EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27403...i...
Transcript of EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27403...i...
i
EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD ROZI
NIM : 208044100005
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2 0 1 4
ii
EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD ROZI
NIM : 208044100005
Di Bawah Bimbingan:
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2 0 1 4
iii
Lembar Pengesahan
Skripsi berjudul EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM
MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DIPENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu, 22
Oktober 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana syariah (S.Sy.) pada program studi Hukum Keluarga (Ahwal Al-
Syakhsyiah)
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
v
ABSTRAK
MUHAMMAD ROZI, NIM: 208044100005, EFEKTIFITAS HAKIM
MEDIASI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN. Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x +87.
Perkembangan masyarakat modern menciptakan suasana masyarakat yang
semakin komplek. Hal ini berdampak semakin banyaknya konflik yang muncul,
terkhusus konflik yang terjadi antara hubungan keluarga, yang pada akhirnya
memunculkan gugatan atau permohonan perceraian. Oleh karena itu perlu upaya
untuk menyelesaikan perkara tersebut tanpa harus melalui proses pengadilan yang
panjang dan menyita waktu untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah.
Walaupun demikian ada anggapan bahwa hal tersebut belum efektif, ini lah yang
menjadi persoalan dalam peneltian ini.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu dpreskriptif analitis. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan data sekunder berupa buku-buku, kitab-kitab, dan karya tulis
ilmiah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, bahwa upaya
yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Agama belum mampu untuk menciptakan
mediasi yang efektif, hal ini terlihat dari segi keberhasilannya yang hanya 4,51% dari
1173 kasus yang ditangani di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Kedua, proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan melewati
beberapa tahap. Pertama, tahap pramediasi, pembentukan forum, pendalaman
masalah, penyelesaian akhi dan penentuan hasil kesepakatan, kesepakatan di luar
pengadilan, keterlibatan ahli dalam proses mediasi, dan berakhirnya proses mediasi,
sehingga dapat dilakukan eksekusi serta upaya hukum.
Ketiga, Pengadilan Agama Jakarta Selatan berwenang untuk menyelesaikan
beberapa perkara terkait kewenangan absolute dan relatifnya. Keweanangan absolut
Pengadilan Agama Jakarta Selatan berwenang untuk memeriksa dan mengadili
perkara Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Shadaqah, Infaq, dan
Ekonomi syari’ah.
Kata kunci :Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Mediasi, efektif.
Pembimbing : Drs. Ahmad Yani, M.Ag.
Daftar Pustaka : Tahun 1977 s.d Tahun 2009.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Tuhan Seru Sekalian Alam. Tidak ada kata yang
pantas kecuali pujian yang terus dilafalkan oleh lisan dan tidak ada perbuatan baik
dan perbuatan ketaatan kecuali tertuju hanya kepada-Nya. Hanya Dia lah yang pantas
dipuji dan hanya Dia lah yang pantas disembah, kepada-Nya pula hamba memohon
pertolongan, sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Sholawat serta salam kepada “legislator” yang tidak ada tandingannya,
membuat hukum dengan kemaslahatan yang mengelilinginya, menegakkan hukum
dengan penuh kebersihan akal dan jiwa sehingga setiap keputusan sesuai tidak ada
yang menentangnya. Semoga sholawat dan salam menolong hamba pada saat
penghakiman di akhirat kelak, serta memberikan atsar semangat dan keteguhan
dalam perjuangan penulis dalam menegakkan hukum di kehidupan sehari-hari hamba.
Tidak lupa, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada orang-orang yang
turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan penulis, yang terhormat:
1. Secara Khusus Saya mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
kedua orangtua tercinta, Ayahanda M. Effendi dan Ibunda Saripah Aini
yang selalu membimbing dan memotivasi saya dengan tulus, serta selalu
mendoakan saya agar saya selalu sukses dalam segala hal. Semua yang
telah mereka berikan tidak akan dapat tergantikan dengan dengan apapun
di dunia ini.
vii
2. Dr. H. JM. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharli, MA., Ketua Program Doeble Degree. Bapak
Isma’il Hasani, SH., MH. Sekretaris Program Doeble Degree;
4. Drs. Ahmad Yani, M.Ag. Sebagai pembimbing skripsi, terimakasih tak
terhingga atas masukan dan dukungannya dalam penulisan skripsi ini.
5. Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., MA. dan Rosdiana MA. Sebagai penguji
pertama dan kedua. Mudah-mudahan segala masukan dan nasihatnya
dapat memberi dampak positif pada penulis.
6. Mufidah S.H.I. yang telah memberikan dukungan untuk menyelesaikan
kuliyah saya.
7. Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bantuan
berupa bahan-bahan yang menjadi refrensi dalam penulisan skripsi.
8. Adik-adik tercinta Jumri beserta Istri, Hamidah, Taufik Hidayat dan
Sofwan serta keluarga besar saya yang selalu memberikan motivasi dan
semangat serta mendoakan saya dalam menyelesaikan kuliyah saya.
9. Murkan S. Pd.I terima kasih yang sedalam-dalamnya yang selalu
memberikan dukungan baik moril maupun secara material kepada saya.
10. Kanda Hendra Noer S.E. dan Kanda Muhammad Ainul Yakin
Simatupang S. Sy. Terima kasih yang tak terhingga selalu memberikan
dukungan serta motivasi kepada saya.
viii
11. Terima kasih kepada Adinda Abdul Karim Munthe S.Sy yang membantu
saya.
12. Para senior dan teman-teman seperjuangan Ikatan Pelajar Mahasiswa
Rokan Hilir (IPEMAROHIL) Jakarta Terima kasih yang telah
mengajarkan saya arti dan makna hidup berorganisasi.
13. Tak terlupakan pula terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini yang saya tidak bisa
sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak
dapat penulis tuliskan, semoga doa dan harapan kita semua dikabulkan-Nya, Amiin.
Jakarta, 22 Oktober 2014
Penulis
Muhammad Rozi
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………… i
PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ……………………………………….. iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv
ABSTRAK ………………………………………………………………………. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. ix
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………... 1
B. Identifikasi Masalah …………………………………………. 9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………... 10
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………. 11
E. Kajian Terdahulu ……………………………………………... 12
F. Metode Penelitian ……………………………………………. 14
G. Sistematika Penulisan ………………………………………… 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI …………………. 18
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi ………………………. 18
B. Lata Belakang Lahirnya Proses Mediasi…………………….... 22
C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 tahun 2008 ……………….. 26
D. Mediasi Dalam Perkara Perceraian …………………………… 32
x
E. Manfaat Mediasi ……………………………………………… 35
BAB III KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA
SELATAN DALAM MELAKSANAKAN MEDIASI ………. 39
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan ………………….. 39
B. Tugas dan wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan …… 46
C. Beracara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan ……………… 52
D. Tata Cara dan Prosedur Perceraian …………………………… 54
E. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan …….. 60
F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan …….. 66
BAB IV ANALISIS TENTANG EFEKTIFITAS HAKIM
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN DALAM
MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN ………….. 66
A. Upaya Hakim Dalam Mendamaikan para pihak …………….. 66
B. Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan …………. 71
C. Tingkat keberhasilan hakim dalam mediasi sengketa perceraian 74
BAB V PENUTUP ……………………………………………………….. 80
A. Kesimpulan …………………………………………………. 80
B. Saran-saran …………………………………………………. 81
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan bermasyarakaat merupakan suatu kumpulan orang yang di
dalamnya terdapat prilaku dan kepentingan orang yang berbeda, dalam keadaan
seperti ini akan sering muncul perselisihan dan persengketaan bahkan konflik.
Konflik atau sengketa dapat saja terjadi dalam wilayah publik maupun dalam
wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik terkait erat dengang kepentingan
umum, dimana negara berkepentingan untuk mempertahankan kepentingan
umum tersebut. Sedangkan dalam wilayah hukum privat/perdata menitikberatkan
pada kepentingan pribadi. Dimensi privat cukup luas cakupannya yang meliputi
hukum keluarga, kewarisan, kekayaan, hukum perjanjian dan lain-lain. Dalam
hukum islam dimensi perdata mengandung hak manusia yang dapat
dipertahankan melalui kesepakatan damai antara para pihak yang bersengketa.
Kebanyakan yang bersengketa yang terjadi, mengambil jalan dengan cara
menyelsaikan sengketanya lewat jalur hukum dipengadilan, untuk dimensi
hukum perdata hukum islam maka arahnya ke Pengadilan Agama.
Dalam menyelesaikan sengketa atau perkara di pengadilan, maka jalan
pertama yang ditempuh disana akan ditawarkan sebuah bentuk perdamaian yang
dikenal dengan nama „mediasi‟ dalam menyelesaikan sengketa, perkara atau
2
2
bahkan konflik1. Tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa dengan
„win-win solution’ oleh karena itu upaya perdamaian yang diinginkan oleh para
pihak harus dihargai. Dengan demikian, jika para pihak menghendaki, walaupun
suatu perkara sedang dalam proses banding, kasasi atau Peninjauan Kembali
(PK) sepanjang perkara belum diputus para pihak dapat menempuh mediasi.2
Efektifitas dan efesiensi proses penyelesaian sengketa para pencari keadilan
dipengadilan akan diuji oleh upaya perdamaian yang dilakukan selama proses
beracara, baik tahapan pemeriksaan, terlebih upaya mengoptimalkan mediasi saat
sebelum pemeriksaan pokok perkara3, secara keseluruhan dalam upaya
menemukan penyelesaian sengketa harus lebih menemukan rasa keadilan bagi
semua pihak (win-win solution).
Dalam sengketa yang berkaitan dengan status perkawinan (perceraian),
maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk
menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya
perceraian, seperti disebutkan4: “keberadaan tahapan acara perdamaian pada
hukum acara (formil) telah diatur dalam pasal 154 RBg jo.Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan dalam sengketa yang berkaitan denagn
1 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif (Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.22.
2 Tim penulis, Buku Komentar Perma No.1 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan, Mahkamah Agung JICA, Jakarta, 2008, h.26.
3 Perma NO. 1 Tahun 2008, Pasal 7 ayat 1 jo. Pasal 11 ayat 1.
4 H. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004, h.96.
3
3
status seseorang (perceraian) maka tindakan majlis hakim dalam mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketannya ialah
mengupayaan tidak terjadinya perceraian.
Pada sidang pemeriksaan perkara perceraian hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dalam sidang tersebut suami istri harus datang
pribadi kecuali ada alasan lain yang ditentukan undang-undang, kehadiran
prinsipal dalam persidangan dalam acara mediasi tetap harus diartikan menghadap
secara pribadi bukan diwakilkan, seperti disebutkan dalam pasal 82 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama sebagai berikut5:
1. Pada sidang pertama gugatan perceraian, hakim berusaha mendamaikan kedua
pihak.
2. Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi,
kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman diluar negeri, dan tidak
dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanyayang
secara khusus dikuasakan untuk itu.
3. Apabila kedua pihak bertempat tinggal diluar negeri, maka penggugat pada
sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
4. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan.
Dengan demikian usaha hakim untuk mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan pada semua tingkat peradilan, yaitu tingkat pertama,
tingkat banding maupun kasasi selama perkara belum di putus pada tingkat
5 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan, (Jakarta: Yayasan Al Hikmah, tt), h.206.
4
4
tersebut, jadi tidak hanya dalam sidang pertama sebagai lazimnya perkara
perdata6.
Mediasi pada dasarnya tertutup, kecuali para pihak menghendaki lain.
Semua negara yang mempraktekkan mediasi menganut prinsip tertutup. Prinsip
tertutup ini tidak berlaku jika para pihak mengizinkan, misalnya saja kalau ada
peneliti yang mau mengamati jalannya mediasi. Rasionya adalah perkara tersebut
dapat memberi pelajaran kepada orang lain yang tidak terliabat dalam perkara
itu, tetapi pada suatu saat mungkin saja mereka akan mengalami peristiwa yang
sama atau mirip dengan perkara yang sedang dimediasi. Oleh sebab itu
masyarakat berhak memperoleh akses terhadap perkembangan proses mediasi,
wartawan dalam hal ini dapat menghadiri dan mengamati jalannya proses
mediasi guna melaporkan masalah yang di bahas, kemajuan dan hambatan dalam
proses mediasi. Akan tetapi, para pihak dan mediator berhak meminta wartawan
untuk tidak memberitakan dalam media massa hal-hal yang oleh para pihak
diminta untuk dirahasiakan7.
Istilah mediasi (mediator) pertama kali muncul di Amerika pada tahun
1970-an. Menurut Robert D.Benjamin (Director of Mediation and Conflict
Services in St. Louis, Missourn) bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an
dan secara formal digunakan dalam proses Alternative Disopute /ADR di
6 Zainal Abidin Abubakar, Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan
Peradilan, h.206.
7 Tim Penulis, Buku Komentatir Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan Mediasi di
Pengadilan, Mahkamah Agung (Jakarta: JICA, 2008), h.26.
5
5
California, dan ia sendiri baru praktek menjadi mediator pada tahun 19798. Pada
dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosisal
dimana pengadilan satu-satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum
mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik
terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain
penyelesaian jalur letigasi pada umunya lambat (waste of time), periksaan sangat
formal (formalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk sudah
overloaded9. Mediasi berasal bahasa latin yaitu mediare yang berarti brada
ditengah. Makna menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai
mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa
antar para pihak, “Berada di tengah” juga berarti bermakna netral dan tidak
memihak dalam menyelesaikan sengketa10
.
Ada beberapa batasan mediasi (mediation) seperti dikemukakan, mediasi
adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar yang tidak
memihak (impaertial) dan netral bekerja dengan pihak sengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. Berbeda
dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang untuk
memutuskan sengketa antara para pihak. Namun dalam hal ini, para pihak
8 Muhammad Saifullah, sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia (Semarang: WMC,
2007). h. 21
9 Akhmad Arif Junaidi, Mediasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia (Semarang:
WMC, 2007). h. 32
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif (Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, h.2.
6
6
menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan
persoalan-persoalan diantara mereka. Asumsinya, bahwa pihak ketiga akan
mampu mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara
mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi para pihak, dengan
memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan proses
negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para pihak untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.11
Mediator harus mempunyai insert based negotiation untuk dapat
mengakomodir dari kedua belah pihak yang sedang bersengketa terlebih dapat
mengupaya solusi terbaik bagi kedua belah pihak (win-win solution). Perdamaian
merupakan amanat Unadang-undang bagi para Hakim dalam menyelesaikan
perkara, baik secara acuan formil maupun materiil. Pasal 130 HIR/154 RBg
secara formil telah mengamanatkan dan mengatur proses perdamaian bagi para
pihak dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sedangkan pasal 65 jo.
Pasal 82, 83 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 143 s.d 145
Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dijadikan pegangan (hukum materiil) para
hakim dalam menyelesaikan perkara. Akibat terlalaikannya proses mediasi dalam
penyelesaian suatu perkara, maka putusan akan menjadi batal demi hukum (Pasal
2 Perma No. 1 Tahun 2008).
11
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2003), h.79.
7
7
Konsekuensi pada Pasal 2 perma No. 1 Tahun 2008, barulah dipahami
sebagai landasan formil dalam melakukan tahapan persidangan, sehingga setiap
perkara wajib dilakukan mediasi, sementara disisi lain “intisari” atau ”tanggung
jawab rasa keadilan” belum dioptimalkan oleh pengadilan itu sendiri (meskipun
pihak pengadilan bersifat pasif), sebagai salah satu bahan pemikiran adalah data
pada Pengadilan Agama (dilihat dari internet), dengan sebuah ilustrasi
bagaimana pihak pengadilan akan berhasil dalam mengatasi penyelesaian
sengketa perkawinan kalaulah prosentase terbanyaknya dan perkara yang telah
diregistrasi, salah satu pihak tidak pernah hadir, meskipun Perma No. 1 Tahun
2008 telah mangatur dan menyatakan bahwa mediasi di nyatakan “gagal”, namun
misi “perdamaian” dan “tanggung jawab” menyelesaiakan sengketa tidak dapat
dilakukan tanpa “pemaksaan”.
Dalam hal tersebut di atas, kita belumlah mendapatkan informasi lengkap,
apakah salah satu pihak benar-benar tidak mau hadir, atau salah satu pihak
bersikap pesimis atas “penyelesaian” yang dilakukan pengadilan yang prosentase
terbesarnya seringkali penyelesaian dilakukan dengan “putusan” atau atau
bersifat ajudikasi.
Pengamatan pada kondisi riil yang terjadi pada pengadilan agama,
berpegang pada pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 yang disebutkan bahwa: (1)
Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim
mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. (2) Ketidakhadiran pihak turut
tergugat tidak mengahalangi pelaksanaan mediasi. (3) Hakim, melalui kuasa
8
8
hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan
langsung atau aktif dalam proses mediasi. (4) Kuasa hukum para pihak
berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam
proses mediasi. (5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk
memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi. (6)
Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak
yang bersengketa.
Berdasarkan Pasal 7 di atas, sehingga medapatklan suatu pemahaman
bahwa mediasi hanya wajib disaat kedua belah pihak yang berperkara hadir di
persidangan. Pemahaman ini muncul dengan dasar bahwa mediasi hanya logis
dilaksanakan apabila kedua belah pihak berperkara hadir dipersidangan. Karena
hanya dalam kondisi hadirnya kedua belah pihak tersebut permufakatan dan
kesepakatan perdamaian dapat dilakukan bahkan tidak disyaratkan harus dihadiri
oleh pihak prinsipal. Adapun kaitannya dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4
adalah bersifat pengkhususan. Adapun Pasal 2 dan Pasal 4 bersifat umum
sedangkan Pasal 7 bersifat lex spesialis ketentuan tersebut.12
12
Pasal 2 Perma No. Tahun 2008
1. Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses
perkara di Pengadilan
2. Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa
melalui mediasi yang diatur dalam Perkara ini.
3. Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal
demi hukum.
4. Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama
mediator untuk perkara yang bersangkutan.
9
9
Hanya saja, dari penelitian terhadap jumlah perkara yang diterima
pengadilan tersebut ternyata hanya 17,3 % setiap tahun dari perkara yang
diterima tersebut dihadiri oleh kedua belah pihak perkara (contradictoir), adapun
sisanya 82,7% diperiksa secara verstek dan perkara voluntair.
Pada kondisi seperti diuraikan dai atas maka sangat sedikit jumlah
perkara yang dapat dilakukan mediasi dengan maksimal. Akibatnya tugas
pengadilan (khususnya hakim pengadilan agama) melalui tahapan mediasi
sebagaimana yang disebutkan untuk mengutuhkan kembali keretakan dalam
suatu rumah tangga, tidak dapat diharapkan, belum lagi masuk pada ranah pada
metode mediasi yang dilakukan oleh para mediator.13
Berdasarkan penjelasan
yang telah diuraikan diatas maka penulis atau peneliti sangat tertarik untuk
melakukan penelitian tentang “EFEKTIFITAS HAKIM MEDIASI DALAM
MENYELESAIKAN PERKARA PERCERAIAN SEBELUM PUTUSAN
PENGADILAN”.
A. Indentifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi
permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan mediasi?
2. Bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
3. Apa saja yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
13
www.badilag.net Statistik Perkara, diakses pada tanggal 24 september 2013.
10
10
4. Apakah usaha yang dilakukan oleh Hakim Mediasi di Pengadilan Agama
telah berjalan dengan baik?
5. Apa indikator seorang Hakim Mediasi dikatakan sukses ketika proses
mediasi?
6. Bagaimana hukum acara mediasi?
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus
pada efektifitas hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa perdata
pada proses mediasi, yang dilakukan pada tahun 2013.
2. Perumusan Masalah
Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi ingin
terwujudnya penyelesaian pada tahap perdamaian atau Arbitrase bisa
dilakukan dengan efektif, namun pada kenyataannya hal tersebut sangat lah
jauh dari ke-efektif-an bahkan, dari penelitian penulis di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan dari 1173 kasus perceraian dalam kurun waktu selama satu
tahun yaitu pada tahu 2013 yang berhasil dilakukan secara mediasi hanya 53
atau sekitar 4,51 % kasus. Artinya hakim mediasi di pengadilan Agama
Jakarta Selatan tidak memenuhi target atau tidak efektif.
11
11
Pengadilan merupakan lembaga yang diberi kewenangan untuk
memutus perkawinan disamping itu pengadilan memiliki kewajiban untuk
mengusahakan terjadi perdamaian dan mempersulit perceraian dan
perselisihan.
a. Bahwa lembaga Pengadilan Agama yang menjadi studi analisis dalam
skripsi ini adalah lembaga Pengadilan Agama Jakarta Selatan
b. Penelitian ini realita yang terjadi dilapangan yaitu hasil dari mediasi yang
dikerjakan oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Berdasarkan pada uraian di atas penulis merumuskan masalah yang
akan diteliti. Bahwa ternyata ada kesenjangan antara apa yang diinginkan oleh
Perma Nomor 1 Tahun 2008 dengan yang terjadi di Pengadilan Agama. Untuk
mempermudah menjawab rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan?
b. Apakah usaha yang dilakukan oleh Hakim Mediasi di Pengadilan Agama
telah berjalan dengan baik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab beberapa permasalahan di atas yaitu:
12
12
a. Mengetahui usaha yang dilakukan Hakim Mediasi ketika mediasi
dilakukan.
b. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
c. Mengetahui proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menemukan keadaan hakim mediasi
dalam mendamaikan pihak yang berperkara. Sehingga dapat menjadi bahan
evaluasi kinerja bagi hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan
Mahkamah Agung secara umum untuk berusaha meningkatkan kualitas
hakim-hakim mediasi di tingkat Pengadilan Agama.
Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan masukan bagi penegak hukum, pemerintah, dan legislatif
untuk memperhatikan keberadaan mediasi, karena hal ini berkaitan dengan
keberadaan masyarakat Indonesia yang bersifat kekeluargaan dan untuk
mewujudkan salah satu sifat pengadilan, mudah, cepat, dan biaya ringan.
D. Kajian Terdahulu
Perkembangan kajian mediasi secara khusus mediasi yang dilakukan di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan telah banyak mengambil perhatian para
peneliti khususnya mahasiswa. Berikut penelitian yang pernah dilakukan terkait
dengan mediasi.
13
13
Nur Hidayat melakukan penelitian dalam bentuk Skripsi yang berjudul,
“Efektifitas mediasi di pengadilan Agama (studi implementasi perma No.1 tahun
2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan Agama Bekasi)” ditulis pada tahun
2011 di Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dilakukan di
Pengadilan Agama Bekasi yang berfokus pada objek lembaga mediasinya.
Ubaidillah melakuka penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Efektifitas dan peranan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam mewujudkan
proses mediasi” ditulis pada tahun 2011 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini lebih jauh lagi melihat peran
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara melalui mediasi.
Atika melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Efektifitas mediasi dalam sengketa waris di lembaga pengadilan Agama Jakarta
Selatan” yang ditulis pada tahun 2012 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Focus yang dikaji dalam penelitian ini hanya
terbatas pada sengketa waris semata.
Sedangkan dalam bentuk tesis penulis menemukan sebuah peneltian yang
dilakukan oleh Fitriyah Alkaf dengan judul “Mediasi Perceraian Di Pengadilan
Agama Provinsi Jambi” ditulis pada tahun 2009 di Program Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
14
14
dilakukan oleh Atika, penelitian ini juga menitik beratkan satu persoalan seputar
hukum perceraian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebanyakan penelitian yang
dilakukan di atas hanya terfokus pada satu kasus dan tempat yang berbeda. Akan
tetapi tetap pada objek penelitiannya yaitu lembaga mediasi. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah peran hakim
mediasi dalam melakukan mediasi.
E. Metode Penelitian
Untuk menjawab pertanyaan dari rumusan masalah yang telah penulis
kemukakan di atas diperlukan metode penelitian sehingga jawaban dari setiap
rumusan di atas dapat dipertanggungjawabkan dan bernilai akademis. Sehingga
dapat diterapkan oleh semua kalangan.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang berlokasi di kantor
Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan demikian penelitian yang cocok
untuk tema ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif (dogmatic).14
Suatu penelitian yang menganalisis hukum posistif maupun asas-asas hukum,
dengan melakukan penjelasan secara sistematis ketentuan-ketentuan hukum
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3. (Jakarta: UI Press, 1986),
h.51.
15
15
dalam sebuah kategori hukum tertentu, menganilisis hubungan antara
ketentuan hukum, menjelaskan dan memprediksi pengembangan kedepan.
2. Pendekatan masalah
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep,
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus. Pendekatan
konsep dilakukan untuk melihat kesesuaian konsep dengan aplikasi yang
berlaku di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Pendekatan perundang-
undangan dilakukan untuk menyingkap konsep kontrak dalam sistem hukum
di Indonesia. untuk tujuan tersebut akan dikaji beberapa peraturan perundang-
undangan terkait.
3. Bahan hukum
Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, bahan hukum yang
digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Selain itu
dimungkinkan juga untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder
bahan non hukum.
Bahan hukum primer berupan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perlindungan konsumen di Indonesia, yaitu Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama, Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama, Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang
16
16
Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Bahan hukum sekunder meliputi bahan yang mendukung bahan
hukum primer seperti buku-buku hukum, jurnal, hasil penelitian, makalah, dan
karya ilmiah lainnya, serta dokumen-dokumen lainnya yang relevan dengan
penelitian ini.
4. Analisis data
Data atau informasi yang diperoleh dalam penelitian ini akan disajikan
secara kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitif dan perskriptif-analitis.
Analisa data dilakukan secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan,
metode yang demikian ditempuh mengingat penelitian ini tidak
mementingkan kuantitas datanya, akan tetapi lebih mementingkan pada
kesesuaian prosedur dan isinya dengan teori dan peraturan perundang-
undangan.
Teknik analisis dimulai dengan menghimpun bahan-bahan hukum
primer dan sekunder yang berkaitan dengan peran hakim dalam melaksanakan
mediasi. Bahan hukum tersebut diperoleh melalui studi, pengamatan, data,
17
17
kepustakaan, buku-buku (treatises) hukum, artikel, jurnal hukum, internet,
hasil seminar dan lain-lain.
Terhadap bahan hukum primer dipelajari dan diidentifikasi kaidah-
kaidah atau asas-asas hukum yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Langkah-langkah tersebut oleh Terry Hutchinson diberi
singkatan “IRAC” yaitu memilih masalah (issues), menentukan peraturan
hukum yang relevan (rule of law), menganalisis fakta-fakta dari segi hukum
(analyzing the facts), akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan (conclusion).
5. Metode dan Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini menggunakan pedoman
penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyusunnya dalam lima bab yaitu:
Bab pertama yang berisi pendahuluan yang menjabarkan latar belakang
permasalahan penulisan skripsi ini yang kemudian dirumuskan menjadi sebuah
rumusan penelitian yang layak dengan menjelaskan metode penelitian dan
terakhir dijabarkan sistematika penulisan.
18
18
Bab kedua penulis membahas tema tinjauan umum tentang mediasi
mencakup pembahasan Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi, kemudian penulis
menjelaskan Lata Belakang Lahirnya Mediasi, Mediasi Versi Perma RI Nomor 1
tahun 2008, Mediasi Dalam Perkara Perceraian, dan ditutup dengan pembahasan
Manfaat Mediasi.
Pada bab ketiga penulis membahas tentang kewenangan Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam Melaksanakan Mediasi. Pembahasan ini terdiri dari
5 sub tema, yaitu: Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Tugas dan
wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Beracara di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, Tata Cara dan Prosedru Perceraian, Prosedur Mediasi di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Struktur Organisasi Pengadilan Agama
Jakarta Selatan.
Bab keempat penulis melakukan analisis tentang efektifitas hakim
pengadilan agama jakarta selatan dalam menyelesaikan perkara perceraian yang
mencakup tiga pembahasan. Pertama, Upaya Hakim Dalam Mendamaikan para
pihak; kedua, Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan; ketiga, tingkat
keberhasilan hakim dalam mediasi sengketa perceraian.
Bab kelima sebagai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari
hasil penelitian yang bisa diterapkan dan menjadi pegangan bagi hakim mediasi.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG MEDIASI
A. Pengertian dan Dasar Hukum Mediasi
1. Pengertian
Kata "mediasi" berasal dari bahasa Inggris, "mediation” yang artinya
penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau
penyelesaian sengketa secara menengahi, yang menengahinya dinamakan
mediator atau orang yang menjadi penengah.1
Secara umum, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan mediasi adalah proses pengikut sertaan pihak
ketiga dalam menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.2 Sedangkan
pengertian perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 1851 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah suatu
perjanjian dimana kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikam atau
menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau
mencegah timbulnya suatu perkara Kemudian.3 dikenal juga dengan istilah
1John Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), 377. Pengertian yang sama dikemukakan juga oleh Prof. Dr. Abdul Manan,
Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Kencana, 2005),
h.175. Lihat juga Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), (Jakarta: PT. Gramedai Pustaka Utama, 2001), h.69.
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), h.640.
3 Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : Pradnya Paramita,
1985), h.414.
19
dading yaitu suatu persetujuan tertulis secara damai untuk menyelesaikan atau
memberhentikan berlangsungnya terus suatu perkara.4 Dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
dan penjelasannya tidak ditemukan pengertian mediasi, namun hanya
memberikan keterangan bahwa jika sengketa tidak mencapai kesepakatan maka
sengketa bisa diselesaikan melalui penasehat ahli atau mediator.5
Dalam hukum islam, secara terminologi perdamaian disebut dengan
istilah islah (as-sulh) yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu
persengketaan antara dua pihak. Menurut syara’ adalah suatu akad dengan
maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua pihak yang saling
bersengketa.6
Sedangkan secara yuridis, pengertian mediasi hanya dapat dijumpai
dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkan
bahwa: “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”7
4 Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Cet ke 8 (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h.33.
5Bunyi Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah “Dalam hal sengketa atau beda
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan
tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui mediasi”.
6Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia), (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika, 1999), 1188. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III (Beirut:Dara al
Fikr, 1977), h.305.
7Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor.1 Tahun 2008 disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna
20
Beberapa unsur penting dalam mediasi antara lain sebagai berikut:
1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan
2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam
perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari
penyelesaian.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama
perundingan berlangsung.
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan
yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.8
Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi
yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilanketrampilan khusus.
ketrampilan khusus yang dimaksud ialah:
1. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa.
2. Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang dipersengketakan-
Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan
sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang bersengketa
(win-win solution).
3. Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang.
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
8 Suyut Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, (Bogor:
PT.Graha Indonesia, 2000), 59.
21
4. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap
hal-hal yang dipersengketakan.9
2. Dasar Hukum
Mediasi sebagai sebuah cara penyelesaian sengketa memiliki dasar
hukum sebagai berikut:
1. Pancasila dan UUD 1945, disiratkan dalam filosofinya bahwa asas
penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat.
2. HIR Pasal 130 (HIR= Pasal 154 RBg = Pasal 31 Rv)
3. UU Nomor. 1 Tahun 1974 tetang perkawinan jo Pasal 39 , UU Nomor.7
Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama jo. UU nomor 3 Tahun 2006 jo.
UU nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 65 dan 82, PP
Nomor. 9 Tahun 1975 tentang perkawinan Pasal 31 dan KHI Pasal 115,
131 ayat (2), 143 ayat (1) dan (2), dan 144.10
4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor.1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai
(Eks Pasal 130 HIR/154 RBg).
9 Harijah Damis, “Hakim Mediasi Versi Sema Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai”, Dalam Mimbar Hukum, Nomor 63 Thn.
XV, Edisi Maret-April 2004, h.28.
10
Dalam pasal-pasal tersebut, disebutkan bahwa hakim wajib mendamaikan para pihak yang
berperkara sebelum putusan diajukan. Usaha mendamaikan ini dapat dilaksanakan pada setiap sidang
pemeriksaan. Khusus perkara perceraian, dalam upaya mendamaikan itu pula hakim wajib
menghadirkan pihak keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak-pihak yang berperkara untuk
didengar keterangannya dan meminta bantuan mereka agar kedua pihak berperkara itu dapat rukun dan
damai kembali. Apabila upaya untuk mendamaikan ini tidak berhasil, maka barulah hakim
menjatuhkan putusan cerai, terhadap putusan ini dapat dimintakan upaya banding dan atau kasasi.
22
5. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 02 tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor. 01 tahun 2008 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
7. Mediasi atau APS di luar Pengadilan diatur dalam Pasal 6 UU Nomor. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dasar hukum perdamaian atau mediasi dalam Hukum Islam adalah
sebagaimana firman Allah:
(
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat”.
B. Latar Belakang Lahirnya Proses Mediasi
Mediasi dalam literatur Hukum Islam dapat ditemui dalam firman Allah:
Artinya: …urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka…
Pada ayat Al-Qur’an diatas, Allah menganjurkan kepada manusia agar
dapat menyelesaikan sengketa melalui musyawarah. Hal ini sejalan dengan sifat
mediasi yang penyelesaian sengketanya bersifat consensus (kesepakatan) dengan
cara negosiasi. Agar dapat diselesaikan tanpa melalui proses litigasi.
23
Di Indonesia, bila dilihat secara mendalam, tata cara penyelesaian
sengketa secara damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai
penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa diantara warganya.
Terlebih pada tahun 1945, tata cara ini secara resmi menjadi salah satu
falsafah negara dari bangsa Indonesia yang tercermin dalam asas musyawarah
untuk mufakat.
Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah
merupakan culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri. Baik dalam masyarakat
tradisional maupun sebagai dasar negara pancasila yang dikenal istilah
musyawarah untuk mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal
makna dari istilah tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi
mempunyai makna yang sama. dalam klausula-klausula suatu kontrak atau
perjanjian, pada bagian penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata
“kalau terjadi sengketa atau perselisihan akan diselesaikan dengan cara
musyawarah dan apabila tidak tercapai suatu kesepakatan akan diselesaikan di
Pengadilan Negeri”.11
Walaupun dalam masyarakat tradisional di Indonesia mediasi telah
diterapkan dalam menyelesaikan konflik-konflik tradisional, namun
pengembangan konsep dan teori penyelesaian sengketa secara kooperatif justru
11
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, (tt: tp, 2004), h.15.
24
banyak berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak memiliki akar
penyelesaian konflik secara kooperatif.
Terdapat dua bentuk mediasi, bila ditinjau dari waktu pelaksanaannya.
Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang dilakukan dalam sistem
peradilan. Sistem hukum Indonesia (dalam hal ini MA) lebih memilih bagian yang
kedua yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau
lebih dikenal court annexed dispute resolution.12
Untuk saat ini, pemberlakuan mediasi dalam sistem peradilan di
Indonesia didasarkan pada Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi
yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam perkara perdata,
sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum manakala tidak melalui
proses mediasi (Perma Pasal2). Meskipun tidak dapat dibandingkan dengan
Undang-Undang, Perma ini dipandang sebagai kemajuan dari Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang masih menganggap mediasi sebagai penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, (Pasal 1 butir 10). Sedangkan tujuan utama dari pengintegrasian
12
Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini (mediasi dan litigasi) diharapkan
mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan
masingmasing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan
tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan
tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam penentuan proses penyelesaian
mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian
sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi
kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari
salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan
mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum. Lihat tinjauan proses penyelesaian
sengketa Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), h.23-33.
25
mediasi dalam proses beracara di peradilan adalah tidak lain untuk mengurangi
tunggakan perkara di MA yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi latar belakang adanya
proses mediasi ialah sebagai berikut:
1. Sistem litigasi (peradilan): proses yang memakan waktu (waste time)
Mahkamah Agung sebagai pucuk lembaga peradilan telah
memberlakukan kebijakan dengan suratnya yang ditujukan kepada seluruh ketua
pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi, yang isinya tentang pelaksanaan
proses peradilan pada tingkat pertama dan tingkat banding masing-masing untuk
tidak melebihi 6 bulan. Kebijakan tersebut dapat dianggap efektif berjalan lancar
sesuai harapan. Namun yang terjadi adalah penumpukan perkara pada tingkat MA
karena arus perkara yang demikian tinggi, sehingga justisiabelen setelah melewati
masa kurang lebih 1 tahun (tingkat pertama dan tingkat banding) masih harus
menunggu pada tingkat MA yang lamanya rata-rata lebih dari tiga tahun. Waktu
tersebut belum ditambah apabila ada pihak yang mengajukan Peninjauan Kembali.
2. Biaya yang tinggi (high cost)
Biaya mahal yang harus dikeluarkan oleh para pihak untuk menyelasaikan
sengketa di pengadilan timbul oleh karena mereka diwajibkan membayar biaya
perkara yang secara resmi telah ditentukan oleh pengadilan.Belum lagi upah yang
26
harus dibayarkan kepada pengacara /advokat bagi pihak yang menggunakan jasa
mereka.13
3. Putusan pengadilan tidak menyelesaiakan perkara
“Menang jadi arang kalah jadi abu” begitu kira-kira slogan yang
menggambarkan jika suatu sengketa diselesaikan dengan menggunakan jalur
litigasi. Sinyalmen tersebut mencerminkan putusan pengadilan terkadang tidak
serta merta menyelesaikan persoalan sengketa melalui jalan perundingan, karena
dengan melalui hal itu akan mencegah terjadinya kerugian yang lebih besar, baik
kerugian yang berupa moril maupun materiil. Menurut Yahya Harahap, tidak ada
putusan pengadilan yang mengantar para pihak yang bersengketa kearah
penyelesaian masalah, putusan pengadilan tidak bersifat problem solving diantara
pihak yang bersengketa melainkan putusan pengadilan cenderung menempatkan
kedua belah pihak pada dua sisi ujung yang saling berhadapan, karena
menempatkan salah satu pihak pada posisi menang (winner) atau kalah (losser),
selanjutnya dalam posisi ada pihak yang menang dan kalah, bukan kedamaian dan
ketentraman yang timbul, tetapi pihak yang kalah timbul dalam dendam dan
kebencian.14
Selain itu, putusan hakim terpaku dengan aturan formil yang jika tidak
terpenuhi akan mengakibatkan batal demi hukum. Pada perkara-perkara tertentu,
13
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, MARI 2004, h.156.
14
M. Yahya Harahap “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian (Jakarta:
Mahkamah Agung RI, 2004), h.157.
27
seorang yang mempunyai hak sering dirugikan karena tidak memenuhi syarat
formil. Sebaliknya orang yang seharusnya dihukum memberikan ganti rugi, karena
tidak terbukti secara formil maupun materil maka dia bebas dari jeratan hukum.
C. Mediasi Versi Perma RI Nomor 1 Tahun 2008
Beberapa kekhususan Perma Nomor l Tahun 2008 adalah sebagai berikut:
1. Kewajiban Proses Mediasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 4
Perma Nomor 1 Tahun 2008 maka setiap sengketa perdata yang diajukan ke
pengadilan tingkat pertama wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian
melalui prosedur mediasi, yakni penyelesaian dengan upaya perdamaian dengan
bantuan mediator, kelalaian atau mengabaikan prosedur mediasi merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
2. Biaya Proses
Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih
dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara.
Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para` pihak
ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan. Apabila gagal biaya dibebankan
kepada yang kalah (Pasal 3).
3. Hak dan Kewajiban Mediator.
28
Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesain sengketa tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya, sedangkan jasa
mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan
kesepakatan para pihak (Pasal 10).
Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi
kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati dan jika dianggap perlu
mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan antara mediator dengan salah
satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak yang lainnya), (Pasal 15). Jika diperlukan
dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak
jauh dengan menggunakan alat komunikasi (Pasal 13 ayat (6)).
Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan
penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan
pendapat diantara para pihak (Pasal l6 ayat 1).
Mediator wajib menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak
atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak
menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan yang telah disepakati,
atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa
alasan setelah dipanggil secara patut (Pasal 14 ayat 1).
29
Mediator juga dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim
pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak dimediasi dengan
alasan bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi berkaitan dengan hak atau
kepentingan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan (Pasal 14
ayat 2).
Mediator wajib memeriksa materi kesepakatan perdamaian yang telah
disepakati oleh para pihak sebelum mereka tanda tangani untuk menghindari
adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat
dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik (Pasal 17 ayat 4).
Mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah
gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim jika sampai
lampau waktu maksimal mediasi (40 hari kerja) sebagaimana dimaksud dalam
pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan (Pasal 13
ayat 1).
Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan
perkara yang bersangkutan dan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana
maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi (pasal 19
ayat 3-4).
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak
Para pihak berhak memilih mediator diantara pilihan-pilihan berikat :
a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada Pengadilan yang bersangkutan;
Advokat atau akademisi hukum;
30
b. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau
berpengalaman dalam pokok sengketa;
c. Hakim Majelis pemeriksa perkara;
d. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan
butir b dan d, atau gabungan butir e dan d (Pasal 8 ayat 1).
Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada
Ketua Majelis Hakim dan jika setelah jangka waktu maksimal dua hari kerja
para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka
para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada
Ketua Majelis Hakim (Pasal 11 ayat (2) dan (4).
Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan itikad baik. Jika
ternyata salah satu pihak menempuh mediasi dengan itikad tidak baik, maka
pihak lainnya dapat menyatakan mundur dari proses mediasi (Pasal 12). Para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan
yang dicapai dan menandatangani kesepakatan tersebut bersama-sama dengan
mediator (Pasal 17 ayat 1).
Jika dalam proses mediasi tersebut para pihak diwakili oleh kuasa
hukum, maka para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuannya atas
kesepakattan yang dicapai, selanjutnya para pihak wajib menghadap kembali
kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan perdamaian (Pasal 17 ayat 2 dan 4).
31
Para pihak dapat mengajukan kepada hakim agar kesepakatan
perdamaian yang telah dirumuskannya dikuatkan dalam bentuk akta
perdamaian ataupun tidak, hanya saja jika para pihak tidak menghendaki akta
perdamaian ini maka dalam kesepakatan tersebut harus memuat klausula
pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara sudah selesai
(Pasal 17 ayat 5-6).
5. Hasil Akhir Mediasi
Setelah proses mediasi dijalani oleh para pihak dengan bantuan
mediator, maka hasil akhimya ada dua kemungkinan:
a. Diperoleh kesepakatan perdamaian yang dirumaskan secara tertulis dan
ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Pasal 17 ayat (1))
b. Pernyataan secara tertulis yang dibuat oleh mediator yang menyatakan
bahwa proses mediasi telah gagal (Pasal 14 ayat (1))
6. Tindakan Majelis Pemeriksa Perkara Pasca Mediasi.
Dalam hal mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian dan para
pihak menghendaki agar kesepakatannya dikuatkan dalam bentuk suatu akta
perdamaian, maka majelis segera mengeluarkan akta perdamaian, sedangkan
jika para pihak tidak menghendaki akta perdamaian dan dalam kesepakatannya
telah mencantumkan klausula pencabutan gugatan dan atau menyatakan perkara
telah selesai, maka majelis hanya mengeluarkan penetapan yang amarnya
menyatakan bahwa perkara telah selesai (Pasal 17 ayat 5 dan 6).
32
Dalam hal mediasi tidak mencapai kesepakatan perdamaian dan
mediator telah menyatakan secara tertulis bahwa mediasi telah gagal maka
majelis hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara
yang berlaku dengan tidak menutup kemungkinan majelis masih mendorong
para pihak untuk berdamai atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum
pengucapan putusan (Pasal 18 ayat l-3),
7. Perdamaian di Tingkat Banding, Kasasi dan PK
Jika para pihak bersepakat untuk menempuh upaya perdamaian
sedangkan perkara sedang berada dalam proses upaya hukum banding, kasasi
atau peninjauan kembali tetapi belum diputus, maka para pihak wajib
menyampaikan secara tertulis kehendaknya itu kepada Ketua Pengadilan
Agama yang mengadili perkara yang bersangkutan (Pasal 21 ayat 1-2).
Majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi atau peninjauan
kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14
(empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang adanya
kehendak para pihak untuk menempuh upaya perdamaian (Pasal 21 ayat 4).
D. Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Perkara perceraian termasuk perkara contentius15
dan termasuk karakteristik
sengketa emosional.16
Dalam sengketa perkara perceraian, kewajiban
15
Perkara contentius adalah suatu perkara yang didalamnya berhadapan kedua belah pihak
yang bersengketa. disebut juga dengan perkara gugatan. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada
Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.41.
33
mendamaikan para pihak bersifat imperative yakni sebagai beban yang diwajibkan
oleh undang-undang/hukum kepada majelis hakim yang memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut,17
oleh karena itu upaya mendamaikan ini haruslah
dilakukan secara serius dan optimal. Khusus dalam perkara perceraian yang
didasarkan pada alasan terjadinya perselisihan dan pertengkaran terus-menerus,18
maka agar majelis hakim mendapatkan informasi yang akurat dan lengkap tentang
penyebab dan seluk beluk perselisihan tersebut untuk dijadikan sebagai bahan
dalam upaya mendamaikan, undang-undang pun memerintahkan agar
menghadirkan keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu untuk
didengarkan keterangannya.19
Bahkan untuk perkara syiqa>q,20
Majelis Hakim
dapat menunjuk keluarga kedua belah pihak untuk diangkat menjadi h}akam,
16
Seperti telah diketahui, bahwa ada 3 karakteristik sengketa, yaitu: 1) Formal, adalah
sengketa tentang suatu norma hukum atau status hukum suatu obyek tertentu yang menjadi sengketa,
dalam hal ini sasaran akhirnya adalah kepastian hukum. 2) Material/kebendaan, damai berarti
tercapainya persamaan persepsi (kesepakatan) tentang pembagian hak atas benda, penaksiran nilai atau
harga, pemenuhan kewajiban antar pihak, atau pemecahannya lebih lanjut. Hal ini dapat terjadi dalam
sengketa harta waris, hibah, wasiat, shodaqoh, harta bersama dalam perkawinan. Dalam hal ini,
sasarannya ialah rasa keadilan.3) Emosional, maka damai berarti tercapainya kesepakatan untuk saling
memaafkan, saling menghormati, atau menghargai dan saling membantu sehingga tercipta kembali
hubungan kehidupan yang damai, rukun, tertib dan tentram , karena mereka akan hidup rukun kembali
dalam rumah tangga. Dalam hal ini yaitu perkara perceraian. M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h.192.
17
Lihat Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 PP Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 65
dan 82 UU Nomor 7 Tahun 1989. Evi Sofiah, “Putusan Perdamaian dan Penerapannya di PA”, Jaih
Mubarok (ed.), Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004), h.123.
18
Lihat Pasal 19 huruf ( f ) PP No. 9 tahun 1975 dan pasal 116 huruf (f ) KHI.
19
Lihat Pasal 22 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975.
20
Merupakan perselisihan yang meruncing antara suami isteri yang diselesaikan oleh dua
orang juru damai (hakam). Lihat Syahrizal Abbas, Mediasi (Dalam Perspektif Hukum Syarai’ah,
Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.184.
34
kemudian h}akam inilah yang secara intensif akan mengupayakan perdamaian
kedua belah pihak yang hasilnya kemudian disampaikan kepada majelis hakim.21
Hal tersebut senada dengan Q.S. An-Nisa’: 35,
Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”22
Adapun apabila perkara perceraian itu karena alasan zina, cacat badan, atau
sakit jiwa yang berakibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka upaya
perdamaian oleh majelis hakim tetap saja harus dilaksanakan karena hal itu
merupakan suatu kewajiban tetapi tidak dituntut secara optimal, apa yang
dilakukan hanya sebagai suatu kewajiban moral saja, bukan sebagai kewajiban
hukum.
Perdamaian dalam sengketa yang menyangkut hukum kebendaan (zaken
recht), maka akan dengan sendirinya menghentikan sengketa dan perdamaian yang
dibuat serta telah disepakati kedua belah pihak yang kemudian dikukuhkan dengan
putusan perdamaian berkekuatan eksekutorial. Lain halnya dengan perkara yang
menyangkut dengan status seseorang (personal recht) seperti dalam perkara
perceraian ini, maka apabila terjadi perdamaian, tidak perlu dibuat akte
21
Lihat pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1989.
22
Lihat pasal 76 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1989.
35
perdamaian yang dikuatkan dengan putusan perdamaian, karena tidak mungkin
dibuat suatu perjanjian/ketentuan yang melarang seseorang melakukan perbuatan
tertentu, seperti melarang salah satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama,
memerintahkan supaya tetap mencintai dan menyayangi, tetap setia, melarang
supaya tidak mencaci maki, ngomel, dan lain sebagainya, karena hal-hal seperti ini
apabila diperjanjikan dalam suatu akte perdmaian, dan kemudian dilanggar oleh
salah satu pihak, maka akte perdamaian itu tidak akan dapat dieksekusi. Selain itu
akibat dari berbuat dan tidak berbuat yang demikian itu tidak mengakibatkan
putusnya perkawinan kecuali salah satu pihak mengajukan gugatan baru untuk
perceraiannya.23
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, maka untuk
mewujudkan keinginan perdamaian dalam perkara perceraian adalah dengan jalan
mencabut perkara tersebut oleh Penggugat/Pemohon, pencabutan perkara karena
damai (rukun kembali) ini, haruslah dibuatkan penetapan oleh majelis hakim.24
E. Manfaat Mediasi
Sebagaimana umumnya lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang
lain, maka keunggulan dan manfaat mediasi masih terkait dengan karakteristik
23
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta:Yayasan Al-Hikmah , 2000), h.104.
24
Hal tersebut sejalan dengan yurisprudensi MA RI No. 216 K/Sip/1953 tanggal 21 Agustus
1953 yang berpendapat bahwa gugatan perceraian (termasuk permohonan talak) harus ditolak apabila
antara suami isteri telah terjadi perdamaian dan apabila ditolak harus dibuatkan produk hukum berupa
putusan atau penetapan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara
Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h.105.
36
umum keunggulan dan manfaat yang terdapat pada alternatif penyelesaian
sengketa antara lain, yaitu:
1. Relatif lebih murah dibandingkan dengan alternatif-alternatif yang lain
2. Adanya kecenderungan dari pihak yang bersengketa untuk menerima dan
adanya rasa memiliki putusan mediasi
3. Dapat menjadi dasar bagi pihak yang bersengketa untuk menegosiasikan
sendiri sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari.
4. Terbukanya kesempatan untuk menelaah masalah-masalah yang merupakan
dasar dari suatu sengketa
5. Membuka kemungkinan adanya saling percayaan diantara pihak yang
bersengketa sehingga dapat dihindari rasa permusuhan dan dendam25
6. Dalam pelaksanaan mediasi segala hal yang diungkap serta sifat acara mediasi
adalah rahasia. Berbeda dengan cara litigasi yang sifatnya terbuka untuk
umum, sifat tidak terbuka untuk umum ini bisa membuat pihak-pihak
yangbersengketa merasa nyaman selama pelaksanaan mediasi dalam rangka
penyelesaian sengketa. Karena tanpa adanya kekhawatiran sengketa yang
terjadi diantara mereka menjadi perhatian publik.
7. Penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu penyelesaian berperkara,
memperingan beban ekonomi keuangan, dan yang tidak kalah penting adalah
25
Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2005), h.50.
37
mengurangi beban psikologis yang akan mempengaruhi berbagai sikap dan
kegiatan pihak yang berperkara.26
8. Salah satu manfaat mediasi apabila dilihat dari kekuatan putusan yang
dihasilkan adalah karena pada hakekatnya mekanisme mediasi adalah upaya
untuk mengarahkan para pihak yang bersengketa agar menyelesaikan
sengketa yang terjadi dengan perdamaian maka kekuatan hukum mediasi tidak
jauh berbeda dengan kekuatan akta perdamian. Putusan perdamaian hasil
mediasi mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan yang
dihasilkan dari persidangan (proses litigasi).
9. Apabila sudah tercapai kesepakatan para pihak, maka hakim tinggal
membuatkan yang dalam amar putusan menjatuhkan putusan sesuai dengan isi
persetujuan dictum (amar): menghukum para pihak untuk menaati dan
melaksanakan isi persetujuan perdamaian” amar putusannya selanjutnya
adalah “menghukum para pihak membayar biaya perkara dengan ditanggung
masing-masing pihak secara sama besar”.
10. Bagi Mahkamah Agung, apabila mediasi di pengadilan bisa terlaksana dengan
baik, maka hal itu akan mengurangi tumpukan perkara yang harus
diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
26
Bagir Manan, “Mediasi Sebagai Alternative Menyelesaikan Sengketa”, Dalam Majalah
Hukum Varia Peradilan No. 248 juli 2006, h.9.
38
11. Pemberdayaan individu. Orang yang menegosiasikan sendiri masalahnya
sering kali merasa mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang
melakukan advokasi melalui wakil seperti pengacara.27
27
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Aditya
Bakti, 2003), h.83-85.
39
BAB III
KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MELAKSANAKAN
MEDIASI
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir telah diubah dengan UU No. 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana ditetapkan empat
lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama1.
Lingkungan Peradilan ini terdiri dari tingkat pertama dan tingkat banding.
Sedang kasasi semuanya bermuara ke Mahkamah Agung. Pada tingkat pertama
di lingkungan Peradilan Agama disebut Pengadilan Tinggi Agama2.
Semula berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah di provinsi Aceh yang kemudian diubah
oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/mahkamah
Syariah diluar Jawa dan Madura, nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah
Syariah/Pengadilan Agama, sedang nama untuk Pengadilan Tinggi Agama
adalah Mahkamah Syariah Provinsi3.
Kemudian pada tahun 1980, dengan Keputusan Menteri Agama No. 6
Tahun 1980, nama yang beragam itu seperti: Mahkamah Syariah dan Mahkamah
1 A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 188
2 A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 188
3 A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 188
40
Syariah Provinsi dan nama lainnya seperti Kerapatan Qadhi dan Kerapatan
Qadhi Besar di Kalimantan Selatan, disatukan sebutannya, yakni tingkat pertama
disebut Pengadilan Agama sedangkan tingkat bandingnya disebut Pengadilan
Tinggi Agama4.
Mahkamah Syariah dan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh sekarang,
merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Dibentuk untuk “menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi
NAD sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional”. Undang-undang ini
menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan atas syariat Islam
dalam sistem hukum nasional yang akan diatur dalam qanun Provinsi Aceh
Darussalam. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya
berlaku bagi pemeluk agama Islam5.
Hukum Islam merupakan bagian integral dari hukum positif (tata hukum)
di Indonesia. Pada masa raja-raja Islam, misalnya ketika Sultan Agung berkuasa
di Mataram, ia menjadikan hukum Islam sebagai hukum resmi yang berlaku di
seluruh Kerajaan Mataram.6 Hal ini telah berlaku sejak berdiri kerajaan-kerajaan
Islam tersebut sampai dengan terbentuknya VOC di Indonesia.7
4A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 189
5 A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h 189
6 ASA, “Sejarah Peradilan Agama”, serial Media Dakwah, (Jakarta, Agustus, 1989), h.15.
7 Maret 1602 - Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan
membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), lihat juga
Taufiq Hamimi, “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum, No. 59
Thn. XIV, 2003,h.18.
41
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dibentuk berdasarkan surat keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1963. Pada mulanya
Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang
dinamakan Kantor Cabang, yaitu:
1. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara
2. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah
3. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai Induk
4. Semua Pengadilan Agama tersebut di atas termasuk Wilayah Hukum Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian setelah berdirinya Cabang
Mahkamah Islam Tinggi Bandung berdasarkan surat keputusan Menteri
Agama Nomor 71 tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Semua Pengadilan
Agama di Propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di
Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam Wilayah Hukum Mahkamah
Islam Tinggi Cabang Bandung. Dalam perkembangan selanjutnya istilah
Mahkamah Islam Tinggi menjadi Pengadilan Tinggi Agama (PTA)8.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor
61 tahun 1985 Pengadilan Tinggi Agama Surakarta dipindah di Jakarta, akan
tetapi realisasinya baru terlaksana pada tanggal 30 Oktober 1987 dan secara
8 Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
42
otomatis Wilayah Hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta adalah
menjadi Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta9.
Perkembangan PA. Jakarta Selatan berawal sejak berkantor di Serambi
Masjid (1967-1979). Terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan
merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta, yang ketika itu pada
tahun 1967 merupakan cabang dari Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya
yang berkantor di jalan Otista Raya Jakarta Timur. Sebutan pada waktu itu
adalah cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Kantor Cabang Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dibentuk sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk dan
bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Selatan
yang di wilayahnya cukup luas. Untuk itu keadaan kantor ketika itu masih dalam
keadaan darurat yaitu menempati gedung bekas Kantor Kecamatan Pasar Minggu
di suatu gang kecil yang sampai saat ini dikenal dengan gang Pengadilan Agama
Pasar Minggu Jakarta Selatan, pimpinan kantor dipegang oleh H. POLANA10
.
Penanganan kasus-kasus hanya berkisar perceraian kalaupun ada tentang
warisan masuk kepada Komparisi itu pun dimulai tahun 1969 kerjasama dengan
Pengadilan Negeri yang ketika itu dipimpin oleh Bapak BISMAR SIREGAR,
S.H. Sebelum tahun 1969 pernah pula membuat fatwa waris akan tetapi hal itu
ditentang oleh pihak keamanan karena bertepatan dengan bertentangan dengan
9Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 10
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
43
kewenangannya sehingga sempat beberapa orang termasuk Pak HASAN
MUGHNI ditahan karena Penetapan Fatwa Waris sehingga sejak itu Fatwa Waris
ditambah dengan kalimat “Jika ada harta peninggalan”11
.
Pada tahun 1976 gedung Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Selatan pindah ke Blok D Kebayoran Baru Jakarta Selatan dengan menempati
serambi Masjid Syarief Hidayatullah dan sebutan Kantor Cabang pun
dihilangkan menjadi Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pada masa itu
diangkat pula beberapa Hakim honorer yang di antaranya adalah Bapak H.
ICHTIJANTO, S.A., S.H12
.
Penunjukan tempat tersebut atas inisiatif Kepala Kandepag Jakarta
Selatan yang waktu itu dijabat oleh Bapak Drs. H. MUHDI YASIN. Seiring
dengan perkembangan tersebut diangkat pula 8 karyawan untuk menangani
tugas–tugas kepaniteraan yaitu ILYAS HASBULLAH, HASAN JAUHARI,
SUKANDI, SAIMIN, TUWON HARYANTO, FATHULLAH AN, HASAN
MUGHNI, dan IMRON, keadaan penempatan Kantor di serambi Masjid tersebut
bertahan sampai pada tahun 1979. Pada bulan September 1979 Kantor
Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke gedung baru di Jl. Ciputat Raya
Pondok Pinang dengan menempati gedung baru dengan tanah yang masih
menumpang pada areal tanah PGAN Pondok Pinang dan pada tahun 1979 pada
11
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 12
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
44
saat Pengadilan Agama Jakarta Selatan dipimpin oleh Bapak H. ALIM BA
diangkat pula Hakim-Hakim honorer untuk menangani perkara-perkara yang
masuk, mereka diantaranya: KH. YA’KUB, KH. MUHDATS YUSUF, HAMIM
QARIB, RASYID ABDULLAH, ALI IMRAN, Drs. H. NOER CHAZIN13
.
Pada perkembangan selanjutnya yaitu semasa berkepimpinan Drs. H.
DJABIR MANSHUR, S.H., Kantor Pengadilan Agama Jakarta Selatan pindah ke
Jalan Rambutan VII No. 48 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan
menempati gedung baru. Di gedung baru ini meskipun tidak memenuhi syarat
untuk sebuah Kantor Pemerintah setingkat Walikota, karena gedungnya berada di
tengah-tengah penduduk dan jalan masuk dengan kelas jalan III C. Namun sudah
lebih baik ketimbang masih di Pondok Pinang, pembenahan–pembenahan fisik
terus dilakukan terutama pada masa kepemimpinan Bapak Drs. H. JAYUSMAN,
S.H. Begitu pula pembenahan–pembenahan administrasi terutama pada masa
kepemimpinan Bapak Drs. H. AHMAD KAMIL, S.H. pada masa ini pula
Pengadilan Agama Jakarta Selatan mulai mengenal komputer walaupun hanya
sebatas pengetikan dan ini terus ditingkatkan pada masa kepemimpinan Bapak
Drs. RIF’AT YUSUF14
.
Pada masa perkembangannya selanjutnya tahun 2000 ketika
kepemimpinan dijabat oleh Bapak Drs. H. ZAINUDDIN FAJARI, S.H.
13
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 14
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
45
pembenahan-pembenahan semua bidang, baik fisik maupun non fisik diadakan
sistem komputerisasi dengan online komputer, dan ini terus dibenahi sampai
sekarang oleh Ketua Pengadilan Agama Bapak Drs. H. Syed Usman, S.H. Yang
tujuannya adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pencari
keadilan dan menciptakan peradilan yang mandiri dan berwibawa15
.
Perkembangannya selanjutnya tahun 2007-2008 ketika kepemimpinan
dijabat oleh Bapak Drs. H. A. CHOIRI, S.H., M.H. pembenahan-pembenahan
semua bidang, baik fisik maupun non fisik sudah terintegrasi dengan online
komputer, pada periode ini juga Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhasil
pengadaan tanah untuk bangunan gedung baru seluas + 6000 m2 yang terletak di
Jl. Harsono RM, Ragunan, Jakarta Selatan16
.
Selanjutnya sejak tahun 2008 telah dibangun gedung baru yang sesuai
dengan purwarupa Mahkamah Agung RI. Pembangunan dilaksanakan 2 tahap,
tahap pertama tahun 2008 dan tahap kedua tahun 200917
.
Selanjutnya pada akhir April 2010, gedung baru Pengadilan Agama
Jakarta Selatan diresmikan bersama-sama dengan gedung-gedung baru lainnya di
Pontianak (Kalimantan Barat) oleh Ketua Mahkamah Agung RI. Kemudian pada
15
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 16
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 17
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
46
awal Mei 2010 diadakan tasyakuran dan sekaligus dimulainya aktifitas
perkantoran di gedung baru18
.
Sejak menempati gedung baru yang cukup megah dan representatif
tersebut di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dilakukan pembenahan dalam
segala hal, baik dalam hal pelayanan terhadap pencari keadilan maupun dalam
hal peningkatkan T.I. (Teknologi Informasi) yang sudah semakin canggih disertai
dengan program-program yang menunjang pelaksanaan tugas pokok, seperti
program SIADPA (Sistem Informasi Administrasi Perkara Pengadilan Agama)
yang sudah berjalan dan terintegrasi dengan TV Media Center, Touch Screen
(KIOS-K) serta beberapa fitur tambahan dari Situs Web http://www.pa-
jakartaselatan.go.id19
B. Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Sebagaimana pada umumnya Pengadilan Agama lainnya, Pengadilan
Agama Jakarta Selatan menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada. Berikut beberapa dasar hukum
dibentuknya dan pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Jakarta Selatan
1. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
18
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 19
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id
47
4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
6. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
7. Peraturan/Instruksi/Edaran Mahkamah Agung RI
8. Intruksi Dirjen Bimas Islam/ Bimbingan Islam
9. Keputusan Menteri Agama RI. Nomor 69 Tahun 1963, tentang Pembentukan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan20
;
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan dalam pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah
satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama
badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Militer,21
merupakan salah satu badan peradilan pelaku
kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi rakyat
pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.22
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
20
Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan di akses paada tanggal 25 september 2014 dari
WWW.PAjaksel.co.id 21
Mohd. Abdu A. Ramly, “Kedudukan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional (
Akar, Sejarah, dan Perkembangannya)”, dalam Mimbar Hukum No. 59 Tahun XIV 2003, hlm. 30
lihat juga Satjipto Rahardjo, “Pengadilan Agama Sebagai Pengadilan Keluarga”, dalam Amrullah
et.al. (ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasioal di Indonesia,
(Jakarta: PP. IKAHA, 1994), h.301.
22
Depatemen Agama RI, Sketsa Peradilan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000).
h.19.
48
bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.
Di samping tugas pokok dimaksud di atas, Pengadilan Agama Jakarta
Selatan mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan.(vide: Pasal
53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo.
KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti, dan
Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dansewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan
49
administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan.( vide: KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide:
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis
dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya:
a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-
lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan
dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah
satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
50
beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-
undang ini”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan
kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Pasal di atas menjelaskan tentang kekuasaan absolut Pengadilan Agama
di samping kekuasaan relatif yang berkaitan dengan domisili (wilayah).23
Setelah
UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan
tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup
kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya
perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun
2006 tentang pengadilan agama adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undangundang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini
dimaksudkan untuk:
1. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya.
2. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan
kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
23
A Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h.137.
51
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
dalam bidang :
1. Perkawinan
2. Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
3. Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu
faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang
berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari’ah tumbuh
berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pasar
modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah.24
Perkembanagan ini tentunya juga
berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya.
Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari’ah harus melalui
peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 tahun
2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan undang-
undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama25
memberi maka ruang
lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang
Pengadilan Agama Yaitu :
24
Chatib Rasyid, “Eksistensi Peradilan Agama Pasca UU. No. 3 Tahun 2006”, makalah
dalam Kuliah Umum Acara Peresmian/pengukuhan Pengurus Ikatan Keluarga Magister Ilmu Hukum
UMSU, Medan, Tahun 2007, h.1.
25
Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, Cetakan 1, (Yogyakarta: UII Press, 2007), h.112.
52
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
1. Perkawinan
2. Kewarisan
3. Wasiat
4. Hibah
5. Wakaf
6. Zakat
7. Shadaqah
8. Infaq, dan
9. Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
ekonomi syari’ah adalah: Bank syari’ah, Asuransi syari’ah, Reasuransi syari’ah,
Reksadana syari’ah, Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah
syari’ah, Sekuritas syari’ah, Pembiayaan syari’ah, Pegadaian syari’ah, Dana
pensiun lembaga keuangan syari’ah, Bisnis syari’ah, dan Lembaga keuangan
mikro syari’ah.
C. Beracara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Peradilan Agama merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu.
Kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
53
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945).26
Menurut Abdul Manan, hukum acara perdata agama merupakan hukum
yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan agama,
bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat,
bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan
dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh
penggugat tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku,
sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata
agama dapat berjalan sebagaimana mestinya.27
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkup Peradilan
Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum,28
kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-
undang Peradilan Agama.
Dengan penegasan pasal ini, dua macam hukum acara yaitu:29
1. Hukum acara perdata yang diatur dalam HIR30
dan RBg31
(Pasal 118 sampai
26
Depatemen Agama RI, Sketsa Peradilan Agama, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2000),
h.19. 27
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
(Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000). h.1-2.
28
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 54.
29
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h.191.
30
Herzien Indonesisch Reglement, Reglemen Indonesia yang diperbarui untuk daerah Jawa
dan Madura.
54
dengan Pasal 254 HIR dan Pasal 142 sampai dengan Pasal 314 RBg);
2. Hukum acara yang secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 Pasal 54 sampai Pasal 91. Hal ini berarti Pasal 54-91 ini merupakan
hukum acara perdata yang berlaku di Peradilan Agama untuk melengkapi apa
yang terdapat dalam HIR dan RBg.
D. Tata Cara dan Prosedur Perceraian
Pada dasarnya talak adalah ungkapan yang merupakan hak suami untuk
menceraikan isterinya. Dahulu laki-laki muslim di Indonesia, dapat saja
menceraikan isterinya tanpa melalui proses beracara. Untuk menertibkan dan
mengaturnya agar hal ini tidak menjadi masalah dikemudian hari maka terbitlah
UU RI No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975, sejalan dengan azasnya yaitu
mempersulit perceraian. Sejak berlakunya UU Perkawinan dan Peraturan
Pelaksana tersebut, penggunaan kebolehan lembaga talak diatur dan dibatasi
dengan berbagai syarat yang disesuaikan dengan ketentuan hukum Islam. Tata
cara penggunaan talak mesti melalui campur tangan pengadilan yang diberi
kewenangan untuk menilai dan mempertimbangkan apakah dasar alasan suami
untuk mentalak isterinya serta apakah alasan tersebut dibenarkan menurut hukum
31
Rechtsreglement voor de Buitengewesten, reglemen daerah seberang untuk luar Jawa
Madura
55
dan nilai moral Islam.32
Sebagaimana fungsi hakim yang dijelaskan dalam
Undang-undang yaitu untuk menemukan hukum.
Sejalan dengan azas dan prinsip UU Perkawinan tersebut, dalam proses
pemeriksaan perkara perceraian, Majelis Hakim Pengadilan Agama harus berusaha
mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 59 ayat 1 dan Pasal 65 UU RI No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama). Setelah upaya tersebut dilakukan dan ternyata
perdamaian tidak berhasil diraih, maka Majelis Hakim akan memeriksa pokok-
pokok perkara yang sebelumnya sidang dinyatakan tertutup untuk umum.33
Sebagaimana persidangan anak dan asusila yang merupakan pengecualian dari
asas sidah bersifat terbuka. Walaupun demikian persidangan perceraian tetap bisa
dilihat oleh orang lain ketika para pihak mengizinkan.
Dari proses pemeriksaan tersebut dimulai dari pembacaan surat
permohonan cerai talak dan seterusnya sampai pada tahap konklusi dari para
pihak, Majelis Hakim memperoleh dasar untuk mempertimbangkan dan menilai
suatu petitum atau tuntutan yang oleh penggugat atau pemohon diminta atau
diharapkan agar diputuskan oleh Hakim.34
Yang pada akhirnya Hakim
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Untuk lebih jelas lagi penulis
akan memaparkan tata cara dan prosedur cerai talak.
1. Perceraian hanya dapat dilakukan di muka sidang
32
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), cet III h.230.
33
DIBINBAPERA, Mimbar Hukum No.39 Tahun VIII, (Jakarta: Alhikmah, 1997), h.91. 34
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdatta, edisi VI (Yogyakarta: Liberty, 2002), h.51.
56
a. Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan).
b. Permohonan cerai talak, meskipun menggunakan istilah permohonan tetapi
harus diproses sebagai perkara kontentius, karena didalamnya mengandung
unsur sengketa serta untuk melindungi hak-hak isteri dalam upaya hukum.
2. Surat permohonan cerai talak
a. Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya,
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama untuk mengadakan
sidang, guna penyaksian ikrar talak (Pasal 85 ayat (1) UU RI No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama).
b. Permohonan tersebut di atas memuat:
1) Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon dan termohon.
2) Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak (Pasal 86 ayat (1) UU RI
No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
c. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak
akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami isteri (Pasal 39 ayat (2) UU
Perkawinan jo. Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 KHI).
d. Petitum, sesuai yang dikehendaki oleh Pasal 66 ayat (1) UU RI No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
3. Kompetensi Relatif Pengadilan Agama
57
Mengenai tempat pengajuan permohonan cerai talak dan permohonan
lain yang berkaitan dengan cerai talak dijelaskan dalam pasal 66 UU RI No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Faktor utama pembentukan
kompetensi relative Pengadilan Agama dalam perkara cerai talak, didasarkan
pada “tempat kediaman termohon”, kemudian faktor ini disertai dengan
beberapa ketentuan tambahan yang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Aturan pokok: gugatan permohonan cerai talak dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi “tempat kediaman
termohon”. Dalam bahasa kompilasi, tempat kediaman termohon yaitu
tempat tinggal isteri.
b. Aturan tambahan: pengajuan gugat dapat menyimpang dari aturan pokok
disebabkan keadaan tertentu (Pasal 66 ayat (2) dan (3) UU PA). Dalam
ayat (3) tersebut dinyatakan bahwa permohonan diajukan pada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi kediaman pemohon dalam hal
termohon berdomisili di luar negeri. Permohonan diajukan kepada
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan
mereka berlangsung atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
2. Pemanggilan para pihak
Pemanggilan pihak-pihak dalam perkara cerai talak dilakukan menurut
ketentuan Pasal 26, 27, 28, dan 29 PP No. 9 Tahun 1975. Tata cara
pemanggilan yang diatur dalam ketentuan dimaksud yang harus dipedomani
58
juru sita melaksanakan panggilan agar panggilan benar-benar dapat disebut
panggilan secara patut dan resmi.35
3. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim
selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas permohonan cerai talak
didaftarkan di kepaniteraan (Pasal 68 ayat (1) UU PA).
b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian pula pemeriksaan
saksi-saksi (Pasal 33 PP No. 9 Tahun 1975 dan penjelasannya).
c. Pada sidang pemeriksaan perceraian, suami dan isteri dating sendiri atau
mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 30 PP No. 9 Tahun 1975).
4. Upaya perdamaian
Upaya perdamaian dalam perkara perceraian harus dilakukan sungguh-
sungguh terlebih jika suami isteri tersebut mempunyai anak.
a. Putusan
Setelah sidang pemeriksaan perkara permohonan cerai talak selesai
dan usaha mendamaikan telah diupayakan, maka Majelis Hakim membuat
penetapan terhadap permohonan cerai talak tersebut, sekaligus menentukan
hari sidang penyaksian ikrar talak. Adapun proses untuk melakukan ikrar
talak adalah sebagai berikut:
35
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 Tahun
1989, h.243.
59
Suami mengajukan surat permohonan kepada Pengadilan Agama
yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan, serta meminta kepada Pengadilan Agama agar
diadakan sidang untuk itu. Surat itu ditujukan kepada Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal isteri.
Pengadilan Agama mempelajari isi surat yang dimaksud Pasal 14 PP
No. 9 Tahun 1975, dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari memanggil
pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan kehendaknya itu.
Pengadilan Agama setelah mendapat penjelasan tentang maksud
talak itu berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan meminta bantuan
kepada Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4)
setempat agar kepada suami isteri dinasehati untuk hidup rukun kembali
dalam rumah tangga.
Setelah memperhatikan hasil usaha BP4 bahwa kedua belah pihak
tidak mungkin lagi didamaikan dan berpendapat bahwa adanya alasan untuk
talak, maka Pengadilan Agama mengadakan sidang untuk menyaksikan ikrar
talak, yaitu suami mengikrarkantalaknya didepan sidang Pengadian Agama
dengan hadirnya isteri atau kuasa hukum isteri dan menandatangani surat
ikrar tersebut (Pasal 70 UU RI No. 7 Tahun 1989).
Setelah dilakukan sidang ikrar talak, Ketua Pengadilan Agama
membuat surat keterangan tentang terjadinya talak (SKT3) rangkap 4
60
(empat), helai pertama beserta ikrar talaknya dikirimkan kepada pengawai
pencatat nikah di daerah tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan.
Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami dan isteri.
Sedangkan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama. Setelah
mendapat surat keterangan tentang terjadinya talak (SKT3), maka suami
isteri datang kepada pegawai pencatat nikah untuk mendapatkan kutipan
buku pendaftaran talak.
Apabila talak itu terjadi, maka Kutipan Akta Nikah (KAN) masing-
masing suami isteri ditahan oleh Pengadilan Agama ditempat talak itu terjadi
dan dibuat catatan dalam ruang yang tersedia dalam kutipan akta nikah
tersebut bahwa yang bersangkutan telah menjatuhkan talaknya. Catatan yang
dimaksud berisi tempat terjadinya talak, tanggal diikrarkannya talak, nomor
dan tanggal surat keterangan tentang terjadinya talak, serta tanda tangan
panitera.
E. Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Proses mediasi telah dijelaskan dalam PERMA nomor 1 tahun 2008.
Adapun tahapan yang harus dilalui dalam proses mediasi sebagai berikut:
1. Tahap pra mediasi
Penggugat medaftarkan gugatannya di kepaniteraan Pengadilan.
Kemdian ketua pengadilan akan menunjuk majelasi hakim yang akan
memeriksa perkaranya. Kewajiban melakukan mediasi timbil jika pada hari
persidangan pertama para pihak hadir. Majelis Hkaim menyampaikan
61
kepada penggugat dan tergugat prosedur mediasi yang wajib mereka
jalankan.
Setelah menjelaskan prosedur mediasi, Majelis Hakim memberikan
kesempatan kepada para pihak untuk memilih mediator dalam daftar
mediator yang terpampang di ruang tunggu kantor pengadilan. Para pihak
boleh memilih mediator sendiri dengan syarat mediator tersebut telah
memiliki sertifikat mediator.
Bila dalam waktu 2 (dua) hari para pihak tidak dapat menentukan
mediator, Majelis Hakim menunjuk hakim pengadilan di luar hakim
pemeriksa perkara yang bersertifikat. Namun jika tidak ada hakim yang
bersertifikat, salah satu anggota Hakim Pemeriksa Perkara yang ditunjuk
oleh Ketua Majelasi wajib menjalankan fungsi mediator.
Hakim Pemeriksa Perkara memberikan waktu selama empat puluh hari
kerja kepada para pihak untuk menempuh proses mediasi. Jika diperlukan
waktu mediasi dapat diperpanjang untuk waktu empat belas hari kerja (pasal
13 ayat (3) dan (4).
2. Pembentukan forum
Dalam waktu lima hari setelah para pihak menunjuk mediator yang
disepakati atau setelah para pihak gagal memilih mediator, para pihak dapat
menyerahkan resume36
perkara kepada mediator yang ditunjuk oleh Majelis
36
Resume perkara adalah dokumen yang dibuat para pihak yang berisi duduk perkara dan
atau usulah penyelesaian sengketa. Pasal 1 angka 10 Perma 1 tahun 2008.
62
Hakim. Dalam forum dilakukan pertemuan bersama untuk berdialog.
Mediator dapat meminta agar pertemuan dihadiri langsung oleh pihak yang
bersengketa dan tidak diwakili oleh kuasa hukum.
3. Pendalaman masalah
Cara mediator mendalami masalah adalah dengan cara kaukus,37
mengolah data dan mengembangkan informasi, melakukan eksplorasi
kepentingan para pihak, memberikan penilaian terhadap kepentingan-
kepentingan yang telah diinventarisir, dan akhirnya menggiring para pihak
pada proses tawar menawar penyelesaian masalah.
4. Penyelesaian akhir dan penentuan hasil kesepakatan
Pada tahap ini para pihak akan menyampaikan kehendaknya
berdasarkan kepengtingan mereka dalam bentuk butir-butir kesepakatan.
Mediator akan menampung kehendak para pihak dalam catatan dan
menaungkannya ke dalam dokumen kesepakatan. Dalam pasal 23 ayat (3)
PERMA Nomor 1 tahun 2008 disebutkan syarat-syarat yang harus terpenuhi
dalam kesepakatan perdamaian. Syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
a. Sesuai kehendap para pihak
b. Tidak bertentangan dengan hukum
c. Tidak merugikan pihak ketiga
37
Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak lainnya. Pasal 1 angka 4 PERMA nomor 1 tahun 2008. Kaukus dilakukan agar para pihak dapat
memberikan informasi kepada mediator lebih luas dan rinci yang mungkin tidak disampaikan saat
bertemu dengna pihak lawan.
63
d. Dapa diekesekusi; dan
e. Dengan iktikad baik.
Bila terdapat kesepakatan yang melanggar syarat-syarat tersebut,
mediator wajib mengingatkan para pihak. Apabila mereka bersikeras
mediator berwenangan untuk menyatakan bahwa proses mediasinya gagal
dan melaporkan kepada Hakim Pemeriksa Perkara. Jika tercapai kesepakatan
perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara
tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangai oleh para pihak dan
mediator. Dokumen kesepakatan damai akan dibawa ke hadapan Hakim
Pemerika Perkara untuk dikukuhkan sebagai akta perdamaian.
5. Kesepakatan di luar pengadilan
Dalam pasal 23 ayat (1) PERMA disebutkan bahwa para pihak
dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa
di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan
kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan. Maksud dari pengajuan
gugatan ini adalah agar sengketa para pihak masuk dalam kewenangan
pengadilan melalui pendaftaran pada register perkara di Kepaniteraan
Perdata. Ketua pengadilan selanjutnya dapat menunjuk Majelis Hakim yang
akan mengukuhkan perdamaian tersebut dalam persidangan yang terbuka
untuk umum (kecuali dinyatakan tertutup dalam kasus-kasus tertentu).
6. Keterlibatan ahli dalam proses mediasi
64
Pasal 16 ayat (1) PERMA nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur
mediasi menyebutkan bahwa atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum,
mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu
untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantuk
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. Biaya
mendatangkan seorang ahli ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan. Namun PERMA tidak menjelaskan siapa yang dikategorikan
sebagai ahli, sehingga penentuannya disesuaikan dengan rekomendasi
mediator.
7. Berakhirnya mediasi
Proses mediasi dinyatakan berakhir dengan dua bentuk. Pertama,
mediasi berhasil dengan menghasilkan butir-butir kesepakatan di antara para
pihak, proses perdamaian tersebut akan ditindak lanjuti dengan pengukuhan
kesepakatan damai menjadi akta perdamaian yang mengandung kekuatan
seperti layaknya Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Kedua,
proses mediasi menemukan jalan buntuk dan berakhir dengan kegagalan.
Proses mediasi di pengadilan yang gagal dilanjukan di sidang pengadilan.
8. Mediasi tahap upaya hukum
Para pihak atas dasar kesepakatan bersama, dapat menempuh upaya
perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasu atau
peninjauan kembali sepanjang perkara tersebut belum diputus.
65
Demikian tahapan media yang di atur dalam PERMA nomor 1 tahun
2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Perlu diperhatikan bagi seorang
mediator untuk membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak,
menggali dan memberikan informasi awal mediasi, focus pada masa depan,
mengoordinasikan pihak yang bertikai, mewaspadai perbedaan budaya,
menentukan siapa yang hadir menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu
dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu
dan membicarakan perselisihan mereka.38
Komitmen dan kepercayaan diri merupakan modal bagi calon mediator
dalam menghubungi para pihak yang bersengketa. Tujuan menghubungi para
pihak adalah menyampaikan keinginan menjadi mediator dengan memahami
kedua belah pihak. Dalam menginginkannya, seorang mediator jangan sampai
terkesan menggurui para pihak, dan menggiring mereka untuk memilih mediasi
sebagai jalan menyelesaikan sengketa. Seorang mediator harus mampu
menampilkan dirinya benar-benar orang yang belajar memahami keinginan para
pihak, mendenganrkan, dan mengungkapkan kembali keingin para pihak untuk
didiskusikan lebih lanjut. Baru kemudian para pihak bisa menerima keberadaan
pihak ketiga ini, sebagai mediator yang akan membantuk penyelesaian sengketa
mereka. Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan
utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator
38
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah dan Hukum Adat, Hukum
Nasional, h.37.
66
bersifat menyeluruh dan tidak parsial, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk
menyusun strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam penyelesaian
konflik melalui jalur mediasi. Persoalan pokok yang disengketakan dan pola-pola
penyelesaian melalui media perlu disampaikan kepada kedua belah pihak,
sehingga mereka bisa mempertimbangkan menggunakan jalur tersebut untuk
menyelesaikan sengketa mediator harus menginformasikan sejelas mungkin
tentang media, manfaat mediasi, menjelaskan situasi yang dialami para pihak bila
menggunakan mediasi oleh beberapa pihak lain.39
Mediator harus mampu
mengarahkan mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa
depan yang baik dan damai.40
Mediator harus mempertimbangkan dan waspada
terhadap perbedaan budaya, karena perbedaan budaya sangat sensitive dan dapat
berdampak negative terhadap proses mediasi, bila tidak diperhatikan dengan
benar sebagai pertimbangan dalam suatu proses mediasi,
F. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Selatan
Ketua : Dr. H. Imron Rosyadi, SH., MH.
Wakil ketua : Drs. H. Abdul Latif, MH.
Hakim : Dra. Hj. Athiroh Muchtar, SH., MH.
Drs. Muh. Rusydi Thahir, SH., MH.
Dra. Tuti Uhriyah, MH.
39
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah dan Hukum Adat, Hukum
Nasional, h.37 40
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah dan Hukum Adat, Hukum
Nasional, h.37
67
Drs. Yusran, MH.
Drs. Azhar Mayang, M.HI.
Drs. Agus Yunih, SH., M.HI.
Drs. Nurhafizal, SH., MH.
Drs. Saifuddin, MH.
Drs. Sohel, SH.
Dra. Hj. Ida Nursaadah, SH., MH.
Dra. Hj. Fauziah, MH.
Drs. Nasrul, MA.
Drs. Agus Abdullah, MH.
Drs. H. Jarkasih, MH.
Dra. Hj. Lelita Dewi, SH., M. Hum.
Elvin Nailana, SH., MH.
Drs. H. Ace Ma’mun, MH.
Drs. H. Sumardi M., SH., M.HI.
Penitera/Sekretaris : H. Ahmad Majid, SH., MH.
Wakil Penitera : Dra. Aida Yahya
Wakil Sekretaris : H. Fauzan, SH., MH., MM.
Panitera Muda Pemohon : Ikrimawatingsih, S.Ag., MH.
Panitera Muda Hukum : Pahrurrozi, SH.
Panitera Muda Gugatan : Mohammad hambali, SH.
Kasub. Bag. Kepegawaian : Nur Khaefah
68
Kasub Bag. Umum : Najamuddin, S.Ag., SH., MH.
Kasub Bag. Keuangan : Djuhdan, SH., MM.
Penitera Pengganti : Hj. Rahmi, SH.
Abas
Sajidan, SH
Siti Makbullah, SH.
Ahmad Irfan
Juru Sita : Wardono
Zainal Arifin
Gunawan
Ombang Hasyim
Juru Sita Pengganti : Tati Julianti
A.Zamrun Najib, SE.
Sudiono
Sujiati, SH.
M. Sahid.41
41
Diperoleh dari http://pa-jakartaselatan.go.id/vx/en/features/2012-01-17-02-53-24/struktur-
organisasi
66
BAB IV
ANALISIS TENTANG EFEKTIFITAS HAKIM PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN DALAM MENYELESAIKAN PERKATA
PERCERAIAN
A. Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Para Pihak
Secara teoritis, differensiasi substansial dalam peraturan perundang-
undangan melahirkan ragam pemahaman. Perbedaan pemahaman tersebut, dalam
tataran praktis, akan berimbas kepada perbedaan aplikasi. Demikian pula halnya
dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan memuat beberapa pasal yang interpretable. Di antaranya,
dalam memahami kewajiban melakukan mediasi, sebagaimana diatur dalam
Perma tersebut, setidaknya memunculkan dua alur pikir yang berbeda: Pertama,
proses mediasi wajib dilalui dalam tahap pernyelesaian setiap sengketa perdata
yang diajukan ke pengadilan; Kedua, mediasi wajib dilalui dalam tahap
penyelesaian sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan di saat kedua belah
pihak berperkara hadir di persidangan. Terlepas dari penilaian terhadap mana
diantara kedua pemahaman tersebut yang benar, yang pasti keduanya akan
memberikan implikasi praktis yang berbeda.
Setelah terbitnya Perma 1 Tahun 2008, mediasi memang menjadi
keharusan dalam penyelesaian perkara perdata, termasuk juga perdata agama.
Putusan suatu perkara yang diperoleh tanpa didahului proses mediasi dinilai batal
demi hukum. Karena pentingnya mediasi, para hakim di peradilan agama pun
67
dituntut mampu menjadi mediator, meskipun bisa saja mediator berasal dari
nonhakim.
Apabila dicermati secara anatomis, Perma tentang mediasi memuat pasal-
pasal yang interpretable. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa “Tidak menempuh
prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan
batal demi hukum”. Lebih tegas lagi dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa “Kecuali
perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi pengawas Persaingan Usaha,
semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib
lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan
mediator”.
Pemahaman secara gramatikal yang mudah ditangkap dari bunyi kedua
pasal tersebut di atas adalah bahwa mediasi wajib dilakukan untuk setiap perkara
yang diajukan ke pengadilan. Pemahaman ini didukung oleh latar belakang
secara historis munculnya keinginan atau semangat untuk mengintegrasikan
penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi ke dalam jalur litigasi, yang
diawali dengan lahirnya Sema Nomor 1 Tahun 2002, kemudian direvisi dengan
Perma Nomor 2 Tahun 2003, terakhir disempurnakan lagi dengan lahirnya Perma
Nomor 1 Tahun 2008, yang intisarinya adalah: (1) upaya perdamaian secara
konprehensif dan sungguh-sungguh, (2) efisiensi dan efektivitas pemeriksaan
68
persidangan, (3) menekan lajunya jumlah perkara ke tingkat kasasi yang
mengakibatkan besarnya penumpukan sisa perkara di Mahkamah Agung
sehingga hilangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan.
Dalam kerangka ini, mediasi di pengadilan dipahami sebagai bentuk
intensivikasi (perluasan) makna dari upaya perdamaian yang secara formil telah
dilaksanakan selama ini. Dalam pemahaman ini, mediasi adalah upaya
perdamaian yang intensitasnya pelaksanaannya dilakukan lebih komprehensif
dan sungguh-sungguh dengan dibantu oleh mediator. Disadari dari realita yang
terjadi selama ini, upaya perdamaian yang dilakukan secara langsung oleh
majelis hakim di depan persidangan kurang begitu efektif dan terkesan
formalistik belaka, karena: (1) suasana persidangan kerap menimbulkan
ketegangan emosional dan psikologis bagi masing-masing pihak yang
bersengketa sehingga sulit mencari titik temu penyelesaian sengketa secara
damai, (2) pemeriksaan persidangan terikat oleh batasan waktu dan aturan hukum
acara yang berlaku sehingga nuansa mengadili lebih terasa ketimbang suasana
pemufakatan, (3) memeriksa fakta dan peristiswa yang telah terjadi sehingga
cendrung mengungkit kembali faktor-faktor pemicu konflik (4) tidak mungkin
melakukan “kaukus” (pertemuan yang hanya dihadiri oleh salah satu pihak
berperkara tanpa dihadiri pihak yang lain) untuk menemukan fakta-fakta yang
dianggap perlu dalam rangka kesuksesan mediasi. Meskipun dalam perkara
perceraian dimungkinkan untuk melakukan upaya perdamaian setiap kali sidang
sampai perkara diputus, namun secara psikologis suasana persidangan tersebut
69
sangat berpengaruh kepada kondisi kejiwaan kedua belah pihak berperkara,
apalagi setelah dilakukan tahapan jawab menjawab yang secara emosional tentu
akan memancing para pihak untuk bersikukuh mempertahankan pendapat
masing-masing.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka pelaksanaan mediasi harus
disesuaikan dengan ketentuan perdamaian yang dikehendaki oleh Pasal 130
HIR./154 R.Bg. Aplikasinya, prosedur mediasi tetap ditempuh meskipun salah
satu pihak tidak hadir. Karena yang menjadi tujuan utama mediasi adalah
sengketa yang sedang berlangsung tersebut dapat dihentikan oleh para pihak
yang merasa berkepentingan dan selanjutnya diselesaikan secara kekeluargaan.
Apabila pihak yang hadir hanya pihak penggugat, setelah dilewati tahap mediasi
yang dipimpin mediator, ternyata penggugat bersedia menyelesaikan
sengketanya secara kekeluargaan atau merelakan haknya sehingga penggugat
mencabut perkaranya, dalam kondisi ini mediasi dapat dianggap berhasil.
Demikian pula, apabila pihak yang hadir hanya pihak tergugat, setelah dilewati
proses mediasi ternyata tergugat bersedia memenuhi tuntutan penggugat, dalam
hal ini mediasi juga dianggap berhasil menyelesaikan sengketa antara para pihak.
Dalam sisi pandang ini, kehadiran kedua belah pihak secara langsung di
pengadilan tidak menjadi syarat utama munculnya kewajiban mediasi, karena
yang dimediasi adalah para pihak berperkara yang secara formil telah tercantum
dalam gugatan. Sekalipun salah satu pihak tidak hadir, namun secara formil
pihak yang tidak hadir tersebut tidak hilang kedudukannya sebagai para pihak.
70
Pemahaman seperti ini relevan dengan kewajiban perdamaian di depan
persidangan, sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 10 HIR/154 R.Bg, yang
sekalipun salah satu pihak tidak hadir tetap wajib didamaikan. Adapun penilaian
tentang mediasi berhasil atau gagal adalah sepenuhnya merupakan wewenang
mediator setelah memanggil para pihak dan menjalankan proses mediasi.
Efektivitas Perma tentang mediasi memang tidak paralel dengan
ketersediaan mediator yang professional di pengadilan. Pasal 1 angka 6 tentang
definisi mediator tidak mensyaratkan mediator harus bersertifikat.1 Hal ini
merupakan keleluasaan yang diberikan Perma mengingat tidak mungkin
menunggu adanya mediator yang bersertifikat untuk memberlakukan mediasi di
pengadilan. Untuk mengatasi keterbatasan tenaga mediator yang bersertifikat di
tengah kuatnya keinginan untuk mengefektifkan Perma tentang mediasi, Perma
memberi keleluasaan kepada pengadilan untuk menunjuk mediator dari hakim
dengan syarat bukan hakim yang menangani perkara tersebut. Sayangnya,
mayoritas hakim yang diangkat menjadi mediator tidak memiliki keterampilan
khusus tentang mediasi. Hal ini seharusnya menjadi salah satu faktor yang mesti
diperhitungkan dalam mengukur tingkat keberhasilan mediasi di pengadilan.
Berdasarkan pemantauan penulis terhadap praktek mediasi yang
dijalankan oleh mediator yang berasal dari hakim, terlihat bahwa mediator
cenderung memposisikan dirinya tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai
1 Pasal 1 angka 6: Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses
perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian;
71
hakim di depan persidangan di saat melangsungkan mediasi. Lebih jauh lagi,
dampak dari tidak dipahaminya tugas dan fungsi mediator dengan baik, maka
sebagian mediator yang berasal dari hakim sering melontarkan ucapan yang
terkesan pesimistik dan antipati terhadap pelaksanaan mediasi. Bahkan sebagian
hakim menganggap tugas sebagai mediator adalah beban dan tanggung jawab
baru yang hanya memberatkan dan atau merugikan. Tentu saja hal ini sangat
disayangkan, sebagai refleksi dari ketidakmengertian tentang hakikat dan tujuan
mediasi. Namun demikian patut disadari bahwa timbulnya sikap demikian karena
memang dalam jenjang pendidikan formal dan pelatihan-pelatihan tenaga teknis
hakim selama ini tidak pernah ada materi pembekalan sekitar mediasi. Di
samping itu, para hakim telah terbiasa dengan penyelesaian sengketa melalui
jalur litigasi yang bersifat memutus (ajudikatif). Akibatnya, ketika diberikan
tugas untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non litigasi, terasa asing dan
menyulitkan.
Faktanya, sebagian hakim peradilan agama pernah mengikuti pelatihan
mediasi, baik di dalam maupun di luar negeri, namun pelatihan itu dirasa masih
kurang terfokus kepada kompetensi peradilan agama, khususnya di bidang
perceraian, harta bersama dan hak asuh anak.
B. Hambatan Para Hakim dalam Usaha mendamaikan
Hakim mediasi dalam menjalankan tugasnya mengalami kendala
khusunya terkait dengan pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses
mediasi. Konsideran Perma yang paling awal dalam mempertimbangkan
72
pentingnya mediasi di pengadilan adalah untuk terwujudnya biaya murah dalam
proses penyelesaian perkara.2 Sebelum efektifnya Perma Nomor 1 Tahun 2008,
jumlah panggilan untuk perkara cerai talak sebanyak 7 kali sedangkan untuk
perkara cerai gugat sebanyak 5 kali (Buku II). Setelah diberlakukannya Perma,
sebagian pengadilan membuat kebijakan untuk menambah biaya panggilan
tersebut di atas sebanyak 2 kali untuk panggilan mediasi ketika menaksir panjar
biaya perkara.
Dengan praktek mediasi yang hanya untuk perkara-perkara yang dihadiri
oleh kedua belah pihak, khususnya praktek di Pengadilan Agama se Sumatera
Utara, maka biaya panggilan untuk mediasi tidak perlu ditaksir diawal
pembayaran panjar untuk menghindari pembengkakan panjar biaya perkara.
Apabila pada sidang pertama kedua belah pihak berperkara hadir, maka
pada saat itu dapat ditunjuk langsung mediator oleh para pihak atau oleh majelis
hakim bila para pihak tidak ada kesepakatan. Majelis hakim menunda
persidangan minimal selama dua minggu untuk pelaksanaan mediasi dengan
ketetapan bahwa sidang berikutnya dibuka kembali untuk mendengarkan laporan
mediator. Penundaan persidangan selama dua minggu tersebut dengan
pertimbangan bahwa rentang waktu dua minggu dinilai cukup untuk melakukan
mediasi. Apabila pada saat persidangan dibuka kembali ternyata mediator merasa
perlu memperpanjang waktu mediasi, maka mediator dapat meminta kepada
2 Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang
lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan
penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
73
majelis hakim untuk memperpanjang waktu mediasi sepanjang masih dalam
batas waktu maksimal yang dibolehkan oleh Perma. Dengan cara ini, persoalan
sekitar waktu tidak menjadi sesuatu yang terkesan memberatkan.
Pada hari penunjukan mediator itu, mediator yang ditunjuk dapat
memulai tugasnya dengan mengadakan musyawarah dengan kedua belah pihak
berperkara untuk menentukan hari pelaksanaan mediasi. Para pihak tidak perlu
dipanggil untuk menghadiri mediasi pada waktu yang telah disepakati tersebut
karena telah mengetahui langsung kapan hari pelaksanaannya. Bahkan apabila
memungkin dapat langsung dimulai mediasi pada hari itu juga dengan syarat
mediator dapat mempelajari berkas perkara atau dokumen lain yang diperlukan
(seperti dalam perkara-perkara perceraian yang sudah umum dikuasai oleh hakim
mediator). Apabila mediator belum dapat mempelajari peta sengketa, disebabkan
jenis kasusnya cukup berat (seperti kasus waris, harta bersama, hadhanah, dll),
maka hari mediasi dapat ditunda pada hari yang lain.
Selain faktor di atas ada tiga faktor lain yang menyebabkan hakim
kesulitan untuk melakukan mediasi. Sebagaimana juga penelitian yang pernah
dilakukan oleh Zainuddin Fajari,3 punya hasil penelitian mengenai pelaksanaan
mediasi. Sewaktu masih menjadi Direktur Pranata dan Tatalaksana Perkara
Perdata Agama Ditjen Badilag pada tahun 2009, pihaknya pernah membuat
survei dengan sampel pengadilan-pengadilan di Jawa dan Sumatera. “Ternyata
keberhasilan mediasi kira-kira sekitar dari 5 persen,”
3 http://www.badilag.net/component/content/arti
74
Setelah dianalisis, ditemukan tiga faktor yang membuat tingkat
keberhasilan mediasi di peradilan agama rendah. Pertama, konflik yang terjadi
kebanyakan adalah perceraian yang menyangkut persoalan harga diri dan
martabat.
Kedua, sebelum ke PA, konflik tersebut sudah diselesikan di tingkat
keluarga, tokoh masyarakat, dan lain-lain. “Jadi ada anggapan selama ini, ke PA
itu cuma untuk cari surat cerai saja. Mereka tidak menginginkan sidang, apalagi
mediasi,”.
Ketiga, keterampilan mediator. Mediator biasanya menasehati para pihak
yang bersengketa dengan menggunakan ayat-ayat suci, hadis, kata-kata bijak
ulama, dan mengingatkan kembali momen-momen indah sebelum pernikahan.
C. Tingkat Keberhasilan Hakim Dalam Mediasi Sengketa Perceraian
Publikasi terakhir yang dilansir oleh Badilag.net tentang tingkat
keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama, yang nota-bene penerap hukum
Islam, sangat jauh dari yang diharapkan. Padahal, baik kalangan akademisi
maupun praktisi hukum Islam telah mengakui bahwa substansi mediasi tersebut
adalah berasal dan milik hukum Islam. Kurang dari 10 % perkara-perkara perdata
yang diterima di Pengadilan Agama dapat diselesaikan melalui mediasi.
Kenyataan itu telah memicu munculnya pertanyaan, apakah informasi tersebut
benar dan apa tolok ukur penilaian terhadap keberhasilan mediasi tersebut?
Berdasarkan hal itu, maka perlu dirumuskan tolok ukur keberhasilan mediasi
sebagai langkah untuk mengetahui prosentase tingkat keberhasilan mediasi
75
secara kuantitatif dan untuk mengukur efektivitas pelaksanaan mediasi dalam
rangka penyelesaian sengketa non litigasi secara kualitatif, agar diketahui
berbagai permasalahan yang muncul dalam praktek mediasi di pengadilan,
sehingga akhirnya dapat dirumuskan langkah-langkah efektif pemecahannya.
Dalam menghitung prosentase keberhasilan mediasi, perlu digariskan
secara tegas hasil tersebut apakah prosentase dari jumlah seluruh perkara yang
masuk atau hanya dari jumlah perkara yang melalui tahapan mediasi. Selanjutnya
bagaimana pula penghitungan prosentase keberhasilan mediasi dalam perkara-
perkara kumulasi. Semestinya penghitungan prosentase keberhasilan mediasi
dalam perkara kumulasi perlu diklasifikasikan antara perkara pokok dan
accessoire. Demikian pula halnya dengan perkara yang terdapat tuntutan balik
(rekonvensi), karena dalam perkara kumulasi dan rekonvensi objek sengketa
tersebut telah berbeda, meskipun nomor perkara dan proses pemeriksaannya
disatukan dengan tujuan efektifitas, sinkronisasi dan efisiensi.
Alasan utama yang mendasari terjadinya hal ini adalah karena hampir 90
% sengketa yang diselesaikan di Pengadilan Agama merupakan perkara
perceraian. Perkara perceraian adalah masalah hati, masalah hati sangat berkaitan
dengan harga diri, martabat dan kehormatan keluarga besar masing-masing dan
sebagainya, sehingga sulit didamaikan melalui proses mediasi. Kultur
masyarakat Indonesia pada umumnya belum akan datang ke pengadilan untuk
mengurus perceraian, kecuali setelah perselisihan di antara mereka tersebut
mencapai titik puncak. Dalam kondisi itu, mediator di pengadilan terbukti sangat
76
sulit menyelesaikan permasalahan yang sudah sedemikian rumit. Namun
demikian, keterbatasan dalam memediasi perkara perkara perceraian mestinya
tidak mempengaruhi semangat untuk memediasi perkara-perkara lain di luar
perceraian.
Jumlah perkara gugatan yang diterima tahun 2013 di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan adalah sebanyak 1173 perkara. Seluruhnya melalui proses
mediasi, sebab, proses ini harus dilalui setiap orang yang berperkara di
Pengadilan Agama. Sedangkn yang berhasil pada proses mediasi hanya 53
sedangkan sisanya 1120 tidak berhasil diselesaikan dengan proses mediasi. Hal
ini menunjukkan bahwa mediasi di Pengadilan Agama pada tahun 2013 tidak
berhasil.
N
O
BULAN MEDIASI JUMLAH
Berhasil % Berhasil Gagal % Gagal
1. Januari 6 4,61% 124 95,3 % 130
2. Februari 11 10.8 % 90 89,1 % 101
3. Maret 5 4,8 % 99 95,1 % 104
4. April 10 9,17 % 99 90,8 % 109
5. Mei 5 4,2 % 114 95,7 % 119
6. Juni 9 9,4 % 86 95,52 % 95
7. Juli 5 6,09 % 77 93,9 % 82
8. Agustus 0 0 % 40 100 % 40
77
9. September 0 0 % 104 100 % 104
10. Oktober 1 1,05 % 94 98,9 % 95
11. Nopember 0 0 % 92 100 % 92
12. Desember 1 0,98 % 101 99,01 % 102
JUMLAH 53 4,51 % 1120 95,48 % 1173
Data di atas memperlihatkan bahwa mediasi yang dilakukan di
Pengadilan Agama Jakarta selatan tidak efektif, bahkan pada bulan Agustus,
September dan November tidak ada mediasi yang berhasil dilakukan. Secara
keseluruhan hanya 4,51 % yang berhasil dilakukan mediasi. Sedangkan 95,48 %
dari perkara yang dimediasi tidak berhasil dilakukan.
Faktor penyebab tidak berhasilnya mediasi yang dilakukan oleh
Pengadilan Agama diidenfikasi sebagai berikut:
1. Aspek Mediator
Keberhasilan mediasi dilihat dari aspek mediator dapat didentifikasi
dari adanya kegigihan mediator untuk merealisasikan keberhasilan mediasi
dan kemampuan/skill dan penguasaan mediator terhadap teknik mediasi.
2. Aspek Perkara
Keberhasilan mediasi dari aspek perkara dapat diidentifikasi
berdasarkan karakteristik perkara yang melatarbelakanginya. Keberhasilan
mediasi tidak dapat digenelarisir. Setiap perkara yang dilatarbelakangi oleh
78
cemburu misalnya, potensi keberhasilannya tinggi, sebaliknya tidak selalu
perkara yang dilatarbelakangi oleh cemburu berhasil. Sama halnya dengan
perkara KDRT yang dimediasi acapkali gagal, tetapi tidak selalu perkara
perceraian yang dilatarbelakangi KDRT gagal sebab adakalanya berhasil.
Keberhasilan dan kegagalan suatu perkara lebih tepat dipandang sebagai
pengalaman mediasi pada setiap pengadilan.
Karakteristik perkara perceraian yang dimediasi berhasil diantaranya
perkara yang diajukan ke pengadilan tetapi para pihak belum matang
membicarakannya, atau motivasi ke pengadilan dimaksudkan untuk
memberikan pelajaran kepada salah satu pihak, perkara yang
dilatarbelakangi oleh cemburu, nafkah, salah satu pihak menjadi pemabuk,
tidak terbuka masalah keuangan dan tersinggung oleh salah satu pihak yang
berulang-ulang.
3. Aspek para pihak
Faktor keberhasilan mediasi dari aspek para pihak, yaitu usia
perkawinan, tingkat kerumitan perkara yang dihadapi oleh para pihak, para
pihak memiliki i’tikad baik untuk mengakhiri sengketa melalui mediasi dan
para pihak memiliki kesadaran untuk berdamai dan menyadari
kekeliruannya.
4. Aspek Sarana
79
Di Pengadilan Agama Ciamis, Bandung dan Depok ruang mediasi
tersedia dengan memadai. Hal ini dapat ikut membantu proses keberhasilan
mediasi.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan pembahasan dan penelitian terkait dengan efektifitas
hakim dalam melakukan media dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, proses mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan melewati
beberapa tahap. Pertama, tahap pramediasi, pembentukan forum, pendalaman
masalah, penyelesaian akhi dan penentuan hasil kesepakatan, kesepakatan di luar
pengadilan, keterlibatan ahli dalam proses mediasi, dan berakhirnya proses
mediasi, sehingga dapat dilakukan eksekusi serta upaya hukum.
Kedua, bahwa upaya yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Agama
belum mampu untuk menciptakan mediasi yang efektif, hal ini terlihat dari segi
keberhasilannya yang hanya 4,51% dari 1173 kasus yang ditangani di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan.
B. Saran-saran
Selanjutnya untuk kepentingan pelaporan dan evaluasi tentang efektivitas
mediasi di Pengadilan Agama, perlu dirumuskan sistem pelaporan tersendiri
untuk perkara-perkara kumulasi dan rekonvensi. Meskipun mediasi dalam
perkara pokok gagal, tetapi terhadap objek perkara yang menjadi accessoire-nya
berhasil, maka perlu dilaporkan tentang keberhasilan tersebut dalam laporan
tersendiri.
81
Selain itu perlu juga penguatan dalam bidang keahlian dan penekanan
kepada masyarakat akan pentingnya proses mediasi dalam mengambil putusan.
Hal ini diwujudkan dengan cara meningkatkan keahlian mediator hakim
pengadilan agama. Selain itu diperlukan juga hukum acara yang lebih efektif
khusunya terkait dengan pemanggilan para pihak.
83
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Syahrizal. Mediasi (Dalam Perspektif Hukum Syarai’ah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2009.
Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan. Jakarta: Yayasan Al Hikmah, tt.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (Arab-Indonesia).
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999
Amrullah et.al. (ed), Prospek Hukum Islam Dalam Kerangka Pembangunan Hukum
Nasioal di Indonesia, Jakarta: PP. IKAHA, 1994.
Anshori, Abdul Ghofur. Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, Cetakan 1. Yogyakarta: UII Press, 2007.
Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Djalil, Abdul Basiq. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana 2006
ASA, “Sejarah Peradilan Agama”, serial Media Dakwah, Jakarta, Agustus, 1989.
Depatemen Agama RI, Sketsa Peradilan Agama. Jakarta: Departemen Agama RI,
2000.
DIBINBAPERA, Mimbar Hukum No.39 Tahun VIII. Jakarta: Alhikmah, 1997.
Echols, John dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. ke xxv. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Emirzon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase). Jakarta: PT. Gramedai Pustaka Utama, 2001.
Evi, Sofiah. “Putusan Perdamaian dan Penerapannya di PA”, Jaih Mubarok (ed.),
Peradilan Agama di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy,2004.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternative Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
84
H. A.Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004.
Hamimi, Taufiq. “Ikhtisar Sejarah Peradilan Agama di Indonesia”, dalam Mimbar
Hukum, No. 59 Thn. XIV, 2003.
Harahap, M Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7
Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
Harahap, M. Yahya, “Tinjauan Sistem Peradilan”, dalam Mediasi dan Perdamaian
Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2004.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan). Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Harahap, Yahya. Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama UU No. 7
Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
http://pa-jakartaselatan.go.id/vx/en/features/2012-01-17-02-53-24/struktur-organisasi
http://www.badilag.net/component/content/arti
Junaidi, Akhmad Arif. Mediasi Dalam Perundang-undangan di Indonesia.
Semarang: WMC, 2007.
Mahkamah Agung RI, Mediasi dan Perdamaian, mimeo, tt: tp, 2004.
Majalah Hukum Varia Peradilan No. 248 juli 2006.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdatta, edisi VI. Yogyakarta: Liberty, 2002.
Mimbar Hukum No. 59 Tahun XIV 2003
Mimbar Hukum, Nomor 63 Thn. XV, Edisi Maret-April 2004, h.28.
Perma Nomor. 1 Tahun 2008
85
Rasyid, Chatib. “Eksistensi Peradilan Agama Pasca UU. No. 3 Tahun 2006”,
makalah dalam Kuliah Umum Acara Peresmian/pengukuhan Pengurus
Ikatan Keluarga Magister Ilmu Hukum UMSU, Medan, Tahun 2007.
Saifullah, Muhammad. sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia. Semarang:
WMC, 2007.
Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz III. Beirut:Dara al Fikr, 1977.
Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Cet ke 8. Jakarta : Sinar Grafika, 2004.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke-3.. Jakarta: UI Press,
1986.
Subekti & Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, 1985.
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Tim Penulis, Buku Komentatir Perma No. 1 Tahun 2008 Tentang pelaksanaan
Mediasi di Pengadilan, Mahkamah Agung. Jakarta: JICA, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Pasal 54.
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2003.
www.badilag.net Statistik Perkara, diakses pada tanggal 24 september 2013.