Ekonomi Islam

9
1 1. Ekonomi Islam memiliki kandungan makna yang berbeda dari ekonomi konvensional seperti halnya dilihaat dari sisi prinsip ekonomi Islam itu sendiri. Prinsip ekonomi Islam merupakan pengembangan dari beberapa filosofi dasar Islam yang meliputi tauhid, keadilan, nubuwwah, khilafah dan maad. Tauhid sebagai asas atau sendi dasar pembangunan yang bermuara pada pengakuan adanya dualita antara material dan spiritual. Tauhid bukan saja ahanya mengesakan Allah SWT, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan tuntutan hidup dan kesatuan tujuan hidup, yang semuanya diservasi dari kesatuan ketuhanan. 1 a. Tauhid Tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (syahdat) seorang muslim atas keesaan Tuhan. Tauhid dalam bidang ekonomi mengantarkan para pelaku ekonomi untuk berkeyakinan bahwa harta benda adalah milik Allah semata, keuntungan yang diperoleh pengusaha adalah berkat anugerah dari Tuhan. Tauhid juga mengantar pengusaha untuk tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, karena hidup adalah kesatuan antara dunia dan akhirat. 2 b. ‘Adl (keadilan) Keadilan adalah sebuah konsep universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, aliran filsafat moral, dan bahkan ajaran setiap agama. Dalam Islam, keadilan tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai- nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban. 3 c. Nubuwwah (kenabian) Filsafat nubuwah dalam ekonomi Islam merujuk pada pemahaman bahwa perilaku ekkonomi manusia harus diinspire perilaku dan tindakan ekonomi sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi. Adapun yang terkandung dalam bisnis yang diajarkan oleh Nabi dihubungkan dengan 1 Muhammad dan Rahmad Kurniawan, Visi & Aksi Ekonomi Islam, Malang: Intimedia, 2014, h.20. 2 Ibid.,h.21. 3 Ibid.

description

Ekonomi Islam

Transcript of Ekonomi Islam

1

1. Ekonomi Islam memiliki kandungan makna yang berbeda dari ekonomi

konvensional seperti halnya dilihaat dari sisi prinsip ekonomi Islam itu sendiri.

Prinsip ekonomi Islam merupakan pengembangan dari beberapa filosofi dasar

Islam yang meliputi tauhid, keadilan, nubuwwah, khilafah dan maad. Tauhid

sebagai asas atau sendi dasar pembangunan yang bermuara pada pengakuan

adanya dualita antara material dan spiritual. Tauhid bukan saja ahanya

mengesakan Allah SWT, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan, kesatuan

kemanusiaan, kesatuan tuntutan hidup dan kesatuan tujuan hidup, yang

semuanya diservasi dari kesatuan ketuhanan.1

a. Tauhid

Tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (syahdat)

seorang muslim atas keesaan Tuhan. Tauhid dalam bidang ekonomi

mengantarkan para pelaku ekonomi untuk berkeyakinan bahwa harta benda

adalah milik Allah semata, keuntungan yang diperoleh pengusaha adalah

berkat anugerah dari Tuhan. Tauhid juga mengantar pengusaha untuk tidak

hanya mengejar keuntungan duniawi, karena hidup adalah kesatuan antara

dunia dan akhirat.2

b. ‘Adl (keadilan)

Keadilan adalah sebuah konsep universal yang ada dan dimiliki oleh

semua ideologi, aliran filsafat moral, dan bahkan ajaran setiap agama.

Dalam Islam, keadilan tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai-

nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan penerimaan manusia terhadap

nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban.3

c. Nubuwwah (kenabian)

Filsafat nubuwah dalam ekonomi Islam merujuk pada pemahaman

bahwa perilaku ekkonomi manusia harus diinspire perilaku dan tindakan

ekonomi sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi. Adapun yang

terkandung dalam bisnis yang diajarkan oleh Nabi dihubungkan dengan

1Muhammad dan Rahmad Kurniawan, Visi & Aksi Ekonomi Islam, Malang: Intimedia,

2014, h.20. 2Ibid.,h.21. 3Ibid.

2

sifat sidiq, amanah, fathanah dan tabligh (SAFT). Shidiq (truthfulness),

yaitu membuat consumer dan publik percaya baik pada personalitas pebisnis

dan kualitas barang-barang yang dibisniskan. Amanah (responsibilty and

trustworthiness), yaitu kepercayaan, artinya pebisnis mengikuti sifat Nabi

yang selalu dapat dipercaya (amin) sehingga dalam sejarah beliau mendapat

simpati yang sangat luar biasa dan mampu mengikat loyalitas consumer.

Fatanah (cerdas, bijaksana dan intelek). Sifat ini mendorong pebisnis selalu

membuat perhitungan dengan cerdas dan matang, mempertimbangkan

kekuatan dan kelemaha, ancaman, dan peluang dalam bisnis. Tabligh,

terbuka terhadap orang lain dan memiliki kemampuan komunikasi yang

baik, untuk menyampaikan cacat yang ada pada suatu produk yang

dijualnya.4

Setiap muslim diharuskan untuk meneladani sifat Nabi Muhammad

SAW. Profesi bisnis mengandung aspek spiritualitas yang sangat tinggi

sehingga beliaupun menegaskan bahwa sesungguhnya Allah sangat senang

jika salah satu di antara kalian mengerjakan suatu pekerjaan yang dengan

tekun dan sungguh-sungguh (profesional).5

d. Khilāfah (pemerintahan)

Konsep khilafah mengandung makna penunjukkan manusia sebagai

master alam semesta dan wakil Allah SWT di muka bumi, sebagaimana

dibenarkan dalam al-Qur’an seperti Q.S. Al- Baqarah ayat 29 yaitu :

�ي �

�� � ٱ� �� �

� �

��ض �

ٱ�

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi”

Apabila mengacu kepada istilah ekonomi dan manajemen modern,

maka konsep khilafah ini memiliki lingkup yang sama dengan seorang

manager yang melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam mencapai

tujuan yang ditetapkan dan memenuhi kebutuhan ekonomi sesuai dengan

kaidah muamalah yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya. Manager

4Ibid., h. 22-23. 5Ibid., h. 23.

3

bertanggung jawab dan mengadakan evaluasi atau sumber daya alam yang

dikelolanya, terutama dari sisi penerapan prinsip-prinsip etis dalam proses

manajemen yang dilakukannya sesuai atau tidaknya dengan wahyu.6

Jadi, dengan adanya prinsip ekonomi Islam yang disebutkan di atas

terlihat ekonomi Islam itu berbeda dengan ekonomi konvensional. Yang

mana di dalam ekonomi Islam kita menerapkan prinsip-prinsip diatas serta

di dalam bisnis Islam kita di anjurkan untuk memiliki sifat dasar yaitu suka

sama suka diantara konsumen dan produsen, penjual atau pembeli dan

sebagainya.

2. Ekonomi Islam memiliki ruang lingkup yang tidak berbeda dari ekonomi

konvensional. Adapun ruang lingkupnya yaitu meliputi: pertama, hakekat

(ontologi) makna apa sebenarnya dari prinsip tarādin ( suka sama suka) pada

akad jual beli dalam Islam sebagaimana terdapat dalam berbagai surat dan ayat

dalam Al-Qur’an seperti diantaranya Q.S. An-Nisa [4]: 29. Kedua, transaksi

bisnis yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih dikatakan memenuhi

etika dan norma dalam Islam sebagaimana dikehendaki dari prinsip tarādin

apabila ia memenuhi syarat dan kriteria yang dikehendaki dalam kandungan

makna tarādin. Ketiga, sebagai prinsip yang memiliki karakter rabbani dan

insani, tarādin yang demikian penting diserukan Al-Qur’an dan hadis Nabi pada

prinsipnya bukanlah prinsip baru melainkan prinsip yang sudah membumi dari

satu decade ke decade yang lain mulai di era Nabi, era sahabat, era pertengahan

dan era moderen.7 Jadi bisa dikatakan ruang lingkup ekonomi Islam diantaranya

berorientasi pada makna prinsip tarādin, kriteria-kriteria transaksi serta hukum

dan etika, dan penerapan prinsip tarādin pada akad jual beli.

3. Kegiatan ekonomi (bisnis) Islam memiliki ketentuan-ketentuan berdasar

syari’at Islam yang mana biasanya sering kita temui di dalam aktivitas bisnis.

Dalam aktivitas bisnis, Islam mensyaratkan batasan-batasan tegas dan kejelasan

obyek (barang) yang akan dijuabelikan, diantaranya: pertama, tidak

bertentangan dengan anjuran syariah Islam, memenuhi unsur halal baik dari sisi

6Ibid., h. 23-24. 7Ibid., h.5-6.

4

substansi (dzatihi) maupun halal dari sisi memperolehnya (ghairu dzatihi),

kedua, obyek dari barang tersebut harus benar-benar nyata dan bukan tipuan.

Barang tersebut memang benar-benar bermanfaat dengan wujud yang tetap.

Apabila barang itu meliputi kebutuhan konsumsi, maka barang tersebut harus

pula secara eksplisit mencantumkan informasi tentang manfaat seperti

informasi mutu dan gizi komposisi bahan dan masa kadalarasa, ketiga, barang

yang dijualbelikan memerlukan media pengiriman dan distribusi yang tidak

hanya tepat, tetapi juga memenuhi standar yang baik menurut Islam, dan

keempat kualitas dan nilai yang dijual itu harus sesuai dan melekat dengan

barang yang akan diperjualbelikan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang

tidak sesuai dengan apa yang di informasikan pada saat promosi dan iklan.8

Secara umum rambu-rambu perdagangan yang harus dihindari pelaku pasar

adalah memperdagangkan barang dan jasa yang membawa mafsadat/kerusakan

bagi konsumen (pembeli). Objek yang diperdagangkan adalah komoditas yang

tidak mendatangkan bagi dirinya dan orang lain (harmfulness and impurity)

kemaslahatan. Apabila komoditas yang diperdagangkan mengandung mudarat,

maka sepanjang itu pula transaksi perdagangan diperbolehkan dalam Islam.9

Prinsip dasar perdagangan Islam adalah adanya unsur kebebasan, keridaan,

dan suka sama suka dalam melakukan transaksi. Azaz yang mendasari prinsip

perdagangan ini adalah firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 29:

��� � ��� ��

� ٱ� � �

���� �

���

أ�ا

��

��

��� ءا���ا

��

�ن

ن �

أ �إ�

�� إن

��

��

أ�ا

��

��

� و�

�اض ���

���ة �� �

�� ر���� ٱ�

��

ن

� “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”

8Ibid., h. 49. 9Ibid., h.51.

5

Mekanisme suka sama suka sebagai persyaratan untuk mewujudakan

keselarasan dan keharmonisan dalam dunia bisnis dan perdagangan menjadi

sebuah keharusan dalam Islam. Aspek hukum lainnya yang tak kalah penting

adalah legalitas kehalalan barang atau produk yang diperdagangkan, tidak

mengandung unsur-unsur MAGHRIB (sinonim dari Maysir, Gharar, Riba dan

Bathil).10

Maysir, adalah semua bentuk perpindahan harta ataupun barang tanpa

melalui jalur akad yang telah ditetapkan syari’at tetapi melalui permainan.

Gharar, adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak dapat dijamin atau dipastikan

wujudnya secara matematik baik itu menyangkut barang ataupun harga dan

waktu untuk mendapatkan keduanya. Riba, adalah akad peinjam meminjam

dimana si pemilik dana mempersyaratkan kepada peminjam untuk membayar

lebih dari jumlah uang yang dipinjamkan tanpa harus bersusah payah berniaga

untuk mendapatkan keuntungan atau bekerja untuk mendapat tambahan

ataupun upah. Bathil, adalah akad jua beli atau kemitraan untuk mendapatkan

keuntungan ataupun penghasilan, namun barang ataupun project yang

dikerjakan adalah jenis barang atau kegiatan yang bertentangan dengan syari’ah

seperti kemitraan untuk memproduksi narkotika ataupun mendirikan casino dan

seumpamanya.11

Semua bentuk transaksi bisnis yang dikemukakan di atas dilrang dalam

Islam. Ha ini disebabkan ketidakterpenuhan prinsip etika dan hukm halal yang

dianjurkan agama dan etika sosial.karena itu, jaminan kepastian hukumn halal

dan terpenuhinya unsur etika dalam transaksi bisnis suatu produk-produk tidak

lagi dipandang sebagai sebuah wacana konseptual teoritis yang hanya tersimpan

rapi dalam kitab-kitab fiqhi klasik dan isu agama untuk memberikan proteksi

terhadap konsumen Muslim, melainkan juga telah dipahami dan diterima luas

dalam tata bisnis global.12

10Ibid., h.51-52. 11Ibid., h. 52. 12Ibid.

6

Ekonomi dan bisnis dalam perspektif ekonomi Islam berakar dari sumber

nilai autentik dalam Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam Al-Qur’an

seperti dalam surat Al-Baqarah [2]: 188.

و� � ����� �

���

أ�ا

��

�� ���

��

إ�

���

�ا

��

م و�

�� ٱ�

�ا

��

��

��ل � �� أ

���

ٱ���س � � �

��

��ن

��

� ���

�وأ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di

antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa

(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian

daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal

kamu mengetahui”.

Melarang secara tegas para pelaku bisnis (penjual dan pembeli) memakan harta

sebagian yang lain dengan jalan bathil.13

Kata ‘di antara kamu’ dalam surat tersebut menurut Quraish Sihab (1997,

15) menunjukkan, setidak-tidaknya dua arti penting; pertama, harta benda

adalah milik semua manusia secara bersama dan Allah telah membaginya antara

mereka secara adil berdasarkan kebijaksanaan-Nya dan melalui penetapan

hukum dan etika sehingga upaya perolehan dan pemanfaatannya tidak

mennimbulkan perselisihan dan kerusakan. Kedua, hak dan kebenran harus ada

di antara mereka yang tarik menarik dalam bisnis itu. Ia berada di antara

mereka, sehingga tidak boleh keseluruhannya ditarik oleh pihak pertama

sehingga kesemuanya menjadi miliknya, demikian pula sebaliknya pihak

kedua. Untung dan rugi pada prinsipnya harus ditanggung bersama.14

4. Etika dan hukum (ethico-legal) menjadi dua aspek penting dalam kegiatan

ekonomi. Yang membedakan Islam dan materialisme ialah bahwa Islam tidak

pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah

memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan

13Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasi Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2008, h. 62. 14Ibid., h. 63.

7

kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan Islam. Islam adalah risalah yang

diturunkan Allah melalui rasul untuk membenahi akhlak manusia. Nabi saw.

bersabda, “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”15

Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya Islam dan Pengembangan

Ekonomi mengatakan, “Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis

dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya terdapat ikatan sangat erat yang

tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan bahwa orang-orang Islam tidak akan

menerima ekonomi kapitalis. Dan ekonomi yang kekuatannya berdasarkan

wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasrkan

etika.”16

Ethico-legal ialah ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang

dimaksudkan untuk menjelasan status hukum suatu statement dalam Al-Qur’an.

Ethico-legal merupkan salah satu bagian dari golongan ayat Al-Qur’an yang

fokus pada mengkaji hukum Islam. Karakteristik ayat-ayat ethico-legal sangat

simple sehingga kita dapat dengan mudah mengidentifikasinya.17 Istilah ethico

legal, adalah jalan sintesis terhadap untuk mensinegrikan dua dimensi Islam

yang selama ini ditempatkan sebagai binary opposition, terutama dikalangan

sarjana Muslim yang memiliki paradigma berfikir modern yang

direpesentasikan dengan kaum modernis dan kelompok tekstualis, kaum neo-

revivalis. Usaha mengkombinasikan antara kedua arus kelompok tersebut

(modernis dan neo-revivalis) penting dalam mengkaji Islam secara historis

(hermeunetis) dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan pendekatan etis dengan

tetap mengapresiasi pemikiran-pemikiran kelompok neo-revivalis.18

Ayat-ayat ethico-legal menurut beberapa dimensi. Pertama, sistem

kepercayaan, yaitu iman kepada Tuhan, Nabi dan kehidupan setelah kematian.

Kedua, praktik ibadah, yaitu perintah shalat, puasa, haji dan zakat. Ketiga,

aturan-aturan dalam pernikahan, perceraian dan warisan. Keempat, perintah dan

15Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, penerjemah, Zainal Arifin, Dahlia

Husin, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, h.51. 16Ibid., h.55. 17Muhammad dan Rahmad Kurniawan, Visi & Aksi Ekonomi Islam,..,2014, h. 99. 18Ibid., h.100.

8

larangan. Kelima, perintah jihad, larangan mencuri, hukuman terhadap tindak

kriminal, hubungan dengan non-muslim, dan keenam, perintah yang

berhubungan dengan etika, hubungan antar agama dan pemerintahan.19

Dalam berurusan dengan hal ethico-legal, maka fokus utama Al-Qur’an

bersinggungan dengan etika sebagaimana halnya pula hukum. hal ini dapat

dilihat dalam cara Al-Qur’an menyatakan cita-citanya, perintah, larangan dan

petunjuk. Bahasa etika dan hukum harus bersanding secara bersamaan, tidak

mengabaikan etika lantaran dominasi hukum sehingga menimbulkan kesan

pejorative seolah-olah Al-Qur;an hanya bersentuhan dengan ranah hukum.20

Jadi dengan adanya etika dan hukum (ethico-legal) dalam kegiatan ekonomi

Islam. Kita dilatih untuk berbuat secara jujur dan mengikuti hukum yang

berlaku di dalam Islam yang bersandar pada Al-Qur’an dan hadis. Dengan

adanya itu semua kegiatan ekonomi akan menjadi teratur dan membuahkan

keberkahan bagi pelakunya, baik pembeli maupun penjual, konsumen maupun

produsen.

5. Kehadiran lembaga keuangan syariah tidak saja mencerminkan nilai dan

makna penting yang menandai dinamika dan perkembangan hukum Islam dala

aspek ekonomi dan keuangan (muamalāt), tetapi juga menepis anggapan Islam

sebagai agama doktrinal yang tidak operasional dalam dinamika dan

perkembangan kehidupan sosial dan ekonomi global. Lembaga keuangan Islam

bertujuan untuk membantu masyarakat Muslim melaksanakan transaksi bisnis

berdasarkan aturan dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dan

RasulNya. Selain itu lembaga keuangan Islam bertujuan membangkitkan

kembali kesadaran kaum Muslim agar menjaga nilai-nilai universal dan

Tradisional dan melanggengkannya melalui praktek kongkrit dalam kegiatan

ekonomi dan bisnis.21

Instrument bisnis bank syari’ah secara umum ditentukan oleh akad yang

terkandung di dalamnya. Ditinjau dari konsep dasar akad, maka terdapat lima

19Ibid. 20Ibid., h.101. 21Ibid., h.85.

9

konsep dasar akad yang dapat ditemukan dalam produk-produk bank Muamalat

yaitu: (1) sistem simpan, (2) bagi hasil, (3) margin keuntungan, (4) sewa, (5)

dan jasa (fee).22

Kalau di tanya Islamkah atau syari’ah kah bank-bank Islam ? jawabannya

masih belum. Bank syariah yang saat ini menjadi perlambang ekonomi syariah

ternyata masih belum bisa syariah sepenuhnya. Alasannya: karena semua itu

butuh proses. Kaffah, sebagai tujuan akhir, bukanlah sebuah status. Mereka—

para pejuang ekonomi islam generasi pertama di Indoensia—hingga hari ini

masih terus memperjuangkan perbaikan dalam sistim perbankan syariah.

Namun, memang perlu diakui, hasil akhir dari generasi mereka barangkali

masih jauh dari sempurna.

Oleh sebab itu seiring pertumbuhan dan perkembangan bank syariah kita

harus menjaga predikat “syariah” itu sendiri. Dengan cara memperbaiki dan

menggedepankan prinsip-prinsip yang telah ada dalam hukum ekonomi Islam.

Dan menjaga citra bank syariah sebagai salah satu instrument ekonomi Islam

yang diharapkan akan mampu bersaing lebih baik untuk perekonomian

Indonesia dan dunia global.

22Ibid., h.86.