentu utama volume barang dan jasa yang dikonsumsi setiap desa adalah jumlah dan kemampuan konsumen di desa tersebut. Oleh karenanya, pendapatan per kapita, daya beli, karakter penduduk dari desa tersebut menjadi faktor penting tumbuhnya ekonomi dan perdagangan di kawasan pedesaan yang dimaksud. Selain itu, ketersediaan infrastruktur yang berbeda-beda di setiap desa akan menyebabkan laju interaksi suatu desa berbeda dengan desa di sekitarnya. Suatu daerah dengan sarana jalan, transportasi yang lebih baik akan memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan daerah lain dibanding dengan daerah yang memiliki keterbatasan infrastruktur. Sementara itu, desa-desa yang terpencil memiliki akses terbatas sehingga terisolasi terhadap perkembangan di daerah sekitarnya. Keterbatasan geografis ini juga yang dapat mempersulit hubungan antar daerah dalam bentuk perdagangan atau aliran sumber daya dan barang/jasa.

Page 167: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 151

5. PENUTUPPerekonomian daerah di Indonesia sebagian besar masih didominasi oleh konsumsi masyarakat sehingga hal ini memberikan peluang yang besar bagi desa untuk menjadi pemasok utama untuk konsumsi domestik dan mengurangi ketergantungan dari impor. Kebijakan inovasi daerah dan desa yang mengutamakan produk lokal akan menjamin keberlangsungan permintaan atas produk-produk dari masyarakat desa sehingga perputaran uang dari dana desa dapat dipertahankan dan mengurangi capital outflow ke luar daerah.

Agar pembangunan ekonomi di desa dapat berkualitas dan berkelanjutan maka harus diupayakan peningkatan masuknya investasi ke desa dengan fokus pada sektor-sektor yang menghasilkan efek pengganda besar. Oleh karenanya, peran wirausaha desa yang difasilitasi oleh BUMDes akan memegang peranan penting untuk menciptakan iklim investasi yang menarik dan menunjang, yang tidak diganggu oleh upaya peningkatan PADesa dan APBDesa secara berlebihan. Selain itu, inovasi desa dan wirausaha desa ini diharapkan akan berdampak pada penciptaan lapangan kerja baru dan sekaligus menjadi solusi bagi masalah pengangguran jika tenaga kerja lokal mempunyai kapasitas yang memadai untuk menjadi salah satu pelaku utama dalam perekonomian desa.

Sebagaimana tujuan besar dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, maka setelah desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal, tahapan berikutnya adalah desentralisasi ekonomi. Oleh karenanya, pemerintah desa harus bertransformasi menjadi unit perekonomian daerah yang aktif selain sebagai unit administrasi pemerintahan. Selanjutnya, APBDesa bukan lagi menjadi tujuan akhir pembangunan ekonomi desa melainkan terciptanya aktivitas ekonomi yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, desentralisasi haruslah dilihat sebagai kepentingan semua pihak di desa dan bukan kepentingan sejumlah kelompok elit tertentu, dan dalam hal ini akan menuntut kepala desa untuk mempunyai karakter kepemimpinan dan semangat wirausaha untuk membangun sistem yang berkesinambungan dalam menjalankan roda perekonomian desa melalui berbagai terobosan inovasi kelembagaan.

Selain itu, dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi lokal maka desa harus mampu mengidentifikasi sektor/komoditi prioritas sesuai dengan kondisi lokal dan tren persaingan regional dan global. Selanjutnya, aparat desa dan masyarakat desa haruslah mampu menjadikan perekonomian desanya “layak” menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di tingkat lokal dan regional melalui kebijakan ekonomi lokal yang unik. Hal ini diharapkan dapat menjadi terobosan kebuntuan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah dan sekaligus mengurangi masalah

Page 168: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI152

ketimpangan antar daerah. Dan pada akhirnya, kerja sama ekonomi antar desa seyogyanya harus dikembangkan di mana pemerintah kabupaten seharusnya dapat berperan penting dalam menciptakan “Economics of Scale” bagi perekonomian desa.

6. DAFTAR PUSTAKAAcs, Z. J., Desai, S., & Klapper, L. F. (2008). What does" entrepreneurship"

data really show? A comparison of the Global Entrepreneurship Monitor and World Bank Group datasets. The World Bank.

Antlöv, H. (2003). Village government and rural development in Indonesia: The new democratic framework. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(2), 193-214.

Arifin, Bondi & et al. 2020. Village fund, village-owned-enterprises, and employment: Evidence from Indonesia. Journal of Rural Studies.79.382-394.

Bahl, Roy & Linn, Johannes. (1994). Fiscal Decentralization and Intergovernmental Transfers in Less Developed Countries. Oxford University Press, Vol. 24, No. 1, pp. 1-19.

Bergh, S. I. (2010). Assessing the scope for partnerships between lokal governments and community-based organizations: findings from rural Morocco. International Journal of Public Administration, 33(12-13), 740-751.

Boonperm, Jirawan, Haughton, Jonathan, Khandker, Shahidur R. (2013). Does The Village Fund Matter in Thailand? Evaluating The Impact On Incomes and Spending. Journal of Asian Economics, Vol. 25, pp. 3-16.

Fuller‐Love, Nerys, Peter Midmore, Dennis Thomas, and Andrew Henley. "Entrepreneurship and rural economic development: a scenario analysis approach." International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research (2006).

Irvine, W., & Anderson, A. R. (2004). Small tourist firms in rural areas: Agility, vulnerability and survival in the face of crisis. International Journal of Entrepreneurial Behaviour & Research, 10(4), 229-246.

Page 169: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Khoirunurrofik 153

Keban, Yeremias T. (2005), Kerjasama Antar Daerah dalam Era Otonomi: Isu Strategis, Bentuk, dan Prinsip, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Kemendesa PDTT. (2019). Rural Ekonomics III: Menguatkan Pilar Ekonomi Desa. Jakarta: Biro Humas dan Kerjasama Kemendesa PDTT.

Korsgaard, S., Müller, S., & Tanvig, H. W. (2015). Rural entrepreneurship or entrepreneurship in the rural–between place and space. International Journal of Entrepreneurial Behavior & Research.

Kvartiuk, V., & Curtiss, J. (2019). Participatory rural development without participation: Insights from Ukraine. Journal of Rural Studies, 69, 76-86.

Meador, J. E. (2019). Reaching rural: Identifying implicit social networks in community development programmes. Journal of Rural Studies, 68, 285-295

Menkhoff, Lukas & Rungruxsirivon, Ornisiri. (2011). Do Village Funds Improve Access to Finance? Evidence from Thailand. World Development, Vol. 39, No. 1, pp. 110-122.

Newbery, R., Siwale, J., & Henley, A. (2017). Rural entrepreneurship theory in the developing and developed world. International Journal of Entrepreneurship and Innovation, 18(1), 3-4.

Nwankwo, Francis O & Okeke, Chinwe S. (2017). Rural Entrepreneurship and Rural Development in Nigeria. Africa’s Public Service Delivery and Performance Review.

OECD. Publishing. (2006). The new rural paradigm: Policies and governance. Organisation for Economic Co-operation and Development.

Ontario Minister of Agriculture, Food and Rural Affairs. (2019). Ontario's Lokal Food Report 2018/19 Edition. Ontario: Ontario Minister of Agriculture, Food and Rural Affairs.

Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah

Peraturan Presiden RI No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Page 170: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI154

Queensland Government. (2017). Backing Queensland Jobs: Queensland Government Procurement Strategy 2017. Queensland: Queensland Department of Housing and Public Works.

Rosenstein-Rodan, P. N. (1961). Notes on the theory of the ‘big push’. In Economic Development for Latin America (pp. 57-81). Palgrave Macmillan, London

Schumpeter, J. (1911). The theory of economic development. Harvard Economic Studies. Vol. XLVI.

Shane, S. & Venkataraman, S. (2000). The promise of entrepreneurship as a field of research. Academy of Management Review, 25(1), 217–226.

Sharma, M., Chaudhary, V., Bala, R., & Chauhan, R. (2013). Rural entrepreneurship in developing countries: Challenges, problems and performance appraisal. Global Journal of Management and Business Studies, 3(9), 1035-1040.

Speer, J. (2012). Participatory governance reform: a good strategy for increasing government responsiveness and improving public services?. World Development, 40(12), 2379-2398.

Srirejeki, K. (2018). Empowering the Role of Village Owned Enterprises (BUMDes) for Rural Development: Case of Indonesia. Journal of Accounting, Management, and Economics, 20 (1), 5-10.

Sutiyo, S. (2014). Decentralization: Potentiality and Challenge for Rural Development. Journal of International Development and Cooperation, 20(3), 5-12.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Page 171: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 155

KRISIS EKONOMI DAN MASA DEPAN TRANSAKSI DIGITAL DI DESA DALAM

ERA TATANAN KEHIDUPAN BARU

Moh. Ahlis DjirimuFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako

[email protected]

BAB

XIII1. PENDAHULUANPresiden Jokowi pada 15 Mei 2020 menyatakan “Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini. Itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru”. Empat bulan terakhir perubahan hidup ini begitu terasa. Kontak fisik sebagai ajang silaturahmi di kantor, lapangan olah raga, cafe, kampus, perpustakaan, hotel, rumah orang tua semakin minim. Di kota, minim kontak apalagi sekedar obrolan sesama teman sejawat. Di desa juga demikian, tetapi sikap ‘awas’ dan ‘waspada’ tetap ada. Mungkin saja ini bukan akhir segalanya, tetapi intensitasnya pasti semakin menurun. Silaturahmi bertransformasi dari kontak fisik menjadi kontak daring. Tadinya, penulis berpikir booming tayangan COVID-19 hanya merupakan permainan media massa mainstream dunia bersaing membuat laku kegiatan bisnisnya seperti terjadi sebelumnya pada tayangan SARS, MERS, Flu Burung. Lalu, empat bulan kemudian, ajang ini berganti silaturahmi virtual, webinar, halal bihalal online sekedar menunjukkan wajah dan berbicara masing-masing mengobati kerinduan bertemu bersapa, bertukar cerita.

Tentu saja desa terkena dampaknya. Desa menjadi penting karena belajar dari pengalaman krisis ekonomi lalu, UMKM dan sektor informal menjadi jaring pengaman sosial. Saat ini, semua ahli ekonomi di Indonesia sepakat bahwa desa menjadi jaring pengaman sosial dari terpaan krisis Covid-19. Sektor pertanian memegang peran penting. Transformasi pertanian khususnya sub sektor tanaman pangan dan hortikultura, sub sektor peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dari sistem tunai menjadi digital farming merupakan hal yang mendesak dilakukan. Selain itu, pembangunan desa harus dilakukan dari paradigma village uncorporated menjadi village incorporated, village-urban incorporated. Semua harus menyadari peran desa tersebut. Iwan Fals sudah pernah mengingatkan kita lewat lirik lagunya: “walau lahan di desa telah menjadi milik kota…desa adalah kekuatan ekonomi…di lumbung kita menabung…datang paceklik kita tak bingung”. Desa sangat berperan besar di masa pandemi seperti sekarang. Intensitas kedatangan pandemi yang hanya berjarak setiap empat tahun antar setiap pandemi Severe Acute Respiratory

Page 172: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI156

Syndrome (SARS, Flu Burung, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), dan Covid-19 mengharuskan kita memperkuat desa sebagai kekuatan ekonomi agar kita mengantisipasi datangnya krisis kesehatan menimbulkan krisis ekonomi berlanjut pada krisis pangan dan berujung pada krisis sosial seperti kelaparan, kematian, disharmoni sosial. Pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, pembahasan untuk memahami perjalanan krisis ekonomi. Kedua, pembahasan makna tatanan kehidupan baru.

2. MEMAHAMI PERJALANAN KRISIS EKONOMIPada April 2009, Direktur Pusat Kajian Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional (CEMAFI) Universitas Nice Sophia Antipolis meminta penulis mengamati pergerakan kurs berbagai negara baik secara individu maupun berbagai regional selama periode 1948-2009. Penulis sampai pada beberapa catatan kecil saat itu yakni pertama, pasca runtuhnya sistem Bretton Woods yang berpatokan pada kurs tetap, semua negara mengalami kerentanan ekonomi yang yang dipercepat oleh gelombang berbagai negara dalam integrasi perdagangan dan integrasi keuangan internasional. Kedua, tidak ada satu rezim mata uang tunggal yang berlaku tepat bagi suatu negara dan atau pada waktu yang sama. Ketiga, krisis ekonomi terjadi secara regional lalu merambat menjadi krisis global.

Penulis fokus pada poin ketiga yakni krisis ekonomi. Perjalanan krisis ekonomi dimulai awal abad ke-19 saat sejumlah negara bagian Amerika mengalami default atau gagal bayar hutang luar negerinya pada pinjaman dari Eropa untuk membiayai pembangunan berbagai kanal sebagai jalur transportasi perairan pada era itu. Kegagalan memenuhi pembayaran tersebut sesuai waktu yang tertera pada kontrak dapat menjadi sentimen negatif bagi negara bagian peminjam. Di belahan dunia lainnya yakni di Amerika Latin, pada abad tersebut, terjadi krisis Baring atau Panic of 1890 sebagai lanjutan dari krisis parah di Argentina yang berpangkal pada krisis hutang berdaulat (sovereign debt). Lalu pada Tahun 1917, Pemerintahan Komunis Rusia mengesampingkan hutang Pemerintah Sovyet membuat Inggris dan Prancis kehilangan jutaan pound investasi asing di Rusia. Krisis terbesar dalam sejarah adalah the Great Depression pada dekade 1930an ketika hampir semua negara-negara berkembang mengalami gagal bayar pada hutang luar negerinya. Sejarah krisis berlanjut dengan krisis hutang luar negeri negara-negara “MBA+” terminologi Meksiko, Brazil, Argentina plus Chile pada dekade 1980an. Lalu pada Meksiko mengalami krisis lagi kesekian kalinya pada Tahun 1987 dan 1994 sebelum pindah ke belahan krisis Asia pada 1997 dan krisis Rusia pada tahun yang sama, lalu krisis hutang publik Brazil, krisis Argentina pada 2001-2002, krisis Amerika pada 2008 dan krisis Zona Euro pada 2010.

Page 173: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 157

Pendekatan analisis teoritis mengetengahkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi dapat dimaknai atas dua hal. Pertama, krisis ekonomi merupakan konsekuensi terjadi ketidakseimbangan di pasar keuangan internasional berbarengan dengan optimisme harga saham, pada satu sisi, dan pada sisi lain adalah asal muasal debitur dan rezim nilai tukar. Oleh Ekonom kenamaan Amerika (Kaminsky et al., 1998) membagi krisis ini atas tiga model generasi krisis. Krisis generasi pertama diperkenalkan oleh Salant-Henderson-Krugman-Flood-Garber. Krisis generasi kedua diperkenalkan oleh Maurice Obstfeld, serta krisis generasi ketiga diperkenalkan oleh Paul R. Krugman. Kedua, krisis ekonomi sebagai konsekuensi dari keterbukaan ekonomi diperkenalkan oleh Bernake-Gertler, serta ketiga adalah krisis Asia menurut IMF-Radelet-Sachs.

Krisis generasi pertama terjadi pada saat kondisi ketidakseimbangan fiskal yang ditandai oleh defisit anggaran yang cenderung berkesinambungan. Defisit ini terjadi karena berbagai hal seperti ketidaktepatan dalam penetapan target penerimaan negara, semakin besarnya belanja sosial seperti health care karena struktur penduduk dominan berusia senja, tunjangan pengangguran meningkat, belanja militer yang tidak terkontrol. Hal ini menjadi pemicu serangan spekulatif terhadap mata uang nasional, baik karena asimetri informasi maupun moral hazard. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa Bank Sentral cenderung membiayai defisit fiskal melalui pencetakan uang dan/atau dalam konteks luar melalui monetisasi berupa pemberian kredit dalam negeri, sementara pada saat yang sama berupaya mempertahankan nilai tukar tetap yang pasti akan menggerus cadangan devisa bagi intervensi Bank Sentral bila terjadi gejolak moneter. Dengan kondisi cadangan devisa resmi yang terbatas, ekspektasi mengenai terjadi devaluasi telah mendorong tindakan para spekulan untuk menyerang mata uang, termasuk obligasi yang belum dilindung nilai (hedging) yang selanjutnya menguras cadangan devisa dalam satuan bulan impor dan rasio kecukupan benchmarking internasional Bank Sentral. Fenomena ini pernah melanda Meksiko sehingga menjatuhkan obligasi pemerintah dalam mata uang nasional “cetes” dan obligasi dalam dolar “tesobonos” menjadi “obligasi sampah” karena diperparah pembunuhan calon presiden Meksiko.

Krisis generasi kedua dikaji oleh Obstfeld (1994) yakni kondisi trade-off yang dihadapi pemerintah, antara pilihan mempertahankan kurs tetap dan menerapkan kebijakan moneter ekspansif untuk mengurangi pengangguran. Skenario krisis tidak lagi bersifat deterministik antara negara dan pasar. Model ini menunjukkan bahwa krisis terjadi tanpa memburuknya fundamental ekonomi secara signifikan. Namun model ini belum dapat menjelaskan mengapa terjadi krisis Asia di Tahun 1997. Kompleksitas krisis Asia menyebabkan runtuhnya sistem keuangan dan kebangkrutan korporasi besar seperti Finance-One di Thailand, Hanboo, Halla, Sammi, Jinro, serta likuidasi enam belas bank di Indonesia.

Page 174: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI158

Analisis krisis ekonomi generasi ketiga dikembangkan Krugman (1998) dan Corsetti, Pesenti, Roubini (1999) (Studi, 2002). Krisis ini Asia merupakan elemen penting karena berbeda dengan krisis generasi pertama dan krisis generasi kedua. Dalam krisis generasi ketiga, tidak ada faktor fundamental ekonomi yang bermasalah seperti dijelaskan dalam krisis generasi pertama. Sebelum krisis, APBN masing-masing negara Asia berada dalam kondisi seimbang. Kebijakan moneter tidak berada dalam implementasi ekspansif dan tingkat inflasi rendah. Walaupun pertumbuhan ekonomi menurun, kawasan ini tidak mengalami pengangguran. Sebelum terjadinya krisis, negara-negara Asia mengalami ”boom-bust cycle”, baik di pasar ekuitas, di pasar modal dan real estate. Krisis ini dipicu oleh excess likuiditas yang selanjutnya sistem keuangan ambruk. Krisis ini bermula dari perantara sistem keuangan, yaitu lembaga yang memiliki kapasitas untuk mendapatkan jaminan implisit dari belum diatur oleh negara. Hal ini memicu fenomena moral hazard. Akibatnya, jumlah hutang yang diberikan oleh lembaga perantara ini menyebabkan peningkatan inflasi. Inflasi ini bukan dipicu oleh peningkatan harga komoditas, tetapi oleh penilaian harga saham yang berlebihan. Dalam situasi ini, risiko penyebaran hutang meningkat, risiko aset di pasar ekuitas akan meningkat dalam jangka panjang.

Keterbukaan ekonomi mendorong arus masuk modal asing jangka pendek ke domestik. Hal ini didorong oleh gencarnya korporasi domestik meminjam di pasar keuangan internasional yang suku bunganya terkadang 2,5 persen lebih tinggi dari suku bunga acuan pinjaman pada London Interbank Offered Rates (LIBOR) untuk meningkatkan aset likuidnya. Kondisi ini menimbulkan hilangnya kepercayaan investor asing karena adanya capital flight. Di dalam negeri, pencetakan uang kurang ampuh karena depresiasi mata uang nasional dan memburuknya neraca pembayaran. Model ini merujuk pada model keseimbangan umum Mundell-Fleming.

Baik IMF (2006) maupun Radelet-Sachs (Affairs et al., 2005) mengetengahkan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Asia merupakan krisis tata kelola ekonomi. Di saat itu, fenomena the Asian Miracle yakni selama periode 1970-1996, pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia mencapai 8 persen per tahun, dan baik kebijakan moneter maupun fiskal tidak bersifat ekspansif. Namun, siapa menyangka, perekonomian asia menyimpan “bubble economy” yang sewaktu-waktu dapat meledak. Pada semester kedua Tahun 1997, fenomena gejolak moneter ditandai dengan merosotnya nilai tukar mata uang di negara-negara Asia. Jatuhnya kurs Baht Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai konsekuensi dari gagal bayar Bangkok International Bank Facilities (BIBF) karena ditanamkan di sektor property oleh korporasi menimbulkan maturity and time missmatch. Korporasi tersebut, sahamnya didominasi oleh para anggota parlemen, partai kedua terbesar di Thailand saat itu mendorong jatuhnya Pemerintahan Chavalit Yongchaiyudh pada November 1997. Jatuhnya Baht ini diikuti

Page 175: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 159

oleh jatuhnya nilai Peso, Ringgit, Rupiah bahkan Dolar Singapura yang dianggap berbagai kalangan sebagai salah satu mata uang yang terkuat di kawasan ini, ikut-ikutan merosot nilainya terhadap Dolar Amerika. Beruntung, Perdana Menteri Chuan Leekpai dapat memulihkan ekonomi Thailand hingga Tahun 2001.

Krisis ekonomi terjadi dipicu oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan erat dengan fundamental ekonomi suatu negara. Sedangkan faktor eksternal berkaitan erat dengan muncul moral hazard sebagai konsekuensi dari sentimen pasar. Penulis hanya fokus pada faktor internal. Indikator utama fundamental ekonomi adalah laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, cadangan devisa resmi, kurs, hutang luar negeri, kinerja neraca perdagangan, serta tingkat pengangguran. Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meleset dari target pemerintah yang diperkirakan mencapai 5,3 persen, bahkan perkiraaan sementara akan mengalami kontraksi sebesar 4,5-4,8 persen di Tahun 2020. Angka inflasi di Indonesia secara umum mencapai 3-4 persen lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 5 persen. Selama triwulan I atau Januari-Maret 2020, inflasi di Indonesia berturut-turut mencapai 0,39 persen, 0,28 persen dan 0,1 persen. Sedangkan pada April dan Mei 2020, inflasi mencapai 0,08 persen dan 0,07 persen. Cadangan devisa resmi Indonesia pada Februari 2020 mencapai US$ 131,7 miliar setara dengan 7,7 bulan impor atau 7,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan. Rupiah ditutup menguat 0,39 persen pada level Rp 16.430,- pada sesi 3 April 2020 menguat sehari sebelumnya pada rentang kisaran Rp 16.430-16.505,-. Hari ini, 11 Juni 2020, rupiah ditutup melemah 0,29 persen pada level Rp 14.020,- per dolar dari penutupan sehari sebelumnya Rp 13.903,- pada rentang transaksi di kisaran Rp 13.903,- - Rp 14.038,- mengikuti depresiasi mayoritas mata uang regional Asia. Pada Februari 2020, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 2.335,9 juta. Hal ini disebabkan oleh adanya surplus sektor nonmigas mencapai US$ 3.267,5 juta, sebaliknya, neraca migas mengalami defisit sebesar US$ 931,6 juta. Selama periode Januari-Maret 2020, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar US$ 1.699,2 juta yang disebabkan oleh tingginya surplus sektor nonmigas mencapai US$ 3.801,8 juta. Sedangkan nilai ekspor Indonesia di bulan April mencapai US$ 12,19 miliar atau menurun sebesar 13,33 persen dibandingkan Maret 2020, sebaliknya, nilai impor mencapai US$12,54 miliar atau mengalami penurunan 6,10 persen dibandingkan Maret 2020. Neraca perdagangan Indonesia di bulan April mengalami defisit sebesar US$ 0,35 miliar. Posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia, pada akhir Januari 2020 tercatat sebesar US$ 410,8 miliar. ULN tersebut, terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan Bank Sentral) sebesar US$ 207,8 miliar dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar US$ 203,0 miliar. ULN Indonesia

Page 176: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI160

tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 7,5 persen (year on year), atau mengalami perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 7,7 persen (yoy). Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan ULN swasta. ULN swasta tumbuh lebih rendah dari bulan sebelumnya. Sementara pada Maret 2020, ULN menurun tinggal US$ 389,3 miliar terdiri dari Hutang Sektor Publik baik Pemerintah dan Bank Indonesia US$ 183,8 miliar dan Hutang Sektor Swasta termasuk BUMN mencapai US$ 205,5 miliar.

Terakhir, data BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka menurun dari 5,34 persen pada Februari 2019 menjadi 5,28 persen pada Agustus 2019. Pada Februari 2020, jumlah penganggur meningkat 60 ribu orang, namun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2020 menurun dari tahun sebelumnya menjadi sebesar 4,99 persen. Angka pengangguran penduduk lulusan SMK menempati peringkat tertinggi barisan penganggur mencapai 8,49 persen. Kemungkinan angka pengangguran akan meningkat pada edisi Agustus 2020 yang terbit pada November 2020 sebagai konsekuensi dari penutupan industri dan lapangan kerja pada berbagai daerah sebagai akibat dari Covid-19. Akhirnya, data tersebut di atas menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kokoh dan berbeda dengan pengalaman Tahun 1997, namun Indonesia tetap waspada dan antisipatif konsekuensi ekonomi dari Covid-19. Namun, realisasi angka pengangguran terbuka ini belum memperhitungkan dampak Covid-19 yang mulai terasa pada April 2020.

3. MAKNA TATANAN KEHIDUPAN BARUKenormalan Baru merupakan satu dari empat tahap dalam masa pandemi. Empat tahap tersebut adalah Death Zone, New Normal, Donkeyman, Long Life Hope. Death Zone atau zona kematian, atau zona merah adalah masa yang ditandai oleh merebaknya wabah (tha’un) yang dapat menimbulkan kematian. Fenomena ini mengingatkan kita pada sejarah masa lalu saat pandemi “Maut Hitam” atau black death melanda Eropa dimulai dari Oktober 1347 setelah 12 kapal dagang Genoa berlabuh di Pelabuhan Messina, Kepulauan Sisilia, di pesisir barat laut Mediterania. Kapal tersebut menjadi perantara menyebarkan penyakit pes yang berakibatnya hilangnya nyawa sepertiga penduduk Sisilia, kepulauan yang terkenal dengan Cosanostra atau mafia Sisilia, dalam film The God Father, The Last Don. Death Zone merupakan masa yang tidak boleh diabaikan ataupun dipandang enteng. Kejadian membludaknya jenazah, utamanya penduduk lanjut usia di Itali dua bulan lalu muncul akibat sikap pandang enteng atas penyebaran pamdemi ini. Karakteristik Death Zone ditandai oleh belum adanya penemuan obat maupun vaksin dan perilaku masyarakat mengacuhkan wabah.

Page 177: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 161

Kenormalan Baru atau Tatanan Kehidupan Baru merupakan tahap kedua dari lockdown yang dilonggarkan. Tujuannya untuk membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan terukur mengenai level pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tersebut sehingga kebijakan yang dapat diambil dapat dipertanggungjawabkan. Persiapan menuju Tatanan Kehidupan Baru akan dilakukan pada empat provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Barat dan Gorontalo melibatkan 340 ribu TNI/Polri. Kondisi Tatanan Kehidupan Baru ditandai oleh belum adanya penemuan dan/atau vaksin, intervensi pemerintah telah dilakukan intervensi serta sebagian anggota masyarakat sudah peduli dan berusaha mengikuti aturan pemerintah. Pada tahap ini seharusnya membutuhkan persiapan matang. Transformasi perilaku dari pola pikir normal ke pola pikir new normal menjadi tantangan berat karena membutuhkan pembiasaan. Sebagai contohnya, bila kita bepergian keluar rumah, maka terasa kurang lengkap apabila tidak membawa telepon seluler. Apabila telepon seluler kita ketinggalan di rumah, maka pasti kita akan kembali mengambilnya. Pada masa Tatanan Kehidupan Baru, selain HP, ketersediaan masker, handsanitizer, tissue basah, tissue kering harus ada dalam tas kita. Bagi perempuan, mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan walaupun masker belum tentu ada dalam tas. Tetapi, bagi kaum lelaki, terasa berat karena menambah beban tas. Mulai masa sekarang, hal ini tidak dapat dihindari lagi, masker, handsanitizer beserta kelengkapan lainnya harus ada menyertai kita. Sayang, Penerapan Jarak Sosial minimal 1,8 meter belum dipatuhi. Hal ini diperparah lagi oleh perilaku masyarakat lebih memilih memenuhi “Zakat Mall” ketimbang “Zakat Mal”.

Donkeyman merupakan tahap ketiga. Tahap ini ditandai oleh adanya fenomena yakni obat dan/atau vaksin telah ditemukan, pemerintah aktif melakukan intervensi, tetapi perilaku masyarakat kembali lengah terhadap pandemi. Pengalaman Kota Wuhan di Tiongkok yang melonggarkan lockdown dan Korea Selatan yang justru menimbulkan gelombang baru kenaikan COVID-19 pada anak usia sekolah patut menjadi pelajaran bagi kita.

Tahap keempat adalah Long Life Hope. Tahap ini ditandai oleh karakteristik ditemukannya obat dan/atau vaksin anti pandemi Covid-19 dan perilaku masyarakat sangat sadar dan taat dengan protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Pada tahap ini, pembiasaan diri masyarakat dan pola pikir masyarakat berubah dan menjadi lebih peduli pada Perilaku Bersih Hidup Sehat (PHBS) menjadi modal utama bagi Tatanan Kehidupan berikut.

Pada Kondisi Kenormalan Baru atau Tatanan Kehidupan Baru, merupakan masa sangat penting dan menentukan. Penting karena pemerintah telah meluncurkan berbagai macam stimulus anti pandemi baik fiskal maupun moneter, termasuk bantalan sosial untuk menyelamatkan penduduk dari ancaman kelaparan, kematian maupun kehilangan

Page 178: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI162

lapangan kerja, yang berimbas pada peningkatan kemiskinan dan ketimpangan yang menurunnya daya beli masyarakat yang dapat berujung pada ancaman gejolak sosial. Stimulus fiskal dan moneter ini berfungsi ganda yakni mengatasi gejolak penawaran (supply shock) dan gejolak permintaan (demand shock) yang dapat menimbulkan stagflasi. Kondisi saat ini merupakan ujian ketegasan aturan pemerintah apakah masyarakat benar-benar patuh saat terjadi pelonggaran lockdown pada tahap kedua ini. Sosialisasi tiada henti, advokasi berkelanjutan merupakan bentuk mentradisikan kebijakan. Kebijakan tegas yang patut diimplementasikan dan diawasi serta dievaluasi pelaksanaannya.

Satu dari beberapa perubahan sebagai persiapan memasuki Tatanan Kehidupan Baru adalah penggunaan uang digital sebagai pendamping uang klasik berfungsi alat tukar-menukar dan transaksi non tunai masyarakat yang tidak berbunga. Satu dari berbagai wujud komitmen BI tersebut adalah membumikan pembayaran non tunai untuk menghindari masyarakat dari gangguan keamanan, inefisiensi, risiko gangguan kesehatan. Wujud transaksi non tunai itu adalah Uang Elektronik (UE) dan QRIS, singkatan dari (QR Code Indonesia Standard).

Pengaturan Uang Elektronik oleh Bank Indonesia secara khusus diatur pertama kali pada Tahun 2009 melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/12/PBI/2009 tentang UE. Pada Mei 2018, Bank Indonesia menerbitkan kembali PBI UE sekaligus mencabut PBI UE sebelumnya, guna mengakomodir perkembangan teknologi sekaligus memperkuat aspek pengaturan UE di Indonesia. Model bisnis UE semakin bervariasi seiring dengan perkembangan inovasi teknologi dan peningkatan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan UE perlu didasarkan pada kondisi keuangan yang baik agar mampu memberikan manfaat yang optimal bagi perekonomian Indonesia. Pengaturan yang harus memahami adanya kenyataan adanya disparitas kinerja penyelenggara berizin dan makin beragamnya pihak yang mengajukan permohonan izin UE. UE diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip. Nilai UE yang dikelola bukan merupakan simpanan, maka secara prinsip penerbit tidak diperkenankan untuk menyalurkan uang yang disetorkan menjadi kredit atau pembiayaan, dan tidak diperkenankan untuk memberikan manfaat seperti bunga kepada pengguna UE.

Terkait dengan sifat UE yang tidak diperlakukan sebagai simpanan, di Uni Eropa telah diatur secara tegas bahwa nilai uang yang diterima dari setoran nilai UE tidak diperbolehkan untuk disalurkan sebagai kredit, dan penerbit dilarang memberikan bunga atau bentuk manfaat lainnya kepada pengguna sehubungan dengan durasi waktu penatausahaan nilai UE. Inovasi teknologi, termasuk perkembangan e-commerce dewasa ini mendorong semakin meluasnya penggunaan UE yang digunakan secara terbatas atau yang umum dikenal sebagai closed loop. Dengan

Page 179: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 163

mempertimbangkan jumlah pengguna dan nilai Dana Float yang meningkat, serta untuk memastikan perlindungan konsumen, UE closed loop perlu diatur oleh Bank Indonesia. Peningkatan batas nilai UE belum teregistrasi dari semula maksimal Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta dilakukan dalam rangka mengakomodir perkembangan kebutuhan penggunaan UE belum teregistrasi untuk transaksi pembayaran dengan nilai yang lebih tinggi dari Rp 1 juta dalam 1 (satu) kali transaksi dengan tetap memperhatikan aspek keamanan transaksi.

QR adalah serangkaian kode yang memuat data maupun informasi seperti identitas pedagang maupun pengguna, nominal pembayaran, dan/atau mata uang yang dapat dibaca dengan alat tertentu dalam rangka transaksi pembayaran. QRIS adalah sistem pembayaran Indonesia yang dikembangkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI). Selama ini, terjadi fragmentasi sistem pembayaran yang bermakna bahwa konsumen sebagai user hanya dapat melakukan QR pada 1 Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP). Akibatnya, merchant harus memiliki banyak QR yang berkonsekuensi pula harus memiliki banyak rekening pada berbagai PJSP.

Fenomena ini dirasakan kurang efisien karena harus memajang berbagai QR sehingga memenuhi ruang meja kasir. Setelah QRIS diberlakukan oleh BI, pengguna dapat melakukan scan QR dari semua PJSP. Demikian pula merchant, cukup memiliki 1 rekening pada 1 PJSP. QRIS menerapkan prinsip UNGGUL yang bermakna Universal yakni inklusi bagi seluruh lapisan masyarakat dan dapat digunakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga tidak perlu membawa uang tunai atau melakukan konversi kurs di money changer yang menyita waktu dan tenaga saat antri, penggunaan kertas, serta jauh dari ancaman transmisi kuman karena perpindahan tangan. GAMPANG bermakna transaksi dengan mudah dilakukan dan aman. Pengguna cukup membuka aplikasi pembayaran dari HP, lalu scan QRIS dan memeriksa kebenaran nama merchant, lalu isi nominal pembayaran sambil memperlihatkan kebenaran nominalnya pada merchant, selanjutnya eksekusi. UNTUNG, bermakna satu untung bagi konsumen karena hanya 1 QR Code bagi semua aplikasi, konsumen tinggal memperhatikan kecukupan cadangan depositnya dalam rekening saat ini maksimum Rp 10 juta. LANGSUNG, bermakna transaksi berlangsung cepat dan seketika mendukung kelancaran sistem pembayaran, tanpa para merchant harus memeriksa lagi keabsahan uang tunai, tanpa uang kembali baik kertas maupun logam yang menimbulkan penularan virus COVID-19.

Dalam prakteknya, QRIS terbagi sesuai cara membuatnya yakni QRIS Statis dan QRIS Dinamis. QRIS Statis maksudnya merchantnya yang statis menunggu, yakni QR Code berisi identitas merchant dan bersifat tetap, ditampilkan dalam sticker/print-out di atas meja kasir. Nominal transaksi diinput oleh pelanggan pada mobile device customer

Page 180: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI164

(HP). Jadi yang aktif adalah pelanggan dalam pembayaran. Sedangkan pada QRIS dinamis, besaran nominal transaksinya diinput oleh merchant. QR Code dinamis dibuat secara real time pada saat transaksi sehingga QR Code berbeda untuk setiap transaksi. Pada kategori ini, merchant yang aktif menfasilitasi pembayaran konsumen berdasarkan bukti saling percaya. QRIS juga membuat nyaman pengguna ATM tanpa takut tertular droplet COVID-19 yang melekat pada gagang pintu ATM, tombol mesin ATM, tanpa takut kehilangan uang akibat kerusakan ATM dan/atau perilaku orang tak bertanggung jawab via ATM.

Selain itu, dalam hubungan spiritualitas dengan Sang Maha Pencipta, apa yang dilakukan tangan kanan, tidak perlu diketahui tangan kiri. Wujudnya, Zakat Mal, Infaq, Sadakah, sumbangan bagi rumah ibadah, sumbangan pribadi bagi panti asuhan tanpa dilakukan secara fisik. Celengan masjid cukup ditempelkan QR Scan sehingga jamaah cukup mengeluarkan HP saja melakukan scan QR. Inisiasi kerjasama antara Lembaga BAZIS, Pengurus Lembaga Keagamaan, Pengurus Panti Asuhan, BI, ASPI patut dilakukan pasca lebaran ini.

Penggunaan transaksi digital menjadi kebutuhan mendesak dalam masa Tatanan Kehidupan Baru baik di perkotaan maupun di perdesaan di Indonesia. Penggunaan transaksi digital, terutama di perdesaan berguna pula untuk mencegah transmisi lokal penyakit-penyakit berbasis lingkungan yang saat ini selama 16 tahun telah terjadi pandemi seperti SARS, Flu Burung, MERS, Covid-19. Untuk mendukung penggunaan transaksi pembayaran digital ini, Pemerintah membangun infrastruktur Palapa Ring Paket A Sumatra, separuh Jawa, dan Kalimantan Barat, Paket Tengah Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Bali, sebagian NTB, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kaltara, sebagian Maluku dan Maluku Utara, Paket C sebagian Maluku, NTT, Papua dan Papua Barat. Pembangunan infrastruktur jaringan mencakup 2G, 3G, 4G. 2G mencakup 75.943 kelurahan/desa atau proporsinya 90,72 persen dari 83.218 desa/kelurahan, 6.479 kecamatan atau proporsinya 90,30 persen dari 7.175 kecamatan dan 490 kabupaten/kota atau proporsinya mencapai 95,33 persen dari 514 kota/kabupaten meliputi 133.865 BTS. Pada akses jaringan 3G, mencakup wilayah administrasi 64.214 kelurahan/desa dari 83.218 kelurahan/desa atau proporsinya mencapai 77,16 persen, meliputi 5.691 kecamatan dari 7.175 kecamatan atau proporsinya mencapai 79,32 persen, serta 457 kabupaten/kota dari 514 kabupaten/kota atau proporsinya mencapai 88,91 persen meliputi 175.796 Node B. Pembangunan infrastruktur akses jaringan 4G mencakup 61.051 kelurahan/desa atau proporsinya mencapai 73,36 persen dari 83.218 kelurahan/desa, 5.236 kecamatan atau proporsinya sebesar 72,98 persen dari 7.175 kecamatan, serta 412 kabupaten/kota atau proporsinya mencapai 80,16 persen dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, meliputi 62.691 eNode B. Tantangan terbesar terletak pada penyediaan jaringan di desa-desa pedalaman Kalimantan,

Page 181: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 165

Sulawesi dan Papua, pulau-pulau terluar di Maluku dan Maluku Utara dalam implementasi transaksi pembayaran digital.

4. PENUTUPTantangan di masa datang terletak pada pola mentradisikan mekanisme pembayaran digital non tunai ini di masyarakat baik UE maupun QRIS hingga ke pelosok perdesaan lebih spesifik pada Usaha Menengah Kecil yakni usaha yang beromzet Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar per tahun dan memiliki aset Rp 50 sampai dengan Rp 500 juta. Demikian pula implementasi pada Usaha Mikro yakni usaha yang beromzet sampai dengan Rp 300 juta per tahun serta memiliki aset Rp 50 juta. Pada dua kelompok inilah tantangan pemasyarakatan Uang Elektronik dan QRIS dapat memiliki kesulitan karena kita ingin melakukan transformasi pola pikir mereka dari sistem tunai berbasis kalkulator yang telah mendarahdaging dalam peri kehidupan sehari-hari mereka dengan sistem digital non tunai yang membuat para pelaku usaha dan konsumen masih gagap teknologi. Strategi pelembagaan UE dan QRIS melalui anak-anak mereka generasi milenial dapat saja mempermudah pemasyarakatan UE dan QRIS melalui kerjasama pembinaan antara BI dan Dinas Koperasi dan UMKM 34 Provinsi dan 514 Dinas Koperasi dan UMKM kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Dalam konteks desa, ada baiknya kita mengenang ucapan satu dari beberapa Founding Fathers Republik Indonesia Prof. Dr. Moh. Hatta: “Indonesia tidak akan bercahaya dengan obor besar di Jakarta, tetapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa”. Lilin-lilin di desa inilah Insya Allah menjadi cerminan bergeraknya perekonomian desa yang terang benderang oleh jaringan listrik, akses internet yang menjadi media transaksi berbagai lapisan masyarakat menjadikan cita-cita Indonesia yakni adanya village incorporated, urban-village incorporated, local-island incorporated yang berujung pada Indonesian Incorporated yang ditunjang oleh Collaboration, Openness, Value Based Education, Inclusiveness, Diverty of Unity (COVID).

5. DAFTAR PUSTAKAAffairs, F., Steven, R., Sachs, J., Radelet, B. S., & Sachs, J. (2005). Asia ’

s Reemergence. 1–8.

Corsetti, Giancarlo, Pesenti, Paolo, Roubini, Nouriel (1999), “What Caused the Asian Currency and Financial Crisis?”, Japan and the World Economy, pp. 305-373, www.newyorkfed.org/research/economists/pesenti/whatjawor.pdf;

Page 182: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI166

Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2018), Kisah Sukses Dana Desa: Lilin Cahaya di Ufuk Fajar Nusantara, Jakarta;

International Monetary Fund. (2006), “Globalisation Production and Financial Integration in Asia”, Background Paper on the Second High-Level Seminar on Asian Integration. Singapore: IMF and Monetary Authority of Singapore. www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2006/wp06196.pdf

Kaminsky, G., Lizondo, S., & Reinhart, C. M. (1998). Leading Indicators of Currency Crises. In IMF Staff Papers (Vol. 45, Issue 1, pp. 1–48). https://doi.org/10.2307/3867328

Krugman, Paul R.(1980), “Scale Economies, Product Differentiation, and the Pattern of Trade”, The American Economic Review, Vol. 70, Nº 5. www.princeton.edu/pr/picture/gk/krugman/krugmanscale_economies_1980.pdf;

Krugman, R. Paul (1992), “Lessons of Massachusetts for EMU”, Preliminary paper presented for the Banco de Portugal conference on the Transition to European Monetary Union;

Krugman, Paul R. (1998) “What Happened to Asia ?”, Manuscript, MIT, www.mit.edu;

Krugman, Paul R. (1999),”Target Zones and Exchange Rate Dynamics”, Quarterly Journal of Economics;

Krugman, Paul, (2009), Pourquoi Les Crises Reviennent Toujours: Nouvelle Edition Mise A Jour, Edition Seuil, Paris, 201 pages;

Miller, Merton (1998), “Asian Financial Crisis”, September, Japan and the World Economy, Vol. 10. www.sciencedirect.com/science?_ob;

Obstfeld, Maurice (1994), « The Logical of Currency Crises », Banque de France, Cahiers Economiques et Monétaire, Nº 43, pp. 189-213. www.econ.berkeley.edu/~obsfeld/ft/currency-crises/cc.pdf;

Obstfeld, M (1995), “International Currency Experience: New Lessons and Lessons Exchange Rate Volatility and International Trading Strategy”, Journal of International Money and Finance 10 (June), pp. 292-307;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1999), “What Have We Learned,

Page 183: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Moh. Ahlis Djirimu 167

So far, from the Asian Financial Crisis”, January, 4th. www.ems.bbk.ac.uk/for_students/msc_econ/int_macroEMC029p/radeletsachs.pdf;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1998), “the Onset of the East Asian financial crisis”, NBER Working Paper Nº 6680. www.nber.org/papers/w6680.pdf;

Radelet, Steven & Sachs, Jeffrey (1997), “Asia’s Reemergence, Council of Foreign Affaire. www.columbia.edu/sitefiles/file/about/director/documents/ar97.pdf;

Reinhart, Carment & Kaminsky, Graciela (1999), “the Twin Crises: the Causes of Banking and Balance of Payments Problems”, American Economic Review, Vol. 89, Nº 3 June, pp. 473-500. Il est disponible sur http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14081;

Reinhart, C. & Rogoff, K. (2002), “The Modern History of Exchange Rate Arrangement: A Reinterpretation”, NBER Working Paper Series, Nº 8963, June. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/14070/; www.nber.org/papers/w8963;

Salant, Stephen W. & Henderson, Dale (1978), “Market Anticipation of Government Policy and the Price of Gold”, Journal of Political Economy, Vol. 86, Nº 4, University of Chicago.

Studi, S. (2002). Temi di discussione. October, 35(442), 1–28. https://doi.org/10.1162/JEEA.2008.6.6.1109

Page 184: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI168

Page 185: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Mukhtar Adam, Evi Maria 169

MEMBANGUN KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERTINGGAL DI

MALUKU UTARA

Mukhtar Adam, Evi Maria*Universitas Khairun, Universitas Kristen Satya Wacana

*Correspondence author: [email protected]

BAB

XIV1. PENDAHULUANSejak kasus pertama diumumkan pada akhir Maret silam, angka kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Ternate terus merangkak naik dan cenderung membangun rasa takut kepada masyarakat akibat ancaman pandemi. Namun disaat yang sama Pemerintah Kota Ternate melakukan upaya penerapan kenormalan baru, yang dilakukan sejak tanggal 4 Juni 2020 lalu diduga juga turut berkontribusi menyumbang kenaikan angka kasus positif COVID-19. Kenormalan baru memperbolehkan warga untuk kembali melakukan aktivitasnya seperti semula, dengan tetap memberlakukan protokoler kesehatan. Sayangnya, kenormalan baru tersebut justru membuat banyak pasar menjadi pusat baru penyebaran COVID-19. Pembukaan kembali pasar, restoran, café dan lain-lain menambah 11 kasus terkonformasi positif COVID-19 pada Rabu, 10 Juni 2020 yang lalu. Kondisi ini menjadikan Ternate menjadi wilayah dengan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 terbanyak, yaitu 164 orang dari total kasus 285 di Maluku Utara, per 11 Juni 2020.

Pandemik COVID-19 pun memberi dampak kepada warga di desa-desa yang ada di Provinsi Maluku Utara. Bagaimana tidak, aktivitas warga disana pun mengalami pembatasan dan masyarakat diminta untuk menjalankan protokol kesehatan yang ketat. Desa semakin terbebani dengan kecemasan terjadinya transmisi lokal penyebaran virus COVID-19 karena proses perdagangan tradisional yang terjadi antara penduduk desa dan penduduk antar pulau di wilayah Provinsi Maluku Utara serta banyaknya pekerja urban yang kehilangan pekerjaan dan kembali ke kampung halaman.

Pemberitaan terkait pola penyebaran COVID-19, dari manusia sebagai kurir, maka pola-pola perpindahan dan mobilitas penduduk, berpotensi melakukan penyebaran COVID-19, termasuk pola migran penduduk kota ke desa, yang berpotensi menggeser ancaman Covid-19, dari kota ke desa. Jika penyebaran COVID-19 makin masif, maka bisa dipastikan pasokan pangan masyarakat di wilayah Maluku Utara akan terganggu, karena desa menjadi sumber pasokan pangan bagi masyarakat

Page 186: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI170

kota, maupun antar pulau-pulau berpenghuni. Pembahasan ini akan fokus pada kenormalan baru pasca COVID-19 di desa dan desa tertinggal.

2. SELAYANG PANDANG DESA DAN DESA TERTINGGALDesa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 6/2014). Namun, dalam perkembanganya Desa telah mengalami transformasi, pada desa-desa berdasarkan batas-batas wilayah, sesuai Peraturan Daerah (PERDA) pembentukan desa, dan makin menghilangkan pemaknaan terhadap nilai-nilai prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional, oleh karena kepentingan untuk memperoleh efek fiskal dari pemerintah pusat. Provinsi Maluku Utara, dibentuk pada awal reformasi dan mencatatkan Provinsi ke 27 setelah keluarnya Timor-Timur dari Indonesia pada tahun 1999 (UU 46/1999), dengan jumlah penduduk sebanyak 1.234.567 jiwa, yang tersebar pada 64 pulau, telah membentuk 1.063 desa, pada 10 kabupaten/kota.

Maluku Utara sebagai miniatur Negara Kepulauan (UNCLOS-82), dikenal dengan negeri 1.000 pulau, dengan pola kecenderungan bermukim di pulau-pulau kecil, sehingga konsolidasi pembangunan disetiap pulau-pulau kecil menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah ditengah keterbatasan fiskal, sebagai instrumen kebijakan pembangunan infrastruktur, maka pilihan-pilihan atas kebijakan pembangunan gugus pulau menjadi penting dalam mengatasi ketertinggalan pembangunan daerah, pada wilayah gugus pulau.

Penetapan Daerah Tertinggal mengindetifikasi daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Ada enam kriteria penetapan daerah tertinggal, yaitu perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah (Peraturan Presiden No. 63/2020). Wilayah Provinsi Maluku Utara, yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal, pada periode 2015-2019, ada 6 daerah tertinggal yaitu Halmahera Selatan, Halmahera Timur, Halmahera Barat, Kepulauan Sula, Pulau Taliabu dan Pulau Morotai, sedangkan pada penetapan daerah tertinggal 2020-2024, tersisa 2 daerah tertinggal, yaitu Pulau Taliabu, memiliki 71 desa dan Kepulauan Sula 78 desa. (Perpres 63/2020)

Page 187: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Mukhtar Adam, Evi Maria 171

3. KENORMALAN BARU DESA DAN DESA TERINGGALRehat sejenak dari aktivitas, akibat kelelahan bumi melayani gerak ekonomi umat dimuka bumi, untuk kembali mencari posisi baru, dalam menata kehidupan sosial ekonomi, begitulah cara pandemi COVID-19, menghentikan sejenak pertandingan sosial dan ekonomi penghuni planet bumi, untuk mencari titik keseimbangan baru dari aktivitas sosial dan ekonomi. Pandemi COVID-19, membatasi gerak sosial umat manusia, dipastikan menahan keran aliran pergerakan uang antar penduduk, sebagai respon dari jalannya aktivitas ekonomi yang makin semrawut pada batas-batas nilai sosial ekonomi, yang seolah tak berkesudahan, maka pilihan membangun kembali nilai baru sosial ekonomi, yang selanjutnya di kenal sebagai Kenormalan Baru.

Sesuatu yang baru, selalu saja membutuhkan waktu untuk adaptasi. Ini karena proses adaptasi, adalah cara baik mengikuti irama jalannya sosial ekonomi yang terhenti akibat pandemi. Pandemi ini tidak hanya menekan kaum borjuis tetapi juga masyarakat desa. Namun kedua kelompok ini memiliki garis pembatas sendiri untuk memaknai kenormalan baru pasca COVID-19. Ada perbedaan cara pandang dan harapan tentang nilai waktu antara kelompok tersebut. Kaum borjuis memandang nilai waktu pada proses ekonomi, sedangkan masyarakat desa memandang nilai waktu pada proses sosial. Nilai tambah kaum borjuis ada pada akumulasi aset sedangkan nilai tambah masyarakat desa ada pada silaturrahmi. Ini karena masyarakat desa dikenal sebagai masyarakat yang mengedepankan interaksi sosial sebagai modal kehidupan.

Kenormalan baru dari ancaman COVID-19, bagi masyarakat desa dan desa tertinggal lebih dipengaruhi pada kebutuhan konsumsi barang industri, yang bergantung pada pusat-pusat aktivitas ekonomi pada kota-kota di Maluku Utara, maupun Sulawesi dan Jawa, sebagai wilayah pasok bagi Maluku Utara, menjadi tantangan baru bagi aktivitas ekonomi baik oleh UMKM, BUMDes, maupun aktivitas ultra mikro di pedesaan, mendapatkan hantaman badai pademi Covid-19.

Pembatasan sosial, sebagai isu utama dari penyebaran COVID-19, dibutuhkan solusi yang dapat menjembatani hubungan sosial masyarakat, yang tidak perlu menghambat gerak aktivitas ekonomi, dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai jembatan interaksi sosial dan ekonomi, yang efisien, efektif dan ekonomis. Upaya untuk memutus rantai penyebaran COVID-19, dilakukan dengan cara membatasi interaksi manusia pada aktivitas perdagangan dengan cara mengurangi jumlah kedatangan, penjual dan pembeli pada waktu-waktu tertentu di pasar. Hasil wawancara dan observasi ditemukan, saat pembatasan interaksi sosial pedagang pasar dan UMKM di kota dan desa memilih menggunakan metode penjualan via personal chat menggunakan nomor telephone atau whatsapp kepada pelanggannya agar tetap bisa melakukan pemesanan

Page 188: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI172

yang nantinya akan dikirim ke rumah pembeli. Namun, metode ini dinilai kurang efisien dan efektif, karena pemasukan para penjual hanya datang dari pelanggan yang dikenal saja (Maria, 2020). Penjual yang tidak memiliki banyak pelanggan setia tentunya mengalami kerugian yang lebih besar, sehingga tidak sedikit dari mereka yang tetap nekat berjualan secara diam-diam meskipun ada larangan terkait pembatasan interaksi sosial dari pemerintah.

Interaksi yang terjadi di pasar tradisional telah membuat pasar tradisional menjadi pusat penyebaran COVID-19 baru. Ini ditunjukkan dengan peningkatan jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 dari hari ke hari. Virus COVID-19 tidak hanya menyebar karena interaksi secara kontak fisik yang dilakukan di pasar, tetapi uang yang berasal dari transaksi pembelian dan penjualan dipasar juga memiliki potensi untuk menyebarkan virus tersebut.

COVID-19 tidak hanya mengganggu perdagangan di kota, tetapi juga memberi dampak negatif bagi perekonomian desa dan daerah tertinggal. Sebagian besar penduduk desa dan daerah tertinggal bermata pencaharian sebagai petani. Bagaimana tidak, saat masa panen, para petani tetap harus melaksanakan panen raya ditengah pandemik, namun mereka dihadapkan pada persoalan kesulitan distribusi hasil panen serta putusnya kontrak para petani dengan pengusaha rumah makan dan hotel yang juga terhenti usahanya akibat pandemi COVID-19. Masyarakat desa dan pulau di Provinsi Maluku Utara, memiliki kendala akses komunikasi dan jaringan internet. Jaringan tersebut belum terdistribusi merata bahkan ada pulau dan desa yang belum memiliki akses jaringan internet. Tidak hanya itu, desa dan pulau yang sudah memiliki akses jaringan internet pun masih memiliki kendala, pada harga paket data yang mahal. Kondisi ini pembatasan sosial yang terjadi tentunya membuat mereka semakin terisolasi dan sulit melakukan transaksi perdagangan. Petani dan pedagang disana yang tergabung dalam BumDes kesulitan memasarkan produknya sehingga selama COVID-19 mereka hanya bisa menjual produk ke tetangga terdekat saja sehingga berdampak pada penurunan penghasilan dan kesejahteraan masyarakat desa.

Tanpa COVID-19, Provinsi Maluku Utara masih mengalami tidak meratanya akses jalan dan transportasi untuk menghubungkan antar kota dan desa serta antar pulau sehingga berdampak pada sulitnya distribusi barang. COVID-19 memperburuk kondisi ini karena membatasi akses jalan dan transportasi desa dan kota antar pulau sehingga membuat harga barang di desa dan daerah tertinggal menjadi meningkat. Saat pandemi ini, harga komoditas perdagangan melambung tinggi. Ini terjadi karena ongkos pengiriman barang ke desa dan daerah tertinggal meningkat hingga lebih dari 100 persen.

Berdasarkan identifikasi masalah yang sudah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan ada empat masalah utama yang dialami desa

Page 189: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Mukhtar Adam, Evi Maria 173

dan daerah tertinggal di Provinsi Maluku Utara. Pertama, masalah pemasaran secara tradisional memunculkan potensi penyebaran virus COVID-19 tidak hanya di kota tetapi berpotensi menyebar hingga ke desa dan daerah tertinggal. Jika kondisi ini dibiarkan maka dapat mengganggu pasokan pangan, karena selama ini kota selalu menggantungkan kebutuhan pasokan pangannya dari desa. Kedua, masalah pembayaran dari transaksi jual beli secara tradisional dari menggunakan bentuk uang tunai memunculkan potensi penyebaran virus COVID-19. Ketiga, masalah tidak meratanya akses jaringan internet di pulau dan desa dan mahalnya harga paket data internet di pulau dan desa yang sudah memiliki jaringan internet yang membuat kondisi pembatasan sosial yang diterapkan oleh pemerintah makin mengisolasikan masyarakat desa dan pulau-pulau kecil berpenghuni. Penduduk desa tidak dapat menjual produk dengan jangkauan yang lebih luas. Keempat, masalah terhambatnya distribusi barang dari kota ke desa dan daerah tertinggal karena pandemi COVID-19 dan juga karena terbatasnya jalur transportasi yang mengubungkan antara kota dengan desa, antar pulau dan daerah tertinggal yang menyebabkan harga barang menjadi mahal.

Solusi permasalahan pertama, dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19 dan upaya tetap menggerakan perekonomian rakyat, maka pemerintah dapat mentransformasi model pasar dari tradisional ke model pasar digital. Pemerintah dapat bekerjasama dengan pihak swasta dan pengelola pasar (middle man) untuk membuat suatu website atau aplikasi sebagai wadah tempat transaksi jual beli dilaksanakan. Masyarakat tidak lagi harus ke pasar untuk membeli keperluan dapur dan/atau membeli makanan siap saji di rumah makan. Website tersebut membantu pedagang untuk mempromosikan dagangannya untuk menarik pembeli baru.

Pasar digital berbasis website digunakan untuk menjalankan transaksi jual beli secara online. Webiste toko menyediakan dan mengintegrasikan channel penjualan baik secara offline dan online, sehingga dapat membantu pemilik bisnis untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam berjualan. Pasar digital membuat interaksi masyarakat dalam beraktivitas akan lebih diminimalisir, sehingga risiko kontak terhadap penyebaran COVID-19 juga dapat diminimalisir, tanpa mengurangi pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan rumah tangga.

Mengingat, keterbatasan pemahaman dan penggunaan teknologi informasi para pedagang pasar, UMKM dan BumDes di Provinsi Maluku Utara maka middle man diperlukan agar proses transaksi jual beli secara online dalam dilakukan lebih terstruktur dan teratur. Middle man yang dimaksud adalah Koperasi yang akan berperan sebagai pihak yang bertanggungjawab atas keberlangsungan aktivitas di pasar digital. Koperasi akan membantu para pedagang pasar, UMKM dan BumDes yang tidak bisa menggunakan teknologi informasi berbasis website dengan cara

Page 190: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI174

membuatkan pasar digital khusus untuk memasarkan dan memproses transaksi penjualan produk mereka. Sedangkan, untuk pedagang pasar, UMKM dan BumDes yang bisa dilatih untuk menggunakan teknologi informasi, koperasi akan melatih dan mendampingi mereka untuk membuat dan mengelola pasar digital mereka sendiri, sehingga diharapkan mereka bisa menjadi middle man bagi orang disekitarnya yang butuh bantuan untuk memasarkan produknya. Para pedagang pasar, UMKM dan BumDes yang menggunakan jasa koperasi terkait transaksi penjualan dan pemasaran produknya, secara otomatis menjadi anggota koperasi. Ini sejalan dengan tujuan pendirian koperasi, yaitu untuk mensejahterakan anggotanya.

Pertukaran uang tunai dalam transaksi jual beli juga menimbulkan rasa was-was karena uang tunai tersebut dapat menjadi perantara penyebaran virus corona. Oleh karena itu solusi permasalahan kedua, mengubah penggunaan uang tunai menjadi uang uang non tunai atau uang elektronik. Penggunaan uang elektronik dapat memberi jarak transaksi ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat. Uang elektronik memberikan kemudahan dalam menggunakan dan memiliki tingkat keamanan yang lebih baik dibandingkan penggunaan uang tunai. Penggunaan uang elektronik pada saat pandemi ini memberikan rasa aman dan menghilangkan keresahan masyarakat akan tertular virus dari transaksi ekonomi yang dilakukannya. Potongan berupa diskon dari penyedia layanan uang elektronik juga membuat uang elektronik menarik untuk digunakan. Oleh sebab itu, saat pandemi ini tidak hanya model pemasaran yang berubah dari tradisional ke online, tetapi juga model transaksi pembayaran juga perlu diubah menggunakan sistem digital dengan menggunakan uang elektronik. Penggunaan uang elektronik juga membawa dampak baik pada perekonomian nasional. Ini karena proses transaksi menjadi semakin cepat dan mudah, tingkat konsumsi masyarakat akan naik. Perputaran uang semakin cepat dan memicu perkembangan sektor riil. Semakin banyak usaha di sektor riil yang menarik investor.

Terkait hal perubahan sistem pembayaran dari uang tunai ke uang elektronik, tentunya peran serta pemerintah daerah sangat diperlukan, mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota. Dukungan pemerintah bisa dalam bentuk penerbitan regulasi terkait ini serta dalam bentuk kerjasama dengan Bank Indonesia dan perusahaan swasta. Regulasi digunakan untuk mengatur penerapan sistem pembayaran di masyarakat. Sedangkan, kerjasama pemerintah dengan pihak-pihak terkait dimaksudkan untuk menyiapkan infrastruktur dan sumber daya manusia yang dapat membantu pemerintah untuk menerapkan sistem pembayaran ini di masyarakat Provinsi Maluku Utara.

Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) adalah standar pembayaran di Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia (BI) sejak 1 Januari 2020. Oleh sebab itu, QRIS dipilih untuk diterapkan untuk pembayaran elektronik di Provinsi Maluku Utara. BI sudah mewajibkan

Page 191: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Mukhtar Adam, Evi Maria 175

semua merchant (toko) dan pembeli untuk menggunakan QRIS. Argumen BI yang dikemukakan saat sosialisasi QRIS pada UMKM adalah karena kemudahan bagi pengguna maupun merchant. Dari sisi konsumen, penggunaan QRIS membuat mereka tidak harus membawa uang banyak, bisa menggunakan smartphone-nya sebagai dompet elektronik untuk melakukan transaksi dari penyelenggara jasa sistem pembayaran. Sedangkan, merchant yang menggunakan QRIS memperoleh kemudahan pembayaran tagihan, retribusi, dan pembelian barang secara nontunai. Merchant yang sudah menggunakan QRIS sudah tidak perlu menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) dalam jumlah banyak. QRIS sudah banyak digunakan dalam transaksi pembayaran elektronik, sehingga risiko kegagalan saat implementasi QRIS dapat diminimalisir.

Sistem pembayaran elektronik ini juga akan terintegrasi dengan sistem pasar digital. Koperasi juga dibutuhkan perannya dalam proses ini untuk menjamin keamanan dan keyamanan bagi penjual dan pembeli ketika melakukan transaksi jual beli secara online. Risiko pembeli dan penjual dirugikan dalam transaksi jual beli dapat diminimalkan dengan adanya middle man, yaitu Koperasi. Koperasi akan membuat aturan main tentang transaksi pembelian dan penjualan, serta pembayaran secara online. Ini dilakukan untuk meminimalkan risiko pembeli dan penjual yang merasa dirugikan dikemudian hari. Keamanan bertransaksi dijamin oleh koperasi dengan cara membuka rekening penampungan transaksi jual beli. Uang dari pembeli akan ditransferkan ke penjual jika pembeli sudah menerima barang dan tidak ada keluhan terkait transaksi tersebut. Oleh sebab itu, peran middle man, yaitu koperasi sangat penting untuk menjamin keberlangsungan penggunaan aplikasi baik itu aplikasi pemasaran online maupun aplikasi uang elektronik.

Aplikasi pemasaran berbasis website ini dapat berjalan jika daerah sudah memiliki akses internet dan komputer dengan spek yang memadai. Dukungan pemerintah diperlukan, mengingat beberapa pulau-pulau yang dihuni di Provinsi Maluku Utara belum dapat mengakses internet. Solusi permasalahan ketiga, pemerintah dapat menggandeng perusahaan telekomunikasi untuk menjalin kerjasama dalam rangka menyediakan akses jaringan internet. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan subsidi kuota internet selama masa pandemi COVID-19 untuk menghidupkan kembali perekonomian di Provinsi Maluku Utara mulai dari perdagangan di kota sampai dengan perdagangan antar pulau melalui program pemasaran digital.

Solusi permasalahan keempat, masalah keterbatasan akses jalan dan transportasi untuk distribusi barang, pemerintah dapat menggandeng pihak swasta yang menjalankan bisnis transportasi online. Pemerintah juga dapat melibatkan para ojek pangkalan dan sopir angkutan kota, kapal antar pulau, speedboat dan kapal kayu yang juga mengalami kerugian karena terimbas pandemi ini. Mereka akan berperan sebagai media

Page 192: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI176

pendistribusian barang dari penjual kepada pembeli secara langsung dari transaksi jual beli secara online. Peran dan dukungan pemerintah terkait pengiriman barang dari transaksi pemasaran digital sangat diperlukan mengingat ongkos pengiriman barang yang relatif mahal di beberapa pulau di Provinsi Maluku Utara dan belum tersedianya jasa pengiriman barang antar pulau di semua pulau-pulau yang dihuni di Provinsi Maluku Utara. Jika ini dibiarkan tanpa campur tangan dari pemerintah, tentunya tujuan untuk mendapatkan barang dengan harga yang wajar mustahil terealisasi. Tidak sedikit, praktik dilapangan ditemukan ongkos kirim lebih mahal dari harga barang, sehingga berdampak pada tidak lakunya barang para pedagang, UMKM dan BumDes. Kondisi ini, banyak kali dikeluhkan oleh para UMKM yang sudah mencoba untuk go online menggunakan aplikasi market place, seperti Tokopedia, Shopee, Lazada, dll. Produk UMKM dari Provinsi Maluku Utara kalah bersaing bukan karena kualitas dan rasa tetapi karena ongkos kirim yang melambung tinggi mencapai lebih dari tiga kali dari harga barang. Pembeli cenderung mencari barang substitusi dari pedagang-pedagang yang memiliki ongkos kirim yang lebih rendah, sebab klausa dalam transaksi online, ongkos kirim menjadi tanggungan pembeli.

4. PENUTUPPandemi Covid-19, selain sebagai ancaman Kesehatan yang berdampak pada perekonomian, telah melakukan percepatan penggunaan digital sebagai solusi masa depan, melalui transformasi pembelajaran cepat dari Pademi Covid-19, sebagai upaya untuk mendorong pola-pola hubungan sosial dan ekonomi, dalam konteks digital, menjadikan masyarakat desa sebagai komunitas global, akan jauh lebih cepat, oleh karena masyarakat desa dan desa tertinggal “dipaksakan” untuk melakukan adaptasi baru pada era digital, yang menjadi tuntutan masa depan, bagi pola interaksi global, yang memperpendek jarak desa dan kota.

Digitalisasi ekonomi dan sosial, dibutuhkan gerak bersama, dalam nilai “Babari” gotong royong, yang menghidupkan pola interkasi sosial dan pola ekonomi baru, yang menumbuhkan peran masyarakat pulau dan masyarakat desa, dalam aktivitas ekonomi yang tidak dibatasi pada batas-batas wilayah, dan batas-batas pemerintahan, maka nilai dasar dalam pasal 33 UUD 1945, perlu menjadi bagian terpenting, untuk mengerakan ekonomi gotong royong “Babari” sebagai solusi, yang dimediasi pemerintah, swasta, BUMN dan multistekholdes dalam pencapaian kenormalan baru ekonomi dan sosial di desa, desa tertinggal dan pulau-pulau berpenghuni di Maluku Utara.

Page 193: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Mukhtar Adam, Evi Maria 177

5. DAFTAR PUSTAKAMaria, Evi., (2020). Digitalisasi Ekonomi Desa Memasuki Kenormalan

Baru. Book Chapter: Geliat Perekonomian Indonesia di Masa Pandemi Covid-19. FDI – Indramayu: Penerbit Adab.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 63/2020 tetang Penetapan Daerah Tertinggal tahun 2020-2024.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru, dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Page 194: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI178

Page 195: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 179

MAMPUKAH HUMAN CAPITAL DI PERDESAAN BERKONTRIBUSI

TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH?

Rully N. WurarahFakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Papua

[email protected]

BAB

XV

1. PENDAHULUANKapasitas human capital menunjukkan tingkat produktivitas masyarakat dalam kegiatan proses produksi untuk menghasilkan output pada suatu wilayah dimana masyarakat itu berada, terlebih dan pada suatu wilayah yang sedang berkembang human capital tersebut dapat mendorong terwujudnya kemajuan perekonomian dari berbagai sektor ekonomi. Mincer (1981) menekankan bahwa aktivitas human capital bukan saja untuk kemampuan pengetahuan tetapi juga harus dengan inovasi baru dalam proses produksi sehingga menghasilkan perubahan output yang berarti, yang pada akhirnya melalui human capital sebagai salah satu faktor produksi dapat mendorong perekonomian di suatu wilayah. Dapat dikatakan juga bahwa human capital merupakan dimensi kualitatif dari sumber daya manusia seperti pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang yang akan mempengaruhi kemampuan produktifnya (Schultz, 1961). Komponen tersebut dapat diapresiasi melalui proses pengembangan kapasitas sumberdaya manusia yang lebih dikenal dengan kegiatan pendidikan.

Pendidikan dipandang sebagai suatu investasi terlebih pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang pernah melewatinya, untuk menuju pada negara yang middle income level dan bahkan high income level. Secara empirik dapat dijelaskan bahwa jumlah tenaga terdidik dan terampil pada negara berkembang relatif lebih terbatas ketersediaanya dibandingkan dengan kebutuhan, sehingga investasi terhadap human capital sangat diperlukan. Menurut Serageldin, (1996) investasi pada human capital dipandang sebagai investasi dengan tingkat pengembalian yang sangat tinggi, terutama di negara-negara berkembang sehingga investasi dibidang kesehatan, pendidikan dan nutrisi harus menjadi bagian dari strategi investasi nasional.

Investasi human capital di Indonesia dapat dilihat dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang secara empirik pada setiap provinsi di Indonesia memiliki pencapaian IPM yang beragam dari tahun

Page 196: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI180

ke tahun. Pencapaian tersebut menghasilkan suatu gap yang cukup besar antar provinsi walaupun dengan berbagai strategi yang sudah dilakukan baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten yang tersebar di seluruh Indonesia.

Melakukan investasi terhadap human capital artinya dapat memperbesar nilai atau kapasitas dari SDM terkait dengan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, inovasi dan kemampuan dari seseorang atau individu masyarakat dalam menjalankan fungsinya melalui proses produksi sehingga menghasilkan suatu nilai untuk memperoleh tujuan yang diinginkan. Pembentukan nilai tambah melalui human capital akan memberikan manfaat di masa mendatang. Untuk mengapresiasi peran dari human capital dalam pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan, bersamaan dengan social capital, sesuai dengan konsep yang telah dikembangkan oleh Bank Dunia. Human capital ini memiliki dimensi kualitatif dari sumber daya manusia seperti keahlian, ketrampilan dan pengetahuan serta kesehatan yang dimiliki oleh seseorang dalam mempengaruhi kemampuan produktifnya. Modal yang dimiliki tersebut telah mempengaruhi kebijakan masa lalu di Indonesia sehingga berhasil meningkatkan produktivitas nasional baik dari sisi faktor produksi maupun output nasional (Wurarah, 2019).

Papua Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki IPM yang rendah dengan capaian selama 5 tahun terakhir mengalami peningkatan namun masih berada di bawah rata-rata nasional.

Tabel 1.1 Capaian Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat dan Nasional Tahun 2015 s.d 2018

Indikator Target 2018 Pencapaian

RKP Wilayah

RKPD 2015 2016 2017 2018

IPM Papua Barat (Indeks)

63.4 63.21 61.73 62.21 62.99 63.74

IPM Nasional (Indeks) 69.55 70.18 70.81 71.39Sumber: BPS dalam Database PEPPD Bappenas, 2019.

Capaian nilai IPM Papua Barat pada Tahun 2018 telah memenuhi target daerah dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Papua Barat Tahun 2018 (63,21) dan target nasional dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Kewilayahan (63.40). Selama kurun waktu tahun 2015 s.d tahun 2018 pembangunan sumber daya manusia terapresiasi dengan pertumbuhan yang melambat namun terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan IPM Nasional.

Page 197: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 181

Tabel 1.2 Perkembangan IPM Kabupaten/Kota di Papua Barat Tahun 2015 s.d 2018

WilayahTahun (Indeks) Rerata

(Indeks)2015 2016 2017 2018Provinsi Papua Barat 61.73 62.21 62.99 63.74 62.67 Kab. Fakfak 64.92 65.55 66.09 66.99 65.89 Kab. Kaimana 61.33 62.15 62.74 63.67 62.47 Kab. Teluk Wondama 56.64 57.16 58.1 58.86 57.69 Kab. Teluk Bintuni 61.09 61.81 62.39 63.13 62.11 Kab. Manokwari 69.91 70.34 70.67 71.17 71.52 Kab. Sorong Selatan 58.6 59.2 60.19 61.06 59.76 Kab. Sorong 61.86 62.42 63.42 64.32 63.01 Kab. Raja Ampat 61.23 61.95 62.35 62.84 62.09 Kab. Tambrauw 49.77 50.35 51.01 51.95 50.77 Kab. Maybrat 55.78 56.35 57.23 58.16 56.88 Kab. Manokwari Selatan 56.59 57.12 58.08 58.84 57.66 Kab. Pegunungan Arfak 53.73 53.89 54.39 55.31 54.33 Kota Sorong 75.91 76.33 76.73 77.35 76.58

Sumber: BPS Papua Barat, 2019

Mengacu pada data BPS Tahun 2015 s.d Tahun 2018, terdapat empat kabupaten/kota di wilayah Papua Barat yang memiliki rerata IPM tertinggi dan diatas IPM Provinsi Papua Barat (rerata IPM sebesar 62,67). Keempat daerah dimaksud yaitu Kabupaten Fakfak (rerata perkembangan IPM per tahun yaitu sebesar 65,89), Kabupaten Manokwari (rerata IPM per tahun 70,52), Kabupaten Sorong (rerata IPM sebesar 63,01), dan Kota Sorong (rerata perkembangan IPM per tahun sebesar 76,50). Tingginya IPM di keempat wilayah ini dikarenakan keempat wilayah tersebut merupakan sentral pusat pendidikan, dan pintu masuk mobilisasi barang dan jasa di Papua Barat.

Kabupaten/kota dengan rerata IPM terendah sebagian besar dijumpai pada kabupaten-kabupaten pemekaran, seperti Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Maybrat, Kabupaten Manokwari Selatan, dan Kabupaten Pegunungan Arfak. Rendahnya IPM utamanya di beberapa kabupaten pemekaran dikarenakan persentase penduduk miskin di wilayah-wilayah tersebut cukup tinggi di Papua Barat.

Kemiskinan merupakan masalah serius bagi pembangunan manusia, karena masalah kemiskinan merupakan sebuah masalah yang kompleks, bermula dari kemampuan daya beli masyarakat yang tidak mampu

Page 198: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI182

mencukupi kebutuhan pokok, sehingga kebutuhan yang lain seperti pendidikan dan kesehatan pun terabaikan. Hal tersebut menjadikan gap antara kemiskinan dan pembangunan manusia pun menjadi besar dan pada akhirnya target capaian IPM yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah menjadi tidak terealisasi dengan baik.

Sampai dengan akhir tahun 2018, Indeks Pendidikan dalam IPM mengalami peningkatan dari 0.57 (Tahun 2015) menjadi 0.59 pada Tahun 2018. Indikator Indeks Pendidikan digunakan dengan harapan dapat mencerminkan tingkat pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki penduduk. Pencapaian nilai Indeks Pendidikan di Papua Barat diikuti oleh pencapaian rata-rata Angka Melek Aksara Penduduk Usia 15 tahun keatas (96.50% Tahun 2015 menjadi 97.37% di Tahun 2018). Selanjutnya, pola peningkatan yang sama juga terdapat pada indikator Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat Sekolah Dasar (SD) dan/atau sederajat, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan/atau sederajat, dan juga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan/atau yang sederajat. Walaupun demikian terdapat 2 kabupaten/kota yang memiliki IPM melebihi rata-rata nasional, dan kabupaten yang memiliki IPM rendah dicirikan dengan akses ke setiap kampung yang kurang di dukung oleh infrastruktur yang tersedia. Kondisi inilah yang mengakibatkan akses produk yang dihasilkan dari berbagai sektor ekonomi terhadap mekanisme pasar kurang memadai, untuk itu perlu dipertanyakan apakah human capital yang ada di perdesaan atau kampung, mampu berkontribusi terhadap perekonomian daerah?

2. HUMAN CAPITAL PERDESAAN DAN PEREKONOMIAN DAERAHPembangunan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan output

daerah dan produk domestik bruto per kapita tergantung pada pertumbuhan penduduk suatu daerah dan dalam jangka panjang dapat menunjukkan peningkatan standar hidup. Dengan mengikuti model pertumbuhan Solow yang menyatakan bahwa investasi human capital merupakan salah satu komponen dalam pembangunan ekonomi. Mengacu pada teori ekonomi tradisional yaitu teori modal manusia dan teori neoklasik yang menyatakan bahwa modal dan tenaga kerja homogen sebagai faktor produksi. Solow (1956) berfokus pada eksternalitas dan pendidikan yang termasuk dalam teori pertumbuhan neoklasik berdasarkan asumsi pasar kompetitif dengan asumsi bahwa semua faktor produksi tergantung pada produksi marginal sosial, artinya teori ekonomi tradisional tidak memasukkan pendidikan sebagai human capital.

Model pertumbuhan Solow dimulai dengan fungsi produksi di sisi penawaran ekonomi dengan output agregat dan dua faktor input dalam persamaan yang dinyatakan oleh Romer (2006), yakni Y = F (K, AL). Di

Page 199: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 183

mana, Y adalah output riil agregat, K adalah modal fisik, L adalah tenaga kerja dan A adalah pengetahuan atau teknologi. Fungsi produksi agregat dengan memasukkan modal manusia ditunjukkan dalam persamaan Y = F (K,H, AL). H adalah human capital, AL adalah tenaga kerja di mana pekerja terampil memiliki satu unit tenaga kerja dan beberapa human capital. Pembangunan ekonomi dengan menggunakan produk domestik bruto (PDB) per kapita dipengaruhi oleh investasi sumber daya manusia berupa tingkat melek huruf, usia harapan hidup, pendidikan, kesehatan, dan investasi lainnnya.

Human capital yang terdistribusi pada setiap kabupaten kota dalam suatu proses produksi menghasilkan output daerah sebagai Produk Domestik Regional Bruto. Dalam struktur perekonomian Provinsi Papua Barat selama periode tahun 2010 hingga 2018 yang dinyatakan oleh Wurarah & Bauw (2018) menunjukkan pergeseran kontribusi perekonomian. Pada tahun 2010 perekonomian Papua Barat didominasi oleh kategori Industri Pengolahan (32,70 persen); Pertambangan dan Penggalian (27,13 persen); dan Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (11,82 persen); Konstruksi (7,76 persen); dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (6,62 persen). Pada tahun 2016 lima ketegori perekonomian yang mempunyai kontribusi terbesar di Papua Barat adalah Industri Pengolahan (26,40 persen); Pertambangan dan Penggalian (19,13 persen); Konstruksi (14,87 persen); Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (10,94 persen); dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (10,51 persen).

208

persen); Pertambangan dan Penggalian (19,13 persen); Konstruksi (14,87 persen); Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (10,94 persen); dan Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (10,51 persen).

Kontribusi sektor ekonomi tersebut lebih nampak pada kabupaten/kota yang memiliki aktivitas ekonomi yang lebih baik seperti Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari sedangkan pada kabupaten yang kurang aktivitas ekonominya kurang memberikan kontribusi terhadap PDRB Provinsi.

Sumber: diolah dari BPS Perwakilan Papua Barat Tahun 2018

Gambar 2.1 Kontribusi Kab/Kota terhadap PDRB Papua Barat Tahun 2018 (Persen)

Kabupaten Pegunungan Arfak yang memiliki kontribusi terkecil terhadap PDRB Provinsi Papua Barat, merupakan gambaran wilayah yang distriknya terdiri dari kampung-kampung dengan ciri aktivitas ekonomi masyarakat yang serba terbatas pada sektor pertanian.Karakteristik kabupaten yang secara geografis memiliki tingkat kesulitan untuk dapat mengaksesnya dan bahkan berada pada kawasan lindung dengan IPM jauh di bawah rata-rata provinsi dengan nilai 55.31 pada tahun 2018, walaupun komponen UHH berada di atas rata-rata provinsi.

Kondisi eksisting Kabupaten Pegunungan Arfak yang dapat di akses oleh penduduk hanya 7 persen APL atau sekitar 15.597,46 ha yang

0,240,270,860,961,842,23

3,283,39

6,2111,7

13,2919,15

36,58

0 10 20 30 40

Ka. Pegunungan ArfakKab. Tambrauw

Kab. MaybratKab. Manokwari Selatan

Kab. Teluk WondamaKab. Sorong Selatan

Kab. KaimanaKab. Raja Ampat

Kab. FakfakKab. Manokwari

Kab. SorongKota Sorong

Kab. Teluk Bintuni

Sumber:diolahdariBPSPerwakilanPapuaBaratTahun2018

Gambar 2.1 Kontribusi Kab/Kota terhadap PDRB Papua Barat Tahun 2018 (Persen)

Page 200: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI184

Kontribusi sektor ekonomi tersebut lebih nampak pada kabupaten/kota yang memiliki aktivitas ekonomi yang lebih baik seperti Kota Sorong dan Kabupaten Manokwari sedangkan pada kabupaten yang kurang aktivitas ekonominya kurang memberikan kontribusi terhadap PDRB Provinsi.

Kabupaten Pegunungan Arfak yang memiliki kontribusi terkecil ter-hadap PDRB Provinsi Papua Barat, merupakan gambaran wilayah yang distriknya terdiri dari kampung-kampung dengan ciri aktivitas ekonomi masyarakat yang serba terbatas pada sektor pertanian. Karakteristik kabupaten yang secara geografis memiliki tingkat kesulitan untuk dapat mengaksesnya dan bahkan berada pada kawasan lindung dengan IPM jauh di bawah rata-rata provinsi dengan nilai 55.31 pada tahun 2018, wa-laupun komponen UHH berada di atas rata-rata provinsi.

209

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak karena sebagian besar pemukiman masyarakat berada pada wilayah konservasi. Penyebaran penduduk dan kampung lebih terfokus pada pusat kota dan sekitarnya yang sudah terakses dengan transportasi jalan. Sumber pendapatan masyarakat sebagianbesar dari pertanian lahan kering yang penyebarannya pada sekitar pemukiman penduduk. Sedangkan pengeluaran perkapita masyarakat berada di bawah rata-rata provinsi sebesar Rp 4.979.000 per tahun. Rendahnya pengeluaran perkapita penduduk disebabkan sumber pendapatan yang sebagian besar dari sektor pertanian sebesar 39.53 persen dari total PDRB tahun 2018 bahkan ketergantungan terhadap pada sektor Administrasi pemerintah cukup tinggi mencapai 46.57 persen.

Gambar 2.2 Peta Kawasan Lindung Kabupaten Pegunungan Arfak

Dapat dilihat peta sebaran lahan pertanian hanya berada pada sekitar pemukiman penduduk dan itupun dalam skala usaha kecil, yang orientasinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa ada upaya kearah komersialisasi. Pei et al., (2020) menjelaskan bahwa

Gambar 2.2 Peta Kawasan Lindung Kabupaten Pegunungan Arfak

Kondisi eksisting Kabupaten Pegunungan Arfak yang dapat di akses oleh penduduk hanya 7 persen APL atau sekitar 15.597,46 ha yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak karena sebagian besar pemukiman masyarakat berada pada wilayah konservasi. Penyebaran penduduk dan kampung lebih terfokus pada pusat kota dan sekitarnya yang sudah terakses dengan transportasi

Page 201: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 185

jalan. Sumber pendapatan masyarakat sebagian besar dari pertanian lahan kering yang penyebarannya pada sekitar pemukiman penduduk. Sedangkan pengeluaran perkapita masyarakat berada di bawah rata-rata provinsi sebesar Rp 4.979.000 per tahun. Rendahnya pengeluaran perkapita penduduk disebabkan sumber pendapatan yang sebagian besar dari sektor pertanian sebesar 39.53 persen dari total PDRB tahun 2018 bahkan ketergantungan terhadap pada sektor Administrasi pemerintah cukup tinggi mencapai 46.57 persen.

Dapat dilihat peta sebaran lahan pertanian hanya berada pada sekitar pemukiman penduduk dan itupun dalam skala usaha kecil, yang orientasinya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga tanpa ada upaya kearah komersialisasi. Pei et al., (2020) menjelaskan bahwa ruang desa dapat diklasifikasikan sebagai ruang internal digunakan untuk kehidupan rumah tangga sehari-hari, dan ruang eksternal terdiri dari tanah di sekitarnya yang digunakan untuk usaha tani. Ruang antar desa dapat dianggap sebagai subbagian ruang eksternal desa, dan pembagian pemeliharaan dan penggunaannya membentuk hubungan antara desa dalam suatu kelompok. Pemanfaatan ini dapat meningkatkan kapasitas dari sumberdaya yang tersedia di desa.

Gambar 2.3 Peta Sebaran Lahan Pertanian Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

Komoditi kopi yang sangat menjanjikan yang tumbuh pada lereng lereng belum sepenuhnya di kelola dengan baik padahal termasuk Kopi Arabika yang tumbuh di seputar Danau Anggi pada ketinggian 1800 m

Page 202: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI186

dpl dan Kopi Minyambouw pada ketinggian 1200 m dpl. Tanaman kopi ini ditanam oleh para misionaris di daerah tersebut pada puluhan tahun silam mampu menghasilkan biji kopi dengan cita rasa lain. Pengembangan kopi tersebut diintegrasikan dengan pengembangan pariwisata sejak tahun 2016 lalu. Jumlah penduduknya mencapai 28.286 jiwa menempati luasan 4.205 km2 sehingga kepadatan penduduknya sebanyak 7 jiwa per km2, yang tersebar pada 10 distrik, dengan tingkat kepadatan penduduk berada pada pusat pertanian (Distrik Minyambouw dan Hingk) dan pusat kota (Distrik Anggi), juga distrik tersebut merupakan jalur transportasi menuju ke Ibu Kota Kabupaten dari Ibu Kota Provinsi.

Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia tersebut oleh masyarakat desa dapat terjadi dengan melakukan pengembangan human capital yang dapat nampak pada ketersediaan satuan pendidikan, pendidik dan peserta didik sebagai bagian yang menentukan proses penyelenggaraan pendidikan. Sebagai gambaran penyelenggara pendidikan dasar di Kabupaten Pegunungan Arfak hanya melayani sebesar 5.3 persen tingkat SD dan 4.7 persen tingkat SMP di wilayah Papua Barat, dengan jumlah pendidik masing-masing 3.5 persen dan 3.4 persen sedangkan peserta didiknya hanya 5.1 persen dan 3.2 persen, sehingga proses penyelenggaraan pendidikan dapat mempengaruhi capaian output yang diharapkan.

Gambar 2.4 Peta Kepadatan Penduduk Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

Page 203: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 187

Guna memenuhi tema utama yaitu peningkatan pendidikan dasar yang berkualitas dan berdaya saing maka melalui kebijakan pemerintah yang memfokuskan belanja pendidikan yang lebih besar maupun kebijakan Otsus Papua dengan belanja pendidikan sebesar 30 persen dari dana Otsus Papua Barat namun sesungguhnya belum mampu menyentuh program pembelajaran yang ada di Kabupaten Pegunungan Arfak dalam upaya peningkatan pendidikan dasar dan menengah. Kondisi ini disebabkan kelengkapan pendukung proses belajar mengajar seperti buku dalam perpustakaan dan laboratorium untuk sekolah menengah sangat terbatas bahkan terdapat sekolah yang tidak layak. Ketersediaan guru yang kurang memadai mengakibatkan kewajiban untuk mendidik anak sekolah terabaikan bahkan pada beberapa kasus terdapat sekolah yang hanya dilayani oleh 1 orang guru, kasus tersebut terdapat di ibu kota kabupaten dan berdasarkan informasi dari pengawas sekolah bahwa pada distrik yang jauh dari pusat kota sering ditemukan kondisi demikian, terlebih anak-anak usia sekolah tersebut sering terlibat dalam aktivitas dalam menunjang perolehan pendapatan keluarga.

Gambar 2.5 Fasilitas Pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

Sumber pendapatan keluarga yang hanya dari sektor pertanian men-gakibatkan daya belinya sangat rendah walaupun tersedianya komoditi kopi yang cukup menjanjikan namun belum sepenuhnya ditangani dengan baik. Kondisi inilah yang mempengaruhi rendahnya harapan lama seko-lah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran per kapita. Rendahnya an-gka IPM Kabupaten Pegunungan Arfak yang disebabkan oleh komponen harapan lama sekolah, rata-rata lama sekolah dan pengeluaran perkapita berada di bawah rata-rata provinsi walaupun angka harapan hidup berada di atas rata-rata provinsi.

Page 204: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI188

Pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan indikator output lain dalam penyelenggaraan pendidikan. Pencapaian pendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas di Provinsi Papua Barat menurut kabupaten/kota dan ijazah/STTB yang dimiliki pada tahun 2018, mengindikasikan sebesar 14,40 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas tidak memiliki ijazah SD tahun 2018, dengan kontribusi terbesar bersumber dari Pegunungan Arfak. Hal ini mencerminkan, kualitas SDM dari aspek pendidikan di Papua Barat masih tergolong rendah. Hanya 14,94 persen penduduk 15 tahun ke atas yang lulus dari perguruan tinggi. Kabupaten dengan proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah adalah Kabupaten Pegunungan Arfak yang hampir mencapai 40 persen. Hal ini memberikan informasi bahwa banyaknya penduduk yang tidak bersekolah di wilayah tersebut.

213

Pada tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan merupakan indikator output lain dalam penyelenggaraan pendidikan. Pencapaianpendidikan penduduk usia 15 tahun ke atas di Provinsi Papua Barat menurut kabupaten/kota dan ijazah/STTB yang dimiliki pada tahun 2018, mengindikasikan sebesar 14,40 persen penduduk berumur 15 tahun ke atas tidak memiliki ijazah SD tahun 2018, dengan kontribusi terbesar bersumber dari Pegunungan Arfak. Hal ini mencerminkan, kualitas SDM dari aspek pendidikan di Papua Barat masih tergolong rendah. Hanya 14,94 persen penduduk 15 tahun ke atas yang lulus dari perguruan tinggi. Kabupaten dengan proporsi penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak memiliki ijazah adalah Kabupaten Pegunungan Arfak yang hampir mencapai 40 persen. Hal ini memberikan informasi bahwa banyaknya penduduk yang tidak bersekolah di wilayah tersebut.

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2018, BPS Provinsi Papua Barat

Gambar 2.6 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang memiliki Ijazah/STTB Tertinggi, 2018

Komponen pendidik belum sepenuhnya mendapat apresiasi dalam mengembangkan kemampuan merencanakan, melaksanakan dan

Sumber: Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Papua Barat 2018, BPS Provinsi Papua Barat

Gambar 2.6 Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang memiliki Ijazah/STTB Tertinggi, 2018

Komponen pendidik belum sepenuhnya mendapat apresiasi dalam mengembangkan kemampuan merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran hal ini disebabkan status tenaga pendidik yang belum sesunggunya memperoleh kompensasi yang memadai.

Page 205: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 189

Komponen peserta didik baik minat, motivasi dan gaya belajar belum sepenuhnya didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, bahkan perekonomian keluarga yang masih kurang. Komponen sarana, prasarana dan pengelolaan sebagai penunjang dalam proses penyelenggaraan pembelajaran siswa, berada dalam kondisi yang kurang memadai sehingga evaluasi keberhasilan siswa kurang berkualitas dan tidak memiliki daya saing yang memadai. Kondisi inilah yang menyebabkan komponen IPM angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) berada di bawah angka rata-rata provinsi.

Studi yang dilakukan oleh Lee (2018) untuk mengetahui bagaimana human capital diukur melalui pencapaian pendidikan dan distribusi pendapatan. Dalam studinya telah memberikan bukti bahwa human capital, yang diukur dengan pencapaian pendidikan, berperan terhadap distribusi pendapatan. Regresi menggunakan data panel untuk berbagai negara untuk periode antara 1980 dan 2015 menunjukkan bahwa distribusi pendidikan yang lebih merata telah memberikan kontribusi signifikan untuk mengurangi ketidakmerataan pendapatan. Peningkatan pencapaian pendidikan mengurangi ketimpangan pendidikan dan dengan demikian dapat mengurangi ketimpangan pendapatan. Pengurangan ketimpangan pendidikan adalah faktor penting yang mengimbangi distribusi pendapatan pada periode tersebut.

Lebih lanjut dikatakan bahwa peningkatan pengeluaran publik untuk pendidikan sangat berperan penting dalam peningkatkan distribusi pendidikan dan distribusi pendapatan. Dampak pendidikan, globalisasi, dan perubahan teknologi pada distribusi pendapatan adalah penting untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Langkah-langkah kebijakan untuk mengurangi ketimpangan pendapatan mencakup kebijakan sumber daya manusia yang efektif, seperti pendidikan dan pelatihan inklusif bagi pekerja tidak terampil.

Distribusi pendapatan yang tidak merata di antara keluarga menyebabkan terjadi perbedaan alokasi manfaat yang diterima oleh generasi berikutnya. Oleh sebab itu perolehan pendapatan maupun pendidikan bagi masyarakat dapat ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Omojimite (2011) meneliti tentang efektivitas sistem pendidikan di Nigeria untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Nigeria, dengan indikator tingkat belanja publik dari sektor pendidikan dan manfaat sosial yang diterima oleh masyarakat. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi alokasi pendanaan yang tidak memadai sehingga manfaat sosial yang diterima tergantung pada tingkat pendidikan bahkan manfaat sosial yang tertinggi terjadi pada tingkat sekolah dasar. Manfaat pendidikan lebih tinggi untuk negara-negara berpenghasilan rendah daripada negara-negara berpenghasilan tinggi, sehingga negara-negara berpenghasilan rendah

Page 206: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI190

harus berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan daripada negara-negara berpenghasilan tinggi.

Walaupun alokasi belanja otonomi khusus untuk Papua Barat mencapai 30 persen dari jumlah dana otsus yang diterima namun efektivitas pencapaian output selama hampir 20 tahun belum mampu meningkatkan IPM melebihi rata-rata standar nasional sehingga memberikan dampak terhadap alokasi faktor produksi human capital (tenaga kerja). Mosiño (2002) menjelaskan bahwa tenaga kerja dengan pendidikan dasar dan tingkat sekolah menengah memiliki dampak yang sama terhadap perekonomian sedangkan pekerja dengan tingkat sekolah yang lebih tinggi terjadi sebaliknya, namun pada negara yang maju akan lebih efisien untuk semua level pendidikan. Dapat dikatakan bahwa sektor pertanian yang menjadi andalan Kabupaten Pegunungan Arfak bagi perekonomiannya, dengan struktur tenaga kerjanya yang didominasi oleh pendidikan sekolah dasar yang telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian walaupun paling sedikit diantara kabupaten lainnnya di Provinsi Papua Barat.

Wilayah yang berkembang sebenarnya lebih diuntungkan dalam menyerap dan mengadaptasi teknologi dan inovasi, sehingga investasi pada human capital dapat memberikan kontribusi bagi pertumbuhan pendapatan, selanjutnya sistem pendidikan yang efisien dapat terpenuhi jika alokasi belanja pendidikan berpengaruh terhadap pertumbuhan pendapatan masyarakat (Mosiño, 2002). Tingginya rasio guru dan siswa, juga rasio kelas dan siswa menunjukkan bahwa pelayanan terhadap siswa di Kabupaten Pegaf kurang memadai.

Gambar 2.7 Kunjungan Lapangan di Sekolah Dasar Kabupaten Pegunungan Arfak, 2019

Misalkan berdasarkan kunjungan lapangan ke SD dan SMP di Ibu Kota Kabupaten Pegunungan Arfak dijumpai sekolah yang memiliki 6 guru secara administrasi namun yang aktif sekitar 1 s.d 3 guru kondisi

Page 207: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 191

ini terjadi merata pada setiap distrik. Gambaran ini mengindikasikan bahwa peran dari human capital kurang optimal sehingga output yang terjadi pada proses pengapresiasian terhadap sumber daya yang tersedia di Kabupaten Pegunungan Arfak kurang mendapatkan dukungan yang berarti dari tenaga pendidik ditambah lagi penyebaran infrastruktur yang tidak merata.

Inefisiensi sistem pendidikan mengakibatkan proses inovasi belum mampu terjalin dengan baik, kondisi ini ditunjukkan dengan ketersediaan faktor produksi human capital yang kurang merata pada beberapa kabupaten kota di Provinsi Papua Barat. Pada Gambar 2.1 nampak bahwa wilayah dengan kontribusi terhadap PDRB yang tinggi memiliki faktor produksi human capital yang memadai sedangkan yang kontribusinya yang kurang memiliki faktor produksi human capital yang terbatas. Kapasitas dari tenaga pendidik yang terbatas dalam mendorong transformasi inovasi kepada peserta didik kurang memadai.

Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan IPM pada wilayah yang rendah IPM melalui kebijakan pendidikan dengan bentuk mekanisme seperti yang terjadi di Kabupaten Pegunungan Arfak dan dukungan alokasi belanja pendidikan yang memadai akan sulit mengapresiasi human capital, walaupun terdapat manfaat sosial yang diterima oleh masyarakat. Mengacu pada fungsi produksi agregat dengan memasukkan human capital yang ditunjukkan dalam persamaan Y = F (K,H, AL), nampak hanya terdapat 7 persen APL atau sekitar 15.597,46 ha yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari luas wilayah Kabupaten Pegunungan Arfak karena sebagian besar pemukiman masyarakat berada pada wilayah konservasi. Pada luasan tersebut komoditi kopi sangat menjanjikan yang tumbuh pada lereng-lereng di seputar Danau Anggi, juga komoditi lainnya yang tersebar pada 10 distrik dengan jumlah penduduknya mencapai 28.286 jiwa. Dengan kondisi demikian perekonomian Kabupaten Pegunungan Arfak hanya memberikan kontribusi yang terkecil terhadap PDRB Provinsi Papua Barat sebesar 0,24 persen.

Keterbatasan sumber daya alam sebagai modal fisik untuk dikelola tentunya membutuhkan inovasi yang dapat meningkatkan nilai tambah dari sumber daya tersebut. Pengelolaan sumber daya di setiap kabupaten dan kota hingga saat ini belum memperhatikan pencapaian indikator pembangunan bahkan terkesan program kegiatan yang dilakukan hanya berulang dari waktu kewaktu. Bagi kabupaten kota yang memiliki infrastruktur yang memadai akan dapat menunjang akselerasi pencapaian nilai tambah namun sebaliknya akan menghasilkan nilai tambah yang stagnasi. Ketersediaan infrastruktur yang tidak merata pada setiap kabupaten kota saat ini mengakibatkan Kabupaten Pegunungan Arfak kurang terpacu dalam perolehan nilai tambah bahkan kalau hal ini tidak diperhatikan maka akan menghasilkan gap yang begitu besar antar kabupaten kota di wilayah Papua Barat.

Page 208: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI192

Inovasi daerah harus dibangun sehingga akselerasi perekonomian bisa terpenuhi, inovasi tersebut berasal dari human capital yang terapresiasi sehingga terjalin kerjasama antar para pihak baik swasta, pemerintah, masyarakat dan bahkan perguruan tinggi. Pihak perguruan tinggi melalui penelitian, pihak swasta melalui komitmen dalam mendukung inovasi daerah, pihak masyarakat dalam memanfaatkan inovasi daerah seperti mengembangkan UMKM dan pemerintah dalam mendukung dan menyediakan regulasi, anggaran, infrastruktur, dan bahkan kerjasama.

Dengan memanfaatkan faktor produksi secara optimal yang diawali dengan peningkatan kapasitas human capital guna mengembangkan suatu inovasi baru maka akan memberikan nilai tambah pada masing-masing sektor ekonomi terutama sektor ekonomi pertanian yang memiliki multiplier efek terhadap perolehan nilai tambah. Mengembangkan inovasi terhadap sektor ekonomi tersebut akan mempercepat share nilai tambah terhadap total output yang dihasilkan oleh Kabupaten Pegunungan Arfak yang pada akhirnya akan memperbesar kontribusi PDRB terhadap Provinsi Papua Barat.

3. PENUTUPKetersediaan faktor produksi human capital yang kurang menjamin terselengaranya proses transformasi inovasi mengakibatkan aktivitas ekonomi tidak berjalan dengan baik. Hal ini nampak pada kemampuan merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi proses transformasi yang masih terbatas sehingga perlu peningkatan kualitas dan kuantitas human capital. Melalui peningkatan dan pemerataan human capital pada setiap kabupaten dan kota maka pelayanan terhadap peserta didik akan merata sehingga dapat mempersiapkan kapasitas SDM di setiap kabupaten kota sebagai faktor produksi dalam mendorong aktivitas ekonomi daerah.

Produk inovasi yang dihasilkan baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga penelitian paling tidak dapat diimplementasikan oleh masyarakat lokal yang telah mengalami apresiai kapasitas SDM sehingga mampu mengembangkan usaha-usaha produktif yang dapat berkolaborasi dengan pihak swasta guna mengakses sistem pasar melalui penyediaan regulasi maupun kelengkapan infrastruktur baik sosial, ekonomi maupun fisik yang merata pada setiap distrik bahkan kampung yang sulit diakses.

Page 209: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Rully N. Wurarah 193

4. DAFTAR PUSTAKABPS, 2019. BPS dalam Database PEPPD Bappenas RI Tahun 2019.

Bappenas, Jakarta.

Lee, J.-W. L. and H. (2018). Human capital and Income Inequality (No. 810; ADBI Working Paper 810, Issue 810). https://doi.org/10.1007/978-1-349-67278-3_116

Mincer, J. (1981). “Human capital and Economic Growth” Working Paper 80. In Economics of Education Review (Vol. 3, Issue 3). https://doi.org/10.1016/0272-7757(84)90032-3

Mosiño, A. (2002). Education, Human capital Accumulatio and Economic Growth. In University Of Lausanne (Vol. 2, Issue 10). https://doi.org/10.1002/j.2326-1951.1962.tb00530.x

Omojimite, B. U. (2011). Building Human capital for Sustainable Economic Development in Nigeria. Journal of Sustainable Development, 4(4), 183–189. https://doi.org/10.5539/jsd.v4n4p183

Pei, Y., Gong, K., & Leng, J. (2020). Study on the inter-village space of a traditional village group in Huizhou Region: Hongguan Village group as an example. Frontiers of Architectural Research, xxxx. https://doi.org/10.1016/j.foar.2020.03.006

Serageldin, I. (1996). Sustainability and the Wealth of Nations: First Steps in an Ongoing Journey. In The International Bank for Reconstruction and Development (First prin, Issue 5). The International Bank for Reconstruction and Development. http://www.nber.org/chapters/c11231

Wurarah, R. (2019). Apakah Investasi Human capital Mampu Mendorong Produktivitas Nasional? In Riznaldi Akbar (Ed.), Bunga Rampai Rekomendasi Kebijakan (1st ed., pp. 25–40). Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Hak. https://www.researchgate.net/publication/341231351_Apakah_Investasi_Human_Capital_Mampu_Mendorong_Produktivitas_Nasional

Wurarah, R., & Bauw, S. A. (2018). Analisis Kinerja Ekonomi Dan Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi Papua Barat. Journal of Fiscal and Regional Economy Studies, 1(1), 95–108. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.32830/jfres.v1i1

Page 210: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI194

Page 211: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 195

DESA KREATIF PERDAMAIAN: SOLUSI KONFLIK BERBASIS KEARIFAN LOKAL(STUDI DI DUSUN SRUMBUNG GUNUNG)

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria*

Universitas Kristen Satya Wacana*Correspondence author: [email protected]

BAB

XVI1. PENDAHULUANIndonesia memiliki masyarakat yang majemuk. Ini dengan mudah diketahui dari semboyan.negara Republik Indonesia, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan ini berarti “meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu”. Kemajemukan masyarakat dapat ditinjau dari banyak sisi. Pertama, dari sisi etnis, di Indonesia ada Suku Melayu.dan Suku.Melanesia yang selanjutnya membentuk seratus suku.besar dan 1.072.suku-suku turunan yang besar.dan kecil. Kedua, dari sisi.bahasa, Indonesia memiliki 652 bahasa yang.digunakan. Ketiga, dari sisi agama, Indonesia memiliki enam agama besar dan 187 penghayat kepercayaan.

Mengacu pada semboyan negara, keragaman dalam masyarakat harusnya tidak menjadi ancaman.bagi persatuan bangsa, apabila keragaman dikelola.dengan baik. Namun, faktanya tidaklah demikian. Ini karena keragaman masyarakat seringkali berpengaruh.pada perbedaan sistem.kepercayaan, pandangan.hidup, dan perilaku.sosial yang cenderung mendorong terjadinya konflik atau perpecahan sosial. Beberapa tahun belakangan ini.di Indonesia, isu radikalisme dan konflik bernuansa.agama menguat.kembali, seperti Konflik Poso, Konflik Maluku dan Maluku Utara. Ironis, satu sisi kehidupan agama di Indonesia moderat, toleran dan damai, namun sisi lain justru terjadi sebaliknya, muncul eksklusivitas keberagaman dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Perbedaan yang ada di masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab konflik di Indonesia. Sekarang ini, permusuhan dan perpecahan di masyarakat terjadi karena menguat kembali isu politik identitas. Oknum-oknum tidak bertanggungjawab menjalankan politik identitas dengan motif mendapatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan/atau kelompoknya (Sitompul, 2018).

Teknologi dan media sosial juga turut memperkeruh konflik di Indonesia. Masyarakat tidak bijak menggunakan teknologi dan media sosial, sehingga kasus-kasus intoleransi, politik identitas, hingga radikalisme berbasis kekerasan akhirnya mulai menjalar hingga ke desa-desa. Kondisi ini harus segera ditangani, sebelum akhirnya menimbulkan

Page 212: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI196

perpecahan dan menghambat pencapaian tujuan negara, seperti yang.diamanatkan oleh.Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan.bangsa dan mewujudkan.masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Desa menjadi sasaran awal program pemerintah dan para Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk penanganan kasus-kasus intoleransi, politik identitas dan radikalisme. Argumennya, desa memiliki penawar untuk permasalahan tersebut, yaitu kearifan lokal yang ditunjang dengan nilai-nilai gotong royong dan persaudaraan di tengah keragaman.

Desa-desa dituntut untuk berevolusi menjadi desa damai. Desa diharapkan dapat menjaga dan merawat persatuan meski ditengah perbedaan. Tidak hanya itu, desa juga dituntut menjadi kreatif dan mengembangkan potensi berdasarkan kearifan lokal yang dimilikinya. Kunci untuk menangkal intoleransi, politik identitas dan radikalisme ada pada penguatan toleransi dan perdamaian, serta pemberdayaan masyarakat. Oleh sebab itu, dua aspek tersebut menjadi fokus utama dalam pembentukan desa kreatif perdamaian di Indonesia. Namun, proses revolusi desa menjadi desa kreatif perdamaian tentunya bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Komitmen yang tinggi dari seluruh lapisan masyarakat serta investasi waktu dan modal diperlukan untuk mensukseskan program ini.

Seperti mata uang yang memiliki.dua sisi, satu sisi ada pihak yang optimis akan terciptanya desa-desa kreatif perdamaian di Indonesia, sebagai solusi konflik berbasis kearifan lokal. Tetapi tidak sedikit juga pihak yang pesimis, cita-cita ini akan tercapai. Bagaimana bisa desa berubah fungsi menjadi tempat untuk menciptakan kedamaian, toleransi, kecintaan pada alam, tetapi kesejahteraan masyarakat juga tetap terjaga. Bagaimana bisa desa mewujudkan kondisi damai, apalagi ditengah pandemi COVID-19, seperti sekarang ini yang belum tahu kapan akan berakhir. Ekonomi semua lapisan masyarakat terdampak karena tidak bisa bekerja secara optimal karena pemerintah memberlakukan pembatasan sosial untuk memutus mata rantai pandemi COVID-19. Kondisi ini tentunya sulit untuk dilalui, tak terkecuali masyarakat desa. Sebagian.besar mata.pencaharian masyarakat.desa adalah.sebagai petani dan pedagang, sedangkan desa belum.memiliki infrastruktur dan.sumber.daya.manusia yang siap untuk menerapkan pembatasan sosial. Oleh sebab itu, tulisan ini akan fokus membahas tentang kunci sukses membentuk desa kreatif perdamaian sebagai solusi konflik berbasis kearifan lokal. Pembahasan akan menggunakan contoh desa kreatif perdamaian yang merupakan desa mitra binaan tim penulis, yaitu Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Page 213: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 197

2. DESA KREATIF PERDAMAIANKonsep desa damai telah digagas sejak awal tahun 2018 oleh Wahid Foundation. Desa damai diyakini sebagai solusi permasalahan intoleransi dan radikalisme yang terjadi di Indonesia. Prinsipnya, masyarakat desa diberdayakan melalui pembinaan kerukunan, ketahanan masyarakat, kesetaraan dan menghormati perbedaan yang ada di sekeliling mereka. Wahid Foundation mengembangkan empat pilar desa damai, seperti disajikan pada Gambar 2.1. Pilar pertama, penguatan ekonomi desa, misalnya saja dengan memberikan akses permodalan. Pilar kedua, penguatan peran perempuan di desa, misalnya dengan melakukan pembinaan dan pelatihan kewirausahaan. Pilar ketiga, penguatan peran aparatur daerah dan desa. Pilar keempat, penguatan nilai-nilai toleransi ditengah-tengah masyarakat desa.

Wahid Foundation bekerjasama dengan United Nations Women telah melakukan pilot project kampung damai dan sampai tahun 2019 telah berhasil mendampingi lebih dari 30 kampung damai yang.tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,.dan Jawa.Timur. Tidak hanya Wahid Foundation, dalam rangka pengembangan desa, pemerintah juga menggandeng para akademisi dalam program pengabdian kepada masyarakat. Tim akademisi melakukan salah satu tugas.Tri Dharma Perguruan.Tinggi, yaitu kegiatan pengabdian kepada.masyarakat untuk mengembangkan desa yang menjadi mitra dari tim. Tujuannya adalah untuk pembangunan desa dan untuk membuat benchmarking model desa/dusun/kampung kreatif perdamaian yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

224

penguatan ekonomi desa, misalnya saja dengan memberikan akses permodalan. Pilar kedua, penguatan peran perempuan di desa, misalnya dengan melakukan pembinaan dan pelatihan kewirausahaan. Pilar ketiga, penguatan peran aparatur daerah dan desa. Pilar keempat, penguatan nilai-nilai toleransi ditengah-tengah masyarakat desa.

Wahid Foundation bekerjasama dengan United Nations Womentelah melakukan pilot project kampung damai dan sampai tahun 2019 telah berhasil mendampingi lebih dari 30 kampung damai yang.tersebar di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah,.dan Jawa.Timur. Tidak hanya Wahid Foundation, dalam rangka pengembangan desa, pemerintah juga menggandeng para akademisi dalam program pengabdian kepada masyarakat. Tim akademisi melakukan salah satu tugas.Tri Dharma Perguruan.Tinggi, yaitu kegiatan pengabdian kepada.masyarakat untuk mengembangkan desa yang menjadi mitra dari tim. Tujuannya adalah untuk pembangunan desa dan untuk membuat benchmarking model desa/dusun/kampung kreatif perdamaian yang menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

Gambar 2.1 Pilar Desa Damai (Wahid Foundation, 2018)

Penguatan Ekonomi

Penguatan Peran

Perempuan

Penguatan Peran

Aparatur Daerah

Penguatan Nilai

Toleransi

Gambar 2.1 Pilar Desa Damai (Wahid Foundation, 2018)

Page 214: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI198

Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah adalah salah satu contoh dusun kreatif perdamaian yang menjadi binaan tim penulis. Dusun Srumbung Gunung mempunyai luas ± 127.010 Ha dengan jumlah penduduk total ± 2.340 jiwa. Secara khusus dusun ini mempunyai luas ± separuh dari luas desanya. Karakter masyarakatnya adalah multikultur dilihat dari segi agama. Tabel 2.1 menunjukkan bukti betapa multikulturnya penduduk Dusun Srumbung Gunung. Agama masyarakat Dusun Srumbung Gunung, yaitu Islam, Katholik, Kristen dan Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Menurut Agama

No Agama Laki-laki Perempuan Jumlah1. Islam 1.096 1.108 2.204 2. Katholik 30 33 63 3. Kristen 33 33 66 4. Hindu - - - 5. Budha - - - 6. Aliran Kepercayaan 4 3 7

Hubungan antar.sesama masyarakat yang.berbeda agama.terjalin dengan kondusif. Hal ini dapat dilihat dari sikap keterbukaan dan saling menghormati di antara warga yang menjalankan ritual agamanya. Meskipun mayoritas penduduknya.beragama Islam, namun sampai saat ini.belum ditemui konflik.sosial yang.terjadi karena perbedaan.keyakinan. Kehidupan masyarakat di Srumbung Gunung, terbukti senantiasa menjaga persatuan. Ini menjadi modal yang kuat untuk menjadikan Dusun Srumbung Gunung sebagai desa kreatif perdamaian. Dari pendampingan tim penulis di Dusun Srumbung Gunung dapat diidentifikasi enam kunci sukses menciptakan desa kreatif perdamaian.

Kunci sukses pertama, yaitu partisipasi aktif dan komitmen tinggi dari masyarakat di sana untuk mewujudkan perdamaian. Komitmen akan perdamaian dapat terlihat dari Visi dan Misi Dusun Srumbung Gunung. Visinya adalah menjadikan Dusun Srumbung Gunung menjadi bagian dari desa kreatif sumber inspirasi perdamaian dunia. Sedangkan, misi dusun ini, antara lain, sebagai berikut.1. Memperkenalkan dan memberikan pengalaman kehidupan yang

penuh kerukunan.di antara pemeluk.agama dan budaya yang beraneka ragam.

2. Mengembangkan ekonomi kreatif dengan memperhatikan potensi pertanian dan potensi-potensi lainnya dalam mayarakat untuk mensejahterakan warga.

Page 215: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 199

3. Memamerkan dan mempertunjukan seni-seni tradisional nusantara, baik berupa seni, pertunjukan (tari/musik/teater/ketoprak/wayang) maupun seni rupa kepada masyarakat.

4. Melestarikan dan mengembangkan potensi pusaka saujana dan benda bersejarah untuk kepentingan pendidikan dan penelitian.

Komitmen akan perdamian di Srumbung Gunung ditunjukkan dengan pendirian lembaga berbadan hukum yang berbentuk perkumpulan dengan nama Creative and Peace Srumbung Society (CPSS). Pengesahan pendirian perkumpulan CPPS tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0003358.AH.01.07 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Creative and Peace Srumbung Society. CPSS berfungsi sebagai pengelola desa kreatif perdamaian. Anggota CPSS ini juga beragam, baik itu lintas agama dan lintas generasi. Produk desa kreatif perdamaian Dusun Srumbung Gunung, antara lain paket live-in bagi pengunjung yang ingin menikmati kehidupan desa, pelatihan pengembangan diri dan peace building, paket kegiatan outbound, pusat kuliner dan kerajinan tradisional, serta pagelaran seni dan budaya. Produk yang dijual memiliki filosofi dan narasi tentang nilai kemanusiaan, toleransi, kerjasama, persatuan dan perdamaian, sehingga pengunjung tidak hanya menikmati keindahan alam Dusun Srumbung Gunung, tetapi juga dapat dibangkitkan semangat tetap menjaga kesatuan dan persatuan.

Kunci sukses kedua, yaitu kemauan masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Dusun Srumbung Gunung menggunakan model pendekatan pemberdayaan dari bottom up. Artinya, masyarakat dituntut berperan.aktif dalam proses.pemberdayaan untuk.kemajuan dan.kemandirian.desa dalam mencapai.kesejahteraan.bersama. Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kegiatan.kolektif dari kelompok kerja yang terorganisasi. Kelompok kerja tersebut, terdiri dari seluruh elemen lapisan masyarakat yang memiliki sikap dan perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi di masyarakat. Suasana ketika kelompok kerja Dusun Srumbung Gunung melakukan rapat koordinasi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Page 216: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI200

Gambar 2.2 Suasana Koordinasi Kelompok Kerja Dusun Srumbung Gunung

Pembentukan kelompok kerja di desa, bukan hal yang mudah dan instan. Butuh usaha lebih dan waktu yang panjang untuk mendapatkan kelompok kerja yang solid dan kompak. Alasannya, kesenjangan sosial dan tingkat pendidikan antar warga, seringkali membuat kelompok yang solid dan kompak sulit untuk didapatkan. Beruntungnya, Dusun Srumbung Gunung memiliki anak muda yang kreatif dengan berbagai macam latar belakang agama yang memiliki kemauan besar untuk mengembangkan desanya. Kelompok muda ini tidak hanya tergabung dalam Karang Taruna, tetapi juga tergabung menjadi anggota CPSS.

Anak-anak muda juga diberdayakan melalui proses pendampingan yang dilakukan oleh tim penulis. Programnya, antara lain pelatihan sablon, pelatihan digital printing. Mereka juga diajari cara memasarkan produk menggunakan market place. Tujuannya, agar mereka bisa membantu memasarkan dan mempromosikan produk dan jasa yang yang dihasilkan oleh warga Dusun Srumbung Gunung. Kondisi ini menegaskan bahwa desa kreatif perdamaian dapat sukses terbentuk jika ada orang-orang yang memiliki kemauan untuk melakukan yang terbaik dan berusaha semaksimal mungkin untuk ikut berkontribusi dalam usaha pengembangan desa tercintanya.

Kunci sukses ketiga, yaitu edukasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, keadilan dan perdamaian. Kelompok kerja di Srumbung Gunung, tidak serta merta langsung dapat berjalan sendiri, tetapi memiliki beberapa mitra baik itu pemerintah, swasta maupun akademisi untuk membantu mengedukasi dan menggali potensi yang ada di sana. Pembinaan dan

Page 217: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 201

penguatan nilai-nilai tolerasi antar agama, kerjasama lintas agama dan perdamaian terhadap warga di Srumbung Gunung dilakukan bersama dengan tokoh-tokoh agama, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti ELSA, yaitu Lembaga Studi Sosial dan Agama dan PELITA, yaitu Persaudaraan Lintas Agama dan akademisi yang tergabung dalam tim pengabdian kepada masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana dan Pusat Studi Perdamaian Universitas Kristen Duta Wacana (Widiyanto 2018).

Edukasi terkait pengembangan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, keadilan dan perdamaian dilakukan mulai dari lingkup terkecil, yaitu keluarga. Prinsipnya, rantai kekerasan dapat diputuskan jika orang dewasa tidak melakukan tindak kekerasan. Ini karena orang dewasa biasanya akan menjadi role model bagi anak-anak. Anak-anak cenderung akan mengidentifikasikan diri dengan lingkungan dan orang dewasa di sekitarnya. Anak-anak akan belajar menghargai, jika anak-anak tumbuh dalam.asuhan kasih sayang. Anak-anak akan belajar.melawan, jika anak-anak tumbuh dalam.penindasan. Anak-anak akan menjadikan kekerasan.sebagai jalan keluar persoalan, jika anak-anak tumbuh.dengan.cara kekerasan. Anak tumbuh.dalam asuhan.manusia dewasa, dengan tujuan untuk ditumbuhkan kodrat manusiawinya. Oleh sebab itu, penanaman nilai kemanusiaan, toleransi dan perdamaian bukan dimulai pada anak-anak, tetapi orang dewasa. Orang dewasa harus belajar untuk tidak melakukan kekerasan dan tidak menjadikan anak-anak sebagai sasaran dari tindakan kekerasan. Orang tua diedukasi untuk memberikan kasih sayang, perhatian dan.perlindungan kepada anak-anak, sehingga anak-anak bertumbuh dalam.atmosfer cinta.kasih dan.perdamaian. Harapannya, di masa depan anak-anak tersebut akan mewariskan nilai toleransi dan perdamaian pada generasi-generasi berikutnya.

Nilai tolerasi dan perdamaian di Dusun Srumbung Gunung selalu dijaga dan dikuatkan dengan menggelar acara festival budaya dan seni, yaitu festival jajan tradisional dan festival Jaran Kepang sejak tahun 2009. Festival ini dimaksudkan untuk menguatkan masyarakat akar rumput agar terus melestarikan.adat istiadat dan budaya.dalam menjaga pembangunan perdamaian.dan kebhinekaan.di Indonesia. Acara ini diselenggarakan dalam rangka merayakan Merti Dusun atau hari untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan kepada warga desa. Acara ini disiapkan oleh seluruh warga desa dengan cara bergotong royong. Acara ini tidak hanya diisi dengan berbagai kegiatan pertunjukan kesenian nusantara, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan pameran produk usaha kecil dan menengah, seperti jajanan tradisional dan kerajinan tradisional. Cara ini sukses mengukuhkan Dusun Srumbung Gunung menjadi desa kreatif perdamaian. Bagaimana tidak, penyelenggaraan festival budaya dan seni, telah berhasil menghidupkan kembali kesenian Jaran Kepang Dusun Srumbung Gunung yang sebelumnya vakum. Suasana saat berlangsungnya festival budaya dan seni dapat.dilihat.pada Gambar 2.3.

Page 218: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI202

Gambar 2.3 Suasana Festival Budaya dan Seni di Srumbung Gunung

Kunci sukses keempat, yaitu praktik nilai-nilai kemanusiaan toleransi, keadilan dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Kerukunan dalam keberagaman agama di Dusun Srumbung Gunung terlihat dari segala praktik tradisi adat di sana yang dijalankan warga dengan penuh semangat. Srumbung Gunung memiliki satu gereja, yaitu Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), dua masjid, yaitu Masjid Nahdatul Ulama (NU) dan Masjid Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), dan satu mushola. Pada masa awal berdirinya tempat-tempat ibadah itu, semua warga ikut bergotong royong mendukung pembangunan. Tidak berhenti disitu, toleransi keagamaan terlihat pada setiap perayaan hari besar keagamaan, maka warga dusun akan saling mengunjungi untuk mengucapkan selamat. Banyak narasi-narasi hidup rukun yang dimiliki warga Srumbung Gunung. Misalnya saja, ketika gereja menyelenggarakan kegiatan pasar murah dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga Srumbung Gunung, kegiatan-kegiatan tersebut diumumkan menggunakan speaker masjid, sedangkan pelaksanaannya di gereja.

Warga Dusun Srumbung Gunung memupuk dan mengembangkan keperdulian terhadap sesama warga dan lingkungan sekitar meski berada ditengah keberagaman. Kepedulian terhadap sesama warga ditunjukkan dengan melestarikan tradisi Sambatan dan tradisi Sinoman. Sambatan adalah tradisi gotong royong di Dusun Srumbung Gunung untuk membantu warganya yang sedang memiliki kerja, seperti hendak mendirikan atau membongkar rumah. Tuan rumah akan menyediakan konsumsi untuk warga yang membantu berupa sego gablok, yaitu nasi yang ditumbuk kemudian dicampur dengan parutan kelapa dan dibungkus dengan daun jati. Sedangkan, tradisi Sinoman, yaitu tradisi gotong royong warga Dusun Srumbung Gunung untuk membantu warga yang mengadakan acara pernikahan. Ini dilakukan untuk meringankan beban pekerjaan warga yang sedang memiliki acara. Kepedulian pada lingkungan warga Dusun Srumbung Gunung terlihat ketika menyelenggarakan Dawuhan Dusun, yaitu tradisi gotong royong yang dilakukan untuk membersihkan saluran air agar pengairan sawah menjadi lancar. Sikap kepedulian terhadap

Page 219: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 203

warga dan lingkungan tidak boleh luntur karena dengan memiliki sikap peduli maka kerukunan dan kedamaian tetap terjaga.

Kunci sukses kelima, yaitu terus gali potensi dan lestarikan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh desa. Nilai kearifan lokal akan menjadi ciri pembeda satu daerah dengan daerah lainnya. Kearifan lokal adalah keanekaragaman pola adaptasi di masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dan menjadi pedoman masyarakat untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi apapun. Nilai utama desa yang dapat dikembangkan menjadi desa kreatif perdamaian ada pada.kualitas, keorisinilan, keunikan, kekhasan.daerah, dan.kebanggaan.daerah. Nilai ini dapat dicermati melalui.gaya dan.kualitas.hidup masyarakat, khususnya berkaitan dengan perilaku.integritas, keramahan.dan kesungguhan penduduk, di samping warisan budaya, pertanian, dan bentangan.alam yang indah.

Dusun Srumbung Gunung memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan dan dipromosikan karena keunikan dan kekhasannya. Srumbung Gunung memelihara nilai tradisi budaya lokal yang mengajarkan toleransi, tenggang rasa, gotong royong dan perdamaian. Ini tercermin pada acara Nyadran yang dilakukan hingga tujuh kali dalam setahun. Tradisi Nyadran di Srumbung Gunung pun tidak hanya dilakukan dalam bentuk ziarah atau mengirim doa kepada orang yang sudah meninggal. Nyadran di Srumbung Gunung juga memiliki makna lain, yaitu memanjatkan doa-doa kepada.Tuhan Yang.Maha Kuasa agar proses penyebaran benih, penanaman padi, dan panen bisa berjalan dengan lancar dan mendapatkan hasil terbaik. Suasana Warga Dusun Srumbung Gunung saat menjalankan tradisi budaya lokal dapat.dilihat.pada Gambar 2.4.

Nilai toleransi dan perdamaian dirawat dan dipupuk dalam kesenian daerah. Kesenian Jaran Kepang hingga sekarang masih hidup di masyarakat Srumbung Gunung dan mengalami perkembangan. Kesenian ini dapat bertahan hingga sekarang karena mampu mengadakan regenerasi pemainnya dengan baik. Dusun Srumbung Gunung terus mengembangkan kesenian tersebut dengan membuat paguyuban, yaitu Paguyuban Seni Jaran Kepang Langen Mudho Budhoyo dan Paguyuban Seni Karawitan Madyo Laras untuk musik pengiring kesenian Jaran Kepang. Ini membuktikan bahwa kesenian dan budaya mampu menambahkan nilai tersendiri dalam pembangunan masyarakat.

Page 220: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI204

Gambar 2.4 Tradisi Budaya Lokal Dusun Srumbung Gunung

Kunci sukses keenam, yaitu pemberdayaan perempuan. Perempuan memegang peranan penting sebagai pencipta desa kreatif perdamaian. Ini didukung dengan hasil survei nasional yang dilakukan Wahid Foundation (2018b). Hasil survei menemukan bahwa.perempuan lebih.banyak mendukung.hak.kebebasan menjalankan.ajaran.agama atau kepercayaan dibanding.laki-laki, perempuan lebih tidak bersedia.radikal dibanding.laki-laki, perempuan.yang intoleran lebih sedikit dibanding.laki-laki. Perempuan juga.seringkali dianggap.sebagai orang yang paling dekat.dengan.anak dan.lingkungan. Ini membuat perlu perempuan diedukasi dan dikembangkan wawasannya agar misi perdamaian dapat terwujud.

Pemberdayaan perempuan dilakukan dengan melakukan pendampingan kewirausahaan. Salah satu potensi Dusun Srumbung Gunung memiliki keindahan pemandangan alam. Ada area persawahan berundak, pemandangan Gunung Ungaran, serta memiliki sungai dengan banyak batuan gunung dan sumber air panas. Tidak hanya memiliki keindahan alam, Srumbung Gunung juga memiliki warisan situs bersejarah. Ada beberapa situs bersejarah di area persawahan Dusun Srumbung Gunung yang berbentuk Patung Nandi tanpa kepala, Patung Lingga Yoni, Batu Lumping dan struktur batu bata. Keindahan alam, warisan situs bersejarah, kesenian dan budaya menjadi daya tarik untuk berwisata disana. Bagi banyak orang, berwisata dapat membuat jiwa tenang dan damai.

Undang-Undang No. 10/2009 tentang Kepariwisataan mendefinisikan kepariwisataan sebagai berbagai kegiatan wisata dan didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat. Cooper dkk (2008) mengidentifikasi komponen pariwisata, yaitu attraction, amenities, ancillary dan accessibility. Pemberdayaan perempuan di Dusun Srumbung Gunung fokus pada komponen amenitas, yaitu akomodasi dan pelayanan makanan dan minuman. Sifat pekerjaan ini dipilih karena berkaitan erat dengan pekerjaan sehari-hari di rumah tangga mereka, seperti memasak dan mengolah makanan serta membersihkan rumah. Selain itu, tidak sedikit juga perempuan yang sukses menjadi pioneer pengusaha yang sukses dan melegendaris di Indonesia.

Page 221: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 205

Program pemberdayaan perempuan di Dusun Srumbung Gunung dilakukan dengan pendampingan untuk meningkatkan kemampuan dalam pengolahan kuliner, baik makanan maupun minuman. Proses pendampingan pengolahan kuliner dimulai dari mengidentifikasi makanan tradisional yang sudah ada, karena di sana juga terkenal memiliki jajanan-jajanan tradisional yang banyak jenisnya. Proses identifikasi juga dilakukan terhadap bahan baku termasuk pemasoknya. Tujuannya untuk memastikan agar warga Srumbung Gunung menggunakan bahan baku yang memang tersedia atau dihasilkan dari dusun tersebut dalam upaya mempertahankan kekhasan produk makanan dan minuman yang akan dijual oleh warga. Pelatihan pengolahan kuliner dilakukan dengan memperhatikan protokoler kesehatan agar produk yang dihasilkan oleh warga Srumbung Gunung tidak hanya dikenal karena rasanya yang enak, unik, tetapi juga higienis, sehingga aman untuk dikonsumsi. Tidak hanya pendampingan dalam mengolah makanan, pemberdayaan perempuan di dusun tersebut juga dilakukan dengan melakukan pelatihan pengemasan dan penyajian makan yang menarik dengan tetap memperhatikan unsur tradisional serta higienis. Selain rasa, kemasan dan penyajian yang unik dari produk yang dijual di Dusun Srumbung Gunung bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi pembeli untuk datang dan mengunjungi tempat ini sembari menikmati keindahan alamnya.

Perempuan juga diberdayakan pada program pelatihan homestay dan hospitality yang memperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, serta kebersihan dengan mengikuti protokoler kesehatan. Warga juga diajari caranya untuk mengelola keuangan baik itu pengelolaan keuangan keluarga maupun pengelolaan keuangan bagi usaha. Melalui program pendampingan ini diharapkan perempuan-perempuan di Dusun Srumbung Gunung dapat terlibat dalam kegiatan ekonomi secara langsung, dapat berpartisipasi dan mendapatkan akses untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Perempuan yang diberdayakan diharapkan dapat menjadi pembawa damai bagi dirinya sendiri, keluarga, kelompok dan desanya.

Pandemik COVID-19 pun memberi dampak kepada warga Dusun Srumbung Gunung. Bagaimana tidak, aktivitas warga disana pun mengalami pembatasan dan masyarakat diminta untuk menjalankan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, menghidari kerumunan, dan selalu mencuci tangan serta menjaga kebersihan. Desa semakin terbebani dengan kecemasan terjadinya transmisi lokal penyebaran virus corona karena banyaknya pekerja urban yang pulang ke kampung halamannya. Ini membuat aktivitas para warga di Srumbung Gunung menjadi sangat terbatas.

Pandemi COVID-19 mengubah beberapa program pendampingan terhadap Dusun Srumbung Gunung. Pemerintah desa mengalihkan peran Karang Taruna untuk menjalankan kegiatan sosial dengan

Page 222: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI206

menjadi anggota organisasi ini menjadi bagian dari relawan desa untuk membantu memutus rantai penyebaran COVID-19. Karang Taruna diminta mengedukasi masyarakat tentang COVID-19, menyemprot disinfektan dan menyediakan tempat cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau cairan pembersih tangan di tempat umum, memastikan tidak ada kerumunan warga dan membantu mendistribusikan bantuan kebutuhan pokok warga yang terimbas COVID-19.

Program pemberdayaan warga tetap berjalan, namun dengan membagi warga dalam grup yang lebih kecil lagi sehingga bisa tetap mematuhi anjuran dari pemerintah terkait pembatasan sosial. Program pengabdian mempersiapkan warga Dusun Srumbung Gunung memasuki fase New Normal. Oleh sebab itu, tim penulis mulai mengedukasi warga tentang New Normal Desa dan menyiapkan warganya. Program pendampingan kuliner misalnya, sekarang warga yang memiliki usaha pengolahan kuliner diwajibkan untuk menggunakan face shield dan sarung tangan plastik ketika mengolah makanannya.

3. PENUTUPKeragaman di Indonesia dalam masyarakat harusnya tidak menjadi ancaman bagi persatuan bangsa. Namun, faktanya tidaklah demikian. Beberapa tahun belakangan ini, isu radikalisme, konflik bernuansa agama menguat kembali, dan politik identitas menguat kembali di Indonesia. Ironis, satu sisi kehidupan agama di Indonesia moderat, toleran dan damai, namun sisi lain justru terjadi sebaliknya, muncul eksklusivitas keberagamaan dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Kondisi ini harus segera ditangani, sebelum akhirnya menimbulkan perpecahan. Desa menjadi sasaran awal penanganan kasus-kasus intoleransi, politik identitas dan radikalisme. Argumennya, desa memiliki penawar dari masalah tersebut, yaitu nilai-nilai kearifan lokal.

Desa dituntut untuk berevolusi menjadi desa kreatif perdamaian. Namun, proses revolusi desa menjadi desa kreatif perdamaian tentunya bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Dari Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso, Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, kita dapat belajar kunci sukses desa kreatif perdamaian. Ada enam kunci sukses membentuk desa kreatif. Pertama, partisipasi aktif dan komitmen tinggi dari masyarakat di sana untuk mewujudkan perdamaian. Kedua, kemauan masyarakat untuk berubah menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi sesama. Ketiga, edukasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, keadilan dan perdamaian. Keempat, praktik nilai-nilai kemanusian toleransi, keadilan dan perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Kelima, gali potensi dan lestarikan nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh desa. Keenam, pemberdayaan perempuan.

Page 223: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Agus Supratikno, Suharyadi, Rini Hudiono, Evi Maria 207

4. DAFTAR PUSTAKACooper, Chris., Fletcher, John., Gilbert, David., Fyall, Alan., dan Wanhill,

Stehphen. (2008). Tourism: Principles and Practice. Fourth Edition. United Kingdom: Pearson Education Limited.

Sitompul, E.M. (2018). Misi Baru dalam Kemajemukan, Teologi Lintas Iman dan Lintas Budaya. Buku Penghormatan 80 Tahun Prof. Olaf Schumann. Tomohon: Ukit Press.

Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. AHU-0003358.AH.01.07 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Creative and Peace Srumbung Society.

Undang-Undang Nomor 10. Tentang Kepariwisataan. (2009). Indonesia.

Wahid Foundation. (2018a). Famflet Desa Damai: 9 Indikator Desa Damai. Wahid Foundation.

________. (2018b). Laporan Survei Nasional Tren Toleransi Sosial- Keagamaan di Kalangan Perempuan Muslim Indonesia. Jakarta.

Widiyanto, Iwan Firman. (2018). Membangun Ruang Kreatif Desa Perdamaian di Dusun Srumbung Gunung, Desa Poncoruso “Mewujudkan Persatuan dalam Perbedaan. Jurnal Tata Kelola Seni, 4(2): 72-83.

Page 224: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI208

Page 225: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Bio Data Tim Penulis 209

RIWAYAT HIDUP

Dr. M FIRMANSYAH, SE, M.SiPenulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Mataram (UNRAM). Menyelesaikan studi S-1 Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di FEB UNRAM Mataram, S-2 di FEB Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) dan S-3 di FEB Universitas Brawijaya Malang. Di samping mengajar penulis membantu pemerintah daerah sebagai Tim EKPD Bappenas, Tim Penasehat Investasi Provinsi NTB, Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah Provinsi NTB, Tim Percepatan Kawasan SAMOTA Provinsi NTB, Tim Pengendali Inflasi

Kota Mataram, Tim Penjamin Mutu Balitbang Kota Mataram. Penulis beberapa kali menyampaikan ceramah tentang investasi, pengembangan ekonomi lokal (PEL), kewirausahaan baik yang diselenggarakan pemerintah maupun NGO disamping itu penulis sering menulis di Kolom Opini di beberapa media masa.

Dr. Ni Made Sukartini., S.E., M.Si., MIDECPenulis adalah salah satu staff pengajar di Departmen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Airlangga (Unair). Ni Made mengajar di FEB Unair sejak Januari 1998. Bidang Ilmu yang ditekuni Ni Made adalah Ekonomi Publik dan Keuangan Daerah.Pendidikan formal yang ditempuh Ni Made sebagai berikut. Tahun 1997 mendapat gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, dengan gelas SE. Tahun 2003 mendapat gelar Magister Sains Bidang Statistika dari FMIPA Institut Tehnologi

Sepuluh Nopember (ITS), dengan gelar M.Si. Tahun 2006 lulus Program Master dari Crawford School of Economics and Governance, The Australian National University (ANU) Canberra, Australia; dalam bidang Ilmu Ekonomi Pembangunan, dan gelar MIDEC. Tahun 2017 Ni Made lulus dari Program Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM), dengan gelar Dr.

Foto Penulis

Page 226: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI210

Fariastuti Djafar., SE., M.A., Ph.D Penulis lahir di Singkawang, Kalimantan Barat dan bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Tanjungpura. Penulis menyelesaikan Sarjana Ekonomi pada universitas yang sama. Gelar M.A. dan Ph.D. diperoleh penulis dari Australian National University, Canberra. Penulis pernah menjadi dosen di Fakulti Ekonomi dan Perniagaan, Universiti Malaysia Sarawak, Malaysia. Penulis tertarik pada masalah ketenagakerjaan terutama pekerja migran, pembangunan desa dan perbatasan. Artikel pada jurnal ilmiah internasional dan buku yang pernah diterbitkan penulis dapat dilihat pada Google Scholar,

sedangkan artikel populer dapat dibaca pada blog www.kompasiana.com.

Dr. Agus Sunaya Sulaeman, Ak.,M.Si, AAP, CALahir di Garut, 12 Februari. Menyelesaikan pendidikan S3 Ekonomi di Universitas Padjadjaran Bandung dengan kekhususan Konsentrasi Manajemen Keuangan. Pendidikan S2 Magister Akuntansi dari UMJ konsentrasi Akuntansi dan Sistem Pengendalian, dan pendidikan Diploma IV dan Diploma III Akuntansi dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dengan memperoleh gelar Akuntan. Sebelum menjadi Dosen di Politeknik Keuangan Negara STAN, pekerjaan yang digeluti sejak mahasiswa selalu di bidang keuangan atau aset di beberapa kegiatan kemahasiswaan. Setelah menjadi pegawai pekerjaannya

tetap di bidang keuangan dan aset, dengan menjadi staf penyusunan anggaran, penyusun laporan keuangan, verifikasi tagihan, juga sebagai Kasubag Penyusunan Anggaran, Kasubag Keuangan, dan Kepala Sekretariat STAN. Jabatan Perbendaharaan yang pernah diemban: bendahara pengeluaran pembantu, bendahara pengeluaran prasik, pejabat/panitia pengadaan, atasan bendahara, pejabat Penandatangan dan Penguji Surat Perintah Membayar, Pejabat Pembuat Komitmen, dan Pejabat Keuangan BLU STAN. Sebelumnya menjadi tim penyusun STAN menjadi satker BLU, tim penyusun tarif layanan, RBA. Saat ini menjadi fungsional Dosen di PKN STAN dengan bidang kompetensi Akuntansi dan Manajemen Keuangan Pemerintah, pernah menjabat Ketua Jurusan Manajamen Keuangan (membawahi Prodi Kebendaharaan Negara dan Manajemen Aset), menjadi trainer/narasumber di beberapa training /workshop/ bintek/seminar keuangan pusat maupun daerah, dan tim konsultan. Beberapa Mata kuliah yang diampu di PKN STAN: Pengelolaan Keuangan BLU, Pelaksanaan Belanja, Pelaksanaan APBN, Perpajakan Bendahara, Akuntansi Pemerintah dan Manajemen Keuangan Pemerintah. Peminatan Penelitian dan pengabdian masyarakat di bidang Penganggaran, perbendaharaan, Pengadaan pemerintah dan BLU baik pusat maupun daerah termasuk pengelolaan keuangan desa.

Page 227: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Bio Data Tim Penulis 211

Sriyani, S.E.,M.AktLahir di Yogyakarta, 8 Maret 1977, menyelesaikan pendidikan Diploma 3 Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 1998, menyelesaikan Strata 1 pada Jurusan Akuntansi lulus pada tahun 2003, dan menyelesaikan pendidikan Strata 2 pada Jurusan Akuntansi pada tahun 2010. Mengajar di STAN sejak tahun 2000 mengampu mata kuliah Pengantar Akuntansi, Akuntansi Biaya dan Akuntansi Pemerintah. Mengambil Jabatan Fungsional Dosen dan

bergabung pada Politeknik Keuangan Negara STAN pada bulan November 2016 dan mengampu mata kuliah Akuntansi Pemerintah Pusat/Daerah, Penatausahaan Bendahara, Akuntansi Biaya dan Pengantar Akuntansi. Pada tahun 2017 sampai dengan sekarang menjabat sebagai Ketua Program Studi Diploma 1 Kebenddaharaan Negara Politeknik Keuanan Negara STAN. Pada tahun 2018-2019 menjadi pembina Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen Keuangan Pada Politeknik Keuangan Negara STAN. Bahan Ajar yang pernah ditulis adalah Penatausahaan Bendahara diterbitkan oleh unit Penerbitan Politeknik Keuangan Negara STAN pada tahun 2020. Dua buku Antologi juga diselesaikan pada tahun 2020 dengan Judul Bulan dalam Genggaman dan Kulepas Kepergianmu diterbitkan oleh Binsar Hiras Publisher pada tahun 2020.

Rudy Suryanto, SE., M.Acc., Ak., CAPenulis menempuh karir profesional sebagai Senior Auditor di Ernst & Young dan PricewaterhouseCooper, melanjutkan S2 di Melbourne University dengan beasiswa dari AusAID, menjadi dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan mendirikan Syncore Consulting. Syncore Consulting adalah lembaga yang memiliki misi untuk memberikan layanan berkualitas dengan harga terjangkau untuk BLUD, Bumdes, UMKM dan Social Enterprise. Saat ini tengah menyelesaikan Phd di Accounting Research Institute (ARI) di UiTM Malaysia, dengan disertasi tentang Social Enterprise

Governance. Rudy Suryanto juga penulis buku Peta Jalan Bumdes, pendiri Bumdes.id, penemu metode Cek Kesehatan Usaha dan kurikulum Kejar UMKM serta pencetus Sekolah Bumdes.

Page 228: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI212

Dahlan Tampubolon, SE., M. Si., Ph.DSarjana Ekonomi, bidang Ekonomi Pembangunan dan Magister Sains bidang Perencanaan Pembangunan Wilayah dari Universitas Sumatera Utara. Doktor bidang Ekonomi Pembangunan Wilayah dari Urban Studies dan Planning Programme, University of Malaya. Saat ini menjadi dosen pada Ekonomi Pembangunan Universitas Riau. Selain itu juga peneliti dan koordinator pada Pusat Studi Sosial Ekonomi, LPPM Universitas Riau. Pernah aktif menjadi regional economist di Kemenkeu dan juga RE di BRI. Juga aktif membantu pemerintah daerah

dalam menyusun perencanaan dan evaluasi pembangunan, juga membantu kementerian melakukan kegiatan evaluasi di daerah.

Dr. Evi Maria., M. Acc., Ak., CALahir di Cirebon, tahun 1980. Penulis merupakan staf pengajar pada Fakultas Teknologi Informasi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga dengan jabatan akademik Lektor Kepala. Minat utama yang ditekuni adalah Auditing, Akuntansi Publik, dan Sistem Informasi. Meraih gelar Sarjana Ekonomi, jurusan Akuntansi dari Universitas Kristen Satya Wacana, gelar Master Accounting dari Program Magister Akuntansi, Unversitas Gadjah Mada, dan meraih gelar Doktor Ilmu Akuntansi dari Program Doktor, Universitas Gadjah Mada. Karya

tulis berupa buku yang telah dipublikasikan, antara lain Akuntansi untuk Perusahaan Jasa, Akuntansi Lanjutan. Penulis juga memiliki pengalaman sebagai penyunting buku Problematika Hukum Keuangan Negara dan Daerah. Selain buku, penulis juga telah menghasilkan karya publikasi pada jurnal internasional bereputasi dan nasional terakreditasi.

Prof. Dr. Abdul Halim, M.B.A., Akt., CALahir di Banjarmasin tahun 1958. Penulis adalah Guru Besar Ilmu Akuntansi pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Minat utama yang ditekuni adalah Akuntansi Keuangan, Auditing, serta Akuntansi dan Manajemen Keuangan Daerah (Sektor Publik). Disamping mengajar dan meneliti di FEB UGM, juga membantu di perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, antara lain di STIE YKPN dan STIM YKPN. Pernah menjadi Anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal.

Page 229: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Bio Data Tim Penulis 213

Riwayat pendidikan: Tahun 1983 S1 Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta (Drs. Akt) Tahun 1991, S2 Murray State University, Kentucky, USA (M.B.A), Tahun 1994 mengikuti Local Governance Finance Course di University of Birmingham UK, Tahun 2000 Program Sandwich untuk S3 University of Kentucky USA, Tahun 2002 S3 Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Dr.), Tahun 2008 Study Tour for Local Government Financial Management in Germany and Hungary.

Dr. Fitria Husnatarina, S.E., M.Si., Ak., CA., CSRS., CSRA., ACPADosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Akuntansi Universitas Palangka Raya yang saat ini juga bertugas sebagai Sekretaris Satuan Pengawas Internal Universitas Palangka Raya dan Tim Pengembangan Universitas Palangka Raya. Sejak 2016 saat ini, dipercayakan sebagai Ketua Ikatan Akuntan Indonesia Wilayah Kalimantan Tengah dan aktif sebagai fasilitator dan narasumber terkait pengelolaan Dana Desa di lingkup Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Menjabat juga sebagai Anggota

Komisi I Dewan Riset Daerah Provinsi Kalimantan Tengah yang membidangi Ekonomi secara khusus pengembangan perekonomian Desa. Saat ini juga bertindak sebagai koordinator daerah kompartemen akademisi Forum Bumdes Indonesia Wilayah Kalimantan Tengah. Secara kontinu melakukan pengabdian masyarakat terkait pengelolaan keuangan Desa, secara spesifik kepada pemahaman Akuntansi dan pelaporan keuangan desa dan aktif juga menulis dalam kolom koran lokal berkaitan dengan pengelolaan dana desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa).

Dr. Hj. Sri Langgeng Ratnasari, SE., MMPenulis adalah Dosen Program Studi Magister Manajemen, Program Pascasarjana, Universitas Riau Kepulauan dengan tugas tambahan Wakil Rektor IV (Pengembangan, Peningkatan Mutu, dan kerjasama) 2018-2022 dengan Jabatan Akademik Lektor Kepala, Pembina/IVa. Pendidikan S1 sampai S3 di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia lulusan dari Universitas Airlangga S1 dan S3, untuk S2 lulusan dari Program Studi Magister Manajemen Universitas dr. Soetomo.

Page 230: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI214

Tahun 2010 mengikuti program Sandwich pendanaan dari Dikti di Simon Fraser University Canada selama 3,5 bulan. Tahun 2016 mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan LIV Lemhannas RI dengan peringkat kelulusan Sangat Baik. Dosen Berprestasi Peringkat II Kopertis Wilayah X Tahun 2008 dan Tahun 2012. Dosen Berprestasi Peringkat III Bidang Sosial Humaniora LLDIKTI Wilayah X Tahun 2018. Pengalaman tugas tambahan sebagai Kaprodi S1 Manajemen (2010-2012), Dekan Fakultas Ekonomi (2012-2015), Sekretaris LPPM (2015-2017), Kaprodi Magister Manajemen (2017-2018).

Dr. Rudi Purwono SE., M.SEadalah Dosen yang juga menjadi Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Universitas Airlangga, kemudian Program Master dan Doktor Ilmu Ekonomi di Universitas Indonesia. Saat ini Beliau juga menjadi Komisaris Independen di Bank Jatim serta menjadi Wakil Ketua ISEI Cabang Surabaya. Beliau juga merupakan salah satu pendiri Indonesia Bureau of Economic Research (IBER). Pengalaman Beliau adalah

menjadi anggota Forum Ekonom Kementerian Keuangan (Ekonom Regional) pada Tahun 2012 - 2018. Beliau juga menjadi Wakil Ketua II pada Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Timur Periode Tahun 2012 - 2016. Pada Tahun 2011 - 2015 menjadi Regional Chief Economist (RCE) pada Bank Negara Indonesia (BNI) WSY (Jawa Timur). Pada Tahun 2014 - 2016 menjadi anggota Dewan Riset Daerah (DRD) Provinsi Jawa Timur.

Dr. Hady Sutjipto SE., M.Si Penulis adalah Lektor Kepala pada Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (UNTIRTA) Serang-Banten.

Penulis menyelesaikan Strata 1 Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung tahun 1996. Pendidikan Strata 2 diselesaikan pada Program Studi Ilmu Ekonomi Program Pascasarjana Unpad tahun 2013 dengan topik Tesis “ Analisis Kapasitas Pajak dan Upaya Pajak Daerah

Tingkat II di Provinsi Jawa Barat Periode 1991-2001. Selanjutnya, Penulis menyelesaikan Pendidikan Doktoral pada Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unpad tahun 2017 dengan topik Disertasi “Dinamika Cicilan Pokok dan

Page 231: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Bio Data Tim Penulis 215

Bunga Utang Pemerintah serta Implikasinya Terhadap Keberlanjutan Fiskal di Indonesia. Penulis saat ini menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Pembangunan FEB Untirta periode 2020-2024 dan sebagai Pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Banten periode 2020-2023.

Khoirunurrofik., IMRI., M.A, MPM., Ph.DPenulis menerima gelar Doktor di bidang Ekonomi Publik dari Graduate Institute for Policy Studies– GRIPS (Tokyo, Japan) pada tahun 2014. Ia juga meraih gelar Magister dalam bidang Analisis Kebijakan (M.A) dari GRIPS pada tahun 2011, Magister Kebijakan Publik dan Manajemen (MPM) dari Carnegie Mellon University–Kampus Australia, pada tahun 2007, dan Magister Internasional Integrasi Kawasan (IMRI) dari Asia Europe Institute, Universitas Malaya, Malaysia – Universitas Autonoma Madrid, Spanyol pada tahun 2004. Ia bergabung

dengan LPEM pada tahun 1999 setelah meraih gelar Sarjana Sains di bidang Statistika dari FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia sejak tahun 2000. Topik penelitiannya adalah Keuangan Publik dan Desentralisasi Fiskal, Ekonomi Perkotaan dan Regional dengan fokus pada aglomerasi industri dan produktivitas, serta Ekonometrika Terapan dan Analisis Spasial. Selama berkarir di LPEM, ia telah memimpin beberapa proyek antara lain Reformulasi Dana Desa (Kemendesa PDDT), Pengkajian Kapasitas Kelembagaan Gizi di Indonesia (UNICEF), Studi Kelayakan Dana Abadi Sumber Daya Alam (SWF) di Indonesia (UNDP), Studi tentang Pajak Asuransi Jiwa (AAJI), Pembangunan Ekonomi Hijau Aceh Timur (IDH), dan Studi Konektivitas Maritim di Asia Tenggara: Peran dan Tantangan Menuju Integrasi (ERIA) dan Skema Pendanaan yang Ideal bagi Badan Usaha Milik daerah (BUMD dalam Pengelolaan Participating Interest di Indonesia (SKK Migas). Beberapa artikel ilmiahnya sudah diterbitkan di beberapa jurnal akademik baik nasional maupun internasional antara lain Economies, Asia Pacific Journal of Regional Science, International Journal of Small and Medium Enterprises and Business Sustainability.

Page 232: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI216

Dr. Mukhtar A. Adam., SE., M.M Penulis lahir di Ngofakiaha Maluku Utara pada tanggal 08 Agustus 1972. Jenjang Pendidikan tinggi yang dilalui yaitu S1 pada Prodi Akuntansi Universitas Muslim Indonesia Makassar, S2 pada Prodi Ilmu Manajemen Keuangan, Pascasarjana UMI-Makassar, dan Program Doktor Ekonomi-Akuntansi Universitas Padjadjaran Bandung.

Sejak tahun 2000 hingga saat ini sebagai Dosen pada Universitas Khairun Ternate. Karir di luar kampus pada 5 tahun terakhir yaitu sebagai Ekonom Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Evaluator Bappenas

pada program Evaluasi Pembangunan Daerah, Bappenas, Ketua Harian ISEI-Ternate, Staf Ahli DPRD dan Pemerintah Daerah di beberapa Kabupaten/Kota di Maluku Utara, Ketua FKPT-Maluku Utara. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan antara lain Efektifitas Kebijakan Fiskal di Maluku Utara, Evaluasi Pembangunan Daerah Maluku Utara, Kopra Sumber Kesejahteraan Masyarakat, Dana Cadangan Kebencanaan, Akuntabilitas Pengelolaan APBD Halmahera Barat, Refocusing, APBD dan APBD-P, Pandangan Pemda dan DPRD di Morotai, Evaluasi dan Perbaikan Program Dana Desa

Moh. Ahlis Djirimu, SE., DEA., Ph.DPenulis adalah Lektor Kepala Ekonomi Internasional pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako (IESP-FEB-Untad). Pendidikan Strata 1, Sarjana Ekonomi ditamatkan pada FEB-Untad Tahun 1989, pendidikan strata II (Diplome d’Etude Approfondie) diselesaikan Tahun 1994 pada Institut Riset Teori Ekonomi, Produksi dan Pembangunan (IREP.D), Departemen Ekonomi Pembangunan kekhususan Perdagangan Internasional, Universitas Pierre-Mendes France-Universite de Grenoble

II, Grenoble, Prancis dengan topik thesis “Industrialisation et Commerce International en Indonesie: Effet Sur l’emploi et Implications Regionales”. Selanjutnya, penulis menyelesaikan pendidikan Doktoral bidang Keuangan Internasional pada Pusat Kajian Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional (CEMAFI) Universitas de Nice Sophia Antipolis, Nice, Prancis, 30 Maret 2012 dengan topik Disertasi “Processus d’Integration Economique Regionale et Vulnerabilite Macroeconomique Dans Les Pays Du Sud-Est Asiatique: Le Cas l’Indonesie, De La Malaisie, De La Thailande et Des Philippines”, dengan Predikat Tres Honorabes Avec Felicitation du Jury (Summa Cumlaude).

Page 233: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

Bio Data Tim Penulis 217

Dr. Rully Novie WurarahPenulis lahir di Manado pada tanggal 04 April 1964. Jenjang Pendidikan tinggi yang dilalui yaitu S1 pada Prodi Sosial Ekonomi Universitas Sam Ratulangi, S2 pada Prodi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesan Institut Pertanian Bogor dan S3 pada Prodi Ilmu Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Sejak tahun 1990 hingga saat ini sebagai Dosen pada Universitas Papua dan sejak tahun 2019 menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Papua. Karir di luar kampus pada 5 tahun terakhir

yaitu sebagai Staf Ahli Ketua DPR Provinsi Papua Barat, Regional Economic pada Kementrian Keuangan Wilayah Papua Barat, Koordinator Pelaksanaan Diklat RPJMD kerjasama Bappenas dengan Program Pasca Sarjana UNIPA, Koordinator Tim EKPD Bappenas untuk Provinsi Papua Barat, Ketua ISEI Provinsi Papua Barat. Beberapa tulisan yang telah dipublikasikan antara lain Efektifitas dan Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Papua Barat, Mendorong Pertumbuhan UMKM Melalui Kebijakan Fiskal Berdasatkan Sektor Usaha, Analisis Kebijakan Ekonomi Provinsi Papua Barat, Analisis Investasi Provinsi Papua Barat, Penyusunan Rencana Umum Penanaman Modal Provinsi Papua Barat, Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat.

Agus Supratikno, M.ThPenulis menyelesaikan studi S1 teologi di Sekolah Tinggi Teologi Injili Indonesia, Yogyakarta, pada tahun 1991, dan menyelesaikan program Magister Theologi di Fakultas Theology Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, tahun 2007. Menekuni bidang teologi publik, studi perdamaian dan rekonsiliasi. Tahun 2007-2014, menjadi dosen di Sekolah Tinggi Agama Kristen Wiyata Wacana Pati, serta menjabat sebagai pembantu Ketua 1, Bidang akademik. Sejak tahun 2015 menjadi dosen di Fakultas Teologi,

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Page 234: Ekonomi, Keuangan, dan Kemandirian

EKONOMI, KEUANGAN, DAN KEMANDIRIAN DESA DI TENGAH PANDEMI218

Suharyadi S.Kom, M.CsPenulis menyelesaikan studi di S1 Sistem Informasi Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana pada tahun 2009, dan menyelesaikan program Magister Sistem Informasi di Fakultas yang sama pada tahun 2012. Sejak tahun 2015 menjadi dosen tetap di Program Studi D3 Sistem Informasi Akuntansi Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana. Menekuni bidang Sistem Informasi dan mengampu mata kuliah Sistem Informasi Akuntansi, Analisis dan Design Sistem Informasi serta Perancangan Sistem Informasi Akuntansi. Pengalaman Program Pengabdian Masyarakat

yang dibiayai Dirjen Dikti untuk Sekma Program Pengembangan Produk Eksport tahun 2018 dan Program Pengembangan Desa Mitra tahun 2020. Saat ini masih menjadi salah satu tenaga pendamping UMKM di wilayah Kota Salatiga, khususnya untuk penerapan teknologi e-commerce.

Rini Hudiono, S. Pd., MA.Penulis menyelesaikan Sarjana Pendidikan Bahasa Inggrisnya tahun 1996 di Universitas Kristen Satya Wacana. Gelar Master of Arts diperoleh di Christelijke Hogeschool Noord Nederland dan Metropolitan University, London untuk Program Master in Leisure and Tourism Studies. Sempat mengenyam program PhD di Griffith University, Australia untuk International Busines for Asian Studies. Tahun 2019 lalu, Rini menyelesaikan Postgraduate Diploma in Digital Business di Emeritus University. Rini menjadi dosen di Program Studi Destinasi

Pariwisata sejak tahun 1996 dan memiliki pengalaman dalam bidang Pariwisata dengan menjadi asesor BAN PT untuk bidang pariwisata sejak 2007, menjadi anggota Komunitas Intepretasi Indonesia, anggota HILDIKTIPARI, ketua Forum Program Studi Destinasi Pariwisata Indonesia serta ketua Komunitas Perencanaan Destinasi Pariwisata. Perencanaan destinasi pariwisata, perencanaan pengelolaan pengunjung, intepretasi, promosi dan pemasaran destinasi pariwisata serta organasisi pengelola destinasi pariwisata menjadi bidang yang digeluti selama ini. Saat ini Rini menjadi Direktur Biro Promosi, Humas dan Alumni, UKSW, team leader dan staf ahli untuk pembuatan Rencana Induk Pengembangan Obyek Wisata Air Terjun Ngabatata di Kabupaten Nagekeo, NTT, menjadi master trainer tersertifikasi untuk Organisasi Pengelola Destinasi Pariwisata dari Kemenpar dan Swiss Contact dan staf ahli dalam pembuatan master plan di Desa Pogalan, Kabupaten Semarang. Selain bidang pariwisata, Rini juga aktif di Komunitas Cipta Damai yang menjadi bagian dari Peace Generation sejak 2018. 4000000