Efektifitas Pengadilan Pajak Dalam Menyelesaikan Sengketa Perpajakan Di Indonesia Menurut...
-
Upload
ariyan-bayu-wijaya -
Category
Documents
-
view
715 -
download
4
Transcript of Efektifitas Pengadilan Pajak Dalam Menyelesaikan Sengketa Perpajakan Di Indonesia Menurut...
1
EFEKTIFITAS PENGADILAN PAJAK DALAM MENYELESAIKAN
SENGKETA PERPAJAKAN DI INDONESIA MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Oleh : KMS HERMAN NPM : 5207220030
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penggolongan pajak menampilkan berbagai macam pajak. Penggolongan
objek pajak mengemukakan adnaya jenis pajak, yaitu pajak penghasilan, bea
materai, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa
dan atas barang mewah.1
Penggolangan dalam arti hukum pajak, maka hukum pajak tersebut
dibagi atas hukum pajak material dan hukum formal.
Penggolongan berdasarkan kwenangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah maka terdapat pajak Negara dan pajak daerah.
Selanjutnya pengertian pajak dalam hubungan dengan Negara adalah
bahwa pembangunan Nasional adalah kegiatan berlangsung terus menerus dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
baik material maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut
perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan.
Apabila membahas pengertian pajak banyak para ahli memberikan
batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh
Prof. Dr. P.J.A Andiani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso
Brottodihardjo, SH dalam buku ―Pengantar Ilmu Hukum Pajak‖ (1991 : 1).
Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang
gunanya adalah untuk (membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubungan dnegan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintah).
Dalam definisi di atas lebih memfokuskan pada fungsi budgeter dari
pajak, sedangkan pajak masih mempunyai fungsi lainnya yaitu fungsi
mengaturq. Apabila memperhatikan coraknya, dalam memberikan batasan
pengertian pajak dapat dibedakan dari berbagai macam ragamnya yaitu dari
segi ekonomi, segi hukum, segi social, dan lains ebagainya hal ini juga akan
mewarnai titik berat yang diletekkannya, sebagai contoh segi penghasilan,s egi
daya beli, namun kebanyakan lebih bercoraxk pada ekonomi.
B. Perumusan Masalah
1. Mengapa Pemerintah merasa perlu untuk mengubah Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (UU.17/1997) menjadi Pengadilan Pajak (UU.14/2002).
2. Apakah Pengadilan Pajak merupakan bagian dari system peradilan Tata
Usaha Negara TUN) di indonesia?
1 Mardiasmo, Perpajakan, (Yogya Andi Offset, 1991) Hlm.,181
2
3. Dilihat pada kasus-kasus yang telah diputuskan oleh Pengadilan Pajak
(2002-2008). Apakah pengadilan ini lebih efektif dari pada badan menurut
UU. Nomor 17/1997 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan perspektif atau gambaran mengenai bagaimana
peranan pengadilan pajak dalam menyelesaikan sengketa perpajakan yang
terjadi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimana persidangan yang telah dilakukan di dalam
rangka upaya meningkatkan kualitas peradilan yang diselenggarakan di
pengadilan pajak.
3. Untuk menunjukkan bagaimana efektivitas pengadilan pajak dalam
menyelesaikan sengketa di Indonesia dewasa ini.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini akan semakin menambah wawasan tentang praktek-praktek
pelaksanaan hukum pajak yang ada dalam masyarakat dan mendorongd
untuk lebih mendalami penghayatan tentang teori-teori ilmu pengetahuan
hukum pajak
2. Manfaat Praktis
Materi penulisna tesis ini adalah memberikan pengetahuan tentang
perbuatan nyata yang merupakan peristiwa hukum yang terjadi dalam
masyarakat luas.
E. Tinjauan Pustaka
Sengketa dan tindak pidana pajak diselesaikan oleh lembaga, badan dan
pengadilan pajak.
Institusi Pertimbangan Pajak (IPP) secara historis dirintis sejak zaman
Hindia Belanda yaitu sebelum kemerdekaan. Lembaga ini berfungsi
menyelesaikan sengketa pajak pada waktu itu2.
Kemudian dengan beralihnya kekuasaan pemerintah dan Belanda kepada
Indonesia sebagai hasil kemerdekaan, maka terjadi putus kait (missing link) di
bidang peradilan pajak. barulah pada tahun 1959 dengan undang — undang
Nomor 5 tahun 1959 dibentuk majelis pertimbangan ajak (MPP).3
Untuk memberikan norma yang lebih jelas dan kewenangan yang lebih
luas kepada instansi yang menyelesaikan sengketa pajak, maka dengan
undang-undang nomor 17 tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian
Sengketa Perpajakan (BPSP) yang kewenangannya meliputi masalah sengketa
pajak, pabean dan cukai.4
Pada tahun 2002 dengan Undang — undang nomor 14 tahun 2002
2 Kumariah dan All Purwito, Pengadilan Pajak (Jakarta ; Badan Penerbit Fakultas Hukum
Unibersitas Indonesia, 206) HIm. 37. 3 Kumariah, Rukiah dan Purwito, All ; Ibid. HIm. 38
4 Kumariah, Rukiah dan Purwito, Ali ; Ibid Hlm. 38-9
3
dibentuk Pengadilan Pajak atas dasar bertambahnya jumlah wajib pajak,
kesadaran aparat fiskus dalam melaksanakan tugasnya (good governance),
adanya dugaan dan pemerintah bahwa BPSP hanya dipakai untuk menunda
pelunasan pajak, dan dianggap bahwa semua wajib pajak adalah tidakjujur.5
F. Landasan Konseptual
1. Efektivitas diinterprestasikari sebagai suatu keberhasilan. Evaluasinya
adalah berhasil (efektif) atau gagal (tidak efektif), jika berhasil sejauh
mana keberhasilan tiu?
2. Evaluasi terhadap kualitas keberhasilan (efektivitas) pengadilan pajak
mengarah kepada apakah peradilan pajak dewasa ini telah merealisasikan
pengadaan hukum dibidang perpajakan yang adil?
3. Akses evaluasi adalah penelitian dan analisis terhadap input, output, dan
proses penyelesaian sengketa pajak dan tindak pidana perpajakan yang
berkaitan dengan kondisi intern dan faktor ekstern pengadilan pajak
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
G. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu yuridis
historis, serta menemukan hukum inconcerto.6
2. Bahan Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini merupakan data sekunder
yang diperoleh telaah pustaka. Data sekunder di bidang hukum (dipandang
dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan menjadi bahan-bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer, merupakan pustaka bisikan pengetahuan ilmiah
yang baru dan mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang
diketahui mengenai suatu gagasan.7
3. Pengumpulan Data
Pengwumpulan data dilakukan dnegan meneliti data mengenai
peraturan perundangan yang mengatur tentang ketentuan dan tata cara
persidangan di pengadilan pajak dan peraturan lain di bawahnya yang
berkaitan dnegan hal tersebut.
4. Analisa Data
Analisa data dilakukan secara analisis induktif. Prosesnya dimulai dari
poin-poin yang berupa norma hukum positif yang diketahui dan berakhir
pada penemuan asas-asas hukum dan selanjutnya doktrin-doktrin. Di
sampingd itu pula dilakukan analisis dari sudut filosofi dan social
ekonomi, guna memecahkan persoalan sebagaimana diketahui pada uraian
tersebut di atas .
5 Rukiah dan Purwito, Ali ; Ibid. Hlm., 41-42
6 Ronny Hanitijo Soemantri, Mctodologi Peneiitian Hukum, (Jakarta Ghalia Indonesia. 1982). Him. 9-10.
Bandingkan dengan Soeijono Soekanto dan Sri Mainudji, Peneiitian Hukum NormatifSelalu Tinjauan Singkat
, (Jakarta Rajawali Press, 1985), him. 1-30 7 Ibid. Hlm. 24
4
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan Tesis inia dalah
metode penelitian hukum sebagai berikut :
1. Data sekunder yang terdiri dari :
a. Bahan hukum primer
Yaitu bahan-bahan yang mengikat dalam hal ini adalah undang-
undang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dnegan penulisan
ini.
b. Bahan hukum sekunder
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
dalam hal ini penulis memperoleh hasil penelitian dan hasil karya
dari kalangan ahli hukum, dan lain-lain.
c. Bahan hokum tertier
Yaitu bahan hokum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hokum primer dna sekunder.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam Tesis inia dalah termasuk penelitian
yang bersifat deskriptif analisis, 8 Artinya, menggambarkan peraturan
yang berlaku seperti peraturan tentang pengadilan pajak serta peraturan
lainnya yang terkait.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data berupa
perundang-undangan, hasil penelitian, majalah dan dokumen.
b. Wawancara
Adapun data yang diperoleh melalui penelitian lapangan
dilakukan dengan wawancara. Dalam melakukan wawancara ini
terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaans ebagai pedoman
tanpa menutup kemungkinan untuk menambah variasi-variasi
pertanyaan9
4. Metode Analisis Data
Akhirnya seluruh data disortir dicari mana yang relevan dan
mana yang tidak relevan, kemudian dianalisis dnegan menggunakan
metode normative kualitatif.10
8 M. Aslam Sumhudi, Komposisi, Disain Riset, (Jakarta : Lembaga Penelitian Universitas Trisakti,
1986), hlm., 45-47. 9 Ronny Hanitijo Soemantri, op.cit.,hlm. 57
10 Ronny Hanitijo Soemantri, op.cit.,hlm. 57
5
H. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : Latar Belakang Penelitian, Rumusan
MAsalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Landasan Konseptual, Metode Penelitian, Sistematikan Penulisan.
BAB II SENGKETA PAJAK : Pengertian Sengketa Pajak, Hal-Hal yang
Terkait Dengan Sengketa Pajak, Kepabean dan Cukai, Pemeriksaan
Perpajakan dan Sengketa, Penyelesaian Sengketa.
BAB III TINDAK PIDANA PERPAJAKAN : Pengertian, Perlawanan
Terhadap Pajak, Menghindari Dir8i Dari Pajak, Mengelakkan
Pajak, Melalauikan Penyelesaian Tindak Pidana Dibidang
Perpajakan.
BAB IV PERADILAN DAN PENGADILAN PAJAK : A. Peradilan
Pajak, B. Pengadilan Pajak, Distribusi Pengadilan Pajak,
Pengadilan Pajak Menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002.
BAB V PENUTUP : Kesimpulan dan Saran
6
BAB II
SENGKETA PAJAK
A. Pengertian Sengketa Pajak
Dalam menjalankan kegiatan usaha (bisnis) sehari-hari, para pengusaha
tentu tidak terlepas dan pengawasan aparatur pemerintah sesuai bidang usaha
atau pekerjaannya masing-masing. Demikian juga aparatur pajak (fiskus) tentu
akan mengawasi semua pengusaha (termasuk orang pribadi) khususnya
pengawasan dalam rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Sebagai produk akhir dan pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan
surat ketetapan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar/SKPKB) atau kurang bayar tambahan (Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan/SKPKBT), lebih bayar (Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar/SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan Pajak Nihil-SKPN). Dari
ketiga kondisi ketetapan pajak tersebut yang paling tidak disukai oleh wajib
Pajak adalah kondisi kurang bayar, karena apa? Karena Wajib Pajak harus
membayar kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah
merasa benar ketika menyampaikan laporan perpajakannya setiap bulan atau
setiap tahun ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Surat ketetapan pajak yang
kurang bayar inilah yang sering kali menimbulkan sengketa atau perselisihan
antara Wajib Pajak dengan fiskus (aparatur pajak pemeriksa pajak).
Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga
bisa menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini bisa
terjadi apabila fiskus menertibkan SK.PLB dengan nilai lebih kecil dan nilai
SKPLB yang diharapkan Wajib Pajak.
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan sengketa pajak? Menurut
ketentuan Pasal I angka 5 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), yang dimaksud dengan sengketa
pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan Perundangan-undangan perpajakan,
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang
penagihan pajak dengan surat paksa.
Mengacu pada penelitian diatas, maka upaya hukum untuk
menyelesaikan sengketa yang dapat dilakukan oleh wajib Pajak adalah
keberatan, banding, gugatan dan peninjauan kembali. Upaya hukum keberatan
atas ketetapan pajak diajukan ke Direktorat Jenderal pajak. Sedangkan upaya
hukum banding dan gugatan diajukan ke Pengadialan Pajak. Khusus untuk
upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) diajukan ke Mahkamah Agung.
Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama peninjauan kembali (huruf
kecil) yang juga diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 UU KUP. Uraian selengkapnya masing-masing upaya hukum
tersebut adalah seperti dibawah ini.11
11
Wirawan. B, Ilyas dan Richard? : Hukum pajak (Jakarta Penerbit Salemba Empat, 2008 halaman
91-2
7
B. Hal-hal yang Terkait dengan Sengketa Pajak
1. Interaksi Wajib Pajak dan Fiskus.
Hal ini terjadi karena hak-hak dan kewajiban dan wajib pajak
berhubungan dengan tugas, fungsi dan kewenangan fiskus.
Pada praktek sehari-hari, implementasi dan aplikasi suatu perundang-
undangan dilaksanakan oleh para eksekutif yang diberikan wewenang
untuk membuat suatu keputusn atas temuan hasil pemeriksaan yang
berkaitan dengan perpajakan dan ketentuan yang pengaturannya
ditentukan oleh undang-undang. Didalam perpajakan, dikenal:
1. Kewanangan Administratif
Undang-undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
atau K.U.P. dimulai dan pasal 13, 14, 16, 17, 17A, 17B, 17C, 29, dan
36, membenikan wewenang kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Tagihan
Pajak, karena jabatan membetulkan, mengurangkan, menghapuskan
dan membatalkan pajak, melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan kewajiban perpajakan.
2. Kewenangan Penyidikan
Seperti disebutkan dalam pasal 38 dan 39 Undang-undang KUP,
bahkan menerapkan ketentuan pidana atas tidak disampaikannya surat
pemberitahuan, isi surat pemberitahuan tidak benar, tidak
mendaftarkan diri. Hal itu dilakukan baik kalau disengaja maupun
karena kealpaannya.
2. Awal dan Sengketa
Teijadinya Sengketa Pajak atau Bea dan Cukai diawali dengan
adanya ketidaksamaan presepsi atau perbedaan pendapat :12
1) Antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak (aparat Direktorat
Jenderal Pajak) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-pajak pusat
yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak, atau
2) Antara Wajib Pajak dengan Kepala Daerah Kepala Dinas Pendapatan
Daerah (Aparat Dinas Pendapatan Daerah) setempat (Propinsi
Kabupaten Kota) atas penetapan Pajak terutang untuk Pajak-pajak
daerah, atau
3) Antara Orang (perseorangan atau badan hukum) / Wajib Pajak dengan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai (aparat Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai) atas penetapan bea masuk, cukai, dan sanksi administrasinya,
serta Pajak Penghasilan Pasal 22 - Impor, Pajak Pertambahan Nilai -
Impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.
4)
C. Sengketa Pajak, Kepabeanan dan Cukai
Di bidang pajak, kepabean dan cukai sengketa terjadi dan dapat di
timbulkan oleh bebagai hal, tergantung dan isi peraturan perundang -
undangan yang dilanggar atau tingkat perbedaan perhitungan mengenai pajak,
bea masuk, cukai, atas penerapan klasifikasi barang antara Wajib Pajak dan
Fiskus dalam penetapannya. Perbedaan ini adalah sebagai hasil dan
pemeriksaan yang dilakukan. Sengketa pajak mengenal adanya sengketa yang
12
Atep Adya Barata : Memahami Prosedur di Pengadilan Pajak (Jakarta:?. LP3 AB-IBTA, 2002)
halaman 5
8
terjadi karena menurut fiskus apa yang diberitahukan tidak sesuai dengan
ketentuan seperti yang dibenitahukan tidak sesuai dengan ketentuan
perundang- undangan atau perhitungannya berseberangan dengan ketentuan
seperti yang telah diatur dalam akuntansi perpajakan. Sedangkan di bidang
kepabeanan, sementara ini masih terdapat dua hal yang dapat dijadikan pokok
sengketa, yaitu nilai pabean dan klasifikasi barang / tarif. Rancangan
amandemen undang - undang Kepabeanan merumuskan yang dapat dijadikan
sengketa kepabeanan atau cukai tenmasuk hal - hal yang berkaitan dengan
fasilitas, seperti penundaan, penangguhan atau pembebasan atau keringanan
bea masuk, pencabutan ijin pabrik.
Pelanggaran atau kesalahan tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori:
1) Sengketa yang teijadi karena pelanggaan atau kesalahan formal, yaitu
sengketa yang bersifat formal dan berkisar kepada tidak dipatuhinya (sifat
complience) tata laksana dan atau adanya perbedaan penafsiran atas
penerapan ketentuan - ketentuan perundang - undang perjakan / kepabean
atau cukai misalnya kesalahan dasar hukum yang ditetapkan oleh Wajib
Pajak atau pejabat perpajakan, jangka waktu, belum dipenuhinya jumlah
pembayaran yang telah ditentukan atau wajib dibayar, hal ini sepanjang
tidak ada kerugian yang diderita negara.
2) Sengketa karena kesalah atau pelanggaan material, berkisar ke pada materi
yang disengketakkan dan atas pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa denda dan kemungkinan atas pelanggaran yang
dilakukan terjadi kerugian negara. Misalnya perbedaan antara jumlah yang
diberitahukan dan koreksi pajak atas dasar perhitungan fiskus atau terbit
nota pembetulan atas Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor yang
harus dibayar, pengenaan nilai pabean yang terlalu tinggi / rendah, dan
kesalahan penrapan klasifikasi barang yang menyebabkan bea masuk yang
hams dibayar masih kurang.
D. Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian Sengketa Perpajakan adalah melalui upaya hukum, yaitu:
1. Upaya hukum biasa
a. Upaya Hukum Keberatan, disampaikan oleh Wajib Pajak ke Direktorat
Jenderal Pajak
b. Upaya Hukum Banding dan upaya hukum gugatan disampaikan oleh
Wajib Pajak ke pengadilan pajak.
2. Upaya Hukum Luar biasa berupa:
Permohonan peniinjaman kembali oleh Mabkamah Agung Republik
Indonesia Upaya Hukum keberatan meLiputi masing- masing dari pada:
1) Keberatan atas pajak penghasilan dan Pajak pertambahan nilai
2) Keberatan atas Pajak Bumi dan Bangunan
3) Keberatan atas Bea Perolehan Hak / atas tanah dan Bangunan
4) Keberatan atas Pajak Tanah
5) Keberatan atas Nilai
Upaya Hukum Keberatan dapat dimohonkan Ketika Wajib Pajak
memperoleh suatu surat ketetapan pajak dan merasa tidak puas atas ketetapan
pajak dimaksud, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum dengan
nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP, upaya hukum keberatan
diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak, yaitu ke Kantor Pelayanan
Pajak/Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) ternpat di
9
mana Wajib Pajak terdaftar. Selengkapnya ketentuan Pasal 25 UU KUP
menyatakan sebagai berikut :13
Ayat (1): Wajib Pajak dapat mnengajukan keberatan hanya kepada Direktur
Jenderal Pajak atas suatu:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
13
Atep Adya Barata : Memahami Prosedur di Pengadilan Pajak (Jakarta, Sumber dari, LP3B-
IBTA,2002).
10
BAB III
TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
A. Pengertian
1. Hukum pidana, seperti yang telah tercantum dalam kintab undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan yang terdapat diluarnya, yaitu dalam
ketentuan-ketentuan undang-undang yang khusus untuk mengadakan
peraturan-peraturan yang khusus untuk mengadakan peraturan-peraturan
dalam segala lapangan, merupakan suatu keseluruhan yang sistematis,
karena ketentuan-ketentuan dalam Buku I dari KUHP (kecuali jika
ditentukan lain) juga berlaku untuk peristiwa-peristiwa pidana (peristiwa
yang dapat dikenakan hukuman = strafbaar feit) yang diuraikan diluar
KUHP itu (lihat pasal 103 KUHP).
Penyimpangan lain dari prinsip hokum pidana umum yang terdapat
dalam Undang-undang Pajak yang timbul dari dasar pemikiran, bahwa
bagaimanapun juga Fiskus harus diberi penggantian kerugian
(sebagaimana hokum terhadap wajib pajak yang berbuat salah), dinyatakan
dalam apsal 367 dan pasal 368 dari Relegmen Indonesia yang diperbaharui
(HIR Herzine Indonesisch Reglement). Peraturan tersebut menetapkan,
bahwa antara lain untuk pajak, pasal 77 dari KUHP tidak berlaku,
sehingga yang bertanggung jawab atas benda-benda, penyitaan-penyitaan,
dan biaya-biaya (yang sehatusnya ditanggung wajib pajak sendiri, tetapi
karena bias meninggal dunia setelah dijatuhi hukuman karena suatu
pelanggaran terhadap peraturan pajak), adalah ahli warisnya.
B. Perlawanan Terhadap Pajak
Perlawanan Pasifs terhadap Pajak (Perlawanan Pasif) Perlawanan pasif
terdiri dan hambatan-hambatan yang mempersukar pemugatan pajak dan yang
erat hubungannya dengan struktur ekonomi, suatu Negara, dengan
perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dnegan teknik
pemungutan pajak itu sendiri.
Perlawanan pasif juga terdapat apabila system control tidak diawali
dnegan efektif atau bahkan tidak dapat diadakan. Demikianlah halnya dengan
pajak atas pemilikan permata atau ratna mutu manikam lainnya; demikian pula
(antara lain di Belgia) pelaksanaan pajak atas pendapatan yang diperoleh dan
saham-saham dan oblitgasi unjuk mengalami hambatan.
C. Menghindari Diri Dari pajak
Pembayaran pajak dnegan mudah dapat dihindari dnegan tidak
melakukan perbuatan yang memberikan alas an untuk dikenakan pajak, yaitu
dengan meniadakan atau tidak melakukan hal-hal yang dapat dikenakan pajak.
Menghindari pajak yang merupakan gejala biasa pada pajak-pajak atas
pengguna, biasanya dilakukan dnegan penahanan diri atau dengan penggunaan
surogat : orang mengurangi atau menekan konsumsinya dalam barang-barang
yang dapat atau kurang dikenakan pajak.
11
D. Mengelak Pajak
Menghindari diri dari pajak dapat selalu dilaksanakan, sebab tidak dapat
menghindari semua unsure atau fakta yang dapat dikenakan pajak.
Namun, apabila penghindar diri dari pajak tidak dapat dilaksanakan,
maka wajib pajak berusaha menggunakan cara-cara lain, diantaranya dnegan
cara yang disebut pengelakan pajak, misalnya dnegan cara penyelundupan
(yang sudah dikenal terhadap bea masuk).
E. Melalaikan pajak
Akhirnya masih ada yang dinamakan malainkan pajak, yaitu menolak
membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-
formalitas yang harus dipenuhi.14
Prof. Mr. H. J. Hofstra, Guru Besar dalam Hukum Pajak pada
Universitas Leyden, menambahkan apda kategori penghindaran diri dari
pajak, suatu gejala yang dikenal dnegan nama Uberwalzung atau afwenteling
(pelimpah) seperti yang telah diuraikan dimuka sewaktu membicarakan
tentang soal pajak tidak langsung (dalam arti ekonomis). Dengan pelimpahan
ini, juga dituju oleh embuat undang-unsang adalah semata-mata untuk
dilaksanakan dalam pajak langsung. Subjek pajak langsung sama sekali tidak
dibenarkan untuk melimpahkan beban pajaknya kepada pihak lain karena ia
sendirilah yang merupakan ―destinataris‖. Padahal kemungkinnya adalah
benar bahwa semacam itu toh dilakukan oleh Subjek Pajak Pendapatan atau
pajak langsung lainnya sebagai reaksinya untuk mengadakan perlawanan
terhadap pajaknya.
F. Penyelesaian Tindak Pidana Bidang Perpajakan
Dua system peradilan yang berkaitan dnegan pelaksanaan pemungutan
pajak. Peradilan tersebut terdiri atas peradilan administrasi (tata usaha) dan
peradilan pidana.
Peradilan administrasi berkaitan erat dnegan penyelesaian sengketa
mengenai ketetapan pajak sendiri mula-mula timbul karena adanya pengajuan
keberatan atas ketetapan pajaknya tidak tepat atau tidak benar. Kemudian,
wajib pajak (dapat) mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak Yakni
Majelis Pertimbangan Pajak jika ia tidak puas atas keputusan yang ditetapkan
oleh Dirjen Pajak tersebut. Sebagai lembaga banding, putusan akhir (final) dan
oleh karenanya tidak dapat diajukan kasasi. Dan, memang peradilan yang
sebenarnya sebagaimana dimaksud pasal 10 Undang-Undang No. 1 tahun
1970.
14
Santoso Broto Dihardjo.R.SH. Pengantar Ilmu hokum Pajak. (Bandung: PT. Refika Aditama
1998) halaman 18.
12
BAB IV
PERADILAN DAN PENGADILAN PAJAK
A. Peradilan Pajak
Peradilan pajak adalah implementasi acara prosedur, proses dan sistem
kegiatan pengadilan dalam memutus kasus perpajakan dan konsekuensi
hukumnya.
Dibawah mi dikemukan peradilan perpajakan sebelum adanya
pengadilan Pajak tahun 2002 yakni:
1. Peradilan Adniinistrasi Dibidang Pajak Unsur-Unsur Peradilan
Unsur-unsur yang diperlukan supaya dapat dikatakan adanya suatu
peradilan (biasa) adalah: 15
a. Adanya suatu hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan;
b. Adanya suatu perselisihari hukum yang konkrit;
c. Adanya sekurang-kurangnya dua pihak;
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenarig memutuskan
perselisihan.
Agar suatu peradilan dapat merupakan suatu peradilan Administrasi,
maka di samping unsur-unsur tersebut di atas dipenuhi, hams ada unsur-
unsur Iainnya, yakni:
a. bahwa salah satu pihak yang berselisih harus administrasi yang
menjadi terikay karena perbuatan salah seorang pejabat dalam batas
wewenangnya;
b. Diberlakukan ―Hukum Publik‖ atau hokum Administrasi terhadap
persoalan yang diajukan.
Peradilan administrasi pajak yaitu peradilan yang menyelesaikan
semua macam dan semua bentuk perselisihan mengenai pajak-pajak.
1. Peradilan Administrasi murni
2. Peradilan Administrasai tak Murni
Peradilan Administrasi Murni: ialah suatu peradilan Administrasi
yang memenuhi syarat-syarat seperti yang diuraikan di atas yang
menyerupai peradilan yang dilakukan oleh pengadilan biasa. Ciri-ciri yang
khas untuk suatu peradilan yang murni ialah adanya suatu hubungan segi
tiga antara para pihak dan badan atau pejabat yang mengadili. Badan atau
pejabat yang mengadili perkara ini merupakan badan atau pejabat
―tertentu‖ aau ―terpisah‖.
Syarat pengajuan keberatan :
a. Pemasukan Surat Keberatan
Surat keberatan ditujukan kepada Direktur Jenderal pajak untuk
satu jenis dan satu tahun pajak, ini misalnya Pajak Penghasilan tahun
pajak 1985 dan 1986. keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak
15
Bahari U., SH., M.S Pengantar Hukum Pajak (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001) HIm.
165
13
Penghasilan tahun 1985 dan tahun 1986 tersebut, harus diajukan
masing-masing dalam satu Surat Keberatan tersendiri. Untuk dua
tahun pajak tersebut harus diajuikan dua buah Surat Keberatan.
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3
(tiga) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKIP
sebagaimana ditentukan dalam pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor
16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
b. Isi Surat Keberatan
Undang-undnag pajak tidak menentukan syarat-syarat apa yang
harus dipenuhi tentang isi Surat Keberatan. Meski undang-undang
tidak memberikan perincian secara tersurat, namun kalau diteliti lebih
jauh maka tampak tersirat 5 (lima) hal yang merupakan syarat
minimum yaitu :
a. Pertanyaan bahwa pajak merasa keberatan terhadap keketetapan
pajak;
b. Jenis Pajaknya;
c. Tahun Pajak;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak;
e. Nama dan tanda tangan wajib pajak;
Mengenai banding adalah sebagai berikut :
1) Banding
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Direktur Jenderal
Pajak yang menolak Surat Keberatan Wajib Pajak dapat Mengajukan
banding pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
2) Gugatan
Jika dalam banding, yang diajukan banding oleh Wjib Pajak
adalah berjumlah utang pajak yang telah ditetapkan oleh fiskus
(Negara selaku pemungut pajak) yang mana jumlah itu tidak disetujui
oleh Wajib Pajak. Sedangkan dalam gugatan, maka yang digugat oleh
Wajib Pajak adalah pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan di
Bidang Penagihan Utang Pajak.
2. Peradilan Pidanan Pajak
a. Hubungan Pajak Dnegan Hukum Pidana
Hukum Pajak dalam hubungannya dengan Hukum Pidana
(KUHP) dapat terlihat dalam pasal 103 KUH Pidana yang berbunyi;
―Ketentuan dan delapan Bab yang pertama dan Buku ini berlaku
juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan-
peraturan lain, keeuali kalau ada undang-undang (Wet) atau ordonansi
menentukan peraturan lain‖.
Ketentuan pasal 103 KUH Pidana ini menunjukkan bahwa yang
dimuat dalain buku I KUHP, mulai dan Bab I s/d (pasal 1 s/d 58),
selain berlaku untuk hal-hal yang disebut dalam KUH Pidana, berlaku
juga untuk menerangkan hal-hal yang disebut dalam undang-undang
atau peraturan lain kecuali ditentukan lain,
Pelanggaran undang-undang lain dalam pasal 103 KUHP ini. me-
14
nunjukkan juga termasuk ketentuan-ketentuan yang dalam undang-
undang pajak diancam baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran
yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dapat dipidana sesuai
dnegan KUH Pidana. Ancaman pidana terancam tindak pidana pajak
dapat dilihat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang
Ketenttuan Umum Tata Cara Perpajakan pada pasal 38, 39, 40 dan 41.
tindak pidana di bidang pajak dapat dibedakan dalam :
a. Pelanggaran, dan
b. Kajahatan
Pelanggaran ialah tindak pidana dnegan tindak disengaja
(kealpaan, kekhilafan, misalnya lupa menyampaikan SPT. Sanksi
terhadap pelanggaran lebih jarang daripada kejahatan.
Kejahatan ialah perbuatan yang dilakukan dengan sengajaa.
Wajib pajak tahu bahwa perbuatannya itu tidak sesuai bahkan
bertentangan dnegan undang-undang tetapi tetap dilakukan dnegan
maksud supaya membayar pajak lebih ringan, atau untuk memperoleh
keuntungan bagi dirinya, yang merugikan Negara ialah:
a. Dengan sengaja tidak mendaftarkan din untuk mendapatkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (Npwp) atau menggunakan NPWP tanpa hak
untuk maksud-maksud tertentu;
b. Dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan,
Sedangkan Ia tahu bahwa surat pemberitahuan hams dikembalikan
kepada Kantor Inspeksi Pajak yang bersangkutan setelah diisi
sebagaimana mestinya dan ditandatangani.
c. Dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan dengan
mengisi secara tidak benar atau tidak lengkap, dengan
mendapatkan keuntungan dan itu;
d. Dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, catatan ataudokumen
yang palsu atau dipalsukan dan dengan perbuatan itu mengelabui
petugas pajak;
e. Dengan sengaja tidak memperlihatkan danlatau tidak mau
menjanjikan pembukuan, catatan dan dokumen yang diperlukan
oleh petugas pajak untuk mcnentukan jumlah pajak yang terntang
sebenarnya;
f. Dengan sengaja ticlak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau
dipungut bagi orang atau badan yang ditunjuk oleh Undang-undang
Pajak, seperti, ketentuan pasal 2 1,22,23 dan 26 Undang-undang.
B. Pengadilan Pajak
1. Institusi – institusi Dari Sebelum Terbentuk Pengadilan Pajak16
a. Institusi Pertimbangan Pajak (IPP)
Secara histeori upaya penyelesaian sengketa pajak telah dirintis
16
Rukiah Komariah dan Ali SH. MH, Ali Purwanto, M.SH., MM : Hukum Pajak (Jakarta : Badan
Pemerintahan Fakultas Hukum UI, 2006) Hlm, 37-40.
15
jauh sebelum kemerdekaaan. Sebenarnya sejak jaman Hindia Belanda
dulu, pemerintahan saat itu telah memperkirakan tentang adanya
sengketa yang terjadi di bidang perpajakan, terutama antara para
pengusahaa dan pejabat di bidang perpajakan.
b. Majelis Pertimbangan Pajaka
Baru pada tahun 1959 dnegan Undang-mundang Nomor 5 Tahun
1959, dibentuk Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), yang anggota-
anggotanya terdiri dari kelangan pemerintahan, pengusaha, juga para
pakar perpajakan.
Dengan adanya menjelis tersebut, banyak sengketa pajak yang
telah dapat di hilang perpajakan mulai dirasakan oleh masyarakat,
khusunya para pelaku bisnis.
c. Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997, dibentuk suatu
badan semacam peradilan yakni Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
atau disingkat menjadi BPSP. Badan ini mempunyai kewenangan yang
lebih luas dan dimaksudkan menggantikan kedudukan Majelis
Pertimbangan pajak yakni selain memeriksa dan memutuskan masalah
sengketa pajak,. Juga pabean dan cukai. Menskipun bukan berbentuk
pengadilan, tetapi forum pemeriksaan dna pemutus sengketa terdiri
atas Ketua dan anggta (berjumlah tiga orang), bertindak sebagai hakim.
2. Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
a. Dasar Hukum
Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak dimuay pengertian mengenai Pengadilan pajak,
yaitu:
―Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau Penanggung Pajak yang
mencari keadilan terhadap sengketa pajak.‖
b. Pertimbangan
Badan-badan peradilan yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang-undang, termasuk ke
dalamnya adalah peradilan khusus seperti Pengadilan pajak dalam
lingkup Peradilan Tata Usaha Negara, dengan pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut :
a) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tanggal 15 Januari 2004
sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
sebagaimana telah diubah dnegan Undang-undang Nomor 35 tahun
1999, dalam Pasal 1 disebutkan :
―Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hokum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarakan Negara
Hukum republic Indonesia‖.
Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama Dan
Terakhir
16
Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan
terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa pajak.
Sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan
atas Sengketa Pajak hariya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Oleh
karenanya putusan Pengadilan Pajak tidak dapat diajukan Gugatan
ke Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, atau standar
peradilan lain, kecuali putusan berupa ―tidak dapat diterima‖ yang
menyangkut kewenangan kompetensi.
Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan
Pajak, dalam hal ini Ketua Majelis Hakim/Hakim, dapat
memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan
dengan sengketa pajak dan pihak ketiga sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Biaya yang hams dikeluarkan untuk mendatangkan pihak
ketiga harus ditanggung oleh para pihak yang bersengketa yang
mengusulkan didatangkannya pihak ketiga tersebut.
1. Upaya Hukum Banding
Dalam pelaksanaan undang-undang perpajakan
dimungkinkan adanya upaya hokum dnegan nama banding
apabila Wajib pajak tetap merasa tidak puas keputusan
keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Artinya, terhadap surat keputusan keberadaan yang diterbitkan
akan menjadi dasar untuk diajukan upaya hokum banding ke
Pengadilan Pajak sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang pengadilan pajak.
17
18
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
PROSES BANDING DENGAN ACARA BIASA
19
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
PROSES BANDING DENGAN ACARA CEPAT
20
2. Upaya Hukum Gugatan
Undang-Undang KUP menyatakan bahwa ‗Gugatan
Wajib Pajak atau Penanggungan Pajak terhadap :
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan atau Pengumuman Lelang;
b. Keputusan yang berkaitan dnegan pelaksanaan keputusan
perpajakan, selain yang ditetapkan didalam pasal 25 ayat
(1) dan pasal 26.
c. Keputusan pembentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 yang berkaitan dnegan Surat Tagihan Pajak;
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang
berkaitan dnegan Surat Tagihan Pajak.
Hanya dapat diajukan kepada peradilan pajak.
a) Syarat Gugatan
Untuk dapat mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
b. Jangka waktu untuk gugatan terhadap pelaksanaan
penagihan pajak adalah 14 (empat belas) hari
sejaktanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk
gugatan terhadap Keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari
sejak anggal diterima Keputusan yang digugat;
- Jangka waktu ini mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di
luar kekuasaan penggugat. Perpanjangan jangka
waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar
kekuasaan penggugat.
21
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa
PROSES GUGATAN DENGAN ACARA BIASA
22
Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
c. Terhadap 1 (satu) pelaksanana penagihari atau 1 (satu)
Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan
Gugatan diajukan oleh penggugat, ahli waris,
seorang pengurus, atau kuasa hukumnya dnegan disertai
alas an-alasan yang jelas, mencantumkansengketanya.
Permohonan ini tentu dapat dikabulkan harinya apabila
terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan
jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu
dilaksanakan.
PROSES BANDING DENGAN ACARA CEPAT
23
d. Gugatan atas Surat tagihan Pajak (STP)
Pasal 23 ayat (2) huruf b menyatakan bahwa wajib
pajak dapat mengajukan gugatan atas Keputusan yang
berkaitan dengan pelaksanana keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal
26. Ketentuan tersebut tidak menjelaskan apa uang
menjadi objek dari gugatan yang dapat diajukanoleh
wajib pajak. Penjelasan undang-undang juga tidak
menjelaskan apa objek dan gugatan yang dimaksud.
Jika kita lihat ketentuan Pasal 25 ayat 91) dan
Pasal 26, kedua Pasal tersebut menegaskan masalah
yang berkaitan dengan adanya upaya hokum keberatan
atas suatu ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPLB,
SKPN). Tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau
keputusan yang digugat dan dilampiri sealinan
dokumen yang digugat. Apabila selama proses gugatan,
penggugat meninggal dunia, gugatan daoat dilanjutkan
oleh ahli warisnya, kuasa hokum dan ahli warisnya atau
pengampunnya dalam hal penggugat pailit.
Terhadap gugatan yang telah diajukan, pemohon
dapat mengajukan surat pernyataan pencabutan gugatan
kepada Pengadilan pajak, dan selanjutnya gugatan yang
dicabut dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan
Ketua Pengadilan pajak.
b) Penagihan Pajak ata Gugatan
Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menegaskan
bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban
perpajakan. Dengan demikian, sekalipun Wajib pajak
sedang mengajukan gugatan, ini salnya atas gugatan
pelaksanaan Surat Paksa, maka Wajib Pajak tetap
berkewajiban melunasi utang pajak yang ada dalam
ketetapan pakak, dilain pihak, Juru sita Pajak bias terus
melaksanakan tindakan penagihan sesuai ketentuan
Undang-undang Penagihan Pajak.
3. Studi Kasus
Tentang penyelesaian sengketa pajak yang menjelaskan oleh
Pengadilan Pajak berdasarkan Putusan Pengadilan pajak
tanggal 18 Juli 2008 Nomor : PUT -14952/PP/MII/99/2008.
24
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan analisis pada bab - bab terdahulu, akhirnya
penelitian mi sampai pada beberapa kesimpulan mengenai temuan-temuan
atas permasalahan yang diteliti, sebagai berikut:
1. Pemerintah merasa perlu mengubah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(UU No. 17/1997) menjadi Pengadilan Pajak (UU No. 14/2002) karena
implementasi penyelesaian sengketa pajak melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) tersebut kurang efektif. Kekuasaan birokrasi
terlalu luas. Sengketa yang masuk dan harus diselesaikan setiap harinya
semakin bertambah sedangkan penyelesaiannya terlalu lamban dalam
waktu yang lama. Selain itu pemeriksaan banding dilakukan oleh BPSP
manakala penagihan pajak terhutang harus telah dibayar 100% dilunasi
bersama - sama dengan permohonan banding tersebut. Akibatnya banyak
Wajib Pajak kembali kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang tidak
memberikan persyaratan semacam itu. Sedangkan upaya hukum ketingkat
yang lebih tinggi tidak dimungkinkan dengan demikian peluang Wajib
Pajak mencari kebenaran dan keadilan ke Lembaga Pengadilan menjadi
tertutup.
2. Pengadilan Pajak merupakan bagian dad sistem Peradilan Tata Usaha
Negara di Indonesia. Hal mi dinyatakan dalam Undang - Undang sebagai
berikut:
a. Penjelasan pasal 15 ayat (1) Undang - Undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, lebih lanjut menjelaskan bahwa
Pengadilan Pajak Dapat dibentuk sebagai Pengadilan Khusus
dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang di atur oleh Undang -
Undang
b. Undang - Undang Nomor 9 tahun 2004 sebagai perubahan atas
Undang - Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara Pasal 9A dalam penjelasannya mencantunikan ―Dilingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilakukan pengkhususan atau
spesialisasi Pengadilan Pajak yang diatur dengan Undang — undang‖
3. Dilihat pada kasus - kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Pajak (sejak
tahun 2002 sampai dengan tahun 2008) pengadilan ini lebih efektifdari
pada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak menurut Undang —Undang
Nomor 17 Tahun 1997.
Kasus - kasus yang telah diputus adalah sebagaimana dikemukakan pada
halaman 201 - 203.
25
B. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan tersebut diatas maka pada bagian akhir
Tesis mi penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1. Seperti diketahui Sengketa Pajak berawal dan perbedaan pendapat antara
Wajib pajak dan Fiskus. Kemudian Wajib Pajak yang bersangkutan
mengajukan keberatannya. Dalam penyampaian perbedaan pendapat dan
keberatan dimaksud haruslah dilakukan oleh Wajib Pajak secara tertulis
sebagai sarana bukti bagi upaya bukti selanjutnya.
2. Keberatan sebagai upaya hukum untuk:
a. Pajak-pajak daerah dapat diajukan kepada Kepala Daerah atau Pejabat
yang ditunjuk (Kepala Dinas Pendapatan Daerah)
b. Perpajakan Pusat dapat diajukan kepada Direktorat Jenderal Pajak.
c. Kepabeanan dan Cukai dapat diajukan kepada Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai.
3. Pengadilan Pajak adalah Pengadilan Banding dan termasuk Gugatan atas
tagihan Pajak terhutang. Sebelum mengajukan banding Wajib Pajak
haruslah memeriksa lebih dahulu keputusan dan Keberatan dan
persyaratan banding. Demikian pula persyaratan upaya gugatan atas
tagihan pajak terhutang.
4. Dalam mencari kebenaran dan keadilan wajib pajak satu dan lain hal dapat
memanfaatkan jasa dan Kuasa Hukum yang memiliki keahlian khusus
dibidang perpajakan yang Formal dan professional sesuai ketentuan
perundang - undangan yang benlaku.