Ega

27
Depresi et causa Ulkus Diabetikum Ega Farhatu Jannah (102012277) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat [email protected] Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah suau sindrom klinis kelainan metabolic, ditandai oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya. Dari berbagai penelitianepidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup didapatkkan prevalensi meningkat terutama dikota besar. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM akan meningkat, terutama komplikasi kaki diabetes. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada setiap sel dan semua tingkatan anatomic. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, dan saraf otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat terjadi kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan mudahnya dapat terjadi infeksi saluran kemih, tuberkolosis paru, dan 1 Tinjauan Pustaka

description

blok 22

Transcript of Ega

Page 1: Ega

Depresi et causa Ulkus Diabetikum

Ega Farhatu Jannah

(102012277)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat

[email protected]

Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) adalah suau sindrom klinis kelainan metabolic, ditandai oleh

adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau

keduanya. Dari berbagai penelitianepidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup

didapatkkan prevalensi meningkat terutama dikota besar. Jika tidak ditangani dengan baik

tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM akan meningkat, terutama komplikasi kaki

diabetes. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada setiap sel dan semua tingkatan

anatomic. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil

(mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, dan saraf otot jantung

(kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi

pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah

perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat terjadi kerentanan berlebih terhadap

infeksi dengan mudahnya dapat terjadi infeksi saluran kemih, tuberkolosis paru, dan infeksi

kaki, yang kemudian dapat berrkembang menjadi ulkus/gangrene diabetes.1

Hiperglikemi pada DM dapat terjadi karena masukann karbohidrat yang berlebih,

pemakain glukosa dijaringan tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang bertambah,

serta akibat insulin yang berkurang jumlah ataupun kerjanya. Dengan memperhatikan

mekanisme terjadinya hipeglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat dalam

usaha untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah sampai batas yang aman untuk

menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.1

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemi pada penyandang DM, yang

menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati baik

neuropati sensorik maupun motorik dan autonomic akan mengakibatkan berbagai perubaahan

pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan

1

Tinjauan Pustaka

Page 2: Ega

pada telapak kaki dan kemudian akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan

terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Factor

aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki

diabetes.1

Anamnesis

Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat

penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan

lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan

diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit

sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat social ekonomi dan

riwayat pengobatan.

Pemeriksaan Fisik

Meliputi 3 bagian yaitu:

1. Pemeriksaan umum1

Menilai keadaan umum pasien : baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat

adalah tanda-tanda vital, yaitu :

Kesadaran penderita

Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan

keluhan ketika datang.

Tanda vital seperti : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.

2. Pemeriksaan lokal

Pemeriksaan lokal ini dapat kita lakukan guna untuk mengetahui keadaan luka

pada kaki pasien.

Inspeksi : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka atau ulkus pada

kulit atau jaringan tubuh pada kako, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa

berkurang atau hilang,

Palpasi : palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.

3. Pemeriksaan psikiatri2

Penampilan saat pasien datang, dari penampilan dapat memberikan ciri

khas pada beberapa penyakit psikiatrik, contohnya pada pasien mania

biasanya mereka berpakaian dan berdandan berlebihan tidak sesuai dengan

tempatnya. Contohnya mereka ke dokter seperti akan ke acara pernikahan.

2

Page 3: Ega

Cara bicara, perhatikan pasien saat bicara. Biasanya pada pasien depresi

mereka cenderung tertutup dan kurang memberi informasi, sedangkan

pada pasien mania, mereka berbicara terus-menerus tiada henti.

Mood atau suasana hati.

Pikiran seperti bagaimana perhatian pasien, daya memorinya apakah dia

dapat menentukan siakp, serta cara berbahasa.

Persepsi, tanyakan apakah pasien merasa ada yang berbisik, atau melihat

sesuatu yang tidak dilihat oleh dokter untuk mengetahui apakah pasien

mengalami halusinasi.

Sensorium dimana pasien sering merasa kesemutan.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk depresi sampai saat ini tidak ada yang dapat menjadi

patokan utama untuk diagnosis. Jadi untuk mendiagnosis pasien depresi cukup dapat kita

terapi dari anamnesis dan pemeriksaan klinis dan mentalnya saja.

a. Glukosa darah

Pemeriksaan glukosa darah yang tinggi mendasari diagnosis seseorang menderita

diabetes mellitus. Pada pasien ini diduga menderita ketoasidosis diabetik lakukan

pemeriksaan glukosa darah untuk meyakinkan benar atau tidaknya pasien tersebut

menderita diabetes mellitus.Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

PERKENI membagi alur diagnosis DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria,

polidipsi, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala

tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,

disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas

DM, periksa glukosa darah, abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakgan

diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali

pemeriksaan glukosa darah abnormal.1

Tabel 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus1

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL

3

Page 4: Ega

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL

TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa

yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam

air

TTGO atau tes toleransi glukosa dilakukan dengan tatalaksana sebagai berikut:2

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa dan tetap melakukan

kegiatan jasmani seperti biasa

Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula boleh dilakukan

Diperiksa konsentrasi gula darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL diminum dalam waktu 5 menit

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai

Diperiksa glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap beristirahat dan tidak

merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi

3, yaitu: < 140 mg/dL menandakan glukosa darah normal, 140 - < 200 mg/dL

menandakan toleransi glukosa terganggu, ≥ 200 mg/dL menandakan pasien

menderita diabetes.1

Jika glukosa darah pasien termasuk dalam interpretasi toleransi glukosa

terganggu, lakukan pemeriksaan penyaring lainnya. Tetapi pemeriksaan

penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak

dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi

mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring

pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu

(GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien

dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah lima

sampai sepuluh tahun kemudian sepertiga kelompok TGT akan berkembang

sebagi DM, sepertiga tetap TGT dan sepertiga lainnya kembali normal.

4

Page 5: Ega

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi

glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa.

Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring

dan Diagnosis DM (mg/dL)1

Bukan DM Belum pasti DM DM

Konsentrasi glukosa

darah sewaktu (mg/dL)

Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200

Darah kapiler < 9 90 – 199 ≥ 200

Konsentrasi glukosa

darah puasa (mg/dL)

Plasma vena < 100 100 – 125 ≥ 126

Darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 100

Pada penderita ulkus pedis salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukanAdalah pemeriksaan Doppler. Pemeriksaan Doppler ultrasound adalah penggunaan

alat untuk memeriksa alirah darah arteri maupun vena. Pemeriskaan ini untuk

mengidentifikasi tingkat gangguan pada pembuluh darah arteri maupun vena. Dengan

pemeriksaan yang akurat dapat membantu proses perawatan yang tepat. Pemeriskaan ini

sering disebut dengan Ankle Brachial Pressure Index. Pada kondisi normal, tekanan sistolik

pada kaki sama dengan di tangan atau lebih tinggi sedikit. Pada kondisi terjadi gangguan di

area kaki, vena maupun arteri, akan menghasilkan tekanan sistolik yang berbeda. Hasil

pemeriksaan yang akurat dapat membantu diagnosis kea rah gangguan vena atau arteri

sehingga menajemen perawatan juga berbeda.1

Working Diagnosis: depresi et causa ulkus diabetikum

Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kaki

diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan

oleh faktor :

Diabetika neuropati

Iskemia

Neurosikemia

Pada ulkus yang dilator belakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura,

kulit

hangat, kalus, warna kulit nomrla dan lokasi biasanya di plantar, lesi sering berupa punch out.

Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering

adalah jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada atau tidak pus, eksudat,

edema, kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan probe steril. Probe dapat membantu

untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi.

5

Page 6: Ega

Diabetic iskemik pada DM dengan iskemik terjadi vaskuler iskemik sehingga terjadi

pemyempitan pembuluh darah karena terbentuk plak aterosklerosis pada dinding pembuluh

darah sehingga asupan darah berkurang menyebabkan agregat platelet juga berkurang

sehingga proses penyembuhan luka sukar terjadi.

Klasifikasi ulkus diabetika pada penderita diabetes melitius menurut Wagener, terdiri

dari 6 tingkatan:

0 = tidak ada luka terbuka, kulit utuh.

1 = ulkus superfisialis, terbatas pada kulut.

2 = ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan

3 = ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses

4 =ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,

bagian depan kaki atau tumit.

5 = ulkus dengan kematian jaringan tubuh seluruh kaki

Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)

sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus

menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang

yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis

serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut

bipolar.3

Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh

pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan

marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan

hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.4

Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,

merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.

Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,

bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).

Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan

fungsi pekerjaan.4

Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III:5

F30 Episode Manik

F30.0 Hipomania

F30.1 Mania tanpa gejala psikotik

F30.8 Mania dengan gejala psikotik

6

Page 7: Ega

F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar

F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik

F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik

F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang

.30 Tanpa gejala somatik

.31 Dengan gejala somatik

F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala

psikotik

F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala

psikotik

F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran

F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi

F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya

F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt

F32 Episode Depresif

F32.0 Episode depresif ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F32.1 Episode depresif sedang

.10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

F32.8 Episode depresif lainnya

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang

F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan

.00 Tanpa gejala somatik

.01 Dengan gejala somatik

F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang

10 Tanpa gejala somatik

.11 Dengan gejala somatik

7

Page 8: Ega

F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik

F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik

F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya

F33.9 Gangguan depresif berulang YTT

F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap

F34.0 Siklotimia

F34.1 Distimia

F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya

F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT

F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya

F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya

.00 Episode afektif campuran

F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya

.10 Gangguan depresif singkat berulang

F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT

F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,

dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,

gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar. Depresi merupakan

satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan

gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,

konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang

tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia

kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.

Etiologi

Penyebab pasti gangguan depresi secara umum masih belum diketahui, tetapi diduga

faktor -faktor dibawah ini ikut berperan sebagai pencetus timbulnya depresi pada seseorang.

a. Faktor Biologis

Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi

berat berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik ( norepinefrin dan

serotonin ). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien

8

Page 9: Ega

yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal

yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor

neurokimia lain seperti adenilate cyclase, phsphotidyl inositol, dan regulasi kalsium

mungkin juga memiliki relevansi penyebab.

Penelitian pada anak pra pubertas dengan gangguan depresif berat dan remaja-remaja

dengan gangguan mood telah menemukan kelainan biologis.4

Anak pra pubertas dalam suatu episode gangguan depresif berat mensekresikan hormon

pertumbuhan yang secara bermakna lebih banyak selama tidur dibandingkan dengan anak

normal dan anak dengan gangguan mental nondepresi. 4

b. Faktor Genetika

Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari pasien

gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 – 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara

derajat pertama kontrol. Memiliki satu orang tua yang terdepresi kemungkinan

meningkatkan resiko dua kali untuk keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi

kemungkinan meningkatkan resiko empat kali bagi keturunan untuk terkena gangguan

depresi sebelum usia 18 tahun.4

c. Faktor Psikososial

Peristiwa kehidupan dan stess lingkungan, suatu pengalamn klinis yang telah lama

direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering

mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan

tersebut telah dilaporkan untuk gangguan depresi berat.4

Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling

berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua

sebelum usia 13 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu

episode depresi adalah kehilangan pasangan.4

Bebeapa artikel teoritik mempermasalakan hubungan antara fungsi keluarga dan onset

serta perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi di dalam

keluarga mungkin mempergaruhi kecepatan pemulihan, berkurangnya gejala, dan

penyesuaian pasien pasca pemulihan.4

Epidemiologi

Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi

seumur hidup sekitar 15 %, kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita.1 Terlepas dari

kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada

9

Page 10: Ega

wanita dibandingkan laki – laki. Usia onset untuk gangguan depresi berat kira –kira usia 40

tahun. 50 % dari semua pasien, mempunyai onset antara usia 20 – 50 tahun. 3

Beberapa data epidemilogi baru – baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan

depresi berat mungkin meningkat pada orang – orang yang berusia kurang dari 20 tahun, jika

pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan

alkohol dan zat – zat lain pada kelompok usia tersebut. 3

Angka gangguan depresif berat pada anak – anak pre sekolah diperkirakan adalah

sekitar 0,3 % dalam masyarakat, dibandingkan dengan 0,9 % dalam lingkungan klinis.

Diantara anak – anak usia sekolah dalam masyarakat, kira –kira 2 % memiliki gangguan

depresif berat. Depresi adalah lebih sering pada anak laki – laki dibandingkan anak

perempuan pada anak usia sekolah.3

Manifestasi Klinis

Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):

Efek depresif,

Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang

nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.4

Gejala lainnya :

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang

b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna

d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis

e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

f. Gangguan tidur

g. Nafsu makan berkurang.4

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang

kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat

dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung lama.4

Patofisiologi

Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.

Neurotransmiter yang paling banyak diteliti  ialah serotonin. Konduksi impuls dapat

terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau

10

Page 11: Ega

adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem

saraf pusat.

Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor

5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi

depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.

Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya

pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik).

Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter

lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin.

Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter

aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori

biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :

1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan

neurotransmisi serotogenik.

2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas

norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.

3. Menurunnya aktivitas dopamin.

4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.

Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi akibat

kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang

menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective

Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter

atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme

neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.

Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan

bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik

yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.

Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi

depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis

yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective

Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan

menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem

neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.

11

Page 12: Ega

Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan

pengembangan obat-obat anti depresan.

Tanda gangguan depresi berat

a. Perasaan yang berubah-ubah

Depresi berat merupakan gangguan mood yang mempengaruhi cara seseorang

merasa tentang kehidupan pada umumnya. Memiliki pandangan putus asa atau tak

berdaya pada kehidupan adalah gejala yang paling sering dikaitkan dengan depresi.

Perasaan lain yang mungkin dirasakan adalah merasa tidak berharga, membenci diri

atau rasa bersalah yang tidak tepat.

b. Kehilangan minat

Depresi dapat merenggut kesenangan atau kenikmatan dari hal yang disukai.

Hilangnya minat dari kegiatan yang pernah dinantikan, seperti olahraga, hobi atau

pergi keluar dengan teman adalah satu lagi tanda-tanda depresi berat.

c. Kelelahan dan tidur

Sebagian alasan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang dinikmatinya

adalah karena merasa sangat lelah. Depresi sering datang dengan kekurangan energi

dan perasaan yang luar biasa dari kelesuan, yang dapat menjadi gejala paling

melemahkan. Dan bisa mengakibatkan tidur berlebihan atau tidak tidur sama sekali.

d. Kecemasan dan lekas marah

Orang dengan depresi juga memberikan kontribusi menimbulkan kecemasan

dan mudah tersinggung. Penelitian menunjukkan, pria lebih cenderung menunjukkan

tanda-tanda ini. Karena wanita lebih mungkin menginternalisasi masalah mereka,

sementara pria cenderung mengeksternalisasi perasaan mereka dengan menyalahkan

orang lain.

e. Selera makan dan berat badan meningkat

Nafsu makan dan berat badan dapat berfluktuasi secara berbeda untuk setiap

orang dengan depresi berat. Beberapa akan memiliki nafsu makan dan berat badan

bertambah, sementara yang lain sebaliknya.

f. Emosi tak terkendali

Satu menit dikuasai amarah. Berikutnya, menangis tak terkendali. Emosi yang

naik dan turun dalam waktu singkat ini adalah gejala depresi. Mirip dengan kelainan

suasana hati (gangguan bipolar), yakni suasana hati yang berfluktuasi tak terkendali

dan membuat orang tersebut bingung.

g. Bunuh diri

12

Page 13: Ega

Realitas paling menakutkan dari depresi adalah hubungannya dengan

keinginan bunuh diri. Emosi yang tak terkendali dan perasaan hampa sering

menyebabkan orang untuk berpikir bahwa bunuh diri adalah solusi permanen.

Bahkan, 90 persen dari lebih dari 34.000 orang yang bunuh diri di AS setiap tahun

didiagnosis memiliki gangguan psikiatrik.

Diagnosis

Pedoman diagnostik untuk episode depresi berat tanpa gejala psikotik:

Semua 3 gejala utama depresi harus ada

Ditambah sekurang-kurangnya 4 gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus

berintensitas berat

Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,

maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya

secara rinci

Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tetapi jika

gejala utama amat berat dan beronset cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan

diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu

Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau

urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.4

Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik

Episode depresif berat yang memiliki kriteria tanpa gejala psikotik tersebut diatas;

Diseratai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide

tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa

bertanggungjawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfaktorik biasanya berupa suara

yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi

psikomotor yang berat dapat menuju stupor. 4

Diagnosis Banding

Dalam menegakkan suatu gangguan depresi, diagnosis lain perlu dipikirkan, seperti

adanya gangguan organik, intoksikasi atau ketergantungan zat dan abstinensia, distimia,

siklotimia, gangguan kepribadian, berkabung dan gangguan penyesuaian. Perubahan intrinsik

yang berhubungan dengan epilepsi lobus temporalis dapat menyerupai gangguan depresi,

khususnya jika fokus epileptik adalah sisi kanan.

13

Page 14: Ega

Berkabung merupakan suatu respon normal yang hebat, dan menyakitkan karena

kehilangan, tetapi responsif terhadap dukungan dan empati dapat membuat berangsur

mereda / sembuh seiring berjalanya waktu. 1,2

Penatalaksanaan

Dalam kasus ini penatalaksanaan harus berjalan seimbang antara ulkus diabetikumnya

dan juga depresinya.

a. Penatalaksanaan ulkus diabetikum

Penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dengan mengendalikan kondisi

diabetes mellitus dengan kombinasi beberapa obat. Obat yang dapat digunakan

yaitu dengan pemberian insulin, golongan sulfonil urea (tolbutamid,

glibenklamid, glikasid dll), golongan biguanid (prenformin dan metformin),

insulin sensitizisier (proglitazone, troglitazon dll) dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk mengatasi ulkus yang timbul kita dapat berikan antibiotic

contohnya sefalosporin generasi ke 3.1

b. Penatalaksanaan Depresi

Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah

tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik

yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus

dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien

selanjutnya.

Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi

psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang

dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat dapat

menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang

tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan

kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu.6

1. Terapi Farmakologi

Mekanisme terjadinya obat anti depresi adalah :

Menghambat ‘reuptake aminergic neurotransmitter’

Menghambat penghancuran oleh enzim ‘monoamine oxidase’

Sehingga terjadi peningkatan jumlah ‘aminergic transmitter’ pada

sinaps neuron di SSP.1,2,5

Golongan obat anti depresan antara lain :

14

Page 15: Ega

Trisiklik: Amitriptylin, Tianeptine, Imipramine, Clomipramine,

Opipramol

Tetrasiklik: Maprotiline, Mianserin, Amoxapine

MAOI Reversibel: Moclobemide

Atypical: Trazodone, Mirtazepin

SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): Sertraline, Paroxetine,

Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram.

Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek

klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta

waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam

pengaturan dosis, yaitu:

- Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1 minggu,

misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada hari ke 3 dan ke 4,

100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.

- Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif,

kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari selama hari ke 7-

15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200 mg/hari dan minggu ke IV 300 mg/hari.

- Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.

Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai dosis

pemeliharaan.

- Maintaning dosage (maintanance dose), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis

pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari.

- Tapering dosage (tapering dose), selama 1 bulan, kebalikan dari proses initialing dose.

Misalnya amitriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama 1 minggu. 100 mg 75

mg/hari selama 1 minggu, 75 mg 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari 25

mg/hari selama 1 minggu.

Dengan demikian obat anti depresan dapat dihentikan total. Kalau kemudian

sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada dosis

pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose one hour before

sleep) untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis

tunggal pada pagi hari setelah sarapan.1,2,5

2. Terapi Non Farmakologis

15

Page 16: Ega

Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam

pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi

perilaku, telah menemukan predictor respons terhadap berbagai pengobatan

sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang

baik terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah

menyatakan respons yang baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan

farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons yang baik

terhadap farmakoterapi, (4) keparahan depresi yang tinggi menyatakan

respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi.7

Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang

memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi

berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah

rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif.

Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada

satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang,

dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang

kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,

masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan

atau memperberat gejala depresif sekarang.4

Kesimpulan

Ulkus diabetikum merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus, dimana

diabetes mellitus merupakan penyakit metabolic endokrin. Ulkus diabetikum adalah penyakit

dengan pengobatan yang cukup lama sehingga bisa saja itu membuat pasien bosan. Depresi

16

Page 17: Ega

merupkan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan

yang sedih, dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan,

psikomotor, konsentrasi, kelelahan dan rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh

diri.

Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga ada

beberapa faktor yang berperan, yaitu faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial.

Untuk menegakkan diagnosa PPDGJ III mensyarati harus ada 3 gejala utama gangguan

depresi dan minimal 4 gejala lainnya dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat.

Pemberian anti depresan dilakukan melalui tahapan – tahapan, yaitu dosis initial,

titrasi, stabilisasi, maintenance dan tapering off, dimana dosis dan lama pemberiannya

berbeda-beda.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setyohadi B, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam.

Edisi ke-5. Jilid ke-2. Jakarta:interna publishing;2009. H 1935-88.

2. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Psikiatri: catatan kuliah. Jakarta: Penerbit

EGC. 2005. H 5-7

3. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI,

2007. h 89-101.

4. Kaplan, Sadock, Sinopsis Psikiatri, Jilid II, edisi Ketujuh, Binarupa Aksara, Jakarta,

1997. H. 57-88

5. PPDGJ III.Jakarta: Departemen kesehatan RI;1993.h.137-59.

6. Kaplan, Harold I: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Widya Medika, Jakarta, 1998.67-78.

7. Maslim, R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPGDJ III,

Jakarta, 2001.h.90-104.

17