EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

12
EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN) Ascobat Gani Ada beberapa tantangan pembiayaan kesehatan yang dihadapi sekarang dan masa-masa mendatang, yaitu: (1) Jumlah penduduk bertambah disertai struktur umur semakin tua yang menyebabkan meningkatnya penyakit kronik degeneratif berbiaya tinggi. Ini memerlukan mobilisasi biaya kesehatan yang lebih besar. (2) Penduduk miskin walaupun menurun, jumlahnya masih cukup besar (25,6 juta). Yang memerlukan subsidi premi selain penduduk miskin juga penduduk tidak miskin tetapi tidak mampu membayar pelayanan kesehatan, sehingga pemerintah harus membiayai subsidi premi untuk sekitar 100 juta orang. (3) Kebutuhan anggaran untuk UKM akan terus meningkat, yaitu untuk mengejar target-target SDGs, pelaksanan SPM di daerah dan program-program promotif dan preventif yang menjadi prioritas nasional termasuk gizi, KB, DBD, filaria, rabies (di daerah endemik), dll. (4) Nilai OOP (out of pocket payment) masih tinggi padahal seharusnya menurun dengan adanya JKN/BPJS. (5) Pembiayaan (financial sustainability) JKN/BPJS selama 5 tahun terakhir mengalami defisit yang cukup besar dan terus meningkat – yang bisa mengancam keberlanjutan program JKN. (6) Diperlukan biaya besar untuk pengadaan fasilitas kesehatan yang lebih merata dan bermutu guna menjamin akses bagi peserta JKN/BPJS (supply side readiness), termasuk pemerataan penempatan SDMK dan ketersediaan obat. (7) Bantuan luar negeri untuk kesehatan seperti GAVI dan GF-ATM akan berakhir dalam tahun- tahun mendatang. (8) Adanya disparitas status kesehatan dan akses pelayanan kesehatan antar-wilayah. (9) Kapasitas fiskal daerah relatif kecil dibandingkan tanggung jawab daerah melaksanakan urusan wajib yang menjadi tanggung jawab daerah. 1. TANTANGAN PEMBIAYAAN KESEHATAN 2.1.Apakah Indonesia “underspending” untuk kesehatan? Belanja kesehatan di Indonesia sejak tahun 2010 berkisar sekitar 3,6% GDP. Angka tersebut lebih rendah dari pada negara-negara lain di ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Myanmar), kecuali Laos. Namun kalau dilihat belanja kesehatan perkapita, nilai Indonesia lebih tinggi dari pada Kamboja, Laos, Filipina dan Vietnam. Pendapatan bahwa Indonesia “underspending” untuk kesehatan tidak tepat kalau didasarkan pada benchmark % GDP negara lain ataupun belanja kesehatan per-kapita. Angka % GPD adalah relatif, tidak menunjukkan besar nominal; yang nilainya ditentukan oleh total GDP masing-masing negara. 2. BESAR BELANJA KESEHATAN 1 POLICY BRIEF

Transcript of EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

Page 1: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DANJAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Ascobat Gani

Ada beberapa tantangan pembiayaan kesehatan yang dihadapi sekarang dan masa-masa mendatang, yaitu:(1) Jumlah penduduk bertambah disertai struktur umur semakin tua yang menyebabkan meningkatnya

penyakit kronik degeneratif berbiaya tinggi. Ini memerlukan mobilisasi biaya kesehatan yang lebih besar.

(2) Penduduk miskin walaupun menurun, jumlahnya masih cukup besar (25,6 juta). Yang memerlukan subsidi premi selain penduduk miskin juga penduduk tidak miskin tetapi tidak mampu membayar pelayanan kesehatan, sehingga pemerintah harus membiayai subsidi premi untuk sekitar 100 juta orang.

(3) Kebutuhan anggaran untuk UKM akan terus meningkat, yaitu untuk mengejar target-target SDGs, pelaksanan SPM di daerah dan program-program promotif dan preventif yang menjadi prioritas nasional termasuk gizi, KB, DBD, filaria, rabies (di daerah endemik), dll.

(4) Nilai OOP (out of pocket payment) masih tinggi padahal seharusnya menurun dengan adanya JKN/BPJS.

(5) Pembiayaan (financial sustainability) JKN/BPJS selama 5 tahun terakhir mengalami defisit yang cukup besar dan terus meningkat – yang bisa mengancam keberlanjutan program JKN.

(6) Diperlukan biaya besar untuk pengadaan fasilitas kesehatan yang lebih merata dan bermutu guna menjamin akses bagi peserta JKN/BPJS (supply side readiness), termasuk pemerataan penempatan SDMK dan ketersediaan obat.

(7) Bantuan luar negeri untuk kesehatan seperti GAVI dan GF-ATM akan berakhir dalam tahun- tahun mendatang.

(8) Adanya disparitas status kesehatan dan akses pelayanan kesehatan antar-wilayah. (9) Kapasitas fiskal daerah relatif kecil dibandingkan tanggung jawab daerah melaksanakan urusan

wajib yang menjadi tanggung jawab daerah.

1. TANTANGAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

2.1. Apakah Indonesia “underspending” untuk kesehatan?Belanja kesehatan di Indonesia sejak tahun 2010 berkisar sekitar 3,6% GDP. Angka tersebut lebih rendah dari pada negara-negara lain di ASEAN (Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Kamboja dan Myanmar), kecuali Laos. Namun kalau dilihat belanja kesehatan perkapita, nilai Indonesia lebih tinggi dari pada Kamboja, Laos, Filipina dan Vietnam. Pendapatan bahwa Indonesia “underspending” untuk kesehatan tidak tepat kalau didasarkan pada benchmark % GDP negara lain ataupun belanja kesehatan per-kapita. Angka % GPD adalah relatif, tidak menunjukkan besar nominal; yang nilainya ditentukan oleh total GDP masing-masing negara.

2. BESAR BELANJA KESEHATAN

1

POLICY BRIEF

Page 2: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

Membandingkan belanja kesehatan perkapita antara-negara juga tidak tepat karena kebutuhan riil belanja kesehatan tergantung masalah yang berbeda-beda antar-negara. Persentase GDP dan perkapita berguna untuk perbandingan antar-waktu; yaitu melihat tren belanja kesehatan. Jadi, tren belanja kesehatan Indonesia sebagai % GDP menunjukkan peningkatan dari 3,28% pada tahun 2010 menjadi 3,62% pada tahun 2015. Perlu dicatat pernyataan WHO bahwa menggunakan benchmark – walaupun praktis - tidak begitu bermanfaat untuk kebijakan menentukan besar belanja kesehatan. Sejak dua dekade terakhir, perkiraan kebutuhan anggaran kesesehatan di Indonesia dilakukan melalui proses perencanaan dan penganggaran program berbasis kinerja; suatu langkah yang sudah tepat dalam perencanaan dan pengangaran program-program kesehatan.

2.2 Sumber dan kecenderungan belanja kesehatanSumber pembiayaan kesehatan di Indonesia adalah: (1) pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan asuransi sosial); dan (2) non-pemerintah (Rumah Tangga, perusahaan dan asuransi komersial). Antara 2010 – 2016, terdapat kecenderungan meningkatnya sumber pemerintah, khususnya belanja kesehatan pemerintah kabupaten/kota serta asuransi sosial. Sedangkan belanja rumah tangga – walaupun terjadi penurunan – persentasenya masih cukup besar yaitu 45,1% pada tahun 2016. Pada tahun 2016, pemerintah menaikkan alokasi untuk kesehatan sebesar 5% dari APBN sesuai dengan ketetapan UU-36/2009.

3.1 Prioritas pemanfaatan belanja kesehatan: cenderung parsial

Secara umum, belanja kesehatan diperlukan untuk tiga (3) area sistem kesehatan, yaitu: (1) upaya kesehatan masyarakat (UKM) yang mengutamakan upaya promotif dan preventif; (2) upaya kesehatan perorangan (UKP) yang menekankan pelayanan pengobatan perorangan; dan (3) pengelolaan dan penguatan sistem kesehatan (UU-36/2009, Perpres-72/2012, WHO: 2010). National Health Account atau NHA (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar belanja kesehatan – yaitu 73,3% - terpakai untuk pelayanan kuratif (UKP), sedangkan upaya promotif-peventif (UKM) 9,6% dan untuk pengelolaan dan penguatan sistem kesehatan – termasuk investasi fisik adalah 17,1%.

Pola Belanja Kesehatan Nasional (NHA 2017)

Pola belanja seperti itu juga terlihat di tingkat daerah dimana UKM hanya sekitar 3% - 12%, UKP sekitar 40% dan pengelolaan/penguatan

sistem kesehatan sekitar 45% .

3. ALOKASI BIAYA KESEHATAN

2

Page 3: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

Pendapatan Iuran, Belanja, dan Defisit JKN Tahun 2014-2017

3.2 Pembiayaan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)Sejak tahun 2010 pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk UKM, yaitu dana BOK. Besar BOK pada tahun pertama (2010) adalah Rp 226 milyar, dan meningkat secara gradual sehingga mencapai Rp 4,8 triliun (2017). Dana BOK dipergunakan oleh Puskesmas untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan UKM (imunisasi, penimbangan, promosi kesehatan, kesling dan pemberdayaan masyarakat). Dalam UKM, ada beberapa program yang perlu dibiayai, termasuk SPM dan program kesehatan prioritas diluar SPM (program gizi dan KB, sanitasi lingkungan, pemberantasan malaria, mobilisasi peran masyarakat dalam gerakan hidup sehat, dll). Dengan demikian dana BOK adalah tulang punggung program-program untuk memperbaiki indikator kesehatan masyarakat (MMR, MMR, imunisasi, KIA/KB, gizi, dan sanitasi).

Defisit JKN/BPJS disebabkan “cash inflow” lebih kecil dari pada “cash outflow”. Masalah dalam “cash inflow” adalah: a) premi yang berlaku sekarang terlalu kecil karena didasarkan pada pengalaman Jamkesmas dan PT. Askes pra-JKN/BPJS. Dalam asuransi kesehatan ada kecenderungan “moral hazard” termasuk peningkatan utilisasi, sehingga perhitungan premi perlu disesuaikan dengan kenaikan utilisasi tersebut, terutama utilisasi pelayanan katastropik; b) banyak peserta mandiri (non-PBI) yang tidak teratur membayar premi (10.800.000 peserta pada tahun 2017 dan 14.200.000 peserta pada tahun 2018; dan c) banyak pemda kabupaten terlambat membayar premi karena baru bisa dibayarkan setelah ada ketetapan anggaran daerah.

Masalah dalam “cash outflow” adalah sistem pelayanan yang belum baik termasuk: a) sistem rujukan non-spesialistik belum efektif di FKTP; b) sistem rujuk-balik juga belum berjalan baik antara lain karena tidak tersedianya obat di FKTP yang sama dengan yang diberikan di FKRTL; c) adanya tindakan-tindakan yang tidak “cost effective” termasuk misalnya SC pada persalinan yang sebetulnya normal, dll; dan d) untuk peserta non-PBI diberikan opsi rawat inap terdiri dari kelas-1, 2 dan 3. Umumnya peserta non-PBI memilih menggunakan kelas-2 dan kelas-1 sedangkan preminya rendah .

3

Perkembangan Anggaran BOK untuk Kegiatan Operasional UKM

Dana BOK yang semula langsung di transfer ke Puskesmas dari pusat, sejak tahun 2016 disalurkan melalui DAK-nonfisik sehingga menjadi bagian dari APBD. Beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi dalam perencanaan dan pemanfaatan dana BOK, yaitu: 1) keterlambatan realisasi karena tergantung keluarnya ketetapan anggaran daerah; 2) Juklak/Juknis yang berubah-ubah dan terlambat dikeluarkan pusat; dan 3) kekurangan tenaga kesehatan masyarakat di Puskemas untuk memanfaatan dana BOK tersebut.

3.3 Pembiayaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)Dua sumber utama pembiayaan UKP adalah: (i) belanja rumah tangga atau “out of pocket payment” (OOP); dan (ii) asuransi kesehatan sosial dan komersial. Belanja OOP berkisar 45% dari belanja total kesehatan nasional dan sebagian besar adalah untuk membeli obat. Belanja dari asuransi kesehatan sosial (JKN) terus naik dari tahun ke tahun, yaitu 40,0 T pada tahun 2015 menjadi 70,0 T pada tahun 2017. Masalah serius yang dihadapi dalam pembiayaan JKN adalah terjadinya defisit yang semakin besar dari tahun ke tahun.

2014 2015 2016 2017

Peserta 133,4 juta 156,7 juta 171,9 juta 187,9 juta

Belanja 40,0 T 56,2 T 64 T 70 T

Defisit 3,45 T 5,85 T 9,40 T 9,20 T

Page 4: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

Beban dan tanggung jawab daerah dalam urusan kesehatan cukup banyak termasuk: (i) membiayai 12 pelayanan dasar dalam SPM; (ii) pelaksanaan PISPK; (iii) menjamin akses dan mutu fasilitas pelayanan kesehatan termasuk RSUD dan Puskesmas; (iv) pengelolaan SDMK; (v) melaksanakan program prioritas lain seperti KB, gizi, dan penyakit menular (a.l. DBD, rabies dan malaria); dan (vi) pemberdayaan masyarakat. Namun data besar dan pemanfaatan APBD dalam tahun 2015, 2016 dan 2017 menunjukkan kecilnya kemampuan fiskal daerah. Pertama, peran PAD dalam APBD rata-rata hanya 10,1%. Artinya 90% adalah dana transfer dari pusat. Kedua, sekitar 41% APBD terpakai untuk belanja pegawai. Jadi rata-rata kapasitas fiskal daerah adalah 59% APBD. Jumlah tersebut harus membiayai (i) SPM 6 sektor; (ii) program prioritas nasional diluar SPM; serta (iii) pembangunan dan operasional infrastruktur.

4

4. PEMBIAYAAN KESEHATAN DALAM KONTEKS DESENTRALISASI

Tujuan pembiayaan kesehatan adalah mencukupi kebutuhan biaya untuk UKM, UKP dan penguatan sistem kesehatan (PSK), dan dimanfaatkan secara efektif, efisien, berkelanjutan dan akuntabel untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan secara merata dan berkeadilan (UU-36/2009, Perpres-72/2012 dan UU-40/2004). Ada 4 rekomendasi kebijakan pembiayaan kesehatan, yaitu: (1) meningkatkan kemampuan fiskal pemerintah untuk membiayai kesehatan; (2) mobilisasi sumber-sumber pembiayaan lain; (3) meningkatkan pembiayaan untuk UKM; dan (4) meningkatkan sustainabilitas pembiayaan JKN/BPPJS.

5. REKOMENDASI KEBIJAKAN

5.1. Meningkatkan kemampuan fiskal pemerintah untuk kesehatan: menaikkan dan “earmarked” cukai rokok

Apabila alokasi anggaran kesehatan pemerintah dinaikkan - misalnya diatas 5%x(APBN-BP) dan diatas 10%x(APBD-BP) – akan terjadi “displacement”, yaitu dampaknya terhadap alokasi untuk sektor lain. Ini akan terjadi kalau kemampuan fiskal pemerintah tetap. Pada tahun 2017, nilai total APBN adalah Rp 1.750,3 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 1.359 triliun (75,6%) berasal dari pajak. Dari jumlah pajak tersebut, Rp 149,9 triliun (11,2%) berasal dari cukai rokok. Di beberapa negara, pajak rokok “di-earmarked” untuk kesehatan. Jika itu dilakukan – seperti disampaikan diatas – akan berpengaruh negatif terhadap alokasi untuk sektor lain. Untuk mencegah “displacement effect” tersebut, kebijakan yang disarankan adalah menaikkan cukai rokok dari 37% HJE (Harga Jual Eceran) – yang berlaku sejak 2009 - menjadi 57% HJE.

Dengan cara ini, penerimaan pemerintah dari pajak naik sebesar sekitar Rp 50,1 triliun dan jumlah perokok akan turun sebanyak 6,9 juta orang (studi CHEPS 2015). Manfaat ganda bagi sektor kesehatan adalah: (i) penambahan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 50,1 triliun tersebut bisa di “earmarked” untuk kesehatan; dan (ii) pengurangan jumlah perokok sebanyak hampir 7 juta akan berdampak positif untuk mencegah berbagai penyakit. Kebijakan “earmarked tax” seperti cukai rokok juga dapat diberlakukan untuk produk makanan berpemanis (sugary foods) – seperti telah dilakukan di banyak negara seperti India, UAE, Mexico, Portugal, Saudi Arabia, dll. Pajak dari produk inipun disarankan untuk di “earmarked” untuk intervensi promotif-preventif penyakit degeneratif khususnya DM dan hipertensi.

Catatan:Menaikan kapasitas fiskal pemerintah daerah (kabupaten/kota) nampaknya sulit dilakukan karena PAD rata-rata hanya 10,1% dari total APBD. Sebagian besar APBD adalah dana pusat yang ditransfer ke daerah. Data APBD juga menunjukkan besarnya beban daerah membiayai Belanja Pegawai (BP), yaitu rata-rata 41% dari total APBD.

Page 5: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

5.2. Mobilisasi sumber-sumber non-pemerintah untuk kesehatanSecara teoretis dan sesuai dengan kebijakan (regulasi) tentang pembiayaan kesehatan, tugas pemerintah adalah: (1) membiayai UKM (karena bersifat “public goods”); (2) membiayai kesehatan bagi penduduk miskin (subsidi premi JKN); (3) membiayai tata-kelola (penyusunan kebijakan, regulasi, dan NSPK); serta (4) pengadaan fasilitas kesehatan di wilayah yang tidak diminati swasta. Artinya, pemerintah tidak perlu membiayai pembangunan fasilitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh (klinik, RS, laboratorium). Untuk membiayai hal-hal lain, perlu alternatif sumber pembiayaan lain, seperti diuraikan berikut ini.

5.2.1. Pembiayaan swasta untuk pembangunan fasilitas kesehatanMembuka peluang yang luas bagi swasta untuk melakukan investasi fasilitas pelayanan kesehatan seperti klinik, RS dan laboratorium medis. Pemerintah membuat pemetaan dimana klinik dan RS tersebut dibutuhkan. Swasta diberi kemudahan administrasi dan insentif lain untuk membangun RS dan klinik tersebut. Di beberapa daerah, pihak swasta membangun fasilitas kesehatan di atas lahan yang disediakan oleh pemerintah daerah setempat.

5.2.2. Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)Pemerintah (pusat dan daerah) bisa bekerja sama dengan Badan Usaha membangun RS yang disebut KPBU (Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha). Ini akan meringankan beban pemerintah membiayai investasi pelayanan kuratif (RS) sehingga bisa lebih fokus untuk membiayai program-program UKM.

5

5.2.3. Penerapan “cost sharing” (urun biaya) sesuai kemampuan membayar rumah tangga Salah satu indikator pencapaian jaminan kesehatan yang disebutkan oleh badan-badan dunia (WHO, dll) adalah tidak adanya “cost sharing” pada saat berobat (“no out of pocket payment at the service point”). Pembayaran kepada PPK semuanya harus ditanggung “payer”, di Indonesia adalah JKN/BPJS. Dikhawatirkan “cost sharing” bisa disalahgunakan oleh PPK dan menghambat peserta untuk berobat secara dini apabila sedang tidak punya dana yang “liquid” untuk berobat. Namun, sejauh ini belum ada studi mendalam untuk menelaah kemampuan membayar atau “Ability to pay” (ATP) rumah tangga untuk membayar pelayanan kesehatan. Menghilangkan urun biaya memang membantu peserta tetapi kurang tepat dari prinsip “memandirikan masyarakat dan bertanggung jawab” dalam memelihara kesehatan, sejauh urun biaya tersebut ada dalam skala kemampuan membayar.

Oleh sebab itu, disarankan dalam waktu segera melakukan analis tentang “ATP”. Skala ATP akan menunjukkan “threshold” urun biaya yang masih bisa diterapkan tanpa menghambat peserta untuk berobat dan tanpa menyebabkan “pemiskinan” (impoverishment). Analisis tersebut akan memberi gambaran ATP menurut tingkat ekonomi rumah tangga dan ATP menurut wilayah. Hasilnya berguna untuk menerapkan kebijakan urun biaya sesuai dengan kaidah ekonomi yang realistis. Analisis ATP ini berguna untuk menerapkan urun biaya khususnya untuk pelayanan di FKRTL (RS), misalnya terbatas pada pelayanan rawat jalan saja. Selain akan meringankan beban JKN/BPJS, kebijakan ini juga membangun “kemandirian dan rasa bertanggung jawab” dikalangan peserta.

5.3. Meningkatkan pembiayaan UKMHampir semua indikator kesehatan masyarakat memerlukan intervensi UKM, termasuk SPM, target-target SDGs, program kesehatan prioritas lain seperti KB, filaria, diare, DBD, masalah gizi, dll. Indikator kesehatan masyarakat tersebut - walaupun mengalami perbaikan, tetapi tidak signifikan. Kurang berhasilnya UKM bisa menyebabkan biaya pengobatan (UKP) bertambah besar. Oleh sebab itu mencukupi biaya untuk UKM adalah isu strategis dan sangat mendesak.

Page 6: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

6

5.3.1. Menaikkan Dana BOK dalam DAK-nonfisikDimuka sudah disampaikan bahwa jika cukai rokok dinaikan (57% HJE), akan diperoleh tambahan pendapatan pajak sebesar 50,1 triliun. Jumlah ini cukup besar dibandingkan alokasi anggaran UKM saat ini (dana BOK 2017 Rp 4,8 triliun). Pertanyaannya, berapa besar yang perlu dialokasikan untuk UKM dan bagaimana menjamin bahwa tambahan alokasi tersebut akan dipergunakan secara efektif dan efisien. Berikut ini adalah kebijakan yang disarankan untuk menjawab pertanyaan tersebut:1) Estimasi kebutuhan biaya UKM (melalui costing dan atau pelaksanaan perencanaan penganggaran

berbasis kinerja)a. Analisis biaya (costing) semua program-program UKM dengan sampel daerah yang representatif

sesuai prinsip analisis biaya secara ekonomi.b. Memperkuat daerah (Dinas Kesehatan Kab/Kota) melakukan “Perencanaan dan penganggaran

berbasis kinerja” sesuai PP-21/2004 dan Permendagri-21/2011). Perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja tersebut akan menghasikan data empiris dari banyak daerah tentang kebutuhan anggaran untuk UKM ditingkat daerah.

2) Mengadakan elemen “jasa pelayanan” dalam BOK Dana BOK dipergunakan oleh Puskesmas untuk UKM. Staf Puskesmas selama ini mendapat jasa

pelayanan dari dana kapitasi yang dibayarkan oleh BPJS. Menurut UU-40/2004, dana kapitasi dipergunakan untuk pelayanan perorangan (UKP) tidak untuk UKM. Jadi sebetulnya pembagian jasa pelayanan kepada tenaga pelaksana UKM di Puskesmas tidaklah tepat. Oleh sebab itu, disarankan agar dalam estimasi alokasi BOK (DAK-nonfisik), dimasukkan komponen jasa pelayanan berdasarkan capaian kinerja UKM. Indikator-indikator kinerja tersebut bisa dikembangkan. Hal ini dilakukan untuk mendorong peningkatan kinerja UKM (imunisasi, penimbangan, fogging, kunjungan rumah, active case finding kasus TB, dll). Selain itu, bekerja sebagai tenaga UKM (Kesmas) harus mendapat penghargaan yang sama seperti UKP.

3) Afirmative policy untuk transfer dana BOK ke Puskesmas DTPK Disarankan untuk menyalurkan dana BOK dari pusat langsung ke Puskesmas di DTPK (sekitar 2770

Puskesmas), tidak melalui DAK-nonfisik. Hal ini disebabkan karena: a) penyaluran melalui DAK-nonfisik sering terlambat karena menunggu penetapan anggaran daerah; b) BOK adalah anggaran operasional untuk kegiatan rutin UKM yang jadwalnya tidak boleh ditunda (jadwal imunisasi, ANC di Posyandu, penimbangan, dll); dan c) akan mempercepat pemerataan pelayanan UKM secara nasional. Regulasi yang ada belum melegitimasi transfer langsung ke Puskesmas. Sebelum 2016, BOK disalurkan melalui mekanisme TP (Tugas Perbantuan). Mekanisme TP tidak tepat untuk BOK, karena TP adalah bantuan pusat untuk infrastruktur. Oleh sebab itu, perlu disusun peraturan baru yang memungkinkan transfer dana BOK langsung ke Puskemas di DTPK. Regulasi semacam itu sudah dikembangkan untuk penyaluran dana desa dari pusat ke desa-desa.

4) Kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan manfaat BOK Menambah dana BOK untuk UKM tidak serta merta mendorong kinerja UKM. Beberapa hal berikut

perlu dilakukan agar dana BOK tersebut dipergunakan secara efektif dan efisien, yaitu: a) melengkapi tenaga pelaksana UKM di Puskesmas sesuai standar (PMK-75/2007), termasuk tenaga kesehatan masyarakat, sanitarian, dan tenaga gizi. Sekarang banyak Puskemas tidak memililki tenaga-tenaga tersebut. Dana BOK tidak akan terserap tanpa adanya tenaga-tenaga tesebut; b) percepatan keputusan realisasi anggaran daerah yang perlu di dukung dengan peraturan Kemendagri tentang tenggat waktu realisasi anggaran daerah; dan c) memperkuat Dinas Kesehatan untuk memberikan bimbingan dan pengawasan kepada Puskesmas dalam merencanakan, melaksanakan dan menyusun laporan penggunaan dana BOK.

Page 7: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

5.3.2. Pemanfaatan dana desa untuk UKMDana desa adalah anggaran pemerintah yang ditransfer ke setiap desa (75.000 desa). Namun pemanfaatannya ditentukan oleh masyarakat desa melalui “Survey Mawas Diri” (SMD) untuk menentukan kebutuhan masyarakat desa setempat dan disusul dengan “Musyawarah Masyarakat Desa” (MMD) untuk menentukan solusinya. Di beberapa daerah sudah dilakukan pemanfaatan dana desa untuk kesehatan; termasuk misalnya membangun sarana air bersih dan jamban, dana desa untuk memantau anak stunting yang pola-asuhnya bermasalah, bantuan renovasi untuk rumah sehat (lantai, ventilasi, dll), serta mengontrak tenaga kesehatan untuk bekerja di Puskesmas.

5.3.3. Dana CSR untuk program UKMPerlu didorong agar perusahaan swasta memasukkan kegiatan UKM dalam CSR masing-masing. Misalnya pertemuan atau seminar tentang “berhenti merokok”, kesehatan reproduksi, dll.

5.4. Meningkatkan sustainabilitas pembiayaan JKN/BPJS Defisit keuangan JKN/BPJS sejak tahun pertama (2014) terus meningkat dari tahun-ketahun dalam jumlah besar akan mengancam “financial sustainability” JKN/BPJS. Defisit terjadi karena “cash inflow” lebih kecil dari pada “cash outflow”. Atas telahaan di kedua aspek keuangan tersebut, berikut disampaikan beberapa rekomendasi untuk memperkuat aspek finansial JKN/BPJS.

5.4.1. Revisi tarif INA-CBGsTarif yang secara ekonomi realistis adalah kalau didasarkan pada (i) standar produk, (ii) costing dan (iii) margin diatas cost yang acceptable/realistis. Untuk itu perlu dilakukan: 1) perumusan alur klinik (clinical pathway) yang secara formal dilegitimasi oleh pemerintah (Kemenkes); 2) analisis biaya oleh pihak ketiga; dan 3) penentuan tarif sesuai kriteria pengelompokkan INA-CBGs yang berlaku.

5.4.2. Rekalkulasi premi (aktuaria baru)Segera melakukan perhitungan aktuaria atas dasar pola utilisasi selama 4 tahun terakhir dan estimasi biaya hasil analisis biaya seperti disebutkan diatas.

5.4.3. Intensifikasi pengumpulan premiSelama 4 tahun yang lalu terjadi “outstanding” pembayaran/pengumpulan premi oleh peserta non-PBI dalam jumlah besar (10.800 peserta di 2017 dan 14.000 peserta di tahun 2018). BPJS perlu mencari berbagai cara untuk meningkatkkan kepatuhan peserta (non PBI) untuk membayar premi tepat waktu.

5.4.4. Menerapkan urun biaya Urun biaya bisa diterapkan untuk pelayanan FKRTL yang tidak bersifat katastrofik, misalnya untuk rawat jalan. Urun biaya ini disesuaikan dengan hasil analisis kemampuan membayar (ATP). Pilihan jenis urun biaya misalnya (i) urun biaya penuh sesuai tarif FKRTL, (ii) “deductible” yaitu urun biaya sampai batas tertentu dan (iii) “co-insurance” yaitu urun biaya sebesar persen (%) tertentu dari tarif FKRTL).

5.4.5. Mengembangkan sistem pembayaran berbasis kinerja (Strategic purchacing)Pembayaran strategis adalah pembayarann yang dikaitkan dengan kinerja pelayanan. Untuk FKTP sudah dikembangkan dan diterapkan pembayaran kapitasi berbasis komitmen kinerja dengan indkator (i) angka kontak, (ii) batasan % rujukan pelayanan non-spesialistik, (iii) kunjungan rumah, dan (iv) program pelayanan bagi peserta dengan penyakit khronis (prolanis). Sistem pembayaran berbasis kinerja juga perlu segera dikembangkan untuk pembayaran pelayanan FKRTL. Indikator kinerja dipilih yang strategis (berkaitan dengan mutu dan efisiensi) dan memenuhi kriteria “SMART” (Specific, Measurable, Accurate, Reliable, dan Timely).

7

Page 8: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

5.4.6. Mengintensifkan pelaksanaan audit medis dan utilization review (UR)Audit medis diperlukan untuk meningkatkan mutu, efisiensi dan mencegah fraud. Unit yang mengendalikan dan memantau pelaksanaan audit medik oleh fasilitas kesehatan adalah TKMKB (Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya) yang bersifat independen. Dalam tahun-tahun mendatang TKMKB perlu diberdayakan untuk melaksanakan fungsinya; yaitu (i) memperkuat kelembagaannya di daerah (provinsi dan kabupaten/kota), (ii) meningkatkan kemampuan teknis TKMKB, dan (ii) kecukupan anggaran TKMKB.

Daftar Pustaka1. UU-36/2009 tentang Kesehatan2. Perpres-72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional3. Ascobat G: Naskah Akademik RPP Pembiayaan Kesehatan. PJK Kemenkes 20174. Hasil NHA 2012 – 2016. PPJK Kemenkes dan FKMUI (2018) 5. Hasil DHA di beberapa kabupaten/kota: PPJK Kemenkes dan PKEKK FKMUI (2015) 6. WHO (2000) World Health Report: Health System Function7. Kemendagri: Data APBD 2015 s/d 2017 dari 514 Kabupaten dan Kota8. Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan9. TCSC IAKMI (2010): Peningkatan Cukai Tembakau dan Dampak Perekonomian 10. UU-23/2014 tentang Pemerintahan Daerah11. Permenkes tentang BOK dan DAK-nonfisik (sejak 2010 s/d 2017)12. PP-2/2018 tentang Standar Pelayanan Minimum13. UU-40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional14. WHO (2006): Spending Target for Health: No Magic Number15. PMK-75/2016 tentang Puskesmas16. WHO/SEARO (2016): Assessment of SDGs achievement in the regions17. World Health Report (2010): Health Financing, Pathway Toward Universal Health Coverage 18. WHO (2010) World Health Report: Health System Building Blocks19. World Bank (1993): World Development Report 1993: Investing in Health 20. Permendagri 26/2006: tentang perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja

8

Page 9: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

Ringkasan Isu Strategis dan Rekomendasi KebijakanEfektivitas Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9

Pernyataan :Ringkasan kebijakan ini difasilitasi oleh BAPPENASnamun isi dan materi sepenuhnya tanggung jawab penulis.

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIJAKAN INDIKATOR/TARGET • Kebutuhan biaya

kesehatan terus meningkat, jumlah penduduk yang memerlukan subsidi cukup besar, beban pemerintah semakin besar,

• Bantuan luar negeri untuk vaksin dan ATM akan segera dihentikan (GAVI, Global Fund)

Meningkatkan kemampuan dan menurunkan beban fiskal pemerintah untuk membiayai kesehatan: • Menaikan cukai rokok dan “earmarked”

untuk kesehatan • Memberlakukan pajak terhadap makanan

berpemanis (sugary foods) • Memberi peluang/insentif bagi swasta

untuk membangun fasilitas kesehatan • KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan

Usaha) membangun faskes, utamanya RS • Menerapkan urun biaya (cost sharing)

penggunaan rawat jalan RS

• Regulasi kenaikan cukai rokok bertahap untuk mencapai 57% HJE

• Peraturan tentang pajak terhadap produk makanan berpemanis (sugary foods)

• Kebijakan insentif bagi swasta membangun faskes

• Pelaksanaan KPBU untuk membangun faskes

• Peraturan tentang urun biaya pelayanan RS, atas dasar analisis ATP (ability to pay)

• UKM sangat menentukan

kinerja pencapaian target RPJMN, SDG, SPM, program prioritas lainnya

• Anggaran UKM kecil dan realisasinya sering terlambat

• *Meningkatkan alokasi untuk BOK atas dasar perhitungan kebutuhan anggaran UKM yang disusun daerah melalui “Perencanan dan penganggaran berbasis kinerja”

• Mengadakan elemen “jasa pelayanan” dalam BOK

• “Afirmative policy” alokasi BOK langsung ke Puskesmas di DTPK

• Menjamin ketersediaan SDM kesmas di Puskesmas untuk menyerap dana BOK yang ditingkatkan

• Mendorong dana CSR untuk UKM

• Semua daerah melakukan estimasi kebutuhan anggaran UKM (SPM dan jenis UKM lainya) melalui proses “Perencanaan dan Penganggaran Berbasis Kinerja” sesuai ketentuan

• Regulasi tentang elemen “jasa pelayanan” dalam BOK

• Regulasi penyaluran langsung dana BOK dari pusat ke Puskesmas di DTPK

• Kebijakan penempatan SDM oleh pusat di Puskesmas DTPK

• Regulasi tentang insentif bagi perusahaan melaksanakan CSR untuk UKM

• Pembiayaan JKN – sebagai tulang punggung pembiayaan UKP – mengalami defisit yang besar dan cenderung terus meningkat

• OOP (out of pocket payment) cukup tinggi

• Revisi tarif INACBGs • Rekalkulasi premi JKN/BPJS melalui

proses aktuaria • Intensifikasi pengumpulan premi • Menerapkan urun biaya (cost sharing) • Mengembangkan “strategic purchasing”

untuk membayar klaim RS • Meningkatkan pelaksanaan audit medis di

RS

• Percepatan penyusunan clinical pathway pelayanan RS, melakukan “costing” dan revisi tarif INACBGs (cost based)

• Aktuaria untuk revisi premi JKN dilaksanakan

• Peraturan tentang pembayaran klaim RS berbasis kinerja

• Peningkatan kapasitas TKMKB dan RS untuk melakukan UR dan audit medis

Disparitas akses dan mutu pelayanan kesehatan antar wilayah

Anggaran untuk membangun faskes di daerah terpencil yang tidak diminati swasta

DAK untuk membangun faskes (fisik dan SDM) di daerah terpencil

Kapasitas fiskal daerah relatif kecil untuk melaksanakan urusan wajib dan program prioritas lain di daerah

• Melakukan analisis kemampuan fiskal daerah membiayai urusan wajib dan program prioritas lainnya

• Mengatur peran penyeimbang (equalizing role) APBN untuk membantu daerah yang kapasitas fiskalnya tidak cukup

• Peta kemampuan fiskal daerah dibandingkan kebutuhan

• Kebijakan tentang bantuan APBN untuk daerah dengan kemampuan fiskal rendah

Page 10: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

NOTE

Page 11: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

__________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________

NOTE

Page 12: EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN KESEHATAN DAN JAMINAN …

www.bappenas.go.id