Efektivitas Badan Kehormatan DPR

10
1 BAB I PENDAHULUAN Sesuai amanat UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk), DPR memiliki alat kelengkapan yang baru yaitu Badan Kehormatan (BK). UU Susduk ini mengatur keberadaan Badan Kehormatan DPR dalam pasal 98 ayat 2 huruf (g). Badan kehormatan dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan pada permulaan Tahun Sidang. Di dalam keanggotaaannya, Badan Kehormatan berjumlah 13 (tiga belas) orang. Tugas pokok Badan Kehormatan DPR adalah: 1. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR, karena: a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota, b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Pemilihan Umum, c. melanggar sumpah atau janji, kode etik, dan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota, d. atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. 2. Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi. 3. Menyampaikan keputusan kepada Pimpinan DPR. Badan Kehormatan mempunyai wewenang untuk memanggil anggota DPR yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan, dan memanggil pelapor, saksi, dan atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Dalam pasal 85 ayat 2

description

Sesuai amanat UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk), DPR memiliki alat kelengkapan yang baru yaitu Badan Kehormatan (BK). UU Susduk ini mengatur keberadaan Badan Kehormatan DPR dalam pasal 98 ayat 2 huruf (g). Badan kehormatan dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan pada permulaan Tahun Sidang. Di dalam keanggotaaannya, Badan Kehormatan berjumlah 13 (tiga belas) orang.

Transcript of Efektivitas Badan Kehormatan DPR

Page 1: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

1

BAB I

PENDAHULUAN

Sesuai amanat UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,

DPD dan DPRD (selanjutnya disebut UU Susduk), DPR memiliki alat kelengkapan yang baru yaitu

Badan Kehormatan (BK). UU Susduk ini mengatur keberadaan Badan Kehormatan DPR dalam

pasal 98 ayat 2 huruf (g).

Badan kehormatan dibentuk oleh DPR sebagai alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.

DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan menurut perimbangan dan

pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR, dan pada

permulaan Tahun Sidang. Di dalam keanggotaaannya, Badan Kehormatan berjumlah 13 (tiga

belas) orang.

Tugas pokok Badan Kehormatan DPR adalah:

1. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota DPR, karena:

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai

anggota,

b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang tentang Pemilihan Umum,

c. melanggar sumpah atau janji, kode etik, dan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai

anggota,

d. atau melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam

ketentuan perundang-undangan.

2. Menetapkan keputusan hasil penyelidikan dan verifikasi.

3. Menyampaikan keputusan kepada Pimpinan DPR.

Badan Kehormatan mempunyai wewenang untuk memanggil anggota DPR yang

bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran

yang dilakukan, dan memanggil pelapor, saksi, dan atau pihak-pihak lain yang terkait untuk

dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain. Dalam pasal 85 ayat 2

Page 2: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

2

huruf (c) UU Susduk ditegaskan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan apabila melanggar

sumpah atau janji, kode etik DPR, dan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR

berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPR.

Badan Kehormatan DPR berhak menjatuhkan sanksi bagi anggota DPR yang melakukan

pelanggaran. Tata cara menjatuhkan sanksi diatur dalam Peraturan tentang Tata Tertib DPR.

Untuk menyelidiki sebuah pengaduan, Badan Kehormatan berwenang menggelar sidang

dengan menghadirkan pengadu, saksi, dan anggota DPR yang diadukan. Pasal 62 peraturan

tersebut menegaskan, setelah melakukan penelitian dan mempertimbangkan pengaduan,

Badan Kehormatan bisa menjatuhkan sanksi kepada anggota DPR. Saknsinya bisa berupa

teguran tertulis, pemberhentian anggota DPR dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat

kelengkapan DPR, atau pemberhentian sebagai anggota DPR.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa Badan Kehormatan DPR mempunyai fungsi

pengawasan terhadap kinerja para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan

tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat, dan dalam menjaga citra mereka sebagai

anggota dewan yang terhormat.

Page 3: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

3

BAB II

EFEKTIVITAS BADAN KEHORMATAN DPR

Kinerja Badan Kehormatan DPR RI pada 2008 dapat dikatakan buruk. Hasil tidak

memuaskan ini disebabkan gagalnya Badan Kehormatan dalam mencegah dan memperbaiki

citra anggota DPR yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka lakukan. Terungkapnya

beberapa kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan anggota

DPR menunjukkan bahwa kontrol internal di DPR tidak berfungsi efektif. Belum lagi kasus-kasus

pelanggaran nilai moral dan kode etik lain seperti perselingkuhan, pelecehan seksual, jalan-

jalan ke luar negeri, adanya anggota DPR yang mendapatkan dana operasional dari pihak ketiga

dalam menjalankan fungsinya, maupun dugaan gratifikasi.

Badan Kehormatan merupakan ujung tombak yang vital untuk menghindari kekuasaan

DPR dari berbagai bentuk penyimpangan, tapi nyatanya Badan Kehormatan tidak mampu

menjalankan fungsinya sebagai pengawas internal DPR. Ketidakmampuan Badan Kehormatan

dalam menjaga citra anggota DPR dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain:

1. Lemahnya kerangka yuridis Badan Kehormatan.

Badan Kehormatan selama ini dikerangkakan oleh tata tertib DPR yang mengekang.

Posisi Badan Kehormatan diset sebagai pengawas internal yang pasif karena tidak

wewenang untuk menjalankan kerja-kerja inisiatif. Dalam tata tertib DPR, Badan

Kehormatan baru dapat bekerja jika dua syarat telah dipenuhi, yaitu adanya laporan

pengaduan dari masyarakat atas dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR, dan jika ada

perintah dari pimpinan DPR.

Sepanjang kedua syarat itu tidak dimiliki, Badan Kehormatan tidak dapat bertindak

apapun meski pelanggaran kode etik itu dilihat atau diketahui langsung oleh Badan

Kehormatan. Hal itu membuat fungsi pencegahan maupun penindakan menjadi tidak

berjalan sama sekali.

Page 4: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

4

2. Posisi Badan Kehormatan tidak independen.

Keanggotaan Badan Kehormatan yang dipilih dari anggota DPR sendiri menyulitkan

Badan Kehormatan untuk menjalankan fungsi pengawasan secara mandiri tanpa intervensi.

Pasal 57 tata tertib DPR mengenai pengangkatan anggota Badan Kehormatan mengatur soal

wewenang besar bagi fraksi untuk mengganti sewaktu-waktu anggotanya yang ditempatkan

di Badan Kehormatan.

Minimnya independensi dan kondisi yang rentan campur tangan fraksi membuat

keputusan Badan Kehormatan sering tebang pilih. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran

kode etik yang melibatkan partai berkuasa, Badan Kehormtan sulit untuk bersikap adil. Tapi

bagi anggota DPR yang posisinya hanya sebagai anggota saja, Badan Kehormatan dapat

mengambil putusan yang besar, bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR.

Contohnya adalah dengan membandingkan kasus anggota DPR Azzidin yang

dilaporkan ke Badan Kehormatan karena kasus surat kop Partai Demokrat yang dikirimkan

ke Konsul Haji Di Jeddah, berkaitan dengan percaloan pemondokan haji dankatering. Hanya

dalam waktu 6 minggu putusan sudah dibuat. Padahal bukti yang dilaporkan terbatas

karena hanya berupa kutipan di media masa.

Sementara dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono terkait dengan safari

Ramadhan yang dilakukannya, bukti yang disampaikan sudah sangat jelas namun Badan

Kehormatan justru membekukan kasus tersebut. Badan Kehormatan menyatakan tidak ada

persoalan dalam kasus Agung karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari

3 daerah pada saat Agung bersafari.

3. Kaburnya pengertian kode etik di lingkungan DPR.

Di DPR tidak ada definisi yang konkret dan operasional atas apa yang disebut sebagai

pelanggaran kode etik. Menurut ketentuan tata tertib DPR, yang dimaksud sebagai

pelanggaran kode etik identik dengan pengertian hukum mengenai pelanggaran pidana. Hal

itu menyebabkan Badan Kehormatan terkesan harus menunggu proses hukum bagi anggota

DPR diputus oleh pengadilan terlebih dahulu sebelum memutuskan sanksi.

Page 5: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

5

Contohnya adalah kasus dugaan suap Bank Indonesia yang melibatkan semua

anggota Komisi IX DPR RI periode 1999–2004. Badan Kehormatan tidak dapat menjatuhkan

sanksi pada anggota DPR yang terlibat sampai putusan pengadilan dijatuhkan pada mereka.

Badan Kehormatan seharusnya secara aktif menyikapi berbagai laporan dengan

mengambil langkah meminta klarifikasi dari anggota DPR yang sedang disoroti berkaitan

dengan suatu kasus. Badan Kehormatan yang tidak inisiatif justru akan membuat citra anggota

DPR semakin terpuruk. Ketidakaktifan Badan Kehormatan seakan membiarkan anggota DPR

melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib atau kode etik DPR. Hal ini menyebabkan

kinerja Badan Kehormatan menjadi tidak efektif.

Agar kinerjanya lebih efektif, Badan Kehormatan harus lebih inisiatif, seperti

membentuk tim untuk kasus-kasus tidak etis DPR, karena sebenarnya tidak ada larangan untuk

melakukan hal tersebut, seperti tercantum dalam Tata Tertib DPR (pasal 60). Badan

Kehormatan bahkan bisa memberikan masukan untuk perubahan Tata Tertib DPR jika dirasa

kurang mendukung kinerjanya, apalagi peran Badan Kehormatan adalah untuk meningkatkan

citra DPR di mata publik.

Badan Kehormatan harus mulai menjalin kerja sama yang baik dengan instansi terkait,

misalnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyaknya anggota DPR yang diseret ke

pengadilan oleh KPK sebenarnya adalah prestasi yang luar biasa, namun hal itu dianggap Badan

Kehormatan sebagai upaya merusak nama baik DPR. Hal itu memang cukup membuat malu

Badan Kehormatan, bukan hanya karena cukup banyak anggota DPR yang terlibat korupsi, juga

karena Badan Kehormatan jelas-jelas tidak mampu menjalankan fungsi pengawasannya.

Badan Kehormatan pun menjadi semakin malu lagi setelah Slank ditunjuk KPK menjadi

Duta Anti Korupsi, dan menyanyikan lagu mereka yang berjudul Gosip Jalanan pada April 2008

di depan gedung KPK. Penggalan lirik lagu Gosip Jalanan menyinggung Badan Kehormatan. Lirik

lagu tersebut berbunyi:

Apa bener ada mafia pemilu

Entah gaptek apa manipulasi data

Ujungnya beli suara rakyat

Page 6: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

6

Mau tau gak mafia di senayan

Kerjanya tukang buat peraturan

Bikin UUD ujung-ujungnya duit

Badan Kehormatan yang tidak terima dengan lirik lagu Gosip Jalanan, sempat berniat

menggugat Slank karena telah mencemarkan nama baik DPR. Namun akhirnya gugatan itu tidak

jadi dilakukan bersamaan dengan mencuatnya kasus suap yang dilakukan oleh anggota Komisi

IV DPR RI dari Fraksi PPP, Al Amin Nur Nasution, dalam alih fungsi hutan lindung di Kabupaten

Bintan, Kepulauan Riau.

Lagu Slank “Gosip Jalanan” ada benarnya juga. Karena tidak hanya Al Amin Nasution,

Bulyan Royan, anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR) juga ditangkap

KPK karena diduga menerima suap atau gratifikasi senilai US$ 66 ribu dan 5.500 euro terkait

pengadaan kapal patroli di Ditjen (Direktorat Jenderal) Perhubungan Laut. Belum lagi kasus

yang melibatkan anggota Dewan dalam aliran dana dari Bank Indonesia. Dalam kasus ini, KPK

menahan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Golkar, Antony Zeidra

Abidin dan Hamka Yandhu. Ada juga anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sarjan

Taher, ditahan KPK dalam kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan bakau menjadi Pelabuhan

Tanjung Api Api di Kabupaten Banyuasin, Sumatra Selatan. Ditambah lagi kasus Saleh Djasit,

Noor Adenan Razak, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Kasus-kasus tersebut tidak saja mencoreng institusi DPR secara kelembagaan, namun

juga Badan Kehormatan yang tidak becus dalam melakukan fungsinya. Jangankan mengawasi

anggota DPR dari tindak korupsi, mengawasi kehadiran anggota DPR dalam sidang saja tidak

bisa. Banyak sidang-sidang DPR yang tidak mencapai kuota 2/3 karena anggotanya banyak yang

bolos sidang, atau sekedar tanda tangan absen lalu entah menghilang ke mana. Ada juga yang

datang tapi kerjanya cuma main HP, baca koran, atau tertidur saat sidang, sampai-sampai

ditegur dan membuat marah Presiden SBY.

Lalu di mana efektivitas Badan Kehormatan menjadi patut dipertanyakan. Keberadaan

Badan Kehormatan menjadi tidak ada artinya jika masyarakat tidak lagi percaya pada wakilnya.

Saat seharusnya Badan Kehormatan dapat menjaga citra anggota DPR, namun yang terjadi

Page 7: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

7

adalah jatuhnya kehormatan anggota DPR, maka kinerja Badan Kehormatan tidaklah lagi

efektif.

Untuk itulah perlu adanya revitalisasi Badan Kehormatan. Dari masalah-masalah yang

ada, di masa depan Badan Kehormatan perlu ditata ulang. Hal ini penting untuk menghasilkan

pola pengawasan yang efektif. Khusus untuk isu legal framework, Badan Kehormatan harus

diset sebagai lembaga pengawas anggota DPR yang memiliki wewenang proaktif dalam

menjalankan tugasnya. Kewajiban atau syarat adanya laporan pengaduan masyarakat dan

perintah dari pimpinan DPR sudah semestinya dihapus.

Badan Kehormatan juga perlu diposisikan independen dengan memasukkan unsur

masyarakat dalam komposisi keanggotaan Badan Kehormatan. Mengingat tugas dan fungsi DPR

bukan seperti profesi lain yang membutuhkan kecakapan spesifik, maka tidak ada hambatan

teoretis maupun praktis untuk menempatkan representasi publik sebagai anggota Badan

Kehormatan.

Selain itu, anggota DPR terpilih pada Pemilu 2009 perlu mereformulasi definisi

pelanggaran kode etik yang lebih spesifik, operasional, dan berorientasi pada pencegahan. Apa

yang disebut sebagai kode etik tidaklah sama dengan pelanggaran pidana. Karena sifatnya

mencegah, pengertian pelanggaran kode etik adalah keadaan di mana anggota DPR melakukan

sesuatu yang berpotensi melahirkan perbuatan pidana. Jadi tindakan tidak hanya diambil ketika

sudah terjadi tindak pidana. Segala sesuatu yang dapat memperburuk citra DPR di mata publik

adalah pelanggaran kode etik, dan harus diberi sanksi.

Perubahan Badan Kehormatan harus difokuskan pada penyingkiran hambatan

prosedural ataupun politik dalam pemrosesan indikasi pelanggaran tata tertib dan kode etik

DPR. Badan Kehormatan harus lebih proaktif dalam menyikapi isu yang berkembang di publik

ataupun laporan masyarakat mengenai indikasi pelanggaran kode etik anggota DPR. Karena

itulah Badan Kehormatan harus menyusun strategi dan sistem pengawasan yang efektif

terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi DPR.

Mekanisme pertanggungjawaban publik atas laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan

Badan Kehormatan juga harus dirumuskan formatnya. Ini penting untuk mencegah timbulnya

Page 8: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

8

interpretasi publik yang justru akan mengurangi nilai keabsahan keputusan Badan Kehormatan

di mata publik.

Dengan berbagai perubahan tersebut diharapkan Badan Kehormatan dapat bekerja

secara lebih efektif untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi praktek politik yang etis dan

jauh dari penyimpangan kekuasaan dari para anggota dewan yang terhormat.

Page 9: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

9

BAB III

KESIMPULAN

Badan Kehormatan yang tugasnya adalah melakukan pengawasan pada kinerja anggota

DPR dan menjaga citra dan nama baik DPR, pada saat ini tidak melakukan tugasnya secara

efektif. Hal ini terbukti dengan banyaknya anggota DPR yang terlibat dalam kasus-kasus pidana

seperti suap dan korupsi, kasus-kasus pelanggaran kode etik seperti mangkir sidang, juga kasus-

kasus pelanggaran nilai-nilai moral dan sosial seperti perselingkuhan dan pelecehan seksual.

Untuk memaksimalkan kinerja Badan Kehormatan, diperlukan revitalisasi Badan

Kehormatan dengan memaksimalkan fungsinya sebagai badan pengawas DPR yang independen

dan secara politis tidak berpihak.

Page 10: Efektivitas Badan Kehormatan DPR

10

SUMBER

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/04/08/1/98787/inilah-lirik-lagu-slank-

pembuat-panas-dpr

http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=8631

http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=12855

http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=6&artid=12941

http://www.dpr.go.id/index.php?page=badan.badanKehormatan.Home

http://www.tempointeraktif.com/hg/topik/masalah/1418/