Depresi et causa Ulkus Diabetikum
Ega Farhatu Jannah
(102012277)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 06 Jakarta Barat
Latar Belakang
Diabetes mellitus (DM) adalah suau sindrom klinis kelainan metabolic, ditandai oleh
adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau
keduanya. Dari berbagai penelitianepidemiologis, seiring dengan perubahan pola hidup
didapatkkan prevalensi meningkat terutama dikota besar. Jika tidak ditangani dengan baik
tentu saja angka kejadian komplikasi kronik DM akan meningkat, terutama komplikasi kaki
diabetes. Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi pada setiap sel dan semua tingkatan
anatomic. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat pembuluh darah kecil
(mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal, dan saraf otot jantung
(kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar, manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi
pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah
perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain DM dapat terjadi kerentanan berlebih terhadap
infeksi dengan mudahnya dapat terjadi infeksi saluran kemih, tuberkolosis paru, dan infeksi
kaki, yang kemudian dapat berrkembang menjadi ulkus/gangrene diabetes.1
Hiperglikemi pada DM dapat terjadi karena masukann karbohidrat yang berlebih,
pemakain glukosa dijaringan tepi berkurang, akibat produksi glukosa hati yang bertambah,
serta akibat insulin yang berkurang jumlah ataupun kerjanya. Dengan memperhatikan
mekanisme terjadinya hipeglikemia ini, dapat ditempuh berbagai langkah yang tepat dalam
usaha untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah sampai batas yang aman untuk
menghindari terjadinya komplikasi kronik DM.1
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemi pada penyandang DM, yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati baik
neuropati sensorik maupun motorik dan autonomic akan mengakibatkan berbagai perubaahan
pada kulit dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan
1
Tinjauan Pustaka
pada telapak kaki dan kemudian akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan
terhadap infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Factor
aliran darah yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki
diabetes.1
Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Sistematika yang lazim dalam anamnesis, yaitu identitas, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat social ekonomi dan
riwayat pengobatan.
Pemeriksaan Fisik
Meliputi 3 bagian yaitu:
1. Pemeriksaan umum1
Menilai keadaan umum pasien : baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat
adalah tanda-tanda vital, yaitu :
Kesadaran penderita
Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan
keluhan ketika datang.
Tanda vital seperti : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.
2. Pemeriksaan lokal
Pemeriksaan lokal ini dapat kita lakukan guna untuk mengetahui keadaan luka
pada kaki pasien.
Inspeksi : inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka atau ulkus pada
kulit atau jaringan tubuh pada kako, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa
berkurang atau hilang,
Palpasi : palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang.
3. Pemeriksaan psikiatri2
Penampilan saat pasien datang, dari penampilan dapat memberikan ciri
khas pada beberapa penyakit psikiatrik, contohnya pada pasien mania
biasanya mereka berpakaian dan berdandan berlebihan tidak sesuai dengan
tempatnya. Contohnya mereka ke dokter seperti akan ke acara pernikahan.
2
Cara bicara, perhatikan pasien saat bicara. Biasanya pada pasien depresi
mereka cenderung tertutup dan kurang memberi informasi, sedangkan
pada pasien mania, mereka berbicara terus-menerus tiada henti.
Mood atau suasana hati.
Pikiran seperti bagaimana perhatian pasien, daya memorinya apakah dia
dapat menentukan siakp, serta cara berbahasa.
Persepsi, tanyakan apakah pasien merasa ada yang berbisik, atau melihat
sesuatu yang tidak dilihat oleh dokter untuk mengetahui apakah pasien
mengalami halusinasi.
Sensorium dimana pasien sering merasa kesemutan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk depresi sampai saat ini tidak ada yang dapat menjadi
patokan utama untuk diagnosis. Jadi untuk mendiagnosis pasien depresi cukup dapat kita
terapi dari anamnesis dan pemeriksaan klinis dan mentalnya saja.
a. Glukosa darah
Pemeriksaan glukosa darah yang tinggi mendasari diagnosis seseorang menderita
diabetes mellitus. Pada pasien ini diduga menderita ketoasidosis diabetik lakukan
pemeriksaan glukosa darah untuk meyakinkan benar atau tidaknya pasien tersebut
menderita diabetes mellitus.Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
PERKENI membagi alur diagnosis DM. gejala khas DM terdiri dari poliuria,
polidipsi, polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala
tidak khas DM adalah lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas
DM, periksa glukosa darah, abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakgan
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali
pemeriksaan glukosa darah abnormal.1
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus1
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dL
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL
3
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air
TTGO atau tes toleransi glukosa dilakukan dengan tatalaksana sebagai berikut:2
Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa dan tetap melakukan
kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula boleh dilakukan
Diperiksa konsentrasi gula darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap beristirahat dan tidak
merokok
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi
3, yaitu: < 140 mg/dL menandakan glukosa darah normal, 140 - < 200 mg/dL
menandakan toleransi glukosa terganggu, ≥ 200 mg/dL menandakan pasien
menderita diabetes.1
Jika glukosa darah pasien termasuk dalam interpretasi toleransi glukosa
terganggu, lakukan pemeriksaan penyaring lainnya. Tetapi pemeriksaan
penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya tidak
dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut bagi
mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring
pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien
dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah lima
sampai sepuluh tahun kemudian sepertiga kelompok TGT akan berkembang
sebagi DM, sepertiga tetap TGT dan sepertiga lainnya kembali normal.
4
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah sewaktu atau konsentrasi glukosa darah puasa.
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring
dan Diagnosis DM (mg/dL)1
Bukan DM Belum pasti DM DM
Konsentrasi glukosa
darah sewaktu (mg/dL)
Plasma vena < 100 100 – 199 ≥ 200
Darah kapiler < 9 90 – 199 ≥ 200
Konsentrasi glukosa
darah puasa (mg/dL)
Plasma vena < 100 100 – 125 ≥ 126
Darah kapiler < 90 90 – 99 ≥ 100
Pada penderita ulkus pedis salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukanAdalah pemeriksaan Doppler. Pemeriksaan Doppler ultrasound adalah penggunaan
alat untuk memeriksa alirah darah arteri maupun vena. Pemeriskaan ini untuk
mengidentifikasi tingkat gangguan pada pembuluh darah arteri maupun vena. Dengan
pemeriksaan yang akurat dapat membantu proses perawatan yang tepat. Pemeriskaan ini
sering disebut dengan Ankle Brachial Pressure Index. Pada kondisi normal, tekanan sistolik
pada kaki sama dengan di tangan atau lebih tinggi sedikit. Pada kondisi terjadi gangguan di
area kaki, vena maupun arteri, akan menghasilkan tekanan sistolik yang berbeda. Hasil
pemeriksaan yang akurat dapat membantu diagnosis kea rah gangguan vena atau arteri
sehingga menajemen perawatan juga berbeda.1
Working Diagnosis: depresi et causa ulkus diabetikum
Untuk tujuan klinis praktis, kaki diabetika dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kaki
diabetika neuropati, iskemia dan neuroiskemia. Pada umumnya kaki diabetika disebabkan
oleh faktor :
Diabetika neuropati
Iskemia
Neurosikemia
Pada ulkus yang dilator belakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura,
kulit
hangat, kalus, warna kulit nomrla dan lokasi biasanya di plantar, lesi sering berupa punch out.
Sedangkan lesi akibat iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering
adalah jari. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada atau tidak pus, eksudat,
edema, kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan probe steril. Probe dapat membantu
untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus melibatkan tendon, tulang atau sendi.
5
Diabetic iskemik pada DM dengan iskemik terjadi vaskuler iskemik sehingga terjadi
pemyempitan pembuluh darah karena terbentuk plak aterosklerosis pada dinding pembuluh
darah sehingga asupan darah berkurang menyebabkan agregat platelet juga berkurang
sehingga proses penyembuhan luka sukar terjadi.
Klasifikasi ulkus diabetika pada penderita diabetes melitius menurut Wagener, terdiri
dari 6 tingkatan:
0 = tidak ada luka terbuka, kulit utuh.
1 = ulkus superfisialis, terbatas pada kulut.
2 = ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan
3 = ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses
4 =ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu jari kaki,
bagian depan kaki atau tumit.
5 = ulkus dengan kematian jaringan tubuh seluruh kaki
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan afek (mood)
sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat sekunder. Afek bisa terus
menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan kedua episode ini bisa timbul pada orang
yang sama, karena itu dinamai “psikosis manik-depresif”. Penyakit dengan hanya satu jenis
serangan disebut unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut
bipolar.3
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat dutarakan oleh
pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh adalah depresi, elasi dan
marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood, merupakan perasaan, atau nada “perasaan
hati” seseorang, khususnya yang dihayati secara batiniah.4
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi dan minat,
merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir mati atau bunuh diri.
Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif,
bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal, sosial dan
fungsi pekerjaan.4
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut PPDGJ-III:5
F30 Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
6
F30.9 Episode Manik YTT
F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala
psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala
psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
7
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai masalahnya,
dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik,
gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar. Depresi merupakan
satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan
gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang
tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.
Etiologi
Penyebab pasti gangguan depresi secara umum masih belum diketahui, tetapi diduga
faktor -faktor dibawah ini ikut berperan sebagai pencetus timbulnya depresi pada seseorang.
a. Faktor Biologis
Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan depresi
berat berhubungan dengan disregulasi heterogen pada amin biogenik ( norepinefrin dan
serotonin ). Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan pada beberapa pasien
8
yang bunuh diri memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal
yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di trombosit. Faktor
neurokimia lain seperti adenilate cyclase, phsphotidyl inositol, dan regulasi kalsium
mungkin juga memiliki relevansi penyebab.
Penelitian pada anak pra pubertas dengan gangguan depresif berat dan remaja-remaja
dengan gangguan mood telah menemukan kelainan biologis.4
Anak pra pubertas dalam suatu episode gangguan depresif berat mensekresikan hormon
pertumbuhan yang secara bermakna lebih banyak selama tidur dibandingkan dengan anak
normal dan anak dengan gangguan mental nondepresi. 4
b. Faktor Genetika
Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat pertama dari pasien
gangguan depresi berat kemungkinan 1,5 – 2,5 kali lebih besar daripada sanak saudara
derajat pertama kontrol. Memiliki satu orang tua yang terdepresi kemungkinan
meningkatkan resiko dua kali untuk keturunan, memiliki kedua orang tua terdepresi
kemungkinan meningkatkan resiko empat kali bagi keturunan untuk terkena gangguan
depresi sebelum usia 18 tahun.4
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stess lingkungan, suatu pengalamn klinis yang telah lama
direplikasikan adalah bahwa peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering
mendahului episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya. Hubungan
tersebut telah dilaporkan untuk gangguan depresi berat.4
Data yang paling mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling
berhubungan dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua
sebelum usia 13 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset suatu
episode depresi adalah kehilangan pasangan.4
Bebeapa artikel teoritik mempermasalakan hubungan antara fungsi keluarga dan onset
serta perjalanan gangguan depresi berat. Selain itu, derajat psikopatologi di dalam
keluarga mungkin mempergaruhi kecepatan pemulihan, berkurangnya gejala, dan
penyesuaian pasien pasca pemulihan.4
Epidemiologi
Gangguan depresi berat merupakan gangguan yang sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 %, kemungkinan sekitar 25 % terjadi pada wanita.1 Terlepas dari
kultur atau negara, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua kali lebih besar pada
9
wanita dibandingkan laki – laki. Usia onset untuk gangguan depresi berat kira –kira usia 40
tahun. 50 % dari semua pasien, mempunyai onset antara usia 20 – 50 tahun. 3
Beberapa data epidemilogi baru – baru ini menyatakan bahwa insidensi gangguan
depresi berat mungkin meningkat pada orang – orang yang berusia kurang dari 20 tahun, jika
pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan dengan meningkatnya penggunaan
alkohol dan zat – zat lain pada kelompok usia tersebut. 3
Angka gangguan depresif berat pada anak – anak pre sekolah diperkirakan adalah
sekitar 0,3 % dalam masyarakat, dibandingkan dengan 0,9 % dalam lingkungan klinis.
Diantara anak – anak usia sekolah dalam masyarakat, kira –kira 2 % memiliki gangguan
depresif berat. Depresi adalah lebih sering pada anak laki – laki dibandingkan anak
perempuan pada anak usia sekolah.3
Manifestasi Klinis
Gejala utama (pada derajat ringan, sedang dan berat):
Efek depresif,
Kehilangan minat dan kegembiraan, dan
Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.4
Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Gangguan tidur
g. Nafsu makan berkurang.4
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung lama.4
Patofisiologi
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.
Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat
terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau
10
adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem
saraf pusat.
Pada depresi telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor
5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi
depresi dan memberikan respon pada semua golongan anti depresan.
Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena menurunnya
pelepasan dan transmisi serotonin (menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik).
Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter
lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan dopamin.
Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau beberapa neurotransmiter
aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik. Oleh karena itu teori
biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas
norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi akibat
kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang
menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter
atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik
yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata.
Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi
depresi timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis
yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective
Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan
menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem
neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.
11
Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan
pengembangan obat-obat anti depresan.
Tanda gangguan depresi berat
a. Perasaan yang berubah-ubah
Depresi berat merupakan gangguan mood yang mempengaruhi cara seseorang
merasa tentang kehidupan pada umumnya. Memiliki pandangan putus asa atau tak
berdaya pada kehidupan adalah gejala yang paling sering dikaitkan dengan depresi.
Perasaan lain yang mungkin dirasakan adalah merasa tidak berharga, membenci diri
atau rasa bersalah yang tidak tepat.
b. Kehilangan minat
Depresi dapat merenggut kesenangan atau kenikmatan dari hal yang disukai.
Hilangnya minat dari kegiatan yang pernah dinantikan, seperti olahraga, hobi atau
pergi keluar dengan teman adalah satu lagi tanda-tanda depresi berat.
c. Kelelahan dan tidur
Sebagian alasan seseorang berhenti melakukan hal-hal yang dinikmatinya
adalah karena merasa sangat lelah. Depresi sering datang dengan kekurangan energi
dan perasaan yang luar biasa dari kelesuan, yang dapat menjadi gejala paling
melemahkan. Dan bisa mengakibatkan tidur berlebihan atau tidak tidur sama sekali.
d. Kecemasan dan lekas marah
Orang dengan depresi juga memberikan kontribusi menimbulkan kecemasan
dan mudah tersinggung. Penelitian menunjukkan, pria lebih cenderung menunjukkan
tanda-tanda ini. Karena wanita lebih mungkin menginternalisasi masalah mereka,
sementara pria cenderung mengeksternalisasi perasaan mereka dengan menyalahkan
orang lain.
e. Selera makan dan berat badan meningkat
Nafsu makan dan berat badan dapat berfluktuasi secara berbeda untuk setiap
orang dengan depresi berat. Beberapa akan memiliki nafsu makan dan berat badan
bertambah, sementara yang lain sebaliknya.
f. Emosi tak terkendali
Satu menit dikuasai amarah. Berikutnya, menangis tak terkendali. Emosi yang
naik dan turun dalam waktu singkat ini adalah gejala depresi. Mirip dengan kelainan
suasana hati (gangguan bipolar), yakni suasana hati yang berfluktuasi tak terkendali
dan membuat orang tersebut bingung.
g. Bunuh diri
12
Realitas paling menakutkan dari depresi adalah hubungannya dengan
keinginan bunuh diri. Emosi yang tak terkendali dan perasaan hampa sering
menyebabkan orang untuk berpikir bahwa bunuh diri adalah solusi permanen.
Bahkan, 90 persen dari lebih dari 34.000 orang yang bunuh diri di AS setiap tahun
didiagnosis memiliki gangguan psikiatrik.
Diagnosis
Pedoman diagnostik untuk episode depresi berat tanpa gejala psikotik:
Semua 3 gejala utama depresi harus ada
Ditambah sekurang-kurangnya 4 gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,
maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya
secara rinci
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, tetapi jika
gejala utama amat berat dan beronset cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau
urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.4
Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik
Episode depresif berat yang memiliki kriteria tanpa gejala psikotik tersebut diatas;
Diseratai waham, halusinasi, atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan ide
tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien merasa
bertanggungjawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau alfaktorik biasanya berupa suara
yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju stupor. 4
Diagnosis Banding
Dalam menegakkan suatu gangguan depresi, diagnosis lain perlu dipikirkan, seperti
adanya gangguan organik, intoksikasi atau ketergantungan zat dan abstinensia, distimia,
siklotimia, gangguan kepribadian, berkabung dan gangguan penyesuaian. Perubahan intrinsik
yang berhubungan dengan epilepsi lobus temporalis dapat menyerupai gangguan depresi,
khususnya jika fokus epileptik adalah sisi kanan.
13
Berkabung merupakan suatu respon normal yang hebat, dan menyakitkan karena
kehilangan, tetapi responsif terhadap dukungan dan empati dapat membuat berangsur
mereda / sembuh seiring berjalanya waktu. 1,2
Penatalaksanaan
Dalam kasus ini penatalaksanaan harus berjalan seimbang antara ulkus diabetikumnya
dan juga depresinya.
a. Penatalaksanaan ulkus diabetikum
Penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah dengan mengendalikan kondisi
diabetes mellitus dengan kombinasi beberapa obat. Obat yang dapat digunakan
yaitu dengan pemberian insulin, golongan sulfonil urea (tolbutamid,
glibenklamid, glikasid dll), golongan biguanid (prenformin dan metformin),
insulin sensitizisier (proglitazone, troglitazon dll) dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk mengatasi ulkus yang timbul kita dapat berikan antibiotic
contohnya sefalosporin generasi ke 3.1
b. Penatalaksanaan Depresi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada sejumlah
tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua, pemeriksaan diagnostik
yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga, suatu rencana pengobatan harus
dimulai yang menjawab bukan hanya gejala sementara tetapi juga kesehatan pasien
selanjutnya.
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya berkembang
dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan obat dapat
menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan kemungkinan dosis yang
tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat. Sebaliknya, jika dokter mengabaikan
kebutuhan psikososial pasien, hasil dari farmakoterapi mungkin terganggu.6
1. Terapi Farmakologi
Mekanisme terjadinya obat anti depresi adalah :
Menghambat ‘reuptake aminergic neurotransmitter’
Menghambat penghancuran oleh enzim ‘monoamine oxidase’
Sehingga terjadi peningkatan jumlah ‘aminergic transmitter’ pada
sinaps neuron di SSP.1,2,5
Golongan obat anti depresan antara lain :
14
Trisiklik: Amitriptylin, Tianeptine, Imipramine, Clomipramine,
Opipramol
Tetrasiklik: Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
MAOI Reversibel: Moclobemide
Atypical: Trazodone, Mirtazepin
SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor): Sertraline, Paroxetine,
Fluvoxamine, Fluoxetine, Citalopram.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset efek primer (efek
klinis) sekitar 2-4 minggu, efek sekunder (efek samping) sekitar 12-24 jam, serta
waktu paruh sekitar 12-48 jam (pemberian 1-2 kali per hari). Ada 5 proses dalam
pengaturan dosis, yaitu:
- Initiating dosage (tes dosage), untuk mencapai dosis anjuran selama 1 minggu,
misalnya amitriptylin 25 mg/hari pada hari 1-2,50 mg/hari pada hari ke 3 dan ke 4,
100 mg/hari pada hari ke 5 dan ke 6.
- Titrating dosage (optimal dose), dimulai pada dosis anjuran sampai dosis efektif,
kemudian menjadi dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari selama hari ke 7-
15 ( minggu II), kemudian minggu ke III 200 mg/hari dan minggu ke IV 300 mg/hari.
- Stabilizing dosage (Stabilzation dose), dosis optimal dipertahankan selama 2-3 bulan.
Misalnya amitriptylin 300 mg/hari (dosis optimal) kemudian diturunkan sampai dosis
pemeliharaan.
- Maintaning dosage (maintanance dose), selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan ½ dosis optimal. Misalnya amitriptylin 150 mg/hari.
- Tapering dosage (tapering dose), selama 1 bulan, kebalikan dari proses initialing dose.
Misalnya amitriptylin 150 mg/hari 100 mg/hari selama 1 minggu. 100 mg 75
mg/hari selama 1 minggu, 75 mg 50 mg/hari selama 1 minggu, 50 mg/hari 25
mg/hari selama 1 minggu.
Dengan demikian obat anti depresan dapat dihentikan total. Kalau kemudian
sindrom depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dari awal dan seterusnya. Pada dosis
pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single dose one hour before
sleep) untuk golongan trisiklik dan tetrasiklik. Untuk golongan SSRI diberikan dosis
tunggal pada pagi hari setelah sarapan.1,2,5
2. Terapi Non Farmakologis
15
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan terapi
perilaku, telah menemukan predictor respons terhadap berbagai pengobatan
sebagai berikut ini : (1) disfungsi sosial yang rendah menyatakan respons yang
baik terhadap terapi interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah
menyatakan respons yang baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan
farmakoterapi, (3) disfungsi kerja yang tinggi mengarahkan respons yang baik
terhadap farmakoterapi, (4) keparahan depresi yang tinggi menyatakan
respons yang baik terhadap terapi interpersonal dan farmakoterapi.7
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi
berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah
rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif.
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada
satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang,
dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang
kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang disfungsional. Kedua,
masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan
atau memperberat gejala depresif sekarang.4
Kesimpulan
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi dari penyakit diabetes mellitus, dimana
diabetes mellitus merupakan penyakit metabolic endokrin. Ulkus diabetikum adalah penyakit
dengan pengobatan yang cukup lama sehingga bisa saja itu membuat pasien bosan. Depresi
16
merupkan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan
yang sedih, dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan,
psikomotor, konsentrasi, kelelahan dan rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri.
Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga ada
beberapa faktor yang berperan, yaitu faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial.
Untuk menegakkan diagnosa PPDGJ III mensyarati harus ada 3 gejala utama gangguan
depresi dan minimal 4 gejala lainnya dan beberapa di antaranya harus berintensitas berat.
Pemberian anti depresan dilakukan melalui tahapan – tahapan, yaitu dosis initial,
titrasi, stabilisasi, maintenance dan tapering off, dimana dosis dan lama pemberiannya
berbeda-beda.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setyohadi B, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar penyakit dalam.
Edisi ke-5. Jilid ke-2. Jakarta:interna publishing;2009. H 1935-88.
2. Ingram IM, Timbury GC, Mowbray RM. Psikiatri: catatan kuliah. Jakarta: Penerbit
EGC. 2005. H 5-7
3. Arozal W, Gan S. Psikotropik dalam Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta : FKUI,
2007. h 89-101.
4. Kaplan, Sadock, Sinopsis Psikiatri, Jilid II, edisi Ketujuh, Binarupa Aksara, Jakarta,
1997. H. 57-88
5. PPDGJ III.Jakarta: Departemen kesehatan RI;1993.h.137-59.
6. Kaplan, Harold I: Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat, Widya Medika, Jakarta, 1998.67-78.
7. Maslim, R : Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPGDJ III,
Jakarta, 2001.h.90-104.
17
Top Related