Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

6
1 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012 Strategi Meningkatkan E-Literacy Model Pendekatan dan Implementasi oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected] E-LITERACY Artikel ini merupakan satu dari 999 artikel hasil bunga rampai pemikiran dari Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan email permohonan ke [email protected] EKOJI999 Nomor 30, 8 Oktober 2012 Istilah “information literacy” sering dikaitkan dengan “information competency”, yaitu kemampuan seseorang dalam mendayagunakan informasi yang diperolehnya untuk membantu meningkatkan kinerja aktivitas sehari-hari. Seorang individu dikatakan memiliki “information literacy” yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi apa yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, dapat menyatakannya dalam terminologi yang tepat, dapat melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia, dapat melakukan analisa berdasarkan hasil koleksi informasi tersebut, dapat memanfaatkannya untuk -0<-,2,4 60;0<7?,9 ;:=4>41 /,9 809/,>,926,9 @,7?0 C,92 =4294J6,9 /,9 /,;,> 8092:7,39C, 70-43 lanjut menjadi sebuah sumber daya pengetahuan. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negaranya ini tidak terlepas dari usaha segenap praktisi industri dan akademisi dalam meningkatkan information literacy dari masyarakat negara terkait, sehingga ketika teknologi informasi dan komunikasi diperkenalkan, hampir tidak terjadi hambatan yang berarti dalam menerapkan dan mengembangkannya di berbagai bidang. Kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi ini dikenal sebagai “e-literacy”. Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap mengalami permasalahan “digital divide” (kesenjangan digital) terancam akan semakin diasingkan dan ditinggalkan oleh negara-negara lainnya jika tingkat e-literacy- nya tetap rendah. Oleh karena itu dibutuhkan strategi jitu paling tidak untuk meningkatkan e-literacy dari masyarakatnya.

Transcript of Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

Page 1: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

1 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Strategi Meningkatkan E-LiteracyModel Pendekatan dan Implementasioleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected]

E-LITERACY

Artikel ini merupakan satu dari 999 artikel hasil bunga rampai pemikiran dari Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi.

Untuk berlangganan, silahkan kirimkan email permohonan ke [email protected]

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2

Istilah “information literacy” sering dikaitkan dengan “information competency”, yaitu kemampuan seseorang dalam mendayagunakan informasi yang diperolehnya untuk membantu meningkatkan kinerja aktivitas sehari-hari. Seorang individu dikatakan memiliki “information literacy” yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi apa yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, dapat menyatakannya dalam terminologi yang tepat, dapat melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia, dapat melakukan analisa berdasarkan hasil koleksi informasi tersebut, dapat memanfaatkannya untuk

lanjut menjadi sebuah sumber daya pengetahuan. Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa keberhasilan pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi negaranya ini tidak terlepas dari usaha segenap praktisi industri dan akademisi dalam meningkatkan information literacy dari masyarakat negara terkait, sehingga ketika teknologi informasi dan komunikasi diperkenalkan, hampir tidak terjadi hambatan yang berarti dalam menerapkan dan mengembangkannya di berbagai bidang. Kemampuan menggunakan perangkat teknologi informasi ini dikenal sebagai “e-literacy”. Indonesia sebagai salah satu negara yang dianggap mengalami permasalahan “digital divide” (kesenjangan digital) terancam akan semakin diasingkan dan ditinggalkan oleh negara-negara lainnya jika tingkat e-literacy-nya tetap rendah. Oleh karena itu dibutuhkan strategi jitu paling tidak untuk meningkatkan e-literacy dari masyarakatnya.

Page 2: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

2 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Pengertian Ragam LiteracyDalam berbagai kamus bahasa Inggris, istilah “literacy” diartikan sebagai “the ability to read and write” atau kemampuan untuk membaca dan menulis. Kata ini kemudian berkembang dan sering dipadankan dengan kata “technology” sehingga

sebagai alat untuk mempermudah mencapai tujuan (Bunz, 2002). Ketika teknologi komputer berkembang, dikenal pula

kemudian diperkenalkan di masyarakat luas, dari yang bersifat sederhana yaitu “the ability to use computer to satisfy

understanding, values, and relationships that allow a person to function comfortably as a productive citizen in a computer-oriented society” (Watt, 1980). Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, berkembang pula sejumlah produk-produk teknologi lain berbasis digital seperti personal digital assistant, tablet computing devices, pocket communicatior, dan lain sebagainya. Seiring dengan berkembangnya teknologi tersebut, diperkenalkanlah istilah “digital literacy” yang secara

digital devices” (Gilster, 1997) yang oleh Central European University disempurnakan menjadi “the ability to understand how information is generated and communicated in all formats through the creation of critical frameworks for the retrieval, organisation, evaluation, presentation, and use of information by using digital technology devices”.

Ketika internet berkembang secara pesat, istilah “internet literacy”-pun (i-literacy) lahir dengan sendirinya, yaitu “the ability to use theoretical and practical knowledge about the internet as a medium of communication and information retrieval” (Doyle, 1996). Dan ketika terjadi konvergensi antara teknologi komputer dengan teknologi komunikasi, dipergunakan pula secara luas istilah “information technology literacy” maupun “ICT literacy” (ICT=Information and Communication Technology) yang memiliki arti kurang lebih sebagai “a combination of intellectual capabilities, fundamental concepts, and contemporary skills that a person should posses in order to navigate and use information technology effectively” (Young, 1999).

E-Literacy dan Digital DivideSalah satu bentuk ancaman bagi negara berkembang seperti Indonesia untuk dapat bersaing di alam globalisasi adalah adanya fenomena kesenjangan digital atau yang lebih dikenal sebagai digital divide – yaitu keadaan dimana terjadi gap antara mereka yang dapat mengakses internet melalui infrastruktur teknologi informasi dengan mereka yang sama sekali tidak terjangkau oleh teknologi tersebut (Hayslett-Keck, 2001).

Bahkan bagi mereka yang telah terjangkau oleh infrastruktur teknologi informasi pun belum tentu dapat memanfaatkannya

dipandang sebagai sebuah warna digital divide lain yang disebabkan karena rendahnya “e-literacy” dari kebanyakan

informasi serta pendayagunaan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan masyarakat dalam rangka pengembangkan

bahwa yang dimaksud dengan e-literacy di sini merupakan kemampuan sumber daya manusia dalam menguasai sejumlah literacy yang dapat direpresentasikan melalui sebuah fungsi sebagai berikut:

e-literacy = f (ICT literacy, computer literacy, digital literacy, i-literacy)

Evolusi E-LiteracySiklus evolusi e-literacy di dalam masyarakat berbeda-beda, yang jika diamati sungguh-sungguh memperlihatkan adanya ketersamaan pola berdasarkan kelompok generasi (Tapscott, 2000).

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2

Page 3: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

3 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Pada old generation yang oleh Tapscott diistilahkan sebagai generasi baby boomers biasanya mengawali proses evolusi e-literacy-nya dengan kompetensi information literacy yang telah dikuasainya terlebih dahulu.

!

Generasi yang sarat diwarnai dengan para individu yang sangat gemar baca buku dan menulis ini tidak semua yang “bersedia” atau tertarik untuk berinteraksi dengan sejumlah teknologi digital. Dari beragam produk digital yang terdapat di pasar, yang paling banyak dipergunakan oleh mereka adalah digital handphone untuk berkomunikasi secara langsung maupun via SMS (Short Message System). Adapun perangkat digital lainnya seperti personal digital assistant, camera digital, tablet computing, digital videocam, dan lain sebagainya masih sangat sedikit peminatnya. Namun demikian, benih-benih pertumbuhan digital literacy di kalangan old generation ini patut diberikan penghargaan. Tahap selanjutnya dalam evolusi yang cukup sulit dilakukan adalah meningkatkan kemampuan e-literacy mereka ke arah penggunaan komputer dan teknologi internet untuk membantu aktivitas keseharian mereka. Berbeda dengan komunitas old generation, pada new generation yang oleh Tapscott istilah ini diberikan kepada para bayi yang masih memakai popok di tahun 2000-an, evolusi e-literacy diawali semenjak diperkenalkannya teknologi komputer pada usia dini.

!

Di Indonesia – khususnya di kota-kota besar – fenomena ini mulai tampak dengan dilibatkannya teknologi komputer sebagai salah satu alat bantu ajar yang dipergunakan oleh lembaga pendidikan pre-school atau taman kanak-kanak dengan salah satu tujuannya untuk merangsang dan meningkatkan kemampuan multiple intelligence peserta didik (komputer sebagai alat bermain dan belajar). Sejalan dengan perkembangan si anak, maka yang bersangkutan akan mulai mengenal teknologi digital lainnya yang kelak akan banyak dapat ditemukan pada sejumlah consumer products, seperti peralatan rumah tangga, perangkat yang dapat dibawa ke mana-mana (digital mobile devices), mainan, alat-alat tulis dan kantor, dan lain-lain. Karena mereka sudah memiliki computer literacy dan digital literacy dari awal, maka tidak sulit bagi mereka untuk dapat memahami cara kerja internet dan memanfaatkannya (i-literacy). Pada saat remaja, dimana mereka sudah mulai memahami akan pentingnya arti informasi sebagai salah satu faktor produksi penting dan bahan baku knowledge (pengetahuan), dengan sendirinya kemampuan information literacy akan terbentuk. Dibandingkan dengan old generation, terlihat jelas bahwa evolusi e-literacy pada new generation akan jauh lebih cepat dan efektif. Bagaimana dengan para remaja dan pemuda saat ini, yang secara kategori generasi berada pada dua titik ekstrim tersebut? Hasil kajian memperlihatkan bahwa pola evolusi e-literacy mereka sangat beragam sesuai dengan sejumlah aspek seperti: latar belakang pendidikan, lingkungan, kemampuan

1999). Oleh karena itu, pola atau siklus penguasaan sejumlah literacy-nya pun tidak dapat digambarkan sebagai suatu hal yang bersifat sekuensial, tetapi lebih merupakan sebuah proses yang simultan seperti yang digambarkan berikut.

!

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2

Page 4: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

4 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Tantangan E-LiteracySetiap negara terdiri dari masyarakat dengan beragam portofolio generasi yang berbeda tingkat e-literacy-nya. Semakin banyak jumlah penduduk yang memiliki tingkat e-literacy yang tinggi, akan semakin kompetitif nilai keunggulan masyarakat di negara tersebut. Jika ketiga generasi tersebut dipetakan ke dalam sebuah matriks agar dapat dilihat keterkaitannya dengan tinggi rendahnya akselerasi e-literacy yang ada, maka dapat dihasilkan sebuah diagram seperti berikut ini.

Pada gambar tersebut terlihat bahwa new generation merupakan generasi dengan tingkat e-literacy tinggi, namun baru akan memberikan kontribusi bagi negara di kemudian hari, ketika mereka sudah beranjak dewasa. Sementara kondisi saat ini dikendalikan oleh dua generasi, yaitu old generation yang secara perlahan-lahan akan memberikan tongkat estafetnya kepada generasi muda (today’s generation). Permasalahan muncul ketika melihat kenyataan bahwa justru masyarakat Indonesia yang pada saat ini memegang kendali atas pergerakan roda perekonomian dilakukan oleh orang-orang yang rata-rata tingkat e-literacy-nya rendah (karena mereka berada pada kuadran yang tingkat akselerasi evolusi e-literacy-nya lambat). Kenyataan ini tidak saja berakibat semakin sulitnya Indonesia untuk bersaing secara kompetitif dengan bangsa lain di dunia, namun lebih jauh dapat mengakibatkan persmasalahan di kemudian hari ketika new generation mengambil alih kendali perekonomian karena belum disiapkannya sejumlah infratruktur dan suprastruktur untuk mendukung mereka. Melihat kenyataan ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mencoba sekuat tenaga untuk menerapkan strategi yang ampuh agar terjadi

Untuk menjawab permasalahan tersebut, diusulkan tiga tahapan strategi sebagai pendekatan efektif guna mengakselerasi peningkatan e-literacy di kalangan old generation dan today’s generation, yaitu: Menciptakan Konteks (Demand Creation), Melibatkan Teknologi (Supply Providing), dan Merubah Perilaku (Behaviour Change).

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2

Page 5: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

5 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Strategi 1: Menciptakan Konteks Setiap manusia dalam kesehariannya selalu diwarnai dengan suasana atau atmosphere yang bernuansa positif maupun negatif (Cheng, 1985). Yang dimaksud dengan positive atmosphere atau suasana positif adalah ketika yang bersangkutan memiliki suatu keinginan, atau cita-cita, atau harapan terhadap sesuatu yang ingin diraih; sementara sebuah negative atmosphere terjadi jika yang bersangkutan mengalami permasalahan, atau kelelahan, atau beban hidup (stress) yang ingin dihilangkan. Ketika suatu keinginan positif terjadi pada seseorang – misalnya ingin mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikan ke luar negeri, atau ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji tertentu, atau ingin menyusun sebuah karya tulis (buku), dan lain sebagainya - maka yang bersangkutan akan berusaha mencari jalan agar keinginan tersebut terwujud (komitmen). Sementara itu di sisi lain, ketika suatu suasana negatif muncul pada seseorang – misalnya menghadapi permasalahan tidak berhasil mendapatkan tiket pesawat untuk bepergian, merasa gundah karena tidak memiliki dana untuk membangun institusi, sedih karena memiliki penyakit yang sulit untuk disembuhkan, dan lain sebagainya – yang bersangkutan secara sadar atau tidak ingin segera keluar dari situasi tersebut dengan cara melakukan aktivitas tertentu. Pada saat individu tersebut sedang dalam proses “pencaharian” yang dipicu oleh salah satu atau bahkan kedua atmosphere tersebut, maka yang bersangkutan akan dihadapkan pada sebuah solusi yang menempatkan informasi sebagai salah satu dari faktor atau komponen penentu pencapaian keinginan yang dimiliki atau pemecahan permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang timbul adalah terlampau banyaknya individu yang masih berada dalam pola pikir paradigma lama yang

disentuh seperti 4M (money, men, materials, dan machine/method), bukan sebuah “dunia maya” yang didalamnya memiliki suatu value atau kekayaan baru seperti “informasi mengenai dimana money berada”, “informasi terkait dengan men yang dapat dihubungi”, “informasi mengenai cara mendapatkan materials yang diinginkan dengan mudah”, atau “informasi terkait dengan cara atau method melakukan sesuatu”. Adalah merupakan tugas dari mereka yang telah memiliki e-literacy tinggi untuk menemukan sebuah konteks agar masyarakat yang dalam kesehari-hariannya mengalami peristiwa positif

Cara mencari atau menciptakan konteks bagi mereka beraneka ragam, sesuai dengan situasi dan kondisi serta budaya masyarakat yang ada, misalnya dengan memberikan contoh, cerita sukses, analogi, dan lain sebagainya.

Strategi 2: Melibatkan Teknologi Ketika yang bersangkutan “sadar” dan percaya bahwa informasi merupakan jawaban atas keinginan atau permasalahan yang ada, individu tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan entiti tersebut. Pada saat inilah the value of technology dapat ditawarkan kepada mereka karena kemampuannya untuk melakukan hal-hal semacam: pencarian

berinteraksi dan bertransaksi secara mudah dan murah, melakukan akses terhadap informasi berkualitas yang “tak terhingga” jumlahnya, dan lain sebagainya. Tantangan utama yang dihadapi mereka terkait dengan hal ini adalah tidak adanya “kemauan, kemampuan, dan pengetahuan” untuk berubah (dari yang tidak menyukai teknologi, menjadi yang technology litterate). Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi jitu yang dapat membawa orang-orang tersebut mau dengan kesadaran penuh (atau jika perlu karena keadaan terpaksa) untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai

penyedia atau pencipta produk teknologi terkait dengan hal ini. Semakin sulit sebuah teknologi dipergunakan atau dipandang oleh pengguna, semakin sulit pula “memaksa” individu tersebut untuk menggunakannya. Dengan melihat kenyataan ini, maka strategi yang perlu diciptakan adalah dengan melakukan aktivitas-aktivitas seperti: menciptakan teknologi tepat guna yang mudah difungsikan, mengajarkan orang lain bahwa menggunakan teknologi itu mudah dan menyenangkan (pakai cara “getuk tular” atau dari mulut ke mulut), menyediakan jasa pelatihan cara menggunakan teknologi pada berbagai komunitas, mempraktekkan kiat-kiat mencari informasi secara cepat dan tepat, membuka takbir rahasia keampuhan teknologi, dan lain sebagainya (Coovert, 1980).

Strategi 3: Merubah PerilakuPengalaman mereka dalam menjalani tahapan pertama dan kedua strategi tersebut akan sangat mempengaruhi ada atau tidaknya perubahan perilaku dari individu yang bersangkutan. Jika yang bersangkutan pada akhirnya memperoleh bukti bahwa memang benar informasi dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi telah berhasil memberikan kontribusi bagi pencapaian keinginan maupun pemecahan masalah yang dihadapi, maka tentu saja pengalaman baik ini akan merupakan sebuah saksi pembelajaran tak ternilai bagi mereka. Dalam arti kata, untuk selanjutnya, secara sadar mereka akan selalu memperlakukan informasi sebagai sebuah asset yang sangat bernilai dan teknologi sebagai sebuah sarana atau medium atau perangkat yang mutlak untuk dipergunakan. Banyak jenis atau pendekatan strategi yang kerap dipergunakan

antara biaya dan manfaat yang diperoleh, menceritakan kisah suksesnya tersebut ke orang lain (testimony), mencoba berbagai teknologi baru dan pendekatan pencarian informasi secara bervariasi (experiment), dan lain sebagainya. Intinya adalah pada tahapan ini, mereka telah berada pada posisi yang “ketagihan” atau addicted terhadap sebuah entiti yang bernama informasi dan teknologi, sehingga secara perlahan-lahan namun pasti, kualitas kehidupan mereka dapat meningkat

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2

Page 6: Ekoji999 edisi030-8 okt12-strategie-literacy

6 (C) Richardus Eko Indrajit, 2012

Tingkat Kematangan E-LiteracySetiap individu akan memiliki pola pematangan e-literacy-nya masing-masing. Kalau dapat menggunakan kerangka konsep atau teori Personal-Capability Maturity Model (P-CMM), maka kurang lebih level e-literacy seseorang dapat digambarkan seperti demikian:

Level 0 – jika seorang individu sama sekali tidak tahu dan tidak perduli akan pentingnya informasi dan teknologi untuk kehidupan sehari-hari;

Level 1 – jika seorang individu pernah memiliki pengalaman satu dua kali dimana informasi merupakan sebuah komponen penting untuk pencapaian keinginan dan pemecahan masalah, dan telah melibatkan teknologi informasi maupun komunikasi untuk mencarinya;

Level 2 – jika seorang individu telah berkali-kali menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk membantu aktivitasnya sehari-hari dan telah memiliki pola keberulangan dalam penggunaannya;

Level 3 – jika seorang individu telah memiliki standar penguasaan dan pemahaman terhadap informasi maupun teknologi yang diperlukannya, dan secara konsisten mempergunakan standar tersebut sebagai acuan penyelenggaraan aktivitasnya sehari-hari;

aktivitas kehidupannya sehari-hari melalui pemanfaatan informasi dan teknologi; dan

Level 5 – jika seorang individu telah menganggap informasi dan teknologi sebagian bagian tidak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mewarnai perilaku dan budaya hidupnya (bagian dari information society atau manusia berbudaya informasi).

Walau bagimanapun juga, peningkatan e-literacy ini akan sangat dipengaruhi pula oleh sejumlah faktor ekseternal lainnya, seperti: ketersediaan infrastruktur, keberadaan regulasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, kemauan politik pemerintah (political will), kualitas penyelenggaraan pendidikan, human development index, dan lain sebagainya. Terlepas dari sejumlah faktor yang sebagian memberikan pengaruh cukup besar terhadap akselerasi pertumbuhan e-literacy masyarakat, satu hal yang harus diperhatikan bahwa saat ini tidaklah lagi relevan bagi masyarakat untuk “menunggu bola”, tetapi harus secara proaktif “menjemput bola”.

-- akhir dokumen --

EKO

JI999

Nom

or 3

0, 8

Okt

ober

201

2